Pengetahuan dan Pelaksanaan Inisiasi Menyusui Dini, Pemberian ASI Eksklusif serta Status Gizi Batita di Perdesaan dan Perkotaan

ABSTRACT
DARA KRISTANTI NUGRAHENI. Knowledge and implementation of early
initiation of breastfeeding, exclusive breastfeeding and nutritional status of infants
under three years in rural and urban. Supervised by YEKTI HARTATI EFFENDI
and MIRA DEWI
Early initiation of breastfeeding is a method in which after the baby is
born, he/she is placed over the mother’s abdomen and left to crawl to reach the
nipple and finally suck it without assistance. The method provides the benefits to
the survival of infants. Early initiation of breastfeeding and exclusive
breastfeeding can prevent deaths and reduce the risk of neonatal infectious
diseases. The purpose of this research was to study the knowledge of early
initiation of breastfeeding mother, the implementation of early initiation of
breastfeeding, exclusive breastfeeding, and nutritional status of infants under
three years in rural and urban. The study design was retrospective and cross
sectional, and took place in Desa Sukajadi and Kelurahan Situgede. The study
showed that both the mothers in rural and urban areas have knowledge of early
initiation of breastfeeding at a medium level. There were 40% of samples in both
rural and urban areas who implement early initiation of breastfeeding and 62,9%
samples in both the rural and urban areas practiced exclusive breastfeeding.
There is no association between early initiation of breastfeeding knowledge of
mothers with implementation of early initiation of breastfeeding and between the

implementation of early initiation of breastfeeding with exclusive breastfeeding
and between exclusive breastfeeding with nutritional status of infants under three
years.
Keyword: knowledge of early initiation of breastfeeding mothers, implementation
of early initiation of breastfeeding, exclusive breastfeeding, nutritional status.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh
ketersediaan sumberdaya manusia yang berkualitas, yaitu sumberdaya yang
memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima.
Kekurangan gizi yang terjadi pada individu dapat merusak kualitas sumberdaya
manusia. Kejadian kekurangan gizi sering terluput dari pengamatan biasa, akan
tetapi secara perlahan dapat berakibat pada tingginya angka kematian ibu,
angka kematian bayi, angka kematian balita serta rendahnya umur harapan
hidup (WKNPG 2004).
Program

kesehatan


anak

merupakan

salah

satu

kegiatan

dari

penyelenggaraan perlindungan anak di bidang kesehatan yang dimulai sejak
bayi berada dalam kandungan, masa bayi, balita, usia sekolah dan remaja.
Program tersebut bertujuan untuk menjalin kelangsungan hidup bayi baru lahir,
memelihara dan meningkatkan kualitas hidup anak yang akan menjadi sumber
daya pembangunan bangsa. (Depkes RI 2008). Pemenuhan kebutuhan gizi,
terutama diperlukan sejak masa janin sampai anak berusia lima tahun. Masamasa ini merupakan masa rawan bagi anak. Pemenuhan gizi pada masa rawan
sangat menentukan kualitas seseorang pada masa produktif (Krisnatuti &
Yenrina 2001).

Tahun pertama, khususnya enam bulan pertama adalah masa yang
sangat kritis dalam kehidupan bayi. Bukan hanya pertumbuhan fisik yang
berlangsung dengan cepat, tetapi juga pembentukan psikomotor dan akulturasi
juga terjadi dengan cepat. Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan utama pada
masa ini. ASI tidak hanya mengandung semua zat gizi untuk membangun dan
menyediakan energi dalam susunan yang diperlukan, tetapi juga mengandung
zat kekebalan yang dibutuhkan bagi bayi untuk menjaga kesehatan tubuhnya
agar tidak terganggu oleh berbagai penyakit termasuk infeksi (Roesli 2001).
Anak di bawah tiga tahun merupakan usia yang rentan terhadap gizi
buruk. Tingkat pertumbuhan selama periode ini lebih besar dari pada waktu
lainnya dan terdapat peningkatan risiko penurunan pertumbuhan. Sistem
imunologi tidak sepenuhnya matang pada usia ini, sehingga meningkatkan resiko
terjangkitnya suatu penyakit infeksi. Pada periode usia ini pertumbuhan dan
perkembangan anak dapat berjalan secara normal jika mereka diberikan ASI
eksklusif selama enam bulan. Pemberian ASI eksklusif ini merupakan salah satu

2

faktor yang akan mendorong pertumbuhan dan perkembangan normal dalam tiga
tahun pertama kehidupan (WHO 2000).

Inisiasi menyusui dini (IMD) memberikan keuntungan bagi kelangsungan
hidup

bayi.

Menyusui

dapat

meningkatkan

kelangsungan

hidup

anak,

meningkatkan status kesehatan, serta meningkatkan perkembangan otak dan
motorik. Inisiasi menyusui dini dan pemberian ASI eksklusif dapat mencegah
kematian neonatal dan mengurangi risiko penyakit menular (WHO 2010)

Pendekatan (IMD) yang sekarang dianjurkan adalah dengan metode
breast crawl dimana segera setelah bayi lahir ia diletakkan di perut ibu dan
dibiarkan merangkak untuk mencapai sendiri puting ibunya dan akhirnya
menghisap tanpa bantuan. Karena proses ini menekankan kata “menyusu”
bukan “menyusui” sebab bayilah yang menjadi pusat perhatian untuk aktif
melakukannya sendiri (Februhartanty 2009).
Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan di Ghana pada tahun 20032004 menerangkan bahwa pemberian ASI dalam satu jam pertama setelah
kelahiran dapat menurunkan angka kematian bayi baru lahir hingga 22% dan
resiko kematian neonatal adalah empat kali lebih besar pada anak-anak yang
diberi susu berasis ciran atau padatan selain ASI (Pediatrics 2006).
Riskesdas tahun 2010 melaporkan persentase pelaksanaan inisiasi
menyusui dini setelah kelahiran di Jawa Barat sebesar 29,5%. Tertinggi di Nusa
Tenggara Timur dengan persentase sebesar 56,2% dan terendah di Maluku
dengan persentase sebesar 13%.
Keberhasilan pelaksanaan IMD tidak terlepas dari peran serta tenaga
medis yang menangani proses kelahiran. Berdasarkan pada penelitian yang
dilakukan Yulianty (2010) menerangkan bahwa salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan IMD adalah keterampilan yang dimiliki
oleh tenaga medis. Berdasarkan data cakupan persalinan berdasarkan penolong
di Provinsi Jawa Barat tahun 2009 di Kabupaten Bogor jumlah ibu melahirkan

yang ditolong tenaga kesehatan sebesar 10% dan sebesar 20% di tolong oleh
dukun beranak (Dinkes Jawa Barat 2010).
Seiring dengan perkembangan zaman serta terjadinya peningkatan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, pengetahuan lama yang
mendasar seperti menyusui semakin terlupakan. Dari penelitian terhadap 900 ibu
disekitar Jabotabek (1995) diperoleh fakta bahwa yang dapat memberi ASI
eksklusif selama 4 bulan hanya sekitar 5% dari 98% ibu yang menyusui.

3

Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan bahwa 37,9% dari ibu-ibu tersebut
tidak pernah mendapatkan informasi khusus tentang ASI, sedangkan 70,4% ibu
tidak pernah mendengar informasi tentang ASI eksklusif (Roesli 2000).
Pada tahun 1999, UNICEF memberikan klarifikasi tentang rekomendasi
jangka waktu pemberian ASI eksklusif. Rekomendasi terbaru UNICEF bersama
dengan World Health Asembly (WHA) dan banyak negara lainnya adalah
menetapkan jangka waktu pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan (Roesli
2000).
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Nutrition & Health Surveillance
System (NSS) yang bekerjasama dengan Balitbangkes dan Helen Keller

Internasional di 8 pedesaan (Sumbar, Lampung, Banten, Jabar, Jateng, Jatim,
NTB, Sulsel) dan 4 perkotaan (Jakarta, Surabaya, Semarang, Makasar),
menunjukkan bahwa cakupan ASI eksklusif 4-5 bulan di perdesaan 14% - 26%,
sedangkan di perkotaan antara 14% - 21%. Pencapaian ASI eksklusif 5-6 bulan
di perdesaan 6% - 19% sedangkan di perkotan hanya mencapai 3% - 18%
(Kodrat 2010).
Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) tahun 2004
menunjukkan pemberian ASI saja pada umumnya masih rendah dan adanya
kecenderungan yang menurun dari tahun 1995 ke tahun 2003. Lebih lanjut
pemberian ASI saja hingga usia 6 bulan cenderung rendah dengan persentase
sebasar 15-17%. Riskesdas tahun 2010 melaporkan persentase bayi menyusui
eksklusif sampai dengan 6 bulan di Indonesia adalah 15,3%. Berdasarkan data
Dinkes Kabupaten Bogor tahun 2010 pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan
mencapai 44,16%.
Triani (2010) dalam tesisnya menerangkan bahwa terdapat hubungan
yang nyata antara pelaksanaan inisiasi menyusui dini dengan pemberian ASI
eksklusif. Selain itu keberhasilan pelaksanaan inisiasi menyusui dini tidak
terlepas dari pengetahuan inisiasi menyusui dini yang dimiliki oleh ibu.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kusumawati (2010) menerangkan bahwa
terdapat hubungan nyata antara tingkat pengetahuan inisiasi menyusi dini ibu

dengan pelaksanaan inisiasi menyusui dini.
Masih terdapatnya ibu yang melahirkan dengan bantuan tenaga non
medis seperti dukun beranak dan masih rendahnya persentase menyusui kurang
dari satu jam pertama setelah kelahiran diduga karena masih rendahnya
pengetahuan ibu mengenai persalinan yang aman dan pentingnya pelaksanaan

4

inisiasi menyusui dini. Selain itu pula dikarenakan masih sangat terbatasnya
pengetahuan tenaga medis mengenai pentingnya pelaksanaan IMD dan
maraknya promosi susu formula yang dapat langsung diberikan pada bayi baru
lahir.
Inisiasi menyusui dini merupakan langkah awal bagi kesuksesan
pelaksanaan ASI eksklusif. Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif akan
cenderung memiliki status gizi yang baik. Oleh karena itulah peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai pengetahuan IMD ibu, pelaksanaan IMD,
pemberian ASI eksklusif serta status gizi batita di perdesaan dan perkotaan.

5


Tujuan
Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengetahuan dan pelaksanaan
Inisiasi Menyusui Dini (IMD), pemberian ASI eksklusif serta status gizi batita di
perdesaan dan perkotaan.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :
1. Mempelajari karakteristik batita (umur, jenis kelamin, berat saat lahir),
karakteristik ibu (umur, pendidikan dan pekerjaan) dan karakteristik
keluarga (pendapatan dan besar keluarga)
2. Mempelajari pengetahuan IMD ibu di perdesaan dan perkotaan
3. Mempelajari pelaksanaan IMD di perdesaan dan perkotaan
4. Mempelajari pemberian ASI eksklusif di perdesaan dan perkotaan
5. Mempelajari status gizi batita di perdesaan dan perkotaan
6. Mempelajari hubungan antara pengetahuan IMD ibu dengan praktek
pelaksanaan IMD.
7. Mempelajari hubungan antara pelaksanaan IMD dengan pemberian ASI
Eksklusif.
8. Mempelajari hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan status gizi
batita.

Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan

informasi mengenai

pelaksanaan IMD di perdesaan dan perkotaan bagi masyarakat. Bagi
puskesmas, penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai IMD baik bagi
petugas kesehatan setempat maupun masyarakat khususnya tentang IMD
sehingga dapat dijadikan masukan dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah wawasan tetang IMD yang
kemudian akan disosialisasikan kepada masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan anak.

TINJAUAN PUSTAKA
Batita
Masa batita (bawah tiga tahun) merupakan periode penting dalam proses
tumbuh kembang manusia. Pertumbuhan dan perkembangan di masa itu
menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode
selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang
berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut

golden age atau masa keemasan (Sutomo & Anggraini 2010).
Batita dikenal sebagai konsumen pasif, artinya mereka menerima jenis
makanan yang disajikan orang tua. Untuk itu, orang tua harus mengontrol ketat
asupan makanannya, mulai jenis makanan yang disukai, mudah dikunyah,
mudah dicerna, dan mengandung nutrisi lengkap. Pemilihan makanan untuk
batita harus lebih hati-hati dibandingkan anak-anak usia prasekolah, karena
pertumbuhan gigi geligi dan proses pencernaan mereka masih belum optimal
(Sutomo & Anggraini 2010).
Anak batita mengalami pertumbuhan mental dan gerak yang sangat
pesat, pertumbuhan fisik melambat selama tahun kedua. Selama tahun pertama,
bayi rata-rata dapat bertambah besar sebanyak 13 pon dan 10 inci (6,4 kg dan
25 cm); selama tahun kedua, mereka bisa bertambah besar sebanyak lima pon
dan lima inci (2,3 kg dan 13 cm) saja. Pertumbuhan yang menurun ini
menyebabkan nafsu makan yang menurun, sehingga anak batita diberi label
“Pemilih Makanan”. Anak batita tidak hanya mengkonsumsi kalori yang berjumlah
lebih sedikit, ia juga banyak menghabiskan lemak yang ia simpan selama tahun
pertama dan menjadi lebih tampak langsing (Sears & Sears 2003).
Menurut Arisman (2007), anak berumur 1-3 tahun akan mengalami
pertambahan berat sebanyak 2-2,5 kg, dan tinggi sebesar rata-rata 12 cm
setahun (tahun kedua 12 cm, dan tahun ketiga 8-9 cm). Berdasarkan standar
WHO-NCHS, ditetapkan berat rata-rata anak balita usia 1 hingga 3 tahun
masing-masing adalah 10,12, dan 14 kg.
Karakteristik Keluarga
Keluarga sebagai kelompok inti dari masyarakat merupakan lingkungan
alami hasil pertumbuhan dan perkembangan anak, perlu terus diberdayakan
sehingga menjadi lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak.
Menurut Megawangi (2004) keluarga adalah tempat pertama dan utama
dimana seseorang anak dididik dan dibesarkan. Fungsi keluarga utama dalam

7

resolusi majelis umum PBB adalah sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh
dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya
agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan
kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera.
Besar Keluarga
Menurut BBKBN (1998), besar keluarga adalah keseluruhan jumlah
anggota keluarga yang terdiri dari suami, isteri, anak dan anggota keluarga
lainnya yang tinggal bersama. Berdasarkan jumlah anggota keluarga, besar
keluarga dikelompokkan menjadi 3, yaitu keluarga kecil, keluarga sedang, dan
keluarga besar. Keluarga kecil adalah keluarga dengan jumlah anggota keluarga
kurang dari 4 orang, keluarga sedang adalah keluarga 5-7 orang, sedangkan
keluarga besar lebih dari 7 orang.
Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata
pada masing-masing keluarga. Pada suatu keluarga, terutama keluarga miskin
akan lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan makanannya jika jumlah
keluarganya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar
mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut,
tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga yang besar
tersebut (Suhardjo 2003).
Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin adalah paling
rawan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga, dan anak yang
paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Hal ini
disebabkan karena semakin bertambah besar jumlah keluarga, maka pangan
untuk setiap anak berkurang dan banyak orangtua tidak menyadari bahwa anakanak yang sangat muda memerlukan pangan yang relatif lebih banyak
dibandingkan anak-anak yang lebih tua (Suhardjo 2003).
Pendapatan Keluarga
Menurut Suhardjo (1989), dengan meningkatnya pendapatan seseorang,
maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Akan tetapi,
pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih
beragamnya konsumsi pangan. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan
yang menyebabkan orang-orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah
yang dibutuhkan.
Ada pula keluarga yang sebenarnya mempunyai penghasilan cukup
namun sebagian anaknya berstatus kurang gizi. Pada umumnya tingkat

8

pendapatan naik, maka jumlah dan jenis makanan cenderung untuk membaik,
tetapi mutu makanan tidak selalu membaik (Suhardjo 2003).
Rendahnya pendapatan merupakan kendala yang menyebabkan orang
tidak mampu membeli, memilih pangan yang bermutu gizi baik dan beragam.
Keluarga yang berpenghasilan cukup atau tinggi lebih mudah dalam menentukan
pemilihan bahan pangan yang sesuai dengan syarat mutu yang baik. Tingkat
pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan
yang dikonsumsi. Pendapatan yang tinggi akan meningkatkan daya beli
sehingga keluarga mampu membeli pangan dalam jumah yang diperlukan dan
akhirnya berdampak positif terhadap status gizi (Nasoetion dan Riyadi 1994).
Penurunan pendapatan terkait erat dengan penurunan tingkat ketahanan
pangan dan terjadinya masalah gizi kurang. Keterkaitan pendapatan dan
ketidaktahanan pangan dapat dijelaskan dengan hukum engel dimana pada saat
terjadinya

peningkatan

pendapatan,

konsumen

akan

membelanjakan

pendapatan untuk pangan dengan porsi yang semakin kecil. Sebaliknya, bila
pendapatan menurun, porsi yang dibelanjakan untuk pangan makin meningkat
(Soekirman 2000).
Karakteristik Ibu
Umur
Orang tua khususnya ibu yang terlalu muda (< 20 tahun) cenderung
kurang mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam mengasuh
anak sehingga pada umumnya orang tua tersebut merawat dan mengasuh anak
berdasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda
juga lebih cenderung menjadikan ibu lebih memperhatikan kepentingannya
sendiri

daripada

kepentingan

anaknya

sehingga

kulitas

dan

kuantitas

pengasuhan anak kurang terpenuhi. Sebaliknya, pada ibu yang memiliki usia
yang telah matang (dewasa) akan cenderung menerima perannya dengan
sepenuh hati (Hurlock 1998).
Pekerjaan
Semakin bertambah luasnya lapangan kerja maka semakin mendorong
banyaknya kaum wanita yang bekerja, terutama di sektor swasta. Di satu sisi, hal
tersebut berdampak positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain
berdampak negatif terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak. Perhatian
terhadap pemberian makan anak menjadi kurang, sehingga cenderung dapat
menyebabkan anak menderita kurang gizi, yang selanjutnya berpengaruh buruk

9

terhadap tumbuh kembang dan perkembangan otak anak (Mulyani 1990).Hasil
penelitian Juliastuti (2011) ibu yang tidak bekerja akan semakin tinggi
kemungkinan pemberian ASI eksklusif.
Tingkat Pendidikan Ibu
Pendidikan merupakan salah satu faktor yan penting dalam proses
tumbuh kembang anak. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih
mudah menerima pesan dan informasi gizi dan kesehatan anak. Tingkat
pendidikan sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku hidup sehat.
Perubahan sikap dan perilaku sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.
Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih mudah menyerap informasi dan
mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup, khususnya dalam hal
kesehatan dan gizi. Angka melek hidup merupakan salah satu indikator penting
yang

juga

akan

membawa

pengaruh

positif

terhadap

kesehatan

dan

kesejahteraan masyarakat (Atmanita & Fallah 2004).
Pengetahuan Gizi dan IMD Ibu
Pengetahuan gizi adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat
gizi serta interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan.
Pengetahuan gizi yang baik dapat mengindarkan seseorang dari konsumsi
pangan yang salah atau buruk. Pengetahuan gizi dapat diperoleh melalui
pendidikan formal maupun informal. Selain itu, juga dapat diperoleh dengan
melihat, mendengar sendiri atau melalui alat-alat komunikasi seperti membaca
surat kabar atau majalah, mendengar siaran radio dan meyaksikan siaran televisi
ataupun penyuluhan kesehatan/gizi (Suhardjo 1996).
Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi
didasarkan pada tiga kenyataan : (1) status gizi yang cukup adalah penting bagi
kesehatan dan kesejahteraan, (2) setiap orang hanya akan cukup gizi jika
makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk
pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan dan energi, (3) ilmu gizi
memberikan

fakta-fakta

yang

perlu

sehingga

penduduk

dapat

belajar

menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi (Suhardjo 1996).
Berdasarkan hasil penelitian Juliastuti (2011) menunjukkan bahwa
semakin tinggi tingkat pengetahuan ibu maka akan semakin tinggi kemungkinan
pemberian ASI ekslusif. Serta berdasarkan penelitian Kusumawati (2010) dan
Hasanah (2009) menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
pengetahuan inisiasi menyusui dini ibu dengan pelaksanaan inisiasi menyusui

10

dini dimana ibu yang memiliki tingkat pengetahuan IMD baik maka akan
memungkinkan terjadinya peningkatan pelaksanaan IMD
Inisiasi Menyusui Dini
Pilar utama dalam proses menyusui adalah inisiasi dini atau lebih dikenal
dengan inisiasi menyusui dini (IMD). IMD didefinisikan sebagai proses
membiarkan bayi menyusui sendiri setelah kelahiran. Bayi diletakkan di dada
ibunya dan bayi itu sendiri dengan segala upayanya mencari puting untuk segera
menyusui. Jangka waktunya adalah sesegera mungkin setelah melahirkan. IMD
sangat penting tidak hanya untuk bayi, namun juga bagi ibu. Dengan demikian,
sekitar 22% angka kematian bayi setelah lahir pada satu bulan pertama dapat
ditekan. Bayi disusui selama satu jam atau lebih di dada ibunya segera setelah
lahir. Hal tersebut juga penting dalam menjaga produktivitas ASI. Isapan bayi
penting dalam meningkatkan kadar hormon prolaktin, yaitu hormon yang
merangsang

kelenjar

susu

untuk

memproduksi

ASI.

Isapan

itu

akan

meningkatkan produksi susu dua kali lipat. Itulah bedanya isapan dengan
perasan (Yuliarti 2010).
Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dapat melatih motorik bayi dan sebagai
langkah awal untuk membentuk ikatan batin antara ibu dan anak. Sebaiknya,
bayi langsung diletakkan diatas dada ibu sebelum bayi dibersihkan. Sentuhan
dengan kulit mampu memberi efek psikologis yang kuat antara ibu dan anak.
Untuk dapat melakukan IMD, dibutuhkan waktu, kesabaran serta dukungan dari
keluarga. Bayi yang lahir dalam kondisi normal dengan kelahiran tanpa operasi
dapat menyusu pada ibunya tanpa dibantu pada waktu sekitar satu jam. Kondisi
ini tidak akan terjadi dalam kelahiran dengan operasi Caesar. Maka kemungkinan
keberhasilan IMD hanya sekitar 50% termasuk kelahiran bayi dengan
menggunakan obat kimiawi ataupun medicated labor (Prasetyono 2009).
Cara melakukan IMD ini disebut pula breast crawl atau merangkak untuk
mencari puting ibu secara alamiah. Pada prinsipnya IMD merupakan kontak
langsung antara kulit ibu dan kulit bayi, bayi ditengkurapkan di dada atau di perut
ibu selekas mungkin setelah seluruh badan dikeringkan, kecuali pada telapak
tangannya. Kedua telapak tangan bayi dibiarkan tetap terkena air ketuban
karena bau dan rasa cairan ketuban ini sama dengan bau yang dikeluarkan
payudara ibu, dengan demikian ini menuntun bayi untuk menemukan puting.
Lemak (verniks) yang menyamankan kulit bayi sebaiknya dibiarkan tetap

11

menempel. Kontak antarkulit ini dilakukan sekitar satu jam sampai bayi selesai
menyusui (Siswosuharjo & Chakrawati 2010).
Tindakan IMD membantu bayi memperoleh air susu ibu (ASI) pertamanya
dan dapat meningkatkan produksi ASI serta membangun ikatan kasih antara ibu
dan bayi. IMD juga terbukti dapat mencegah 22% risiko kematian pada bayi baru
lahir. Selain itu, bayi bisa menyusu dalam 20-30 menit pertama setelah lahir. Hal
ini akan membangun refleks mengisap pada bayi sehingga proses menyusu
berikutnya akan lebih baik. Sebaliknya, bayi yang tidak segera menyusu hanya
akan bertahan menyusu selama tiga bulan (Trihendradi & Indarto 2010).
Berdasarka penelitian yang dilakukan Aprilia (2009) menyatkan bahwa
keberhasilan program Inisiasi Menyusui Dini (IMD) sangat dipengaruhi oleh
sikap, pengetahuan, dan motovasi bidan atau dokter yang menangani proses
persalinan. Selain itu keberhasilan ibu menyusui juga harus didukung oleh
suami, keluarga, petugas kesehatan, dan masyarakat.
Data Riskesdas tahun 2010 mencatat bahwa pelaksanakan inisiasi
menyusui dini di Indonesia sebesar 29,3% dan tertinggi di Nusa Tenggara Timur
56,2% dan terendah di Maluku 13%. Sedangkan pelaksanaan inisiasi menyusui
dini di Jawa Barat sendiri sebesar 29,5%.
Berdasarkan hasil penelitian Fitria (2010) yang dilakukan di klinik Mariani,
Sumatra Utara mencatat bahwa dari 14 responden terdapat 7 responden (50%)
yang melaksanakan inisiasi menyusui dini.
Hasil penelitian yang dilakukan Arifah (2009) terhadap 24 pasien di RS
Sultan Agung, Semarang menunjukkan bahwa sebesar 38,42% ibu yang
melaksanakan IMD.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmaningtyas, Ribut & Koekoeh
pada tahun 2009 yang dilaksanakan di RSIA Swasta Kota Kediri dan tercatat
dalam jurnal ISSN (2010) menerangkan bahwa terdapat 34 ibu yang
menjalankan persalinan normal dan terdapat 31 sampel atau sekitar 91,2% yang
melaksanakan inisiasi menyusui dini.
Pentingnya Inisiasi Menyusui Dini
Roesli (2008) menyatakan bahwa pentingnya kontak kulit bayi dan ibu
segera setelah lahir dan bayi menyusu sendiri dalam satu jam pertama
kehidupan, antara lain :

12

1. Dada ibu menghangatkan bayi dengan tepat selama bayi merangkak
mencari payudara. Ini akan menurunkan kematian akibat kedinginan
(hypothermia).
2. Ibu dan bayi merasa lebih tenang. Pernapasan dan detak jantung bayi
lebih stabil. Bayi akan lebih jarang menangis sehingga mengurangi
pemakaian energi.
3. Saat merangkak mencari payudara, bayi memindahkan bakteri dari kulit
ibunya dan akan menjilat-jilat kulit ibu menelan bakteri baik di kulit ibu.
Bakteri “baik” ini akan berkembang baik membentuk koloni di kulit dan
usu bayi, menyaingi bakteri “jahat” dari lingkungan.
4. “Bonding” (ikatan kasih sayang) antara ibu-bayi akan lebih karena pada 12 jam pertama, bayi dalam keadaan siaga. Setlah ibu, biasanya bayi tidur
dalam waktu yang lama.
5. Makanan awal non-ASI mengandung zat putih telur yang bukan berasal
dari susu manusia, misalnya dari susu hewan. Hal ini dapat mengganti
pertumbuhan fungsi usus dan mencetuskan alergi lebih awal.
6. Bayi yang diberikan kesempatan menyusui lebih dini lebih berhasil
menyusu eksklusif dan akan lebih lama disusui.
7. Hentakan kepala bayi ke dada ibu, sentuhan tangan bayi di puting susu
dan sekitarnya, emutan dan jilatan bayi pada puting ibu, merangsang
pengeluaran hormon oksitosin.
8. Bayi mendapatkan ASI kolostrum – ASI yang pertama kali keluar. Cairan
emas ini kadang

juga dinamakan

the gift

of

life.

Bayi

yang

diberikesempatan inisiasi menyusui dini lebih dahulu mendapatkan
kolostrum dibandingkan yang tidak diberi kesempatan. Kolostrum
merupakan ASI istimewa yang kaya akan zat yang berguna bagi daya
tahan tubuh, penting untuk ketahanan terhadap infeksi, penting untuk
pertumbuhan usu, bahkan untuk kelangsungan hidup bayi. Kolostrum
akan membuat lapisan yang melindungi dinding usu bayi yang masih
bselum matang sekaligus mematangkan dinding usus.
9. Ibu dan ayah akan merasa sangat bahagia bertemu dengan bayinya
untuk pertama kali dalam kondisi seperti ini. Bahkan, ayah mendapatkan
kesempatan mengazankan anaknya di dada ibunya. Suatu pengalaman
batin bagi ketiganya yang amat indah.

13

Langkah - langkah IMD
1. Anjurkan suami atau keluarga mendampingi ibu saat melahirkan
2. Sebaiknya hindari penggunaan obat kimiawi karena obat kimiawi yang
diberikan saat ibu melahirkan dapat mencapai janin melalui ari-ari dan
menyebabkan bayi sulit menyusu pada payudara ibu.
3. Segera setelah bayi dilahirkan, menangis, dan mulai bernafas :
a. Bayi diletakkan di perut ibu yang sudah dialasi kain kering
b. Keringkan secepatnya dengan kain lembut seluruh tubuh kecuali
kedua tangannya. Jangan hilangkan lemak putih (vernix) di tubuh
bayi karena akan berfungsi sebagai pelindung bayi
c. Setelah

tali

pusar

dipotong

dan

diikat,

tanpa

dibedong,

tengkurapkan bayi dalam keadaan telanjang di dada atau perut
ibu dengan melekat pada kulit ibu. Selimuti keduanya. Bila perlu,
tutupi kepala bayi untuk mengurangi pengeluaran panas dari
kepalanya.
d. Biarkan bayi mencari sendiri puting susu ibu. Ibu dapat membantu
bayi dengan sentuhan lembut tapi jangan memaksakan bayi ke
puting susu.
e. Tendangan lembut, tekanan kaki bayi ke perut ibu akan
membantu kontraksi rahim utuk mengeluarkan plasenta dan
mengurangi perdarahan.
f.

Remasan tangan bayi pada daerah puting, hentakan kepala ke
dada ibu, perilaku bayi menoleh ke kiri dan ke kanan yang
menggesek payudara ibu akan merangsang pengeluaran ASI
lebih cepat dan mengerutkan rahim.

g. Ajak suami atau keluarga untuk meningkatkan rasa percaya diri
ibu dan bersama ibu mengenali tanda-tanda bayi siap menyusu
(isap tangan, buka mulut mencari puting, dan keluar air liur)
h. Dalam upaya mencari puting susu, bayi sering menjilati kulit ibu.
Hal ini sangat bermanfaat dalam membentuk kekebalan tubuh
bayi.
i.

Setelah bayi berada di dekat puting, bayi mengeluarkan air liur,
menjilati puting, dan membuka mulut lebar. Biarkan bayi
mengulum puting ibu dan menghisapnya. Hisapan bayi pada

14

puting ibu ini membantu mengerutkan rahim (hormon oksitosin)
sehingga mengurangi perdarahan.
j.

Biarkan bayi tetap tengkurap dengan tubuh bayi menempel pada
dada ibu sampai bayi selesai menyusui pertama dan melepas
puting.

k. Dalam menyusu pertama bayi memperoleh kolostrum yang kaya
akan protein, serta zat kekebalan tubuh yang sangat berguna
untuk melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi.
l.

Proses di atas dimulai segera dan berlangsung minimal satu jam
pertama sejak bayi lahir.

m. Bila persalinan harus melalui proses Cesar, Inisiasi Menyusu Dini
(IMD) dapat tetap dilakukan walaupun kemungkinan berhasilnya
sekitar 50% daripada persalinan normal.
4. Bayi tidak dipisahkan dari ibunya (rawat gabung) dan berada dalam
jangkauan ibu selama 24 jam. Dengan melakukan IMD, ASI akan keluar
lebih cepat dan banyak. Ketika baru lahir, bayi hanya memerlukan ASI.
Makanan atau minuman selain ASI hanya membebani kerja lambung dan
saluran pencernaa lain serta ginjal bayi (Depkes RI 2008).
Manfaat IMD
Proses inisiasi menyusui dini memberikan manfaat bagi ibu dan bayi,
antara lain :
1. Mendekatkan ikatan kasih sayang (bonding) antara ibu dan bayi pada
jam-jam pertama kehidupannya. Hal ini penting untuk dasar pada
interaksi ibu dan bayi selanjutnya.
2. Bagi ibu, IMD menstimulasi hormon oksitosin yang dapat membuat rahim
berkontarksi dalam proses pengecilan rahim kembali ke ukuran semula.
Proses

ini

juga

membantu

pengeluaran

plasenta,

mengurangi

perdarahan, merangsang hormon lain yang dapat meningkatkan ambang
nyeri, membuat perasaan lebih rileks, bahagia, serta lebih mencintai bayi.
3. Bagi bayi, IMD bisa meredakan ketegangan dan stres yang kemungkinan
terjadi selama proses kelahiran, memberi rasa nyaman, dan aman.
Menghisap merupakan hal alami yang dilakukan bayi di dalam rahim ibu.
4. IMD bisa menyelamatkan nyawa bayi. Faktanya, empat juta bayi
meninggal dalam usia 28 hari dalam satu tahun. Jika bayi segera disusui

15

dalam waktu satu jam pertama akan mengurangi angka risiko kematian
bayi (Siswosuharjo & Chakrawati 2010).
Soedjatmiko (2009) dalam bukunya menyatakan bahwa proses menyusui
yang baik sejak dini (inisiasi menyusui dini) akan memperkuat ikatan antara ibu
dan bayi yang penting untuk perkembangan emosi dan kepercayaan diri di
kemudian hari.
Penghambat Inisiasi Menyusui Dini
Beberapa pendapat yang menghambat terjadinya kontak dini kulit ibu
dengan kulit bayi menurut Roesli (2008), antara lain :
1. Setelah melahirkan, ibu terlalu lelah untuk segera menyusui bayinya
2. Tenaga kesehatan kurang tersedia
3. Bayi harus dibersihkan, dimandikan, ditimbang, dan diukur.
4. Bayi kedinginan bila diletakkan di dada ibu.
5. Kamar bersalin atau kamar operasi sibuk, sehingga ibu dan bayi harus
segera dipindahkan ke ruang perawatan.
6. Ibu harus dijahit setelah melahirkan
7. Suntikan vitamin K dan tetes mata untuk mencegah penyakit gonore
harus segera diberikan setelah lahir.
8. Bayi kurang siaga, sehingga sulit bergerak untuk mencapai puting susu
ibu.
9. Kolostrum tidak keluar, atau jumlah kolostrum tidak memadai sehingga
diperlukan cairan lain (cairan prelaktal).
10. Kolostrum tidak baik, bahkan berbahaya untuk bayi.
Pemberian ASI Eksklusif
Banyak sikap dan kepercayaan yang tidak mendasar terhadap makna
pemberian ASI yang membuat para ibu tidak melakukan ASI eksklusif selama 6
bulan. Alasan umum mengapa ibu tidak memberikan ASI eksklusif meliputi rasa
takut yang tidak berdasar bahwa ASI yang dihasilkan tidak cukup atau memiliki
mutu yang tidak baik, keterlambatan memulai pemberian ASI dan pembuangan
kolostrum, teknik pemberian ASI yang salah, serta kepercayaan yang keliru
bahwa bayi haus dan memerlukan cairan tambahan. Selain itu, kurangnya
dukungan dari pelayanan kesehatan dan keberadaan pemasaran susu formula
sebagai pengganti ASI menjadi kendala ibu untuk memberikan ASI eksklusif
kepada bayinya (Gibney et al 2005).

16

Pemberian Kolostrum
ASI yang dihasilkan perama kali hingga lima hari pertama setelah
kelahiran, berwarna kekuning-kuningan dan lebih kental yang dikenal dengan
nama kolostrum. Kolostrum sangat besar manfaatnya sehingga pemberian ASI
pada minggu perama mempunyai arti sangat penting bagi perkembangan bayi
selanjutnya (Krisnatuti & Yenrina 2001).
Kolostrum merupakan pencahar yang ideal untuk membersihkan zat yang
tidak terpakai usus bayi yang baru lahir dan membersihkan saluran pencernaan
makanan bayi bagi makanan yang akan datang. Selain itu banyak mengandung
protein dibandingkan dengan ASI matang, serta mengandung zat anti-infeksi 1017 kali lebih banyak dibandingkan ASI matang. Total energi lebih rendah jika
dibandingkan dengan susu matang. Volume kolostrum antara 150-300 ml/24 jam
(Roesli 2004).
Hasil penelitian Rahayu (2005) sebesar 26,7% contoh di perkotaan dan
10% contoh di perdesaan tidak memberikan kolotrum pada bayinya. Alasan
contoh di perkotaan tidak memberikan kolostrum pada bayinya adalah kotor dan
berbau amis (12,5%), tidak diperbolehkan oleh orang tua (37,5%), tidak
diperbolehkan oleh bidan(12,5%) dan anak muntah (37,4%). Sedangkan
diperdesaan, alasan contoh tidak memberikan kolostrum antara lain tidak
diperoehkan oleh orang tua (33,33%), anak muntah (33,33%) dan ibu sakit
(33,33%).
Makanan prelaktal
Makanan prelaktal adalah makanan atau minuman yang diberikan kepada
bayi baru lahir sebelum ASI keluar. Makanan prelaktal biasanya diberikan
kepada bayi dengan proses mulai menyusui > 1 jam setelah lahir dengan alasan
ASI belum keluar atau alasan tradisi. Pemberian makanan prelaktal dapat
diberikan oleh penolong persalinan atau orang tua dan keluarga bayi (Riskesdas
2010).
Hasil penelitian Rahayu (2005) menunjukkan bahwa sebesar 50% baduta
di perkotaan dan 76,7% di perdesaan yang diberikan makanan prelaktal dan
jenis makanan prelaktal yang banyak diberikan adalah susu.
Pemberian susu formula
Khomsan (2003) menyatakan bahwa jika ibu tidak dapat menyusui
bayinya karena ASI tidak keluar atau alasan lain, maka susu formula dapat
menjadi pengganti ASI (PASI). Susu pengganti yang sering digunakan adalah

17

susu sapi, susu formula dan susu bubuk. Biasanya setelah 6 bulan, bayi mulai
dikenalkan dengan MP-ASI (Makanan Pendamping ASI) seperti makanan
semicair (bubur encer dari susu dan sereal beras), buah dan sayur (6-8 bulan),
berlanjut pada makanan semipadat atau makanan lunak pada usia 8-12 bulan
dan makanan padat saat usia >12 bulan.
Susu formula seharusnya tidak baik jika diberikan pada bayi sejak umur
0-6 bulan. Bayi belum bisa mencerna makanan yang lain. Namun jika bayi tidak
puas dengan ASI ibu maka susu formula dapat diberikan setelah bayi berusia
empat bulan. Ibu yang bekerja harus tetap memberikan ASI eksklusif dengan
cara memeras ASI untuk kemudian dimasukkan ke dalam botol (Kodrat 2010).
Pelaksanaan ASI Eksklusif
ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI kepada bayi secara
langsung oelh ibunya dan tidak diberikan makanan cair atau padat lainnya
kecuali obat tetes atau sirup yang berisi suplemen vitamin, mineral, atau obat
(Gibney et al 2005). Hasil penelitian Triani (2010) menunjukan bahwa faktor yang
mempengaruhi pemberian ASI eksklusif adalah pengetahua inisiasi menyusui
dini ibu, status pekerjaan ibu dan pelaksanaan inisiasi menyusui dini.
Pada penelitian Rahayu (2005) hanya sebagian kecil contoh di perkotaan
(20%) dan contoh di perdesaan (16,7%) memberikan ASI eksklusif pada bayinya.
Umumnya contoh di perkotan memberikan susu formula kepada bayinya (80%).
Sedangkan di perdesaan jumlah contoh yang memberikan susu formula lebih
sedikit jika dibandingkan di perkotaan yaitu sebesar 36,7%.
Alasan Pemberian ASI Eksklusif
Hasil penelitian Rachmadewi (2009) menyatakan alasan ibu di perdesaan
untuk memberikan ASI eksklusif mayoritas (30,8%) karena anjuran bidan,
sedangkan di perkotaan mayoritas ibu (45,4%) memberikan ASI eksklusif karena
ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi.
Lama Pemberian ASI Eksklusif
WHO pada tahun 1991 merekomendasikan durasi pemberian ASI
eksklusif pada bayi selama periode 4-6 bulan pertama. Tahun 2001, WHO
menetapkan durasi pemberian ASI eksklusif yang optimal adalah selama 6 bulan
(Gibney et al 2005). Perbedaan yang besar terdapat pada permulaan pemberian
ASI dan durasinya di antara dan di dalam negara-negara maju. Sebagai contoh,
angka pemberian ASI eksklusif di Eropa pada usia 6 bulan bervariasi dari
sebanyak 46% di Austria dan 42% di Swedia hingga 21% di Inggris dan 10% di

18

Jerman. Hal ini terjadi karena pemasaran susu formula pengganti ASI dan
kebiasaan menyusui sendiri di antara ibu-ibu dari keluarga kaya umumya sudah
digantikan dengan praktik pemberian makanan bayi dengan susu formula
(Gibney at al 2009).
Hasil penelitian Rachmadewi (2009) menunjukan sebesar 41,9% bayi di
perdesaan dan 25,8% di perkotaan yang memberikan ASI saja hingga usia 4-6
bulan. Hal ini dikarenakan bayi banyak mendapatkan makanan atau cairan
sebelum usia 2 bulan.

Status Gizi
Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau
kelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan
zat gizi makanan. Dengan menilia status gizi seseorang atau sekelompok orang,
maka dapat diketahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut status
gizinya baik ataukah tidak baik (Nasoetion & Riyadi 1995).
Status gizi anak sering dinyatakan dalam ukuran berat badan menurut
umur yang kemudian dibandingkan dengan nilai standar dari WHO/NCHS.
Ukuran status gizi ini secara internasional disebut Z-score. Anak dengan status
gizi normal mempunyai Z-score -2Sd sampai +2Sd. Apabila Z-score berada di
bawah -2Sd maka anak tersebut dikatakan menderita gizi kurang dan apabila
dibawah -3Sd berarti status gizinya buruk (Khomsan 2004).
Menurut Khomsan (2004) setelah berusia enam bulan, ternyata anakanak Indonesia cenderung memiliki Z-score antara 1-Sd sampai -2Sd. Hal ini
menunjukkan bahwa meski mereka masih termasuk dalam kategori normal,
dengan bertambahnya umur (sampai usia balita) anak-anak Indonesia beresiko
besar untuk terpuruk menjadi gizi kurang.
Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari
sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai
macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat
umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain : berat badan,
tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit (Supariasa dkk
2002).
Antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari
berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Gangguan ini

19

biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti
lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa dkk 2002).
Soekirman (2000) menyatakan bahwa di dalam ilmu gizi status gizi tidak
hanya dapat diketahui dengan mengukur BB atau TB sesuai dengan umur (U)
secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam indikator yang dapat merupakan
kombinasi antara ketiganya. Masing-masing indikator mempunyai makna
tersendiri. Misalnya kombinasi antara BB dan U membentuk indikator BB
menurut U yang disimbolkan dengan “BB/U”, kombinasi antara TB dan U
membentuk indikator TB menurut U atau “TB/U”, dan kombinasi antara BB dan
TB membentuk indikator BB menurut TB atau “BB/TB”.
Indeks Berat Badan Menurut Umur
Berat badan adalah satu parameter yang memberikan gambaran massa
tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang
mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu
makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah
parameter antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal, dimana
keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat
gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur.
Sebaliknya dalam keadaan yang abnormal, terdapat dua kemungkinan
perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat
dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks
berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran
status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yanag labil, maka indeks BB/U
lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional status)
(Supariasa dkk 2002).
Indikator BB/U dapat normal. lebih rendah, atau lebih tinggi setelah
dibandingkan dengan standar WHO. Apabila BB/U normal, digolongkan pada
status gizi baik. BB/U rendah dapat berarti berstatus gizi kurang atau buruk.
Sedangkan BB/U tinggi dapat digolongkan berstatus gizi lebih. Baik status gizi
kurang maupu status gizi lebih kedua-duanya mengandung resiko yang tidak
baik bagi kesehatan. Status gizi kurang yang diukur dengan indikator BB/U di
dalam ilmu gizi dikelompokkan ke dalam kelompok “berat beban rendah” (BBR)
atau underweight. Menurut tingkat keparahannya BBR dikelompokkan lagi ke
dalam kategori BBR tingkat ringan (mild), sedang (moderate), dan berat (sever).

20

BBR tingkat berat atau sangat berat sering disebut sebagai status gizi buruk
(Soekirman 2000).
Indikator BB/U menunjukkan sacara sensitif status gizi saat ini karena
mudah berubah. Namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan selain
dipengaruhi oleh U juga dipengaruhi oleh TB. Indikator TB/U menggambarkan
status gizi masa lalu, dan indikator BB/TB menggambarkan secara sensitif dan
spesifik status gizi saat ini (Soekirman 2000).
Indeks Berat Badan Menurut Panjang atau Tinggi Badan
Pengukuran antropometri yang terbaik adalah menggunakan indikator
BB/TB. Ukuran ini dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif
dan spesifik. Artinya, mereka yang memiliki BB/TB kurang, dikategorikan sebagai
“kurus” atau “wasted” (Soekirman 2000).
Berat badan mempunyai hubungan linear dengan tinggi badan. Dalam
keadaan normal perkembangan berat badan akan searah dengan pertambahan
tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks tunggal BB/TB merupakan
indikator yang baik untuk menyatakan status gizi saat sekarang ini seperti halnya
dengan BB/U, dan biasanya digunakan bila data umur yang akurat sulit
diperoleh. Karena indeks BB/TB dapat memberi gambaran proporsi berat badan
relatif terhadap tinggi badan, maka indeks ini merupakan indikator kekurusan.
(Nasoetion & Riyadi 1995).
Indeks Tinggi Badan Menurut Umur
Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan
keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh
bersamaan dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti
berat badan, relatif kurang sensitif terhadap defisiensi gizi. Indeks TB/U lebih
menggambarkan status gizi pada masa lalu. Indeks ini sangat erat kaitannya
dengan masalah sosial ekonomi. Oleh karena itu, indeks TB/U dapat juga
digunakan untuk menggambarkan indikator perkembangan sosial ekonomi
masyarakat (Nasoetion & Riyadi 1995).

KERANGKA PEMIKIRAN
Pilar utama dalam proses menyusui adalah inisiasi dini atau lebih dikenal
dengan inisiasi menyusui dini (IMD). IMD didefinisikan sebagai proses
membiarkan bayi menyusui sendiri setelah kelahiran (Yuliarti 2010). Pada
pelaksaan IMD, bayi diberikan kesempatan untuk mencari sendiri sumber susu
ibunya tanpa adanya bantuan dari tenaga medis. Keberhasilan pelaksanaan IMD
sangat bergantung pada, pelayanan tempat bersalin, dukungan anggota
keluarga, sikap, pengetahuan dan motivasi bidan atau dokter, promosi IMD
melalui media, serta manajemen laktasi ibu.
Selain itu pelaksanaan IMD juga dipengaruhi oleh pengetahuan IMD ibu.
Ibu yang memiliki pengetahuan yang baik cenderung akan melaksanakan IMD
sesaat setelah bayi dilahirkan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Kusumawati (2010) terdapat hubungan antara pengetahuan IMD ibu dengan
pelaksaaan IMD. Ibu yang memiliki pengetahuan baik dan melakukan IMD
sebesar 72% sedangkan ibu yang memiliki pengetahuan yang baik dan tidak
melaksanakan IMD hanya sebesar 4%.
Pelaksaan IMD merupakan salah satu langkah awal keberhasilan
pemberian ASI selanjutnya. Program ASI eksklusif merupakan program
pemberian ASI saja hingga usia enam bulan tanpa makanan tambahan. Program
pemberian ASI eksklusif merupakan salah satu program yang sedang digalakan
pemerintah karena masih rendahnya ibu yang bersedia memberikan ASI
eksklusif pada anaknya. Pemberian ASI eksklusif merupakan satu hal yang
sangat penting karena akan memberikan pengaruh pada status gizi batita.
Secara sistematik, kerangka pemikiran tersebut dapat disederhanakan
dalam alur sebagai berikut :

22

Karakteristik keluarga
 Pendapatan orang tua
 Besar keluarga
Karakteristik ibu
 Umur
 Pekerjaan
 Pendidikan

Pengetahuan IMD Ibu :
 Makanan
sumber
zat gizi
 ASI Eksklusif
 Definisi IMD
 Langkah IMD
 Manfaat IMD
 Penghambat IMD

Pelaksanaan Inisiasi
Menyusui Dini :
 Tenaga medis yang
menangani
kelahiran
 Proses kelahiran
 Langkah
pelaksanaan IMD

Faktor keberhasilan IMD :
 Pelayanan tempat
bersalin
 Dukungan anggota
keluarga
 Sikap,
pengetahuan, dan
motivasi bidan atau
dokter
 Promosi
IMD
melalui media
 Manajemen laktasi
ibu.

Pemberian ASI Eksklusif :
 Pemberian kolostrum
 Alasan tidak memberikan
kolostrum
 Pemberian ASI eksklusif
 Alasan pemberian ASI
eksklusif
 Lama pemberian ASI
Eksklusif

Status gizi batita :
BB/U; BB/TB; TB/U

Keterangan :
: variabel yang diteliti
: variabel yang tidak diteliti
: hubungan yang diteliti
: hubungan yang tidak diteliti
Gambar 1 Skema kerangka pemikiran Pengetahuan dan Pelaksanaan Inisiasi
Menyusui Dini, Pemberian ASI eksklusif Serta Status Gizi Batita

METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain retrospektif dan cross sectional
study. Penelitian dilakukan di dua lokasi yaitu Desa Sukajadi, Kecamatan
Tamansari, Kabupaten Bogor mewakili daerah perdesaan sedangkan Kelurahan
Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor mewakili daerah perkotaan.
Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive sampling dengan alasan masih
banyaknya ibu yang melahirkan tanpa ditolong oleh tenaga non medis dan belum
ada penelitian yang berkaitan tentang inisiasi menyusui dini. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juli 2011.
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh
Contoh dalam penelitian ini adalah batita dan ibunya yang tinggal di Desa
Sukajadi dan Kelurahan Situgede. Populasi dalam penelitian ini adalah batita
yang tinggal di desa dan kelurahan terpilih. Total populasi batita Situgede
sebanyak 319 batita dan total populasi batita Sukajadi sebanyak 359 batita.
Kriteria contoh adalah batita tercatat di posyandu, berusia 12-35 bulan, tinggal
bersama ibunya di lokasi terpilih, serta bersedia untuk dijadikan contoh.
Jumlah minimal contoh yang diperlukan dalam penelitian diperoleh
melalui perhitungan dengan derajat kepercayaan yang diinginkan sebesar 95%
dan batas toleransi sebesar 15%, dengan menggunakan rumus sebagai berikut
(Lemeshow et al 1997) :
n0= (Z1-α/2)2 .P(1-P) = (1,96)2. 0,20 (1-0,20) = 27,3 ≈ 27
d2
0,152
Keterangan :
n0 = jumlah contoh penelitian yang akan dipilih
Z = tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05)
P = estimasi proporsi pelaksanaan IMD (20%)
d = tingkat presisi (15%)
Berdasarkan perhitungan menggunakan rumus tersebut ukuran minimal
contoh yang dibutuhkan untuk masing-masing lokasi adalah 27 calon contoh.
Contoh dipilih dari 3 posyandu terpilih pada masing-masing daerah. Penentuan
jumlah contoh posyandu dilakukan secara proporsional menurut jumlah batita
yang memenuhi kriteria dari posyandu terpilih dengan menggunakan rumus:

24

Keterangan :
n = jumlah contoh posyandu
b = jumlah batita yang memenuhi kriteria
P = populasi batita di tiga posyandu yang memenuhi kriteria
Nmin = jumlah contoh minimal
Berdasarkan kriteria yang ditetapkan dan diambil dari populasi yang ada
sehingga di dapatkan total populasi keseluruhan batita di Desa Sukajadi yang
memenuhi kriteria sebesar 241 batita dan di Kelurahan Situgede sebesar 235
batita. Contoh diambil dari posyandu yang memiliki jumlah batita terbanyak.
Terdapat 3 posyandu di Desa Sukajadi (Posyandu RW II, RW IV, dan RW V) dan
Kelurahan Situgede (RW III, RW IV, dan RW V) yang memiliki jumlah batita
terbanyak. Populasi batita dari tiga posyandu terpilih yang memenuhi kriteria
adalah 101 batita di Desa Sukajadi dan 97 batita di Kelurahan Situgede.
Penarikan contoh posyandu dilakukan dengan Simple Random Sampling
sehingga didapatkan 31 contoh yang diambil pada masing-masing daerah
sehingga total contoh yang didapatkan adalah 62 contoh.
Desa dan Kota

purposive
Desa Sukajadi,
Kabupaten Bogor
(perdesaan)

Kelurahan Situgede,
Kota Bogor
(perkotaan)

purposive
Posyandu
RW II

Posyandu
RW IV

Posyandu
RW V

Posyandu
RW III

Posyandu
RW IV

Posyandu
RW V

28
batita

40
batita

33
batita

38
batita

36
batita

23
batita

9
contoh

12
contoh

10
contoh

12
contoh

12
contoh

7
contoh

31 contoh

31 contoh
62 contoh

Gambar 2 Kerangka penarikan contoh

25

Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data meliputi data primer dan data sekunder. Data primer
meliputi karakteristik batita (umur, jenis kelamin, dan berat saat lahir), ibu (umur,
pendidikan, dan pekerjaan), keluarga batita (besar keluarga dan pendapatan
keluarga), pengetahuan IMD ibu, pelaksanaan IMD, pemberian ASI eksklusif,
dan data status gizi batita (berat badan dan tinggi badan). Data pelaksanaan IMD
meliputi langkah pelaksanaan IMD. Data pemberian ASI eksklusif meliputi,
pemberian kolostrum, alasan tidak pemberian kolostrum, pemberian makanan
prelaktal, jenis makanan prelaktal, pemberian susu formula, pelaksanaan
pemberian ASI eksklusif, alasan pemberian ASI eksklusif, dan lama pemberian
ASI Eksklusif. Data sekunder berupa keadaan umum wilayah.
Pengumpulan data primer yang melip