Ekstraksi Cara dingin Cara panas Salep

berambut. Tulang daun jelas menonjol pada permukaan bawah daun Depkes RI, 1989. Bunga tumbuhan katuk merupakan bunga majemuk, berbentuk payung dan tumbuh di ketiak daun, berukuran kecil berwarna merah gelap sampai kekuning- kuningan. Mahkota bunga berbentuk bulat telur dengan warna merah muda hingga ungu. Putik bunga berkepala tiga dan jumlah benang sari satu atau lebih dengan panjang tangkai sari 5–10 mm. Bakal buah menumpang dengan warna ungu. Kelopak bunga yang keras dan berwarna putih kemerah-merahan. Buah tumbuhan berbentuk bulat, beruang tiga dengan diameter ± 1,5 mm, berwarna hijau keputih- putihan. Bentuk biji bulat, keras dan berwarna putih Balitbangkes, 2001; Rukmana dan Harahap, 2003.

2.1.6 Kandungan kimia

Daun katuk mengandung flavonoida, alkaloida, glikosida, tanin dan steroida. Kandungan nutrisi katuk antara lain: protein, lemak, vitamin vitamin K, vitamin A, vitamin B, dan vitamin C dan mineral kalsium Simbolon, 2011; Anonim, 2010.

2.1.7 Kegunaan

Daun katuk dimanfaatkan untuk memperbanyak air susu ibu ASI, obat jerawat, juga berkhasiat sebagai obat demam, darah kotor obat bisul, dan obat borok Rukmana dan Harahap, 2003; Ferdianto, 2011.

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain Ditjen POM, 2000. Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut, yaitu Ditjen POM, 2000:

a. Cara dingin

1. Maserasi Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman menggunakan pelarut dengan sesekali pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus-menerus disebut maserasi kinetik sedangkan yang dilakukan pengulangan panambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi. 2. Perkolasi Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pelembaman bahan, tahap perendaman antara, tahap perkolasi sebenarnya penetesanpenampungan ekstrak terus-menerus sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

b. Cara panas

1. Refluks Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. 2. Digesti Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur 40-50°C. 3. Sokletasi Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet sehingga menjadi ekstraksi kontinu dengan pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. 4. Infundasi Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 15 menit. 5. Dekoktasi Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit.

2.3 Salep

Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. Bahan obatnya larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok Ditjen POM, 1979. Fungsi salep adalah: a. Pembawa “vehicle” substansi obat untuk pengobatan kulit. b. Pelumas “emollient” pada kulit dan c. Pelindung “protective” untuk mencegah kontak permukaan kulit dengan larutan berair dan rangsang terhadap kulit. Anief, 1986. Salep dapat mengandung obat atau tidak mengandung obat, yang disebutkan terakhir biasanya dikatakan sebagai “dasar salep” dan digunakan sebagai pembawa dalam penyiapan salep yang mengandung obat Ansel, 1989. Dasar salep digolongkan ke dalam 4 kelompok besar: dasar salep hidrokarbon, dasar salep absorpsi, dasar salep yang dapat dicuci dengan air, dan dasar salep yang larut dalam air Ansel, 1989. 1. Dasar salep hidrokarbon: bersifat lemak dan sukar dicuci dengan air. Misalnya adalah parafin, vaselin, minyak nabati. 2. Dasar salep serap absorpsi Dasar salep dapat menyerap air dalam jumlah terbatas. Misalnya adalah: Adeps lanae, lanolin, lilin cera. 3. Dasar salep yang dapat dicuci dengan air Dasar salep yang merupakan emulsi minyak dalam air, misalnya salep hidrofilik, vanishing cream. 4. Dasar salep yang dapat larut dalam air, yaitu dasar salep yang mengandung komponen larut dalam air. Misalnya adalah: polietilenglikol Jas, 2007; Ditjen POM, 1979. Kualitas dasar salep adalah: a. stabil, selama masih dipakai mengobati. Maka salep harus bebas dari inkompatibilitas, stabil pada suhu kamar dan kelembaban yang ada dalam kamar. b. Lunak, yaitu semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk menjadi lunak dan homogen, sebab salep digunakan untuk kulit yang teriritasi dan inflamasi. c. Mudah dipakai, umumnya salep tipe emulsi adalah yang paling mudah dipakai dan dihilangkan dari kulit. d. Dasar salep yang cocok, yaitu dasar salep yang kompatibel secara fisika dan kimia dengan obat yang dikandungnya. Dasar salep tidak boleh merusak atau menghambat aksi terapi dari obat yang mampu melepas obatnya pada daerah yang diobati. e. Terdistribusi merata, obat harus terdistribusi merata melalui dasar salep padat atau cair pada pengobatan Anief, 2007. Faktor-faktor yang mempengaruhi efek absorpsi obat dalam salep oleh kulit adalah: 1. Segi fisiologi: keadaan kulit, luas daerah pemakaian, banyaknya pemakaian, letak pemakaian dan lama pemakaian. 2. Keadaan hidrasi pada stratum corneum. 3. Temperatur kulit. 4. Adanya pelarut yang dapat campur atau melarut dalam stratum corneum. 5. Konsentrasi obat Anief, 1986.

2.4 Krim