PEMBATALAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA DI PENGADILAN AGAMA KARANGANYAR ( STUDI KASUS PERKARA NOMOR 0679 Pdt.G 2010 PA.Kra TENTANG POLIGAMI TANPA IJIN PENGADILAN )
commit to user
i
PEMBATALAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA
DI PENGADILAN AGAMA KARANGANYAR ( STUDI KASUS
PERKARA NOMOR 0679/Pdt.G/2010/PA.Kra TENTANG
POLIGAMI TANPA IJIN PENGADILAN )
Penulisan Hukum ( Skripsi )
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh
NABELLA ARTHA AYU SOFYANA PUTRI NIM. E0007170
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
(2)
commit to user
(3)
commit to user
(4)
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Nabella Artha Ayu Sofyana Putri NIM : E0007170
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:
PEMBATALAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA DI PENGADILAN AGAMA KARANGANYAR ( STUDI KASUS PERKARA NOMOR 0679/Pdt.G/2010/PA.Kra TENTANG POLIGAMI TANPA IJIN
PENGADILAN ) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya
saya dalam Penulisan Hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan Penulisan Hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 28 Maret 2011 yang membuat pernyataan
Nabella Artha Ayu S.P NIM. E0007170
(5)
commit to user
v
ABSTRAK
NABELLA ARTHA AYU SOFYANA PUTRI. E0007170. 2011.
PEMBATALAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA DI PENGADILAN AGAMA KARANGANYAR ( STUDI KASUS PERKARA NOMOR 0679/Pdt.G/2010/ PA.KRA TENTANG POLIGAMI TANPA IJIN PENGADILAN ). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan dan untuk mengetahui akibat hukum bagi suami istri terhadap pembatalan perkawinan dalam putusan perkara Nomor 0679/Pdt.G/2010/PA.KRA tentang poligami tanpa ijin Pengadilan.
Penelitian ini merupakan penelitian empiris yang bersifat deskriptif. Penelitian ini mengambil lokasi penelitian di Pengadilan Agama Karanganyar karena di Pengadilan Agama ini pernah diputus perkara pembatalan perkawinan yang disebabkan karena poligami tanpa ijin Pengadilan yaitu perkara Nomor 0679/Pdt.G/2010/PA.KRA. Jenis data yang digunakan adalah data primer yaitu hasil wawancara Majelis Hakim pemeriksa perkara serta wawancara terhadap Termohon II dan data sekunder berupa putusan Nomor 0679/Pdt.G/2010/PA.KRA serta literatur-literatur lain yang menunjang penelitian ini yang diperoleh dari studi kepustakaan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan studi kepustakaan dengan teknik analisa data kualitatif.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan tersebut terdapat di dalam Pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam yaitu seorang suami melakukan poligami tanpa ijin Pengadilan. Alasan tersebut dapat menjadikan suatu perkawinan dapat dibatalkan oleh Pengadilan Agama. Pembatalan perkawinan memberikan akibat kepada para pihak yang dibatalkan dan pihak lain. Adapun akibat hukumnya bagi pihak yang dibatalkan adalah putusnya hubungan perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap dan perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada. Putusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan, sehingga anak tersebut tetap mendapatkan hak-haknya di mana kedua orang tua wajib memelihara, mendidik, memberikan nafkah, dan berhak atas waris dari ayahnya serta kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus. Terhadap pembagian harta bersama harus dibagi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku akan tetapi jika pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan yang lebih dahulu, maka para pihak yang dibatalkan tersebut tidak berhak atas harta bersama sebelumnya, serta terhadap pihak ketiga yang mengadakan hubungan keperdataan terhadap pihak yang dibatalkan perkawinannya tersebut tetap ada meskipun setelah adanya pembatalan perkawinan.
(6)
commit to user
vi
ABSTRACT
NABELLA ARTHA AYU SOFYANA PUTRI. E0007170. 2011.
PEMBATALAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA DI PENGADILAN AGAMA KARANGANYAR ( STUDI KASUS PERKARA NOMOR 0679/Pdt.G/2010/ PA.KRA TENTANG POLIGAMI TANPA IJIN PENGADILAN ). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
This research aims to find out the legal basis for judges in deciding the cancellation of a marriage in the Karanganyar religion court and to find out the legal consequences for Husband and Wife to the cancellation of marriage in the decision case Number 0679/Pdt.G/2010/PA.KRA about polygamy without court permission.
This study belongs to an empirical research that is descriptive in nature. This research was taken place in Karanganyar religion court because in this court is ever the case terminated due to cancellation of polygamous marriage without the permission of the Court case Number 0679/Pdt.G/2010/PA.KRA The type of data used are primary data that is the result of an interview panel of judges who is examiners case and interview against Respondent II and secondary data in the form of decision Number 0679/Pdt.G/2010/PA.KRA as well as other literature that support this research obtained from literature studies. Data collection techniques were used interviews and literature study with qualitative data analysis techniques.
Based on research conducted, it can be concluded that the legal basis for religious court judges in deciding on the cancellation of marriage Karanganyar is contained in Article 71 subparagraphs (a) Compilation of Islamic Law is a husband to do polygamy without permission of the Court. These reasons can make a marriage can be canceled by the Religious Courts. Cancellation of marriage give effect to the parties that were canceled and others. As for the legal consequences for those who aborted were started after the marriage breakup Court permanent legal force and the marriage shall be deemed to have never existed. The decision is not retroactive cancellation of marriage to children born of marriages that were canceled, so the child will still get his rights in which both parents must nurture, educate, provide a living, and entitled to the inheritance from his father and the obligation is valid until the child marries or can stand alone and this obligation shall continue even though both parents marriage break up. On the division of community property should be divided in accordance with the provisions of applicable law but if the cancellation of a marriage based on the earlier marriage, the parties that were canceled are not entitled to the property together before, as well as against third parties who entered into civil relations of the parties canceled marriage is still there even after the cancellation of the marriage.
(7)
commit to user
vii
Motto dan Persembahan
“ Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kami miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya ”.
( Q.S. An- Nisa ayat: 3 )
“ Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri ”.
( Q.S. Ar Ra’ad : 11 )
“ Sesungguhnya setelah kesulitan itu pasti ada kemudahan ”. ( Q.S. Al-Insyiroh : 6 )
Karya kecil ini Ku persembahan untuk:
1. ALLAH S.W.T, Robb semesta Alam. 2. Papa dan Mama tercinta atas kasih
sayangnya, bimbingan, nasehat serta doa yang selalu menyertai langkahku 3. Kakak, adik yang selalu memberi
motivasi.
(8)
commit to user
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan berkat, rahmat dan kasih sayang-Nya yang begitu besar, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) dengan judul: PEMBATALAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA DI PENGADILAN AGAMA KARANGANYAR ( STUDI KASUS PERKARA NOMOR 0679/Pdt.G/2010/PA.KRA TENTANG POLIGAMI TANPA IJIN PENGADILAN ).
Penulisan hukum (skripsi) ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian guna emperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr.dr. Much Syamsul Hadi, Sp.KJ. Selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta;
2. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret;
3. Bapak Prasetyo Hadi Purwandoko, S.H., M.S. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penelitian;
4. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin, kesempatan, dan arahan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
5. Bapak Soehartono, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan penulisan hukum (skripsi) ini;
(9)
commit to user
ix
6. Bapak Syafrudin Yudowibowo, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan penulisan hukum (skripsi) ini;
7. Ibu Sunny Ummul Firdaus, S.H.,MH. selaku Pembimbing Akademik penulis atas segala bimbingan dan pengarahan selama penulis menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum Universitaas Sebelas Maret Surakarta; 8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu hukum kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;
9. Segenap karyawan dan karyawati Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;
10. Bapak Drs. H. Ahmad Akhsin, S.H.M.H selaku Ketua Pengadilan Agama Karanganyar yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengadakan penelitian di Pengadilan Agama Karangayar dan telah membantu penulis dalam memberikan bantuan informasi mengenai data yang diperlukan penulis sehingga penyusunan skripsi ini dapat selesai; 11. Ibu Dra.Hj.Emi Suyati, S.H. selaku Hakim Pengadilan Agama Karangayar
yang telah membantu penulis dalam memberikan bantuan informasi mengenai data yang diperlukan penulis sehingga penyusunan skripsi ini dapat selesai;
12. Ibu Tri Purwani S.H,M.H atas bantuan mengurus ijin dan kesediaannya dalam memberikan bimbingan serta memberikan pengarahan;
13. Seluruh Staf dan Karyawan Pengadilan Agama Karanganyar atas waktu, informasi dan bantuannya;
14. Kedua orang tua tercinta, Papa dan mama yang telah memberikan segalanya dalam kehidupan penulis, baik materiil maupun spirituil;
15. Kakak dan adikku tercinta yang selalu memberikan doa dan memberikan semangat dalam penyusunan skripsi ini;
16. Sahabatku ( Desi, Dyah, Heru, Itang, Vicky, Venny, Rini, Vina dan Ambar ) yang selalu memberikan doa dan semangat;
(10)
commit to user
x
17. Sahabat dalam kelompok lingkaran kecil ( Aya, Fitri, Nia, Ririn, Lilin, Adel, Anita ) atas ukhuwah yang kita jalin bersama.
18. Kelurga besar FOSMI FH UNS terima kasih atas ukhuwah dan ilmu yang diberikan kepada penulis.
19. Kelurga besar KSP Principium FH UNS ( Kelompok Studi Penelitian ) tempat penulis banyak menimba ilmu di luar dari kelas pekuliahan ; 20. Seluruh teman-teman Fakultas Hukum angkatan 2007 atas kebersamaanya
menemani penulis menimba ilmu di FH UNS;
21. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penulisan hukum (skripsi) ini;
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik membangun demi perbaikan dimasa yang akan datang. Penulis berharap semoga penulisan hukum (skripsi) ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membaca dan memerlukan.
Surakarta, Januari 2011
(11)
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……… i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ………...……... HALAMAN PERNYATAAN ... ABSTRAK………. iii iv v ABSTRACT……….. MOTTO DAN PERSEMBAHAN...……… vi vii KATA PENGANTAR ………. viii
DAFTAR ISI ……… DAFTAR BAGAN……… xi xiii BAB I PENDAHULUAN……….. 1
A. Latar Belakang ...……...……… 1
B. Rumusan Masalah ……… 3
C. Tujuan Penelitian ………...…... 4
D. Manfaat Penelitian ……….... 4
E. Metode Penelitian ……… 5
F. Sistematika Penulisan Hukum ……….. 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………. 13 A. Kerangka Teori………...
1. Tinjauan tentang Peradilan Agama……….. a. Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama……... b. Asas-asas Umum Peradilan Agama………... c. Kompetensi Peradilan Agama……… d. Kewenangan Mengadili Oleh Pengadilan Agama.... e. Produk Pengadilan Agama...
13 13 13 15 19 23 25
(12)
commit to user
xii
2. Tinjauan tentang Perkawinan... a. Pengertian Perkawinan... ……… b. Tujuan Perkawinan... c. Asas-Asas Perkawinan... d. Bentuk-Bentuk Putusnya Perkawinan Menurut
Islam... 29 29 30 31 33
3. Tinjauan tentang Poligami... a. Pengertian Poligami………. b. Alasan-Alasan dan Syarat-Syarat Poligami... c. Tata Cara Poligami...
36 36 39 40
4. Tinjauan tentang Pembatalan Perkawinan……… a. Pengertian Pembatalan Perkawinan... b. Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Pembatalan Perkawinan... c. Alasan-Alasan Pembatalan Perkawinan... d. Tata Cara Pembatalan Perkawinan... e. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan...
5. Tinjauan tentang Efektifitas Hukum……….. a. Substansi... b. Struktural... c. Kultur Hukum (Budaya Hukum)...
B. Kerangka Pemikiran...
42 42 44 44 45 46 47 47 47 47 48
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 50
(13)
commit to user
xiii
B. Pembahasan ... 1. Dasar hukum putusan pembatalan perkawinan di
Pengadilan Agama Karanganyar……….... 2. Akibat hukum bagi suami istri terhadap pembatalan
perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar... 56
56
63
BAB IV PENUTUP……… 70
A. Simpulan ……...………... 70 B. Saran ………... 72
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR BAGAN
Gambar 1. Model Analisis Interaktif …..……… 10 Gambar 2. Kerangka Pemikiran………. 48
(14)
commit to user
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk Allah S.W.T yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, namun demikian manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lain ( zoon politicon ). Manusia diciptakan oleh Allah S.W.T agar beribadah dan bertaqwa kepadaNya, sesuatu hal yang bernilai ibadah salah satu di antaranya adalah perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat dan bagi umat Islam perkawinan merupakan sunatullah dan fitroh setiap manusia.
Menurut Ahmad Azhar Basyir, dengan jalan perkawinan yang sah pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang bermartabat. Pergaulan hidup rumah tangga dibina dalam suasana damai, tenteram dan rasa kasih sayang antara suami dan istri. Anak keturunan dari hasil perkawinan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan ( Ahmad Azhar Basyir, 2000 : 1 ).
Berdasarkan Pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Selain terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945, perkawinan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia melakukan perkawinan bertujuan untuk taat kepada perintah Allah
(15)
commit to user
S.W.T untuk memperoleh keturunan yang sah dengan mendirikan rumah tangga yang damai, bahagia, dan kekal.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami ( asas monogami ), namun realita yang terjadi dalam masyarakat banyak yang melakukan poligami. Salah satu kasus pembatalan perkawinan yang terjadi di Pengadilan Agama Karanganyar adalah seorang pria melakukan perkawinan dengan seorang wanita tanpa sepengetahuan dan tanpa seizin istri pertama maupun tanpa izin pengadilan, perkawinan tersebut dapat terjadi karena seorang pria tersebut memberikan keterangan yang tidak benar yang mengaku status perjaka, padahal pria tersebut telah beristri yang masih terikat perkawinan yang sah dengan istri pertama. Dalam hal ini harus dilakukan pembatalan perkawinan yang tercantum dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melakukan perkawinan. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan yang tidak memenuhi syarat tidak dengan sendirinya menjadi batal melainkan harus diputuskan oleh Pengadilan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu: 1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri. 2. Suami atau Istri.
3. Pejabat yang berwenang selama perkawinan belum diputuskan.
4. Pejabat yang ditunjuk oleh Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut tetapi hanya setelah perceraian itu putus ( Mohd. Idris Ramulyo, 1996 : 178 ).
Pembatalan perkawinan dapat membawa akibat yang jauh baik terhadap suami, istri, anak keturunanya, keluarganya maupun terhadap harta bendanya.
(16)
commit to user
Suatu pembatalan perkawinan pasti akan berakibat putusnya ikatan perkawinan serta perkawinan yang dilaksanakan tersebut tidak sah, maka perkawinan tersebut menjadi putus dan bagi para pihak yang dibatalkan perkawinannya akan kembali pada status semula karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada.
Pembatalan perkawinan bagi umat Islam dapat diajukan ke Pengadilan Agama sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang beragama Islam, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama yang berbunyi: ”Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang diatur dalam Undang-Undang ini.”
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan tersebut, maka penulis tertarik dalam penulisan hukum ini untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul ” PEMBATALAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA DI PENGADILAN AGAMA KARANGANYAR ( STUDI KASUS PERKARA NOMOR 0679/Pdt.G/2010/PA.Kra TENTANG POLIGAMI TANPA IJIN PENGADILAN ) “.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Apakah yang menjadi dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan?
2. Bagaimanakah akibat hukum bagi Suami Istri terhadap pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar?
(17)
commit to user
C.Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai penuli melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan.
b. Untuk mengetahui akibat hukum bagi Suami Istri terhadap pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam memperluas pemahaman arti pentingnya ilmu hukum dalam teori dan praktek, khususnya Hukum Acara Peradilan Agama.
b. Untuk memperoleh data dan informasi yang lengkap guna penyusunan penulisan hukum ( skripsi ) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Praktis
a. Memberikan informasi kepada pembaca dan masyarakat pada umumnya tentang dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan.
b. Mengetahui akibat hukum bagi Suami Istri terhadap pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar.
(18)
commit to user 2. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kontribusi dan pengembangan bagi ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Acara Peradilan Agama pada khusunya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan bahan referensi bagi penelitian selanjutnya.
E.Metode Penelitian
Istilah “Metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”, namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan dengan kemungkinan sebagai berikut:
1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian. 2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan.
3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur ( Soerjono Soekanto, 2010:5 ).
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan kerangka tertentu. Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala bersangkutan ( Soerjono Soekanto,2010:42-43 ).
Metode penelitian dapat diartikan sebagai cara untuk memecahkan masalah dengan jalan menemukan, mengumpulkan, menyusun data guna mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang hasilnya
(19)
commit to user
dituangkan dalam penulisan ilmiah ( skripsi ). Adapun metode penelitian dalam penulisan hukum ini meliputi:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis pada penelitian ini adalah jenis penelitian hukum empiris atau “ sosiologis “. Pada penelitian hukum empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, kemudian
dilanjutkan pada data primer di lapangan atau terhadap masyarakat” ( Soerjono Soekanto, 2010:52 ).
Penelitian ini mengkaji mengenai dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan serta akibat hukum bagi suami istri terhadap putusan pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar. Terhadap dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar, didapatkan peneliti melalui suatu proses wawancara ( interview ) yang dilakukan peneliti dengan mengajukan pertanyaan mengenai pengetahuan serta pengalaman hakim untuk memperoleh kebenaran fakta dalam kehidupan nyata yang didukung dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berlaku dan studi kepustakaan, untuk masalah mengenai akibat hukum bagi suami istri terhadap pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar tersebut didapatkan peneliti melalui suatu proses wawancara ( interview ) dengan Termohon II, maka penelitian ini adalah penelitian hukum empiris.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya ( Soerjono Soekanto,2010:10 ). Penelitian ini memberikan gambaran yang lengkap mengenai dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan serta
(20)
commit to user
akibat hukum bagi suami istri terhadap pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar tersebut.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi dalam penelitian penulisan hukum ini adalah Pengadilan Agama Karanganyar. Lokasi tersebut dipilih karena berkas perkara yang dikaji dalam penelitian hukum ini diperiksa dan diputus di Pengadilan Agama Karanganyar, sehingga berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
4. Jenis Data
Secara umum, di dalam penelitian biasanya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat ( data empiris ) dan dari bahan-bahan pustaka. Data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dinamakan data primer, sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder ( Soerjono Soekanto, 2010:51 ).
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah: a. Data Primer
Data primer merupakan keterangan atau fakta yang diperoleh secara langsung melalui penelitian lapangan atau di lokasi penelitian. Data primer merupakan data yang dikumpulkan dari sejumlah fakta atau keterangan yang diperoleh secara langsung melalui penelitian lapangan. Dalam penelitian ini, data primer berupa hasil wawancara dengan Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Nomor 0679/Pdt.G/2010/PA.Kra serta hasil wawancara dengan Termohon II ( istri kedua yang dibatalkan perkawinannya ).
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan, melainkan diperoleh dari studi kepustakaan, yang terdiri Putusan Pengadilan Agama Karanganyar Nomor 0679/Pdt.G/2010/PA.Kra serta dari peraturan perundang-undangan,
(21)
commit to user
buku-buku, dokumen, bahan-bahan kepustakaan dan sumber tertulis lainnya.
5. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Sumber Data Primer
Merupakan sumber data yang berasal dari pihak-pihak yang ada hubungannya langsung dengan masalah dalam penelitian. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah wawancara dengan hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Nomor 0679/Pdt.G/2010/PA.Kra di Pengadilan Agama Karanganyar yang mengetahui dan memiliki pengalaman mengenai obyek penelitian serta wawancara dengan Termohon II ( istri kedua yang dibatalkan perkawinannya ).
b. Sumber Data Sekunder
Merupakan sumber data yang mendukung sumber data primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti penulis, antara lain Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, bahan hukum sekunder berupa buku-buku di bidang hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti dan berkas perkara serta putusan Pengadilan Agama Karanganyar Nomor 0679/Pdt.G/2010/PA.Kra tentang pembatalan perkawinan karena poligami tanpa ijin Pengadilan.
6. Teknik Pengumpulan Data a. Interview ( Wawancara )
Wawancara merupakan cara memperoleh data dengan cara melakukan tanya jawab secara mendalam dengan sumber data primer,
(22)
commit to user
yaitu hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Nomor 0679/Pdt.G/2010/PA.Kra di Pengadilan Agama Karanganyar dan Termohon II ( istri kedua yang dibatalkan perkawinannya ). Dengan teknik wawancara mendalam ini akan mengungkap pengalaman dan pengetahuan ekspilisit dari hakim di Pengadilan. Dengan ini penulis membuat responden lebih terbuka dan leluasa dalam memberikan informasi atau data untuk mengemukakan pengetahuan dan pengalamannya terutama yang berkaitan dengan dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan serta akibat hukum bagi suami istri terhadap pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar tersebut.
b. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data sekunder, yaitu dengan mempelajari buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi, hasil penelitian terdahulu, dan bahan kepustakaan lain yang digunakan sebagai acuan penulis yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
7. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang akan digunakan penulis dalam penelitian ini adalah ”analisa kualitatif” yaitu suatu cara penelitian yang menggunakan dan menghasilkan data secara deskriptif analisis. Artinya apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilaku yang nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh ( Soerjono Soekanto, 2010:250 ). Jadi dalam hal ini proses pengumpulan data dan analisa data dilakukan secara bersamaan. Teknik analisa data meliputi tiga tahapan, yaitu mereduksi data, menyajikan data, dan menarik kesimpulan dengan verifikasinya. Di antaranya tahap-tahap tersebut dilakukan pembentukan siklus sehingga data yang terkumpul direduksi lalu ditarik sebuah kesimpulan/konklusi.
(23)
commit to user
Menurut Heribertus Sutopo, ketiga komponen tersebut adalah : a. Reduksi Data
Merupakan proses seleksi, pemfokusan dan penyederhanaan dari data-data sehingga kesimpulan akhir penelitian dapat dilakukan.
b. Penyajian Data
Merupakan suatu rangkaian informasi, deskripsi dalam bentuk narasi yang memungkinkan kesimpulan penelitian yang dapat dilakukan. Sajian data harus mengacu pada rumusan masalah sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang diteliti.
c. Kesimpulan dan Verifikasi
Dari permulaan data, seorang penganalisis kualitatif melakukan pencatatan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi atau pernyataan, alur sebab akibat dan proporsi. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung ( Heribertus Sutopo, 1988 : 34-36 ).
Untuk lebih jelasnya, analisis data kualitatif model interaktif dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:
Gambar 1. Model Analisis Interaktif
( Heribertus Sutopo . 1988. Pengantar Penelitian Kualitatif )
Maksud model analisis interaktif ini, pada waktu pengumpulan data peneliti selalu membuat reduksi dan sajian data. Reduksi dan sajian data
Reduksi Data
Penarikan Kesimpulan/ Verifikasi
Sajian Data Pengumpulan
(24)
commit to user
harus disusun pada waktu peneliti sudah memperoleh unit data dari sejumlah unit yang diperlukan dalam penelitian. Pada waktu pengumpulan data sudah berakhir, peneliti mulai melakukan usaha untuk menarik kesimpulan dan verifikasinya berdasarkan pada semua hal yang terdapat dalam reduksi maupun sajian datanya. Jika kesimpulan dirasa kurang mantap karena kurangnya rumusan dalam reduksi maupun sajiannya, maka peneliti dapat kembali melakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah terfokus untuk mencari pendukung kesimpulan yang ada dan juga bagi pendalaman data ( Heribertus Sutopo, 1988 : 38 ).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sitematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baku dalam penulisan hukum, maka penulis menyiapkan suatu sitematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 ( empat ) bab, yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Pada bab Pendahuluan ini penulis memberikan gambaran awal tentang penelitian meliputi latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitan, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Dalam bab ini diuraikan mengenai tinjauan kepustakaan yang terdiri dari kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori berisi tentang tinjauan mengenai Pengadilan Agama, Perkawinan, Poligami, Pembatalan Perkawinan, dan
(25)
commit to user
Efektifitas Hukum. Pada kerangka pemikiran berisi mengenai konsep pemikiran penulis tentang pembatalan perkawinan dan akibat hukumnya menurut Undang-Undang Perkawinan.
BAB III : Hasil Penelitian dan Pembahasan
A. Hasil Penelitian
Yang menjadi dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan tersebut terdapat di dalam Pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam yaitu seorang suami melakukan poligami tanpa ijin Pengadilan. Terhadap putusan pembatalan perkawinan tersebut menimbulkan akibat hukum terhadap suami istri; anak hasil perkawinan dari pihak yang dibatalkan; harta benda; dan pihak ketiga.
B. Pembahasan
Pada bab ini dijelaskan dan diuraikan mengenai pembahasan penulis yang meliputi:
1. Dasar hukum putusan pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar.
2. Akibat hukum bagi suami istri terhadap pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar.
BAB IV : Penutup
Pada bab ini penulis menyimpulkan hasil penelitian dan pembahasan, serta memberikan saran-saran sebagai sarana evaluasi terutama terhadap temuan-temuan selama penelitian yang menurut penulis memerlukan perbaikan.
Daftar Pustaka Lampiran
(26)
commit to user
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Peradilan Agama
a. Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama
Hukum Acara Peradilan Agama ialah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara mentaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim atau cara bagaimana bertindak di muka Pengadilan Agama dan bagaimana cara hakim bertindak agar hukum itu berjalan sebagaimana mestinya ( H.A.Mukti Arto, 1996:9 ).
Sumber hukum acara Peradilan Agama terdapat dalam pasal 54 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menetapkan tentang Hukum Acara yang berlaku pada peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini.
1) Peraturan Perundang-undangan Tentang Hukum Acara Perdata yang Berlaku Di Lingkungan Peradilan Agama dan Di Peradilan Umum, yaitu:
a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perkawinan dan Pelaksanaannya. b) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
c) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
2) Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku Di Peradilan Umum, yaitu:
(27)
commit to user
a) HIR ( Het Herziene Inlandsche Reglement ) atau disebut juga RIB (Reglemen Indonesia yang diperbarui).
b) RBG ( Rechts Reglement Buitengewesten ) atau disebut juga Reglemen untuk daerah seberang, maksudnya untuk daerah luar jawa dan madura.
c) RSV ( Reglement opde Burgelijke Rechts Vordering ) yang zaman jajahan Belanda dahulu berlaku untuk Road van justitie.
d) BW ( Burgeljke Wetboek ) atau disebut juga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Eropa.
3) Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku Khusus Di Pengadilan Agama, yaitu:
a) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. b) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
c) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. d) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat.
e) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
f) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Islam. 4) Sumber-Sumber Lainnya
a) Peraturan Mahkamah Agung RI. b) Surat Edaran Mahkamah Agung RI. c) Yurisprudensi Mahkamah Agung RI.
d) Kitab-kitab Fikih dan sumber-sumber tidak tertulis lainnya. Hal ini sejalan dengan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa: Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat ( Mardani, 2009:61-62).
(28)
commit to user
Perkara-perkara dalam bidang perkawinan berlaku hukum acara khusus dan selebihnya berlaku hukum acara perdata pada umumnya, hukum acara khusus ini meliputi kewenangan relatif Pengadilan Agama, pemanggilan, pembuktian, biaya perkara serta pelaksanaan putusan ( Mukti Arto,1996:9 ). Selain dari Hukum Acara Perdata di Pengadilan Umum yang berlaku di Pengadilan Agama, Hukum Acara Perdata khusus yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo.Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 yang menjadi pijakan Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, adalah bidang acara perdata yang menyangkut persengketaan dalam perkawinan. Hukum acara persengketaan dalam bidang perkawinan diatur dalam Pasal 65 sampai Pasal 91 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
b. Asas-asas Umum Peradilan Agama
Asas umum Peradilan Agama adalah asas hukum tertentu dalam bidang hukum acara yang secara khusus dimiliki oleh Pengadilan Agama. Asas-asas ini untuk sekedar membedakan dengan asas khusus yang melekat pada masalah tertentu merupakan pedoman umum dalam melaksanakan penerapan Undang-undang dan keseluruhan rumusan pasal. Oleh karena itu, pendekatan interprestasi, penerapan, dan pelaksanaanya tidak boleh menyimpang dan bertentangan dengan jiwa dan semangat yang tersurat dan tersirat dalam setiap asas umum, di antaranya yaitu:
1) Asas Personalitas KeIslaman.
Dalam asas ini dinyatakan bahwa Pengadilan Agama merupakan Pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus, dan meyelesaikan perkara-perkara antar orang-orang yang beragama Islam. Asas personalitas keIslaman yang melekat pada Peradilan Agama yaitu di antaranya:
(29)
commit to user
a) Pihak-pihak yang berperkara atau bersengketa harus sama-sama pemeluk agama Islam.
b) Perkara-perkara yang dipersengketakan harus mengenai perkara-perkara dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, zakat, wakaf, sedekah dan ekonomi syari’ah.
c) Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam.
Patokan asas personalitas keIslaman didasarkan pada patokan umum dan patokan pada saat terjadi hubungan hukum. Patokan umum berarti apabila seseorang telah mengaku beragama Islam maka bagi dirinya telah melekat asas personalitas keIslaman, patokan saat terjadinya hubungan hukum adalah pada saat terjadi hubungan hukum kedua belah pihak yang berperkara sama-sama beragama Islam dan hubungan hukum yang mereka laksanakan berdasarkan hukum Islam, maka sengketanya mutlak dan absolut tunduk menjadi kewenangan peradilan agama.
2) Asas Kebebasan/Kemerdekaan.
Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, asas kebebasan diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, yaitu Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Tujuan memberikan kemerdekaan bagi kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan fungsi peradilan yaitu agar hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dapat ditegakkan serta benar-benar dapat melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut, salah satu prinsip penting
(30)
commit to user
negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
3) Asas Upaya Mendamaikan.
Asas ini mewajiban hakim untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara. Selama perkara belum diputus, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan pada semua tingkat pengadilan. Dengan adanya perdamaian berdasarkan kesadaran para pihak yang berperkara, tidak ada pihak yang dimenangkan atau dikalahkan, sehingga kedua belah pihak pulih kembali dan suasana rukun dan persaudaraan serta tidak dibebani dendam yang berkepanjangan. Peranan hakim dalam mendamaikan para pihak yang berperkara terbatas pada anjuran, nasehat, penjelasan, dan memberi bantuan dalam perumusan sepanjang itu diminta oleh kedua belah pihak.
4) Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum di Kecualikan Dalam Perceraian.
Asas ini menerangkan bahwa Undang-Undang menghendaki agar jalannya persidangan tidak hanya diketahui oleh para pihak yang berperkara tetapi juga oleh publik. Tujuannya adalah agar persidangan berjalan secara Fair, menghindari adanya pemeriksaan yang sewenang-wenanng atau menyimpang. Pada prinsipnya sidang pemeriksaan di Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menetukan lain atau hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang memerintahkan bahwa pemeriksaan keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup. Ketentuan sidang terbuka untuk umum dikecualikan dalam perkara perceraian, hal ini diatur dalam Pasal 80 ayat (2) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
(31)
commit to user
Agama jo. Pasal 33 dan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan pemeriksaan perkara perceraian tertutup untuk umum akantetapi dalam pembacaan putusan terbuka untuk umum.
5) Asas Legalitas.
Pengadilan mengadili menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang. Asas legalitas mengandung pengertian rule of law dimana pengadilan berfungsi dan berwenang menegakkan hukum harus berlandaskan hukum serta tidak bertindak di luar hukum. Hakim dilarang menjatuhkan hukuman yang bertentangan dengan hukum.
6) Asas Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan.
Sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan efektif. Yang dimaksud dengan biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat, namun demikian dalam pemeriksaan perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan. Tujuannya adalah agar suatu proses pemeriksaan di pengadilan relatif tidak memakan waktu lama sesuai dengan kesederhanaan hukum acara itu sendiri, serta proses persidangan yang tidak berbelit-belit dan sering mundur dalam jadwal persidangan.
7) Asas Equality.
Asas ini artinya adalah persamaan hak dan kedudukan di depan hukum sehingga tidak boleh ada diskriminasi, yang membedakan kedudukan orang di depan sidang pengadilan. Hakim tidak boleh membeda-bedakan perlakuan pelayanan berdasarkan status sosial, ras agama, suku, jenis kelamin, dan budaya.
8) Asas Membantu Para Pencari Keadilan.
Asas ini menjelaskan bahwa hakim tidak hanya berfungsi sebagai pemimpin jalannya persidangan dan mencari serta
(32)
commit to user
menentukan hukum penyelesaian suatu sengketa atau perkara yang diajukan kepadanya. Namun, hakim juga berfungsi memberi solusi terbaik sekaligus memberi bantuan kepada para pihak yang berperkara secara obyektif dan menjunjung tinggi rasa keadilan serta berusaha keras mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk terwujudnya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. ( Mardani, 2009: 37-45 ).
c. Kompetensi ( wewenang ) Peradilan Agama
Kompetensi ( wewenang ) Peradilan Agama terdiri atas kompetensi absolut dan kompetensi relatif:
1) Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut adalah kekuasaan Pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan Pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan Pengadilan lainnya. Misalnya: Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam sedangkan bagi yang selain Islam itu menjadi kewenangan Peradilan Umum, jadi terhadap kekuasaan absolut ini Pengadilan Agama harus meneliti perkara yang diajukan kepadanya apakah termasuk kekuasaan absolutnya atau bukan. ( Roihan A. Rasyid, 1991:27 ).
Kekuasaan absolut Pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama ada dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yaitu perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqoh dan ekonomi syari’ah. Adapun penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai berikut :
Pasal 49
Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari'ah, melainkan juga di bidang ekonomi
(33)
commit to user
syari'ah lainnya. Yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam" adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.
Huruf a
Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari'ah, antara lain:
1. Izin beristri lebih dari seorang;
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3. dispensasi kawin;
4. pencegahan perkawinan;
5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah; 6. pembatalan perkawinan;
7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri; 8. perceraian karena talak;
9. gugatan perceraian;
10. penyelesaian harta bersama; 11. penguasaan anak-anak;
12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya;
13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14. putusan tentang sah tidaknya seorang anak; 15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; 16. pencabutan kekuasaan wali;
17. penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
18. penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
19. pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20. penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;
21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
(34)
commit to user
22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain. Huruf b
Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalap tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "wakaf' adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari'ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata'ala.
(35)
commit to user Huruf h
Yang dimaksud dengan "shadaqah" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi:
a. bank syari'ah;
b. lembaga keuangan mikro syari'ah. c. asuransi syari'ah;
d. reasuransi syari'ah; e. reksa dana syari'ah;
f. obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah;
g. sekuritas syari'ah; h. pembiayaan syari'ah; i. pegadaian syari'ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan k. bisnis syari'ah.
2) Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif adalah kekuasaan mengadili berdasarkan wilayah atau daerah. Kekuasaan dan wewenang Pengadilan Agama sesuai tempat dan kedudukannya, Pengadilan agama berkedudukan di kota atau ibu kota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kota atau kabupaten. Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibu kota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah Propinsi. Kompetensi relatif Peradilan Agama merujuk pada Pasal 118 ayat (1) HIR menganut asas actor sequitur forum rei ( bahwa yang berwenang adalah pengadilan di tempat kediaman tergugat ). Namun, ada beberapa pengecualian yang tercantum dalam Pasal 118 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) yaitu sebagai berikut:
a) Apabila tergugat lebih dari satu, maka gugatan yang diajukan kepada pengadilan di tempat tinggal Penggugat.
(36)
commit to user
b) Apabila tempat tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan kepada pengadilan tempat tinggal penggugat.
c) Apabila gugatan mengenai benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan kepada peradilan di wilayah hukum dimana barang itu terletak.
d) Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, maka gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan tempat tinggal yang dipilih dalam akta tersebut ( Mardani,2009:53-54 ).
Di dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama kompetensi relatif ada beberapa perbedaan dalam pengaturannya, dalam perkara bidang perkawinan yaitu cerai talak dan cerai gugat diajukan ke Pangadilan Agama adalah diatur secara khusus dalam Pasal 66 dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sedangkan untuk perkara waris, hibah, wakaf, wasiat, shadaqah, zakat, infak dan ekonomi syari’ah, gugatan atau permohonan diajukan ke Pengadilan Agama sesuai ketentuan dalam hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum yaitu diatur dalam Pasal 118 HIR/ 142 Rbg ( Afandi Mansur, 2009:77 ).
d. Kewenangan Mengadili Oleh Pengadilan Agama
Kewenangan lingkungan Peradilan Agama adalah sebagai salah satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum. Berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 yang berbunyi: “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”.
(37)
commit to user
Kewenangan mengadili di Pengadilan Agama ada dua yaitu meliputi:
1) Golongan Rakyat Tertentu.
Asas personalitas keIslaman yang berbunyi “Peradilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Dalam penjelasan umumnya dinyatakan bahwa Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam. Karenanya asas ini dapat dijadikan acuan aturan mengenai siapa saja yang dapat mengajukan perkara di pengadilan agama. Asas personalitas keIslaman yang melekat pada pengadilan agama yaitu sebagai berikut ( Mardani, 2009: 37-38 ):
a) Pihak-pihak yang berperkara/bersengketa harus sama-sama pemeluk agama Islam.
b) Perkara-perkara yang di persengketakan harus mengenai perkara-perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, zakat, wakaf, sedekah, dan ekonomi Syariah.
c) Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam dan diselesaikan berdasarkan hukum Islam, maka para pihak tetap tunduk kepada kewenangan Pengadilan Agama walaupun pada saat terjadi sengketa salah satu pihak sudah beralih ke agama lain.
2) Perkara-perkara Tertentu.
Berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, diketahui bahwa perkara-perkara tertentu yang menjadi tugas dan wewenang Pengadilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan meyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,
(38)
commit to user
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, shadaqoh, dan ekonomi Syariah. Jadi perkara-perkara di luar perkara tersebut bukan menjadi wewenang dari Pengadilan Agama. Pengadilan Agama juga mempunyai kewenangan memberikan keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu sholat serta memberi penetapan “itsbat” terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan bulan Syawal tahun Hijriah dalam rangka Mentri Agama mengeluarkan penetapan secara rasional untuk penetapan I ( satu ) Ramadhan dan I ( satu ) Syawal.
e. Produk Pengadilan Agama
Di dalam Pengadilan Agama terdapat dua jenis perkara, yaitu jenis perkara voluntair dan contentius. Terdapat dua cara mengajukan perkara di Pengadilan Agama, untuk perkara contentious diajukan dalam bentuk gugatan dan untuk perkara voluntair diajukan dalam bentuk permohonan.
Permohonan ialah suatu surat pemohonan yang di dalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh suatu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung suatu sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat dianggap suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya. Dalam permohonan ada istilah pemohon dan termohon. Peradilan perdata yang menyelesaikan perkara pemohonan disebut juirisdictio voluntaria ( peradilan yang tidak sebenarnya ). Disebut demikian karena ketika itu sebenarnya hanya menjalankan fungsi executive power bukan yudicative power. Namun, di lingkungan Peradilan Agama dalam perkara perkawinan, walaupun disebut permohonan tidak mutlak berarti voluntaria. Misalnya, permohonan cerai talak dan izin poligami, walaupun menggunakan istilah permohonan tetapi termasuk perkara contentiosa. Suami berkedudukan
(39)
commit to user
sebagai pemohon, sedangkan istri berkedudukan sebagai termohon ( Mardani, 2009: 80-81 ).
Produk Peradilan Agama ada 2 yaitu: 1) Putusan ( Vonis / Al-qadha’u )
Putusan yaitu pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan ( kontentius ). a) Macam-Macam Putusan:
(1) Putusan akhir.
Putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik yang telah melalui semua tahap pemeriksaan maupun yang tidak atau belum menempuh semua tahap pemeriksaan. Putusan yang dijatuhkan sebelum sampai tahap akhir dari tahap pemeriksaan tetapi telah telah mangakhiri pemeriksaan yaitu:
(a) Putusan Gugur.
(b) Putusan verstek yang tidak diajukan verzet.
(c) Putusan yang menyatakan Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa ( H.A. Mukti Arto, 1996:246 ).
Dilihat dari sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan putusan akhir itu terbagi menjadi 3 ( tiga ) macam yaitu:
(a) Putusan Deklaratoir
Putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai suatu keadaan yang resmi menurut menurut hukum. Putusan ini terjadi dalam dalam putusan permohonan talak, gugat cerai karana perjanjian ta’lik talak, penetapan ahli waris yang sah, penetapan adanya harta bersama, penetapan hak perawatan anak oleh ibunya, perkara volunter dan seterusnya.
(40)
commit to user (b) Putusan Konstitutif
Putusan yang menciptakan dan menimbulkan keadaan baru, berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya. Putusan konstitutif terapat pada putusan pembatalan perkawinan, putusan verstek, guagatan cerai bukan karena ta’lik talak dan seterusnya.
(c) Putusan Kondemnatoir
Putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan untuk memenuhi prestasi. Putusan ini mempunyai kekuatan eksekutorial, yang bila terhukum tidak mau melaksanakan isi putusan secara sukarela, maka atas permohonan penggugat putusan dapat dilaksanakan dengan paksa oleh Pengadilan Agama yang memutusnya. Putusan ini diterapkan diantaranya pada penyarahan pembagian harta bersama, penyerahan hak
nafkah iddah, mut’ah dan sebagainya ( Mardani,2009:120-121 ).
(2) Putusan sela.
Putusan yang dijatuhkan masih dalam proses persidangan sebelum putusan akhir dibacakan dengan tujuan untuk memperjelas dan memperlancar persidangan.
(3) Putusan serta-merta.
Putusan pengadilan agama yang pada putusan tersebut oleh salah satu pihak atau para pihak yang berperkara dilakukan upaya hukum baik verzet, banding maupun kasasi dan memakan waktu relatif lama, lalu ada suatu gugatan dari salah satu pihak, agar putusan yang telah dijatuhkan oleh pengadilan agama dilaksanakan terlebih dahulu, tidak lagi menunggu putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
(41)
commit to user
b) Kekuatan Hukum Putusan
Putusan pengadilan mempunyai 3 ( tiga ) kekuatan, yaitu sebagai berikut:
(1) Kekuatan Mengikat
Putusan hakim mengikat para pihak yang berperkara. Kekuatan mengikat suatu putusan ada yang dalam arti positif dan dalam arti negatif. Dalam arti positif, yaitu bahwa yang telah diputus hakim harus dianggap benar. Dalam arti negatif, yaitu bahwa hakim tidak boleh memutus lagi perkara yang sama, pokok perkara yang sama, dan pihak yang sama ( nebis in idem ).
(2) Kekuatan Pembuktian
Artinya putusan hakim telah memperoleh kepastian hukum, bukti kebenaran hukum, dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta dapat dijadikan bukti dalam sengketa perdata yang sama.
(3) Kekuatan Eksekutorial
Yaitu kekuatan untuk dilaksanakan putusan peradilan itu secara paksa oleh aparat negara.
2) Penetapan ( Itsbat / Beschiking )
Adapun yang dimaksud dengan penetapan adalah produk Peradilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya ( jurisdictio voluntaria ), karena hanya ada pemohon yang memohon untuk ditetapkan tentang sesuatu, sedangkan ia tidak berperkara dengan lawan maka diktum penetapan tidak pernah berbunyi menghukum melainkan hanya bersifat menyatakan ( declaratoir ) dan menciptakan ( constitutoir ). Misalnya penetapan dalam perkara dispensasi nikah, izin nikah, wali adhal, perwalian, itsbat nikah, dan sebagainya. Pada penetapan hanya ada pemohon tidak ada lawan hukum. Sedangkan kekuatan hukum penetapan adalah berlaku untuk pihak-pihak maupun untuk dunia luar ( pihak ketiga ) tetapi
(42)
commit to user
penetapan hanya berlaku untuk pemohon sendiri, untuk ahli warisnya dan untuk orang yang memperoleh hak daripadanya.
2. Tinjauan tentang Perkawinan
a. Pengertian Perkawinan
Perkawinan mempunyai beberapa pengertian baik menurut Perundang-undangan, maupun menurut Hukum Islam:
1) Perkawinan Menurut Perundang-undangan.
Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor l Tahun 1974 dinyatakan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor l Tahun 1974 tidak memandang perkawinan hanya sebagai ikatan perdata saja, akan tetapi juga merupakan perikatan keagamaan. Hal ini dapat dilihat dari tujuan perkawinan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor l Tahun 1974 ” bahwa perkawinan itu bertujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pengertian perkawinan yang sah menurut Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya serta tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan dalam Pasal 26 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa “Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata”. Hal tersebut berarti KUHPerdata hanya mengakui perkawinan perdata yaitu perkawinan yang sah adalah perkawinan yang memenuhi syarat sebagaimana ditentukan oleh KUH Perdata, sehingga terlepas dari peraturan-peraturan yang diadakan oleh suatu agama tertentu.
(43)
commit to user 2) Perkawinan Menurut Hukum Islam.
Perkawinan dalam Islam adalah akad yang menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim untuk memenuhi tujuan hidup berumah tangga sebagai suami isteri yang sah dengan memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh syara. Dalam Kompilasi Hukum Islam Buku I Hukum Perkawinan pada Pasal 2 menyatakan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah.
Arti perkawinan menurut hukum Islam dapat dilihat di dalam AlQur'an, Surat Ar-Ruum ayat ( 21 ) yang berbunyi: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang”.
Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau ikatan keperdataan biasa, akan tetapi perkawinan mempunyai nilai ibadah artinya sebagai akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah, untuk mendapatkan keturunan, untuk mencegah maksiat, dan untuk membina keluarga yang damai dan melaksanakannya merupakan suatu ibadah ( http://eprints.undip.ac.id /16842/1/BUDI_CAHYONO ).
b. Tujuan Perkawinan
Tujuan Perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh Syari’ah ( Soemiyati, S.H, 1982:12 ).
(44)
commit to user
Didalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami istri adalah untuk membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pembentukan keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan. Dengan demikian yang menjadi tujuan perkawinan menurut perundang-undangan adalah untuk kebahagiaan suami istri, untuk mendapatkan keturunan dan menegakkan keagamaan ( Hilman Hadikusuma:1990,22 ).
Selain itu adapula pendapat yang mengatakan bahwa ” Tujuan perkawinan ialah menurut perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur serta untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia, dan sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya didunia ini juga mencegah perzinahan agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa
bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat” ( Mohd. Idris Ramulyo, 1996:26-27 ).
c. Asas-asas Perkawinan
Beberapa asas yang berkenaan dengan perkawinan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu antara lain:
1) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
2) Sahnya perkawinan bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3) Undang-Undang Perkawinan ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari satu.
(45)
commit to user
4) Calon suami/isteri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik.
5) Menganut prinsip untuk mempersulit perceraian.
6) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam pergaulan masyarakat maupun dalam kehidupan rumah tangga.
Menurut Hukum Islam, asas-asas dalam perkawinan adalah sebagai berikut:
1) Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang akan melaksanakan perkawinan.
2) Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang laki-laki sebab ada ketentuan larangan perkawinan antara laki-laki dan wanita yang harus diindahkan.
3) Perkawinan bertujuan membentuk satu keluarga atau rumah tangga yang tenteram, damai dan kekal selama-lamanya.
4) Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.
5) Hak dan kewajiban suami isteri adalah seimbang dalam rumah tangga dimana tanggung jawab keluarga ada pada suami.
6) Asas perkawinan dalam hukum Islam adalah monogami namun hukum Islam tidak menutup rapat kemungkinan untuk berpoligami sepanjang persyaratan keadilan diantara isteri dapat terpenuhi dengan baik ( Penjelasan Umum Mengenai Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ).
Pengertian dari monogami adalah suatu asas dalam Undang-Undang Perkawinan menurut Pasal 3 ayat ( 1 ) Undang-Undang-Undang-Undang Nomor l Tahun 1974 dikatakan bahwa:
“ Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami ”.
(46)
commit to user
Kesimpulannya perkawinan menganut asas monogami tetapi Undang-Undang Perkawinan memberikan pengecualian kepada mereka yang menurut agama dan hukumnya mengizinkan seseorang boleh beristeri lebih dari seorang. Undang-Undang memberikan syarat yang cukup berat yaitu berupa pemenuhan dan syarat yang tertentu serta izin dari Pengadilan. Dapat dilihat dalam Pasal 3 ayat (2) Undang- Undang Nomor l Tahun 1974 yang berbunyi:
“Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.
Dengan adanya pasal tersebut berarti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menganut asas monogami terbuka karena tidak menganut kemungkinan dalam keadaan terpaksa seorang suami dapat melakukan poligami dengan izin Pengadilan apabila ada alasan yang dapat dibenarkan dan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Seperti yang ditegaskan dalam firman Allah dalam Surat An- Nisa ayat ( 3 ) yang berbunyi:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kami miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya ”.
d. Bentuk-Bentuk Putusnya Perkawinan Menurut Hukum Islam
Menurut Djamil Latief, putusnya perkawinan menurut hukum Islam disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: ( Djamil latief, 1985:38 ) 1) Kematian suami atau istri
Kematian suami atau istri dalam arti hukum adalah putusnya ikatan perkawinan. Jika istri yang meninggal dunia seorang suami boleh kawin lagi dengan segera, tetapi seorang janda yang kematian suami, harus menunggu jangka lewatnya waktu tertentu sebelum dapat kawin lagi, jangka waktu ini disebut iddah.
2) Perceraian
(47)
commit to user (1) Talak
Perkataan talak berasal dari kata thallaqa, berarti melepaskan ( umpama seekor burung ) dari sangkarnya atau melepaskan ( seekor binatang ) dari rantainya. Jadi menthalaq istri berarti melepaskan istri atau membebaskannya dari ikatan perkawinan atau menceraikan istri.
(2) Ila’
Mengila’ istrinya ialah seorang suami bersumpah tidak akan menyetubuhi istrinya. Dengan sumpah ini berarti seorang istri telah ditalak oleh suami.
(3) Dhihar
Suatu talak yang jatuh karena ucapan atau sumpah suami yang mempersamakan istrinya seperti ”punggung ibunya” yang artinya suami tidak akan lagi mengumpuli istrinya.
Apabila suami sebelum empat bulan mencabut ucapannya dan kemudian rujuk maka suami tersebut diwajibkan membayar denda, sedangkan apabila melebihi empat bulan tidak dicabut ucapannya maka jatuhlah talak. b) Tindakan pihak istri
Dengan Tafwild yaitu pendelegasian kekuasaan kepada seseorang untuk menjatuhkan talaknya kepada istrinya. Seseorang itu bisa orang lain dan bisa istrinya sendiri. Dalam hal ini terdapat kemungkinan terjadinya perceraian oleh tindakan pihak istri. c) Persetujuan kedua belah pihak
(1) Khulu’
Sering diistilahkan talak tebus artinya talak yang terjadi karena inisiatif pihak istri dengan ketentuan istri harus membayar ’iwald kepada suami. Terjadinya talak ini dan besarnya ’iwald harus berdasarkan kesepakatan dan kerelaan suami istri.
(48)
commit to user
(2) Mubara-ah
Perceraian yang terjadi dengan persetujuan kedua belah pihak dari suami istri yang sama-sama ingin memutuskan ikatan perkawinan dan kedua belah pihak telah merasa puas hanya dengan kemungkinan terlepas dari ikatan masing-masing.
d) Keputusan Hakim (1) Ta’lik talaq
Ta’lik talaq ialah suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan sebelumnya.
(2) Fasakh
Yaitu rusak atau batalnya perkawinan atas permintaan yang salah satu pihak kepada pengadilan agama karena ditemukan cela salah satu pihak yang merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum berlangsungnya pernikahan.
(3) Syiqaq
Yaitu talak yang terjadi karena perselisihan suami istri yang tidak dapat didamaikan oleh hakim yang ditunjuk dari pihak suami dan dari pihak istri.
(4) Li’an
Adalah putusnya perkawinan karena menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.
Berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan, suatu ikatan perkawinan dapat putus karena:
1) kematian; 2) perceraian,dan
(49)
commit to user
3. Tinjauan tentang Poligami
a. Pengertian Poligami
Poligami berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua pokok kata yaitu polu dan gamein. Polu berarti banyak, gamein berarti kawin. Jadi poligami berarti perkawinan banyak. Dalam bahasa Indonesia disebut "Permaduan". Poligami dirumuskan sebagai sistem perkawinan
antara seorang pria dengan lebih dari seorang isteri ( http://eprints.undip.ac.id/18175/1/ Mochamad Soleh Alaidrus ).
Nussbaum argues that polygamy is ‘a structurally unequal practice’. This inequality lies in the fact that polygamy as practised today normally permits only men to marry multiple wives and it does not normally permit women to marry more than one husband. In fact, Nussbaum argues that ‘the most convincing’ argument againstpolygamy is that ‘men are permitted plural marriages, and women are not’. Javaid Rehman argues given the changes in the social, political and legal environment, the continuation of the practice of polygamy demands a substantial explanation. Many of its historic reasons within the Islamic world for justifying polygamous marriages ( for example, the surplus of women and loss of men through battles and armed conflict) are no longer tenable ( 2007: 115 ) ( Thom Brooks New Castle University, New Castle Law School, Philosophical Topics, Vol.37 No.2 PP.109-122:2009 ).
Nussbaum berpendapat bahwa poligami adalah praktek yang secara struktural tidak sama. Hal ini terletak pada ketidaksetaraan kenyataan bahwa poligami yang sekarang dipraktekkan biasanya izin hanya laki-laki untuk menikah banyak istri dan biasanya tidak mengizinkan wanita untuk menikah lebih dari satu suami. Selain itu menurut pendapat Javaid Rehman mengingat perubahan lingkungan sosial, politik dan hukum, kelanjutan praktek poligami menuntut penjelasan substansial. Dalam dunia Islam dapat membenarkan
(1)
commit to user
perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam tidak efektif di dalam masyarakat khususnya dalam perkara nomor 0679/Pdt.G/2010/PA.Kra, karena dalam perkara tersebut Termohon I ( suami ) melakukan poligami tanpa ijin Pengadilan dan tidak melaksanakan kewajibannya sebagai ayah kandung dari Kelvin ( anak dari hasil perkawinannya dengan Termohon II ) sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam.
b. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan mengenai harta bersama tersebut suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Terhadap harta bersama ini berlaku ketentuan bahwa jika terjadi perceraian hidup, maka masing-masing ( janda dan duda ) berhak mendapatkan sebagian atau separoh dari harta bersama mereka. Jadi terhadap perkawinan yang fasakh karena melanggar larangan perkawinan, maka masing-masing
pihak mendapatkan separoh dari harta bersama mereka ( Jurnal Hukum
Pro Justisia, Volume 26 No 4. http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/
26408371390.pdf ).
Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan Termohon II mengenai pembagian harta bersama tidak dilakukan oleh Termohon I dan Termohon II. Menurut penulis, seharusnya Termohon I dan Termohon II melakukan pembagian harta bersama seperti yang diamanatkan dalam Pasal 28 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana putusan pembatalan perkawinan
(2)
commit to user
tidak berlaku surut terhadap suami istri yang bertindak dengan itikad baik akan tetap memperoleh hak-haknya yang diperoleh dari perkawinan yang dibatalkan tersebut seperti haknya dalam suatu perkawinan yang sah.
Pembagian harta bersama untuk masing-masing pihak harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku seperti yang disebutkan dalam Pasal 65 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa ” Semua istri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing ”. Sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (1) huruf b dan Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam disebutkan apabila suatu pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan yang lebih dahulu, maka bagi para pihak yang perkawinannya dibatalkan tersebut tidak berhak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan keduanya, atau seterusnya. Hal ini karena harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam uraian tersebut sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Ketentuan mengenai perbuatan keperdataan yang dilakukan oleh para pihak yang dibatalkan perkawinannya dengan pihak ketiga diatur dalam Pasal 98 KUHPerdata disebutkan bahwa pembatalan suatu perkawinan tidak akan merugikan hak-hak pihak ketiga yang ada hubungan hukum dengan bekas suami istri pada waktu masih ada perkawinan tersebut, selain itu disebutkan juga dalam Pasal 75 huruf c Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik sebelum putusan pembatalan perkawinan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap. Jadi segala perbuatan perdata atau perikatan yang diperbuat suami isteri sebelum pembatalan perkawinan tetap berlaku dan ini harus dilaksanakan oleh
(3)
commit to user
suami isteri tersebut. Sehingga pihak ketiga yang beritikad baik agar tidak dirugikan. Misalnya: A dan B adalah pasangan suami istri ( sebagai pihak yang menyewakan ) menyewakan sebuah rumah dengan hak milik atas nama A dan B kepada C ( sebagai Penyewa ) selama 5 tahun dengan harga Rp60.000.000,-/tahun ( Enam puluh juta rupiah per tahun ), C ( sebagai Penyewa ) membayar uang sewa kepada A dan B ( sebagai pihak yang menyewakan ) secara mengangsur, akantetapi dalan jangka waktu 1 tahun, perkawinan antara A dan B dibatalkan oleh Pengadilan Agama karena syarat-syarat perkawinan tidak terpenuhi, perjanjian keperdataan yaitu perjanjian sewa menyewa yang dibuat sebelum adanya pembatalan perkawinan tersebut tetap akan dilindungi atau tetap ada walaupun terjadi pembatalan perkawinan antara A dan B.
Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi hak-hak orang lain agar tidak dirugikan, sebab jika ketentuan pembatalan perkawinan tersebut berlaku surut terhadap pihak ketiga maka perjanjian keperdataan, misalnya perjanjian sewa menyewa yang dibuat sebelum adanya pembatalan perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada dan hal ini yang mengakibatkan pihak ketiga mengalami kerugian.
(4)
commit to user
BAB IV PENUTUP
A.Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah penulis uraikan pada bab-bab terdahulu, maka penulis menarik dua kesimpulan yang menjadi pokok bahasan dari penulisan hukum ini, yaitu:
1. Adapun yang menjadi dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama
Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan tersebut adalah: Perkawinan yang dilangsungkan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat sahnya perkawinan karena memenuhi salah satu unsur yang terdapat di dalam Pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam yaitu seorang suami melakukan poligami tanpa ijin Pengadilan. Perkawinan yang dilangsungkan ini juga melanggar syarat administratif yaitu pemalsuan identitas calon suami yang mengaku status perjaka padahal calon suami tersebut pria yang terikat perkawinan yang sah dengan Istri pertama. Perbuatan pelanggaran terhadap syarat administratif perkawinan yang berupa pemalsuan identitas yang termasuk dalam pemalsuan surat tersebut dapat diancam dengan pidana.
2. Akibat hukum bagi Suami Istri terhadap pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar tersebut adalah perkawinan tersebut menjadi putus sehingga hubungan suami istri diantara keduanya menjadi tidak sah dan bagi para pihak yang dibatalkan perkawinannya kembali ke status semula karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada. Selain akibat hukum bagi Suami Istri terhadap pembatalan perkawinan tersebut, putusan pembatalan perkawinan terdapat didalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu:
a. Akibat Hukum terhadap anak keturunan
Putusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan, sehingga anak tersebut
(5)
commit to user
tetap mendapatkan hak-haknya di mana kedua orang tua wajib memelihara, mendidik, memberikan nafkah, dan berhak atas waris dari ayahnya serta kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus.
b. Akibat Hukum terhadap harta benda
Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan mengenai harta bersama tersebut suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Pembagian harta bersama untuk masing-masing pihak harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, akantetapi apabila suatu pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan yang lebih dahulu, maka bagi para pihak yang perkawinannya dibatalkan tersebut tidak berhak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan keduanya, atau seterusnya. Hal ini karena harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
c. Akibat hukum terhadap pihak ketiga
Pengaturan terhadap hak-hak orang lain atau pihak ketiga yang membuat perjanjian keperdataan terhadap pihak yang dibatalkan perkawinannya tersebut tetap diakui meskipun setelah adanya pembatalan perkawinan. Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi hak-hak orang lain agar tidak dirugikan, sebab jika ketentuan pembatalan perkawinan tersebut berlaku surut terhadap pihak ketiga maka perjanjian keperdataan, misalnya perjanjian sewa menyewa yang dibuat sebelum adanya pembatalan perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada dan hal ini yang mengakibatkan pihak ketiga mengalami kerugian.
(6)
commit to user
B.Saran
Beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai saran sehubungan dengan penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah hendaknya memberikan sosialisasi kepada masyarakat
khususnya berkaitan dengan hukum perkawinan agar masyarakat memahami aturan dalam hukum perkawinan serta tidak melakukan poligami liar yang mereka anggap sah padahal menurut ketentuan Undang-Undang Perkawinan tidak sah, sehingga mengakibatkan adanya pembatalan perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap semua pihak.
2. Sebaiknya sebelum melangsungkan perkawinan, calon suami maupun calon
istri harus secara cermat meneliti mengenai status dari masing-masing pihak. Selain itu Pegawai Pencatat Nikah harus lebih hati-hati dan teliti dalam memeriksa syarat-syarat perkawinan. Hal ini untuk menghindari terjadinya perkawinan yang dilakukan dengan tidak memenuhi syarat dan berakibat perkawinan tersebut dapat dibatalkan.