Kajian produksi selulosa mikrobial melalui dua tahap kultivasi

(1)

KAJIAN PRODUKSI SELULOSA MIKROBIAL MELALUI

DUA TAHAP KULTIVASI

SKRIPSI

Nita Diansari

F34070035

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

STUDIES OF MICROBIAL CELLULOSE PRODUCTION

THROUGH TWO STAGE CULTIVATION

Purwoko and Nita Diansari

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricurtural Technology,

Bogor Agricultural Technology, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,

Indonesia.

Phone 62 85 714 555 865, e-mail: diansarinita@gmail.com

ABSTRACT

Acetobacter xylinum is a bacteria that can synthesize cellulose when grown in culture both static and agitated culture. In this study, cultivation is done through two stages, first stage of cultivation (agitated culture system) for 24 hours with a shaker speed of 150 rpm and cultivation of the second stage (static culture system) for 14 days. The addition of sucrose content sucrose 0%, 5%, and 7.5%. The shaker speed at 100 rpm , 150 rpm, 200 rpm, and 0 rpm as a control treatment. Additional media used is (NH4) 2SO4 0.6 g/l, K2HPO4/KH2PO4 5.0 g/l, yeast extract 2.5 g/l, and 2% glacial acetic acid. Production of microbial cellulose occurs fastest in the sample with the addition of sucrose 0% with a shaker speed of 100 rpm which began on day 5 and reached a maximum on day 10. Bacterial cellulose wet weights of 454.89 g/l, dry weight of 11.09 g/l, and the value Y(p/s) at 0.43.


(3)

NITA DIANSARI. F34070035. Kajian Produksi Selulosa Mikrobial Melalui Dua Tahap Kultivasi. Di bawah bimbingan Purwoko. 2011

RINGKASAN

Acetobacter xylinum merupakan bakteri penghasil selulosa atau selulosa mikrobial. Bakteri ini bersifat Gram negatif, aerob, dan dapat memproduksi selulosa nanofiber dengan ukuran 40 – 50 nm. Selulosa mikrobial tidak hanya dimanfaatkan sebagai bahan makanan, tetapi juga dapat digunakan sebagai bahan baku kertas, membran ultrafiltrasi, diafragma speaker, pembuluh darah tiruan, jaringan kulit tiruan, dan kain. Selulosa mikrobial memiliki sifat yang unggul dibandingkan selulosa dari kayu, baik secara kimia seperti kekuatan mekanis, dan kemampuan yang tinggi dalam menyerap air. Teknik produksi selulosa mikrobial selama ini dilakukan dengan metode tradisional satu tahap yaitu starter cair diinokulasikan pada media air kelapa, kemudian didiamkan (inkubasi statis) selama 2-4 minggu. Proses kultivasi bisa dilakukan dua tahap karena Acetobacter xylinum bersifat aerob. Tahap pertama dilakukan proses agitasi untuk mempercepat pembentukan sel (perkembangbiakkan). Tahap kedua dilakukan proses tanpa agitasi (statis) pada wadah dengan permukaan yang luas. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh agitasi dan kadar sukrosa terhadap pembentukan selulosa mikrobial.

Subtrat yang digunakan berupa air kelapa dengan penambahan sukrosa 0%, 5%, dan 7.5%. Kultivasi tahap pertama dilakukan pada erlenmeyer 500 ml menggunakan resiprocal shaker dengan kecepatan agitasi 100 rpm, 150 rpm, dan 200 rpm selama 24 jam. Kultivasi tahap kedua dilakukan pada wadah plastik ukuran 8 x 8 x 7 cm3 dengan ketebalan cairan 1.5 cm. Parameter yang diukur meliputi total mikroba (Total Plate Count) dan pada kultivasi tahap kedua diukur ketebalan selulosa mikrobial, bobot basah selulosa mikrobial, kadar air selulosa mikrobial, bobot kering selulosa mikrobial, dan rendemen selulosa mikrobial terhadap substrat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan selulosa mikrobial paling cepat terjadi pada perlakuan A1B1 (penambahan sukrosa 0% dan kecepatan shaker 100 rpm) yaitu dimulai pada hari ke-5 dan mencapai ketebalan maksimal tanpa menyisakan media pertumbuhan pada hari ke-10. Bobot basah selulosa mikrobial tertinggi terdapat pada perlakuan A1B1 sebesar 454.89 g/l. Kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan A2B2 (penambahan sukrosa 5% dan kecepatan shaker 150 rpm) sebesar 98.24% dan kadar air terendah terendah terdapat pada perlakuan A1B2 (penambahan sukrosa 0% dan kecepatan shaker 150 rpm) sebesar 96.22%. Bobot kering selulosa mikrobial tertinggi terdapat pada perlakuan A1B1 sebesar 11.09 g/l. Nilai Y(p/s) tertinggi terdapat pada perlakuan A1B1 sebesar 0.43.


(4)

KAJIAN PRODUKSI SELULOSA MIKROBIAL MELALUI

DUA TAHAP KULTIVASI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

Nita Diansari

F34070035

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(5)

Judul Skripsi

: Kajian Produksi Selulosa Mikrobial Melalui Dua Tahap Kultivasi

Nama

: Nita Diansari

NIM

: F34070035

Menyetujui,

Pembimbing,

(Drs. Purwoko, M.Si)

NIP. 19590710 197903 1 001

Mengetahui :

Ketua Departemen,

(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti)

NIP. 19621009 198903 2 001


(6)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Produksi Selulosa

Mikrobial Melalui Dua Tahap Kultivasi adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen

Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011 Yang membuat pernyataan

Nita Diansari F34070035


(7)

© Hak cipta milik Nita Diansari, tahun 2011 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.


(8)

BIODATA PENULIS

Nita Diansari. Lahir di Cilacap, 17 Januari 1990 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Cito dan Suratni. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Cisalak 02 Cimanggu Cilacap Jawa Tengah pada tahun 2001, lalu menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Majenang Cilacap Jawa Tengah pada tahun 2004, kemudian menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Purwokerto Banyumas Jawa Tengah pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam kegiatan organisasi dan kepanitiaan kegiatan baik lingkup internal maupun eksternal, antara lain penulis pernah aktif di Organisasi Himalogin (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri) IPB periode 2008-2010 sebagai Sekretaris Divisi Profesi dan pada periode 2008-2009 penulis juga aktif sebagai Staf Forces Service di Forces IPB. Pada tahun 2010 penulis menjadi Ketua Pelaksana Workshop Penulisan Karya Tulis Ilmiah 2010 Himalogin IPB. Selain itu, selama berkuliah di TIN IPB penulis juga pernah menjadi Asisten Praktikum Penerapan Komputer, Asisten Praktikum Teknologi Bioproses, dan Asisten Praktikum Teknologi Bioindustri. Penulis melaksanakan praktik Lapangan di PS. Madukismo PT. Madu Baru Yogyakarta dengan judul laporan “Mempelajari Teknologi Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Spiritus di Pabrik Spiritus Madukismo PT. Madu Baru, Yogyakarta”. Sejak tahun 2008-2011 penulis menerima beasiswa Program Peningkatan Akademik (PPA).


(9)

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena dengan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Produksi Selulosa Mikrobial Melalui Dua Tahap Kultivasi”.

Keberhasilan atas pembuatan skripsi ini tidak lepas dari bantuan orang-orang di sekeliling penulis, maka dari itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Drs. Purwoko, M.Si selaku pembimbing akademik penulis, terima kasih atas segala bimbingan dan saran terhadap penulis.

2. Bapak Ir. Andes Ismayana, M.T dan Bapak Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA selaku tim penguji, terima kasih atas segala bimbingan dan saran terhadap penulis.

3. Orang tua dan keluarga penulis, Ayahanda Cito, Ibunda Suratni, dan Adik Fajar Sujito. Terima kasih atas curahan kasih sayang dan dukungannya selama ini terhadap penulis. 4. Laboran Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian, Ibu Ega, Pak Edi, Pak

Sugi, Pak Gun, Pak Yogi, Pak Dicki, Ibu Sri, Ibu Rini, dan Pak Darwan.

5. Teman-teman mahasiswa Departemen Teknologi Industri Pertanian (TIN 44), Fakultas Teknologi Pertanian, dan Institut Pertanian Bogor yang telah mendukung penulis selama ini dan membantu penulis selama menimba ilmu di Departemen Teknologi Industri Pertanian. 6. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011


(10)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR...iii

DAFTAR TABEL...vi

DAFTAR GAMBAR...vii

DAFTAR LAMPIRAN...viii

I. PENDAHULUAN ...

1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ...

3

A. Acetobacter xylinum... 3

B. Media Pertumbuhan ... 4

1. Sumber Karbon (C) ... 4

2. Sumber Nitrogen (N) ... 5

C. Kondisi Proses Kultivasi ... 5

1. Keasaman (pH) ... 5

2. Suhu ... 6

3. Agitasi ... 6

III. METODOLOGI PENELITIAN ...

7

A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan ... 7

B. Alat dan Bahan ... 7

1. Mikroorganisme ... 7

2. Media Pertumbuhan dan Bahan Kimia ... 7

3. Peralatan ... 7

C. Metode Penelitian ... 7

1. Penyegaran Kultur ... 8

2. Propagasi Kultur atau Starter ... 8

3. Kultivasi Kultur ... 8

4. Analisis Pertumbuhan Acetobacter xylinum ... 9

5. Pengukuran Bobot Basah Selulosa Mikrobial ... 9

6. Pengukuran Bobot Kering Selulosa Mikrobial ... 9

7. Pengukuran Rendemen Selulosa Mikrobial Terhadap Substrat ... 9

D. Rancangan Percobaan ... 9

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...

11

A. Penyegaran Kultur ... 11

B. Propagasi Kultur atau Starter ... 11

C. Kultivasi Kultur ... 11


(11)

v

2. Kultivasi Tahap Kedua (Static Culture System) ... 12

V. PENUTUP ...

25

A. Kesimpulan ... 25

B. Saran ... 25

DAFTAR PUSTAKA ...

26


(12)

vi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kandungan Air Kelapa ... 5 Tabel 2. Perlakuan Kultivasi ... 10 Tabel 3. Efek Penggunaan Sumber Karbon pada Produksi Selulosa Mikrobial oleh

Acetobacter sp. V6. ... 21 Tabel 4. Perbandingan Produksi Selulosa Mikrobial Menggunakan Media Kultivasi

yang Berbeda.. ... 21 Tabel 5. Perbandingan Rendemen Selulosa Mikrobial dengan Kondisi Kultur Berbeda


(13)

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Acetobacter xylinum ... 3

Gambar 2. Skema Proses Pembentukan Nanofiber ... 4

Gambar 3. Diagram Alir Metode Penelitian ... 8

Gambar 4. Acetobacter xylinum MG. Co. 05 ... 11

Gambar 5. Jumlah Sel pada Kultivasi Tahap Pertama ... 12

Gambar 6. Perbandingan Ketebalan Selulosa Mikrobial pada Kecepatan Agitasi 100 rpm dan Kontrol ... 13

Gambar 7. Perbandingan Ketebalan Selulosa Mikrobial pada Kecepatan Agitasi 150 rpm dan Kontrol ... 14

Gambar 8. Perbandingan Ketebalan Selulosa Mikrobial pada Kecepatan Agitasi 200 rpm dan Kontrol ... 16

Gambar 9. Perbandingan Ketebalan Selulosa Mikrobial Antarperlakuan ... 17

Gambar 10. Bobot Basah Selulosa Mikrobial ... 18

Gambar 11. Kadar Air Selulosa Mikrobial Basah ... 19

Gambar 12. Bobot Kering Selulosa Mikrobial ... 20


(14)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Diagram Alir Penyegaran Kultur ... 30

Lampiran 2. Diagram Alir Propagasi Kultur ... 31

Lampiran 3. Diagram Alir Kultivasi Dua Tahap ... 32

Lampiran 4. Prosedur Analisis Total Plate Count (TPC) ... 33

Lampiran 5. Kultivasi Tahap Pertama (Agitated Culture System) ... 34

Lampiran 6. Kultivasi Tahap Kedua (Static Culture System) ... 35

Lampiran 7. Selulosa Mikrobial Basah ... 36

Lampiran 8. Selulosa Mikrobial Kering ... 37

Lampiran 9. Jumlah Sel pada Starter ... 38

Lampiran 10. Jumlah Sel pada Kultivasi Tahap Pertama ... 39

Lampiran 11. Ketebalan Selulosa Mikrobial pada Kecepatan agitasi 100 rpm ... 40

Lampiran 12. Ketebalan Selulosa Mikrobial pada Kecepatan agitasi 150 rpm ... 41

Lampiran 13. Ketebalan Selulosa Mikrobial pada Kecepatan agitasi 200 rpm ... 42

Lampiran 14. Ketebalan Selulosa Mikrobial pada Kontrol ... 43

Lampiran 15. Bobot Basah dan Kadar Air Selulosa Mikrobial ... 44

Lampiran 16. Total Bobot Kering Selulosa Mikrobial dan Y(p/s) ... 45

Lampiran 17. Analisis ANOVA Bobot Basah Selulosa Mikrobial ... 46

Lampiran 18. Uji Lanjut Duncan Perlakuan B pada Bobot Basah Selulosa Mikrobial ... 47

Lampiran 19. Analisis ANOVA Kadar Air Selulosa Mikrobial ... 48

Lampiran 20. Uji Lanjut Duncan Perlakuan A pada Kadar Air Selulosa Mikrobial ... 49

Lampiran 21. Uji Lanjut Duncan Perlakuan B pada Kadar Air Selulosa Mikrobial ... 50

Lampiran 22. Analisis ANOVA Bobot Kering Selulosa Mikrobial ... 51

Lampiran 23. Uji Lanjut Duncan Perlakuan A pada Bobot Kering Selulosa Mikrobial ... 52

Lampiran 24. Uji Lanjut Duncan Perlakuan B pada Bobot Kering Selulosa Mikrobial ... 53

Lampiran 25. Analisis ANOVA Y(p/s) ... 54

Lampiran 26. Uji Lanjut Duncan Perlakuan A pada Y(p/s) ... 55


(15)

1

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Acetobacter xylinum merupakan bakteri penghasil selulosa mikrobial atau lebih dikenal dengan sebutan nata. Bakteri ini merupakan golongan bakteri Gram negatif, bersifat aerob, dan dapat memproduksi selulosa nanofiber dengan ukuran 40-50 nm (Hesse dan Kondo, 2005). Selulosa mikrobial tidak hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan saja, tetapi juga untuk keperluan lain. Menurut Phisalapong dan Jatipaiboon (2008), selulosa mikrobial memiliki keunggulan yang lebih dibandingkan dengan selulosa dari kayu, baik secara fisik maupun kimia seperti kekuatan mekanis, kristalinitas, dan kemampuan dalam menyerap air. Beberapa aplikasi pemanfaatan selulosa mikrobial dalam dunia kesehatan contohnya yaitu sebagai tiruan kulit manusia, tiruan pembuluh darah untuk pembedahan mikro, digunakan dalam teknik jaringan tulang rawan, dan pembalut luka. Selulosa mikrobial memiliki kandungan air yang tinggi, mampu menyerap cairan dengan baik, non allergenic, dan dapat dengan mudah serta aman untuk disterilisasi tanpa mengubah karakteristiknya. Aplikasi produk lainnya yaitu kristalin murni sangat penting untuk bahan baku industri, sebagai material baru untuk digunakan dalam memproduksi kertas berkualitas, sebagai membran ultrafiltrasi, dan sebagai bahan pengisi obat.

Teknik produksi selulosa mikrobial selama ini dilakukan dengan metode tradisional yaitu starter cair diinokulasikan pada media air kelapa, kemudian diinkubasi statis selama 2-4 minggu (Budiyanto, 2002). Selama inkubasi terjadi proses perkembangbiakan sel bersamaan dengan pembentukan selulosa mikrobial. Dengan demikian diperlukan suatu teknik untuk meningkatkan produksi biomassa Acetobacter xylinum sehingga waktu untuk mensintesis selulosa mikrobial akan lebih cepat. Yan et al (2008) menyatakan bahwa terdapat dua metode untuk memproduksi selulosa mikrobial yaitu kultur statis dan kultur kocok. Perubahan kondisi kultur pada kultur statis seperti penambahan agen pelarut air dan polisakarisa akan menunda penyatuan mikrofibil selulosa, menghambat kristalisasi mikrofibil selulosa, dan menurunkan ukuran kristal, indeks kristalinitas, dan kandungan selulosa. Sedangkan pada kultur kocok, hal-hal tersebut dapat diminimalisasi karena adanya pencampuran dan suplai oksigen yang merata.

Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan selulosa mikrobial yaitu sumber karbon. Air kelapa merupakan salah satu limbah dari industri pengolahan kelapa. Jika dibiarkan tanpa adanya pengolahan atau pemanfaatan akan menyebabkan pencemaran lingkungan karena di dalam air kelapa terdapat banyak nutrisi yang dapat memenuhi kebutuhan pertumbuhan mikroorganisme. Penambahan sumber karbon lainnya biasanya dilakukan untuk menunjang pertumbuhan Acetobacter xylinum agar selulosa mikrobial yang dihasilkan lebih banyak. Sumber karbon yang ditambahkan biasanya berupa sukrosa atau lebih dikenal dengan gula pasir. Sumber karbon yang ditambahkan biasanya berbeda-beda baik jenis maupun konsentrasinya. Misgiyarta (2007) menggunakan 10% sukrosa sebagai sumber karbonnya. Saibuatong dan Phisalaphong (2010) dan Phisalaphong dan Jatupaiboon (2008) menggunakan 5% sukrosa sebagai sumber karbonnya. Melliawati (2008) menggunakan 10% glukosa sebagai sumber karbonnya. Sedangkan Son et al (2003) menggunakan 1.5% glukosa dan Shezad et al (2010) menggunakan 5% glukosa sebagai


(16)

2 sumber karbonnya. Cheng et al (2009) menggunakan 5% fruktosa sebagai sumber karbonnya. Wei et al (2011) menggunakan 2.5% manitol sebagai sumber karbonnya.

Setiap strain bakteri Acetobacter xylinum memiliki sifat-sifat dan kemampuan yang berbeda dalam memproduksi selulosa mikrobial. Menurut Tsuchida dan Yoshinaga (1997), beberapa strain dapat tumbuh baik dalam kultur teragitasi, tetapi menghasilkan selulosa mikrobial yang lebih sedikit dibandingkan dengan menggunakan kultur statis. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak semua strain mampu memproduksi selulosa mikrobial pada kondisi kultur teragitasi. Beberapa strain Acetobacter xylinum yang dikembangkan dalam kultur teragitasi diantaranya Acetobacter xylinum BPR2001 (Tsuchida dan Yoshinaga, 1997), Acetobacter xylinum 1.1812 (Wei et al, 2011), Acetobacter xylinum

ATCC 700178 (Cheng et al, 2009), Acetobacter sp. V6 (Son et al, 2003), dan Acetobacter sp. RMG-2 (Melliawati, 2008).

Acetobacter xylinum merupakan bakteri Gram negatif yang bersifat aerobik. Adanya sifat aerobik tersebutmemberikan peluang untuk menggunakan metode kultur kocok sebagai salah satu metode yang dapat mempercepat proses produksi selulosa mikrobial. Dengan demikian, menggunakan metode campuran antara metode statis dengan metode kultur kocok diharapkan akan mempercepat proses pembentukan selulosa mikrobial.

Reciprocal shaker merupakan suatu alat yang dapat mengagitasi suatu bahan dengan aliran timbal balik sehingga penyebaran nutrisi dan distribusi oksigen lebih merata. Sebagaimana pernyataan Gluz dan Merchuk (1997) bahwa distribusi nutrisi dan oksigen yang merata akan meningkatkan laju pertumbuhan biomassa sehingga produktivitas akan meningkat. Penggunaan teknik produksi selulosa mikrobial menggunakan dua tahap kultivasi ini diharapkan akan mempercepat produksi biomassa sel sehingga pembentukan selulosa mikrobial pun akan lebih cepat.

B. Tujuan

Kegiatan penelitian ini memiliki tujuan, yaitu:

1. Mengetahui pengaruh kecepatan agitasi terhadap waktu pembentukan dan rendemen selulosa mikrobial yang dihasilkan.

2. Mengetahui pengaruh penambahan sukrosa terhadap waktu pembentukan dan rendemen selulosa mikrobial yang dihasilkan.


(17)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Acetobacter xylinum

Acetobacter xylinum atau Gluconacetobacter xylinus merupakan bakteri berbentuk batang pendek dan tergolong ke dalam jenis bakteri Gram negatif, memiliki lebar 0-5-1 µ m dan panjang 2-10 µ m. Bakteri Acetobacter xylinum mampu mengoksidasi glukosa menjadi asam glukonat dan asam organik lain pada waktu yang sama. Sifat yang paling menonjol dari bakteri itu adalah memiliki kemampuan untuk mempolimerisasi glukosa menjadi selulosa. Selanjutnya selulosa tersebut membentuk matrik yang dikenal sebagai nata (Tomita dan Kondo, 2009). Penampakan bakteri Acetobacter xylinum menurut Admin Azonanotechnology (2008) disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Acetobacter xylinum

Klasifikasi ilmiah bakteri selulosa atau Acetobacter xylinum adalah : Kerajaan : Bacteria

Filum : Proteobacteria Kelas : Alpha Proteobacteria Ordo : Rhodospirillales Familia : Psedomonadaceae Genus : Acetobacter

Spesies : Acetobacter xylinum

(Munawar, 2009)

Budiyanto (2002) menyatakan bahwa bakteri pembentuk nata termasuk golongan

Acetobacter yang mempunyai ciri-ciri antara lain Gram negatif untuk kultur yang masih muda, Gram positif untuk kultur yang sudah tua, obligat aerobik, berbentuk batang dalam medium asam, sedangkan dalam medium alkali berbentuk oval, bersifat non mortal dan tidak membentuk spora, tidak mampu mencairkan gelatin, tidak memproduksi H2S, tidak

mereduksi nitrat dan memiliki termal death point pada suhu 65-70°C.

Acetobacter xylinum menghasilkan selulosa sebagai produk metabolit sekunder, sedangkan produk metabolit primernya adalah asam asetat. Semakin banyak kadar nutrisi, semakin besar kemampuan menumbuhkan bakteri tersebut maka semakin banyak


(18)

4 mempengaruhi kemampuan Acetobacter xylinum dalam menghasilkan selulosa yaitu metode kultivasi, sumber karbon, sumber nitrogen, pH, dan temperatur (Çoban dan Biyik, 2011).

Acetobacter xylinum merupakan bakteri yang bersifat aerobik, sehingga seperti yang dikatakan Kouda et al (1997), ketersediaan oksigen dan agitasi akan berpengaruh terhadap produksi selulosa mikrobial.

Menurut Tomita dan Kondo (2009), bakteri Acetobacter xylinum memiliki bagian perakitan atau penggabungan sintesis selulosa dan tempat untuk mengkatalisis (subunit) yang tersusun secara linier pada sumbu utama sel. Setiap tiga subunit akan membentuk terminal complex (TC). Setiap subunit akan menghasilkan sub-elemen fibril, dimana rantai molekul selulosa digabung secara spontan oleh masing-masing tempat katalisis dan membentuk formasi yang lebih stabil. Selanjutnya, TC dan subunit mengatur penggabungan sub-elemen fibril menjadi mikrofibril. Kemudian mikrofibil-mikrofibil bergabung dan membentuk nanofiber yang memiliki lebar 50 nm dan tebal 10 nm. Pada tahap ini, masing-masing formasi proses sintesis individu rantai molekul menjadi nanofiber diatur menjadi penggabungan secara spontan. Penggabungan secara spontan ini dinamakan self-assembly.

Skema proses pembentukan nanofiber disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Skema Proses Pembentukan Nanofiber. (a) Penampakan atas dan (b) Penampakan samping

B. Media Pertumbuhan

Media pertumbuhan mikroorganisme adalah suatu bahan yang terdiri dari campuran zat makanan atau nutrisi yang diperlukan mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Mikroorganisme memanfaatkan nutrisi media berupa molekul-molekul kecil yang dirakit untuk menyusun komponen sel. Melalui media pertumbuhan dapat dilakukan isolasi mikroorganisme menjadi kultur murni dan juga memanipulasi komposisi media pertumbuhannya.

1. Sumber Karbon (C)

Perbedaan sumber karbon dan konsentrasi yang digunakan akan berpengaruh terhadap produksi selulosa. Ramana et al (2000) menggunakan sorbitol, glukosa, laktosa, mannitol, dan maltosa sebagai sumber karbon. Melliawati (2008) menggunakan air kelapa dan sukrosa, sedangkan sumber karbon yang digunakan oleh Kurosumi et al (2009) dalam penelitiannya yaitu sari buah-buahan seperti sari buah jeruk, sari buah apel, sari buah


(19)

5 nanas, sari buah pear, dan sari buah anggur.. Kandungan air kelapa menurut Munawar (2009) disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Air Kelapa

Sumber Air (dalam 100 g) Satuan Kelapa Muda Kelapa Tua

Kalori kal 17.0 -

Protein g 0.2 0.14

Lemak g 1.0 1.50

Karbohidrat g 3.8 4.60

Kalsium mg 15.0 -

Fosfor mg 8.0 0.50

Besi mg 0.2 -

Aktivitas Vitamin A U 0.01 -

Asam Askorbat mg 1.0 -

Air g 95.5 91.50

Bagian yang dapat dimakan g 100 -

2. Sumber Nitrogen (N)

Sebagian mikroorganisme dapat memanfaatkan sumber nitrogen organik dan anorganik. Nitrogen anorganik yang sering digunakan berupa ammoonium sulfat dan diammonium hidrogen fospat (Budhiono et al, 1999). Sedangkan nitrogen organik yang banyak digunakan adalah asam amino, monosodium glutamat, seperti yang digunakan oleh Son et al (2003). Pada penelitian Melliawatti (2006) menggunakan pupuk ZA sebagai sumber nitrogen. Ramana et al (2000) menggunakan hidrolisat protein, ammonium sulfat, glisin, sari kacang kedelai, pepton, dan sodium glutamat. Sedangkan Saibuatong (2010) menggunakan ammonium sulfat. Pada penelitian ini diasumsikan kebutuhan sumber N sudah dipenuhi dari substrat air kelapa dan media Hassid Barker

yang digunakan . Sumber N ini berfungsi sebagai nutrisi pertumbuhan sel.

C. Kondisi Proses Kultivasi

Acetobacter xylinum merupakan bakteri yang hidup pada kondisi asam, sehingga keasaman media sangat mempengaruhi pertumbuhannya. Selain itu juga beberapa faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan Acetobacter xylinum yaitu suhu dan agitasi. Sifat lain dari

Acetobacter xylinum yaitu merupakan bakteri aerobik, yang memerlukan oksigen untuk menunjang pertumbuhannya. Agitasi akan berpengaruh pada distribusi nutrisi dan oksigen. 1. Keasaman (pH)

Laju pertumbuhan bergantung pada nilai pH, karena pH mempengaruhi fungsi membran, enzim, dan komponen sel lainnya. Keasamaan (pH) menunjukkan aktivitas ion H+ dalam suatu larutan dan pada proses fermentasi. pH media sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan mikrobial (Suryani et al, 2000). Penelitian Budhiono et al

(1999) menggunakan derajat keasaman 5. Sedangkan menurut Çoban dan Biyik, (2011), bakteri Acetobacter xylinum pada umumnya tumbuh pada pH 3.5-8.5, dan akan tumbuh optimal pada pH 6.5. Masaoka et al (1993) mengatakan bahwa pH optimum untuk produksi selulosa adalah 4-6.


(20)

6 2. Suhu

Suhu kultivasi berpengaruh terhadap pertumbuhan sel dan terhadap efisiensi konversi substrat menjadi massa sel. Suhu yang melebihi suhu optimum pertumbuhan mikroorganisme dapat mengakibatkan kerusakan struktur protein dan DNA yang memegang peranan kunci dalam metabolisme pertumbuhan sel. Suhu untuk pertumbuhan

Acetobacter xylinum berkisar antara 28-31oC. Sakairi et al (1998) dalam penelitiannya menggunakan suhu 28oC untuk kultivasi Acetobacter xylinum. Sedangkan Çoban dan Biyik (2011) menggunakan suhu 22-37 oC dalam penelitiannya, dan suhu optimal untuk menghasilkan selulosa mikrobial yaitu 30 oC.

3. Agitasi

Agitasi bertujuan untuk mempertahankan homogenitas campuran media, oksigen, dan kultur mikroorganisme serta mempercepat proses pencampuran dan pelarutan bahan yang diinginkan. Menurut Salsabila (2010), agitasi juga bertujuan untuk menyebarkan gelembung-gelembung udara dalam kultur untuk memantapkan turbulensi cairan. Pada sistem agitasi yang lebih tinggi, kebutuhan oksigen terpenuhi dengan cepat. Penyebaran zat-zat makanan dan kultur merata sehingga aktivitas mikroorganisme dan perkembangbiakan sel berlangsung cepat. Melliawati (2008) menggunakan kecepatan agitasi sebesar 150 rpm dalam proses kultivasi bakteri. Sedangkan Hesse dan Kondo (2005) menggunakan kecepatan agitasi sebesar 200 rpm.


(21)

7

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Juli 2011. Tempat pelaksanaan kegiatan ini yaitu Laboratorium Bioindustri Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

B. Alat Dan Bahan

1. Mikroorganisme

Biakan atau kultur murni Acetobacter xylinum MG Co. 05 diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor. Kultur tersebut tumbuh pada media Hassid Barker. Koleksi kultur diperoleh dalam bentuk goresan dalam agar miring (slant agar). Koleksi kultur dalam agar miring memerlukan peremajaan setiap 2-3 bulan.

2. Media Pertumbuhan dan Bahan Kimia a. Media Agar Miring

Media yang digunakan untuk agar miring yaitu media Hassid Barker Agar

(HBA) yang terdiri dari sukrosa, yeast extract, (NH4)2SO4, K2HPO4/KH2PO4 , asam

asetat glasial, agar difco, dan air kelapa. b. Media Propagasi atau Starter

Media yang digunakan untuk propagasi yaitu media Hassid Barker Cair yang terdiri dari sukrosa, yeast extract, (NH4)2SO4, K2HPO4/KH2PO4, asam asetat glasial,

dan air kelapa. c. Media Kultivasi

Media yang digunakan untuk kultivasi sama dengan media yang digunakan untuk propagasi atau starter.

d. Bahan Analisis

Bahan analisis yang digunakan yaitu aquades, alkohol, fenol, NaOH 0,3 N, dan H2SO4 pekat.

3. Peralatan

Alat-alat yang digunakan meliputi reciprocal shaker, autoclave, inkubator, spektrofotometer, timbangan digital, sentrifuse, penangas, oven, desikator, cawan petri, erlenmeyer, tabung reaksi, pipet, gelas ukur, bunsen, ose, labu takar dan wadah plastik ukuran 8 x 8 x 7 cm3.

C. Metode Penelitian


(22)

8 Gambar 3. Diagram Alir Metode Penelitian

1. Penyegaran Kultur

Kultur disegarkan pada media Hassid Barker Agar (HBA). Komposisi media HBA adalah sebagai berikut: sukrosa 10%, (NH4)2SO4 0.6 g/l, K2HPO4/KH2PO4 5.0 g/l, ekstrak

khamir 2.5 g/l , 2 % asam asetat glasial, agar difco 15 g/l . Media HBA dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan disterilkan dalam autoclave 121oC, 2 atm, selama 15 menit. Media dalam tabung reaksi masih panas diletakkan miring hingga membeku untuk menghasilkan media agar miring. Peremajaan dapat dilakukan dengan cara menggoreskan 1 ose kultur ke dalam media agar miring yang telah dipersiapkan. Kultur baru diinkubasi pada suhu kamar, selama 48-72 jam. Kultur akan tumbuh pada media HBA miring dengan bentuk sesuai alur goresan. Kultur yang telah diremajakan siap untuk kultur kerja, dan sebagian disimpan untuk kultur simpan atau kultur stok (Stock Culture). Diagram alir penyegaran kultur terlampir pada Lampiran 1.

2. Propagasi Kultur atau Starter

Propagasi inokulum dilakukan pada media Hassid Barker Cair. Media Hassid Barker Cair sebanyak 25 ml dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian disterilisasi menggunakan autoclave 121oC, 2 atm, selama 15 menit. Setelah dingin ditambahkan dengan 2% asam asetat glasial dan diinokulasi dengan 2 ose kultur

Acetobacter xylinum. Selanjutnya diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruang dan dilakukan pengocokan dengan kecepatan 150 rpm. Diagram alir propagasi kultur terlampir pada Lampiran 2.

3. Kultivasi Kultur

Media yang digunakan untuk kultivasi sama dengan media untuk propagasi atau starter. Akan tetapi berbeda pada penambahan sukrosanya. Variasi penambahan sukrosa


(23)

9 yang dilakukan yaitu 0%, 5%, dan 7.5%. Media yang digunakan sebanyak 90 ml dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml, kemudian disterilisasi menggunakan autoclave

121oC, 2 atm, selama 15 menit. Setelah dingin kemudian ditambahkan 2% asam asetat glasial. Inokulum hasil propagasi atau starter sebanyak 10 ml diinokulasikan pada masing-masing media kultivasi yang telah disediakan. Jumlah volume total sebanyak 100 ml. Kultivasi dilakukan dua tahap yaitu tahap pertama kultur dalam keadaan teragitasi sesuai dengan faktor kecepatan agitasi (100 rpm, 150 rpm, 200 rpm) selama 24 jam pada suhu ruang dan tahap kedua kultur diinkubasi pada kondisi statis. Melliawati (2008) menggunakan kecepatan agitasi 150 rpm untuk membuat starter dan Wie et al (2011) dan Cheng et al (2009) melakukan inkubasi selama 24 jam dengan metode kultur kocok dalam pembuatan starter atau inokulum. Sampel hasil kultivasi tahap pertama dipindahkan ke dalam wadah plastik steril berukuran 8 x 8 x 7 cm3 dan diinkubasi statis selama 14 hari. Diagram alir kultivasi kultur terlampir pada Lampiran 3.

4. Analisis Pertumbuhan Acetobacter xylinum

Pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum baik kultur hasil propagasi atau starter maupun sebelum dikultivasi diamati dengan metode Total Plate Count (TPC) untuk menghitung jumlah sel yang hidup. Prosedur analisis TPC terlampir pada Lampiran 4. 5. Pengukuran Bobot Basah Selulosa Mikrobial

Selama waktu inkubasi dilakukan pengukuran ketebalan selulosa mikrobial yang terbentuk. Pada inkubasi hari ke-14, selulosa mikrobial yang terbentuk langsung ditimbang menggunakan neraca analitik.

6. Pengukuran Bobot Kering Selulosa Mikrobial

Selulosa mikrobial basah dicuci menggunakan aquades kemudian direbus dalam NaOH 0.3N selama 20 menit untuk menghilangkan kotoran selain selulosa. Selanjutnya dicuci bersih hingga pH mencapai netral. Selulosa mikrobial yang telah direbus NaOH 0.3 N kemudian dikeringkan dalam oven 105oC sampai bobotnya konstan.

7. Pengukuran Rendemen Selulosa Mikrobial Terhadap Substrat

Pengukuran rendemen selulosa mikrobial dinyatakan dengan koefisiensi Yp/s. Nilai

tersebut diperoleh dengan membandingkan bobot kering selulosa mikrobial terhadap konsentrasi substrat, dengan persamaan sebagai berikut:

Y/ =Bobot Kering Selulosa Mikrobial (P)

Substrat (S)

D.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini dirancang berdasarkan rancangan percobaan acak lengkap faktorial dan dievaluasi secara statistik dengan menggunakan ANOVA (α = 0.05) dan Uji Lanjut Duncan

= 0.05). Variabel perlakuan yang digunakan dalam kajian produksi selulosa mikrobial

melalui dua tahap kultivasi terdiri dari dua faktor, yaitu penambahan kadar sukrosa (A) dan kecepatan agitasi (B). Penambahan kadar sukrosa terdiri dari tiga taraf, yaitu 0% (A1), 5% (A2), dan 7.5% (A3). Kecepatan agitasi terdiri dari empat taraf, yaitu 0 rpm sebagai kontrol (B0), 100 rpm (B1), 150 rpm (B2), dan 200 rpm (B3). Setiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak dua kali. Perlakuan kultivasi disajikan pada Tabel 2.


(24)

10 Tabel 2. Perlakuan Kultivasi

Jenis Perlakuan Kecepatan agitasi (rpm)

0 100 150 200

Penambahan Kadar Sukrosa (%)

0 A1B0 A1B1 A1B2 A1B3

5 A2B0 A2B1 A2B2 A2B3

7,5 A3B0 A3B1 A3B2 A3B3

Model matematika yang digunakan untuk percobaan ini adalah sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya, 2002):

Y = + A + B + (AB) + ε

Keterangan:

i : jumlah taraf A = 3 (penambahan kadar sukrosa = 0%, 5%, dan 7.5%)

j : jumlah taraf B = 4 (kecepatan agitasi = 0 rpm, 100 rom, 150 rpm, dan 200 rpm) k : jumlah ulangan = 2

Yijk : variabel respon atau hasil pengamatan karena pengaruh bersama faktor A taraf

ke-i, faktor B taraf ke-j, dan ulangan ke-k

µ : pengaruh rata-rata sebenarnya atau rata-rata umum Ai : pengaruh dari faktor A taraf ke-i

Bj : pengaruh dari faktor B taraf ke-j

(AB)ij : pengaruh interaksi antar faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j

ɛijk : pengaruh galat atau errordari faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, dan ulangan

ke-k


(25)

11

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penyegaran Kultur

Acetobacter xylinum MG Co. 05 disegarkan dalam bentuk agar miring yang dapat dilihat pada Gambar 4. Acetobacter xylinum MG Co. 05 tumbuh dengan baik pada media

Hassid Barker Agar (HBA). Pertumbuhannya mengikuti alur goresan, memiliki warna putih opaq, mengkilat, dan elevasinya cembung.

Gambar 4. Acetobacter xylinum MG.Co. 05

B. Propagasi Kultur atau Starter

Hasil penelitian terhadap Acetobacter xylinum MG.Co. 05 yang ditumbuhkan pada media Hassid Barker Cair, pH 4, suhu 30oC, selama 24 jam dengan kecepatan agitasi 150 rpm, menunjukkan pertumbuhan yang baik yaitu jumlah sel mencapai 2.77 x 108 CFU. Pada penelitian Melliawati et al (2011), jumlah sel dalam starter sebanyak 1.05 x 108 CFU. Jumlah sel yang dihasilkan pada penelitian ini lebih baik dibandingkan dengan Melliawati et al (2011). Hal ini kemungkinan dikarenakan perbedaan media pertumbuhan dan strain Acetobacter xylinum yang digunakan. Data lengkap jumlah sel pada propagasi sel atau starter terlampir pada Lampiran 9.

C. Kultivasi Kultur

1. Kultivasi Tahap Pertama (Agitated Culture System)

Kultivasi tahap pertama dilakukan dalam shaker incubator dengan kecepatan agitasi yang berbeda-beda sesuai dengan perlakuan selama 24 jam. Penampakan kultivasi tahap pertama terlampir pada Lampiran 5. Shezad et al (2010) melakukan kultivasi awal selama 24 jam pada suhu 30oC, pH 5, dan kecepatan agitasi 200 rpm. Wei et al (2011) dan Cheng et al (2009) juga melakukan kultivasi awal selama 24 jam. Selama 24 jam tersebut diharapkan pertumbuhan sel berlangsung cepat karena distribusi oksigen dan nutrisi lebih merata. Data lengkap jumlah sel pada kultivasi


(26)

12 tahap pertama terlampir pada Lampiran 10. Jumlah sel pada kultivasi tahap pertama disajikan pada Gambar 5.

Keterangan:

A : penambahan kadar sukrosa (A1= 0%, A2=5%, A3= 7,5%) B : kecepatan agitasi (B1= 100 rpm, B2= 150 rpm, B3= 200 rpm)

Gambar 5. Jumlah Sel pada Kultivasi Tahap Pertama

Jumlah sel pada kultivasi tahap pertama berkisar antara 5.56 x 106- 9.55 x 106 CFU. Jumlah sel tertinggi didapatkan dari perlakuan A2B1 (penambahan sukrosa 5% dan kecepatan agitasi 100 rpm) yaitu 9.55 x 106 CFU. Sedangkan jumlah sel terendah didapatkan dari perlakuan A3B3 (penambahan sukrosa 7.5% dan kecepatan agitasi 200 rpm) yaitu 5.56 x 106 CFU. Jumlah sel untuk kontrol dianggap sama dengan jumlah sel starter karena untuk kontrol tidak dilakukan kultivasi tahap pertama atau langsung ke tahap kultivasi statis.

Secara umum, semakin tinggi kecepatan agitasi jumlah sel semakin menurun. Padahal diasumsikan dengan adanya agitasi, distribusi nutrisi dan oksigen akan lebih merata sehingga pertumbuhan sel akan lebih cepat dan pembentukan selulosa juga akan lebih cepat. Menurut Zhang (2003) diacu dalam Junianto et al (2009), penurunan jumlah sel kemungkinan disebabkan karena pada agitasi yang tinggi akan dihasilkan gelembung-gelembung busa. Busa tersebut dapat menghambat transfer oksigen sehingga kelarutan oksigen dalam medium menurun.

2. Kultivasi Tahap Kedua (Static Culture System)

a. Ketebalan Selulosa Mikrobial

Sampel yang telah diinkubasi selama 24 jam pada kecepatan agitasi tertentu sesuai perlakuan kemudian dipindahkan ke dalam wadah plastik steril dan diinkubasikan statis selama 14 hari. Selama waktu inkubasi tersebut dilakukan pengukuran ketebalan selulosa mikrobial yang terbentuk. Penampakan kultivasi tahap kedua terlampir pada Lampiran 6 dan data lengkap pengukuran ketebalan selulosa mikrobial pada kecepatan agitasi 100 rpm terlampir pada Lampiran 11.

-2.000.000 4.000.000 6.000.000 8.000.000 10.000.000 12.000.000

A1 A2 A3

B1 B2 B3 Ju m la h S el ( C F U ) Perlakuan


(27)

13 Perbandingan ketebalan selulosa mikrobial yang terbentuk antara perlakuan kecepatan agitasi 100 rpm dan kontrol disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Perbandingan Ketebalan Selulosa Mikrobial pada Kecepatan Agitasi 100 rpm dan Kontrol

Pada perlakuan A1B1 (penambahan sukrosa 0% dan kecepatan agitasi 100 rpm), pembentukan selulosa mikrobial dimulai pada hari ke-5 dan mencapai ketebalan maksimal tanpa menyisakan media pertumbuhan pada hari ke-10 dengan ketebalan 12 mm. Sedangkan untuk perlakuan A2B1 (penambahan sukrosa 5% dan kecepatan agitasi 100 rpm) dan A3B1 (penambahan sukrosa 7.5% dan kecepatan agitasi 100 rpm) sampai hari ke-14 tidak terjadi pembentukan selulosa mikrobial. Pada perlakuan kontrol (statis) A1B0 (penambahan sukrosa 0% dan tanpa agitasi atau statis), pembentukan selulosa mikrobial dimulai pada hari ke-7 dan mencapai ketebalan maksimal tanpa menyisakan media pertumbuhan pada hari ke-11 dengan ketebalan 12 mm. Sedangkan untuk perlakuan A2B0 (penambahan sukrosa 5% dan tanpa agitasi atau statis) dan A3B0 (penambahan sukrosa 7.5% dan tanpa agitasi atau statis) sampai hari ke-14 tidak terjadi pembentukan selulosa mikrobial. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa pembentukan selulosa mikrobial pada perlakuan A1B1 lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan kontrol A1B0.

Jika dilihat berdasarkan analisis TPC (Total Plate Count) yang dilakukan setelah kultivasi tahap pertama, perlakuan A1B1 memiliki jumlah sel sebanyak 8.20 x 106 CFU, perlakuan A2B1 sebanyak 9.55 x 106 CFU, dan perlakuan A3B1 sebanyak 7.71 x 106 CFU. Perlakuan A2B1 memiliki jumlah sel paling banyak dibandingkan dengan perlakuan A1B1 dan A3B1. Akan tetapi pembentukan selulosa mikrobial hanya terjadi pada sampel A1B1. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya tekanan osmotik yang bekerja pada sel selama proses inkubasi statis. Pada kondisi teragitasi, tekanan osmotik tidak bekerja optimal karena adanya agitasi tersebut. Sedangkan pada kondisi statis, tekanan osmotik bekerja dengan optimal. Pada penelitian Indrarti dan Rahimi (2008), semakin banyak sukrosa yang ditambahkan menyebabkan penurunan selulosa mikrobial yang terbentuk. Pembentukan selulosa mikrobial tertinggi diperoleh pada

0 2 4 6 8 10 12 14

0 5 10 15

A1B1 A2B1 A3B1 A1B0 K et eb al an S el u lo sa M ik ro b ia l (m m )


(28)

14 perlakuan penambahan sukrosa 0%. Konsentrasi sukrosa yang lebih pekat (hipertonik) pada media kultur menyebabkan kondisi hipotonik pada sel, sehingga terjadi plasmolisis atau pengerutan sel karena keluarnya air dari dalam sel atau area hipotonik ke area hipertonik yang menyebabkan kematian sel. Selain itu, penurunan aktivitas fermentasi dimungkinkan karena adanya gula yang berlebih yang tidak dimanfaatkan secara efektif. Gula yang tidak digunakan untuk pertumbuhan bakteri akan diubah menjadi asam dan akan menurunkan pH medium yang menghambat pertumbuhan bakteri, sehingga tidak terbentuk lapisan selulosa mikrobial.

Data lengkap pengukuran ketebalan selulosa mikrobial pada kecepatan agitasi 150 rpm terlampir pada Lampiran 12. Perbandingan ketebalan selulosa mikrobial yang terbentuk antara perlakuan kecepatan agitasi 150 rpm dan kontrol disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Perbandingan Ketebalan Selulosa Mikrobial pada Kecepatan Agitasi 150 rpm dan Kontrol

Pembentukan selulosa mikrobial pada perlakuan kecepatan agitasi 150 rpm terjadi pada perlakuan A1B2 (penambahan sukrosa 0% dan kecepatan agitasi 150 rpm) dan A2B2 (penambahan sukrosa 5% dan kecepatan agitasi 150 rpm). Sedangkan untuk perlakuan A3B2 (penambahan sukrosa 7.5% dan kecepatan agitasi 150 rpm) sampai hari ke-14 tidak terjadi pembentukan selulosa mikrobial. Pada perlakuan A1B2, pembentukan selulosa mikrobial dimulai pada hari ke-6 dan mencapai ketebalan penuh tanpa menyisakan media pertumbuhan pada hari ke-11 dengan ketebalan 11 mm. Sedangkan pada perlakuan A2B2, pembentukan selulosa mikrobial dimulai pada hari ke-11 dan mencapai ketebalan maksimal tanpa menyisakan media pertumbuhan pada hari ke-13 dengan ketebalan 12 mm. Pada perlakuan kontrol (statis) A1B0 (penambahan sukrosa 0% dan tanpa agitasi atau statis), pembentukan selulosa mikrobial dimulai pada hari ke-7 dan mencapai ketebalan maksimal tanpa menyisakan media pertumbuhan pada hari ke-11 dengan ketebalan 12 mm. Sedangkan untuk perlakuan A2B0 (penambahan sukrosa 5% dan tanpa agitasi atau statis) dan A3B0 (penambahan sukrosa 7.5% dan tanpa

0 2 4 6 8 10 12 14

0 5 10 15

A1B2 A2B2 A3B2 A1B0

Lama Inkubasi (Hari)

K et eb al an S el u lo sa M ik ro b ia l (m m )


(29)

15 agitasi atau statis) sampai hari ke-14 tidak terjadi pembentukan selulosa mikrobial. Berdasarkan data tersebut dapat terlihat bahwa pembentukan selulosa mikrobial lebih cepat terjadi pada perlakuan A1B2 dibandingkan perlakuan kontrol A1B0. Sedangkan pembentukan selulosa mikrobial pada perlakuan A2B2 berjalan dengan lambat. Penambahan ketebalan pada perlakuan A1B2 lebih lambat dibandingkan dengan perlakuan kontrol A1B0. Sedangkan penambahan ketebalan selulosa mikrobial pada perlakuan A2B2 berjalan lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan A1B2 dan A1B0 meskipun waktu mulai pembentukan selulosa mikrobialnya memerlukan waktu yang lama.

Jika dilihat berdasarkan analisis TPC (Total Plate Count) yang dilakukan setelah kultivasi tahap pertama, perlakuan A1B2 memiliki jumlah sel sebanyak 7.96 x 106 CFU, perlakuan A2B2 sebanyak 5.59 x 106 CFU, dan perlakuan A3B2 sebanyak 6.26 x 106 CFU. Perlakuan A1B2 memiliki jumlah sel paling banyak dibandingkan dengan perlakuan A2B2 dan A3B2, sehingga pembentukan selulosa mikrobial pada perlakuan A1B2 lebih cepat terjadi. Perlakuan A3B2 memiliki jumlah sel lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan A2B2. Akan tetapi pada perlakuan A3B2 tidak terjadi pembentukan selulosa mikrobial. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya tekanan osmotik yang bekerja pada sel selama proses inkubasi statis. Pada kondisi teragitasi, tekanan osmotik tidak bekerja optimal karena adanya guncangan. Sedangkan pada kondisi statis, tekanan osmotik bekerja dengan optimal. Sedangkan pada kondisi statis, tekanan osmotik bekerja dengan optimal. Pada penelitian Indrarti dan Rahimi (2008), semakin banyak sukrosa yang ditambahkan menyebabkan penurunan selulosa mikrobial yang terbentuk. Pembentukan selulosa mikrobial tertinggi diperoleh pada perlakuan penambahan sukrosa 0%. Konsentrasi sukrosa yang lebih pekat (hipertonik) pada media kultur menyebabkan kondisi hipotonik pada sel, sehingga terjadi plasmolisis atau pengerutan sel karena keluarnya air dari dalam sel atau area hipotonik ke area hipertonik yang menyebabkan kematian sel. Selain itu, penurunan aktivitas fermentasi dimungkinkan karena adanya gula yang berlebih yang tidak dimanfaatkan secara efektif. Gula yang tidak digunakan untuk pertumbuhan bakteri akan diubah menjadi asam dan akan menurunkan pH medium yang menghambat pertumbuhan bakteri, sehingga tidak terbentuk lapisan selulosa mikrobial. Pada perlakuan A2B2, kemungkinan sel Acetobacter xylinum masih memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan konsentrasi sukrosa yang cukup pekat. Akan tetapi pada konsentrasi sukrosa yang lebih tinggi pada perlakuan A3B2, sel Acetobacter xylinum tidak mampu beradaptasi sehingga terjadi plasmolisis yang menyebabkan kematian pada sel.

Data lengkap pengukuran ketebalan selulosa mikrobial pada kecepatan agitasi 200 rpm terlampir pada Lampiran 13. Perbandingan ketebalan selulosa mikrobial yang terbentuk antara perlakuan kecepatan agitasi 200 rpm dan kontrol disajikan pada Gambar 8.


(30)

16 Gambar 8. Perbandingan Ketebalan Selulosa Mikrobial pada

Kecepatan Agitasi 200 rpm dan Kontrol.

Pada perlakuan kecepatan agitasi 200 rpm, pembentukan selulosa mikrobial terjadi pada perlakuan A1B3 (penambahan sukrosa 0% dan kecepatan agitasi 200 rpm). Sedangkan pada perlakuan A2B3 (penambahan sukrosa 5% dan kecepatan agitasi 200 rpm) dan A3B3 (penambahan sukrosa 7.5% dan kecepatan agitasi 200 rpm) sampai hari ke-14 tidak terjadi pembentukan selulosa mikrobial. Pembentukan selulosa mikrobial pada perlakuan A1B3 dimulai pada hari ke-6 dan mencapai ketebalan maksimal tanpa menyisakan media pertumbuhan pada hari ke-10 dengan ketebalan 13 mm. Pada perlakuan kontrol (statis) A1B0 (penambahan sukrosa 0% dan tanpa agitasi atau statis), pembentukan selulosa mikrobial dimulai pada hari ke-7 dan mencapai ketebalan maksimal tanpa menyisakan media pertumbuhan pada hari ke-11 dengan ketebalan 12 mm. Sedangkan untuk perlakuan A2B0 (penambahan sukrosa 5% dan tanpa agitasi atau statis) dan A3B0 (penambahan sukrosa 7.5% dan tanpa agitasi atau statis) sampai hari ke-14 tidak terjadi pembentukan selulosa mikrobial. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa pembentukan selulosa mikrobial lebih cepat terjadi pada perlakuan A1B3 dibandingkan dengan perlakuan kontrol A1B0. Akan tetapi penambahan ketebalan selulosa mikrobial antara perlakuan A1B3 dengan perlakuan kontrol A1B0 hampir sama.

Jika dilihat berdasarkan analisis TPC (Total Plate Count) yang dilakukan setelah kultivasi tahap pertama, perlakuan A1B3 memiliki jumlah sel sebanyak 6.94 x 106 CFU, perlakuan A2B3 sebanyak 6.94 x 106 CFU, dan perlakuan A3B2 sebanyak 5.56x 106 CFU. Perlakuan A1B3 memiliki jumlah sel sama banyaknya dengan perlakuan A2B3. Sedangkan perlakuan A3B3 memiliki jumlah sel paling sedikit diantara ketiganya. Meskipun perlakuan A1B3 dan perlakuan A2B3 memiliki jumlah sel yang sama, pembentukan selulosa mikrobial hanya terjadi pada perlakuan A1B3. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya tekanan osmotik yang bekerja optimal selama proses inkubasi statis. Sedangkan pada

0 2 4 6 8 10 12 14

0 5 10 15

A1B3 A2B3 A3B3 A1B0

Lama Inkubasi (Hari)

K et eb al an S el u lo sa M ik ro b ia l (m m )


(31)

17 kondisi statis, tekanan osmotik bekerja dengan optimal. Pada penelitian Indrarti dan Rahimi (2008), semakin banyak sukrosa yang ditambahkan menyebabkan penurunan selulosa mikrobial yang terbentuk. Pembentukan selulosa mikrobial tertinggi diperoleh pada perlakuan penambahan sukrosa 0%. Konsentrasi sukrosa yang lebih pekat (hipertonik) pada media kultur menyebabkan kondisi hipotonik pada sel, sehingga terjadi plasmolisis atau pengerutan sel karena keluarnya air dari dalam sel atau area hipotonik ke area hipertonik yang menyebabkan kematian sel.

Data lengkap pengukuran ketebalan selulosa mikrobial pada perlakuan kontrol terlampir pada Lampiran 14. Perbandingan ketebalan selulosa mikrobial antarperlakuan yang menghasilkan selulosa mikrobial dapat dilihat pada Gambar 9 yang menunjukkan bahwa pembentukan selulosa mikrobial lebih cepat terjadi pada perlakuan A1B1 (penambahan sukrosa 0% dan kecepatan 100 rpm) yang dimulai pada hari ke-5 dan mencapai ketebalan maksimal pada hari ke-10. Kemudian disusul oleh perlakuan A1B2 (penambahan sukrosa 0% dan kecepatan agitasi 150 rpm) dan A1B3 (penambahan sukrosa 0% dan kecepatan agitasi 200 rpm) yang sama-sama dimulai pada hari ke-6. Akan tetapi untuk perlakuan A1B2 mencapai ketebalan maksimum lebih lambat daripada perlakuan A1B3 yaitu pada hari ke-11 dan perlakuan A1B3 mencapai ketebalan maksimum pada hari ke-10. Hal ini terlihat pada penambahan ketebalan selulosa mikrobial pada perlakuan A1B3 lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan A1B2. Selanjutnya pada perlakuan kontrol A1B0 (penambahan sukrosa 0% dan tanpa agitasi atau statis) terbentuk selulosa mikrobial pada hari ke-7 dan mencapai ketebalan penuh pada hari ke-11. Penambahan ketebalan pada perlakuan kontrol A1B0 lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan A1B2. Pembentukan selulosa mikrobial yang paling lambat terdapat pada perlakuan A2B2 yang dimulai pada hari ke-11 dan mencapai ketebalan maksimal pada hari ke-13.

Gambar 9. Perbandingan Ketebalan Selulosa Mikrobial Antarperlakuan

0 2 4 6 8 10 12 14

0 5 10 15

A1B1 A1B2 A2B2 A1B3 A1B0

Lama Inkubasi (Hari)

K et eb al an S el u lo sa M ik ro b ia l (m m )


(32)

18 b. Bobot Basah Selulosa Mikrobial

Inkubasi dilakukan selama 14 hari. Pada hari ke-14 dilakukan pemanenan dan langsung dilakukan penghitungan bobot basah terhadap selulosa mikrobial yang terbentuk. Penampakan selulosa mikrobial basah terlampir pada Lampiran 7 dan data lengkap penghitungan bobot basah selulosa mikrobial terlampir pada Lampiran 15. Bobot basah selulosa mikrobial yang terbentuk disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10. Bobot Basah Selulosa Mikrobial

Bobot basah selulosa mikrobial terbesar terdapat pada perlakuan A1B1 (penambahan sukrosa 0% dan kecepatan agitasi 100 rpm) dengan bobot 454.89 g/l. Kemudian disusul oleh perlakuan kontrol A1B0 (penambahan sukrosa 0% dan tanpa agitasi atau statis) dengan bobot 394.16 g/l, perlakuan A2B2 (penambahan sukrosa 5% dan kecepatan agitasi 150 rpm) dengan bobot 382.21 g/l, perlakuan A1B2 (penambahan sukrosa 0% dan kecepatan agitasi 150 rpm) dengan bobot 313.29 g/l, dan bobot terkecil terdapat pada perlakuan A1B3 (penambahan sukrosa 0% dan kecepatan agitasi 200 rpm) dengan bobot 239.06 g/l. Semakin tinggi perlakuan kecepatan agitasi pada penambahan sukrosa 0%, bobot basah selulosa mikrobial semakin menurun, kecuali pada perlakuan A1B1 memiliki bobot basah selulosa mikrobial yang lebih besar dibandingkan dengan bobot basah selulosa mikrobial pada perlakuan kontrol A1B0. Pada perlakuan A2B2 memiliki bobot basah selulosa mikrobial yang lebih besar dibandingkan dengan bobot basah selulosa mikrobial pada perlakuan A1B2, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan bobot basah selulosa mikrobial pada perlakuan kontrol A1B0 dan A1B1. Pada penelitian Kongruang (2008), bobot basah selulosa mikrobial yang dihasilkan berkisar antara 243.33-553.33 g/l. Bobot basah selulosa mikrobial dipengaruhi oleh kadar air dari masing-masing selulosa mikrobial yang dihasilkan.

Berdasarkan ANOVA (Lampiran 17), perlakuan kecepatan agitasi memberikan pengaruh nyata terhadap bobot basah selulosa mikrobial yang

0,00 100,00 200,00 300,00 400,00 500,00

A1B0 A1B1 A1B2 A2B2 A1B3

B o b o t B as ah S el u lo sa M ik ro b ia l (g /L ) Perlakuan


(33)

19 dihasilkan. Melalui Uji Lanjut Duncan (Lampiran 18) diketahui bahwa perlakuan kecepatan agitasi 100 rpm (B1) dan 200 rpm (B3) memberikan pengaruh yang berbeda terhadap bobot basah selulosa mikrobial.

c. Kadar Air Selulosa Mikrobial

Kadar air selulosa mikrobial berkaitan erat dengan kemampuan menahan atau menyimpan air (Water Holding Capacity). Struktur selulosa mikrobial terdiri dari matriks-matriks mikrofibril yang saling berikatan. Matriks-matriks tersebut mampu menyerap dan menahan air dalam jumlah tertentu. Data lengkap penghitungan kadar air terlampir pada Lampiran 15. Kadar air dari masing-masing selulosa mikrobial tersebut disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Kadar Air Selulosa Mikrobial Basah

Kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan A2B2 (penambahan sukrosa 5% dan kecepatan agitasi 150 rpm) sebesar 98.24%. Selanjutnya disusul oleh perlakuan A1B1 (penambahan sukrosa 0% dan kecepatan agitasi 100 rpm) sebesar 97.09%, perlakuan A1B0 (penambahan sukrosa 0% dan tanpa agitasi atau statis) sebesar 96.79%, perlakuan A1B3 (penambahan sukrosa 0% dan kecepatan agitasi 200 rpm) sebesar 96.67%, dan kadar air terendah diperoleh oleh perlakuan A1B2 (penambahan sukrosa 0% dan kecepatan agitasi 150 rpm) sebesar 96.22%. Water Holding Capacity (WHC) untuk masing-masing perlakuan berbeda-beda. Selulosa mikrobial yang dihasilkan dari perlakuan A2B2 memiliki WHC yang lebih tinggi dibandingkan dengan selulosa mikrobial yang dihasilkan dari perlakuan A1B1, A1B0, A1B3, dan A1B2. Jagannath et al (2008) menyatakan bahwa selulosa mikrobial memiliki kandungan air lebih dari 90% dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kadar air selulosa mikrobial berkisar antara 94.3-98.3%. Besar kecilnya kadar air selulosa mikrobial kemungkinan dipengaruhi oleh struktur matriks pada setiap selulosa mikrobial yang dihasilkan.

Berdasarkan ANOVA (Lampiran 19), perlakuan penambahan kadar sukrosa (A) dan perlakuan kecepatan agitasi (B) memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air selulosa mikrobial. Uji Lanjut Duncan pada perlakuan

94,00 96,00 98,00 100,00

A1B0 A1B1 A1B2 A2B2 A1B3

K ad ar A ir S el u lo sa M ik ro b ia l B as ah (% ) Perlakuan


(34)

20 penambahan kadar sukrosa (A) (Lampiran 20) menunjukkan bahwa pada perlakuan penambahan kadar sukrosa 5% (A2) dan 0% (A1) memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kadar air selulosa mikrobial. Sedangkan Uji Lanjut Duncan pada perlakuan kecepatan agitasi (B) (Lampiran 21) menunjukkan bahwa perlakuan kecepatan agitasi 150 rpm (B2) dan 200 rpm (B3) memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kadar air selulosa mikrobial.

d. Bobot Kering Selulosa Mikrobial

Bobot kering selulosa mikrobial berbeda dengan rendemen kering selulosa mikrobial. Bobot kering selulosa mikrobial merupakan jumlah total selulosa mikrobial setelah dikeringkan. Sedangkan rendemen kering selulosa mikrobial merupakan persentase perbandingan antara selulosa mikrobial kering terhadap selulosa mikrobial basah. Penampakan selulosa mikrobial kering terlampir pada Lampiran 8 dan data lengkap penghitungan bobot kering selulosa mikrobial terlampir pada lampiran 16. Bobot kering selulosa mikrobial disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12. Bobot Kering Selulosa Mikrobial

Bobot kering selulosa mikrobial berkisar antara 3.71 – 11.09 g/l. Bobot kering tertinggi diperoleh pada perlakuan A1B1 (penambahan sukrosa 0% dan kecepatan agitasi 100 rpm) sebesar 11.09 g/l. Selanjutnya perlakuan A1B2 (penambahan sukrosa 0% dan kecepatan agitasi 150 rpm) sebesar 10.65 g/l, perlakuan kontrol A1B0 (penambahan sukrosa 0% dan tanpa agitasi atau statis) sebesar 9.32 g/l, perlakuan A1B3 (penambahan sukrosa 0% dan kecepatan agitasi 200 rpm) sebesar 8.49 g/l, dan bobot kering terendah diperoleh pada perlakuan A2B2 (penambahan sukrosa 5% dan kecepatan agitasi 150 rpm) sebesar 3.71 g/l. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa semakin tinggi kecepatan agitasi, bobot kering selulosa mikrobial yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan bobot kering selulosa mikrobial tanpa agitasi, kecuali untuk sampel A1B3 dan A2B2. Perlakuan penambahan sukrosa 0% (A1) memiliki bobot kering selulosa mikrobial

0,00 5,00 10,00 15,00

A1B0 A1B1 A1B2 A2B2 A1B3

B o b o t K er in g S el u lo sa M ik ro b ia l (g /L ) Perlakuan


(35)

21 yang lebih tinggi dibandingkan dengan sampel dengan penambahan sukrosa 5% (A2).

Berdasarkan ANOVA (Lampiran 22), perlakuan penambahan kadar sukrosa (A) dan perlakuan kecepatan agitasi (B) memberikan pengaruh nyata terhadap bobot kering selulosa mikrobial. Uji Lanjut Duncan pada perlakuan penambahan kadar sukrosa (A) (Lampiran 23) menunjukkan bahwa penambahan kadar sukrosa 0% (A1) dan 5% (A2) memberikan pengaruh yang berbeda terhadap bobot kering selulosa mikrobial. Sedangkan Uji Lanjut Duncan pada perlakuan kecepatan agitasi (B) (Lampiran 24) menunjukkan bahwa perlakuan kecepatan agitasi 100 rpm (B1) dan 150 rpm (B2) memberikan pengaruh yang berbeda terhadap bobot kering selulosa mikrobial.

Pada penelitian Jung et al (2010) menunjukkan beberapa efek penggunaan sumber karbon yang berbeda terhadap produksi selulosa mikrobial menggunakan bakteri Acetobacter sp. V6 yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Efek Penggunaan Sumber Karbon pada Produksi Selulosa Mikrobial oleh

Acetobacter sp. V6.

Sumber Karbon Rendemen Selulosa Mikrobial (g/l) Tanpa Sumber C 0.06 ± 0.01

Glukosa 1.13 ± 0.05

Fruktosa 0.45 ± 0.03

Sukrosa 0.14 ± 0.07

Laktosa 0.99 ± 0.05

Sorbitol 0.30 ± 0.03

Manitol 0.45 ± 0.05

Gliserol 2.16 ± 0.03

Terlihat bahwa rendemen selulosa mikrobial yang diperoleh lebih tinggi menggunakan kultivasi dua tahap dibandingkan dengan kultivasi satu tahap menggunakan metode kocok. Akan tetapi, penggunaan sumber karbon sukrosa pada penelitian Jung et al (2010) menunjukkan rendemen selulosa mikrobial paling sedikit dibandingkan dengan penggunaan sumber karbon lainnya.

Pada penelitian Son et al (2003) , media yang digunakan untuk kultivasi akan berpengaruh terhadap rendemen selulosa mikrobial yang dihasilkan. Perbandingan antara media sintetik dengan media kompleks dalam memproduksi selulosa mikrobial disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Perbandingan Produksi Selulosa Mikrobial Menggunakan Media Kultivasi yang Berbeda.

Media Kultivasi Waktu Inkubasi (Hari)

Rendemen Selulosa Mikrobial (g/l)

Media sintetik 8 4.16

Media HS 8 1.58

Pada penelitian ini digunakan media Hassid Barker Cair dan rendemen selulosa mikrobial yang dihasilkan masih lebih tinggi dibandingkan dengan hasil


(36)

22 penelitian Son et al (2003). Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh lamanya waktu inkubasi. Pada penelitian Son et al (2003), inkubasi dilakukan selama 8 hari, sedangkan pada penelitian ini inkubasi dilakukan selama 14 hari meskipun rata-rata mencapai ketebalan maksimal pada hari ke-10.

Pourramezan et al (2009) diacu dalam Çoban dan Biyik (2011) membandingkan antara perbedaan rendemen selulosa mikrobial yang diperoleh dengan kondisi kultur yang berbeda yang digunakan oleh peneliti yang berbeda. Hasil perbandingan tersebut disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Perbandingan Rendemen Selulosa Mikrobial dengan Kondisi Kultur Berbeda Oleh Peneliti yang Berbeda.

Sistem Kultivasi Rendemen Selulosa Mikrobial (g/l)

Peneliti

Kultur Teragitasi 9.7 Tsuchida and Yoshinaga (1997) Kultur Teragitasi 20 Kouda et al (1998)

Kultur Teragitasi 15 Hwang et al (1999)

Kultur Statis 3 Ishihara et al (2002)

Kultur Teragitasi 16.4 Son et al (2003) Kultur Teragitasi 21 Naritomi et al (2002) Kultur Teragitasi 12.8 Bae et al. (2004)

Kultur Statis - Keshk and Sameshima (2005)

Kultur Statis 11.98 Pourramezan et al. (2009)

Berdasarkan perbandingan tersebut, rendemen selulosa mikrobial yang dihasilkan dengan dua tahap kultivasi lebih tinggi dibandingkan dengan rendemen selulosa mikrobial yang dihasilkan menggunakan sistem kultur statis. Sedangkan jika dibandingkan dengan sistem kultur teragitasi, ada sebagian yang lebih tinggi dan sebagian lebih rendah.

e. Rendemen Selulosa Mikrobial Kering Terhadap Substrat (Y(p/s))

Rendemen selulosa mikrobial kering terhadap substrat atau Y(p/s) merupakan rendemen produk yang dihasilkan terhadap banyaknya gula yang digunakan. Nilai Y(p/s) menunjukkan banyaknya produk yang dihasilkan terhadap penggunaan substrat dengan jumlah tertentu. Data lengkap penghitungan nilai Y(p/s) terlampir pada Lampiran 16. Nilai Y(p/s) untuk masing-masing sampel disajikan pada Gambar 13.


(37)

23 Gambar 13. Rendemen Selulosa Mikrobial Kering Terhadap Substrat

Nilai Y(p/s) tertinggi diperoleh pada perlakuan A1B1 (penambahan sukrosa 0% dan kecepatan agitasi 100 rpm) sebesar 0.43. Kemudian disusul oleh perlakuan A1B2 (penambahan sukrosa 0% dan kecepatan agitasi 150 rpm) sebesar 0.41, perlakuan A1B0 (penambahan sukrosa 0% dan tanpa agitasi atau statis) sebesar 0.36, perlakuan A1B3 (penambahan sukrosa 0% dan kecepatan agitasi 200 rpm) sebesar 0.33, dan nilai Y(p/s) terendah diperoleh pada perlakuan A2B2 (penambahan sukrosa 5% dan kecepatan agitasi 150 rpm) sebesar 0.14. Setiap penggunaan 1 g substrat (gula) akan menghasilkan produk (selulosa mikrobial) maksimal sebanyak 0.43 g.

Jika dibandingkan dengan penambahan ketebalan selulosa mikrobial selama masa inkubasi, perlakuan A1B1 (penambahan sukrosa 0% dan kecepatan 100 rpm) lebih cepat dalam membentuk selulosa mikrobial. Selain itu, perlakuan A1B1 memiliki bobot basah selulosa mikrobial tertinggi dengan kadar air yang cukup rendah jika dibandingkan dengan selulosa mikrobial hasil perlakuan lainnya. Hal ini dapat dikaitkan dengan nilai Y(p/s) dimana perlakuan A1B1 memperoleh nilai tertinggi untuk Y(p/s).

Nilai Y(p/s) untuk sampel yang diberi perlakuan agitasi rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan nilai Y(p/s) untuk perlakuan kontrol atau statis. Terlihat pada nilai Y(p/s) untuk perlakuan A1B1 dan A1B2 lebih tinggi daripada nilai Y(p/s) untuk perlakuan kontrol A1B0. Seperti yang diungkapkan Tsuchida dan Yoshinaga (1997) bahwa pada sistem kultur statis diperoleh rendemen Y(p/s) yang rendah. Akan tetapi nilai Y(p/s) untuk perlakuan A1B3 lebih rendah 0.03 dibandingkan dengan sampel kontrol A1B0. Pada perlakuan A2B2 memiliki nilai Y(p/s) yang paling rendah dan sangat jauh perbedaannya jika dibandingkan dengan nilai Y(p/s) perlakuan kontrol A1B0. Meskipun ketika dilakukan pemanenan tidak menyisakan media pertumbuhan, selulosa mikrobial yang dihasilkan memiliki kadar air yang paling tinggi yaitu 98.24%. Gula yang terkandung di dalam media kemungkinan tidak digunakan semuanya untuk pembentukan selulosa mikrobial, tetapi masih terperangkap pada matriks-matriks selulosa mikrobial. Hal ini terlihat pada saat perebusan menggunakan NaOH 0.3 N yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran selain selulosa. Cairan NaOH 0.3 N

0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50

A1B0 A1B1 A1B2 A2B2 A1B3

Y

(p

/s

)


(38)

24 awalnya berwarna bening jernih, akan tetapi setelah digunakan untuk merebus selulosa mikrobial berubah warna menjadi kuning emas sampai coklat. Cairan sisa perebusan dengan NaOH 0.3 N untuk perlakuan A2B2 berwarna paling gelap atau coklat dibandingkan dengan cairan sisa perebusan untuk perlakuan lainnya yang berwarna kuning emas.

Berdasarkan ANOVA (Lampiran 25), perlakuan penambahan kadar sukrosa (A) dan perlakuan kecepatan agitasi (B) memberikan pengaruh nyata terhadap nilai Y(p/s). Uji Lanjut Duncan pada perlakuan penambahan kadar sukrosa (A) (Lampiran 26) menunjukkan bahwa penambahan kadar sukrosa 0% dan 5% memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilai Y(p/s). Sedangkan Uji Lanjut Duncan pada perlakuan kecepatan agitasi (B) (Lampiran 27) menunjukkan bahwa perlakuan kecepatan agitasi 100 rpm (B1) dan 150 rpm (B2) memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilai Y(p/s).


(39)

25

V. PENUTUP

A.

Kesimpulan

Pembentukan selulosa mikrobial dipengaruhi oleh kecepatan agitasi dan kadar sukrosa yang ditambahkan. Semakin tinggi kecepatan agitasi yang digunakan, jumlah sel Acetobacter xylinum

yang dihasilkan semakin menurun. Pada kecepatan agitasi 100 rpm, jumlah sel yang dihasilkan paling tinggi sehingga pembentukan selulosa lebih cepat terjadi dibandingkan dengan perlakuan kontrol atau statis dan kecepatan agitasi 150 rpm serta kecepatan agitasi 200 rpm. Kecepatan agitasi yang tinggi yaitu pada kecepatan agitasi 150 rpm dan 200 rpm akan menghambat pembentukan selulosa mikrobial lebih lambat. Semakin tinggi penambahan sukrosa, berakibat pada tidak bertambahnya selulosa mikrobial yang terbentuk.

Pembentukan selulosa mikrobial paling cepat terjadi pada perlakuan A1B1 (penambahan sukrosa 0% dan kecepatan agitasi 100 rpm) yaitu dimulai pada hari ke-5 dan mencapai ketebalan maksimal tanpa menyisakan media pertumbuhan pada hari ke-10. Bobot basah selulosa mikrobial tertinggi terdapat pada perlakuan A1B1 sebesar 454.89 g/l. Kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan A2B2 (penambahan sukrosa 5% dan kecepatan agitasi 150 rpm) sebesar 98.24% dan kadar air terendah terendah terdapat pada perlakuan A1B2 (penambahan sukrosa 0% dan kecepatan agitasi 150 rpm) sebesar 96.22. Bobot kering selulosa mikrobial tertinggi terdapat pada perlakuan A1B1 sebesar 11.09 g/l. Nilai Y(p/s) tertinggi terdapat pada perlakuan A1B1 sebesar 0.43.

B. Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan untuk penelitian-penelitian selanjutnya adalah yaitu penggunaan strain Acetobacter xylinum yang memiliki kemampuan tinggi dalam propagasi sel pada kondisi kultur teragitasi, waktu inkubasi pada kultivasi tahap pertama (Agitated Culture System) lebih divariasikan untuk memperoleh waktu inkubasi paling optimal, dan penggunaan nitrogen dan jenis sumber nitrogen dalam kultivasi.


(40)

26

DAFTAR PUSTAKA

Admin Azonanotechnology. 2008. Bakteri menempatkan bekerja sebagai weavers tiny dari biomaterial nanoscale. http://www.azonano.com/nanotechnology%20news/bakteri-menempatkan-bekerja-sebagai-weavers-tiny-dari-biomaterial-nanoscale.html [23 Desember 2010].

Budhiono A, Rosidi B, Taher H, dan Iguchi M. 1999. Kinetic aspects of bacterial cellulose formation in nata-de-coco culture system. Carbohydrate Polymers.40: 137-143.

Budiyanto M.A.K. 2002. Mikrobiologi Terapan. Malang: UMM Press.

Cheng K.C, Catchmark J.M, dan Demirci A. 2009. Enhanced production of bacterial cellulose by using a biofilm reactor and its material property analysis. http://www.jbioleng.org/content/3/1/12. [16 Mei 2011].

Çoban E.P dan Biyik H. 2011. Evaluation of different pH and temperatures for bacterial cellulose production in HS (Hestrin-Scharmm) medium and beet molasses medium. African Journal of Microbiology Research. 5 (9): 1037-1045.

Fontana R.C, Polidoro T.A, dan Silveira M.M. 2009. Comparison of stirred tank and airlift bioreactors in the production of polygalacturonases by Aspergillus oryzae. Bioresource Technology. 100: 4493-4498.

Gluz M dan Merchuk J.C. 1997. Bioreactors, Air-Lift Reactors. Beer-Sheva Israel: Ben-Gurion University of the Negev.

Hwang J.W, Yang Y.K, Hwang J.K, Pyun Y.R, dan Kim Y.S. 1999. Effects of pH and dissolved oxygen on cellulose production by Acetobacter xylinum BRC5 in agitated culture. J. Biosci. Bioeng..88: 183-188.

Hesse S dan Kondo T. 2005. Behavior of cellulose production of Acetobacter xylinum in 13C-enriched cultivation media including movements on nematic ordered cellulose templates. Carbohydrate Polymers. 60: 457-465.

Indrarti L dan Rahimi E. 2008. Pengaruh penambahan gula dan amonium sulfat pada medium kulit pisang terhadap pertumbuhan dan sifat mekanik bioselulosa. Majalah Polimer Indonesia. 11: 1-5.

Ishihara M, Matsunaga M, Hayashi N, dan Tisler V. 2002. Utilization of Dxylose as carbon source for production of bacterial cellulose. Enzyme Microb. Technol.. 31: 986-991.

Jagannath A, Kalaiselvan A, Manjunatha S.S, Raju P.S, dan Bawa A.S. 2008. The effect of pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the production of bacterial cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum. World J. Microbiol. Biotechnol. 24: 2593-2599.

Jung H.II, Jeong J.H, Lee O.M, Park G.T, Kim K.K, Park H.C, Lee S.M, Kim Y.G, dan Son H.J. 2010. Influence of glycerol on production and structural-physical properties of cellulose from

Acetobacter sp. V6 cultured in shake flasks. Bioresource Technology. 101: 3602-3608.

Junianto, Mangunwidjadja D, Suprihatin, Setyaningrum M, dan Wahyuntari B. 2009. Pengaruh tingkat aerasi dan kecepatan agitasi terhadap tingkat hidrolisis protein kulit udang pada tahapan ekstraksi kitin secara biologis. Jurnal Bionatura. 11: 107-117.

Kongruang S. 2008. Bacterial cellulose production by Acetobacter xylinum strains from agricultural waste products. Appl. Biochem. Biotechnol.. 148: 245-256.


(41)

27 Kouda T, Naritomi T, Yano H, dan Yoshinaga F. 1997. Effects of oxygen and carbon dioxide

pressures on bacterial cellulose production by Acetobacter in aerated and agitated culture.

Journal of Fermentation and Bioengineering. 84: 124-127.

Kurosumi A, Sasaki C, Yamashita Y, dan Nakamura Y. 2009. Utilization of various fruit juices as carbon source for production of bacterial cellulose by Acetobacter xylinum NBRC 13693.

Carbohydrate Polymers. 76: 333-335.

Masaoka S, Ohe T, dan Sakota N. 1993. Production of cellulose from glucose by Acetobacter xylinum. Journal of Fermentation and Bioengineering. 75: 18-22.

Mattjik, A.A. dan Sumertajaya I.M. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. Bogor: IPB Press

Melliawati R. 2008. Kajian Bahan Pembawa untuk Meningkatkan Kualitas Inokulum Pasta Nata de Coco. Biodiversitas. 9: 255-258.

Melliawati R, Komara W.Y, dan Sukara E. 2011. Fermentation process for the production of

Acetobacter sp. EMN-1 Biomass.

http://www.lipi.go.id/www.cgi?publikasi&1297133880&&2001&1036006290. [16 Mei 2011]. Misgiyarta. 2007. Teknologi pembuatan Nata de Coco. Balai Besar Penelitian dan pengembangan

Pascapanen Pertanian, Bogor.

Munawar T.M. 2009. Bakteri nata de coco. http://

http://muhtaufiqmunawar.blogspot.com/2009/02/pohon-kelapa-termasuk-dalam-keluarga.html. [23 Desember 2010].

Naritomi T, Kouda T, Yano H, dan Yoshinaga F. 2002. Influence of broth exchange ratio on bacterial cellulose production by repeated-batch culture. Process Biochem.. 38: 41-47.

Phisalaphong M dan Jatupaiboon N. 2008. Biosynthesis and characterization of bacteria cellulose– chitosan film. Carbohydrate Polymers. 74: 482-488.

Pourramezan G.Z, Roayaei A.M, dan Qezelbash Q.R. 2009. Optimization of culture conditions for bacterial cellulose production by Acetobacter sp. 4B-2. Biotechnol.. 8: 150-154.

Pradella J.G.C, Taciro M.K, dan Mateus A.Y.P. 2010. High-cell-density poly (3-hydroxybutyrate) production from sucrose using Burkholderia sacchari culture in airlift bioreactor. Bioresource Technology. 101: 8355-8360.

Ramana K.V, Tomar A, dan Singh L. 2000. Effect of various carbon and nitrogen source on cellulose synthesis by Acetobacter xylinum.World Journal of Microbiology & Biotechnology. 16: 245-248.

Saibuatong O dan Phisalaphong M. 2010. Novo aloe vera–bacterial cellulose composite film from biosynthesis. Carbohydrate Polymers. 79: 455-460.

Sakairi N, Asano H, Ogawa M, Nishi N, dan Tokura S. 1998. A Method for Direct Harvest of Bacterial Cellulose Filaments During Continous Cultivation of Acetobacter xylinum. Carbohydrate Polymers. 35: 233-237.

Salsabila Z. 2010. Aerasi dan agitasi. http://www.scribd.com/doc/25326164/AERASI-DAN-AGITASI. [23 Desember 2010]


(42)

28 Shezad O, Khan S, Khan T, dan Park J.K. 2010. Physicochemical and mechanical characterization of

bacterial cellulose produced with an excellent productivity in static condition using a simple fed-batch cultivation strategy. Carbohydrate Polymers. 82: 173-180.

Son H.J, Kim H.G, Kim K.K, Kim H.S, Kim Y.G, dan Lee S.J. 2003. Increased production of bacterial cellulose by Acetobacter sp. V6 in synthetic media under shaking culture conditions.

Bioresource Technology. 86:215-219.

Suryani A, Ismayana A, Suatrina Y, dan Pyun Y.R. 2000. Kajian Teknik Kultivasi dan Pengaruh Luas Permukaan Media Tumbuh pada Produksi Selulosa Menggunakan Bakteri Isolat Lokal. Jurnal Mikrobiologi Indonesia. 5: 4-9.

Tomita Y dan Kondo T. 2009. Influential factors to enhance the moving rate of Acetobacter xylinum

due to its nanofiber secretion on oriented templates. Carbohydrate Polymers. 77: 754-759. Tsuchida T dan Yoshinaga F. 1997. Production of bacterial cellulose by agitation culture system. Pure

and Applied Chemistry. 69: 2453-2458.

Wei B, Yang G, dan Hong F. 2011. Preparation and evaluation of kind of bacterial cellulose dry film with antibacterial properties. Carbohydrate Polymers. 84: 533-538.

Yan Z, Chen S, Wang H, Wang B, dan Jiang J. 2008. Biosynthesis of bacterial cellulose/multi-walled carbon nanotubes in agitated culture. Carbohydrate Polymers. 74: 659-665.


(43)

29


(44)

30

Lampiran 1. Diagram Alir Penyegaran Kultur


(45)

31

Lampiran 2. Diagram Alir Propagasi Kultur


(46)

32

Lampiran 3. Diagram Alir Kultivasi Kultur


(47)

33

Lampiran 4. Prosedur Analisis Total Plate Count (TPC)

Media PCA (Plate Count Agar) dilarutkan dalam sebagian aquades. Kemudian diaduk hingga homogen (larutan berwarna kuning bening). Masukkan sebagian air kelapa ke dalam erlenmeyer. Kemudian sterilisasi media Pca dalam aquades dan air kelapa menggunakan autoclave 121oC, 2 atm, selama 15 menit. Setelah suhunya turun lakukan pencampuran secara aseptis antara media PCA dalam aquades dengan air kelapa dan lakukan pengadukan hingga homogen. Cairan sampel yang akan dianalisis TPC dituangkan ke dalam cawan petri steril, kemudian media PCA dituang di atas sampel tersebut. Media PCA yang digunakan sebanyak 15-20 ml untuk setiap cawan petri. Biarkan hingga membeku kemudian inkubasi selama 48 jam. Selanjutnya amati dan hitung koloni yang terbentuk.


(48)

34

Lampiran 5. Kultivasi Tahap Pertama (Agitated Culture System)


(49)

35

Lampiran 6. Kultivasi Tahap Kedua (Static Culture System)


(50)

36

Lampiran 7. Selulosa Mikrobial Basah


(51)

37

Lampiran 8. Selulosa Mikrobial Kering


(52)

38

Lampiran 9. Jumlah Sel pada Starter

Starter Jumlah Sel Hidup (CFU) S1

370.700.000 S2

183.800.000 Keterangan:

S1: Ulangan Pertama S2: Ulangan Kedua


(53)

39

Lampiran 10. Jumlah Sel pada Kultivasi Tahap Pertama

Sampel Jumlah Sel Hidup Pada Kecepatan agitasi (CFU)

B1 B2 B3

(A1)1 9.093.333 6.000.000 7.373.333 (A1)2 7.313.333 9.926.667 6.506.667 (A2)1 8.280.000 5.173.333 6.966.667 (A2)2 10.813.333 6.000.000 6.920.000 (A3)1 9.180.000 3.420.000 6.566.667 (A3)2 6.240.000 9.100.000 4.553.333 Keterangan:

(A1)1: Penambahan Sukrosa 0% Ulangan Pertama (A1)2: Penambahan Sukrosa 0% Ulangan Kedua (A2)1: Penambahan Sukrosa 5% Ulangan Pertama (A2)2: Penambahan Sukrosa 5% Ulangan Kedua


(54)

40

Lampiran 11. Ketebalan Selulosa Mikrobial pada Kecepatan agitasi 100 rpm

Nama Sampel

Tebal Selulosa Mikrobial (mm) pada Hari Pengamatan Ke-

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

(A1B1)1 0 0 0 0 0 1 2 4 5 9 12 12 12 12 12

(A1B1)2 0 0 0 0 0 2 3 5 7 11 12 12 12 12 12

(A2B1)1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

(A2B1)2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

(A3B1)1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0


(55)

41

Lampiran 12. Ketebalan Selulosa Mikrobial pada Kecepatan agitasi 150 rpm

Nama Sampel Tebal Selulosa Mikrobial (mm) pada Hari Pengamatan

Ke-0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

(A1B2)1 0 0 0 0 0 0 3 4 5 8 10 11 11 11 11

(A1B2)2 0 0 0 0 0 0 3 4 5 8 10 11 11 11 11

(A2B2)1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 5 12 12

(A2B2)2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 5 12 12

(A3B2)1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0


(56)

42

Lampiran 13. Ketebalan Selulosa Mikrobial pada Kecepatan agitasi 200 rpm

Nama Sampel

Tebal Selulosa Mikrobial (mm) pada Hari Pengamatan Ke-

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

(A1B3)1 0 0 0 0 0 0 2 3 5 8 13 13 13 13 13

(A1B3)2 0 0 0 0 0 0 2 4 7 9 13 13 13 13 13

(A2B3)1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

(A2B3)2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

(A3B3)1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0


(57)

43

Lampiran 14. Ketebalan Selulosa Mikrobial pada Kontrol

Nama Sampel

Tebal Selulosa Mikrobial (mm) pada Hari Pengamatan Ke-

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

(A1B0)1 0 0 0 0 0 0 0 3 5 8 10 12 12 12 12

(A1B0)2 0 0 0 0 0 0 0 5 7 9 11 12 12 12 12

(A2B0)1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

(A2B0)2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

(A3B0)1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0


(58)

44

Lampiran 15. Bobot Basah dan Kadar Air Selulosa Mikrobial

Sampel Bobot (g) Kadar Air (%)

(A1B0)1 39,0762 96,69

(A1B0)2 39,7565 96,88

(A1B1)1 44,8793 97,14

(A1B1)2 46,0990 97,04

(A1B2)1 29,8984 96,16

(A1B2)2 32,7599 96,29

(A2B2)1 35,2911 98,53

(A2B2)2 41,1518 97,95

(A1B3)1 24,3402 96,69


(59)

45

Lampiran 16. Total Bobot Kering Selulosa Mikrobial dan Y(p/s)

Sampel Bobot Cawan

(g)

Bobot Basah BC (g)

Bobot Cawan + BC kering (g)

BC kering (g)

Total Bobot Kering (g/l)

Y(p/s) (%)

(A1B0)1 6,3967 6,7198 6,6188 0,2221 8,884 34,17

(A1B0)2 5,4842 7,8131 5,7283 0,2441 9,764 37,55

(A1B1)1 4,4060 9,2907 4,6713 0,2653 10,612 40,82

(A1B1)2 4,3042 9,7616 4,5936 0,2894 11,576 44,52

(A1B2)1 5,4489 7,1573 5,7235 0,2746 10,984 42,25

(A1B2)2 5,1269 6,9505 5,3850 0,2581 10,324 39,71

(A2B2)1 4,4062 5,6037 4,4886 0,0824 3,296 12,68

(A2B2)2 4,5678 5,0134 4,6708 0,1030 4,120 15,85

(A1B3)1 5,1758 6,4534 5,3896 0,2138 8,552 32,89


(60)

46

Lampiran 17. Analisis ANOVA Bobot Basah Selulosa Mikrobial


(61)

47

Lampiran 18. Uji Lanjut Duncan Perlakuan B pada Bobot Basah Selulosa


(62)

48

Lampiran 19. Analisis ANOVA Kadar Air Selulosa Mikrobial


(63)

49

Lampiran 20. Uji Lanjut Duncan Perlakuan A pada Kadar Air Selulosa


(64)

50

Lampiran 21. Uji Lanjut Duncan Perlakuan B pada Kadar Air Selulosa


(65)

51

Lampiran 22. Analisis ANOVA Bobot Kering Selulosa Mikrobial


(66)

52

Lampiran 23. Uji Lanjut Duncan Perlakuan A Pada Bobot Kering Selulosa


(67)

53

Lampiran 24. Uji Lanjut Duncan Perlakuan B Pada Bobot Kering Selulosa


(68)

54

Lampiran 25. Analisis ANOVA Y(p/s)


(69)

55

Lampiran 26. Uji Lanjut Duncan Perlakuan A Pada Y(p/s)


(70)

56

Lampiran 27. Uji Lanjut Duncan Perlakuan B Pada Y(p/s)


(71)

KAJIAN PRODUKSI SELULOSA MIKROBIAL MELALUI

DUA TAHAP KULTIVASI

SKRIPSI

Nita Diansari

F34070035

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(1)

51


(2)

52

Lampiran 23. Uji Lanjut Duncan Perlakuan A Pada Bobot Kering Selulosa Mikrobial


(3)

53

Lampiran 24. Uji Lanjut Duncan Perlakuan B Pada Bobot Kering Selulosa Mikrobial


(4)

54


(5)

55


(6)

56