Komponen Bioaktif dan Aktivitas Antioksidan Anemon Laut (Stichodactyla gigantea)

(1)

i

KOMPONEN BIOAKTIF DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN

ANEMON LAUT (Stichodactyla gigantea)

FITRIE HARDYANTI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

ii

ii

RINGKASAN

FITRIE HARDYANTI. Komponen Bioaktif dan Aktivitas Antioksidan Anemon Laut (Stichodactyla gigantea). Dibimbing oleh RUDDY SUWANDI dan NURJANAH.

Pemanfaatan biota laut di Indonesia saat ini masih pada budidaya ikan dan pangan, sedangkan dalam bidang medis dan pengobatan masih jarang dilakukan. Salah satu inverterbarata laut yang dapat dikembangkan dan memiliki nilai ekonomis serta ekologis adalah anemon laut (Stichodactyla gigantea). Anemon laut sangat populer sebagai hewan pengisi akuarium dan bahan makanan laut (seafood). Biota ini memiliki sel-sel penyengat (nematokis) yang mengandung berbagai zat yang berpotensi dalam bidang biomedis dan obat-obatan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian lebih lanjut yaitu uji aktivitas antioksidan dan uji kualitatif komponen bioaktivitasnya. Antioksidan yang paling umum digunakan dalam bahan pangan saat ini adalah antioksidan sintetik. Pengembangan dan pemanfaatan antioksidan yang lebih efektif dari sumber daya alam perlu ditingkatkan untuk menggantikan antioksidan sintetik dalam penggunaannya di dalam makanan ataupun bahan obat-obatan.

Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan ukuran tubuh yang menghasilkan aktivitas antioksidan, kandungan gizi, komponen bioaktif dari ekstrak terbaik, dan tingkat kesegaran yang menghasilkan aktivitas antioksidan. Pada penelitian ini dibagi 3 tahap yaitu identifikasi dan pengambilan sampel, penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan meliputi ekstraksi senyawa bioaktif dan pengujian aktivitas antioksidan berdasarkan ukuran tubuh. Penelitian utama meliputi analisis proksimat, uji fitokimia ekstrak terbaik, dan pengujian aktivitas antioksidan berdasarkan tingkat kesegaran. Pengujian antoksidan dilakukan dengan metode 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil (DPPH).

Karakteristik anemon laut (Stichodactyla gigantea) yang berasal dari perairan Pulau Pramuka, Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS), DKI Jakarta dibagi menjadi 3 ukuran yaitu kecil, sedang dan besar. Rendemen ekstrak anemon laut dengan ukuran tubuh kecil, sedang dan besar memiliki nilai sebesar 2,83%; 4,40% dan 5,45%. Hasil aktivitas antioksidan dengan ukuran tubuh berbeda memiliki nilai IC50 tertinggi pada anemon laut ukuran besar dengan IC50 sebesar 916,94 ppm. Anemon laut memiliki kadar air 83,61%, abu 3,43%, abu tidak larut asam 0,75%, lemak 0,58%, protein 0,4% dan karbohidrat 11,23%. Komponen anemon laut mengandung komponen alkaloid, flavonoid, steroid/triterpenoid, fenol hidrokuinon, dan saponin.

Anemon laut dengan tingkat kesegaran berbeda meliputi anemon laut ukuran tubuh besar segar dan mati. Penentuan tingkat kesegaran terbaik dengan uji antioksidan metode DPPH menunjukkan bahwa anemon laut dengan tingkat kesegaran paling segar memberikan efek antioksidan tertinggi dengan nilai IC50 sebesar 916,94 ppm, sedangkan nilai IC50 anemon laut mati sebesar 2.316,91 ppm. Ekstrak kasar anemon laut memiliki aktivitas antioksidan yang lemah jika dibandingkan dengan aktivitas antioksidan vitamin C yang memiliki nilai IC50 sebesar 1,95 ppm.


(3)

iii

KOMPONEN BIOAKTIF DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN

ANEMON LAUT (Stichodactyla gigantea)

FITRIE HARDYANTI C34070024

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Komponen Bioaktif dan Aktivitas Antioksidan Anemon Laut (Stichodactyla gigantea)

Nama : Fitrie Hardyanti

NRP : C34070024

Departemen : Teknologi Hasil Perairan

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil Dr, Ir. Nurjanah, MS NIP. 1958 0511 1985 03 1 002 NIP. 1959 1013 1986 01 2 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil NIP. 1958 0511 1985 03 1 002


(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Komponen Bioaktif dan Aktivitas Antioksidan Anemon Laut (Stichodactyla gigantea)

adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2011

Fitrie Hardyanti C34070024


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan bimbingan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar Sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi

hasil penelitian ini berjudul “Komponen Bioaktif dan Aktivitas Antioksidan Anemon Laut (Stichodactyla gigantea)”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama penyusunan skripsi ini , terutama kepada:

1. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil. dan Dr. Ir. Nurjanah, MS selaku dosen pembimbing, atas segala bimbingan, pengarahan serta masukan yang telah diberikan kepada penulis.

2. Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl-Biol selaku dosen penguji yang telah memberikan pengarahan dan masukan sangat membangun bagi penulis. 3. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil. selaku Ketua Departemen Teknologi

Hasil Perairan.

4. Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl-Biol selaku Ketua Program Studi Departemen Teknologi Hasil Perairan.

5. Kedua orang tua tercinta dan adik, untuk dukungan yang diberikan baik dukungan moral maupun materil yang telah diberikan pada penulis tanpa batas.

6. Keluarga besar Pusat Studi Biofarmaka (Mba Ina, Mas Endy, Bu Nunung, Mba Wiwit), Bu Emma dan Mba Silvi yang telah banyak membantu penulis selama melakukan penelitian di laboratorium.

7. Tim antioksidan (Nabila, Dita, Fipo, Ria, Aan) yang telah melakukan penelitian bersama dan selalu saling membantu.

8. Anjar, Komeng, Vickar, Oji, Rudi, Hendra, Apip, Zara, Jati, Sendy, Ricky, Adi, Cencen, Ikma, Dihart, Yuli, Rika, dan sahabat-sahabat THP 44 atas


(7)

v

semangat, bantuan dan motivasi kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

9. Keluarga besar Fisheries Diving Club (FDC-IPB) khususnya diklat 25 (Iqbal, Opik, Sukma, Hedra, Pustika, Muti, Fadil, Ami, Silvia, Dian, Ratih, Herbeth, Luki, James, Apoy) atas suka duka, persahabatan dan kekeluargaannya selama ini.

10.Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa masih banyak banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak dalam proses penyempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Bogor, Desember 2011

Fitrie Hardyanti C34070024


(8)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Denpasar pada tanggal 9 Mei 1989. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Ir. Soeharto dan Eko Pudjowati. Penulis memiliki satu orang saudari yaitu Ekky Hartanty.

Penulis memulai jenjang pendidikan formal di TK Tunas Jaka Sampurna Bekasi (1993-1994), SD Tunas Jaka Sampurna Bekasi (1995-2001), selanjutnya

penulis melanjutkan pendidikannya di SLTP Negeri 109 Jakarta Timur (2001-2004). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 71

Jakarta Timur (2004-2007). Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) sebagai mahasiswa Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama masa perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota dan ketua divisi Pubdok serta anggota divisi Litbang (Penelitian dan Pengembangan) di klub selam Fisheries Diving Club (FDC). Penulis aktif sebagai asisten praktikum Teknik Observasi Bawah Air (2009-2010), asisten praktikum Pengetahuan Bahan Baku Industri Hasil Perairan (2010-2011) dan asisten praktikum Teknologi Pengolahan Hasil Perairan (2010-2011). Selain itu, penulis juga aktif dalam kepanitiaan berbagai kegiatan kemahasiswaan di Institut Pertanian Bogor.

Sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana, penulis melakukan penelitian

yang berjudul “Komponen Bioaktif dan Aktivitas Antioksidan Anemon Laut (Stichodactyla gigantea)” di bawah bimbingan Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS,


(9)

vii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Anemon Laut (Stichodactyla gigantea) ... 4

2.2 Metabolit Sekunder ... 6

2.3 Ekstraksi Senyawa Bioaktif ... 7

2.4 Antioksidan ... 9

2.4.1 Sumber antioksidan ... 9

2.4.2 Mekanisme kerja antioksidan ... 10

2.4.3 Uji Aktivitas Antioksidan ... 11

2.5 Senyawa Fitokimia ... 13

2.5.1 Alkaloid ... 13

2.5.2 Steroid / Triterpenoid ... 13

2.5.3 Flavonoid ... 14

2.5.4 Saponin ... 15

2.5.5 Fenol hidrokuinon ... 15

2.5.6 Tanin ... 16

3 METODOLOGI ... 17

3.1 Waktu dan Tempat ... 17

3.2 Alat dan Bahan ... 17

3.3 Metode Penelitian ... 18

3.3.1 Identifikasi dan pengambilan sampel ... 19

3.3.2 Penelitian pendahuluan ... 19

3.3.3 Penelitian utama ... 21

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1 Karakteristik Bahan Baku ... 27

4.2 Penelitian Pendahuluan ... 28

4.2.1 Ekstraksi senyawa bioaktif ... 28

4.2.2 Aktivitas antioksidan berdasarkan ukuran tubuh ... 31

4.3 Penelitian Utama ... 33

4.3.1 Kandungan gizi anemon laut (Stichodactyla gigantea) ... 33

4.3.2 Senyawa fitokimia ... 36


(10)

viii

viii

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

5.1 Kesimpulan ... 46

5.2 Saran ... 46


(11)

ix

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1 Anemon Laut (Stichodactyla gigantea) ... 4

2 Anatomi anemon. ... 5

3 Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan ... 12

4 Diagram alir proses ekstraksi anemon laut ... 20

5 Anemon laut yang diambil dari perairan Pulau Pramuka ... 27

6 Diagram batang rendemen anemon laut ... 30

7 Nilai rata-rata IC50 ekstrak kasar anemon laut ... 32

8 Grafik hubungan konsentrasi vitamin C dengan persen inhibisinya: n=2. 42 9 Grafik hubungan antara ekstrak anemon laut dengan rata-rata persen inhibisinya ( ) anemon segar, ( ) anemon mati; n=2 ... 44


(12)

x

x

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1 Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ... 17 2 Hasil uji proksimat anemon laut ... 34 3 Hasil uji fikomia hasil ektrak kasar terbaik anemon laut ... 37


(13)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Lokasi pengambilan sampel anemon air ... 54

2 Perhitungan pembuatan larutan stok dan pengencerannya ... 54

3 Foto ekstrak kasar anemon laut ... 58

4 Data rendemen ekstrak kasar anemon laut ... 59

5 Perubahan warna ekstrak setelah penambahan DPPH dalam microplate ... 60

6 Perhitungan persen inhibisi dan penentuan IC50 ... 61


(14)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemanfaatan biota laut di Indonesia saat ini masih tergolong belum optimal. Pemanfaatan kekayaan laut Indonesia selama ini masih pada budidaya ikan dan sejenisnya sebagai pangan sedangkan dalam bidang medis dan pengobatan masih jarang dilakukan. Biota laut memiliki potensi sebagai bahan dasar industri farmasi, kosmetika, bioenergi, dan industri lainnya di Indonesia sangat besar, diperkirakan mencapai nilai ekonomi sebesar 40 miliar dollar AS per tahun (Dahuri 2004).

Organisme laut terutama yang berasal dari ekosistem terumbu karang telah menjadi sumber yang menarik bagi bahan kimia alam, karena organisme ini menyediakan metabolit sekunder/senyawa bioaktif dalam proporsi yang besar. Invertebrata laut dengan keanekaragaman spesies yang tinggi di terumbu karang kaya dengan metabolit sekunder dan menjadi target khusus dalam pencarian komponen bioaktif. Salah satu invertebrata laut yang dapat dikembangkan dan memiliki nilai ekonomis serta ekologis adalah anemon laut.

Anemon laut merupakan salah satu jenis karang dari Filum Cnidaria. Biota ini dijadikan sebagai hewan pengisi akuarium yang sangat indah dan menarik karena memiliki bentuk tubuh yang menyerupai bunga beraneka warna. Anemon laut sangat populer sebagai bahan makanan laut (seafood), terutama di luar negeri antara lain Perancis, Jepang, Korea dan Kepulauan Pasifik bagian Timur dan penduduk Kepulauan Seribu. Cara mengolah anemon laut untuk dapat dimakan adalah terlebih dahulu anemon tersebut dilumuri dengan abu dapur agar kulit arinya terkupas dan lendirnya berkurang. Jenis-jenis anemon yang biasa dimakan oleh masyarakat di Indonesia adalah Marga Stoicactis (Actinaria), yaitu anemon karpet (Stichodactyla gigantea) (Nybakken 1988). Anemon laut karpet merupakan salah satu spesies anemon yang ditemukan melimpah di Indonesia, antara lain di Teluk Jakarta dengan kepadatan yang cukup tinggi (Dunn 1981).

Pemanfaatan anemon laut saat ini masih terbatas untuk akuaskap dan beberapa untuk makanan laut. Biota ini memiliki sel-sel penyengat (nematokis) yang mengandung peptida, protein, fosfolipid, fosfolipase, glikoprotein, sterol,


(15)

bioaktif amin dan karbohidrat, yang berpotensi dalam bidang biomedis dan pengembangan obat-obatan (Bayazit 2009). Kajian yang lebih mendalam mengenai anemon laut bagi kesehatan manusia masih belum banyak dilakukan, sehingga perlu dilakukan pengujian ilmiah lebih lanjut terhadap anemon laut. Pengujian ilmiah yang perlu dilakukan khususnya uji aktivitas antioksidan dan uji kualitatif komponen bioaktifnya.

Antioksidan adalah zat yang dapat memperlambat dan mencegah terjadinya proses oksidasi (Tamat et al. 2007). Konsumsi antioksidan dalam jumlah yang memadai dapat menurunkan penyakit degeneratif, yaitu kardiovaskuler, kanker, aterosklerosis, osteoporosis, dan lain-lain. Konsumsi makanan yang mengandung antioksidan juga dapat meningkatkan status imunologis dan dapat menghambat timbulnya penyakit degeneratif akibat penuaan. Kecukupan asupan antioksidan secara optimal diperlukan pada semua kelompok umur (Winarsi 2007).

Antioksidan yang paling umum digunakan dalam bahan pangan adalah antioksidan sintetik misalnya BHA (butylated hdroxyanisol), BHT (butylated hidroxytoluene), PG (propil galat), dan TBHQ (tert-butil hidroxy quinon).

Beberapa studi yang dilakukan oleh Lu dan Foo (2002) diacu dalam Jin Heo et al. (2005)melaporkan bahwa adanya hubungan terbalik antara asupan

makanan yang kaya antioksidan dengan penyakit pada manusia. Penggunaan antioksidan sintetik dalam bahan pangan yang berlebihan dapat menyebabkan mutagenetik dan karsinogenetik (Darmawan 2009). Oleh karena itu, pengembangan dan pemanfaatan antioksidan yang lebih efektif dari sumberdaya alam perlu ditingkatkan untuk menggantikan antioksidan sintetik dalam penggunaannya di dalam makanan ataupun bahan obat.

1.2 Tujuan

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk membuktikan adanya komponen antioksidan pada anemon laut (Stichodactyla gigantea) melalui ekstraksi tunggal, sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai antara lain:

1) Menentukan ukuran tubuh anemon laut yang dapat menghasilkan ekstrak dengan aktivitas antioksidan terbaik.

2) Menentukan kandungan zat gizi (lemak, protein, abu, dan karbohidrat) dari anemon laut.


(16)

3

3) Menentukan komponen bioaktif yang terdapat pada anemon laut dari ekstrak terbaik melalui uji fitokimia.

4) Menentukan tingkat kesegaran anemon laut yang dapat menghasilkan ekstrak dengan aktivitas antioksidan terbaik.


(17)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Anemon Laut (Stichodactyla gigantea)

Anemon laut merupakan salah satu jenis karang dari Filum Cnidaria. Karang dan anemon laut adalah anggota taksonomi kelas yang sama, yaitu Anthozoa. Perbedaan utama adalah karang menghasilkan kerangka luar dari kalsium karbonat, sedangkan anemon tidak. Klasifikasi anemon laut yang digunakan dalam penelitian menurut Kaestner (1967) :

Filum : Cnidaria Kelas : Anthozoa Ordo : Actinaria Sub Ordo : Myantheae Famili : Stichodactylidae Genus : Stichodactyla

Spesies : Stichodactyla gigantea

Anemon laut merupakan salah satu anggota Kelas Anthozoa yang bentuk tubuhnya bervariasi dengan kombinasi warna yang indah dipandang. Hidupnya soliter dan tidak mempunyai percabangan. Anemon laut mempunyai tentakel yang berisi udara (hollow tentacle). Biasanya disela-sela tentakel itu merupakan tempat yang ideal bagi ikan-ikan hias (Hadi dan Sumadiyo 1992). Bentuk anemon laut dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Anemon Laut (Stichodactyla gigantea) Sumber : Collin & Arneson (1995)


(18)

5

Secara garis besar struktur tubuh anemon terdiri atas oral disc, coloum dan pedal disk. Oral disc adalah bagian teratas anemon. Pada oral disc terdapat mulut yang juga berfungsi sebagai anus. Di sekeliling mulut terdapat tentakel yang berfungsi untuk menangkap makanan. Di tentakel terdapat sel knidosit atau sel penyengat yang menjadi ciri khas Filum Cnidaria. Sel knidosit berfungsi untuk menyengat mangsa. Pencernaan dimulai dari mulut kemudian dilanjutkan dengan stomodaeum yang langsung menghubungkannya dengan coelenteron atau rongga perut. Di dalam rongga perut terdapat mesenteri filament yang berfungsi sebagai

usus. Basal disk merupakan bagian yang menempel pada substrat (Fautin dan Mariscal 1991). Anatomi anemon laut dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Anatomi anemon. Sumber : Fautin dan Mariscal (1991).

Reproduksi anemon terjadi secara seksual dan aseksual. Nybakken (1988) menyatakan bahwa proses reproduksi seksual dimulai dengan gametogenesis, yaitu pembentukan calon gamet sampai gamet matang. Gamet yang matang dilepaskan dalam bentuk larva planula. Planula yang dilepaskan akan berenang bebas dalam perairan. Bila planula telah menemukan tempat yang cocok, maka planula akan menempel pada substrat untuk menetap dan berkembang. Reproduksi aseksual dilakukan dengan cara membentuk tunas. Tunas baru yang


(19)

tumbuh di permukaan bagian bawah atau pada bagian sisi melekat sampai mencapai ukuran tertentu, kemudian melepaskan diri dan tumbuh menjadi individu baru. Pembentukan tunas dapat dilakukan secara intertentakular dan ekstratentakular. Pertunasan intertentakular merupakan pembentukan individu baru di dalam individu lama. Sedangkan pertunasan ekstratentakular adalah pembentukan individu baru di luar.

Berdasarkan makanannya, anemon dikelompokkan menjadi dua, yaitu fishers dan particle feeders. Kelompok pertama biasanya memakan ikan-ikan kecil, crustacea dan plankton. Mangsa akan disengat oleh nematoksis kemudian dijerat oleh tentakel kemudian dibawa ke mulut. Pada anemon yang bersimbiosis dengan ikan Amphiprion, ikan ini akan membantu anemon memotong-motong makanannya dan membantu anemon untuk memasukan makanannya ke mulut anemon. Sedangkan kelompok kedua memperoleh makanan menggunakan mucus. Partikel akan menempel pada mucus kemudian akan dibawa ke mulut dengan

menggunakan silia yang ada di seluruh permukaan tubuhnya (Haefelfinger dan Thenius 1974). Hadi dan Sumadiyo (1992) menyatakan bahwa

anemon mampu makan dalamjumlah yang sangat banyak, tetapi bila makanannya sedikit atau jarang anemonakan melipat diri sehingga ukuran tubuhnya menyusut. Bila anemon mengkerut akan terlihat seperti bola dengan sedikit tentakel tersembul keluar.

2.2 Metabolit Sekunder

Proses sintesis substansi kimia dan degradasi organisme dengan sistem enzimatik disebut metabolisme. Jalur-jalur biosintetik digunakan oleh semua makhluk hidup dalam memproduksi metabolit yang esensial untuk kelangsungan hidup dan pertahanan dirinya. Metabolit sekunder adalah senyawa-senyawa hasil biosintetik turunan dari metabolit primer yang umumnya diproduksi oleh organisme yang berguna untuk pertahanan diri dari lingkungan maupun dari serangan organisme lain, sedangkan substansi yang dihasilkan oleh organisme melalui metabolisme dasar serta digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan organisme yang bersangkutan disebut dengan metabolit primer (Herbert 1995).


(20)

7

Perbedaan kondisi lingkungan misalnya tingginya kekuatan ionik pada air laut, intensitas cahaya yang kecil, rendahnya temperatur, tekanan dan struktur tubuh yang berbeda dengan organisme darat memungkinkan organisme laut menghasilkan metabolit yang mempunyai struktur kimia yang spesifik dan bervariasi yang sangat berpengaruh terhadap bioaktivitasnya (Muniarsih 2005). Selain itu dinyatakan pula bahwa disamping kompetisi secara spasial, beberapa faktor ekologis turut pula menentukan produksi senyawa bioaktif sehingga dapat dikatakan bahwa organisme laut yang tumbuh pada lingkungan yang sangat tinggi tingkat kompetisi alaminya akan memiliki kandungan toksin yang lebih tinggi daripada organisme yang ditumbuhkan pada substrat buatan (Handojo 2006).

Organisme laut khususnya invertebrata laut yang mempunyai struktur pergerakan fisik lebih terbatas dibanding dengan vertebrata laut, mampu mengembangkan sistem pertahanan diri dengan memproduksi senyawa kimia (chemical defense). Metabolit sekunder bagi invertebrata laut berperan membantu dalam pencarian makanan, pengenalan dengan populasinya, penentuan habitat dan pasangan simbiotik yang sesuai (Harper et al. 2001). Metabolit sekunder juga berperan dalam pengaturan dan sinkronisasi siklus reproduksi, serta pemberi sinyal jika ada predator yang membahayakan (Muniarsih 2005).

Invertebrata laut merupakan produsen senyawa bioaktif terbesar diantara biota lainnya. Menurut Khatab et al. (2008), senyawa bioaktif adalah senyawa kimia aktif yang dihasilkan oleh organisme melalui jalur biosintetik metabolit sekunder. Biota yang kaya dengan senyawa bioaktif adalah spons, cnidaria, bryozoa, tunicates, dan alga. Beberapa metabolit sekunder yang diproduksi oleh invertebrata laut dan mikroorganisme simbion, mempunyai prospek sebagai zat aktif dalam obat dari berbagai penyakit jantung, immunologi, anti-inflammatory, antivirus dan antikanker (Muniarsih 2005).

2.3 Ekstraksi Senyawa Bioaktif

Ekstraksi merupakan suatu metode pemisahan yang didasarkan pada distribusi zat terlarut dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi adalah lama ekstraksi, suhu dan jenis pelarut yang digunakan. Dalam pemilihan jenis pelarut yang digunakan harus memperhatikan daya larut, titik didih, sifat


(21)

toksik, mudah tidaknya terbakar, dan sifat korosif terhadap peralatan ekstraksi (Khopkar 2003).

Metode ekstraksi yang digunakan tergantung dari beberapa faktor antara lain tujuan ekstraksi, skala ekstraksi, sifat komponen-komponen yang akan diekstrak dan sifat-sifat pelarut yang digunakan. Ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya ekstraksi dengan pelarut, destilasi, supercritical fluid extraction (SFE), pengepresan, dan sublimasi. Metode yang banyak digunakan adalah destilasi dan ekstraksi menggunakan pelarut (Houghton dan Raman 1998). Ekstraksi menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu

aqueous phase dan organic phase. Ekstraksi aqueous phase dilakukan dengan menggunakan pelarut air, sedangkan organic phase menggunakan pelarut organik (Winarno et al. 1973). Prinsip metode ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah bahan yang akan diekstrak kontak langsung dengan pelarut pada waktu tertentu kemudian diikuti dengan pemisahan dari bahan yang telah diekstrak

(Houghton dan Raman 1998).

Pada proses maserasi, pelarut akan menembus dinding sel dan akan masuk ke dalam rongga sehingga komponen bioaktif akan larut. Adanya perbedaan konsentrasi antara larutan komponen bioaktif di dalam sel dengan di luar sel maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut terjadi berulang kali

hingga terjadi keseimbangan antara larutan di luar dengan di dalam sel (Nur dan Adijuwana 1989). Pelarut agar cepat terpisah harus menggunakan

pelarut yang mempunyai berat jenis yang berbeda, yaitu yang mempunyai berat jenis lebih besar dari 1 atau kurang dari 1 (Winarno et al. 1973).

Kelarutan zat di dalam pelarut-pelarut tergantung dari ikatannya yaitu polar atau non polar. Zat yang polar contohnya air, sedangkan non polar yaitu karbontetrakhlorida. Zat-zat yang polar hanya larut dalam pelarut polar, sedangkan zat-zat non polar hanya larut di dalam pelarut non polar (Winarno et al. 1973). Pelarut yang bersifat polar mampu mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tannin, gula, asam amino, dan glikosida. Pelarut non polar dapat mengekstrak senyawa kimia seperti lilin, lemak, dan minyak yang mudah menguap. Pelarut semi polar mampu mengekstrak senyawa fenol, terpenoid, alkaloid, aglikon, dan glikosida (Harborne 1987).


(22)

9

Metanol merupakan senyawa polar yang disebut sebagai pelarut universal karena selain mampu mengekstrak komponen polar juga dapat mengekstrak komponen nonpolar seperti lilin dan lemak (Houghton dan Raman 1998).

Hasil ekstrak yang diperoleh akan tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain kondisi alamiah senyawa yang diekstrak, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel, lama waktu ekstrak, kondisi dan waktu penyimpanan, serta perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel (Harbone 1987).

2.4 Antioksidan

Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginteraksi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Akibatnya, kerusakan sel akan dihambat (Winarsi 2007).

Antioksidan sangat bermanfaat baik untuk mempertahankan mutu produk pangan maupun untuk kesehatan tubuh. Antioksidan dalam tubuh akan menggangu mekanisme kerja pembentukan radikal bebas dan juga akan menghambat oksidasi atau reaksi rantai radikal bebas, sehingga berbagai penyakit degeneratif, misalnya katarak, kanker dan proses penuaan dapat dihambat dengan antioksidan, baik yang diperoleh dari luar maupun melalui metabolisme tubuh (Niwa 1997).

2.4.1 Sumber antioksidan

Antioksidan berdasarkan sumbernya digolongkan menjadi antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami). Ada lima antioksidan yang diijinkan untuk makanan dan penggunaannya tersebar luas di seluruh dunia, yaitu butylated hdroxyanisol (BHA), butylated hidroxytoluene (BHT), propil galat, tert-butil hidroxy quinon (TBHQ) dan tokoferol (vitamin E). Antioksidan tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara sintetis untuk tujuan komersial (Buck 1991 diacu dalam Trilaksani 2003).


(23)

Antioksidan alami lebih dipercaya dibandingkan dengan antioksidan sintetik karena beberapa kelebihannya, yaitu relatif lebih aman, tidak toksik dan tidak memberikan efek samping. Umumnya antioksidan sintetik dapat menyebabkan mutasi, bersifat karsinogenik dan efek patogenik (Niwa 1997). Antioksidan alami yang paling umum adalah flavonoid (flavonol, isoflavonol, flavon, katekin dan flavonon), derivat asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam organik polifungsional (Pratt 1992).

Komponen antioksidan di alam mempunyai struktur kimia yang berbeda-beda, umumnya sebagai asam amino, asam askorbat, karotenoid, asam sinamat, flavonoid, melanoidin, asam organik tertentu, zat pereduksi, peptida, fosfatida, polifenol, tanin, dan tokoferol. Senyawa antioksida alami digolongkan sebagai komponen fenolik, protein, komponen nitrogen, karotenoid, dan komponen lain seperti vitamin C, keton dan glikosida (Winarno 2008).

2.4.2 Mekanisme kerja antioksidan

Antioksidan bereaksi melalui pemberian senyawa oksigen reaktif atau penurunan konsentrasinya secara lokal, pembersihan ion logam katalitik, pembersihan radikal bebas yang berfungsi sebagai inisiator, misal hidroksil, peroksil, alkoksil, pemutus rantai reaksi yang diinisiasi oleh radikal bebas dan peredam reaksi serta pembersih singlet oksigen (Pratt 1992).

Antioksidan yang baik akan bereaksi dengan radikal bebas segera setelah senyawa tersebut terbentuk. Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi, dapat disebabkan oleh empat macam mekanisme reaksi, yaitu pelepasan hidrogen dari antioksidan, pelepasan elektron dari antioksidan, adisi lemak ke dalam cincin aromatik pada antioksidan, dan pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari antioksidan (Ketaren 1986).

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu antioksidan primer, sekunder dan tersier. Antioksidan primer (pemecah rantai), yaitu antioksidan yang dapat bereaksi dengan radikal lipida lalu mengubahnya ke bentuk yang lebih stabil. Suatu molekul atioksidan dapat disebut sebagai antioksidan primer (AH), jika dapat mendonorkan atom hidrogennya


(24)

11

lebih stabil dibanding radikal lipida, atau mengubahnya ke bentuk yang lebih stabil (Gordon 1990). Beberapa contoh antioksidan primer adalah superoksida dismutase (SOD), butylated hdroxyanisol (BHA), butylated hidroxytoluene (BHT), dan tokoferol.

Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogeneus atau non enzimatis. Antioksidan dalam kelompok ini disebut pertahanan preventif. Sistem pertahanan ini, pembentukan senyawa oksigen relatif dihambat dengan cara pengkelatan metal, atau dirusak pembentukannya (Winarsi 2007). Antioksidan ini bekerja dengan berbagai mekanisme, seperti mengikat ion metal, memecah hidroperoksida ke bentuk-bentuk nonradikal, menyerap radiasi ultraviolet atau mendeaktifkan singlet oksigen. Antioksidan sekunder juga berfungsi memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme di luar mekanisme pemutusan rantai autoksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih stabil (Gordon 1990). Beberapa contoh antioksidan sekunder adalah asam askorbat (vitamin C), vitamin E, beta karoten, asam urat, bilirubin dan albumin, asam erithorbat (D-isomer asam askorbat) dan garam sodiumnya, dilauril tiopropionat (Winarno 2008).

Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-repair dan metionin sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berfungsi dalam perbaikan biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas. Kerusakan DNA yang terinduksi senyawa radikal bebas dicirikan oleh rusaknya single dan double strand, baik gugus non basa maupun basa (Winarsi 2007).

2.4.3 Uji Aktivitas Antioksidan

Metode yang umum digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan suatu bahan adalah menggunakan radikal bebas 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil (DPPH). DPPH adalah radikal bebas yang bersifat stabil dan beraktivitas dengan cara mendelokasi elektron bebas pada suatu molekul, sehingga molekul tersebut tidak reaktif sebagaimana radikal bebas yang lain. Proses delokasi ini ditunjukkan dengan adanya warna ungu (violet) pekat yang dapat dikarakterisasi pada pita

absorbansi dalam pelarut etanol pada panjang gelombang 520 nm (Molyneux 2004).


(25)

Metode uji aktivitas antioksidan dengan menggunakan radikal bebas DPPH banyak dipilih karena metode ini sederhana, mudah, cepat, peka dan hanya membutuhkan sedikit sampel (Hanani et al. 2005). Kapasitas antioksidan pada uji ini bergantung pada struktur kimia dan antioksidan. Pengurangan radikal DPPH bergantung pada jumlah grup hidroksil yang ada pada antioksidan, sehingga metode ini memberikan sebuah indikasi dari ketergantungan struktural kemampuan antioksidan dari antioksidan biologis (Vattem dan Shetty 2006).

Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menggunakan prinsip spektrofotometri. Senyawa DPPH (dalam metanol) berwarna ungu tua terdeteksi pada panjang gelombang sinar tampak sekitar 517 nm. Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya untuk berikatan dengan DPPH membentuk DPPH tereduksi, ditandai dengan semakin hilangnya warna ungu (menjadi kuning pucat) (Molyneux 2004). Antoksidan akan mendonorkan proton atau hidrogen kepada DPPH dan selanjutnya akan terbentuk radikal baru yang bersifat stabil atau tidak reaktif (1,1-difenil-2- pikrilhidrazin) (Wikanta et al. 2005). Hal ini dapat dilukiskan dalam persamaan berikut:

DPPH˙ + AH DPPH-H + A˙

Radikal bebas Antioksidan Netral Radikal bebas baru, stabil, tidak reaktif

Warna ungu Warna kuning

Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan dapat dilihat pada Gambar 3.

Diphenylpicrylhydrazyl (radikal bebas) Diphenylpicrylhydrazine (non radikal)

Gambar 3Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan Parameter untuk menginterpretasikan hasil pengujian dengan metode DPPH adalah IC50 (inhibition concentration), yaitu konsentrasi larutan sampel yang


(26)

13

dibutuhkan untuk menghambat 50 % radikal bebas DPPH (Andayani 2008). Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin tinggi aktivitas antioksidan. Secara spesifik suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat untuk IC50 antara 0,05-0,10 mg/ml, sedang jika IC50 bernilai 0,10-0,15 mg/ml dan lemah jika IC50 bernilai 0,15-0,20 mg/ml (Molyneux 2004).

2.5 Senyawa Fitokimia

Fitokimia adalah senyawa bioaktif yang terdapat dalam tumbuhan dan dapat memberikan kesehatan pada tubuh manusia. Fitokimia mempunyai peran penting dalam penelitian obat yang dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan. Pada tumbuhan terdapat senyawa kimia bermolekul kecil yang penyebarannya terbatas dan sering disebut sebagai metabolit sekunder (Sirait 2007). Alasan melakukan analisis fitokimia adalah untuk menentukan ciri senyawa aktif penyebab racun atau efek yang bermanfaat, yang ditunjukan oleh ekstrak kasar bila diuji dengan sistem biologi (Harborne 1987).

2.5.1 Alkaloid

Senyawa alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid yang mengandung cincin heterosiklik biasanya disebut alkaloid sejati, sedangkan yang tidak mengandung cincin heterosiklik disebut protoalkaloid. Keduanya merupakan turunan dari asam amino (Harborne 1987).

Alkaloid umumnya tanpa warna, bersifat optis aktif, dan sebagian besar berbentuk kristal hanya sedikit yang berupa cairan. Alkaloid banyak ditemukan pada bagian tumbuhan yaitu biji, daun, ranting, serat kayu. Alkaloid terakumulasi pada jaringan yang tumbuh aktif yakni epidermis, hipodermis, dan kelenjar lateks. Fungsi alkaloid pada tumbuhan belum dapat dinyatakan dengan pasti akan tetapi beberapa senyawa berperan sebagai pengatur pertumbuhan dan pemikat serangga (Suradikusumah 1989).

2.5.2 Steroid / Triterpenoid

Triterpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30


(27)

asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang umumnya berupa alkohol, aldehida, atau asam karboksilat. Senyawa tersebut tidak berwarna, kristalin, memiliki titik lebur yang tinggi, dan umumya sulit untuk dikarakterisasi karena secara kimia tidak reaktif (Harborne 1987). Triterpenoid terbagi menjadi empat golongan senyawa berupa triterpena sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Kedua golongan terakhir disebut triterpenoid esensial atau steroid yang umumnya terdapat dalam tanaman sebagai glikosida (Sirait 2007).

Steroid merupakan golongan senyawa triterpenoid. Senyawa ini dapat diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21, misalnya sterol, sapogenin, glikosida jantung, dan vitamin D. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpena, yaitu lanosterol dan sikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Harborne 1987).

2.5.3 Flavonoid

Semua flavonoid menurut strukturnya merupakan turunan senyawa induk flavon yang terdapat berupa tepung putih pada tumbuhan Primula. Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Senyawa ini dapat diekstraksi dengan etanol 70 % dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid ini berupa senyawa fenol, oleh karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amoniak (Harborne 1987).

Flavonoid banyak ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi tetapi tidak dalam mikroorganisme. Senyawa ini menjadi zat warna merah, ungu, biru, dan kuning dalam tumbuhan. Flavonoid memiliki kerangka dasar yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin benzene terikat pada suatu rantai propane membentuk susunan C6-C3-C6. Flavonoid diklasifikasikan menjadi sebelas golongan yaitu flavon, flavonol, flavanon, flavanonol, calkon, dihidrokalkon, auron, antosianidin, katekin, dan flavan-3,4-diol (Sirait 2007). Flavonoid dapat larut dalam air, dan dapat terekstraksi dengan etanol 70% (Suradikusumah 1989).

Flavonoid memiliki banyak kegunaan baik bagi tumbuhan maupun manusia. Flavonoid digunakan tumbuhan sebagai penarik serangga dan binatang lain untuk membantu proses penyerbukan dan penyebaran biji. Sedangkan bagi manusia, dalam dosis kecil flavon bekerja sebagai stimulan pada jantung, dan flavon yang


(28)

15

terhidroksilasi bekerja sebagai diuretik dan sebagai antioksidan pada lemak (Sirait 2007).

2.5.4 Saponin

Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah dideteksi dalam lebih dari 90 suku tumbuhan. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa. Pencarian saponin dalam tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan akan sapogenin yang mudah diperoleh dan dapat dirubah di laboratoriun menjadi sterol hewan yang berkhasiat penting (misalnya kortison, estrogen kontraseptif dan lain-lain). Banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum ialah asam glukuronat. Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau sewaktu memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti terpercaya akan adanya saponin. Saponin jauh lebih polar dari pada sapogenin karena ikatan glikosidanya (Harborne 1987).

Sebagian besar saponin bereaksi netral (larut dalam air), beberapa ada yang bereaksi asam (sukar larut dalam air), dan sebagian kecil ada yang bereaksi basa. Saponin dapat membentuk senyawa kompleks dengan kolesterol. Saponin bersifat toksik terhadap ikan dan binatang berdarah dingin lainnya. Hal inilah yang menyebabkan saponin banyak dimanfaatkan sebagai racun ikan. Saponin yang beracun disebut sapotoksin (Sirait 2007).

2.5.5 Fenol hidrokuinon

Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon (Harborne 1987). Kuinon dapat diidentifikasikan berdasarkan tujuannya menjadi empat kelompok yaitu, benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama umumnya terhidroksilasi dan sering terdapat dalam sel sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinon tanpa warna, dan juga bentuk dimer. Iso prenoid kuinon terlihat dalam respirasi sel (ubikuinon) dan fotosintesis (plastokuinon) yang secara umum terdapat dalam tumbuhan (Suradikusumah 1989).


(29)

Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida sedikit larut dalam air, kuinon lebih mudah larut dalam lemak dan akan terekstraksi dalam tumbuhan bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil. Reaksi yang khas adalah reduksi bolak-balik yang mengubah kuinon menjadi senyawa tanpa warna, kemudian warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh udara. Reduksi dapat dilakukan dengan menggunakan natrium borohidrida (Harbone 1987).

2.5.6 Tanin

Tanin adalah senyawa organik yang terdiri dari campuran senyawa polifenol kompleks, dibangun dari elemen C, H dan O serta sering membentuk molekul besar dengan berat molekul lebih besar dari 2000. Tanin dapat dijumpai pada hampir semua jenis tumbuhan hijau di seluruh dunia baik tumbuhan tingkat tinggi maupun tingkat rendah dengan kadar dan kualitas yang berbeda-beda. Senyawa ini memiliki sifat antara lain dapat larut dalam air atau alkohol karena tanin banyak mengandung fenol yang memiliki gugus OH, dapat mengikat logam berat, serta adanya zat yang bersifat antirayap dan jamur. Tanin yang terdapat pada kulit kayu dan kayu dapat berfungsi sebagai penghambat kerusakan akibat serangan serangga dan jamur, karena memilki sifat antiseptik (Shut 2002).


(30)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2011 sampai dengan Juni 2011. Sampel anemon laut (Stichodactyla gigantea) diambil disekitar

kawasan Pulau Pramuka, Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS), DKI Jakarta (Lampiran 1). Proses preparasi sampel dilakukan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku. Analisis proksimat (kadar air, abu, lemak, protein dan abu tidak larut asam) dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Proses ekstraksi, analisis aktivitas antioksidan dan uji fitokimia dilakukan di Pusat Studi Biofarmaka (PSB), Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada saat penelitian pendahuluan, pengambilan sampel, uji proksimat, ekstraksi dan evaporasi, uji DPPH, dan uji komponen fitokimia dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian

Tahapan Alat Bahan

1. Pengambilan sampel Alat snorkling Anemon laut Palu

Pahat Plastik Cool box

Keranjang plastik

2. Uji Proksimat Oven n-heksana p.a.

Kapas bebas lemak Akuades

Cawan porselan Kjeltab jenis selenium Desikator H2SO4 p.a. pekat Tanur pengabuan H3BO3 (asam borat) Labu kjehdal

Destilator

Kertas saring Whatman 42 Gegep


(31)

Tabel 1 Lanjutan

3. Ekstraksi Blender Metanol

Gelas ukur Orbital shaker

Kertas saring Whatman 42 Corong kaca

Gelas piala Botol kaca Sudip

Rotar vaccum evaporator

Kapas bebas lemak

4. Uji DPPH Tabung reaksi Ekstrak metanol anemon

Pipet mikro Etanol

Kapas bebas lemak Kristal DPPH

Elisa reader Vitamin C

Microplate Multipipette Labu takar

5. Uji Fitokimia Botol kaca H2SO4 pekat

Gelas ukur Kloroform

Kompor listrik Serbuk magnesium Tabung reaksi Amil alkohol

Pipet HCl 2N

Sudip Etanol 70 %

Gegep Pereaksi Wagner

Penangas air Pereaksi Meyer

Pereaksi Dragendroff FeCl3

3.3 Metode Penelitian

Rangkaian kegiatan penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yang meliputi identifikasi dan pengambilan sampel anemon laut, penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Tahap penelitian pendahuluan meliputi ekstraksi senyawa bioaktif dan penentuan ekstrak terbaik berdasarkan ukuran tubuh yang mengandung aktivitas antioksidan dengan metode DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil). Tahap penelitian utama berupa analisis kandungan gizi anemon laut, uji fitokimia, dan penentuan ekstrak terbaik berdasarkan tingkat kesegaran yang berbeda dengan uji antioksidan metode DPPH.


(32)

19

3.3.1 Identifikasi dan pengambilan sampel

Penelitian diawali dengan pengambilan sampel anemon laut pada tanggal 20 Februari 2011 pukul 16.00 WIB. Sampel anemon laut diambil menggunakan pahat dan palu dengan cara memahat sekeliling tempat menempelnya agar anemon tidak lepas dari substratnya sehingga anemon tidak merasa terganggu. Anemon yang telah diambil kemudian dimasukkan ke dalam keranjang plastik untuk dibawa ke daratan. Pengambilan sampel anemon laut ini dilakukan pada kedalaman 0,5 m – 1 m. Ukuran anemon yang diambil dibagi menjadi 3 katagori yaitu ukuran kecil (kurang dari 10 cm, berat 140-160 gram), sedang (10-25 cm, berat 200-315 gram), besar (lebih dari 25 cm, berat 500-700 gram). Ukuran ini merupakan ukuran diameter tubuh dari anemon laut. Tingkat kesegaran anemon dibedakan menjadi 2 jenis yaitu anemon segar dan anemon mati. Anemon segar memiliki ciri-ciri yaitu tidak adanya mucus yang keluar, keadaan tentakel yang mengembang, warna yang cerah, dan kondisi mesenterial filaments yang normal, sedangkan anemon mati memiliki ciri-ciri seperti cukup banyaknya (sedang) keluarnya mucus, keadaan tentakel yang mengembang, warna agak pucat, dan abnormalnya mesenterial filaments. Spesies anemon laut ini kemudian diidentifikasi dengan melihat penampakan, bentuk tentakel, warna tubuh dan disesuaikan dengan buku identifikasi yang berjudul Tropical Pasific Invertebrte (Collin dan Arnesson 1995).

3.3.2 Penelitian pendahuluan

Tahap penelitian pendahuluan meliputi ekstrak senyawa bioaktif dan penentuan ekstrak terbaik berdasarkan ukuran tubuh anemon laut dengan uji antioksidan menggunakan metode DPPH. Tujuan yang ingin dicapai adalah menentukan ukuran tubuh terbaik yang menghasilkan ekstrak dengan sifat antioksidan yang paling tinggi.

3.3.2.1 Ekstraksi senyawa bioaktif (Pramadhany 2006)

Ekstraksi komponen antioksidan dilakukan dengan menghasilkan ekstrak kasar terlebih dahulu. Komponen antioksidan diperoleh melalui ekstraksi tunggal dengan menggunakan pelarut metanol. Sampel anemon laut yang berbeda ukuran (kecil, sedang dan besar) dan tingkat kesegaran (segar dan mati), masing-masing


(33)

sebanyak 50 gram dihancurkan sampai halus dengan blender kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Pelarut metanol ditambahkan sampai terendam dengan perbandingan bahan dan pelarut 1:3 (w/v). Erlenmeyer ditutup dengan kapas dan alumunium foil untuk mencegah penguapan dari pelarut. Sampel dimaserasi dengan menggunakan orbital shaker selama 2 x 24 jam. Hasil larutan maserasi tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman 42 untuk memisahkan filtrat dan residunya. Filtrat yang didapat dievaporasi pada suhu 37 oC. Ekstrak kasar yang diperoleh dimasukkan ke dalam botol ekstrak yang

akan digunakan untuk dilakukan uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH (Salazar-Aranda et al. 2009) dan uji komponen fitokimia secara kualitatif

(Harborne 1987). Proses esktraksi dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4Diagram alir proses ekstraksi anemon laut (Sumber: Pramadhany 2006 yang dimodifikasi*) Ukuran

Penimbangan (50 Maserasi 2x 24 jam dengan metanol 150 ml

Penyaringan

Filtrat Residu

Evaporasi Ekstrak

Anemon laut

Tingkat kesegaran

Pencacahan

Evaporasi

Maserasi 2 x 24 jam dengan metanol 150 ml (w/v)*

Penimbangan (50 g)*


(34)

21

3.3.2.2 Uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH (Salazar-Aranda et al. 2009)

Ekstrak kasar anemon laut dari hasil ekstraksi tunggal menggunakan pelarut metanol dilarutkan dalam etanol dengan konsentrasi yang berbeda. Ekstrak kasar ukuran tubuh kecil dilarutkan dalam etanol dengan konsentrasi 4.000, 2.000, 1.000, 500, 250, 125, 62,5, dan 31,25 ppm. Ekstrak kasar ukuran tubuh besar dilarutkan dalam etanol dengan konsentrasi 800, 600. 400, 200 ppm. Perhitungan larutan stok dan proses pengencerannya dapat dilihat pada Lampiran 2.

Larutan DPPH yang digunakan, dibuat dengan melarutkan kristal DPPH dalam pelarut metanol 1 mM. Kemudian sampel dan pembanding dipindahkan ke dalam microplate sebanyak 100 µl menggunakan pipet mikro dan ditambahkan 100 µl DPPH. Campuran tersebut diinkubasi pada suhu 37 °C selama 30 menit, kemudian diukur absorbansinya dengan menggunakan Elisa Reader. Aktivitas antioksidan dari masing-masing sampel dinyatakan dengan persen inhibisi, yang dihitung dengan rumus sebagai berikut:

% inhibisi= absorbansi blanko-absorbansi sampel

absorbansi blanko x 100%

Nilai konsentrasi dan hambatan ekstrak diplot masing-masing pada sumbu x dan y pada persamaan regresi linier. Persamaan garis yang diperoleh dalam bentuk y = b(x) + a digunakan untuk mencari nilai IC (inhibitor concentration), dengan menyatakan nilai y sebesar 50 dan nilai x sebagai IC50. Nilai IC50 menyatakan konsentrasi larutan sampel yang dibutuhkan untuk mereduksi DPPH sebesar 50 %.

3.3.3 Penelitian utama

Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui kandungan gizi dari anemon laut, menentukan tingkat kesegaran terbaik yang dapat menghasilkan ekstrak dengan sifat antioksidan yang paling tinggi dan mengetahui komponen bioaktif dari ekstrak terbaik dengan uji fitokimia.

3.3.3.1Analisis proksimat

Sampel anemon laut basah dihaluskan kemudian dilakukan pengujian proksimat. Analisis proksimat yang dilakukan terhadap anemon laut meliputi uji


(35)

kadar air, uji kadar abu, uji kadar lemak menggunakan metode sokhlet, dan uji kadar protein menggunakan metode kjeldahl.

1) Analisis kadar air (AOAC 2005)

Penentuan kadar air didasarkan pada berat contoh sebelum dan sesudah dikeringkan. Cawan kosong dikeringkan di dalam oven selama ± 30 menit pada suhu 105 oC, lalu dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 1-2 gram dimasukkan ke dalam cawan lalu dikeringkan di dalam oven pada suhu 100-102 oC selama 6 jam dan kemudian cawan dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit dan selanjutnya ditimbang kembali. Kadar air ditentukan dengan rumus:

% Kadar air = B - C x 100% B – A

Keterangan: A = Berat cawan kosong (gram)

B = Berat cawan dengan anemon laut (gram)

C = Berat cawan dengan anemon laut setelah dikeringkan (gram) 2) Analisis kadar abu (AOAC 2005)

Cawan dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven selama 30 menit dengan suhu 105 oC, lalu dimasukkan ke dalam desikator dan kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 1-2 gram ditimbang lalu dimasukkan ke dalam cawan dan kemudian dibakar di atas kompor listrik (diarangkan) sampai tidak berasap lagi dan selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur pengabuan (600 oC) ± 6 jam. Cawan dimasukkan ke dalam desikator sampai dingin lalu ditimbang. Kadar abu ditentukan dengan rumus:

% Kadar abu = Berat abu x 100% Berat sampel

3) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)

Anemon laut seberat 2 gram (W1) diletakkan di atas kapas bebas lemak lalu dimasukkan ke dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat kosongnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak berupa n-heksana sebanyak 150 ml. Tabung ekstraksi dipasang pada alat


(36)

23

destilasi soxhlet, lalu dipanaskan pada suhu 40 0C dengan menggunakan pemanas listrik dan direfluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0C, setelah itu labu dimasukkan ke dalam desikator hingga beratnya konstan lalu ditimbang (W3). Perhitungan kadar lemak pada anemon laut:

% Kadar Lemak = W3-W2 x 100% W1

Keterangan : W1 = Berat sampel anemon laut (gram) W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram) 4) Analisis kadar protein (AOAC 1980)

Analisis kadar protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran ini dilakukan dengan metode kjeldahl. Sampel anemon laut ditimbang sebanyak 2 gram, kemudian dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 50 ml, lalu ditambahkan 7 g K2SO4 kjeltab 0,005 g jenis HgO, 15 ml H2SO4 pekat dan 10 ml H2O2 ditambahkan secara perlahan ke dalam labu dan didiamkan selama 10 menit di ruang asam. Sampel didestruksi pada suhu 410 0C selama kurang lebih 2 jam atau sampai cairan berwarna hijau bening. Labu kjeldahl dicuci dengan aquades 50 hingga 70 ml, kemudian air tersebut dimasukkan ke dalam alat destilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi 25 ml asam borat (H3BO3) 4% yang mengandung indikator bromcherosol green 0,1% dan methyl red 0,1% dengan perbandingan 2:1. Destilasi dilakukan dengan menambahkan 50 ml larutan NaOH-Na2S2O3 ke dalam alat destilasi hingga tertampung 100-150 ml destilat di dalam erlenmeyer dengan hasil destilat berwarna hijau. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0.2 N sampai terjadi perubahan warna merah muda yang pertama kalinya. Volume titran dibaca dan dicatat. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut :

% N= ml HCl-ml blanko ×N HCl×14,007

mg contoh×faktor koreksi alat* ×100% *) Faktor koreksi alat = 2,5


(37)

% Kadar Protein= % N×faktor konversi*

*) Faktor Konversi = 6,25

5) Analisis kadar abu tidak larut asam menurut SNI-01-3836-2000 (BSN 2000)

Abu bekas pengukuran kadar abu total dilarutkan dengan penambahan 25 ml HCl 10%. Larutan tersebut kemudian dipanaskan selama 5 menit dan larutan disaring dengan kertas saring bebas abu. Larutan yang sudah disaring tersebut kemudian dicuci dengan air suling sampai bebas klorida. Kertas saring lalu dikeringkan dengan oven dan setelah kering kertas saring dimasukkan ke dalam cawan porselin yang sudah diketahui berat tetapnya. Cawan porselen berisi kertas saring tersebut kemudian dibakar dan diabukan dalam tanur listrik pada suhu 600 0C. Setelah dilakukan pengabuan sampel didinginkan di dalam desikator dan kemudian ditimbang beratnya. Kadar abu tidak larut asam dengan rumus:

Kadar abu tidak larut asam (%) = Berat abu (g)

Berat sampel awal (g) × 100%

3.3.3.2Uji komponen fitokimia (Harborne 1987)

Uji fitokimia dilakukan untuk menentukan komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak kasar anemon laut masing-masing perlakuan. Uji fitokimia yang dilakukan terdiri dari uji alkaloid, steroid/triterpenoid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon,dan tanin. Metode uji ini berdasarkan Harborne (1987).

a) Uji alkaloid

Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer, dan pereaksi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan pereaksi Wagner dan endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendorff.

Pereaksi Meyer dibuat dengan cara menambahkan 1,36 gram HgCl2 dengan 0,50 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 100 ml dengan labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna. Pereaksi Wagner dibuat dengan cara 10 ml akuades dipipet kemudian ditambahkan 2,50 gram iodin dan 2 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 ml dalam labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat. Pereaksi Dragendorff dibuat dengan cara 0,80 gram bismut subnitrat ditambahkan dengan 10 ml asam asetat dan 40 ml air. Larutan


(38)

25

ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 gram kalium iodida dalam 20 ml air. Sebelum digunakan, 1 volume campuran ini diencerkan dengan 2,30 volume campuran 20 ml asam asetat glasial dan 100 ml air. Pereaksi ini berwarna jingga. b) Uji steroid/triterpenoid

Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi. Anhrida asetat ditambahkan sebanyak 10 tetes kemudian ditambahkan asam sulfat pekat 3 tetes ke dalam campuran tersebut. Hasil uji positif mengandung steroid dan triterpenoid yaitu dengan terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau.

c) Uji flavonoid

Sejumlah sampel ditambah serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 ml amil alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama) dan 4 ml alkohol kemudian campuran dikocok. Hasil uji positif sampel mengandung flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol.

d) Uji fenol hidrokuinon (pereaksi FeCl3)

Sejumlah sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70%. Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3 5%. Hasil uji positif sampel mengandung fenol hidrokuinon ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau atau hijau biru.

e) Tanin

Sejumlah sampel ditambahkan FeCl3 kemudian campuran dihomogenkan. Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah pada campuran. f) Uji Saponin

Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan adanya saponin.

3.3.3.3 Uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH (Salazar-Aranda et al. 2009)

Uji antioksidan dengan metode DPPH pada penelitian pendahuluan akan menghasilkan satu ekstrak terbaik berdasarkan ukuran tubuh anemon laut. Ekstrak terbaik tersebut kemudian dimodifikasi dengan diberi perlakuan pada tingkat


(39)

kesegaran yang berbeda yaitu kondisi segar dan mati. Ekstrak yang didapat dari tingkat kesegaran yang berbeda tersebut diuji dengan DPPH kembali. Metode pengujian DPPH yang digunakan sama dengan pengujian pada tahap penelitian pendahuluan. Pembanding yang digunakan adalah vitamin C dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8 ppm. Ekstrak yang mempunyai sifat antioksidan terbaik selanjutnya digunakan pada uji fitokimia untuk lebih mengetahui komponen bioaktif yang terkandung di dalam ekstrak tersebut.


(40)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Bahan Baku

Karakterisasi bahan baku dilakukan untuk mengetahui sifat dari bahan baku yang digunakan. Anemon laut merupakan salah satu anggota Kelas Anthozoa yang bentuk tubuhnya bervariasi dengan kombinasi warna yang indah dipandang. Bentuk tubuh anemon seperti bunga sehingga juga disebut mawar laut. Hidupnya soliter dan tidak mempunyai percabangan dan mempunyai tentakel yang berisi udara. Biasanya di sela-sela tentakel ini merupakan tempat yang ideal bagi ikan-ikan hias (Hadi dan Sumadiyo 1992). Morfologi anemon laut yang diambil dari perairan Pulau Pramuka, Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS), DKI Jakarta dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Anemon laut yang diambil dari perairan Pulau Pramuka

Anemon laut yang digunakan dalam penelitian ini memiliki tentakel berwarna coklat, tentakel berukuran besar dan pendek, bentuk tubuh menyerupai karpet, serta melekat pada substrat perairan. Keping mulut bentuknya datar, melingkar, kadang-kadang mengkerut dan dilengkapi dengan tentakel. Lubang mulut terletak pada daerah yang lunak. Tentakel mengandung nematoksis, jumlahnya barvariasi dan umumnya menutupi oral disk. Jumlah tentakel biasanya merupakan kelipatan dari enam dan tersusun dalam dua deret lingkaran yang paling dalam. Kelipatan yang dimaksud adalah 6 tentakel pertama (paling dalam


(41)

dan paling tua), 6 bagian tentakel kedua, 12 bagian tentakel ketiga, 24 bagian tentakel keempat dan seterusnya (Collin dan Arnesson 1995).

4.2 Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan meliputi ektraksi senyawa bioaktif dan penentuan ekstrak terbaik berdasarkan ukuran tubuh anemon laut dengan metode DPPH yang selanjutnya akan digunakan pada penelitian utama. Hasil ekstraksi anemon laut (Stichodactyla gigantea) dinyatakan dalam persentase rendemen.

4.2.1 Ekstraksi senyawa bioaktif

Tahap ekstraksi merupakan tahap awal penapisan komponen bioaktif dari sampel anemon laut. Ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi komponen-komponen yang terpisah (Winarno et al. 1973). Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari suatu bahan yang mengandung komponen-komponen aktif. Proses ekstraksi pada penelitian ini meliputi penghancuran sampel sampai menjadi halus, maserasi dengan pelarut, penyaringan dan evaporasi menggunakan vacuum rotary evaporator.

Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstraksi tunggal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Prabowo (2009), metode ekstraksi tunggal menghasilkan rendemen dan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan metode ekstraksi bertingkat. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi ini adalah metanol (pelarut polar). Metanol merupakan pelarut alkohol paling sederhana yang dapat membentuk ikatan hidrogen dan dapat bercampur dengan air hingga kelarutan tak terhingga, sehingga metanol sering digunakan

sebagai pelarut dalam proses isolasi senyawa-senyawa organik (Fessenden dan Fessenden 1986). Disamping itu, metanol juga dapat melarutkan

alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tanin, gula, asam amino, glikosida serta beberapa senyawa non polar seperti lilin, minyak dan lemak (Harborne 1987).

Kondisi sampel pada saat akan dipreparasi adalah masih hidup, sehingga ekstraksi yang dilakukan adalah terhadap sampel segar. Sampel dihancurkan menggunakan blender hingga menjadi pasta halus. Ukuran partikel yang kecil


(42)

29

diharapkan dapat memperluas kontak sampel dengan pelarutnya sehingga semakin banyak komponen bioaktif yang dapat terekstrak. Selain itu, penghancuran akan memecah sel-sel yang terdapat dalam jaringan sehingga komponen yang akan diekstrak dapat cepat keluar dari bahan.

Proses maserasi dilakukan dengan cara merendam sampel dengan pelarut dengan perbandingan 1:3 (w/v). Hal ini dilakukan untuk memperbanyak ekstrak kasar yang dihasilkan. Semakin besar volume pelarut maka jumlah bahan yang akan terekstrak akan semakin besar sampai larutan menjadi jenuh kemudian

penambahan pelarut tidak akan menambah hasil ekstraksi (Houghton dan Raman 1998). Waktu maserasi yang digunakan pada penelitian ini

yaitu 2 x 24 jam. Waktu maserasi dilakukan lebih lama agar dapat meningkatkan hasil rendemen ekstrak kasar dari anemon laut ini. Salah satu faktor yang

mempengaruhi hasil ekstrak kasar yaitu lama waktu ekstraksi (Darusman et al. 1995). Proses maserasi dilakukan dengan pengadukan

menggunakan orbital shaker. Hal ini bertujuan agar terjadi tumbukan antara partikel yang dapat memperbesar kemungkinan pengikatan dan pemecahan sel sehingga komponen bioaktif dapat keluar dari jaringan dan larut dalam pelarut.

Tahap selanjutnya, yaitu tahap pemisahan yang terdiri dari penyaringan dan evaporasi. Penyaringan dilakukan untuk memisahkan sampel anemon laut dari pelarut yang telah mengandung bahan aktif, sedangkan evaporasi dilakukan untuk memisahkan pelarut dari senyawa bioaktif yang terikat pada suhu 37 °C. Penggunaan suhu vacum rotary evaporator dengan suhu yang tidak terlalu tinggi (30-40 °C) bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan senyawa bioaktif (Harborne 1987).

Proses evaporasi dari filtrat anemon laut dengan ukuran tubuh yang berbeda menghasilkan ekstrak kasar dengan karakteristik yang hampir sama. Ketiga ekstrak tersebut memiliki warna coklat tua berbentuk pasta kental dan memiliki bau yang khas. Ekstrak kasar anemon laut dapat dilihat pada Lampiran 3.

Hasil ekstraksi dari ketiga kelompok ukuran tubuh anemon ini menghasilkan rendemen ekstrak yang berbeda-beda pula. Perbedaan ukuran tubuh mempengaruhi hasil ekstrak kasar rendemen anemon laut. Nilai rendemen ekstrak ini merupakan perbandingan jumlah ekstrak yang dihasilkan dengan jumlah


(43)

sampel awal yang diekstrak dan dinyatakan dalam persen. Nilai rendemen ekstrak dari masing-masing ukuran disajikan pada Gambar 6. Data rendemen ekstrak anemon laut dapat dilihat pada Lampiran 4.

Gambar 6Diagram batang rendemen anemon laut

Gambar 6 menunjukkan bahwa rendemen terbesar ekstrak anemon laut adalah ekstrak dengan ukuran tubuh besar, yaitu sebesar 5,45% dan ekstrak terkecil adalah ekstrak dengan ukuran tubuh kecil, yaitu sebesar 2,83%, sedangkan ekstrak dengan ukuran tubuh sedang yang dihasilkan sebesar 4,4%. Data tersebut menunjukkan bahwa komponen bioaktif yang paling banyak terkandung dalam ekstrak adalah anemon laut dengan ukuran tubuh besar. Semakin besar rendemennya dapat diasumsikan banyaknya kandungan senyawa bioaktif yang terdapat pada sampel tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Nurhayati et al. (2009) bahwa nilai rendemen yang tinggi menunjukkan banyaknya komponen bioaktif yang terkandung di dalamnya.

Anemon laut dengan ukuran tubuh besar memiliki rendemen yang tinggi dikarenakan adanya hasil metabolit sekunder pada hewan yang telah dewasa (lebih besar) sehingga komponen bioaktif lebih banyak terekstrak pada anemon ukuran besar. Anemon laut menghasilkan dua jenis metabolit selama masa pertumbuhan dan perkembangannya, yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit primer adalah metabolit yang dibentuk selama masa pertumbuhan dan digunakan dalam proses-proses metabolisme esensial bagi

2,83

4,4

5,45

0 1 2 3 4 5 6

Kecil Sedang Besar

Re

n

d

e

m

e

n

(%


(44)

31

organisme. Sementara itu, metabolit sekunder adalah komponen senyawa yang diproduksi pada saat kebutuhan metabolit primer sudah terpenuhi dan bukanlah senyawa yang esensial bagi pertumbuhan dan reproduksi (Handojo 2006).

Perbedaan rendemen ekstrak kasar yang diperoleh juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, perbandingan jumlah sampel terhadap jumlah pelarut yang digunakan dan jenis pelarut yang digunakan (Salamah et al. 2008).

4.2.2 Aktivitas antioksidan berdasarkan ukuran tubuh

Keberadaan senyawa antioksidan dalam suatu bahan dapat dideteksi dengan melakukan uji aktivitas antioksidan. Uji aktivitas antioksidan pada ekstrak anemon laut dengan tingkat ukuran yang berbeda dilakukan dengan menggunakan metode uji DPPH. Prinsip kerja dari metode ini yaitu berdasarkan pada kemampuan substansi antioksidan tersebut dalam menetralisir radikal bebas. Radikal bebas yang digunakan adalah 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH). DPPH merupakan senyawa radikal bebas yang bersifat stabil dan beraktivitas dengan cara mendelokasi elektron bebas pada suatu molekul, sehingga molekul tersebut tidak reaktif sebagaimana radikal bebas yang lain. Selain itu radikal bebas DPPH juga stabil pada suhu kamar dan larut dalam pelarut polar yaitu metanol dan etanol (Molyneux 2004). Metode DPPH ini dipilih karena metode ini sederhana, mudah, waktu pengujian singkat dan sampel yang digunakan sedikit serta tidak membutuhkan banyak reagen (Juniarti et al. 2009).

Pengujian antioksidan dengan DPPH akan menghasilkan nilai IC50 (Inhibitor Concentration) yang menyatakan seberapa besar konsentrasi ekstrak yang dibutuhkan untuk mereduksi radikal bebas (DPPH) sebanyak 50%. Perhitungan nilai IC50 diperoleh dari penghambatan radikal bebas pada berbagai konsentrasi ekstrak. Larutan ekstrak diencerkan dengan etanol ditambah dengan DPPH. Warna awal larutan DPPH adalah ungu gelap. Penambahan ekstrak yang mempunyai sifat antioksidan akan menghasilkan perubahan warna menjadi kuning cerah. Perubahan warna ekstrak anemon laut setelah penambahan DPPH dapat dilhat pada Lampiran 5.


(45)

Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya pada radikal DPPH,

yang ditandai dengan perubahan warna ungu menjadi kuning pucat (Molyneux 2004). Larutan tersebut kemudian dilihat intensitas warnanya

menggunakan Elisa Reader yang akan menghasilkan nilai absorbansi. Nilai absorbansi tersebut yang digunakan untuk menghasilkan persen penghambatan yang dapat ditampilkan dalam bentuk kurva untuk menghasilkan suatu nilai IC50. Nilai rata-rata IC50 pada ekstrak kasar anemon laut dari ketiga ukuran tubuh dapat dilihat pada Gambar 7. Hasil perhitungan uji antioksidan dengan metode DPPH dapat dilihat pada Lampiran 6.

Gambar 7 Nilai rata-rata IC50 ekstrak kasar anemon laut

Nilai rata-rata IC50 ekstrak kasar anemon laut menunjukkan bahwa ekstrak metanol pada ukuran kecil dapat menghambat aktivitas radikal bebas DPPH sebesar 50% pada konsentrasi 916,94 ppm, ekstrak ukuran sedang pada

konsentrasi 1,505,31 ppm, dan ekstrak ukuran besar pada konsentrasi 2,073,13 ppm. Hasil terbaik adalah ekstrak anemon laut dengan ukuran tubuh

besar karena menghasilkan nilai IC50 paling kecil. Hal ini sesuai dengan Molyneux (2004) yang menyebutkan bahwa sifat antioksidan lebih baik bila nilai IC50 lebih kecil. Hasil ini selanjutnya digunakan pada penelitian utama untuk memperoleh ekstrak yang lebih baik dengan ukuran tubuh yang besar.

2,073.13

1,505.31

916.94

0 500 1,000

1,500

2,000 2,500

kecil sedang besar

Rat

a

-r

a

ta

I

C50

(p

p

m


(46)

33

Hasil dari Gambar 7 memperlihatkan bahwa adanya kecenderungan semakin besar ukuran tubuh anemon makan semakin kecil nilai IC50. Pertumbuhan anemon ditandai dengan perubahan ukuran tubuh yang semakin besar sehingga ketika anemon telah mencapai ukuran maksimalnya maka pertumbuhan telah berhenti. Di fase stasionernya ini, anemon tidak lagi menghasilkan metabolit primer untuk pertumbuhan melainkan menghasilkan metabolit sekunder sebagai respon terhadap lingkungannya seperti sistem pertahanan diri. Metabolit sekunder diproduksi oleh organisme pada saat kebutuhan metabolisme primer sudah terpenuhi dan digunakan dalam mekanisme evolusi atau strategi adaptasi lingkungan (fungsi penting dalam ekologi) (Muniarsih 2005). Metabolit sekunder inilah yang kemudian menghasilkan senyawa bioaktif melalui jalur biosintetiknya dan diantaranya ada yang bersifat sebagai antioksidan.

Hasil ekstrak kasar anemon laut dari ketiga ukuran tubuh memiliki aktivitas antioksidan yang tergolong lemah karena memiliki nilai IC50 lebih besar dari 200 ppm. Molyneux (2004) menyatakan bahwa suatu zat mempunyai sifat antioksidan bila nilai IC50 kurang dari 200 ppm. Bila nilai IC50 yang diperoleh berkisar antara 200-1000 ppm, maka zat tersebut kurang aktif namun masih berpotensi sebagai zat antioksidan.

4.3 Penelitian Utama

Penelitian utama yang dilakukan berupa penentuan kandungan gizi dari anemon laut, penentuan komponen bioaktif dengan uji fitokimia, dan penentuan ekstrak terbaik dari hasil penelitian pendahuluan yang dilanjutkan dengan perlakuan tingkat kesegaran yang berbeda dengan uji antioksidan menggunakan metode DPPH.

4.3.1 Kandungan gizi anemon laut (Stichodactyla gigantea)

Kandungan gizi pada anemon laut dapat ditentukan dengan analisis proksimat. Analisis proksimat merupakan suatu metode analisis kimia untuk mengindentifikasi kandungan nutrisi seperti kandungan air, protein, karbohidrat, lemak dan abu pada suatu bahan. Analisis proksimat memiliki manfaat sebagai


(47)

penilaian kualitas pakan atau bahan pangan terutama pada standar zat makanan yang seharusnya terkandung di dalamnya.

Analisis proksimat yang dilakukan pada anemon laut meliputi uji kadar air, abu, abu tidak larut asam, protein, lemak sedangkan karbohidrat dihitung dengan by difference. Pengujian kadar abu tidak larut asam dilakukan karena habitat anemon laut hidup di perairan yang dangkal dengan substrat pasir, lumpur, atau campuran dari keduanya. Oleh karena itu, adanya dugaan bahwa anemon laut mengandung abu tidak larut asam yang berasal dari mineral-mineral yang terkandung dalam lumpur atau pasir yang masuk ke dalam tubuhnya. Hasil analisis proksimat anemon laut ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil uji proksimat anemon laut

Parameter Anemon laut (%)

Kadar air 83,61

Lemak 0,58

Protein 0,4

Kadar abu 3,43

Kadar abu tidak larut asam 0,75

Karbohidrat 11,23

Air merupakan komponen yang penting dalam bahan makanan, karena air dapat memberikan pengaruh kepada penampakan, tekstur serta cita rasa. Analisis kadar air dalam penelitian ini bertujuan untuk menentukan jumlah air yang terkandung dalam anemon laut. Kadar air berpengaruh terhadap keawetan suatu bahan. Apabila kadar air tinggi maka bahan tersebut akan cepat mengalami penurunan mutu. Hal ini dikarenakan kandungan air mempengaruhi penampakan, karakteristik maupun daya awet suatu bahan yang mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang dan khamir untuk berkembang sehingga mempercepat kebusukan (Winarno 2008). Hasil analisa kadar air pada anemon laut menunjukkan bahwa kadar air yang terkandung pada anemon laut sebesar 83,61%. Kandungan air yang tinggi tersebut dapat disebabkan karena habitat anemon laut seluruh hidupnya terdapat di perairan. Selain itu, anemon laut merupakan hewan berongga sehingga hampir di seluruh tubuhnya dipenuhi oleh air. Jika bandingkan dengan kadar air dari ubur-ubur segar sebesar 87,50% (Aji 2011) maka hasil kadar air ini tidak jauh berbeda.


(48)

35

Lemak merupakan zat yang penting dan merupakan sumber energi yang lebih efektif bagi tubuh dibandingkan karbohidrat dan protein. Lemak memberi cira rasa dan memperbaiki tekstur pada makanan juga sebagai sumber pelarut bagi vitamin A, D, E dan K. Selain itu, lemak merupakan cadangan makanan dalam tubuh, karena kelebihan karbihidrat diubah menjadi lemak dan disimpan dalam jaringan adiposa (Winarno 2008). Menurut bobotnya, energi yang diperoleh dari lemak dua kali lebih banyak dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Kadar lemak yang diperoleh dari uji proksimat anemon laut adalah sebesar 0,58%. Hasil ini tergolong rendah jika dibandingkan dengan kadar lemak dari ubur-ubur segar sebesar 2,03% (Aji 2011). Perbedaan kadar lemak ini diduga karena pengaruh beberapa faktor yaitu umur, ukuran, dan habitat. Lemak akan semakin meningkat dengan bertambahnya usia, karena sifat fisiologis hewan yang akan menuju fase perkembangbiakan. Hewan akan membutuhkan lebih banyak energi yang disimpan dalam bentuk lemak untuk berkembang biak. Adanya variasi komposisi

kimia dapat terjadi antar spesies dan antar individu dalam satu spesies (Suzuki 1981).

Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena selain berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur (Budiyanto 2002). Protein merupakan makromolekul yang dibentuk dari asam-asam amino yang berikatan peptida. Selain itu, protein merupakan sumber asam-asam amino yang mengandung unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak ataupun karbohidrat. Molekul protein juga mengandung fosfor, belerang dan ada pula jenis protein yang mengandung unsur logam yaitu besi dan tembaga (Winarno 2008). Kandungan protein yang terdapat pada anemon laut adalah sebesar 0,4% sangatlah rendah jika dibandingkan dengan kandungan protein ubur-ubur segar yaitu sebesar 5,31% (Aji 2011).

Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu menunjukkan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan. Mineral memegang peranan penting dalam memelihara fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan (Almatsier 2006). Kadar abu yang terdapat pada anemon laut adalah sebesar


(1)

Lampiran 6 Perhitungan persen inhibisi dan penentuan IC50

a) Persen inhibisi dan IC50 pada vitamin C Sampel Konsentrasi

(ppm) A % inhibisi Persamaan regresi linier IC50 (ppm) Blanko 0 0,405

Vitamin C

2 0,234 42,222

y= 7,209(x) + 36,04 1,94 4 0,107 73,580

6 0,054 86,667 8 0,057 85,926 1) Persen inhibisi

 Vitamin C 2 ppm = 0,405−0,234

0,405 � 100% = 42,222%

 Vitamin C 4 ppm = 0,405−0,107

0,405 � 100% = 73,580%

 Vitamin C 6 ppm = 0,405−0,054

0,405 � 100% = 86,667%

 Vitamin C 8 ppm = 0,405−0,057

0,405 � 100% = 85,926%

2) IC50

y = 7,209(x) + 36,04 50 = 7,209(x) + 36,04 13,96 = 7,209(x)

x = 1,94

IC50 untuk vitamin C adalah 1,94ppm

b) Persen inhibisi IC50 pada ekstrak kasar anemon kecil segar

Konsentrasi (ppm)

Ekstrak Anemon Kecil Segar

Ulangan 1 Ulangan 2

A % inh A % inh

Blanko (A) 0,405

4.000 0,099 75,555 0,024 94,074

2.000 0,187 53,827 0,259 36,049

1.000 0,236 41,728 0,288 28,889

500 0,302 25,432 0,298 26,419

250 0,309 23,704 0,325 19,753

125 0,333 17,778 0,341 15,802

62,5 0,341 15,802 0,368 9,136


(2)

Rata-rata persen inhibisi ekstrak kasar anemon kecil segar Sampel Konsentrasi

(ppm) %inhibisi Persamaan regresi linier IC50 (ppm)

4.000 84,815

y = 0,016(x) + 16,83 2.073,13 2.000 44,938

1.000 35,309 Kecil segar 500 25,926

250 21,728

125 16,790

62,5 12,469 31,25 24,321 IC50 ekstrak anemon kecil segar

y = 0,016(x) + 16,83 50 = 0,016(x) + 16,83 33,17 = 0,016(x)

x = 2.073,13

IC50 untuk ekstrak anemon kecil segar adalah 2.073,13 ppm c) Persen inhibisi IC50 pada ekstrak kasar anemon sedang segar

Konsentrasi (ppm)

Ekstrak Anemon Sedang Segar

Ulangan 1 Ulangan 2

A % inh A % inh

Blanko (A) 0,456

800 0,348 23,684 0,321 29,605

600 0,37 18,859 0,377 17,325

400 0,405 11,184 0,407 10,746

200 0,428 6,140 0,437 4,167

Rata-rata persen inhibisi ekstrak kasar anemon Sedang segar Sampel Konsentrasi

(ppm) % inhibisi Persamaan regresi linier IC50 (ppm) 800 46,790

y = 0,035(x) – 2,686 1.505,31 Sedang

segar 600 31,728 400 23,951 200 17,407 IC50 ekstrak anemon sedang segar y = 0,035(x) – 2,686 50 = 0,035(x) – 2,686 52,686 = 0,035(x)

x = 1.505,31


(3)

d) Persen inhibisi IC50 pada ekstrak kasar anemon besar segar

Konsentrasi (ppm)

Ekstrak Anemon Besar Segar

Ulangan 1 Ulangan 2

A % inh A % inh

Blanko (A) 0,405

800 0,196 51,605 0,235 41,975

600 0,284 29,876 0,269 33,580

400 0,309 23,704 0,307 24,198

200 0,333 17,778 0,336 17,037

Rata-rata persen inhibisi ekstrak kasar anemon besar segar Sampel Konsentrasi

(ppm) % inhibisi Persamaan regresi linier IC50 (ppm)

800 46,790

y = 0,048(x) + 5,987 916,94 Besar segar 600 31,728

400 23,951

200 17,407

IC50 ekstrak anemon besar segar y = 0,048 (x) + 5,987 50 = 0,048 (x) + 5,987 44,013 = 0,048 (x)

x = 916,94

IC50 untuk ekstrak anemon sedang segar adalah 916,94 ppm e) Persen inhibisi IC50 pada ekstrak kasar anemon besar mati

Konsentrasi (ppm)

Ekstrak Anemon Besar Mati

Ulangan 1 Ulangan 2

A % inh A % inh

Blanko (A) 0,456

800 0,382 16,228 0,386 15,351

600 0,4 12,280 0,408 10,526

400 0,439 3,728 0,433 5,044

200 0,448 1,754 0,442 3,070

Rata-rata persen inhibisi ekstrak kasar anemon besar mati Sampel Konsentrasi

(ppm) % inhibisi Persamaan regresi linier IC50 (ppm)

800 15,789

y= 0,023(x) – 3,289 2.316,91 Besar mati 600 11,404

400 4,385


(4)

IC50 ekstrak anemon besar mati y = 0,023(x) – 3,289 50 = 0,023(x) – 3,289 53,289 = 0,023(x)

x = 2.316,91


(5)

Lampiran 7Perhitungan analisis proksimat anemon laut

a. Kadar air

% Kadar air U1 = 29,48−25,23 gram

(29,48−24,42) gram × 100% = 83,99%

% Kadar air U2 =

32,28−28,06 gram

(32,28−27,21) gram × 100% = 83,23%

% Kadar air rata-rata = 83,99% + 83,23%

2 = 83,61%

b. Kadar abu

% Kadar abu U1 =

0,18 gram

5,24 gram × 100% = 3,44%

% Kadar abu U2 = 0,18 gram

5,29 gram × 100% = 3,42%

% Kadar abu rata-rata = 3,44 % + 3,42 %

2 = 3,43%

c. Kadar protein

% Kadar protein = 1,40−0ml x 0,1022 N x 14,007x 6,25

1,25 g x 1000 x 2,5 × 100% = 0,4%

d. Kadar lemak

% Kadar lemak = 0,03 gram

5,15 gram × 100% = 0,58%

e. Kadar abu tidak larut asam = 0,04 gram

5,29 gram × 100% = 0,75%

f. Kadar karbohidrat (by difference)

% Kadar karbohidrat = 100% - (83,61+3,43+0,4+0,58+0,75)% = 11,23%


(6)

ii

RINGKASAN

FITRIE HARDYANTI. Komponen Bioaktif dan Aktivitas Antioksidan Anemon Laut (Stichodactyla gigantea). Dibimbing oleh RUDDY SUWANDI dan NURJANAH.

Pemanfaatan biota laut di Indonesia saat ini masih pada budidaya ikan dan pangan, sedangkan dalam bidang medis dan pengobatan masih jarang dilakukan. Salah satu inverterbarata laut yang dapat dikembangkan dan memiliki nilai ekonomis serta ekologis adalah anemon laut (Stichodactyla gigantea). Anemon laut sangat populer sebagai hewan pengisi akuarium dan bahan makanan laut (seafood). Biota ini memiliki sel-sel penyengat (nematokis) yang mengandung berbagai zat yang berpotensi dalam bidang biomedis dan obat-obatan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian lebih lanjut yaitu uji aktivitas antioksidan dan uji kualitatif komponen bioaktivitasnya. Antioksidan yang paling umum digunakan dalam bahan pangan saat ini adalah antioksidan sintetik. Pengembangan dan pemanfaatan antioksidan yang lebih efektif dari sumber daya alam perlu ditingkatkan untuk menggantikan antioksidan sintetik dalam penggunaannya di dalam makanan ataupun bahan obat-obatan.

Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan ukuran tubuh yang menghasilkan aktivitas antioksidan, kandungan gizi, komponen bioaktif dari ekstrak terbaik, dan tingkat kesegaran yang menghasilkan aktivitas antioksidan. Pada penelitian ini dibagi 3 tahap yaitu identifikasi dan pengambilan sampel, penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan meliputi ekstraksi senyawa bioaktif dan pengujian aktivitas antioksidan berdasarkan ukuran tubuh. Penelitian utama meliputi analisis proksimat, uji fitokimia ekstrak terbaik, dan pengujian aktivitas antioksidan berdasarkan tingkat kesegaran. Pengujian antoksidan dilakukan dengan metode 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil

(DPPH).

Karakteristik anemon laut (Stichodactyla gigantea) yang berasal dari perairan Pulau Pramuka, Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS), DKI Jakarta dibagi menjadi 3 ukuran yaitu kecil, sedang dan besar. Rendemen ekstrak anemon laut dengan ukuran tubuh kecil, sedang dan besar memiliki nilai sebesar 2,83%; 4,40% dan 5,45%. Hasil aktivitas antioksidan dengan ukuran tubuh berbeda memiliki nilai IC50 tertinggi pada anemon laut ukuran besar dengan IC50 sebesar 916,94 ppm. Anemon laut memiliki kadar air 83,61%, abu 3,43%, abu tidak larut asam 0,75%, lemak 0,58%, protein 0,4% dan karbohidrat 11,23%. Komponen anemon laut mengandung komponen alkaloid, flavonoid, steroid/triterpenoid, fenol hidrokuinon, dan saponin.

Anemon laut dengan tingkat kesegaran berbeda meliputi anemon laut ukuran tubuh besar segar dan mati. Penentuan tingkat kesegaran terbaik dengan uji antioksidan metode DPPH menunjukkan bahwa anemon laut dengan tingkat kesegaran paling segar memberikan efek antioksidan tertinggi dengan nilai IC50 sebesar 916,94 ppm, sedangkan nilai IC50 anemon laut mati sebesar 2.316,91 ppm. Ekstrak kasar anemon laut memiliki aktivitas antioksidan yang lemah jika dibandingkan dengan aktivitas antioksidan vitamin C yang memiliki nilai IC50 sebesar 1,95 ppm.