commit to user perbedaan
environmental disclosure
dan
environmental performance
antara perusahaan yang
listing
dan
non
–
listing
di Bursa Efek Indonesia. Sebagai prasyarat pengujian regresi berganda dilakukan uji asumsi klasik
untuk memastikan bahwa data penelitian valid, tidak bias, konsisten, dan penaksiran koefisien regresinya efisien Gujarati, 2003. Pengujian asumsi klasik
terdiri dari beberapa macam pengujian, meliputi: Normalitas, Multikolinieritas, Autokorelasi, dan Heteroskedastisitas. Penelitian ini telah memenuhi uji asumsi
klasik. Hasil pengujian asumsi klasik tersebut dapat dilihat pada lampiran V.
1. Analisis Regresi Berganda
Regresi berganda dalam penelitian ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah yaitu menguji apakah
corporate governance
berpengaruh terhadap
environmental performance
dan
environmental disclosure
perusahaan. Pengujian regresi berganda ini dilakukan dengan metode
backward
.
a Pengaruh
Corporate Governance
terhadap
Environmental Performance
Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
corporate governance
yang direpresentasikan dengan proporsi komisaris independen, jumlah rapat dewan komisaris,
komite audit independen, jumlah rapat komite audit, terhadap
environmental performance
dengan
size
perusahaan,
leverage,
dan profitabilitas sebagai variabel kontrol. Berdasarkan hasil pengujian regresi berganda terkait pengaruh
corporate governance
terhadap
environmental performance
diperoleh hasil sebagai berikut:
commit to user Tabel 4.4
Hasil Regresi Berganda Tahap I
Variabel Koefisien
t Sig.
Constant 1.853
2.492 0.170
Pro_DKI 0.611
0.967 0.340
Rpt_DK 0.014
0.468 0.741
Pro_KAI 2.496
2.193 0.023
Rpt_KA -0.023
-1.730 0.092
Size
0.046 0.435
0.721
Leverage
-6.29E-05 -0.040
0.968 Profitabilitas
-0.004 -0.638
0.528
R Square
0.179
Adjusted R Square
0.135 F
4.044 Sig
0.026
Secara statistik signifikan pada tingkat 5 Secara statistik signifikan pada tingkat 10
Koefisien Determinasi R
2
pada intinya mengukur seberapa jauh variabel independen mampu menerangkan variabel dependen. Setiap tambahan satu
variabel independen, maka R
2
pasti meningkat tidak peduli apakah variabel tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Oleh karena
itu, untuk jumlah variabel independen lebih dari dua, lebih baik menggunakan koefisien determinasi yang telah disesuaikan yaitu
Adjusted R
2
Ghozali, 2006. Dari tabel 4.4 di atas menunjukkan bahwa nilai
R Square
R
2
sebesar 0,179 dan
Adjusted R Square Adjusted R
2
sebesar 0,135. Berdasarkan nilai
Adjusted
R
2
tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebanyak 13,5 variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen dan variable kontrol dan
sisanya sebanyak 86,5 dijelaskan oleh faktor lain. Dalam tabel tersebut juga menunjukkan nilai F hitung sebesar 4,044
dengan probabilitas 0,026
p
–
value
0,05. Karena nilai F lebih besar dari 4 dan
commit to user probabilitas jauh lebih kecil dari 5 maka model regresi ini menunjukkan
tingkatan yang baik
good overall model fit
sehingga model regresi dapat digunakan untuk memprediksi
environmental performance
atau dapat dikatakan bahwa proporsi komisaris independen, jumlah rapat dewan komisaris, komite
audit independen, jumlah rapat komite audit,
size
perusahaan,
leverage,
dan profitabilitas secara bersama
– sama berpengaruh terhadap
environmental performance
Ghozali, 2006. Berdasarkan pengujian hipotesis yang telah dilakukan, hasilnya
menunjukkan bahwa proporsi komite audit independen berpengaruh terhadap
environmental performance
sedangkan jumlah rapat komite audit proporsi dewan komisaris independen, jumlah rapat dewan komisaris,
size
,
leverage
, dan profitabilitas tidak berpengaruh terhadap
environmental performance
. Proporsi komite audit independen berpengaruh
p
–
value
sebesar 0,023 terhadap
environmental performance
. Hal ini mengindikasikan bahwa peran dan tanggung jawab anggota komite audit independen telah berfungsi sebagai mana
mestinya. Hasil ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan Collier 2003; Menon dan Williams 1994 bahwa keberadaan anggota komite audit yang
independen berpengaruh positif terhadap kinerja lingkungan hidup perusahaan. Di Indonesia keberadaan komite audit masih merupakan hal yang relatif
baru. Perkembangan komite audit di Indonesia sangat terlambat dibandingkan dengan negara lain, hal ini antara lain disebabkan karena pemerintah baru
menetapkan kebijakan tentang pemberlakuan komite audit pada Badan Usaha Milik Negara BUMN tertentu pada tahun 1999. Selain itu anjuran dari Bapepam
commit to user kepada perusahaan yang telah
go
–
public
agar memiliki komite audit baru ditetapkan pada tahun 2000. Mengingat pentingnya keberadaan komite audit
dalam meningkatkan
performance
perusahaan, terutama dari aspek pengendalian, maka 33 dari komite audit merupakan pihak eksternal yang independen. Pihak
eksternal dipilih karena memiliki pandangan segar dan tidak memiliki hubungan historis dengan perusahaan sehingga kemungkinan kolusi dengan manajemen
dapat diperkecil sehingga independensinya dapat dipercaya. Pada penelitian ini, rerata proporsi komite audit independen di Indonesia
sebesar 63,15 sudah di atas persyaratan minimal yang ditetapkan oleh Bapepem menunjukkan bahwa penetapan komite audit independen dalam
perusahaan bukan hanya sekedar untuk memenuhi ketentuan formal dari pemerintah saja. Tingginya rerata proporsi komite audit independen
mengindikasikan bahwa kualitas kontrol oleh komite audit terhadap aktivitas perusahaan semakin baik sehingga semakin besar proporsi komite audit
independen dalam perusahaan semakin baik pula kinerja lingkungan perusahaan. Pada dasarnya komite audit dibentuk guna mencapai tujuan dan
mewujudkan peranannya secara efektif. Kesukseskan komite audit tidak hanya ditentukan oleh independensi dan kompetensi saja, tetapi ditentukan pula oleh
pola hubungan dan komunikasi. Seperti pendapat yang diungkapkan Carey 1953:680:
“There seems to be no doubt that a direct channel of communications
between the board committee and external dan internal auditors is very much to the advantage of al
l concerned.”
commit to user Komunikasi komite audit biasanya dapat dilakukan dalam bentuk
pengamatan, analisis laporan dan rapat diskusi. Hasil – hasil pengamatan dan
analisis terhadap sistem pengendalian manajemen, auditor eksternal dan internal selanjutnya dikomunikasikan dan dibahas langsung dalam rapat komite audit. Hal
itu diperlukan agar masalah – masalah penting segera menjadi perhatian bersama
untuk ditindak lanjuti. Komite audit dipandang oleh banyak pihak sebagai alat monitoring untuk
menghindari kecurangan dalam pelaporan keuangan dan memonitor kinerja manajemen. Komite audit yang melakukan pertemuan secara rutin memungkinkan
untuk membahas mengenai penyelesaian pekerjaan, permasalahan yang dihadapi perusahaan dan bersama
– sama mencari penyelesaian terbaik untuk perusahaan serta memungkinkan untuk mengevaluasi kinerja lingkungan hidup perusahaan.
Namun, meskipun proporsi komite audit independen berpengaruh positif terhadap
environmental performance
, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah rapat komite audit berpengaruh secara negatif terhadap kinerja lingkungan
hidup perusahaan koefisien = -0,023, dengan
p
–
value
sebesar 0,092 signifikan pada tingkat 10. Hal ini mengindikasikan bahwa tingginya rerata jumlah
pertemuan komite audit di Indonesia sebesar 9,78 dimungkinkan hanya untuk mematuhi ketentuan Bapepam yaitu minimal 4 kali dalam setahun karena
seringnya frekuensi komite audit melakukan rapat tidak mejadikan fungsi pengawasan komite audit perusahaan semakin baik dan efektif, sehingga
seringnya frekuensi rapat komite audit tidak menjamin perusahaan melakukan kinerja lingkungan hidup yang baik. Kondisi ini seperti yang terjadi pada
commit to user PT Charoen Pokhpand Indonesia, dimana dalam setahun frekuensi pertemuan
komite auditnya sebanyak 47 kali tetapi memiliki kinerja lingkungan yang buruk dimana dalam PROPER perusahaan mendapat peringkat Hitam. Hasil penelitian
ini tidak mendukung penelitian yang dilakukan Zahra dan Pearce 1989; Menon dan Williams 1994; Raghunandan, Read, Rama 2001; Bradbury, et al. 2004;
Kelley, Koh, Toh 2005. Variabel yang tidak signifikan secara statistik adalah proporsi dewan
komisaris independen ρ
–
value
= 0,340. Hal ini mengindikasikan bahwa peran dan tanggung jawab dewan komisaris independen pada perusahaan di Indonesia
belum berfungsi sebagai mana mestinya. Di Indonesia, pengangkatan atau penambahan anggota dewan komisaris
yang independen pada kebanyakan perusahaan dimungkinkan hanya sekedar memenuhi ketentuan formal dari pemerintah saja dan tidak dimaksudkan untuk
menegakkan
corporate governance
yang baik di perusahaan tersebut Gideon, 2006. Hal menarik dapat dilihat berkaitan dengan independensi, terdapat
fenomena di Indonesia yang memberikan jabatan komisaris kepada seseorang bukan berdasarkan kompetensi dan profesionalisme namun hanya sebagai
penghargaan atau penghormatan Surya dan Yustiavanda, 2006 sehingga dapat dikatakan, pemilihan komisaris di Indonesia kurang mempertimbangkan
intergritas serta kompetensi. Selain itu, hasil ini mendukung survei dari Asian Development Bank yang menemukan bahwa kuatnya kendali pendiri perusahaan
dan kepemilikan saham mayoritas menjadikan dewan komisaris tidak independen dan fungsi pengawasan tidak efektif karena timbulnya masalah dalam koordinasi,
commit to user komunikasi, dan pembuatan keputusan. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Conet, Marcuss dan Tehranian 2006; Gideon 2006; Feltham dan Pae 2000.
Jumlah rapat dewan komisaris ρ
–
value
= 0,741 tidak mempengaruhi
environmental performance
. Hal ini bisa dikarenakan rapat yang dilakukan oleh dewan komisaris belum dilakukan secara efektif dan hanya sebagai pelengkap
saja. Kebanyakan perusahaan di Indonesia dimungkinkan hanya sekedar memenuhi ketentuan formal dari
corporate governance guidelines
2007, dimana dewan komisaris harus memiliki skedul atau jadwal pertemuan tetap dan dapat
dilakukan pertemuan tambahan sesuai dengan kebutuhan serta pada saat yang tepat, dan tidak dimaksudkan untuk menegakkan
corporate governance
di dalam perusahaan tersebut Permatasari, 2009. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Vafeas 2003; Brick dan Chidambaran 2007.
Size
perusahaan memiliki ρ –
value
sebesar 0,721, hal ini menunjukkan bahwa
size
perusahaan sebagai variabel kontrol dalam penelitian ini tidak berpengaruh terhadap
environmental performance
. Hasil ini sejalan dengan penelitian Darmawanti, Khomsiyah, Rika 2004 yang menyatakan bahwa
pengaruh ukuran perusahaan terhadap kinerja belum jelas arahnya karena perusahaan besar belum tentu memiliki kinerja lingkungan yang lebih baik
dibanding perusahaan kecil dan sebaliknya perusahaan kecil tidak selalu memiliki
performance
yang lebih rendah dibandingkan perusahaan yang lebih besar. Selain itu, menurut Durnev dan Kim 2003, perusahaan besar dianggap memiliki
commit to user masalah keagenan yang besar pula sehingga belum bisa mengoptimalkan
performance
dengan lebih baik. Di Indonesia, ukuran perusahaan tidak memberikan pengaruh bagi kinerja
lingkungan hidup perusahaan. Hal ini mungkin disebabkan adanya pandangan perusahaan yang mengangkap belum efektifnya pelaksanaan kinerja lingkungan
hidup .
Artinya, aktivitas pelestarian dan kepedulian terhadap lingkungan hidup ini belum dianggap sebagai kebijakan yang akan berdampak positif di masa yang
akan datang. Selain itu, semakin besar ukuran perusahaan tidak menjamin perusahaan
concern
terhadap lingkungan karena adanya anggapan bahwa melakukan aktivitas pelestarian lingkungan hidup hanya menambah pengeluaran
perusahaan sehingga dapat mengurangi kekayaan dan keuntungan perusahaan Utama, 2007.
Leverage
sebagai variabel kontrol memiliki ρ
-value
0,968 pada tingkat signifikan 5 sehingga dapat disimpulkan bahwa
leverage
tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja lingkungan perusahaan. Koefisien
leverage
pada tabel 4.4 menunjukkan nilai yang negatif. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
tingkat
l
everage maka semakin rendah tingkat
environmental performance
perusahaan. Perusahaan dengan tingkat ketergantungan terhadap utang yang tinggi cenderung memiliki kinerja lingkungan yang rendah, hal ini dikarenakan
utang perusahaan diprioritaskan untuk membiayai operasional perusahaan bukan digunakan untuk melakukan upaya pelestarian lingkungan hidup.
Dalam penelitian ini juga ditunjukkan bahwa profitabilitas ROE tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja lingkungan hidup perusahaan. Hal
commit to user ini ditunjukkan dengan
ρ –
value
ROE sebesar 0, 528 dimana nilai tersebut diatas
0,05. Koefisien negatif yang ditunjukkan dalam tabel 4.4 menunjukkan hubungan yang negatif antara profitabilitas perusahaan dan kinerja lingkungan perusahaan
artinya semakin tinggi profitabilitas maka semakin rendah tingkat kepedulian perusahaan terhadap upaya pelestarian lingkungan hidup. Hal ini dikarenakan
perusahaan dengan tingkat profitabilitas tinggi tidak menggunakan sebagian profitnya untuk memperbaiki kinerja lingkungan hidup. Selain itu, perusahaan
cenderung enggan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk melakukan upaya pelestarian lingkungan karena dapat mengurangi laba perusahaan.
b Pengaruh Corporate Governance terhadap Environmental Disclosure
Hasil analisis regresi berganda pengaruh
corporate governance
terhadap
environmental disclosure
bisa dilihat dalam ringkasan tabel 4.5. Dari tabel 4.5 menunjukkan bahwa nilai
R Square R
2
sebesar 0,108 dan
Adjusted R Square Adjusted R
2
sebesar 0,085. Berdasarkan nilai
Adjusted R
2
tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebanyak 8,5
environmental disclosure
dapat dijelaskan oleh variabel independen dan variable kontrol dan sisanya sebanyak 91,5
dijelaskan oleh faktor lain. Dalam tabel 4.5 juga menunjukkan nilai F hitung sebesar 4,625 dengan
probabilitas 0,038 probabilitas 0,05. Karena nilai F lebih besar dari 4 dan probabilitas jauh lebih kecil dari 5 maka model regresi ini menunjukkan
tingkatan yang baik
good overall model fit
sehingga model regresi dapat digunakan untuk memprediksi
environmental disclosure
atau dapat dikatakan
commit to user bahwa bahwa variabel
– variabel independen dan kontrol secara bersama-sama berpengaruh terhadap kinerja lingkungan hidup Ghozali, 2006.
Tabel 4.5 Hasil Regresi Berganda Tahap II
Variabel Koefisien
t Sig.
Constant 1.853
2.492 0.170
Pro_DKI 1.424
0.965 0.341
Rpt_DK 0.054
1.410 0.167
Pro_KAI -1.875
-0.648 0.521
Rpt_KA -0.015
-0.385 0.703
Size
0.217 2.151
0.038
Leverage
0.010 0.212
0.833 Profitabilitas
0.150 1.217
0.210
R Square
0.108
Adjusted R Square
0.085 F
4.625 Sig
0.038
Secara statistik signifikan pada tingkat 5
Secara parsial, variabel yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengungkapan lingkungan hidup hanya ada satu, yaitu Ukuran Perusahaan
ρ –
value
= 0,038, sedangkan untuk variabel proporsi dewan komisaris independen ρ
–
value
= 0,341, jumlah rapat dewan komisaris ρ –
value
= 0,167, proporsi komite audit independen
ρ –
value
= 0,521, jumlah rapat komite audit ρ
–
value
= 0,703,
leverage
ρ –
value
= 0,833, dan profitabilitas ρ –
value
= 0,210 tidak berpengaruh signifikan karena
ρ –
valu e
0,05. Pada variabel proporsi dewan komisaris independen, memiliki nilai
ρ –
value
0,341 yang lebih besar daripada tingkat signifikansi 5 sehingga disimpulkan bahwa proporsi dewan komisaris independen tidak berpengaruh
commit to user terhadap
environmental disclosure
perusahaan. Hal ini mengindikasikan bahwa peran dan tanggungjawab dewan komisaris independen pada perusahaan di
Indonesia belum berfungsi sebagaimana mestinya. Namun hasil penelitian ini dapat diterima mengingat lemahnya praktik
corporate governance
di Indonesia Mintara, 2008.
Dalam kenyataannya dapat dilihat bahwa tidak ada keharusan bagi perusahaan untuk mengungkapkan tentang kondisi dan struktur
corporate governance
khususnya yang berkaitan dengan tanggung jawab dan indepedensi dewan komisaris. Hal lain yang juga mendasari adalah meskipun Bapepam
telah mengatur jumlah keberadaan komisaris independen, namun dalam praktiknya
belum ada mekanisme tentang bagaimana pemegang saham memilih komisaris independen ini, sehingga walaupun dewan komisaris ini telah ada namun tidak
diketahui bagaimana penunjukkannya. Kondisi yang demikian masih memperluas kesempatan bagi beberapa pihak untuk melakukan praktik KKN, salah satunya
dengan penunjukkan anggota komisaris independen yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan direksi perusahaan. Hal ini akan sangat
melemahkan aplikasi
corporate governance
, karena dengan adanya transaksi dengan orang dalam
insider transaction
, penyelewengan
fraud
dan sebagainya akan membawa
corporate governance
dalam kondisi yang semakin terpuruk dan hal ini akan membawa imbas pada pengungkapan informasi yang menjadi bagian
dalam transparansi sebagai salah satu prinsip
corporate governance
. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Laras 2009, Robert
1992, Davey 1982, dan Ng 1985.
commit to user Jumlah rapat dewan komisaris memiliki
ρ –
value
0,167, ini menunjukkan bahwa jumlah rapat dewan komisaris tidak mempengaruhi
environmental disclosure
. Hal ini mengindikasikan bahwa peraturan yang ditetapkan belum berjalan baik di Indonesia. Peraturan yang ada hanya dijalankan sebagai
formalitas demi menjaga
image
perusahaan itu sendiri. Kebanyakan perusahaan di Indonesia dimungkinkan hanya sekedar memenuhi ketentuan formal dari
corporate governance guidelines
2007, dimana dewan komisaris harus memiliki skedul atau jadwal pertemuan tetap dan dapat dilakukan pertemuan tambahan
sesuai dengan kebutuhan serta pada saat yang tepat, dan tidak dimaksudkan untuk menegakkan
corporate governance
di dalam perusahaan tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian Permatasari 2009 yang menyatakan bahwa jumlah rapat
dewan komisaris tidak berpengaruh positif terhadap
environmental disclosure
di Indonesia.
Proporsi komite audit independen dengan ρ
–
value
0,521 juga tidak berpengaruh terhadap pengungkapan informasi lingkungan hidup perusahaan.
Hasil ini konsisten dengan penelitian Suhardjanto 2008 dan Permatasari 2009 ,
karena seharusnya keberadaan komite audit independen mendukung prinsip responsibilitas dalam penerapan
corporate governance
, yang menekan perusahaan untuk memberikan informasi lebih baik terutama keterbukaan dan penyajian yang
jujur dalam laporan tahunan FCGI, 2002. Sommer 1991 berpandangan bahwa komite audit di banyak perusahaan
masih belum melakukan tugasnya dengan baik. Menurut pendapat Sommer, banyak komite audit yang hanya sekedar melakukan tugas-tugas rutin, seperti
commit to user review laporan dan seleksi auditor eksternal, dan tidak mempertanyakan secara
kritis dan menganalisis secara mendalam kondisi pengendalian dan pelaksanaan tanggungjawab oleh manajemen. Penyebabnya diduga bukan saja karena banyak
dari mereka tidak memiliki kompetensi dan independensi yang memadai, tetapi juga karena banyak yang belum memahami peran pokoknya Manao, 1997
Seperti halnya dewan komisaris independen, proses penunjukkan anggota komite audit independen masih belum jelas dan terbuka, sehingga
independensinya masih patut diragukan Yunita, 2008. Sehingga dimungkinkan pemilihan komite audit di Indonesia kurang mempertimbangkan intergritas serta
kompetensi
.
Hal ini tentu saja akan memberikan dampak negatif pada aplikasi
corporate governance
dan merendahkan kualitas informasi yang diberikan perusahaan
karena banyaknya
kesempatan untuk
memanipulasi dan
mempermainkan data. Jumlah rapat komite audit secara statistik tidak berpengaruh signifikan
terhadap
environmental disclosure
dengan ρ
–
value
sebesar 0,703. Sama halnya dengan rapat dewan komisaris, rapat komite audit belum berfungsi secara
maksimal dikarenakan ada kecenderungan bahwa hal tersebut hanya merupakan wujud kepatuhan terhadap aturan saja sehingga rapat yang dilakukan oleh
sehingga belum dilakukan secara efektif dan hanya sebagai pelengkap saja. Kebanyakan perusahaan di Indonesia dimungkinkan hanya sekedar memenuhi
ketentuan formal dari
corporate governance guidelines
2007, dimana komite audit harus memiliki skedul atau jadwal pertemuan minimal 4 kali dalam 1 tahun,
dan tidak dimaksudkan untuk menegakkan
corporate governance
di dalam
commit to user perusahaan tersebut Permatasari, 2009. Hal ini sejalan dengan penelitian
Permatasari 2009 yang menemukan bahwa tidak terdapat pengaruh positif jumlah rapat komite audit terhadap
environmental disclosure
. Dalam penelitian ini juga terdapat tiga variabel kontrol yang juga turut
diujikan yaitu
firm size
,
leverage
, dan profitabilitas. Variabel kontrol yang pertama yaitu ukuran perusahaan
firm size
.
Size
perusahaan memiliki nilai
ρ –
value
sebesar 0,038 ρ
–
value
lebih kecil dari pada tingkat signifikansi menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh
signifikan terhadap pengungkapan lingkungan perusahaan. Di Indonesia, rerata
size
perusahaan yang diukur dengan total aktiva berjumlah sebesar Rp 31.464.000.000.000,00 dimana perusahaan dengan total
aktiva yang besar akan memiliki cukup dana untuk berinvestasi pada teknologi dan manajemen lingkungan yang baik sehingga sistem manajemen lingkungan
yang baik akan memotivasi perusahaan untuk melakukan pengungkapan demi menjaga reputasi perusahaan. Selain itu, perusahaan besar melakukan lebih
banyak aktivitas dan memberikan dampak yang lebih besar. Hal ini membuat
stakeholders
lebih peduli terhadap
environmental disclosure
yang dilakukan perusahaan Cowen et al. dalam Hackstone dan Milne, 1996 sehingga perusahaan
besar cenderung mempunyai permintaan informasi yang lebih tinggi daripada perusahaan kecil Andrew et al, 1989; Suhardjanto, 2008. Selain itu, menurut
Watt dan Zimmerman 1986; Pitts dan Walance dalam Zang et al, 2005, perusahaan besar mendapat perhatian lebih dari media, pembuat keputusan dan
commit to user regulasi sehingga mereka akan memperluas praktek
disclosure
– nya daripada perusahaan yang lebih kecil.
Leverage
sebagai variabel kontrol memiliki ρ
–
value
0,833 pada tingkat signifikan 5 sehingga dapat disimpulkan bahwa
leverage
tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan lingkungan perusahaan. Hasil ini sejalan
dengan penelitian Watts dan Zimmerman 1986; Jensen dan Meckling 1976; Marwata 2001; dan Laras 2009 yang menemukan bahwa perusahaan yang
memiliki
leverage
yang tinggi akan mengurangi
disclosure
perusahaan yang dibuatnya untuk mengurangi sorotan
bondholder
. Selain itu, Kent dan Chan 1994 menyatakan bahwa kreditur bukan merupakan kelompok
stakeholder
yang meminta informasi lingkungan hidup. Oleh karena itu, struktur utang tidak
memberi pengaruh pada pengungkapan lingkungan hidup. Sementara itu profitabilitas memiliki
ρ –
value =
0,210 yang lebih besar daripada tingkat signifikasi 5 sehingga disimpulkan bahwa profitabilitas tidak
berpengaruh signifikan terhadap
environmental disclosure
. Mengingat budaya yang berkembang di Indonesia yang beranggapan bahwa praktik
corporate governance
hanyalah merupakan suatu bentuk kepatuhan
conformance
terhadap peraturan atau ketentuan dan bukannya sebagai suatu sistem yang diperlukan
perusahaan untuk meningkatkan kinerja Mintara, 2008, dapat disimpulkan bahwa perusahaan dengan tingkat profitabilitas tinggi tidak menggunakan
sebagian profitnya untuk memperbaiki kualitas informasi. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Belkaoui dan Karpik 1989 dalam Anggraini 2006
yang menyatakan bahwa pengungkapan informasi perusahaan justru memberikan
commit to user kerugian kompetitif
competitive disadvantage
karena perusahaan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mengungkapkan informasi tersebut. Hasil ini
konsisten dengan penemuan riset sebelumnya seperti Cowen, Ferreri Dan Parker 1987, Patten 1991; Hackston Dan Milne 1996; Suda dan Kokubu 1994;
Park 1999; Yuliani 2003; Sembiring 2003; Choiriyah 2010 dan Diah 2010. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa profitabilitas yang tinggi dari
suatu perusahan tidak menjamin bahwa perusahaan tersebut lebih banyak melakukan pengungkapan lingkungan hidup.
2. Uji Korelasi