Kesimpulan MEMORANDUM of UNDERSTANDING ANTARA INDONESIA DAN

[27]

Bab II. Kerjasama Ketenagakerjaan Antara Indonesia dan Arab Saudi

Bab ini mengisahkan tentang sejarah ketenagakerjaan kedua negara Indonesia dan Arab Saudi dilihat dari sudut pandang dan kondisi masing-masing negara. Kemudian, pembahasan dilanjutkan pada pemaparan tentang regulasi dan peraturan ketenagakerjaan domestik di masing-masing negara. Pada bab ini juga dijelaskan tentang motivasi kedua negara sehingga kemudian menjalin kerjasama di bidang ketenagekarjaan.

Bab III. Memorandum of Understanding MoU Antara Indonesia dan Arab Saudi

Tahun 2014 Pada bab ini dipaparkan mengenai apa itu Memorandum of Understanding MoU dan apa itu moratorium, sebagai fenomena eskalasi puncak dalam konflik yang sedang diteliti. Selanjutnya dijelaskan juga mengenai munculnya berbagai masalah dan dinamika yang akhirnya mengantarkan kedua belah pihak pada langkah negosiasi dan penandatanganan MoU Perlindungan dan Penempatan TKI tahun 2014. Bab IV. Faktor-Faktor Yang Mendorong Indonesia Mengusulkan Penandatanganan MoU Perlindungan dan Penempatan TKI dengan Arab Saudi Pada Tahun 2014 Dengan menggunakan theory of ripeness, bab ini membahas tentang jawaban dari rumusan masalah penelitian, yaitu tentang terjadinya kondisi deadlock yang dialami oleh Indonesia, yang kemudian mendorong pemerintahnya untuk mengubah kebijakan moratorium tahun 2011 menjadi pengusulan Memorandum of Understanding MoU perlindungan dan penempatan TKI tahun 2014.

Bab V. Kesimpulan

Bab ini akan berisi tentang kesimpulan dari bab-bab sebelumnya, yang di dalamnya akan dibahas mengenai ringkasan studi, kritik falsifikasi teori, penguatan afirmasi teori, serta pemaparan tentang pandangan insight baru mengenai realitas dari subjek dan objek penelitian secara sederhana. [1]

BAB II KERJASAMA KETENAGAKERJAAN INDONESIA DAN ARAB SAUDI

Terjadinya kerjasama ketenagakerjaan antar negara sesungguhnya dimotori oleh demam globalisasi. Tuntutan globalisasi yang mensyaratkan perkembangan di segala bidang yang di warnai kompetisi tinggi memaksa negara untuk menggunakan berbagai solusi dan alternatif agar tetap bisa survive sekaligus bisa bersaing dalam percaturan dunia. Negara kemudian dipacu untuk mengeksploitasi dan memanfaatkan segala potensi yang dimilikinya demi mencapai cita-cita tersebut. Upaya survival sekaligus development inilah yang kemudian semakin meningkatkan interdependensi antar negara. Negara kemudian akan saling bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan satu sama lain. Dalam pembahasan selanjutnya, penulis akan mencoba menjelaskan tentang aspek-aspek yang melatarbelakangi dan memotivasi kerjasama ketenagakerjaan antara Indonesia dan Arab Saudi.

A. 1. 1 Sejarah Ketenagakerjaan dan Migrasi Tenaga Kerja Indonesia

B.1.1.1 Masa Kolonial a. Belanda Pasca runtuhnya kesultanan Mataram pada abad ke-18, okupansi Belanda yang dimulai pada sekitar tahun 1600 an menjadi semakin kuat dengan mendirikan Perusahaan Dagang Hindia Belanda Vereenigde Oost-Indische CompagnieVOC di Jawa. Dominasi Belanda yang berlangsung selama tiga setengah abad atau sekitar 350 tahun tersebut telah dengan signifikan mengubah sistem sosial termasuk budaya ketenagakerjaan yang ada di Indonesia. Kehidupan sosial yang seolah terbagi ke dalam tiga kasta yakni pemerintah Belanda dan Eropa sebagai pemangku kekuasaan tertinggi dan pengelola perekonomian, priyayi atau aristokrat pribumi sebagai perantara petani dan sipil Eropa, serta para petani sebagai buruh dan budak, semakin mematangkan mentalitas ‘buruh’ di kalangan rakyat Indonesia. Dengan menonjolnya sistem ekonomi perbudakan, para penduduk dipaksa bekerja di sektor-sektor yang notabene dirty dan dangerous seperti menjadi petani kasar, buruh di perkebunan, tukang bangunan, dan pelayan di rumah-rumah para penjajah. [2] Tak hanya di Nusantara, pemerintah Belanda pun mengirim dan mempekerjakan para penduduk pribumi ke beberapa wilayah di luar negeri, seperti New Caledonia dan Suriname, yang juga merupakan wilayah koloni Belanda. Namun bukan diprakarsai oleh kesadaran pribadi untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga, migrasi tenaga kerja ke luar negeri pada zaman itu lebih disebabkan karena tuntutan dan paksaan penjajah Sitorus, 2011. Para buruh diharuskan bekerja selama 8 jam di perkebunan atau 10 jam di pabrik, 6 hari dalam seminggu, sesuai dengan masa kontrak yang umumnya mencapai 5 tahun. Exploitasi anak pun nampaknya sudah menjadi hal yang lazim pada masa itu. Asyarifh menulis, “...para TKI laki-laki usia di atas 16 tahun yang bekerja di perusahaan perkebunan Suriname menerima gaji sebesar 60 sen sehari dan pekerja wanita usia di atas 10 tahun sebesar 40 sen sehari” Asyarifh, 2011.

b. Jepang

Langgengnya penjajahan Belanda ini kemudian berhasil digulingkan oleh pendudukan Jepang pada tahun 1942. Banyak yang melihat bahwa penjajahan Jepang memberi dampak seperti mata uang, di satu sisi dinilai lebih kejam dari pada penjajahan Belanda namun di sisi lain justru membantu membangun kekuatan dan nasionalisme pemuda Indonesia untuk mempersiapkan kemerdekaan. Hal ini terutama terlihat dari pola perekrutan tenaga kerja pada masa itu. Demi memenangkan perang Asia Timur Raya, Jepang memberlakukan sebuah sistem kerja paksa yang dikenal dengan istilah romusha. Para pekerja Romusha ini pada umumnya didatangkan dari desa-desa di Jawa yang terdiri dari pemuda petani dan pengangguran. Tetapi Jepang ternyata tidak hanya membutuhkan tenaga para kuli untuk membangun berbagai prasarana perang, tetapi juga membutuhkan supply personil militer dalam jumlah besar untuk mendukung upaya ekspansinya. Karena itu, Jepang kemudian merekrut, melatih, dan mempersenjatai banyak kaum muda Indonesia sehingga banyak dari mereka yang menjadi ahli perang. Kemudian Jepang juga secara tidak langsung telah ‘mendidik’ para pemuda Indonesia dibidang politik dengan memberikan akses dan kesempatan lebih besar untuk terlibat dalam proses pemerintahan dan perpolitikan saat itu. Migrasi tenaga kerja yang kental terlihat pada masa penjajahan Jepang disebabkan oleh sistem romusha yang mengharuskan mobilisasi dan perpindahan pekerja ke berbagai wilayah di Nusantara demi membangun sarana dan prasarana perang bagi Jepang. Selain itu, beberapa aktivitas migrasi pola lama forced migration [3] seperti yang terjadi pada masa kolonial Belanda pun masih terjadi. Ditambah dengan berlangsungnya beberapa migrasi tradisional dari dan ke Malaysia yang dimotori oleh faktor pekerjaan dan kekerabatan. B.1.1.2 Pasca Kemerdekaan dan Orde Lama 1945 – 1966 Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, tampuk kepemimpinan Indonesia di pegang oleh Insinyur Soekarno yang selanjutnya berlangsung selama 21 tahun. Meskipun banyak yang menilai bahwa selama kurun waktu tersebut Soekarno telah gagal dalam membangun perekonomian Indonesia, namun dari segi ketenagakerjaan, pemerintahan era ini justru berhasil menelurkan beberapa peraturan perlindungan tenaga kerja yang terbilang sangat progresif, seperti; dibentuknya Kementerian Perburuhan pada 3 Juli 1947 melalui Peraturan Pemerintah No.3 tahun 1947 sebagai lembaga resmi yang secara khusus mengurusi masalah perburuhan; diratifikasinya sejumlah konvensi HAM dan buruh tingkat internasional; serta disahkannya beberapa Undang-Undang seperti UU No.21 tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan serta UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, sebagai follow up dari munculnya berbagai tuntutan dan perselisihan normatif materil antara buruh dan majikan di sekitaran tahun 1950an. Kondisi ketenagakerjaan pada era ini sesungguhnya sangat didominasi oleh dinamika kemunculan dan vokalnya asosiasi gerakan buruh dalam perpolitikan Indonesia. Besarnya keterlibatan buruh inilah yang kemudian menghasilkan berbagai produk kebijakan ketenagakerjaan yang sangat protektif dan pro buruh. Diprakarsai oleh terbentuknya Barisan Buruh Indonesia BBI pada September 1945 yang mengusung perjuangan sosial ekonomi para buruh, berbagai level serikat buruh pun kemudian bermunculan di seluruh tanah air. Namun ironisnya, besarnya pengaruh dan popularitas gerakan buruh ini disalahgunakan secara politis. Berbagai partai politik seketika berduyun-duyun membentuk serikat buruh versi mereka, demi meraup dukungan dan suara pada pemilihan umum tahun 1955. Dalam konteks migrasi tenaga kerja, penulis tak banyak menemukan catatan sejarah yang menjelaskan tentang dinamika maupun dokumentasi kebijakan di era ini. Pasalnya, selain karena masih disibukkan oleh upaya membangun bangsa pasca kolonialisme, pemerintah belum melirik potensi migrasi tenaga kerja terutama pengiriman TKILN sebagai salah satu sumber devisa bagi negara. Kementrian [4] Perburuhan yang saat itu didirikan pun hanya berfokus mengelola aspek ketenagakerjaan di dalam negeri. Mobilitas migrasi internasional yang dapat dilacak adalah perpindahan penduduk Indonesia ke negara-negara seperti Malaysia dan Arab Saudi yang biasanya dimotori oleh pekerjaan, hubungan kekerabatan, perpindahan permanen, dan untuk menunaikan haji. B.1.1.3 Masa Orde Baru 1966 – 1998 Pergantian era dari orde lama menuju orde baru ditandai dengan peralihan kekuasaan politik dari kepemimpinan Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret 1966 yang kontroversial Simanjuntak, 2012. Peristiwa Supersemar ini kemudian menjadi tonggak dimulainya 32 tahun kekuasaan Soeharto yang dideklarasikan sebagai koreksi total terhadap budaya dan sistem politik era orde lama yang cenderung berfokus menjadi penyeimbang antara kekuatan nasionalis, agama, militer, dan komunis menjadi berfokus pada pembangunan ekonomi serta pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, serangkaian kebijakan dan strategi ekonomi pun dilaksanakan oleh Soeharto. Secara struktural, pemerintah mengubah nama birokrasi ketenagakerjaan yang sebelumnya bernama Kementrian Perburuhan menjadi Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi, sampai berakhirnya Kabinet Pembangunan III 1983. Kemudian pada Kabinet Pembangunan IV, pemerintah membagi Departemen ini menjadi 2, yaitu Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Kementrian Koperasi, karena melihat besarnya porsi tugas yang diemban Asyarifh, 2011. Secara praktis, percepatan pertumbuhan ekonomi dimulai dengan menjalankan strategi Pembangunan Lima Tahun Pelita, yang difokuskan pada sektor pertanian dan industri. Namun target pertumbuhan ekonomi berbasis ekonomi global yang sejak awal dihasratkan Soeharto lambat laun menggeser dominasi sektor pertanian di dalam negeri. Berbagai fasilitas, sarana dan infrastruktur perindustrian yang dibangun rejim ini mensyaratkan penggunaan lahan besar-besaran sehingga memaksa penduduk untuk merelakan tanah pertanian mereka untuk dibangun pabrik dan gedung bertingkat. Hilangnya lahan pertanian ini secara otomatis juga menghilangkan sumber mata pencaharian utama berjuta penduduk, yang kemudian menyebabkan tingginya angka pengangguran dan meningkatnya keresahan tenaga kerja. Kendati upaya-upaya penyediaan lapangan kerja seperti Program padat karya dan transmigrasi, disamping [5] sektor industri itu sendiri, dapat membantu menyerap tenaga kerja, namun kenyataan menunjukkan bahwa industrialisasi tersebut menciptakan terlalu banyak pengangguran daripada menyediakan lapangan kerja. Sekitar tahun 70an, globalisasi mulai masuk ke Indonesia. Pemerintah semakin giat mengintegrasikan diri dengan pertumbuhan ekonomi. Di dalam negeri, proses industrialisasi dan modernisasi menyebabkan meningkatnya level kompetisi dan konsumerisme. Faktor-faktor seperti tingkat pendidikan dan kemampuan ekonomi seolah menjadi bola salju yang semakin lama justru semakin memperjelas gap antara si kaya dan si miskin. Kondisi ini kemudian diperparah dengan keputusan pemerintah untuk memberlakukan lower tarrifs dan memaksakan kebijakan deregulasi upah murah bagi buruh demi menarik minat lebih banyak investor untuk menanamkan modalnya di tanah air Schwarz, Indonesia After Soeharto, 1997, hal. 124. Disisi lain, demam globalisasi pun menyebabkan negara-negara di seluruh dunia berlomba untuk memajukan perekonomian mereka dengan berbagai cara, termasuk juga industrialisasi. Banyaknya demand tenaga kerja dari negara-negara ini kemudian memicu ketertarikan angkatan kerja Indonesia, khususnya yang tidak memiliki pekerjaan, untuk hijrah dan mencoba peruntungan mereka di sektor-sektor tersebut. Tingginya tingkat pengangguran dan minat tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di luar negeri ini kemudian dilihat oleh pemerintah sebagai solusi strategis bagi beberapa masalah sekaligus, yakni pengangguran, kemiskinan, dan pemasok pendapatan luar negeri bagi negara. Demi mengawal kelancaran prosesnya, pemerintah pun mendirikan Antar Kerja Antar negara AKAN dan Antar Kerja Antar Daerah AKAD melalui Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1970, yang memberi wewenang pada pihak swasta untuk terlibat dalam proses perekrutan dan penempatan TKI ke luar negeri. Kemudian pada tahun 1979, pemerintah mengambil upaya-upaya langsung untuk mengirimkan tenaga kerja Indonesia ke luar Azmy, 2011, hal. 39. Booming minyak yang terjadi di Arab Saudi sekitar tahun 1980an pun semakin memasifkan mobilitas ini, hingga pemerintah merasa perlu mengeluarkan Peraturan Pemerintah PerMen No. 5 yang mengatur tentang pengiriman tenaga kerja ke luar negeri dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.1307 tahun 1988 yang mengatur tentang Petunjuk Teknis Pengerahan TKI ke Arab Saudi. Berikut tabel data pengiriman tenaga kerja Indonesia pada masa orde baru. [6] Tabel 2. Data Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia pada Masa Orde Baru Sumber: Hugo 2005 dari tulisan UR Sitorus 2014 Pada era ini pula, tepatnya Mei 1984, pemerintah membuat kesepatakan bilateral pertama kali dalam bentuk MoU dengan Malaysia terkait pengaturan aliran migrasi dari Indonesia ke Malaysia. Tetapi upaya pembangunan ekonomi era Bapak Pembangunan ini tak serta merta berkesan baik. Dengan dalih untuk mendukung stabilitas pembangunan ekonomi, rejim yang disebut Feith sebagai tipe ‘repressive-developmentalist’ ini menggunakan serangkaian tindakan pemaksaan demi mencapai misi modernisasi Aspinall Fealy. B.1.1.4 Masa Reformasi a. Kepemimpinan Baharuddin Jusuf Habibie Mei 1998 – Oktober 1999 Pasca pengunduran diri Soeharto, kursi kepresidenan diserahkan kepada wakilnya, yaitu Baharuddin Jusuf Habibie. Meskipun terhitung sangat singkat 512 hari dan diwarnai skeptisme, berbagai progres yang dihasilkan ‘Kabinet Reformasi’ Habibie telah menorehkan catatan sejarah yang penting bagi awalan masa reformasi, seperti penegakan HAM dan demokrasi. Agenda penegakan HAM dan demokrasi direalisasikan dengan membuat beberapa kebijakan baik secara struktural maupun praktis. Secara struktural, pemerintah berhasil mengesahkan Konvensi ILO No.87 Tahun 1948 yang membahas tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi, melalui Keputusan presiden No.83 tahun 1998. Kemudian secara praktis, pemerintah kembali memberikan kebebasan sebesar-besarnya pada rakyat untuk Negara Tujuan Pelita I 1969 – 1972 Pelita II 1974 – 1979 Pelita III 1979 – 1984 Pelita IV 1984 – 1989 Pelita V 1989 – 1999 Jumlah Persen Malaysia 12 536 11.441 37.785 122.941 172.715 19,7 Singapura 8 2.432 5.007 10.537 34.496 52.480 6,0 Brunei - - - 920 7.794 8.714 1,0 Hongkong 44 1.297 1.761 1.735 3.579 8.416 1,0 Jepang 292 451 920 395 2.435 4.493 0,5 Korea - - - - 1.693 1.693 0,2 Taiwan 37 - - 178 2.025 2.240 0,3 Belanda 3.332 6.637 10.104 4.375 4.336 28.784 3,3 AS 146 176 2.981 6.897 984 11.184 2,3 Saudi. A - 3.817 55.976 223.573 268.858 552.224 62,8 Timteng - 1.235 5.349 3.428 15.157 25.169 1,7 Lain-lain 1.653 461 2.871 2.439 2.832 10.256 1,2 Total 5.524 17.042 96.410 292.262 467.130 868.356 100 [7] membentuk kelompok atau perserikatan baik yang bergenre politik maupun sosial ekonomi. Namun kinerja pemerintahan era ini pun bukan tanpa kritik. Dampak krisis moneter tahun 1997 yang mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja PHK besar- besaran telah sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Target pengiriman TKI yang sebelumnya diprioritaskan pada TKI terdidik sebagai solusi mengurangi angka kekerasan terhadap TKI informal, terpaksa diubah dengan mengirimkan sebanyak mungkin tenaga kerja ke luar negeri terutama ke Malaysia dan Singapura demi menekan angka pengangguran dan kemiskinan. Alhasil, Indonesia yang saat itu berada pada Pelita VI mengirimkan 1.250.000 TKI ke berbagai negara terutama Malaysia dan Singapura, setelah sebelumnya menerbangkan sekitar 500.000 TKI pada Pelita V Sitorus, 2011, hal. 9. Sayangnya, tajamnya peningkatan arus migrasi TKI ke luar negeri mencapai kurang lebih 1,5 juta di tahun 1999 1 ini tidak dibarengi dengan mekanisme perlindungan yang komprehensif bagi TKI itu sendiri. Minimnya tingkat pendidikan dan pelatihan, khususnya bagi TKI informal, menyebabkan munculnya berbagai kasus kekerasan dan pemerasan mulai dari pra penempatan, penempatan, sampai pemulangan TKI. Meskipun arus migrasi TKI telah diatur dengan sejumlah landasan hukum dan kebijakan, namun sedikit sekali yang membahas dan menjamin tentang hak para TKI. Dua Keputusan Menteri Tenaga Kerja Kepmenaker terkait buruh migran yang diinisiasi pemerintah saat itu, yaitu KepMen No.204 Tahun 1999 tentang penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri dan KepMen No.29 Tahun 1998 tentang skema asuransi sosial untuk buruh migran, mayoritas bertumpu pada pembahasan mengenai aspek manajerial dan operasional seperti hubungan antara agensi-agensi perekrut dan instansi-instansi pemerintah, sementara aspek perlindungan bagi TKI dalam kedua KepMen tersebut cakupannya sangat terbatas dan pemaknaannya cenderung samar Azmy, 2011, hal. 44.

b. Kepemimpinan Abdurrahman Wahid Oktober 1999 – Juli 2001

Kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dimulai setelah berhasil memenangkan Pemilu tahun 1999 mengalahkan Megawati Soekarno Putri yang kemudian harus rela disandingkan sebagai wakil presiden. Dalam perjalanannya, 1 Aswatin Raharto, Kebutuhan Informasi dan Tenaga Kerja Migran Indonesia hasil penelitian, PPK – LIPI: Jakarta, kertas kerja No.30, 2002, hal 1. Melalui tulisan Ana Sabhana Azmy Azmy, 2011, hal. 43 [8] kabinet Persatuan Nasional bentukan Gus Dur berfokus pada upaya-upaya pengembangan dan perluasan pembangunan demokrasi dan penegakan HAM. Semangat yang ini pun mendasari berbagai kebijakan ketenagakerjaan di tanah air. Kebebasan untuk berserikat dan berkumpul semakin dipupuk dan dijamin dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.21 Tahun 2000 tentang Serikat PekerjaSerikat Buruh, disusul dicabutnya Undang-Undang No.25 Tahun 1997 Tentang ketenagakerjaan yang eksploitatif, anti serikat dan tidak ada proteksi terhadap tenaga kerja Azmy, 2011, hal. 46. Kemudian, demi menjamin hak asasi para tenaga kerja, Gus Dur mengeluarkan sebuah kebijakan yang terbilang sangat fenomenal yakni pemberian pesangon kepada karyawan atau buruh yang terkena PHK, lewat KepMen No.150 Tahun 2000. Pada era ini, migrasi tenaga kerja ke luar negeri mengalami peningkatan pesat dan didominasi oleh Tenaga Kerja Wanita TKW. Tabel 3. Perbandingan Jumlah Tenaga Kerja Laki-laki dan Perempuan 1999 - 2001 Tahun Tenaga Kerja Laki-Laki Tenaga Kerja Wanita 1999 124.828 302.273 2000 137.949 297.273 2001 55.206 239.942 Sumber: Kemnakertrans RI dalam tulisan Azmy, 2011, hal 44 Peningkatan jumlah TKW ini di satu sisi membawa perubahan positif karena memungkinkan peningkatan keterampilan dan taraf hidup bagi perempuan itu sendiri, namun kenyataan bahwa mayoritas TKW bekerja pada sektor jasa atau domestik seperti menjadi Pekerja Rumah Tangga PRT pula menghadirkan berbagai permasalahan. Di dalam negeri, sumber masalah muncul terutama dari minimnya kerangka hukum perlindungan serta sistem perekrutan dan pembinaan Tenaga Kerja yang dirasa masih sangat jauh dari cukup untuk membekali para calon TKI menuju lingkungan kerja baru. Sementara di luar negeri, berbagai kasus kekerasan dan penganiayaan terhadap TKI terus saja mengalir sehingga menyebabkan berbagai protes dan kecemasan dari berbagai pihak. Meskipun demikian, Alhilal Hamdi, selaku Menteri Tenaga Kerja saat itu, menyatakan bahwa pengiriman buruh migran perempuan ke Saudi Arabia tidak bisa dihentikan kerena akan berdampak pada pengangguran tinggi serta berpengaruh pada penerimaan devisa negara Azmy, 2011, hal. 45. Benar saja, karena pada tahun 1999, jumlah remitansi Tenaga Kerja Wanita mencapai 3 triliun rupiah atau sekitar US 300 [9] juta Yunianto n.d: 5, dalam tulisan Michele Ford, 2001: hal 4. Sebagai solusi, Gus Dur kemudian membentuk Direktorat baru di Departemen Luar Negeri Deplu bernama Direktorat ‘Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia BHI’ melalui Keppres No.109 Tahun 2001 jo Kepmenlu No. 053 Tahun 2001. Direktorat ini nantinya bertugas untuk memberikan perlindungan optimal dibidang hukum dan administrasi bagi para WNI termasuk TKI yang sedang berada di luar negeri 2 Azmy, 2011, hal. 45.

c. Kepemimpinan Megawati Soekarno Putri Juli 2001 – Oktober 2004

Megawati Soekarnoputri yang selanjutnya menggantikan posisi Gus Dur sebagai Presiden, memimpin dengan mewariskan berbagai catatan problematis sekaligus progresif dibidang ketenagakerjaan, terutama migrasi Tenaga Kerja Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dampak krisis ekonomi telah menyebabkan jumlah pengangguran di Indonesia meningkat secara drastis dan memaksa masyarakat untuk mencari sumber penghasilan di sektor apa pun yang mungkin. Banyaknya kesempatan kerja terutama sektor domestik dan jasa di beberapa negara tetangga kemudian menarik minat para TKI utamanya tenaga kerja perempuan untuk hijrah demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah bagi keluarganya. Melihat oportunitasnya, jumlah Tenaga Kerja Wanita di luar negeri pun terus meningkat dari tahun ke tahun. Tetapi jumlah ini kemudian menjadi masalah karena terkuaknya TKI ilegal. Selama kepemimpinan Megawati, tercatat ada sekitar satu setengah juta WNI yang tinggal di Malaysia – dan sekitar 600.000 diantaranya bekerja secara ilegal New Straits Times, 29 Agustus 2001 dalam tulisan Michele Ford, 2001, hal 4. Dampak krisis moneter yang juga berimbas pada perekonomian Malaysia kemudian membuat negara ini memilih strategi ‘pengusiran’ TKI yang bekerja secara ilegal Ford, 2001, hal. 3. Langkah ini dimulai dengan mengesahkan akta imigresen nomor 1154 tahun 2002 yang ditetapkan pada tanggal 1 Agustus 2002 menggantikan akta imigresen Malaysia No.63 Tahun 1959 Azmy, 2011, hal. 46. Dalam peraturan baru tersebut, diberlakukan denda sebesar 10.000 ringgit Malaysia, dihukum penjara 2 Tugas pokok Direktorat ini adalah melakukan koordinasi, perencanaan, dan pelaksaan kebijakan teknis perlindungan hak WNI dan BHI di luar negeri, dan penyelesaian masalah WNI serta mengurus pemulangan dan berkoordinasi dengan instansi terkait di dalam negeri. Presentasi Sjachwien Adenan, Perlindungan Terhadap Warga Negara Indonesia Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dalam seminar: “Tenaga Kerja Indonesia di Persimpangan Jalan”, PPK-LIPI: Jakarta, 5 September 2002, hal 1. [10] paling lama 5 tahun, dan enam kali hukuman cambuk, bagi setiap tenaga kerja ilegal yang tertangkap oleh polisi Malaysia. 3 Banyaknya permasalahan yang timbul karena buruknya manajemen penempatan Tenaga Kerja ke luar negeri ini kemudian mendorong Presiden Megawati untuk mengeluarkan kebijakan yang mengatur keseluruhan sistem penempatan TKI dari pra penempatan, penempatan, maupun purna penempatan termasuk perlindungan tenaga kerja Indonesia, ke dalam sebuah Undang-Undang. Akhirnya, pada tahun 2004, dibentuklah UU No.39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri PPTKILN yang pada pasal 94 ayat 1 dan 2 mengamanatkan pembentukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia BPN2TKI Azmy, 2011, hal. 47. Undang-undang ini tentu saja adalah sebuah progres, karena merupakan paket kebijakan pemerintah pertama yang secara khusus membahas tentang regulasi Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Tetapi, Azmy menjelaskan, dari 109 pasal yang ada dalam Undang-Undang tersebut, hanya terdapat 9 pasal yang mengatur tentang perlindungan bagi TKI. Diantara pasal- pasal itu, dia melanjutkan, tidak ada poin yang secara detil membahas tentang standarisasi upah minimum untuk para tenaga kerja informal. Hal ini menciptakan isu baru karena tidak semua negara receiver, termasuk Malaysia, memiliki kebijakan ketenagakerjaan dan standarisasi upah bagi pekerja informal Azmy, 2011, hal. 47.

d. Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono Oktober 2004 – Oktober 2014

Rejim kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono SBY merupakan rejim yang paling banyak mengeluarkan peraturan dan kebijakan terkait ketenagakerjaan, termasuk diantaranya tentang migrasi TKILN. Namun demikian, berbagai polemik seputar masih buruknya birokrasi dan praktik penyimpangan HAM terhadap TKI masih tetap saja terjadi.

1. Pemerintahan SBY jilid I 2004 – 2009

Memasuki awal masa Kabinet Indonesia Bersatu, arus migrasi TKILN semakin masif. Tahun 2004, terdapat 380.690 Buruh Migran Indonesia BMI yang bekerja di berbagai negara penempatan di seluruh dunia. Satu tahun kemudian 2005 jumlah ini 3 Kompas, “Arus Pemulangan TKI Semakin Deras”, 30 Juli 2002, hal.1 dalam tesis Ana Sabhana Azmy, Negara dan Buruh Migran perempuan: Kebijakan Perlindungan Buruh Migran Perempuan Indonesia Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004 – 2010 Studi Terhadap Perlindungan Buruh Migran Perempuan Indonesia di Malaysia, FISIP UI: Jakarta, 2011. [11] meningkat menjadi 474.310 BMI. Tahun 2006, jumlahnya bertambah lagi menjadi 680.000 BMI, kemudian disusul tahun 2007 mencapai angka 696.746. Jumlah ini sempat menurun menuju 561.241 BMI pada tahun 2008, namun naik lagi menjadi 632.172 BMI pada tahun 2009 Kemnakertrans RI, melalui tulisan Azmy, 2011, hal 49. Tetapi, meningkatnya jumlah TKI yang bekerja di luar negeri ini, terutama tenaga kerja perempuan, ternyata tidak selamanya membawa keuntungan. Buruknya mekanisme pra keberangkatan perekrutan dan pelatihan, keberangkatan, penempatan setelah sampai di negara receiver, hingga mekanisme pemulangan TKI pasca kontrak selesai telah menimbulkan segudang permasalahan yang meresahkan. Isu-isu pemerasan, eksploitasi, perdagangan manusia, hingga kasus-kasus kekerasan dan penyimpangan HAM terhadap TKI tak pernah berhenti bahkan semakin sering terjadi. Berbagai siksaan dan fitnah yang tak jarang berujung pada vonis hukuman mati membuat publik bereaksi keras terhadap pemerintah. Pasalnya, hal ini pun disadari tak terlepas dari masih minimnya kerangka hukum dan penataan regulatif yang menaungi keseluruhan proses migrasi TKILN itu sendiri. Akhirnya, disahkanlah sejumlah peraturan terkait mekanisme dan kelembagaan migrasi TKILN. Tahun 2006, SBY mengesahkan Peraturan Presiden Perpres No.81 Tahun 2006 Tentang Pembentukan BNP2TKI yang struktur operasionalnya melibatkan berbagai unsur instansi pemerintah pusat seperti Kemenlu, Kemenhub, Kemenakertrans serta kepolisian. Di tahun yang sama, diturunkan juga Instruksi Presiden Inpres No.6 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan TKILN. Selain itu, SBY juga melakukan negosiasi dan perjanjian MoU dengan Malaysia terkait hak-hak dan perlindungan bagi TKI seperti pengadaan cuti libur, pemegangan pasport oleh buruh migran sendiri, serta standarisasi upah minimum TKI di malaysia Azmy, 2011, hal. 50. Namun meski telah banyak peraturan yang disahkan untuk memperbaiki mekanisme migrasi TKILN, berbagai kasus kekerasan dan eksploitasi terhadap TKI masih terus saja terjadi. Azmy Azmy, 2011, hal. 50 berpendapat bahwa hal ini disebabkan karena minimnya keterlibatan dan partisipasi buruh migran Indonesia dalam penyusunan regulasi itu sendiri, sehingga isi yang ada di dalam berbagai peraturan yang dibuat menjadi sangat prosedural dan cenderung memihak pada keuntungan negara. [12]

2. Pemerintahan SBY Jilid II 2009 – 2014

Di masa kepemimpinannya yang kedua, SBY banyak melakukan pergantian sususan menteri dalam kabinet barunya, termasuk pergantian posisi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang sebelumnya dipegang oleh Erman Supano yang digantikan oleh Muhaimin Iskandar. Dalam 100 hari kerja pertamanya, Muhaimin mentargetkan tiga poin prioritas terkait ketenagakerjaan, yang salah satunya adalah optimalisasi pelayanan terhadap tenaga kerja Indonesia. 4 Komunikasi tripartit yang dimaksud adalah peningkatan koordinasi antara tiga lembaga utama Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Luar Negeri, serta BNP2TKI yang dinilai akan sangat berpengaruh terhadap proses perbaikan kualitas dan kesejahteraan Sumber Daya Manusia SDM Indonesia di masa mendatang. Muhaimin berpendapat bahwa TKI, terutama di sektor informal, harus dihormati, dilayani, diberi bantuan dan perlindungan untuk mendapat hak mereka di negara penempatan, sehingga koordinasi dengan Deplu di negara-negara receiver untuk memantapkan pelayanan TKI harus dilaksanakan. 5 Selain itu, Muhaimin juga berkomitmen untuk memprioritaskan peningkatan kompetensi pekerja agar memenuhi kebutuhan pasar kerja, dengan mengoptimalkan belai-balai latihan kerja sesuai standar kompetisi di pasar kerja. 6 Munculnya inisiatif-inisiatif dan langkah dari pemerintah ini menandakan bahwa kualitas penjaminan HAM dan demokrasi di Indonesia sudah semakin meningkat. Hal ini juga membuktikan bahwa pemerintah telah semakin menyadari pentingnya peran dan kontribusi TKI terhadap perekonomian Indonesia. Kemudian, didorong oleh upaya penegakan HAM dan desakan dari berbagai pihak, terjadinya eksekusi terhadap TKI Arab Saudi bernama Ruyati yang dilaksanakan secara diam-diam telah menyebabkan turunnya keputusan moratorium pengiriman TKI ke negara receiver terbesar di Timur Tengah itu. Jatuhnya talak kerjasama ketenagakerjaan antara Indonesia dan Arab Saudi pada Agustus 2011 itu kemudian tercatat menjadi salah satu peristiwa kebijakan yang paling banyak menuai kontroversi sepanjang rejim KIB jilid II. Pasalnya, dilema pahit antara tingginya independensi TKI terhadap pasar tenaga kerja Arab Saudi yang sayangnya selalu berbanding lurus dengan tingginya jumlah penyimpangan HAM terhadap TKI disana, seakan terus menjadi topik 4 Donny Tobing, “100 Hari Pemerintahan KIB Jilid II”, https:donnytobing.wordpress.com20100207100-hari- pemerintahan-kib-jilid-ii, diakses pada 16 Maret 2016, pukul 16:20 5 Ibid., 6 Ibid., [13] seru yang mewarnai implementasi moratorium hingga penandatanganan MoU Perlindungan dan Penempatan TKI pada 2014. Pembahasan terkait hal ini akan dilanjutkan pada bab-bab selanjutnya. B.1.1.5 Sumber Hukum dan Peraturan Migrasi TKI ke Luar Negeri Meskipun arus migrasi tenaga kerja ke luar negeri telah berlangsung bahkan sebelum Indonesia merdeka, namun kerangka hukum yang menaungi legalitas dan manajemen prosesnya secara komprihensif baru tersusun beberapa waktu setelah Indonesia memperoleh kemerdekaannya. Dalam hukum perburuhan Indonesia saat ini, sumber hukum terpenting dalam bentuk perundang-undangan ialah; Undang-undang ketenagakerjaan UU No.13 Tahun 2003; Undang-undang tentang Serikat PekerjaSerikat Buruh UU No.21 Tahun 2000; Undang-Undang tentang Penyelesaian Hubungan Industrial UU No.2 Tahun 2004 Agusmidah dkk, 2012, hal. 9. Ketiga pilar inilah yang membentuk inti dari hukum perburuhan Indonesia. Sementara dasar hukum yang menaungi persoalan TKILN terdapat dalam UU No. 39 tahun 2004. Pada tabel-tabel di bawah ini, akan dipaparkan mengenai perkembangan sumber dan dasar hukum tersebut, di mulai dari periode pasca kemerdekaan hingga berakhirnya pemerintahan SBY pada tahun 2014. Tabel 4. Era Presiden Soekarno 1945 – 1966 Sumber Dasar Hukum Peraturan Perundangan Aspek Isi Penjelasan Undang- Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat 2 Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak Pasal ini berbunyi: Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Fakta bahwa hal ini diatur dan dijamin oleh negara, menunjukkan bahwa pemerintah tidak dibenarkan untuk menghalangi upaya warga memperoleh pekerjaan yang layak selagi tidak bertentangan dengan hukum. Pemerintah dalam hal ini justru memiliki andil untuk memfasilitasi tersedianya lapangan pekerjaan dan memberikan perlindungan bagi warganya yang tersandung kasus perselisihan ketenagakerjaan. [14] Tabel 5. Era Presiden Soeharto 1966 – 1998 Sumber Dasar Hukum Peraturan Perundangan Aspek Isi Penjelasan Peraturan Pemerintah Permen PP No.4 Tahun 1970 Pengerahan AKAD Antar Kerja Antar Daerah dan AKAN Antar Kerja Antar Negara Melalui PP inilah untuk pertama kalinya pemerintah secara resmi melakukan pengerahan TKI. Upaya pengerahan ini diwujudkan dengan pembentukan AKAD dan AKAN, dimana pemerintah kemudian memberikan wewenang kepada pihak swasta untuk terlibat dalam mekanisme perekrutan, pengiriman, dan penempatan TKI. Pada tahap ini, kebijakan terkait TKILN baru sebatas kebijakan pengerahan, belum masuk ke dalam aspek perlindungan TKI. Tabel 6. Era Presiden B.J Habibie 1998 – 1999 Sumber Dasar Hukum Peraturan Perundangan Aspek Isi Penjelasan Keputusan Menteri Kepmen Kepmenaker No. 204 Tahun 1999 Penempatan TKI ke Luar Negeri Munculnya kebijakan ini diprakarsai oleh melesatnya jumlah TKI yang berangkat ke luar negeri karena PHK besar-besaran akibat krisis moneter dan demi menekan jumlah pengangguran karena masih langkanya kesempatan kerja di dalam negeri pada saat itu. Kepmenaker No. 92 Tahun 1998 Skema Asuransi Sosial untuk Buruh Migran Skema ini memang ditujukan untuk buruh migran, namun bahasan aspek operasional di dalamnya justru jauh lebih dominan dari pada aspek yang membahas tentang perlindungan bagi buruh migran itu sendiri. Tabel 7. Era Presiden Abdurrahman Wahid 1999 – 2001 Sumber Dasar Hukum Peraturan Perundangan Aspek Isi Penjelasan Keputusan Presiden Keppres Keppres No.109 Tahun 2001 jo Kemenlu Pembentukan Direktorat Baru Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia BHI di Kemenlu Keppres ini dibentuk karena melihat semakin banyaknya TKW yang bekerja di Luar Negeri dan tersandung masalah, sehingga membutuhkan penanganan yang lebih khusus dan fokus. Tetapi, upaya perlindungan ini nampaknya masih belum cukup untuk menekan laju kasus kekerasan yang menimpa TKW. Beberapa pihak menilai karena kebijakan perlindungan yang dibuat sampai titik ini baru sebatas peraturan dan keputusan, bukan UU. [15] Tabel 8. Era Presiden Megawati Soekarno Putri 2001 – 2004 Sumber Dasar Hukum Peraturan Perundangan Aspek Isi Penjelasan Undang – Undang UU No.39 Tahun 2004 Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri PPTKILN Pada Masa inilah Indonesia akhirnya memiliki UU tentang penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Menyadari besar dan urgensi permasalahan TKILN, pada Pasal 94 ayat 1 dan 2, diamanatkan pembentukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI BNP2TKI sebagai sebuah lembaga khusus yang menangani masalah penempatan dan perlindungan TKILN. Sejatinya, UU ini merupakan sumber hukum yang diharapkan secara komprihensif dapat mengatur dan memberikan prosedur hukum tentang mekanisme penempatan dan perlindungan bagi TKILN, sehingga tak muncul lagi berbagai berita dan kasus penganiayaan TKI di berbagai negara penempatan di luar negeri. Tetapi dalam perjalanannya, konten UU yang di nilai minim aspek perlindungan dan lebih di dominasi oleh aspek penempatan serta kerjasama swasta-pemerintah ini kemudian dikecam oleh masyarakat luas sehingga harus masuk dalam Program Legislasi Nasional Prolegnas DPR RI sejak tahun 2010. UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerj aan UU ini menggantikan sebanyak 15 peraturan ketenagakerjaan, sehingga merupakan payung bagi peraturan lainnya Tabel 9. Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 2004 – 2014 Sumber Dasar Hukum Peraturan Perundangan Aspek Isi Penjelasan United Nations UN PBB Konvensi PBB 18 Desember 1990 diratifikasi tahun 2012 Konvensi International tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya Internationa l Convention on the Protection of Konvensi ini mengatur beberapa hal krusial seperti; 1. Standar minimun perlindungan hak-hak sipil, politik, dan EKOSOB seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya; 2. Mengakui adanya kontribusi yang disumbangkan oleh pekerja migran terhadap ekonomi dan masyarakat negara tempat mereka bekerja serta pembangunan negara asal; 3. Mencantumkan serangkaian standar untuk perlindugnan pekerja migran dan kewajiban negara yang terkait, meliputi negara asal, transit dan engara tempat bekerja;4. Mencegah dan menghapuskan eksploitasi seluruh pekerja migran dan [16] Sumber Dasar Hukum Peraturan Perundangan Aspek Isi Penjelasan the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families anggota keluarganya di seluruh proses migrasi, termasu mencegah terjadinya perdagangan manusia;5. Konvensi ini tidak hanya melindungi para pekerja migran, tapi juga melindungi kepentingan negara penerima pekerja migran terkait dengan pembatasan akses kategori pekerjaan guna melindungi warga negaranya. 7 Poin-poin inti yang dibahas dalam konvensi ini nampaknya menjadi solusi dari segala permasalahan buruh migran internasional yang selama ini sangat meresahkan, sehingga menjadi suatu keniscayaan bagi pihak negara sender maupun receiver untuk meratifikasi dan menyelasarkannya dengan perundang- undangan nasionalnya masing-masing. Namun sayangnya, tidak semua negara, terutama negara-negara receiver seperti Malaysia dan Arab Saudi, mau menandatangani konvensi ini, sehingga berbagai kasus kekerasan dan penyimpangan HAM terhadap buruh migran masih terus saja terjadi. Peraturan Presiden Perpres 1. Perpres No.81 Tahun 2006 Pembentukan BNP2TKI Perpres ini mengatur tentang pembentukan BNP2TKI yang struktur operasional kerjanya melibatkan berbagai unsur instansi pemerintah pusat terkait pelayanan buruh migran Indonesia, antara lain Kemenlu, Kemenhub, Kemenakertrans, Kepolisian, Kemensos, Kemendiknas, Kemenkes, Imigrasi Kemenkumham, Sesneg, dan lain- lain. 8 Instruksi Presiden Inpres Inpres No. 6 Tahun 2006 Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan perlindungan TKILN. Kebijakan ini dibentuk untuk memperbaiki birokrasi prosedural maupun praktis penempatan dan perlindungan TKILN. 9 Namun paradigma yang mendasari pembuatan kebijakan ini dinilai banyak pihak masih sangat economy-oriented, dimana negara melihat dan menempatkan TKILN sebagai komoditas penghasil remitansi dan keuntungan ekonomi, sehingga mayoritas poin dalam kebijakan ini berfokus pada maksimalisasi jumlah pengiriman TKI ke 7 Elson Serena, “Konvensi PBB Tahun 1990: Suatu Keniscayaan Dalam Perwujudan Emansipasi TKI”, diakses dari http:www.kompasiana.comelsonserenasiagiankonvensi-pbb-tahun-1990-suatu-keniscayaan-dalam-perwujudan- emansipasi-tki_54f75b60a3331145398b45dc, pada 01 April 2016, pukul 13:16 8 http:www.bnp2tki.go.idberita-mainmenu-231berita-foto-mainmenu-314054-sejarah-penempatan-tki-hingga- bnp2tki-.html 9 Dokumen selengkapnya dapat diakses melalui http:www.kemendagri.go.idmediadocuments20060802Inpres- No.06-Th.2006.doc [17] Sumber Dasar Hukum Peraturan Perundangan Aspek Isi Penjelasan luar negeri dan minim poin perlindungan. Inpres RI No. 3 Tahun 2006 Paket Kebijakan Iklim Investasi. Di mana salah satu poinnya adalah penghilangan Balai Latihan kerja BLK dari syarat berdirinya PPTKIS. Kebijakan ini pada dasarnya baik, mengingat banyaknya PPTKIS yang berbohong mengenai telah dilaksanakannya pelatihan TKI di BLK-nya masing-masing. Namun, menjadi rancu karena adanya dualisme BLK dengan nama lain yaitu KBBM Kelompok Belajar Berbasis Masyarakat yang juga di danai oleh pemerintah. Azmy, 2011, hal. 74 Keputusan Presiden Keppres No.02 Tahun 2007 Pembentukan BNP2TKI dengan Jumhur Hidayat sebagai pimpinannya . Dalam praktiknya, pembentukan BNP2TKI ini justru memunculkan polemik kesulitan baru terutama di kalangan masyarakat, pasalnya lembaga yang mengurusi rekrutmen Tenaga Kerja sekarag menjadi dua, yakni Kemnakertrans dan BNP2TKI. Peraturan Menteri Permen Permenakertra ns No. 18 Tahun 2007 Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan TKILN. Melalui Permen inilah kebijakan migrasi TKI yang lebih detail mulai dijalankan. Tetapi bagaimanapun, aspek yang mengatur purna penempatan TKI nampaknya masih sangat minim atau masih jauh dari cukup untuk menjamin settlement TKI seusai bekerja di luar negeri. Permenakertra ns No.14 Tahun 2010 Pemisahan tanggung jawab antara Kemnakertra ns dan BNP2TKI Pada Permen ini ditetapkan bahwa Kemnakertrans bertugas sebagai regulator dan BNP2TKI bertugas sebagai penanggung jawab operasional Permenakertra ns No.7 Tahun 2010 Revisi Asuransi TKI Permen ini merupakan revisi dari Permen terdahulu tahun 2008, yang ternyata implementasinya belum banyak diketahui oleh buruh migran. Azmy, 2011, hal. 75 B.1.2 Sejarah Ketenagakerjaan Arab Saudi Kerjasama ketenagakerjaan yang akhirnya terjadi antara Indonesia dan Arab Saudi tentu juga tak terlepas dari berbagai latar belakang kondisional domestik yang terjadi di Arab Saudi. Sejarah mencatat bahwa motivasi kerjasama ini dimotori oleh penemuan dan ekplorasi ladang minyak bumi dalam jumlah yang sangat besar yang selanjutnya dikenal dengan peristiwa ’oil boom’ atau ‘booming oil’. Pada beberapa sub judul di bawah ini, penulis akan mencoba memaparkan tentang sejarah ketenagakerjaan [18] Arab Saudi selama masa booming oil tersebut sehingga kemudian memicu terjadinya kerjasama ketenagakerjaan dengan Indonesia. B.1.2.1 Kondisi Ketenagakerjaan Sebelum Booming Oil Jauh sebelum terjadinya peristiwa ‘booming oil’, kehidupan mayarakat di semenanjung Arab cenderung bersifat nomaden. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Kemudian seiring dengan berdirinya negara kerajaan Saudi, Raja Abdul ‘Aziz mendorong masyarakat untuk menetap dan memulai kehidupan baru dalam komunitas-komunitas agrikultur. Karakteristik yang sangat kental mendominasi kehidupan tradisional masyarakat saat itu adalah ‘islam dan solidaritas kesukuan’ tribal solidarity and Islam Al-Khateeb, hal. 2. Di dalam struktur kemasyarakatan tersebut, terdapat 4 hirarki sosial yakni; shaikh, para elit yang menduduki posisi kepemimpinan; Qabayli , keturunan-keturunan dari para leluhur atau nenek moyang; khadayri, penduduk yang berasal dari luar suku atau yang datang dari kota; serta para budak, yang merupakan kasta terendah. Perbedaan paling signifikan dari keempat hirarki ini terletak pada pekerjaan, pernikahan, dan kekuasaan. Beberapa pekerjaan tertentu digolongkan sebagai pekerjaan yang ‘tidak sesuai’ atau unsuitable bagi satu kalangan, sebut saja memotong kayu atau menggembalakan ternak bukanlah pekerjaan bagi para kaum qabayli, melainkan untuk para budak. Dalam hal pernikahan, kedua mempelai pun diharuskan berasal dari satu suku yang sama, menikah dengan lain suku dianggap sebagai sesuatu yang unacceptable Al-Khateeb, hal. 2. Budaya solidaritas kesukuan ini masih tetap menjadi bentuk organisasi sosial paling dominan dalam kehidupan masyarakat di semenanjung Arab hingga kini. Dalam tradisi Arab, sistem labour division atau pembagian kerja atau, tanggung jawab dalam satu rumah tangga dibentuk berdasarkan senioritas dan jenis kelamin. Al Khateeb menjelaskan, “The household was structured according to seniority and sex. Elderly people had a higher status than younger ones. Youngsters were expected to show obedience and respect for elder members of the family. Men occupied superior positions to women in daily routines and made decisions concerning family affairs.” Al-Khateeb, hal. 3 Pembagian kerja ini tertampak jelas dan tidak dapat dicampur, terutama peran laki-laki dan perempuan. Posisi sebagai pencari nafkah bagi keluarga memberikan power sehingga kemudian laki-laki dipandang tidak pantas mengerjakan pekerjaan- pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, atau membersihkan rumah. [19] Sebaliknya, fungsi reproduktif perempuan menempatkanya pada posisi dan peran sebagai istri dan ibu yang sangat dekat dengan berbagai pekerjaan seputar anak dan rumah tangga. Sehingga seolah sudah menjadi takdir, jika pekerjaan rumah tangga merupakan pekerjaan perempuan. Tetapi , seiring dengan kemajuan zaman dan semakin meningkatnya perekonomian Arab Saudi, banyak keluarga Arab yang kemudian berhasil mengirim anak-anak mereka belajar ke negara-negara Barat sehingga perspektif ekstrim tentang perbedaan gender pun perlahan terkikis. Di sisi lain, fenomena pembantu rumah tangga PRT atau domestic workers sesungguhnya bukan sesuatu yang asing di Arab Saudi. Sejak dahulu, para keluarga kaya di Semenanjung Arab telah memiliki banyak budak dan pembantu rumah tangga. Dan ketika perbudakan dihapuskan pada tahun 1963 oleh raja Faisal Al-Khateeb, hal. 10, para keluarga kaya di negara itu cenderung merekrut PRT dari negara-negara Arab lain untuk menggantikan budak-budak mereka sebelumnya. Kemajuan ekonomi serta demokratisasi telah semakin mempengaruhi kehidupan sosial di Arab Saudi sehingga pada level ini, merupakan sebuah aib dan satu hal yang memalukan bagi perempuan Saudi untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Mereka lebih memilih untuk bekerja sebagai pegawai negeri sipil meski dengan penghasilan relatif kecil daripada harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang notabene hampir sama seperti budak. Beralih pada aspek migrasi, arus perpindahan manusia dari luar negeri menuju Arab Saudi pada dasarnya telah berlangsung sejak berabad silam, terutama di latarbelakangi oleh kepentingan perdagangan dan atau haji. Namun migrasi tenaga kerja ke negara ini ditengarai terjadi di sekitaran akhir tahun 1930an, dimana seiring dengan semakin berkembangnya negara Saudi dibawah kepemimpinan Al- Sa’ud family, mulai ditemukanlah beberapa titik di beberapa wilayah yang ternyata menyimpan cadangan minyak bumi yang sangat besar. Mengerti akan besarnya potensi dan prospek industri minyak bumi bagi perkembangan ekonomi nasional, pemerintah Arab Saudi kemudian segera menggalakkan eksplorasi dengan mempekerjakan sejumlah ahli dari negara Barat dan para operator yang mayoritas datang dari negara-negara miskin di belahan dunia Arab lainnya. Kenyataan bahwa aktifitas perekonomian domestik saat itu masih di dominasi oleh pertanian, peternakan dan perdagangan, membuat mayoritas pribumi Arab Saudi ‘buta’ akan keahlian dan kemampuan dibidang perminyakan dan pertambangan. Semakin meningkatnya trend industri minyak bumi yang otomatis juga meningkatkan jumlah foreigners atau orang asing yang masuk ke dalam negeri, [20] membuat pasar tenaga kerja di negara itu menjadi tidak stabil. Para penduduk pribumi merasa terancam karena semakin sulitnya mendapat pekerjaan ditengah persaingannya dengan para expert hingga unskilled labours dari luar negeri. Akibat masalah tersebut, sepanjang tahun 1950an terjadi beberapa kali aksi mogok kerja di beberapa area pertambangan minyak di negara itu Bel-Air, 2014, hal. 4 B.1.2.2 Peristiwa Booming Oil dan Berbagai Dampaknya Pada sekitar tahun 1970an, industri pertambangan minyak di Arab Saudi membuncah. Negara ini ternyata adalah penyimpan cadangan minyak terbesar kedua di dunia setelah Venezuela, berdasarkan rilis Organization of Petroleum Exporting Countries OPEC. 10 Saudi juga merupakan salah satu negara eksportir minyak terbesar dan produsen minyak terbesar kedua di dunia. Besarnya potensi cadangan minyak bumi yang ada menyebabkan terjadinya diversifikasi ekonomi. Sektor mata pencaharian yang sebelumnya di dominasi oleh pertanian dan perdagangan kini beralih di dominasi oleh bisnis pertambangan dan sektor jasa seperti konstruksi dan real estate. Gambar 2. Peta Oil Fields Arab Saudi Sumber: http:www.businessweek.commagazinecontent04_14art04_140414_62eurbus.gif Semakin maraknya ajang eksplorasi minyak ini pun menyebabkan meningkatnya demand tenaga kerja baik ahli, terlatih maupun semi terlatih untuk memenuhi posisi-posisi sebagai pekerja pertambangan maupun tenaga pembangun berbagai infrastruktur. Pekerja yang sebelumnya di dominasi oleh penduduk Arab yang 10 OPEC, 2015, “OPEC Share of World Crude Oil Reserves, 2014”, diakses melalui http:www.opec.orgopec_webendata_graphs330.htm, pada 7 April 2016, pukul 16:23. [21] datang dari wilayah sekitar Arab Saudi dan Semenanjung Arab kini mulai didominasi juga oleh orang-orang dari Asia. Bahkan, jumlah pekerja migran semakin membludak setelah negara-negara importir minyak memutuskan untuk mengirim tenaga kerja mereka ke negara-negara teluk sebagai akibat dari kenaikan harga minyak oleh negara- negara OPEC Halabi, hal. 1. Berkat peristiwa oil boom ini, Kapiszewski menjelaskan, dalam kurun waktu 50 tahun, populasi di negara-negara GCC telah meningkat lebih dari delapan kali lipat. “The population in the current GCC states has grown more than eight times during 50 years; to be exact, from 4 million in 1950 to 40 million in 2006, which marks one of the highest rates of the population growth in the world. This increase has not been caused primarily by a natural growth of indigenous population but by the influx of foreign workers.” Kapiszewski, 2006, hal. 1 Dampaknya, berbagai permasalahan ekonomi politik dan sosial budaya pun muncul. Beberapa peristiwa kerusuhan dan mogok kerja yang sebelumnya pernah terjadi karena dipicu kekhawatiran dalam kompetisi pasar kerja domestik kini melebar. Di satu sisi, sektor publik yang selama ini digaransi oleh pemerintah sebagai sektor penyerap tenaga kerja pribumi ternyata tidak cukup untuk menampung angkatan kerja yang semakin lama semakin bertambah, sementara pihak swasta, dengan berpegang pada prinsip ekonomi yang berlaku, cenderung lebih memilih untuk mempekerjakan tenaga kerja asing yang notabene lebih berpengalaman skilled dan atau lebih murah daripada penduduk pribumi yang mayoritas kurang memiliki keahlian unskilled namun menuntut berbagai fasilitas Sadi, 2013, hal. 37 Kapiszewski, 2006, hal. 5. Selanjutnya, dominasi pekerja migran yang menguasai hingga 65 pasar kerja Saudi dari total seluruh populasi yang ada ini juga mulai menimbulkan kecemasan politik. Pasalnya, tak hanya merasa terancam karena hak dan priviledge warga Saudi dalam pasar kerja telah digeser oleh pekerja asing yang berbondong datang, semakin tingginya jumlah warga Arab non-lokal yang meskipun memiliki kedekatan budaya, namun cenderung berideologi sekular atau pro Soviet yang menetap di Saudi bersama keluarga mereka dari berbagai kawasan dikhawatirkan dapat menjadi penyebar konsep- konsep sosial politik yang radikal Kapiszewski, 2006, hal. 6 yang dapat membahayakan keamanan dan kedaulatan negara. Kapiszewski menjelaskan, “The presence of a large number of expatriates constitutes, however, a major threat to the stability of the GCC countries; it endangers the cultures, influences the structure of society and, furthermore, has an impact on the foregin policy. ... Expatriates have often been perceived by the nationals as disloyal to their [22] hosts, and even as potentially dangerous political agents who spread hostile ideas or work as a “fifth column” for the benefit of foreign powers.” Kapiszewski, 2006, hal. 11 Karena itu, demi melindungi kedaulatan negara dan hak istimewa warganya, pemerintah Saudi menempuh serangkaian kebijakan di bidang bisnis dan ketenagakerjaan. Kebijakan yang paling mengemuka pertama adalah saudization, yaitu nasionalisasi pasar kerja dengan skema nitaqat dalam bahasa Inggris berarti ‘range’. Saudization adalah kebijakan ketenagakerjaan yang pada akhirnya bertujuan untuk menggantikan dominasi pekerja asing dengan pekerja lokal dalam pasar kerja domestik. Kebijakan ini kemudian diefektifkan dengan skema nitaqat, yakni skema evaluasi berdirinya sektor swasta berdasarkan persentase jumlah tenaga kerja lokal yang direkrut, sehingga kemudian perusahaan tersebut berhak menyandang satu kode tertentu karena prestasinya Sadi, 2013, hal. 37. Kebijakan selanjutnya adalah sistem sponsorship, yang di Saudi dikenal dengan istilah sistem kafalah kafeel dalam bahasa Arab berarti ‘sponsor’. Sistem ini mengharuskan setiap pekerja migran yang ingin masuk ke negara tersebut disponsori oleh seorang warga negara atau agen pemerintah Saudi yang kemudian akan bertanggung jawab penuh atas segala urusan legal maupun finansial pekerja selama kontrak berjalan Murray, 2012, hal. 467. Sistem yang pada dasarnya telah berakar sejak zaman tribal ini sesungguhnya dimaksudkan untuk menggaransi keselamatan seorang musafir yang datang dan atau akan singgah di daerah lain yang bukan daerah sukunya kepada penduduk suku tersebut Wapler, 20001, hal. 366. Namun seiring dengan perkembangan dan kemajuan yang terjadi di negara-negara GCC, sistem kafalah yang tetap diberlakukan sebagai prosedur pengendalian laju migrasi tenaga kerja ini pada gilirannya justru menimbulkan banyak kontroversi dan permasalahan. Kemudian kebijakan ketenagakerjaan lainnya adalah sistem rotasi yang mengatur batas durasi kerja para tenaga kerja migran. Kontrak antara sponsor atau majikan dengan pekerja ini biasanya akan berlangsung selama 2 tahun dan setelah itu majikan wajib mengganti dengan pekerja baru, atau jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi kedua belah pihak dapat memutus kontrak dengan konsekuensi pinalti sesuai ketentuan yang berlaku. Secara teoritis, kebijakan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya peningkatan jumlah populasi yang disebabkan oleh permanenitas pekerja migran, namun dalam praktiknya, ekonomi pasar bebas ternyata lebih kuat daripada kebijakan pemerintah. Banyak pekerja asing yang justru tetap tinggal dan bekerja [23] melewati masa kontrak karena majikan biasanya lebih memilih untuk mempertahankan pekerja yang telah memiliki sejumlah pengalaman lokal daripada harus merekrut orang baru, yang mengharuskan alokasi biaya tambahan Kapiszewski, 2006, hal. 5. Selain masalah ekonomi politik, tingginya jumlah foreign workers di Saudi juga menimbulkan konflik sosial. Sistem kemasyarakatan negara-negara GCC, termasuk Arab Saudi, yang masih sangat kental dengan tribal solidarity dan sistem kinship kekeluargaan melahirkan semacam gap antara penduduk pribumi Saudi dan para pekerja asing, terutama yang datang dari Asia. Murray menulis, “GCC societies are still based on a kinship system, which prevents outsiders from easi ly integrating into a “long tribal tradition of buying loyalty and allegiance” through tribal leaders distributing favors and benefits to their networks. Workers often lives segregated and isolated lives either in labor camps outside major cities or in pri vate households.” Murray, 2012, hal. 468 Tingginya jumlah tenaga kerja Asia yang bekerja sebagai buruh kasar juga menyebabkan timbulnya stigma negatif yang kemudian men-generalisasi bahwa seluruh warga dari negara-negara tersebut adalah inferior. Tak heran jika para pelancong maupun pelajar dari Indonesia, Filipina atau India yang datang ke Saudi mendapati sikap yang cenderung masam dari warga pribumi. Namun terlepas dari membludaknya jumlah pekerja migran serta seluruh permasalahan yang mengiringinya, fenomena oil boom yang melanda Arab Saudi telah merubah kondisi negara yang sebelumnya merupakan desert sheikhdom menjadi sebuah negara modern Kapiszewski, 2006, hal. 1. Pencapaian pembangunan ekonomi nasional pun secara otomatis telah meningkatkan taraf dan gaya hidup para penduduk Saudi. Orang-orang kini tak lagi tinggal di gubuk-gubuk sederhana yang terbuat dari batu dan tanah liat seperti dahulu sebelum ditemukannya ladang minyak. Kini, Saudi dipenuhi dengan gedung-gedung bertingkat, rumah-rumah mewah lengkap dengan mobil, taman dan pagar yang tinggi, serta apartemen dan flat yang menjulang. Industri pertambangan dan jasa, telah melahirkan banyak pengusaha kaya dan konglomerat dengan budaya konsumerisme yang tinggi. B.1.2.3 Booming Oil dan Demand Tenaga Kerja Domestik Selanjutnya, modernisasi, kemajuan ekonomi, dan berubahnya struktur sosial juga telah memberi imbas pada peningkatan demand akan domestic workers atau pembantu rumah tangga. Gaya hidup yang semakin modern di dukung dengan [24] kemampuan finansial yang cukup serta stigma masyarakat yang kini cenderung melihat bahwa pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan rendahan yang diperuntukan bagi para budak, membuat wanita Saudi enggan untuk turun ke dapur mengurusi segala urusan pratikal rumah tangga. Prestis ini membuat mereka lebih memilih untuk bekerja di luar rumah dan merekrut PRT untuk mengurusi segala pekerjaan rumah tangga. Walhasil, fakta bahwa semakin sedikit perempuan Saudi yang ‘bersedia’ mengerjakan pekerjaan yang notabene 3D dirty, dark, dangerous pun menyebabkan permintaan akan PRT migran meningkat drastis. Al Khateeb menjelaskan, “the influx of wealth has enabled increasing numbers of Saudi families to hire foreign domestic helpers and, generally, the wealthier the family, the more domestic helpers it employs ” Al-Khateeb, hal. 10. Pada bab sebelumya, penulis telah melampirkan sebuah tabel lihat tabel 1. yang memberikan informasi tentang peningkatan jumlah domestic workers dari tahun ke tahun berdasarkan visa application yang disetujui oleh Kementerian Tenaga Kerja Arab Saudi. Namun tak hanya semakin meningkat dari tahun ke tahun di dalam negeri, suksesnya oil boom pun membuat Saudi menduduki ranking pertama konsumen jasa PRT terbesar di antara negara-negara GCC. Tabel 10. Jumlah Resmi Migrant Domestic Workers di GCC Negara Tahun Total MDWs MDWs Perempuan Bahrain 2011 83,198 51,811 Kuwait 2010 569,536 310,402 Oman 2009 94,592 69,256 Qatar 2009 80,342 48,147 Arab Saudi 2009 777,254 506,950 United Arab Emirates 2008 236,545 146,075 Sumber: Kerbage and Essim 2011 dan Schwenken dan Heimeshoff 2011:25. Melalui tulisan Fernandez, 2014, hal. 4. Tingginya demand ini kemudian dimanfaatkan oleh negara-negara miskin dan berkembang, yang umumnya mengalami over populasi dan keterbatasan lapangan kerja, untuk menjadi pen-supply domestic workers, dengan harapan dapat mengurangi jumlah pengangguran dan membantu mendorong pembangunan nasional melalui kontribusi remitansinya. B.1.2.4 Sumber Hukum dan Peraturan Bagi Tenaga Kerja Asing di Arab Saudi Arab Saudi merupakan sebuah negara berbentuk kerajaan, yang dipimpin oleh seorang raja dari keluarga Sa’ud. Agama resmi di negara ini adalah Islam, karenanya, [25] segala peraturan didasarkan pada prinsip-prinsip hukum Islam. Menurut Joseph Brand, “Islamic law serves, and is the expression of, God’s will” Brand, 1986, hal. 6, karena itu , sumber hukum tertinggi di negara ini adalah Al Qur’an yang merupakan kumpulan dari wahyu-wahyu Tuhan Allah SWT dan As-Sunnah yang merupakan tradisi Rasulullah Nabi Muhammad SAW. Hukum dasar yang digunakan dalam menjalankan roda pemerintahan adalah h ukum syari’ah, yaitu hukum yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat yang bersumber dari Al Qur’an, As-sunnah, serta ijtihad ulama. Dalam teori fundamentalis Islam dan yang dipraktikkan di Arab Saudi, Syari’ah adalah hukum dan yang menetapkannya adalah Tuhan, bukan manusia. Tuhan adalah satu-satunya pengatur dan tidak ada manusia, yang mana adalah penguasa temporal, maupun majelis, yang berhak mengatur. Karena itu, lembaga pemerintahan di Saudi hanya terdiri dari 2 cabang yakni eksekutif dan yudikatif, tidak ada badan legislatif. Tetapi bukan berarti bahwa tidak ada legislasi di negara ini. Demi terwujudnya proses pemerintahan yang baik, pemimpin negara dalam hal ini, raja, diberikan hak untuk membuat ‘kebijakan’ yang selaras dengan Syari’ah. Brand menulis, “... by the use of siyasa the ruler has the right, recognized by the sharia, to make administrative ordinances. Siyasa means policy and by the exercise of this policy right the sovereign may promulgate regulations for the good administration of his government.” Brand, 1986, hal. 20 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara hirarki, hukum yang tertinggi di Saudi adalah Al Qur’an dan As-sunnah. Kemudian yang kedua adalah hukum dasar pemerintahan syari’ah, yang ketiga adalah Undang-Undang, dan yang keempat adalah dekrit raja royal decree. Ketiga peraturan perundangan terakhir ini harus sesuai dengan prinsip- prinsip hukum yang terdapat dalam Al Qur’an dan As-sunnah. Beralih pada peraturan ketenagakerjaan, ternyata sejauh ini Arab Saudi belum memiliki UU yang secara spesifik membahas tentang migrant domestic workers. Labor Law berstatus royal decree yang selama ini berlaku di Saudi mayoritas hanya mengatur tentang ketenagakerjaan warga Saudi, jikapun ada satu chapter yang membahas tentang ketenagakerjaan asing, hanya sebatas membahas peraturan prosedural antara pihak sponsor dan pekerjanya, dan hanya mencakup tenagakerja asing formal, tidak ada klausul yang membahas tentang standar perlindungan bagi domestic workers . Pemerintah Saudi menilai, peraturan yang mengikat domestic workers memang menjadi otoritas para majikan, karena hal itu berkaitan dengan privasi sebuah [26] rumah tangga. Dalam tabel dibawah ini, penulis akan mencoba menyuguhkan beberapa peraturan ketenagakerjaan yang ada di Arab Saudi. Tabel 11. Sumber Hukum dan Peraturan Ketenagakerjaan Arab Saudi Sumber Dasar Hukum Peraturan Perundangan Aspek Isi Penjelasan International Labour Organization ILO 2. Konvensi No.105 Tahun 1957 1. diratifikasi tahun 1978 Penghapusan Kerja Paksa Dengan meratifikasi konvensi ini, Arab Saudi menyetujui untuk menghapuskan segala bentuk kerja paksa dan perbudakan di dalam negerinya. Semua bentuk pekerjaan dan perekrutan kerja harus dilaksanakan secara sukarela tanpa ancaman atau paksaan dari siapapun, dan pemerintah tidak dibenarkan untuk melaksanakan kerja paksa demi maksud dan tujuan apapun. Setelah dihapuskannya perbudakan oleh raja Faisal pada tahun 1963, ratifikasi konvensi ini menjadi titik penting selanjutnya bagi dimulainya modernisasi dan penegakan HAM di Saudi. 4. Konvensi No. 111 Tahun 1958 2. diratifikasi tahun 1978 Diskriminasi Dalam Perkerjaan dan Jabatan Pasal 1 a dalam konvensi ini berbunyi: Istilah ‘diskriminasi’ meliputi; a setiap perbedaan, pengecualian atau pilihan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik, kebangsaan atau asal usul dalam masyarakat, yang mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya kesetaraan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan. Dengan meratifikasi konvensi ini, Arab Saudi yang artinya menyetujui pelarangan tindakan diskriminatif terhadap pekerja dengan latar belakang dan alasan apapun seharusnya mampu merealisasikan semangat konvensi dengan mengimplementasikannya dalam regulasi ketenagakerjaan nasional, termasuk bagi pekerja non-Saudi. Namun dengan ramainya pemberitaan kasus kekerasan terhadap tenaga kerja asing yang terjadi di negara ini, rupanya terlihat bahwa Saudi belum dapat [27] Sumber Dasar Hukum Peraturan Perundangan Aspek Isi Penjelasan menjalankan inti dari konvensi yang diratifikasinya pada 1978 ini. United Nations UN PBB 3. 1. UNTOC Tahun 2000 diratifikasi tahun 2005 Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi United Nations Convention Against Transnational Organized Crime UNTOC atau Palermo Convention terdiri dari protokol yang membahas tentang: pencegahan perdagangan manusia terutama anak-anak dan wanita; penentangan penyelundupan migran melalui darat, laut, dan udara; penentangan pembuatan dan perdagangan senjata api ilegal. Namun dalam kenyataanya, sistem kafalah yang diberlakukan di Saudi justru telah semakin memarakkan bisnis perekrutan tenaga kerja asing ilegal dan aktifitas human trafficking yang rupanya sangat menguntungkan bagi beberapa pihak. 4. 2. CEDAW Tahun 1979 diratifikasi tahun 2000 Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Aagainst Women Sesuai dengan temanya yakni pengahapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, peratifikasian konvensi ini seharusnya, paling tidak, dapat mengikat dan membatasi terjadinya berbagai kasus kekerasan terhadap domestic workers yang mayoritas adalah perempuan, di Saudi. Namun fakta menunjukkan bahwa, sekali lagi, Saudi belum cukup berkomitmen dalam mematuhi dan menegakkan inti-inti konvensi international yang telah diratifikasinya. 5. 3. ICERD Tahun 1965 diratifkasi tahun 1976 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination Setelah meratifikasi beberapa konvensi internasional tentang pelarangan tindakan diskriminasi, Saudi akhirnya sampai pada keputusan untuk meratifikasi ICERD, yakni pelarangan terhadap semua bentuk diskriminasi berdasarkan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama. Bagaimanapun yang menarik adalah, meskipun terindikasi bahwa Saudi sangat peduli dengan isu-isu HAM seperti kerja paksa dan diskriminasi terbukti dengan fokusnya terhadap ratifikasi [28] Sumber Dasar Hukum Peraturan Perundangan Aspek Isi Penjelasan konvensi-konvensi forced labor dan diskriminasi, namun jumlah kekerasan dan penganiayaan tenaga kerja informal yang terjadi di negara ini justru tetap tinggi. Hal ini kemudian memunculkan skeptisme; 1 apakah sesungguhnya niatan Saudi meratifikasi konvensi- konvensi tersebut? Dan atau; 2 mengapa adaptasi dan implementasi inti-inti konvensi tersebut dalam perundangan nasional terkesan sangat sulit? Undang- Undang Dasar The Source of Law Al- Qur’an Wahyu Allah SWT Meliputi seluruh aspek kehidupan manusia Karena berideologi Islam, maka sumber hukum tertinggi Saudi adalah Al Qur’an, yaitu wahyu- wahyu langsung Tuhan Allah SWT yang dikumpulkan dalam satu buku. Konstitusi Saudi menempatkan hukum Allah SWT yang tertuang dalam Al Qur’an sebagai hukum yang tertinggi, karena itu di negara ini tidak ada lembaga legislatif yang berperan merancang serta menciptakan dasar hukum dan berbagai UU, seperti halnya DPR di Indonesia. Di Saudi hanya terdapat lembaga eksekutif sebagai pelaksana pemerintahan serta lembaga yudikatif sebagai pengawas jalannya pemerintahan. As Sunnah Tradisi dan cara hidup Nabi Muhammad SAW Seluruh aspek praktis kehidupan manusia Sumber hukum ini merujuk pada setiap perkataan dan perbuatan Rasulullah semasa hidup, yang merupakan suri tauladan bagi seluruh umat Islam. Jika secara gamblang tidak terdapat dalam Al Qur’an, maka umat Islam wajib merujuk hukum dan atau derajat suatu tindakan maupun persoalan berdasarkan perkataan, nasihat, atau cara hidup Rasulullah, sebelum merujuknya dengan Sumber analogi lain. Hukum dasar pemerintahan The basic law of Syari’ah Seluruh aktifitas warga negara Syari’ah adalah hukum yang mengatur semua aktifitas manusia, termasuk nasional dan internasional, umum dan pribadi, kriminal maupun [29] Sumber Dasar Hukum Peraturan Perundangan Aspek Isi Penjelasan government sipil. Brand, 1986, hal. 7 Syari’ah diartikan sebagai “sacred law of Islam ”, atau “totality of God’s commandments ”. Hukum ini bermakna demikian karena bersumber pada Al Qur’an wahyu- wahyu allah, As sunnah tradisi- tradisi Nabi, i jma’a sahabi tradisi hukum para sahabat Nabi, dan ijtihad ulama penerapan hukum yang digali dari ulama-ulama baik di lembaga peradilan maupun lembaga mufti. Dekrit Raja Royal Decree Labour Law: Royal Decree No. M51, Tahun 2005 Part III: Employment of Non-Saudi Dari total 245 pasal yang terdapat dalam Labour Law, hanya ada 10 pasal yang membahas tentang tenaga kerja asing di negara ini article 32 – 41. Ironisnya, kesepuluh pasal tersebut hanya membahas tentang aspek legal dan prosedural yang harus dilaksanakan oleh pekerja dan majikan ketika akan memulai, selama, dan hingga kontrak berakhir. Hampir tidak ada pasal yang membahas tentang perlindungan bagi tenaga kerja asing. Kemudian, dari 16 bagian 16 parts yang membahas tentang berbagai peraturan ketenagakerjaan, belum ada kejelasan apakah seluruh substansi hak dan perlindungan yang terdapat dalam bagian-bagian tersebut berlaku untuk seluruh tenaga kerja yang ada di Saudi lokal Saudi maupun asing atau hanya untuk warga negara pribumi Saudi saja. Fernandez menulis bahwa migran domestic workers secara eksplisit tidak termasuk dalam legislasi sosial dan ketenagakerjaan negara-negara GCC. Pekerjaan rumah tangga tidak dapat diregulasi sama seperti pekerjaan lain karena akan melanggar privasi rumah tangga itu sendiri Fernandez, 2014, hal. 9. Hal inilah yang kemudian semakin [30] Sumber Dasar Hukum Peraturan Perundangan Aspek Isi Penjelasan meramaikan tindakan kekerasan dan penganiayaan terhadap pekerja migran dan membuat gusar berbagai kalangan terutama pemerintah negara sender dan labor NGO. Sumber: diolah dari berbagai sumber B.2 Kerjasama Ketenagakerjaan Antara Indonesia dan Arab Saudi Berdasarkan pengertiannya, ‘kerjasama’ merupakan suatu bentuk interaksi sosial antara orang-perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. 11 Menurut Charles H. Cooley, kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan kesadaran terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingannya. Kerjasama yang terjadi antara Indonesia dan Arab Saudi seharusnya masuk dalam kerjasama internasional dua negara bilateral yang jika merujuk pada bentuknya, merupakan bargaining cooperation. Bargaining cooperation adalah perjanjian mengenai pertukaran barang-barang dan jasa antar individu maupun antar kelompok. Bargaining dalam bahasa Indonesia berarti ‘tawar menawar’ dilakukan agar proses kerjasama dapat memberi keuntungan secara adil bagi kedua belah pihak. Berikut ini akan dipaparkan mengenai motivasi terjadinya kerjasama antara Indonesia dan Arab Saudi. Melihat sejarah kondisi ketenagakerjaan yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa paling tidak ada 4 alasan yang memotivasi Indonesia melakukan kerjasama ketenagakerjaan dengan Arab Saudi. Alasan pertama yakni tingginya jumlah pengangguran. Kondisi ini mulai jelas terlihat dan menimbulkan polemik terutama pasca krisis moneter 1997 yang memunculkan ratusan ribu pengangguran akibat PHK masal. Metode pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, salah satunya ke Arab Saudi, selanjutnya dilihat sebagai solusi untuk menurunkan angka pengangguran yang jika tidak dilaksanakan disadari dapat membawa dampak lebih buruk bagi kondisi ekonomi politik di dalam negeri. Alasan yang kedua yaitu tingginya jumlah populasi namun minimnya jumlah lapangan pekerjaan. Status Indonesia yang masih ‘negara berkembang’ menjelaskan bahwa ditengah populasi yang tinggi, 11 Anonym, “Pengertian Kerjasama dan Bentuknya beserta Contoh-contohnya”, diakses dari http:www.berpendidikan.com201506pengertian-kerja-sama-dan-bentuknya-beserta-contohnya.html, pada 15 April 2016, pukul 13:33 [31] persoalan pemenuhan lapangan kerja merupakan salah satu keniscayaan yang paling urgent . Dengan tujuan akhir yang sama yakni menjaga stabilitas ekonomi politik di dalam negeri atau regim yang sedang berkuasa, pemerintah mencoba memenuhi kewajiban tersebut dengan ‘menyediakan’ dan memfasilitasinya di luar negeri. Motivasi kerjasama selanjutnya adalah untuk menghimpun devisa negara sebagai salah satu modal pembangunan nasional. Penghasilan yang didapat oleh para TKI yang bekerja di luar negeri merupakan salah satu penopang pembangunan khususnya di daerah-daerah tertinggal tempat asal TKI. Dengan hasil tersebut, TKI dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan keluarga, yang pada gilirannya akan dapat membantu mengurangi angka kemiskinan nasional. Namun peran TKI bagi pembangunan nasional dipercaya tak hanya sebatas remitansi. Manfaat lain dikirimkannya para TKI ke luar negeri adalah untuk meningkatkan kualitas SDM para tenaga kerja itu sendiri. Setelah ditempa sekian tahun dengan berbagai pelajaran dan pengalaman bekerja di luar negeri, para TKI yang kemudian menjadi semakin terlatih, diharapkan mampu mendedikasikan dirinya bagi memajukan bangsa dan semakin meningkatkan daya saing Indonesia diberbagai bidang. Serupa, berdasarkan kondisi sejarah ketenagakerjaan Saudi, penulis menemukan bahwa setidaknya terdapat 4 alasan yang melatarbelakangi mengapa negara ini tertarik melakukan kerjasama ketenagakerjaan dengan Indonesia. Alasan pertama adalah tingginya demand tenaga kerja di sektor-sektor strategis. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peristiwa oil boom yang sedang dan telah menghasilkan kemajuan ekonomi dan modernisasi di Saudi menuntut importasi teknologi maupun tenaga kerja dalam jumlah yang sangat besar, sementara tenaga kerja Saudi yang saat itu mayoritas adalah unskilled labor menyebabkan pilihan rekrutmen jatuh pada tenaga kerja asing dari berbagai wilayah negara berkembang, termasuk Indonesia. Alasan selanjutnya adalah karena tenaga kerja dari Asia, termasuk Indonesia, lebih murah, lebih efisien, dan threat-free. Bagi para pengusaha swasta maupun pengguna jasa PRT di Saudi, mempekerjakan tenaga kerja migran dari Asia cenderung lebih menarik karena standar upah yang lebih rendah dan perangai yang lebih halus. Tenaga kerja dari Asia terkenal lebih rajin, lebih patuh, dan lebih mudah untuk dikendalikan dibanding dengan tenaga kerja Arab non-lokal maupun penduduk pribumi Saudi sendiri Kapiszewski, 2006, hal. 7. Selain itu, para pekerja yang biasanya datang seorang diri tidak membawa keluarga dan bersifat temporary, dirasa tidak ‘berbahaya’ bagi keamanan politik dan ideologi bangsa, berbeda dengan tenaga kerja Arab non-lokal yang datang berbondong dengan [32] keluarga mereka dan kemudian memutuskan untuk menetap di Saudi. Alasan lain adalah karena Indonesia memiliki kedekatan historis dengan Saudi. Hubungan yang telah terjalin semenjak berabad-abad lalu melalui perdagangan maupun aktivitas haji ini seolah telah menanamkan kedekatan secara emosional yang kemudian membuat tenaga kerja Indonesia lebih atraktif daripada ‘saudara Arab’ yang jauh dan tidak memiliki kedekatan historis. Terakhir, Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam menjadi nilai plus yang otomatis menjadi pilihan utama bagi Saudi yang juga berideologi Islam. Latarbelakang kondisi ketenagakerjaan yang terjadi di kedua negara, yang kemudian memunculkan berbagai kepentingan yang disadari dapat dipenuhi oleh satu sama lain, telah menginspirasi terjalinnya kerjasama antara kedua negara. Kerjasama ini sesungguhnya sudah terjadi sejak berabad lalu, namun dukungan dan keterlibatan pemerintah mulai tampak melalui mekanisme visa approval oleh pihak Arab Saudi serta pembentukan AKAN dan AKAD oleh pihak Indonesia. Selama kurang lebih 40 tahun kerjasama ketenagakerjaan tersebut berlangsung dibawah pengawasan pemerintah kedua negara, belum pernah dilaksanakan perjanjian tertulis yang membahas secara komprihensif tentang hak dan perlindungan TKI, hingga akhirnya pada tahun 2011, perwakilan pemerintah kedua negara bertemu dan memutuskan untuk merancang nota kesepahaman terkait hal tersebut. 12 Pada bab selanjutnya, penulis akan menjabarkan tentang berbagai polemik dan permasalahan yang muncul seputar kekerasan dan perlindungan TKI yang kemudian mendorong terjadinya serangkaian pendekatan diplomatik, deklarasi moratorium, hingga penandatanganan MoU Perlindungan dan Penempatan TKI pada tahun 2014. 12 Nasru Alam Aziz, 2011, “RI-Arab Saudi Bahas Kerja Sama Soal TKI”, diakses melalui http:nasional.kompas.comread201105282210006ri-arab.saudi.bahas.kerja.sama.soal.tki, pada 15 Aprl 2016, pukul 12:28 [1]

BAB III MEMORANDUM of UNDERSTANDING ANTARA INDONESIA DAN

ARAB SAUDI TAHUN 2014 Setelah mengetahui tentang latar belakang kondisi ketenagakerjaan serta motivasi kerjasama ketenagakerjaan antara Indonesia dan Arab Saudi, pembahasan kini akan beralih pada peristiwa moratorium hingga penandatanganan MoU tahun 2014 sebagai momen pokok dalam rumusan masalah penelitian. Dalam lingkup besar pembahasan ini, terdapat beberapa variabel diskusi penting yang tidak dapat dilewatkan oleh penulis, yakni tentang definisi Memorandum of Understanding MoU itu sendiri dan sedikit penjelasan tentang moratorium. C.1 Memorandum of Understanding MoU Memorandum of Understanding MoU dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dalam berbagai istilah, antara lain nota kesepakatan, nota kesepahaman, perjanjian kerja sama, perjanjian pendahuluan. Sementara dalam bahasa Inggris dapat berupa ‘letter of intent‟, „letter of agreement‟ maupun ‘statement of agreement‟. MoU di definisikan secara berbeda oleh beberapa suumber. Black’s Law Dictionary mengartikannya, “A written statement detailing the preliminary understanding of parties who plan to enter into a contract or some other agreement; a non committal writing preliminary to a contract. A letter of intent is not meant to be binding and does not hinder the parties from bargaining with a third party. Business people typically mean not to be bound by a letter of intent, and courts ordinarily do not enforce one, but courts occasionally find that a commitment has been made...”. 1 Sementara sebuah jurnal dari Legal Directorate Foreign and Commonwealth Office menggambarkan MoU dalam lingkup internasional sebagai berikut, “An MoU records international commitments, but in a form and with wording which expresses an intention that it is not to be binding as a matter of international law. An MoU is used where it is considered preferable to avoid the formalities of a treaty - for example, where there are detailed provisions which change frequently or the matters dealt with are essentially of a technical or administrative character; in matters of defence or technology where there is a need for such documents to be classified; or where a treaty requires subsidiary documents to fill out the details.” FCO, 2014, hal. 1 1 Hukumonline, 2013, “Perbedaan Antara Perjanjian dengan MoU”, diakses melalui http:www.hukumonline.comklinikdetaillt514689463d4b2perbedaan-antara-perjanjian-dengan-mou, pada 12 April 2016, pukul 09:00 [2] Jadi secara umum, Nota Kesepahaman atau MoU merupakan kesepakatan di antara pihak untuk berunding dalam rangka membuat perjanjian di kemudian hari, apabila hal-hal yang belum pasti telah dapat dipastikan. Hal yang terdapat di dalam naskah MoU adalah pernyataan bahwa kedua belah pihak secara prinsip sudah memahami dan akan melakukan sesuatu untuk tujuan tertentu sesuai isi dari MoU tersebut. Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa MoU melingkupi hal-hal sebagai berikut: 1 MoU merupakan pendahuluan perikatan landasan kepastian; 2 Content isi materi dalam MoU hanya memuat hal-hal yang pokok-pokok saja; 3 MoU memilki tenggang waktu, dengan kata lain bersifat sementara; 4 MoU pada kebiasaannya tidak dibuat secara formal serta tidak ada kewajiban yang memaksa untuk dibuatnya kontrak atau perjanjian terperinci; dan 5 Karena masih terdapatnya keraguan dari salah satu pihak kepada pihak lainnya, MoU dibuat untuk menghindari kesulitan dalam pembatalan. MoU sebenarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional di Indonesia, terutama dalam hukum kontrak di Indonesia. Tetapi dewasa ini sering dipraktikkan dengan meniru mengadopsi apa yang dipraktikkan secara internasional. Apabila kita membaca Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dapat dikatakan pula bahwa undang-undang tersebut merupakan dasar dari Nota Kesepahaman atau MoU. Secara umum, tujuan pembuatan Nota Kesepahaman atau MoU adalah untuk mengadakan hubungan hukum, sebagaimana satu surat yang dibuat oleh satu pihak yang isinya memuat kehendak yang ditujukan kepada pihak lain, dan berdasarkan surat tersebut pihak yang lain diharapkan untuk membuat letter of intent yang sejenis untuk menunjukkan niatnya. Hal ini juga senada dengan gambaran tujuan MoU menurut sebuah artikel milik Iowa State University, “The purpose of establishing a process for resolving issues involving the Memorandum of Understanding MOU is to provide a method of open communication and early resolution of issues. Parties should have equal interest in reaching resolution in a timely and efficient manner. Sometimes the current issue is not necessarily the real source of the issue. Designating a system of standardized process for resolution tends to create more consistency and objectivity.” ISU [3] Mempertimbangkan tujuan tersebut, penulis melihat bahwa pelaksanaan MoU sebagai pilihan resolusi konflik ketenagakerjaan antara Indonesia dan Arab Saudi sesungguhnya memang bukan semata-mata ditujukan hanya sebagai upaya penyelesaian berbagai kasus kekerasan yang kerap terjadi, namun lebih besar lagi, adalah sebagai awalan untuk menciptakan satu sistem perlindungan yang terstandar dan menyeluruh sehingga dapat dijadikan pedoman dan jaminan baik bagi para TKI informal maupun Majikan di Arab Saudi. Karena isi dari MoU tersebut sesungguhnya bukan hanya melulu membahas tentang perlindungan bagi TKI tetapi juga jaminan profesionalitas dan keamanan bagi para majikan yang selama ini juga sering disebut-sebut menjadi keluhan. Penyelenggaraan MoU sesungguhnya merupakan bagian dari langkah negosiasi baik dalam bidang ekonomi maupun politik. Negosiasi sendiri merupakan suatu proses atau upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain. Dalam tahap awal MoU, masing-masing pihak akan mulai menentukan apa yang mereka inginkan atau butuhkan dari pihak lawan, apa yang dapat mereka tawarkan kepada pihak lawan, apa yang bersedia mereka negosiasikan dengan pihak lawan, serta apa alasan mereka bersedia melakukan MoU. Setelah draft awal ditulis, perwakilan masing-masing pihak akan bertemu secara langsung untuk bernegosiasi. Dalam negosiasi inilah proses tawar menawar mengenai poin-poin interest mereka sebelumnya dilangsungkan. Setelah itu, tahapan berikutnya adalah pembuatan MoU. Dalam MoU, terdapat pencatatan atau pendokumentasian hasil negosiasi awal, penetapan mekanisme penyelesaian sengketa selanjutnya, serta hal-hal prosedural seperti durasi MoU, cakupan MoU, dan bagaimana MoU tersebut diakhiri. Setelah mencapai kesepakatan pada detail-detail MoU tersebut, maka kedua belah pihak akan menandatangani MoU. Tetapi bagaiamanapun, terkadang ada sejumlah perjanjian yang diberi nama MoU. Artinya, penamaan dari dokumen tersebut tidak sesuai dengan isi dari dokumen yang ada. Sehingga MoU tersebut memiliki kekuatan hukum mengikat sebagaimana perjanjian. Perjanjian itu sendiri bermakna, sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPer, “suatu peristiwa di mana salah satu pihak subjek hukum berjanji kepada pihak lainnya atau yang mana kedua belah pihak yang dimaksud saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.” 2 Menurut Pasal 1320 KUHPer, suatu perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat bagi para pihak dengan 2 Ibid., [4] syarat; a Adanya kesepakatan kedua belah pihak , kata ‘sepakat’ tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri dan pihak lawan dalam persetujuan; b Cakap untuk membuat perikatan , para pihak mampu membuat suatu perjanjian, dalam hal ini tidak tekualifikasi sebagai pihak yang tidak cakap hukum untuk membuat suatu perikatan; c Mencakup suatu hal tertentu, Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan; d Suatu sebab atau causa yang halal, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum. Untuk membedakan apakah ‘komitmen tertulis’ tersebut murni merupakan MoU ataukah perjanjian, dapat dilihat dari konten atau isi di dalam naskah yang ada. Jika konten atau isi tersebut memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana disebut dalam Pasal 1320 KUHPer, dan bukan sebagai pendahuluan sebelum membuat perjanjian, maka kedudukan danatau keberlakuan MoU bagi para pihak dapat disamakan dengan sebuah undang-undang yang mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Tentu saja pengikat itu hanya menyangkut dan sebatas pada hal-hal pokok yang termuat dalam MoU. Pembeda lain adalah, pelanggaran terhadap klausul atau isi dalam MoU biasanya hanya akan berkonsekuensi moral, sementara melanggar isi dalam perjanjian dapat berimplikasi hukum, seperti perjanjian kontrak kerja misalnya, dapat berimplikasi pada pinalti bagi pelanggarnya. Berdasarkan hal tersebut, penulis melihat bahwa perjanjian MoU tahun 2014 yang dilakukan oleh Arab Saudi dan Indonesia, meskipun tetap tidak mengikat secara hukum dan berperan sebagai bentuk ‘komitmen’ awal bagi penyelenggaraan mekanisme perlindungan buruh migran selanjutnya, namun memiliki isi yang nampak mengikat kedua belah pihak. Di dalam naskah MoU tersebut, muncul kata seperti ‘wajib’ dan ‘bertanggung jawab’ selama beberapa kali. Artinya, jika kedua belah pihak telah memutuskan untuk menyetujui semua klausul yang ada di dalam naskah dan dengan sadar ‘mengikatkan diri’ dalam persetujuan tersebut, maka, menurut penulis, kekuatan hukum MoU 2014 itu telah setingkat lebih ‘tinggi’ dari sekedar MoU biasa, namun juga belu m termasuk ke dalam kategori ‘perjanjian’ yang dapat berimplikasi hukum secara signifikan. Penulis justru melihat semangat MoU sebagai komitmen pendahuluan sebelum perjanjian terdapat dalam letter of intent yang dihasilkan pada Senior Official Meeting [5] SOM sebelumnya yakni pada tahun 2011 pasca pemberlakuan semi moratorium, dimana kemudian kedua negara memiliki ‘niatan’ yang dituangkan secara tertulis untuk melakukan suatu proses negosiasi dan kajian mendalam menuju suatu perjanjian pembenahan mekanisme dan perlindungan TKI di masa depan. C.2 Sekilas Tentang Moratorium Salah satu momen kunci dalan kasus konflik ketenagakerjaan kali ini adalah pada saat Indonesia memberlakukan moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi pada tahun 2011. Karena itu, penulis merasa perlu untuk sedikit membahas tentang apa itu moratorium ?. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘moratorium’ dari bahasa latin, morari yang berarti ‘penundaan’ berarti penangguhan pembayaran utang didasarkan pada Undang-Undang agar dapat mencegah krisis keuangan yang semakin hebat. 3 Sementara Merriam Webster mengartikan ‘moratorium’ sebagai “a time when a particular activity is not allowed. ” 4 Terkait dengan ranah penelitian kali ini, yakni hak asasi manusia, Rita De Brito Giao dalam thesisnya yang berjudul New Governance Mechanisms and International Human Rights Law: Moratoriums in Law and Practice , mendefinisikan ‘moratorium’ dalam Hukum Internasional Hak Asasi Manusia IHRLInternational Human Rights Law sebagai berikut, “... the temporary suspension of a spesific domestic law or regulation, which results from a varying degree of external influence of the international human rights politics or practice. Their purpose is to explore alternatives to the existing legal framework, with a view to proceeding with its definite modification in the long- term.” Giao, 2014 Moratorium, sebagai penundaan atau penangguhan suatu kegiatan, banyak digunakan sebagai jalan tengah antara IYA dan TIDAK dalam arena hukum internasional, yang kemudian merefleksikan nilai kompromi dan kerjasama dalam hubungan internasional Yin, 2012. Secara teoritis, Giao melihat ada 2 alasan utama mengapa moratorium dirancang dan diberlakukan, pertama adalah untuk ‘mempertahankan status quo’ to maintain the status quo dan yang kedua adalah untuk ‘memodifikasi status quo’ to modify the status quo . Moratorium yang diaplikasikan untuk mempertahankan status quo, atau yang Yin 3 KBBI, “moratorium”, diakses dari http:kbbi.web.idmoratorium, pada 20 April, pukul 19:34 4 Merriam Webster, “Definition of Moratorium”, diakses dari http:www.merriam- webster.comdictionarymoratorium, pada 20 April, pukul 19:38 [6] sebut memiliki freezing effect 5 , selain ditujukan untuk pelestarian contoh, dalam sektor keamanan nasional atau sektor lingkungan juga diberlakukan karena dirasa merupakan pilihan paling tepat bagi pihak-pihak terkait saat itu. 6 Namun selain itu, pemberlakuan moratorium untuk mempertahankan status quo nampaknya juga justru bisa digunakan sebagai ‘kamuflase’ untuk ‘escape’ dari perubahan. 7 Sebaliknya, jika tujuan moratorium pertama adalah ‘keengganan’ untuk merubah status quo, maka tujuan moratorium selanjutnya, yang kebanyakan diaplikasikan dalam konteks internasional, justru menitik beratkan upayanya pada ‘perubahan’ status quo. Fungsi moratorium yang di istilahkan Giao sebagai transformative mechanism ini sejatinya bukan bertujuan untuk memulai kembali kinerja operasional sebelumnya atau menerapkan kembali sebuah peraturan meskipun sifat dasar moratorium mencakup hal-hal tersebut, namun, bahkan jika pemberlakuan moratorium itu bertujuan untuk menawarkan solusi alternatif jangka- pendek bagi sebuah masalah, tujuan jangka-panjang sesungguhnya adalah untuk ‘memodifikasi’ status quo Giao, 2014, hal. 21. Sementara secara kontekstual, yakni terkait isu-isu penyimpangan HAM, Giao melihat bahwa moratorium dipilih sebagai solusi karena terdapatnya perbedaan dan atau benturan nilai-nilai sosial budaya antara negara yang bekerjasama sehingga mengakibatkan terjadinya sejumlah aksi pelukaan HAM seperti kekerasan dan penganiayaan yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Giao mengungkapkan, “They [moratoriums] offer a middle-ground solution to a “persistent lack of consensus” on issues where there is a deep clash of culture, morals or values, where no universally agreed standards seem to exist and where the human rights nature of issues is debated”. Giao, 2014 Beralih pada mekanismenya, moratorium sesungguhnya hanya dapat dimulai dan diakhiri ketika telah diakui secara sah oleh badan-badan otoritatif yang berwenang Yin, 2012, hal. 327. Ada beberapa cara untuk melakukan meratorium; pertama, perjanjian Agreement, dimana negara bisa menerapkan moratorium yang mengikat secara hukum melalui perjanjian bilateral maupun multilateral; kedua, deklarasi atau resolusi internasional international resolutions or declarations, dimana moratorium diberlakukan melalui deklarasi atau resolusi organisasi internasional maupun pertemuan 5 “One of the direct effects due to the application of moratoria in internasional law is that the status quo is frozen. To freeze the status quo means to maintain the current status, and implies no changes to the current status of interests and claims.” Yin, 2012, hal. 334 6 Yin mengungkapkan, “...if the cost of likely changes to the status quo is too high for most parties, to freeze the status quo might be a good option for all”. Yin, 2012, hal. 335 7 Giao menyebutkan, “...also in the sense that there is a high likelihood that in the long run the suspension will be lifted, the activity resumed and the law or regulation will not be revoked ” Giao, 2014, hal. 21 [7] internasional; dan ketiga, tindakan sepihak unilateral act, dimana moratorium terjadi melalui tindakan sepihak, yang berdasarkan tujuannya dapat dibagi menjadi 2 kategori, yakni komitmen sukarela voluntary commitment dan penundaan sepihak terkait penunaian kewajiban unilateral suspension of discharging obligations 8 . Status hukum moratorium yang dilayangkan oleh Indonesia terhadap Arab Saudi pada tahun 2011 berbentuk Surat Edaran Menteri SE.05MENVI2011 yang kemudian disetujui oleh pemerintah Saudi dengan penutup akses visa dan work permit bagi TKI informal Indonesia, sehingga dapat dikategorikan sebagai ‘bilateral moratorium‟. Sementara ketika diumumkan, Menakertrans Muhaimin menyebut bahwa moratorium ini tanpa batas waktu, jadi penghentiannya akan terjadi hingga munculnya sebuah resolusi atau tatanan hukum baru. C.3 Sejarah Penandatanganan MoU Perlindungan dan Penempatan TKI Tahun 2014 C.3.1 Proses Perekrutan dan Pengiriman TKI Beralih pada pembahasan tentang penandatanganan MoU 2014 Indonesia dan Arab Saudi, berikut ini penulis akan mengawalinya dengan menjabarkan tentang mekanisme perekrutan, pemberangkatan, dan pemulangan TKI secara singkat. Ada dua cara bagi TKI untuk dapat bekerja di luar negeri. Pertama melalui jalur formal yang lazimnya dikelola oleh biro-biro penyalur tenaga kerja dan memiliki izin resmi dari pemerintah, dan kedua melalui jalur ilegal dimana para TKI diselundupkan oleh oknum- oknum tertentu yang mengatasnamakan biro-biro penyalur tenaga kerja. Proses perekrutan TKI diawali dengan dilaksanakannya recruitment agreement antara PPTKIS sebagai pelaksana penempatan TKI di dalam negeri, dengan mitra kerja di luar negeri, baik agency maupun perorangan. Kemudian, proses perekrutan baru bisa dimulai setelah PPTKIS mendapatkan permintaan nyata job order dari mitra-mitra tersebut. Setelah secara resmi memperoleh job order dari mitra kerjanya di luar negeri, PPTKIS selanjutnya harus mengajukan izin kepada Depnaker untuk melakukan serangkaian kegiatan perekrutan, yaitu; penyuluhan, pendaftaran, dan seleksi. Daftar Calon TKI CTKI yang lulus tahap seleksi lalu akan diserahkan oleh PPTKIS kepada Depnaker setempat, untuk dibuatkan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri KTKLN guna 8 “...a unilaterally declared moratorium relates to the fulfilment or settlement of a pending obligation”. Yin, 2012, hal. 322 [8] persyaratan pembuatan paspor dan dokumentasi Depnaker. Setelah lulus seleksi pula, para CTKI ini harus menandatangani perjanjian penempatan TKI dengan PPTKIS diketahui oleh instansi KabupatenKota, lalu kemudian ditampung untuk diberi pelatihan kerja, pemeriksaan kesehatan dan psikologi, serta pengurusan dokumen oleh PPTKIS Widodo, 2008, hal. 22. Setelah mengikuti program pelatihan, para CTKI kemudian akan diajukan oleh PPTKIS ke Depnaker untuk mengikuti uji keterampilan dan memperoleh sertifikat kompetensi. Setelah semua persyaratan administratif terpenuhi paspor, visa, perjanjian kerja, tiket perjalanan, surat bebas fiskal, PPTKIS kemudian akan mengantar CTKI ke pelabuhan pemberangkatan, namun sebelumnya, para CTKI harus sekali lagi mengikuti Pembekalan Akhir Pemberangkatan PAP di Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI BP3TKI selama 20 jam pelajaran, untuk diberi bekal mental, spiritual, dan informasi lebih dalam tentang negara tujuan tempat mereka akan bekerja Widodo, 2008, hal. 23. Setelah sampai negara tujuan, TKI akan dijemput oleh perwakilan PPTKIS atau mitra kerja PPTKIS. Pada fase ini, TKI wajib untuk melaporkan diri ke kantor perwakilan RI seperti Kedutaan Besar Kedubes atau Konsulat Jenderal Konjen agar keberadaannya diketahui dan terdaftar sehingga lebih mudah untuk dipantau dan dilindungi. Setelah itu, TKI biasanya akan diantar kerumah pengguna jasa atau dijemput oleh pengguna jasa. Kepulangan TKI dapat disebabkan karena berbagai hal, baik prosedural habis masa kontrak maupun praktikal musibah dan karena bermasalah. Jika kepulangan TKI disebabkan karena kontrak kerja yang telah habis, maka proses dan fasilitasi kepulangannya menjadi tanggung jawab PPTKIS yang merekrut. Tetapi jika kepulangan TKI adalah karena faktor pratikal seperti pemutusan kontrak kerja sepihak, kecelakaan kerja, deportasi, atau meninggal dunia, maka tanggung jawab pemulangan ada di tangan pemerintah baik BNP2TKI, pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah asal. Sementara, jika mekanisme resmi, meskipun terlihat panjang dan berbelit, terkesan lebih jelas dan terjamin, berbeda halnya dengan mekanisme perekrutan tidak resmi. Metode perekrutan ini biasanya dilakukan oleh oknum yang disebut calo dengan beberapa metode. Niatnya sendiri, penulis mengkategorikannya menjadi 2, yakni murni untuk merekrut TKI dan atau sebagai kedok sindikat perdagangan manusia. [9] Awal mekanisme perekrutan CTKI ilegal ini sesungguhnya serupa dengan jalur resmi, yakni adanya permintaan nyata atau job order dari majikan atau sponsor di luar negeri. Jadi, si calo memang terlebih dahulu telah memiliki koneksi atau mitra di luar negeri, yang penulis yakin mayoritas juga merupakan oknum swasta ilegal. Kemudian setelah mendapatkan job order dari mitranya, calo-calo ini akan mendatangi desa-desa untuk mencari tenaga kerja yang berminat bekerja di luar negeri dengan cara dan syarat yang mudah dan cepat. Bahkan tak jarang para calo akan membujuk CTKI ilegal dengan sejumlah uang agar merasa tertarik untuk bekerja di luar negeri. Sebagian agen ilegal memang menyediakan pelatihan bagi CTKI, namun tentu kompetensi yang diberikan seperti ketrampilan kerja, pengetahuan budaya, serta kemampuan bahasa masih sangat jauh dari standar yang seharusnya. Proses keberangkatannya pun sering sangat tidak layak, ada yang menggunakan kapal nelayan kecil yang melebihi batas quota penumpang, dan ada yang menggunakan truk besar atau kontainer seperti layaknya mengangkut hewan ternak. Setelah fase itu, apapun bisa terjadi pada para CTKI ilegal ini. Beruntung bagi mereka yang kebetulan ditangani oleh agen ilegal yang baik dan mendapat majikan baik pula di negara tujuan. Namun tak semuanya demikian, ada agen atau calo yang sedari awal memang merupakan sindikat perdagangan manusia yang kemudian akan membawa para CTKI ini untuk dijual dan dipekerjakan di tempat lain sebagai pekerja sex atau lainnya. Atau, meskipun ‘perdagangan’ tersebut mungkin tidak dilakukan oleh calo dari Indonesia, hampir pasti akan dilakukan oleh mitra swasta ilegalnya yang ada di luar negeri. Invisibilitas kondisi, posisi, dan status CTKI inilah yang kemudian semakin mempersulit upaya perlindungan dari pemerintah dan semakin membuat keselamatan mereka terancam. Yang tak kalah ironis, meskipun berbiaya mahal dan cenderung tidak jelas, iming-iming kemudahan dan cepatnya proses keberangkatan ke luar negeri ternyata mengalahkan momok seram tentang berbagai bahaya yang menanti di ujung jalur perekrutan ilegal, terbukti dengan tingginya jumlah TKI ilegal yang menghuni pasar kerja informal luar negeri dari tahun ke tahun, melebihi jumlah TKI legal. Yang menarik, oknum pemerintah pun ternyata tak jarang ikut bermain dalam bisnis perekrutan ilegal ini. Erwan Baharudin dalam jurnalnya tentang mekanisme perekrutan TKI memaparkan tiga penyelewengan tersebut, “[1] Dalam perekrutan TKI. Pengerah Jasa Tenaga Kerja PJTKI umumnya tidak menggunakan petugas resmi [10] perusahaan melainkan melalui calo, dimana calo tersebut memanfaatkan peluang untuk mencari kepentingan pribadi. Hal ini terlihat dari beragamnya jumlah biaya yang mereka pungut, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah....[2] Pemalsuan dokumen. Biasanya yang dipalsukan yaitu usia tenaga kerja, hal ini kerap terjadi baik melalui KTP atau paspor. Pelakunya disini selain calo, juga aparat negara yaitu pembuat KTP di kantor desakelurahan dan pihak imigrasi yang mengeluarkan paspor....[3] Ditempat penampungan. Disini mereka diperlakukan seadanya, bahkan menjadi objek pemerasan dan pelecehan seksual oleh petugas keamanan maupun pegawai PJTKI.” Baharudin, 2007, hal. 171 C.3.2 Berbagai Permasalahan TKI di Arab Saudi Belum sempurnanya regulasi perlindungan TKILN di dalam negeri, cacatnya praktik rekrutmen legal dan membludaknya jalur rekrutmen ilegal yang jelas berbahaya namun tetap populer, ditambah dengan berbagai hambatan sosial politik dan hukum di Arab Saudi, telah menghasilkan segudang permasalahan yang memposisikan para TKI, terutama sektor informal, sebagai korban utama. Tingginya angka TKI ilegal yang menimbulkan masalah dan kesulitan bagi berbagai pihak telah memaksa pemerintah kedua negara untuk melakukan langkah deportasi dan pemulangan TKI ke tanah air. Data dari BNP2TKI di bawah ini menunjukkan angka deportasi TKI yang fantastis sejak beberapa tahun terakhir. Angka ini tentunya hanyalah manifestasi dari teridentifikasinya kasus dan keberadaan TKI ilegal yang ada di negara receiver terbesar itu, yang jumlah sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi. Tabel 12. Data Deportasi TKI Tahun 2010 Sampai 2013 No Debarkasi 2010 2011 2012 2013 1. Selapajang Tangerang 60.339 44.432 31.528 19.741 2. Tanjung Pinang 22.244 15.850 7.864 17.748 3. Nunukan 4.215 3.801 3.176 2.867 4. Entikong 1.695 714 2.259 3.739 Total 88.493 64.797 44.827 44.095 Sumber data: Pusat Penelitian Pengembangan dan Informasi PUSLITFO BNP2TKI BNP2TKI, 2013, hal. 26 Tak hanya itu, jalur perekrutan ilegal juga telah menyebabkan munculnya beribu permasalahan dan penderitaan bagi TKI. Rentannya status hukum dan jaminan perlindungan serta rendahnya kompetensi yang dimiliki para TKI ilegal ini mengakibatkan mereka kerap menjadi sasaran empuk ekspolitasi dan penganiayaan para majikan dan sponsor. Data pengaduan di bawah ini menunjukkan betapa rentan dan [11] ramainya penganiayaan terhadap TKI informal terutama selama masa kerja selama penempatan. Tabel 13. Pelayanan Pengaduan TKI di Crisis Center Tahun 2011 Sampai 2013 Kasus Pengaduan 2011 2012 2013 Total Pra Penempatan 176 228 206 610 Masa Penempatan 4.248 4.912 3.959 13.119 Purna Penempatan 223 286 267 776 Total 4.647 5.426 4.432 14.505 Sumber data: Pusat Penelitian Pengembangan dan Informasi PUSLITFO BNP2TKI BNP2TKI, 2013, hal. 47 Dampaknya, berbagai permasalahan baru pun dibawa pulang ke tanah air. Tabel berikut ini membuktikan bahwa kepulangan TKI bermasalah ternyata tidak hanya disebabkan karena keterbatasan profesionalnya, namun juga karena dihamili dan atau dianiaya sedemikian rupa sehingga menyebabkan mereka harus dipulangkan karena tidak mampu bekerja lagi. Tabel 14. Rekapitulasi Data Kedatangan TKI di BPK TKI Selapanjang Tangerang. Berdasarkan Jenis Masalah Tahun 2010 – 2013 Negara Arab Saudi No Jenis Masalah 2010 2011 2012 2013 1 PHK Sepihak 10.850 4.123 1.679 954 2 Sakit Akibat Kerja 8001 3.681 1.573 342 3 Majikan Bermasalah 2.192 3.996 2.175 586 4 Penganiayaan 2.342 1.031 531 152 5 Gaji Tidak Dibayar 1.607 1.031 1.044 378 6 Pelecehan Seksual 1.978 1,282 537 110 7 Sakit Bawaan 974 1.041 60 25 8 Dokumen Tidak Lengkap 1.063 769 240 688 9 Kecelakaan Kerja 526 354 136 33 10 Pekerjaan Tidak Sesuai PK 393 217 176 123 11 TKI Hamil 246 255 108 35 12 Tidak Mampu Bekerja 387 66 44 19 13 Majikan Meninggal 219 182 95 15 14 Membawa Anak 95 296 143 104 15 Komunikasi Tidak Lancar 212 80 16 5 16 Masalah Lainnya 591 573 383 200 Total 31.676 18.977 8.940 3.769 Sumber data: Pusat Penelitian Pengembangan dan Informasi PUSLITFO BNP2TKI BNP2TKI, 2013, hal. 31 Selain itu, carut-marut manajemen dan perlindungan TKI di kedua negara pun telah menyebabkan tingginya kasus kematian TKI di Saudi. [12] Tabel 15. Data TKI Meninggal di Luar Negeri Kawasan Timur Tengah Negara Penempatan Tahun 2010 2011 2012 2013 Yordania 5 5 13 5 Uni Emirat Arab 2 5 20 1 Saudi Arabia 30 70 110 51 Suriah 5 5 13 2 Kuwait 12 6 5 5 Qatar 7 3 12 3 Oman 4 1 5 5 Bahrain 1 4 2 5 Muscat 3 2 Irak 1 Mesir 4 1 3 1 Jumlah 73 100 183 78 Sumber data: Pusat Penelitian Pengembangan dan Informasi PUSLITFO BNP2TKI BNP2TKI, 2013, hal. 57 Dari data di atas, jelas terlihat bahwa ironisnya, Arab Saudi sebagai negara destinasi TKI terpopuler di Timur Tengah, justru juga menjadi negara dengan kasus kematian TKI terbesar diantara negara destinasi lainnya. Kasus kematian ini sesungguhnya disebabkan karena berbagai hal, seperti sakit, kecelakaan kerja murni kecelakaan atau karena disiksa oleh majikan, korban kriminalitas, maupun karena terlibat kasus hukum yang menyebabkannya harus divonis hukuman mati oleh pengadilan Saudi. Tetapi apapun alasan tersebut, hal ini menunjukkan betapa lemahnya mekanisme perlindungan dan jaminan hukum bagi tenaga kerja migran di negara itu. Kondisi menjadi semakin runyam manakala kasus-kasus kekerasan dan hukuman mati tersebut diekspos tak henti-hentinya oleh berbagai media. Sebagian orang mungkin masih ingat dengan kisah memilukan seorang TKI bernama Kikim Komalasari yang disiram air panas oleh majikannya hingga meninggal dunia dan jasadnya dibuang di pinggir jalan, di tahun 2010. Beruntung kasus itu berhasil terungkap setelah 5 tahun berselang dan menjatuhkan hukuman pancung bagi majikannya. 9 Selain itu, publik dibuat murka dengan berita vonis mati Satinah pada sekitaran 2009- 2010 lalu, yang kemudian memunculkan gerakan ‘save Satinah’ untuk membantu membayar denda pembebasan bagi TKI korban fitnah itu. Kemudian, kasus penganiayaan kejam seorang majikan terhadap TKI bernama Sumiati pada akhir 2010 9 Detiknews, 2015, “Bunuh TKW Kikim Komalasari, Warga Saudi Dipancung”, diakses melalui http:news.detik.comberita2895089bunuh-tkw-kikim-komalasari-warga-saudi-dipancung, pada 25 April 2016, pukul 23:40 [13] pun sempat membuat hubungan Indonesia-Saudi menjadi tegang, pasalnya meskipun mengetahui bahwa luka fisik dan psikologis yang di derita Sumiati sudah sedemikian parah, pengadilan Saudi hanya memenjarakan majikan Sumiati selama 3 tahun yang kemudian dibebaskan dengan jaminan setelah sekitar 2 bulan dipenjara. 10 Dengan kerapnya terjadi kasus seperti itu, publik pun kemudian mempertanyakan peran dan otoritas pemerintah manakala tidak melihat adanya suatu tindakan nyata yang dilakukan untuk mengatasi segudang permasalahan dan penderitaan TKI di Arab Saudi. C.3.3 Upaya Diplomatik Indonesia Terhadap Arab Saudi Jumlah kasus yang semakin tinggi dari tahun ke tahun ditambah dengan bergulirnya protes dan desakan dari berbagai pihak, kemudian mendorong pemerintah untuk terus berupaya melakukan pendekatan diplomatik dengan pemerintah Arab Saudi. Upaya diplomatik pembenahan dan peningkatan perlindungan TKI di Saudi ini sesungguhnya telah dimulai sejak beberapa tahun silam. Pada tanggal 14 September 2001, Menakertrans RI Jacob Nuwa Wea dan Dubes Arab Saudi Abdullah Abdul Rahman Alim menandatangani MoM Minute of Meeting yang diantaranya menyatakan bahwa kedua negara akan meningkatkan lapangan kerja bagi TKI, peningkatan mutu TKI dan pemberian perlindungan bagi TKI sesuai dengan peraturan yang berlaku di Kerajaan Arab Saudi dan RI. 11 Kemudian pada tahun 2003, menyadari besarnya prospek sekaligus masalah yang muncul, pemerintah kedua negara yang diwakili oleh Wapres Hamzah Haz dan Menteri Perburuhan Saudi Ali Bin Ibrahim Al Namlah sepakat untuk mulai mengambil peran dalam proses arus migrasi tenaga kerja tersebut dengan mengubah pola arus lama tidak melibatkan campur tangan pemerintah menjadi pola baru dimana kini mekanisme migrasinya akan didasarkan pada payung kerjasama antara kedua negara. Dalam pola baru ini pula, disepakati penyeleksian majikan dengan lebih ketat sehingga diketahui detil kondisi dan identitas majikan, agar kasus penganiayaan bisa diminimalisir. Di tahun yang sama, kedua negara pun setuju untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme TKI dengan menyediakan tempat penampungan dan pelatihan baik di Indonesia sebelum diberangkatkan maupun di Saudi ketika bekerja agar standar kompetensi para tenaga kerja sesuai dengan yang dibutuhkan. 10 BBC, 2011, “Majikan Sumiati Bebas Dengan Jaminan”, diakses melalui http:www.bbc.comindonesiadunia201103110316_sumiatiemployerfreeonbail.shtml, pada 25 April, pukul 17:21 11 G atra, 2001, “RI dan Arab Saudi Masuki Sejarah Baru Perlindungan TKI”, diakses melalui http:arsip.gatra.com2001-09-15artikel.php?id=10425, pada 11 April 2016, pukul 21:14 [14] Sementara itu, di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono jilid I, tepatnya tahun 2006, Presiden SBY pun melakukan pertemuan dengan Raja Abdul Aziz untuk membahas tentang peningkatan perlindungan bagi TKI di Saudi. Selanjutnya, Menakertrans Erman Suparno menegaskan bahwa agar segala permasalahan TKI di luar negeri dapat diselesaikan dengan baik, maka diperlukan adanya “payung hukum”, dan untuk itu pemerintah Indonesia mentargetkan penandatanganan nota kesepahaman MoU dengan 10 negara penempatan TKI, termasuk Arab Saudi Geerards, 2008, hal. 368. Namun proses menuju MoU dengan Saudi ini nampaknya berjalan alot sehingga belum terjadi kesepakatan apapun. Pertemuan Menteri yang dilakukan oleh Menaker kedua negara pada tahun 2010 pun, meski kemudian menyepakati beberapa poin, namun nampaknya tidak terlalu berdampak besar. Seiring waktu berjalan, berbagai langkah diplomatik yang telah diupayakan Indonesia nampaknya dirasa tetap jauh dari progres berarti. Sementara itu, Kekerasan semakin kerap terjadi dan pihak Saudi masih terkesan sulit untuk diajak berunding. Akhirnya pada awal 2011, pemerintah Indonesia melalui Menakertrans Muhaimin Iskandar pemerintahan S BY jilid II mulai menetapkan “semi moratorium” pengiriman TKI ke Arab Saudi. Semi moratorium ini dilakukan dalam bentuk pengetatan persyaratan kerja meliputi; pembenahan proses permintaan tenaga kerja, rekrutmen calon TKI, keterampilan kerja dan pelatihan bahasa, uji kesehatan, pembekalan, pemberian jaminan asuransi, pemberangkatan dan perlindungan TKI selama bekerja di luar negeri. 12 Dampaknya, terjadi penurunan apply job order dari 1000 menjadi 5 permintaan per hari selama Januari – Juni 2011, yang kemudian menyebabkan terjadinya kelangkaan TKI di Arab Saudi. Dan hasilnya, Muhaimin mengatakan, “pemerintah Arab Saudi yang selama 40 tahun tidak pernah mau berunding untuk perlindungan TKI, akhirnya bersedia. Ada 2 pertemuan penting tingkat menteri yang menghasilkan penandatangan nota awal kesepahaman menuju MoU oleh Menteri Perburuhan Arab Saudi dan Kepala BNP2TKI pada akhir Mei lalu. ” 13 Namun upaya semi moratorium ini bukan tanpa cacat, karena salah satu dampak negatif dari 12 Detik.c om, 2011, “RI Berlakukan Semi Moratorium TKI ke Arab Saudi Sejak Awal 2011”, diakses melalui http:news.detik.comberita1666388ri-berlakukan-semi-moratorium-tki-ke-arab-saudi-sejak-awal-2011, pada 26 April 2016, pukul 19:23 13 Ibid., [15] kelangkaan TKI tersebut adalah meningkatnya TKI overstayer yang statusnya berubah menjadi TKI ilegal. 14 Tabel 16. Langkah Negosiasi Indonesia-Arab Saudi Menuju MoU 2014 Waktu Langkah Negosiasi Keterangan 24 September 2001, di Jakarta Minutes of Meeting MoM Langkah negosiasi ini dilakukan setelah muncul polemik menyusul surat edaran yang diterbitkan oleh KBRI di Riyadh dan KJRI di Jeddah. Didorong oleh banyaknya kasus kekerasan yang menimpa TKI di Saudi, pemerintah akhirnya melayangkan surat edaran yang meminta adanya identifikasi majikan dan keluarganya berikut alamat dan denah rumahnya. Namun hal ini ternyata membuat para pengguna jasa majikan merasa tersinggung sehingga kemudian mendesak pemerintah Saudi untuk bertindak. Walhasil, terjadilah pertemuan MoM yang selain menghasilkan penghapusan surat edaran tersebut, menyepakati beberapa klausul tentang peningkatan perlindungan dan kualitas TKI, juga berhasil membentuk tim koordinasi yang terdiri dari kuasa Usaha Kedubes Arab Saudi, Kepala Konsuler, Dirjen Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Depnakertrans dan Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa TKI Apjati untuk bersidang setiap bulan dengan agenda membicarakan persoalan-persoalan yang timbul dari penempatan TKI di Saudi. 26 April 2006, di Arab Saudi Pertemuan Presiden Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kunjungannya ke Arab Saudi melakukan pertemuan dengan Raja Abdullah bin Abdul Aziz dan sepakat untuk meningkatkan perlindungan dan memberikan hak- hak bagi TKI yang bekerja di sana. 7 Desember 2010, di Arab Saudi Pertemuan Menteri dan Senior Officer Meeting SOM tahap 1 Manakertrans Muhaimin Iskandar mengadakan pertemuan dengan Menteri Tenaga Kerja Arab Saudi Adiel bin Muhammad Fakieh dan Wakil Menteri Dalam Negeri Arab Saudi Ahmad Muhammad Al- Salim, di Arab Saudi guna membahas tentang urgensi perancangan sistem perlindungan TKI di Saudi menyusul terjadinya kasus hukuman mati mengenaskan terhadap Kikim Komalasari dan kasus Sumiati. Pertemuan ini kemudian menghasilkan inisiasi forum khusus setingkat pejabat senior SOM dan komitmen optimalisasi Join Task Force satgas bersama yang terdiri dari perwakilan pemerintah RI di Arab Saudi dan Kementerian terkait di Arab Saudi yang melakukan pertemuan rutin perbulan. Mei 2011, di Jeddah Senior Officer Meeting SOM tahap 2 Pertemuan Tingkat Pejabat Tinggi SOM ini dihadiri oleh ketua delegasi dari pemerintah RI yakni kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat dan Ketua delegasi Arab Saudi yakni Menaker Adiel Muhammad Fakieh. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan pembahasan Nota Kesepahaman MoU terkait penempatan dan Perlindungan TKI di 14 Pikiran Rakyat, 2011, “Rombongan Kedua TKI Terlantar Tiba di Jakarta”, diakses melalui http:www.pikiran- rakyat.comserial-kontenpemulangan-tki-jembatan-khandara-jeddah, pada 27 April 2016, pukul 11:21 [16] Waktu Langkah Negosiasi Keterangan Arab Saudi. Adanya kesepakatan pembahasan MoU ini dituangkan melalui penandatanganan Statement of intent atau letter of intent pernyataan kehendak bersama oleh delegasi-delegasi yang ada. MoU tersebut direncanakan akan siap ditandatangani selambat- lambatnya enam bulan kedepan, dan selama kurun waktu tersebut, masing-masing pihak akan membentuk tim kerja persiapan MoU, untuk kemudian membentuk Joint Working Group tim kerja gabungan mewakili kedua negara dengan tugas mendetilkan poin- poin yang perlu dimasukkan ke dalam naskah MoU. 6 Maret 2013, di Jeddah Pertemuan Bilateral Setingkat Menteri Rabu petang waktu setempat, Menteri Tenaga Kerja kedua negara, Muhaimin Iskandar dan Adiel Muhammad Fakieh melakukan pertemuan bilateral yang membahas tentang urgensi diadakannya kembali pertemuan Joint Working Committe JWC untuk membahas secara detail isi-isi draft MoU yang telah diajukan kedua belah pihak sebelumnya. Muhaimin dalam keterangan pers yang dikutip sebuah media ini mengatakan bahwa pertemuan bilateral yang telah dilaksanakan menghasilkan komitmen bersama yang cukup baik sehingga pembahasan draft MoU yang sebelumnya terhenti dapat segera dilanjutkan. Ia juga mengatakan bahwa pemerintah kedua negara sepakat untuk memberikan win-win solution bagi kedua belah pihak dalam pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI di Arab Saudi. 19 Februari 2014, di Riyadh Memorand um of Understan ding MoU Penandantanganan MoU yang dilakukan langsung oleh Menaker kedua negara, Muhaimin Iskandar dan Adiel Muhammad Fakieh. MoU ini diyakini sebagai basis perjanjian pertama kerjasama ketenagakerjaan antara Indonesia dan Arab Saudi dan merupakan progres penting bagi realisasi perlindungan TKI di Saudi. Namun sayangnya, terdapat beberapa klausul dalam MoU yang sesungguhnya belum disepakati oleh kedua negara, seperti kejelasan standar gaji dan sistem asuransi. Penandatanganan MoU ini terkesan terburu- buru dan ‘dipaksakan’ kematangannya untuk segera ditandantangani, dan menurut penulis ada beberapa alasan yang melatarbelakangi hal tersebut. Sumber: diolah dari berbagai sumber C.3.4 Peristiwa Moratorium 2011 Zartman dalam bukunya mengatakan, “escalation within a conflict can produce, lead to, or provide an opportunity for negotation under specific circumstances ” Zartman Faure, 2005, hal. 5. Momentum negosiasi dalam konflik kali ini pun dipelopori oleh munculnya serangkaian eskalasi, dan yang menjadi klimaks rupanya adalah ketika dilaksanakannya eksekusi mati seorang TKI bernama Ruyati binti Satubi [17] oleh pengadilan Arab Saudi yang disinyalir tanpa sepengetahuan pihak Indonesia. 15 Ruyati dipancung pada hari Sabtu, 18 Juni 2011 di Mekkah karena membunuh majikan perempuannya yang bernama Khairiyah binti Hamid Mijilid pada Januari 2010 lalu. 16 Sehari setelah pemancungan itu, yakni pada 19 Juni 2011, perwakilan Indonesia di Arab Saudi melayangkan protes keras kepada pemerintah Saudi karena tidak memberitahukan eksekusi hukuman pancung tersebut dan telah melanggar Konvensi Wina tahun 1963. Pihak Indonesia dikatakan mengetahui tentang kasus ini dengan mencari sendiri informasinya dari berbagai pihak. Merasa kedaulatannya tercabik dan atas desakan dari berbagai pihak publik maupun parlemen, Rabu 22 Juni 2011, rapat kabinet terbatas yang dipimpin langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Presiden secara resmi menetapkan moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi yang akan berlaku efektif mulai 1 Agustus 2011, yang kemudian juga merangkum semua level eskalasi yang sempat terjadi selama konflik berlangsung. Seperti yang dilansir viva.co.id, Menakertrans Muhaimin Iskandar, usai rapat tersebut menegaskan bahwa moratorium ini akan berlaku sampai terlaksananya sistem yang memberikan jaminan [bagi TKI di Arab Saudi]. 17 Mengetahui hal tersebut, pemerintah Arab Saudi mencoba mencuri start dengan terlebih dahulu mengumumkan penghentian pemberian izin kerja work permits pada 29 Juni 2011 kepada tenaga kerja domestik dari Indonesia dan Filipina karena ‘syarat rekruitmen yang diajukan oleh kedua negara tersebut’, meskipun saat itu banyak masyarakatnya yang tengah mengeluhkan semakin minimnya supply pembantu migran. Kemudian pada 2 Juli 2011, pemerintah Saudi, sebagaimana dilansir oleh The Economist, menyatakan bahwa “the Kingdom had suspended its visa programme to all would-be domestics who hail from Indonesia or the philippines .” 18 Sementara di kesempatan lain, seorang pejabat pemerintahan Saudi mengatakan, “The [labour] mi nistry‟s decision coinsides with its great efforts to open new channels to bring domestic workers from other sources .” 19 Pemerintah Saudi berencana untuk 15 Edy Haryadi, 2011, “Pemerintah Stop Pemgiriman TKI ke Arab Saudi”, diakses melalui http:fokus.news.viva.co.idnewsread228572-habis-ruyati-terbitlah-morotarium-tki pada 24 April 2016, pukul 21:33 16 BBC, 2011, “Pemancungan Ruyati, RI Protes Arab Saudi”, diakses melalui http:www.bbc.comindonesiaberita_indonesia201106110619_ruyati_saudi.shtml, pada 24 April 2016, pada 20:30 17 OpCit., 18 The Economist, 2011 , “Beheading th Golden Goose”, diakses melalui http:www.economist.comblogsbanyan201107migrant-workers-saudi-arabia, pada 30 April 2016, pukul 12:56 19 BBC, 2 011, “Saudi Arabia Bars Indonesia and Philippines Workers”, diakses melalui http:www.bbc.comnewsworld-asia-pacific-13970689, pada 30 April, pukul 13:52 [18] mempekerjakan lebih banyak domestic workers dari Bangladesh, Ethiopia, India, Nepal, Eritrea, Sri Lanka, Mali dan kenya ILO. Sebelumnya, pihak pemerintah Filipina telah mencoba untuk melakukan negosiasi perihal kenaikan gaji untuk warga negaranya yang bekerja di Saudi, sementara pihak Indonesia, selain perihal gaji, juga menuntut adanya sistem asuransi, prosedur persyaratan kualifikasi majikan yang lebih ketat serta dibentuknya sistem perlindungan TKI di negara tersebut. Berbagai tuntutan ‘berat’ dari dua negara pengirim ini nampaknya semakin saja membuat pemerintah Saudi kebingungan. C.3.5 Dampak Moratorium 2011 Meskipun sebagian kalangan menilai skeptis terhadap kebijakan moratorium ini, namun mayoritas mendukung upaya pemerintah untuk bersikap tegas melawan kesewenang-wenangan Arab Saudi yang selama ini kerap dilakukan kepada TKI dan pemerintah Indonesia. Selain itu, tak sedikit pihak yang kemudian menyimpulkan bahwa tindakan ini sesungguhnya membawa dampak positif bagi Indonesia. Yang pertama, berkaca dari kebijakan semi moratorium yang diberlakukan di awal 2011, moratorium total ini dapat menjadi alat tawar-menawar yang lebih kuat untuk menekan Arab Saudi agar mau melakukan negosiasi perlindungan TKI yang selama ini dirasa sangat alot tersebut. Melihat sejarah rangkaian tindakan diplomatik yang pernah dilaksanakan oleh Indonesia dan Arab Saudi, terbukti bahwa cita-cita Indonesia untuk memiliki perjanjian perlindungan dan penempatan TKI dalam bentuk Memorandum of Understanding MoU dengan Arab Saudi belum menghasilkan progres hingga tercetusnya pemberlakuan semi moratorium pada Januari 2011 lalu. Kebijakan pengetatan job order itu seketika membuat panik pihak Arab Saudi yang mulai merasa kebingungan karena kekurangan supply tenaga kerja migran, khususnya sektor domestik. Saudi pun akhirnya mulai melunak dan bersedia untuk membuka diri dan berunding tentang perancangan nota kesepahaman yang dari dulu dituntut oleh Indonesia itu, pada Mei 2011. Selanjutnya, dengan memberlakukan moratorium total, besarnya ‘daya tekan’ yang diakibatkan diharapkan dapat menjadi ‘penjamin’ konsistens i Saudi untuk terus melanjutkan perundingan dan menjadi ‘akselerator’ bagi tercapainya penandatanganan MoU perlindungan TKI yang komprihensif. 20 20 Kathy Quiano, 2011, “After beheading, Indonesia Stops Sending Morkers to Saudi Arabia”, diakses melalui http:edition.cnn.com2011WORLDasiapcf0622indonesia.migrant.workers, pada 30 April 2016, pukul 11:48 [19] Hal ini sesuai dengan salah satu fungsi dan tujuan moratorium menurut Giao, yaitu sebagai transformative mechanism atau ‘pemodifikasi status quo’, dimana meski pemberlakuan moratorium total ini bertujuan untuk menawarkan solusi alternatif jangka-pendek bagi adanya berbagai kasus kekerasan TKI di Saudi, namun tujuan jangka-panjang sesungguhnya adalah untuk memodifikasi atau dalam hal ini, ‘memperbaiki’ mekanisme dan sistem perlindungan tenaga kerja Indonesia di negara itu. Pada bulan Oktober 2012, ketua BNP2TKI jumhur Hidayat melalui Kompas.com mengatakan, “Sudah ada kemajuan [terkait moratorium Agustus 2011] karena TKI bisa buat kontrak kerja dengan perusahaan. Tidak lagi dengan perorangan seperti dulu.” 21 Di laman yang sama, Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah juga menjelaskan, “penempatan tenaga kerja Indonesia TKI pekerja rumah tangga ke Arab Saudi dihentikan sejak 1 Agustus 2011 dan pemerintah kedua negara masih bernegosiasi.” 22 Selanjutnya, menghentikan pengiriman TKI berarti menghentikan jatuhnya lebih banyak korban baru. Seperti diketahui bersama, pengiriman TKI ke Arab Saudi yang telah dilakukan selama lebih dari 40 tahun berbanding lurus dengan hadirnya berbagai kasus kekerasan dan penyimpangan HAM terhadap TKI di negara itu. Sepanjang Indonesia tetap mengirimkan TKI ke Saudi, maka sepanjang itu pula rentetan kasus memilukan akan terjadi, sampai dilaksanakannya serangkaian tindakan nyata untuk memperbaiki berbagai hambatan dan keterbatasan hukum, sosial, dan politik ketenagakerjaan di kedua negara. Dengan menghentikan pengiriman TKI untuk sementara, meskipun tidak dapat mengurangi jumlah pengaduan dan permasalahan yang terjadi pada TKI yang telah terlanjur berada di Saudi lihat tabel 13, namun setidaknya pemerintah dapat menghentikan rantai kekerasan yang akan terjadi jika pengiriman terus dilakukan. Terkait hal ini, data milik BNP2TKI lihat tabel 14 menunjukkan tentang perubahan jumlah TKI yang pulang dalam keadaan bermasalah dari sebelum pemberlakuan moratorium hingga setelah diberlakukannya moratorium. Pada tabel tersebut, dapat dillihat bahwa jumlah TKI yang pulang dalam keadaan bermasalah dari Arab Saudi terus menurun dari tahun 2010 hingga tahun 2013. 21 Kompas.com, 2012, “Konvensi Acuan Kesepakatan Perlindungan”, diakses melalui http:bola.kompas.comread2012101102581541.Konvensi.Acuan.Kesepakatan.Perlindungan, pada 27 April 2016, pukul 13:47 22 Ibid., [20] Di tahun 2010 sebelum moratorium, jumlah TKI bermasalah yang dilayanani mencapai 31.676, sedangkan tahun 2011 ketika moratorium mulai dijalankan, jumlah TKI bermasalah menurun menjadi 18.977. Sementara itu, di tahun 2012 dan 2013, jumlah TKI yang pulang dalam keadaan bermasalah menurun lagi masing-masing mencapai 8.940 dan 3.769. Hal ini membuktikan bahwa, pertama, kelangkaan supply TKI di Saudi membuat semakin minimalnya jumlah TKI yang pulang ke tanah air dalam keadaan bermasalah. Kedua, kelangkaan tersebut juga kemungkinan membuat para majikan kemudian meminimalkan aksi kekerasan terhadap TKI PLRT mereka karena semakin sulitnya mendapatkan stok pembantu Indonesia baru. Hal yang sama pun nampaknya juga berlaku untuk jumlah TKI yang di deportasi. Pada tabel 13, dapat diketahui bahwa sebelumnya jumlah deportasi TKI di tahun 2011 mencapai 64.797, kemudian setelah diberlakukannya moratorium, jumlah deportasi di tahun 2012 dan 2013 menurun masing-masing menjadi 44.827 dan 44.095. Meskipun data deportasi TKI tersebut mewakili keseluruhan kasus deportasi TKI di berbagai negara penempatan, namun mengingat bahwa Arab Saudi merupakan salah satu destinasi utama TKI, maka pemberlakuan moratorium pada tahun 2011 tentu cukup mempengaruhi hasil akhir data deportasi tersebut. Kemudian, jeda moratorium yang ada serta berkurangnya intensitas permasalahan TKI yang harus ditangani dapat memberikan kesempatan lebih longgar bagi masa introspeksi dan perbaikan mekanisme pengelolaan TKILN. Bukan lagi menjadi rahasia bahwa berbagai kasus kekerasan yang terjadi pada TKI di Arab Saudi, selain karena berbagai keterbatasan di sisi Saudi, juga merupakan imbas dari manajemen pengelolaan TKI yang masih buruk di dalam negeri. Ambil contoh sistem regulasi berupa UU dan atau kebijakan pemerintah lainnya yang ternyata, jika lebih diteliti lagi, hanya berpihak pada keuntungan pemerintah. Substansi yang secara komprihensif membahas tentang keselamatan, keamanan, dan kesejahteraan TKI ditemukan sangat minim penjelasan lebih detil mengenai kontroversi peraturan- peraturan tersebut dapat dilihat pada tabel ‘sumber hukum dan peraturan migrasi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri’ yang dipaparkan di bab 2. Sehingga banyak pihak yang kemudian menilai bahwa pemerintah hanya melihat TKI sebagai komoditas bisnis hampir bukan sebagai manusia yang diperah keringatnya demi keuntungan devisa semata, apapun resikonya. [21] Buruknya substansi dalam regulasi dan peraturan ini juga kemudian dibarengi dengan dan berimbas pada manajemen perekrutan TKI di dalam negeri. Kebijakan yang turun berupa pembentukan BNP2TKI dan PPTKIS misalnya, meskipun tujuannya baik, namun karena menerapkan prosedur yang terlalu rumit dan berbelit, malah justru menjadi pemicu munculnya berbagai praktik penyelewengan dan maraknya TKI ilegal. Hal-hal semacam inilah diantaranya yang diharapkan dapat diperbaiki selama jeda berlakunya moratorium yang dilayangkan Indonesia kepada Arab Saudi. C.3.6 Penandatanganan Memorandum of Understanding MoU Perlindungan dan Penempatan TKI Tahun 2014 Namun selang 3 tahun kemudian, sebelum segala ‘pekerjaan rumah’ yang ada terselesaikan dengan baik, tiba-tiba pemerintah kedua negara melaksanakan penandatanganan Memorandum of Understanding MoU di Riyadh, Arab Saudi, pada 19 Februari 2014, yang kemudian memunculkan polemik bahwa ‘keran’ kerjasama akan segera dibuka kembali melalui penghentian moratorium. Penandatanganan yang dilakukan langsung oleh Menteri Tenaga Kerja kedua negara yaitu Muhaimin Iskandar dan Adiel Muhammad Fakieh tersebut dikatakan sebagai perjanjian pertama yang dilakukan dibidang perlindungan dan penempatan TKI informal di Saudi. Muhaimin menyatakan bahwa perjanjian ini disahkan setelah Komite Kerja Bersama Joint Working Committee berhasil mencapai kesepakatan terkait penyelesaian beberapa masalah paling urgent yang dialami TKI, yakni tentang hari libur, paspor yang kini tidak boleh lagi dipegang oleh majikan, gaji yang harus dibayar per bulan melalui jasa perbankan, dan pemberian akses komunikasi dengan keluarga di kampung halaman. 23 Banyak pihak yang menyesalkan keputusan pemerintah Indonesia yang secara tiba-tiba menandatangani MoU dengan Arab Saudi tersebut, pasalnya, sekali lagi, keputusan itu dilaksanakan di bawah bayang-bayang begitu banyak persoalan yang belum selesai diatasi. Beberapa klausul dalam MoU yang ditandatangani tersebut masih belumlah ‘matang’ untuk kemudian siap disahkan dan di implementasikan. Sebut saja mengenai standar gaji bagi para TKI informal. Pihak Saudi tetap menolak untuk memenuhi tuntutan pemerintah Indonesia yang meminta adanya regulasi standar upah bagi para TKI. Namun pemerintah Saudi tetap berkelit dengan mengatakan bahwa gaji PRT akan 23 BBC, 2014, “Jangan Cabut Moratorium TKI ke Saudi”, diakses melalui http:www.bbc.comindonesiaberita_indonesia201402140219_bilateral_ri_saudi, pada 29 April 2016, pukul 13:37 [22] diserahkan pada mekanisme pasar atau tergantung pada supply dan demand. 24 Selain perdebatan mengenai standar gaji, Fajar Nuradi, Kasubdit Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri, juga menyebutkan bahwa kejelasan terkait asuransi bagi TKI informal pun masih belum disepakati. 25 Meskipun hanya beberapa, namun klausul- klausul tersebut merupakan tuntutan yang sangat signifikan bagi TKI. Jika jumlah gaji ditentukan oleh supply dan demand, dan bukan oleh standar pemerintah, maka nasib TKI masih akan terkatung-takung karena harus menggantungkan harapan dan masa depan keluarganya pada jumlah gaji yang cenderung tidak jelas. Juga, jika tidak ada kejelasan mengenai sistem asuransi bagi TKI, maka sama saja keselamatan dan kesehatan TKI di negara itu Arab Saudi akan tetap rentan. Kemudian jika menengok ke dalam negeri, perbaikan regulasi dan tata kelola perekrutan yang ditargetkan harus dicapai sebelum ‘keran’ kerjasama dibuka kembali pun nampaknnya masih belum mengalami progres. Migrant Care melalui Republika menyampaikan, “Langkah ini [penandatanganan MoU terkesan terburu-buru mengingat selama moratorium berlangsung, pemerintah Indonesia dirundung pekerjaan rumah untuk menyelamatkan 41 PRT migran yang terancam hukuman mati di Arab Saudi, termasuk Satinah yang terancam akan dieksekusi mati pada 3 April 2014 jika pemerintah Indonesia tidak membayar diyat sebesar 21 Milyar.....Sementara pekerjaan rumah yang lain, seperti revisi UU TKI [UU No.39 Tahun 2004] dan pembenahan sistem penempatan tidak dilakukan secara signifikan. Besar kemungkinan, MoU baru ini tidak akan memberikan dampak secara sistematik terhadap perbaikan perlindungan bagi PRT migran di Arab Saudi dan tetap menjauhkan mereka dari akses atas keadilan.” 26 Keputusan penandatanganan yang digadang sepihak tanpa berkoordinasi terlebih dahulu dengan pihak parlemen ini juga mendapat protes dari sejumlah anggota DPR. Anggota Komisi IX, Rieke Dyah Pitaloka, melalui hukumonline mengatakan, “Secara regulatif, Pasal 27 UU No.39 Tahun 2004 menyatakan bahwa penempatan TKI ke luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik Indonesia atau tenaga kerja asing. Dengan begitu, akan ada kejelasan perlindungan terhadap TKI yang bermartabat di negara asing tempat bekerja. Pemerintah RI selama ini tak pernah memiliki perjanjian nota kesepahaman dengan Saudi. Terlebih, berbagai kasus kekerasan yang berujung hukuman mati acapkali dialami TKI tanpa ada 24 Ibid., 25 Hasil wawancara penulis dengan fajar Nuradi, Kasubdit Perlindungan WNI dan BHI, Kementerian Luar Negeri pada 10 April 2016, pukul 14:00 26 Lid a Puspanigtyas, 2014, “Migrant Care Ragukan MoU Bisa Lebih Lindungi TKI”, diakses melalui http:nasional.republika.co.idberitanasionalhukum140221n1cehg-migrant-care-ragukan-mou-bisa-lebih- lindungi-tki, pada 28 April, pukul 21:20 [23] keadilan hukum. Atas dasar itu pula semestinya pengiriman TKI ke Saudi ditutup total. Namun, desakan keras dari DPR dan berbagai kalangan pemerintah SBY hanya menyatakan moratorium, penghentian sementara pengiriman TKI ke Saudi” 27 Dalam kesempatan lain, Rieke juga menyampaikan, “Perjanjian dengan negara lain memang otoritas pemerintah, namun Komisi IX sebagai mitra kerja tak berlebihan apabila berurun pikiran terhadap klausul-klausul perjanjian agar marwah perlindungan menjadi intisari perjanjian tersebut.” 28 Sementara di luar negeri KBRI Saudi, segudang permasalahan TKI yang sejak lama menanti untuk di selesaikan pun belum tuntas. Data ‘Pengaduan TKI’ pada tabel 14 menunjukkan bawah bahkan setelah diberlakukannya penghentian pengiriman tenaga kerja Indonesia, jumlah pengaduan TKI yang tercatat selama masa penempatan di Saudi tidak juga menurun, namun justru sempat meningkat. Hal ini tentunya menjadi indikasi bahwa peran dan alokasi perhatian pemerintah sangat dibutuhkan untuk segera menyelesaikan berbagai kasus yang tertunda tersebut. Tabel di bawah ini menunjukkan bahwa masih terdapat sekitar 5000 kasus pengaduan yang menunggu dan baru akan ditindaklanjuti tahun 2014. Tabel 17. Pengaduan TKI 14.505 Pengaduan No Jenis Permasalahan Jumlah Pengaduan Tahun 2011 s.d 2013 Selesai s.d 2013 Proses Tindak Lanjut di Tahun 2014 1 Gaji tidak dibayar 2.688 1.695 993 2 TKI ingin dipulangkan 2.391 1.202 1.189 3 Putus hubungan komunikasi 2.320 1.513 807 4 Pekerjaan tidak sesuai PK 1.401 871 530 5 Meninggal dunia di negara tujuan 1.083 800 283 6 Tindak kekerasan dari majikan 617 433 184 7 TKI sakitrawat inap 603 382 221 8 PHK 369 243 126 9 TKI gagal berangkat 265 208 57 10 TKI dalam tahananproses tahanan 245 140 105 11 TKI mengalami kecelakaan 233 124 109 12 Penahanan dokumen oleh PPTKIS 186 133 53 13 TKI tidak berdokumen 185 147 38 14 Pelecehan seksual 179 114 65 27 Hukumonline, 2014, “Silakan MoU dengan Saudi, Tapi Jangn abut Moratorium”, diakses melalui http:www.hukumonline.comberitabacalt5305ce32a2db0silakan-mou-dengan-saudi--tapi-jangan-cabut- moratorium, pada 29 April 2016, pukul 11:10 28 BBC, 2014, “Jangan Cabut Moratorium TKI ke Saudi”, diakses melalui http:www.bbc.comindonesiaberita_indonesia201402140219_bilateral_ri_saudi, pada 29 April 2016, pukul 13:37 [24] No Jenis Permasalahan Jumlah Pengaduan Tahun 2011 s.d 2013 Selesai s.d 2013 Proses Tindak Lanjut di Tahun 2014 15 Lari dari majikan 171 114 57 16 Potongan gaji melebihi ketentuan 157 104 53 17 Sakit 153 84 69 18 TKI tidak harmonis dengan pengguna 142 109 33 19 Meninggal Pra dan purna penempatan 137 84 53 20 Pemerasantindak kriminal 118 89 29 21 Lain-lain 862 572 290 Total 14.505 9.161 5.344 Sumber data: Pusat Penelitian Pengembangan dan Informasi PUSLITFO BNP2TKI BNP2TKI, 2013, hal. 48 Namun jika akses pengiriman dibuka lagi sementara kasus-kasus lama belum diselesaikan dengan tuntas, bukankah akan kembali menyulitkan dan memforsir perhatian pemerintah karena adanya segudang permasalahan baru ?. Lantas kapan dan bagaimana pemerintah dapat bersinergi Kemanakertrans, BNP2TKI, dan Kemenlu memperbaiki segala carut marut pengelolaan TKI jika harus kembali disibukkan dengan penanganan berbagai kasus baru di luar negeri ?. Mengapa kemudian kedua negara, khususnya Indonesia, terkesan memaksakan kematangan draft MoU tersebut dan tetap mengusulkan penandatanganannya? Mengapa sikap pemerintah Indonesia tiba-tiba menjadi ‘lunak’ setelah sebelumnya gagah berkomitmen moratorium ?. Pada bab selanjutnya, penulis akan mencoba menjawab pertanyaan ini dengan menggunakan theory of ripeness . [1]

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG PEMERINTAH