PERUBAHAN KEBIJAKAN INDONESIA DALAM PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) DI ARAB SAUDI TAHUN 2011-2014

(1)

Perubahan Kebijakan Indonesia Dalam Perlindungan Tenaga Kerja

Indonesia (TKI) di Arab Saudi Tahun 2011-2014

Abstrak

Penelitian kali ini membahas tentang upaya resolusi konflik ketenagakerjaan yang terjadi antara Indonesia dan Arab Saudi, dimana penandatanganan MoU Perlindungan dan Penempatan TKI yang dilaksanakan oleh pemerintah kedua negara pada tahun 2014 lalu dilihat sebagai sebuah pelunakan kebijakan pasca gagahnya komitmen moratorium pengiriman TKI tahun 2011. Penelitian ini mencoba menganalisa tentang apa sesungguhnya alasan dibalik keputusan pelunakan kebijakan oleh pemerintah Indonesia ketika itu, dan bagaimana dinamika konflik akhirnya mengantarkan kedua negara pada kesediannya untuk berdamai melalui penandatanganan MoU. Dengan menggunakan Theory of Ripeness milik William Zartman, ditemukan bahwa penandatanganan MoU tahun 2014 itu rupanya terjadi karena kedua belah pihak memasuki kondisi yang disebut Zartman sebagai Mutually Hurting Stalemate (MHS). Kedua negara justru siap untuk bernegosiasi ketika akhirnya mengalami sejumlah kondisi deadlock (jalan buntu) yang kemudian ‘memaksa’ keduanya untuk berdamai demi mengatasi kondisi-kondisi ‘menyulitkan’ tersebut. Dengan kerangka ini, ditemukan bahwa alasan pemerintah Indonesia mengusulkan penandatanganan MoU tahun 2014 adalah karena urgensi dibentuknya perjanjian bilateral sesuai dengan UU No. 39 Tahun 2004 yang menjadi prasyarat bagi upaya penanganan berbagai dampak kebijakan moratorium, seperti; meningkatnya praktik TKI ilegal, tingginya protes dan desakan publik terhadap pemerintah, serta ancaman meningkatnya kekerasan terhadap TKI overstayers.

Kata kunci: kebijakan, Memorandum of Understanding (MoU), moratorium, negosiasi, resolusi konflik, Tenaga Kerja Indonesia (TKI).


(2)

The Changes of Indonesian Policy on The Protection of Indonesian

Workers (TKI) in Saudi Arabia 2011- 2014

Abstract

This study discusses about labour’s conflict resolution between Indonesia and Saudi Arabia, where the signing of MoU on Protection and Placement of Indonesian Workers held by the two governments in 2014 was seen as a conduct of ‘softening’ policy after heroic moratorium commitment in 2011. This study tries to analyze what were the real reasons took place behind the Indonesian decision of the action, and how the dynamics of the conflict eventually led the two countries to their willingness to make peace through the signing of the MoU. By using the theory of Ripeness of William Zartman, it was found that the signing of the MoU in 2014 apparently happened because both parties entered into a state known by Zartman as Mutually Hurting Stalemate (MHS). Both countries were ready to negotiate when they finally experience condition of deadlocks which then ‘force’ them to pursue peace to overcome their domestic difficulties. With this framework, we can see that the reasons why Indonesian government proposed the signing of the MoU in 2014 was due to the urgency of the establishment of bilateral agreement in accordance with the Law No. 39 year 2004 which was a prerequisite to address the problems affected by the moratorium such as; the increasing practice of illegal migrants, the height of protest and public pressure toward the government, and the threat on the increasing number of violence against the migrants workers overstaying in Saudi Arabia.

Keywords: policy, Memorandum of Understanding (MoU), moratorium, negotiation, conflict resolutions, Indonesian Workers (TKI).


(3)

[1] BAB I PENDAHULUAN

A. 1 Latar Belakang Penelitian

Sebelum dan selama perang dingin, pola interaksi internasional didominasi oleh isu-isu high politics (isu politik dan keamanan), dimana yang menjadi fokus adalah pertahanan kedaulatan dan keamanan negara dengan jalur militeristik, atau jalur bersenjata. Kemudian berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet dan melejitnya dominasi unipolar Amerika Serikat, merubah pola interaksi internasional yang semula berorientasi pada isu-isu high politics menjadi isu-isu low politics.

Konflik low politics lebih didasarkan pada isu-isu ekonomi, sosial, budaya, teknologi, lingkungan, dan gejala persaingan antar negara yang bersifat pragmatisme politik, sehingga dalam batas tertentu merupakan perpanjangan gejala merkantilisme pada masa klasik (Surwandono, 2010). Tidak seperti pada pola penyelesaian konflik high politics yang biasanya berakhir zero-sum-game, penyelesaian konflik dalam ranah low politics biasanya berakhir dengan non-zero-sum-game. Dr. Surwandono menjelaskannya sebagai berikut,

“...permainan yang memungkinkan terjadi tawar-menawar, sehingga akan tercipta formula kompromi antara fihak yang bersengketa. Kompromi inilah yang kemudian akan menjadi resolusinya, sehingga Charles Tilly menyatakan konflik semacam ini merupakan gejala issue more or less.” (Surwandono, 2010)

Salah satu perhatian dalam kajian low politics diantaranya adalah isu Hak Asasi Manusia (HAM), yang merupakan hak dasar mutlak yang dimiliki oleh setiap manusia seperti hak untuk hidup, hak untuk berekspresi, dan hak untuk bekerja. Begitu tingginya penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia ini, sehingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun memproklamasikan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) tahun 1948 sebagai dasar hukum internasional serta jaminan perlindungan bagi seluruh manusia di muka bumi. Hal ini bermakna bahwa tidak ada seorangpun yang berhak untuk melanggar maupun melukai hak-hak paling asasi yang dimiliki oleh setiap manusia tersebut. Pelanggaran terhadap HAM kemudian akan menyebabkan terjadinya konflik, baik antar individu, antar kelompok, maupun antar negara.


(4)

[2]

Dalam penelitian kali ini, penulis akan mencoba membedah salah satu konflik yang berkaitan dengan isu sosial, ekonomi, dan HAM yang melibatkan negara sebagai aktor resolusi konfliknya. Isu ini akan berkutat pada konflik ketenagakerjaan yang terjadi antara Indonesia dan Arab Saudi, dimana berbagai persoalan penyimpangan HAM yang terjadi pada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi kemudian menyebabkan hubungan saling-menguntungkan yang terbina antara kedua negara sebelumnya menjadi memanas.

Ketertarikan Arab Saudi untuk mendatangkan tenaga kerja dari luar negeri sesungguhnya diprakarsai oleh booming minyak dunia yang terjadi di negara-negara Gulf Cooperation Council (GCC) pada sekitar tahun 1970an. Pengelolaan dan

pengolahan “harta karun” yang ditemukan di beberapa lokasi di Timur Tengah tersebut

kemudian mensyaratkan adanya importasi teknologi, skilled, dan unskilled labor dalam jumlah besar demi tercapainya perkembangan ekonomi nasional. Terbukanya kesempatan kerja yang luas ini pun kemudian menarik beribu-ribu pendatang masuk ke negara-negara GCC, termasuk ke Arab Saudi, dengan harapan bisa mendapatkan penghasilan lebih baik untuk keluarganya di negara asal. Hasilnya, booming industri minyak ini juga menyebabkan booming populasi di negara-negara GCC.

Sementara itu, meningkatnya standar hidup penduduk lokal berkat pesatnya perkembangan industri minyak kemudian meningkatkan demand kebutuhan penata laksana rumah tangga (PRT). Walhasil, permintaan akan PRT dari luar negeri pun seketika meningkat. Grafik di bawah ini menunjukkan gambaran tentang meningkatnya jumlah foreign domestic workers di Arab Saudi berdasarkan aplikasi visa kerja yang dibuat oleh Kementerian Tenaga Kerja Arab Saudi dari tahun 2004 sampai 2012.


(5)

[3]

Tabel 1. Peningkatan Jumlah Domestic Workers di Arab Saudi Berdasarkan Visa Application

(Kementerian Tenaga Kerja Arab Saudi, dalam jurnal (GLMM, 2014))

Di sisi lain, Indonesia sebagai negara dengan populasi terbesar ketiga di dunia memiliki masalah besar dengan kemiskinan dan pengangguran. Grafik berikut menunjukkan bahwa, pada tahun 1996 sampai 2005, tingkat pengangguran di Indonesia masih lebih tinggi dari pada progres perkembangan ekonomi nasional.

Grafik 1. Diambil dari sebuah presentasi tentang pengangguran di Indonesia (Prasetyo, 2012). Sebagai negara yang sedang berkembang, memang tidak mudah untuk memenuhi hak seluruh warga negara dalam penyediaan lapangan pekerjaan. Diperlukan


(6)

[4]

berbagai kalkulasi dan perhitungan matang serta biaya besar agar tersedianya lapangan pekerjaan bisa selaras dengan wejangan Hak Asasi Manusia, kepentingan nasional, serta prinsip sustainable development.

Sama halnya dengan negara-negara berkembang lainnya, aspek-aspek seperti rendahnya tingkat pendidikan, terbatasnya peluang kerja, serta jumlah populasi yang terus meningkat, menjadi faktor utama yang saling berkaitan dalam menyebabkan kemiskinan dan pengangguran di Indonesia. Jika tidak ditangani dengan baik, gap yang kian hari kian besar ini kemudian dapat menyebabkan berbagai masalah yang lebih pelik seperti kriminalitas, prostitusi, gerakan anti pemerintah, bahkan memicu munculnya separatisme seperti yang pernah terjadi di beberapa provinsi di Indonesia.

Kondisi “strategis” yang terjadi di Arab Saudi dan Indonesia inilah diantaranya

yang menyebabkan kerjasama bidang ketenagakerjaan antara kedua negara menjadi sangat menjanjikan. Pemerintah Indonesia percaya bahwa masalah pengangguran yang disebabkan oleh padatnya jumlah penduduk dan kurangnya lapangan pekerjaan dapat ditanggulangi dengan perluasan penyediaan lapangan kerja ke Saudi. Selain itu, pengiriman tenaga kerja ke luar negeri juga dapat memberikan keuntungan devisa bagi negara yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan nasional. Di sisi lain, Arab Saudi pun merasa diuntungkan dengan dikirimkannya TKI ke negaranya. Alasan pertama tentunya dapat memenuhi tingginya demand tenaga kerja bagi industri minyak raksasa yang sedang merekah. Kemudian yang kedua, banyaknya penduduk lokal yang kini bertaraf hidup tinggi semakin menggantungkan pekerjaan-pekerjaan 3D (dirty, dark, dangerous) mereka kepada buruh migran.

Namun konflik muncul ketika terjadi benturan antara kepentingan kedua negara. Kendati interdependensi yang terjalin terbukti mampu menghasilkan sejumlah keuntungan bagi kedua belah pihak, tetapi terjadinya berbagai penyiksaan dan kekerasan yang kerap dilakukan oleh majikan Saudi terhadap para TKI membuat

Indonesia merasa bahwa kerjasama tersebut tidak lagi tergolong ‘saling menguntungkan’, bahkan cenderung merugikan.

Berbagai rilis menunjukkan bahwa meskipun menjadi destinasi TKI terpopuler di Timur Tengah, Arab Saudi ternyata juga menjadi salah satu negara receiver yang paling tidak ramah terhadap TKI. BNP2TKI mencatat bahwa dari beberapa negara tujuan populer TKI, Arab Saudi selalu menduduki urutan teratas sebagai negara receiver dengan jumlah TKI bermasalah tertinggi (BNP2TKI, 2013, hal. 31). Tak hanya menjadi


(7)

[5]

korban berbagai kasus kekerasan, TKI juga kerap kali menjadi sasaran hukuman mati atas kasus yang ditengarai bukan menjadi kesalahannya. Banyak pihak yang menilai

bahwa vonis mati yang dijatuhkan seringkali merupakan solusi ‘kambing hitam’ untuk

menyelamatkan para majikan yang sesungguhnya menjadi pihak yang bersalah.

Kisruh konflik ketenagakerjaan antara kedua negara pun menjadi semakin dinamis ketika berbagai media tak henti-hentinya mem-blow-up rentetan kisah tragis yang menimpa TKI di Saudi. Isu strategis tentang TKI yang menguntungkan bagi dunia showbiz membuat media eletronik maupun cetak tak pernah absen mengabarkan berita tentang semakin parahnya kondisi keselamatan dan keamanan para TKI di Arab Saudi. Berbagai bentuk kasus kekerasan fisik, pelecehan seksual, hingga vonis mati dengan beragam tuduhan dibeberkan dengan terang oleh media setiap menitnya.

Hal ini kemudian semakin memicu reaksi keras publik terhadap pemerintah. Publik mempertanyakan peran dan tanggung jawab pemerintah dalam melindungi warga negara Indonesia di luar negeri. Beberapa kalangan memprotes sikap pemerintah yang cenderung pasif, bahkan memvonis bahwa pemerintah hanya mementingkan keuntungan devisa semata. Sejumlah NGO pun tak ketinggalan mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan berbagai persoalan hulu dan hilir TKI serta mengupayakan sistem perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di negara destinasi itu.

Tak hanya dari kalangan masyarakat, DPR sebagai perpanjangan tangan rakyat di pemerintahan pun gencar melayangkan kritik dan desakan kepada jajaran eksekutif terkait upaya penanganan berbagai persoalan TKI di Saudi. DPR dan beberapa NGO seperti Migrant Care dan Komnas Perempuan menilai bahwa sudah sepatutnyalah negara, dalam hal ini pemerintah, menjadi garda terdepan yang memperjuangkan keselamatan dan hak-hak para TKI di negara pengguna. Namun selama ini pemerintah masih terkesan terlalu lamban dan lunak menghadapi kebijakan-kebijakan buruh migran yang diberlakukan oleh pemerintah Saudi. Selain itu, lembaga-lembaga ini juga melihat bahwa tingginya kasus kekerasan TKI yang terjadi di Saudi disebabkan karena belum adanya komitmen bilateral berwujud perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh kedua negara untuk menaungi kerjasama ketenagakerjaan, sesuai dengan yang tercantum dalam UU No. 39 Pasal (11) ayat (1) Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.1

1Pasal tersebut menyatakan bahwa: “Penempatan TKI di luar negeri oleh Pemerintah dimaksud dalam Pasal 10 huruf

a hanya dapat dilakukan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan Pemerintah negara Pengguna


(8)

[6]

Ramainya pemberitaan di media serta desakan dari berbagai pihak ini pun semakin mendorong pemerintah Indonesia untuk melakukan serangkaian pendekatan diplomatik kepada pemerintah Saudi guna menegosiasikan satu sistem perlindungan bagi TKI. Terhitung sejak tahun 2003, beberapa langkah pertemuan seperti Minutes of Meeting (MoM) serta pertemuan Presiden pun telah dilaksanakan oleh kedua negara. Namun rupanya, bargaining position Indonesia belum cukup kuat untuk ‘memaksa’ Arab Saudi melakukan negosiasi perlindungan TKI yang komprihensif. Meskipun Indonesia merupakan salah satu negara pemasok buruh migran terbesar bagi Saudi, namun kompetisi dengan negara-negara pemasok lain yang juga prospektif membuat upaya-upaya diplomatik Indonesia selalu berujung alot.

Pada awal 2011, pemerintah Indonesia kemudian mulai ‘mengancam’ Saudi dengan memberlakukan kebijakan semi moratorium pengiriman TKI. Kebijakan berupa pengetatan standar dan jumlah TKI yang dikirimkan ini bertujuan untuk meningkatkan level bargaining position Indonesia dalam menegosiasikan perlindungan TKI dengan pemerintah Saudi. Metode ini nampaknya cukup membuahkan hasil, karena dengan berkurangnya jumlah pasokan domestic workers, pihak Saudi akhirnya bersedia untuk duduk bersama dalam Senior Officer Meeting (SOM) pada Mei 2011 dan memulai perancangan komite MoU perlindungan TKI yang sebelumnya sangat sulit diwujudkan. Namun baru beberapa bulan konflik dirasa mereda, publik kembali tersentak dengan pemberitaan mengenai TKI yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Saudi. Kali ini nasib tragis menimpa TKI bernama Ruyati binti Satubi. Ruyati dijatuhi hukuman pancung pada Juli 2011 dengan dakwaan telah membunuh majikannya, Khairiyah Majlad, yang ternyata kerap menyiksa Ruyati sebelumnya. Yang mengejutkan adalah, pelaksanaan eksekusi ternyata dilakukan tanpa sepengetahuan pihak Indonesia. Pemerintah pun berargumen bahwa pihaknya mengetahui informasi tersebut dari sumber lain. Geram karena merasa kecolongan, akhirnya sehari setelah kejadian tersebut pemerintah langsung melayangkan protes pada Saudi melalui KBRI.

Di dalam negeri, kasus Ruyati inilah yang nampaknya menjadi klimaks emosi rakyat Indonesia terhadap kesewenang-wenangan Saudi selama ini, karena selepas kejadian itu, publik semakin bergemuruh mendesak pemerintah untuk segera bertindak nyata merespon kelancangan Saudi tersebut. Ratusan masa berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar Arab Saudi memprotes dan mengecam tindakan pemerintah Saudi atas

Indonesia maupun pemerintah negara destinasi kemudian akan terikat dalam komitmen dan tanggung jawab kerjasama ketenagakerjaan, termasuk dalam hal perlindungan TKI yang dikirim.


(9)

[7]

pemenggalan Ruyati secara diam-diam itu. Migrant Care dengan lantang menilai pemerintah telah teledor melindungi warganya, pasalnya pihaknya pernah memperingatkan pemerintah mengenai proses hukum Ruyati sejak Maret 2011.2 Sementara itu, beberapa kalangan di DPR yang sudah teramat naik pitam sekaligus prihatin dengan tak berhentinya berbagai kasus kekerasan yang menimpa TKI di Saudi meminta pemerintah untuk menutup total saja kerjasama ketenagakerjaan dengan negara destinasi itu, karena toh kerjasama ketenagakerjaan yang selama ini dilakukan juga bertentangan dengan UU PPTKLN.3 Tak hanya lembaga-lembaga tersebut, masyarakat, tokoh agama maupun kalangan politisi pun telah lama meminta pemerintah untuk menghentikan sementara pengiriman TKI ke beberapa negara di luar negeri termasuk Arab Saudi, karena berbagai carut marut birokratik dan mekanisme diplomasi Indonesia kepada negara-negara destinasi yang dianggap masih lemah.

Ditengah gelombang berbagai emosi dan desakan tersebut, pemerintah Indonesia yang juga meradang akhirnya memutuskan untuk memberlakukan moratorium total pengiriman TKI informal ke negara itu, yang dimulai sejak 1 Agustus 2011. Menakertrans yang saat itu menjabat, Muhaimin Iskandar, mengatakan bahwa moratorium akan tetap berlangsung hingga kedua negara mencapai kesepakatan MoU perlindungan TKI yang komprihensif dan dibentuknya Joint Task Force untuk merancang detil sistem perlindungan TKI selanjutnya.

A.1.1 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui berbagai keuntungan yang diperoleh oleh Indonesia dan Arab Saudi dari kerjasama ketenagakerjaan yang terjalin.

2. Untuk mengetahui dinamika yang terjadi selama berlangsungnya konflik ketenagakerjaan antara kedua negara.

3. Untuk mengetahui alasan Indonesia mengusulkan penandatanganan MoU Perlindungan dan Penempatan TKI kepada Arab Saudi pada tahun 2014.

2Syahid Latif, 2011, “Ruyati Dipancung, 26 TKI Lain di Ambang Ajal”, diakses melalui

(fokus.news.viva.co.id/news/read/227813-ruyati-dipancung--23-tki-lainnya-terancam), pada 26 Mei 2016, pukul 12:54

3Hukumonline, 2014, “Akhirnya, Indonesia-Saudi Teken Perjanjian TKI”, diakses melalui

(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53055df150844/akhirnya--indonesia-saudi-teken-perjanjian-tki), pada 27 April 2016, pukul 12:30


(10)

[8] Manfaat penelitian ini adalah:

Manfaat akademis

a. Untuk memberikan kontribusi positif dalam studi hubungan internasional khususnya kajian resolusi konflik yang berhubungan dengan isu penandatanganan MoU dalam upaya negosiasi.

b. Untuk memberikan perspektif baru tentang isu penandatanganan MoU Perlindungan dan Penempatan TKI antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi tahun 2014, dimana sesungguhnya terdapat alasan-alasan politik dan ekonomi yang melatarbelakangi penandatanganan MoU yang pada dasarnya masih belum

‘sempurna’ tersebut.

Manfaat Praktis

a. Sebagai informasi dan pengetahuan bagi semua pihak yang memiliki perhatian dan ketertarikan terhadap kajian resolusi konflik dan studi MoU khususnya terkait perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi.

b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi siapapun yang memiliki kepentingan, tentang studi konklusif dan reflektif mengenai resolusi konflik, MoU, dan moratorium, sehingga dapat dimanfaatkan dalam satu praktik tertentu dimasa depan.

A.1.2 Rumusan Masalah

Meskipun beberapa kalangan tergolong kontra dengan pemberlakuan moratorium tahun 2011, namun banyak pula pihak yang mendukung dan melihat kebijakan ini sebagai sebuah langkah tepat yang seharusnya dilakukan sedari dulu. Alasannya, pertama, secara diplomatis, kebijakan ini dapat meningkatkan harga diri dan bargaining position Indonesia terhadap Saudi. Kemudian yang kedua, jeda waktu dalam moratorium dapat dimanfaatkan bagi proses pembenahan berbagai kisruh TKI dari hulu ke hilir.4 Kisruh di hulu terkait dengan sistem manajemen TKI sebelum keberangkatan termasuk revisi berbagai peraturan serta perbaikan sistem perekrutan, sementara kisruh di hilir terkait dengan banyaknya kasus kekerasan TKI di Saudi yang menumpuk dan menunggu untuk diselesaikan.

Tetapi selang 3 tahun berjalan, polemik kembali muncul menyusul berita penandatanganan MoU Perlindungan dan Penempatan TKI yang dilakukan oleh Menteri

4BBC Indonesia, 2011, “Penghentian Visa Dianggap Sebagai Balasan Moratorium”, diakses melalui

(http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2011/06/110630_balasan_saudi.shtml), pada 2 Juni 2016, pukul 13:03


(11)

[9]

Tenaga Kerja kedua negara pada 19 Februari 2014, di Riyadh. Penandatanganan tersebut dilangsungkan setelah sebelumnya Menakertrans Muhaimin Iskandar menemui Adiel Muhammad Fakieh di Jeddah pada Maret 2013. Meski Muhaimin meyakini bahwa melalui kesepakatan MoU ini perlindungan TKI di Arab Saudi bisa dimaksimalkan,5 namun banyak pihak menilai bahwa pelaksanaanya terlalu terburu-buru. Pasalnya, komitmen mengenai serangkaian pembenahan pun belumlah terlihat hasil nyatanya, lalu beberapa klausul dalam MoU tersebut pun ternyata belum disepakati dengan sempurna. Bagaimana sikap ‘gagah’ pemerintah yang sebelumnya sangat berapi-api menggaungkan komitmen moratorium hingga tercipta sistem perlindungan TKI yang komprihensif tiba-tiba ‘melunak’ dan berubah menjadi pengusulan Memorandum of Understanding dalam waktu yang relatif singkat ditengah berbagai kontroversinya (?). Keganjilan inilah yang menarik penulis untuk meneliti “Mengapa Indonesia Melakukan Pelunakan Kebijakan Terhadap Arab Saudi

Terkait Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Tahun 2011-2014?”

A.2 Orisinalitas Penelitian, Kajian Literatur, Kerangka Teori, dan Hipotesis

A.2.1 Orisinalitas Penelitian

Kajian tentang MoU dalam kerangka kebijakan terkait resolusi konflik dan hubungan internasional sesungguhnya telah cukup populer, mengingat MoU merupakan bentuk komitmen dasar bagi pelaksanaan sebuah perjanjian. Salah satu studi MoU yang penulis temukan yakni Master thesis berjudul “Efektivitas Implementasi MoU Indonesia-Malaysia dan Tim Advokasi Tentang TKI di Indonesia” milik Mailila Ardarini, mahasisiwi Magister Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Ardarini, 2005). Studi MoU Ardarini mencoba membahas tentang keberhasilan implementasi MoU dan Tim Advokasi TKI pasca pemberlakuan Akta Imigresen Malaysia Tahun 2002. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tidak efektifnya MoU antara Indonesia dan Malaysia disebabkan oleh lemahnya isi MoU yang minim perlindungan dan hak bagi TKI informal, serta panjang dan berbelitnya birokrasi pengiriman TKI ke Malaysia, sehingga menyebabkan para calon TKI lebih memilih untuk menyebrang menggunakan jasa rekrutmen ilegal. Kemudian, implementasi tim advokasi perlindungan TKI bentukan pemerintah pun dinilai oleh Ardarini tidak efektif, karena rendahnya kinerja aparat yang ada serta maraknya aksi penyalahgunaan wewenang yang seharusnya digunakan untuk


(12)

[10]

kepentingan perlindungan TKI. Penelitian Ardarini menjadi tulisan yang memiliki pembahasan terdekat dengan penulis, yaitu sama-sama menelaah tentang Memorandum of Understanding (MoU) dalam ranah kasus perlindungan TKI di satu negara destinasi. Namun rumusan masalah yang coba diangkat oleh Ardarini dan penulis nampaknya berbeda. Ardarini mencoba mencari tahu tentang efektifitas implementasi MoU TKI yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan Malaysia, sementara penulis mencoba mencari jawaban tentang alasan dibalik keputusan pemerintah mengubah kebijakan

moratorium tahun 2011 yang ‘tough‟ menjadi pengusulan MoU yang cenderung lebih

flexible‟.

A.2.2 Kajian Literatur

Guna memperkaya khasanah pengetahuan tentang studi MoU, selanjutnya penulis akan mencoba menyuguhkan beberapa contoh penelitian lain yang juga membahas tentang topik yang sama.

Penelitian berikut datang dari sebuah master thesisberjudul “Implementasi Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam Tahun 2005

Sampai 2008”, tulisan Subur Wahono, seorang mahasiswa pascasarjana Kajian Stratejik

Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia (Wahono, 2008). Penelitian Wahono berfokus pada penjabaran kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah Republik Indonesia dalam melaksanakan MoU Helsinki, dan kemudian menganalisa aktifitas peacebuilding dalam rangka menciptakan situasi aman serta pengaruhnya kepada ketahanan nasional Indonesia. Dengan menggunakan metode deskriptif analitis, Wahono mengungkap bahwa MoU Helsinki telah berhasil; pertama, secara literal mengembalikan rasa ke-Indonesiaan (nasionalisme) rakyat Aceh kepada RI dan menanggalkan keinginan untuk merdeka; kedua, Post-conflict peacebuilding selama hampir 3 tahun mampu mendamaikan kedua belah pihak pelaku konflik dan mereduksi potensi konflik serta menghasilkan pemerintah yang dilegitimasi rakyat melalui proses Pilkada Aceh; ketiga, penyelesaian konflik mampu menyentuh akar masalah identitas Aceh dan ketidakadilan dibidang sosial ekonomi; keempat, pemerintah SBY dinilai mampu mewujudkan otonomi daerah dengan sharing of power. Penelitian Wahono terhubung dengan penelitian penulis karena sama-sama membahas tentang studi MoU dalam sirkumstansi sebuah konflik. Namun penelitian Wahono menganalisa tentang keberhasilan implementasi MoU yang dilakukan dalam upaya resolusi konflik


(13)

[11]

separatisme, sementara penelitian penulis mencoba mengungkap tentang alasan dibalik pengusulan MoU pasca deklarasi moratorium dalam bingkai konflik ketenagakerjaan.

Penelitian terkait MoU lainnya ditulis oleh Eva Tempesta, mahasiswi Master of Arts in Comparative European Social Studies, Zuyd University, Maastricht. Thesisnya

yang berjudul “The Challenge of Cooperation Against Human Trafficking. A Comparison Between Italy and the Netherlands” (Tempesta, 2012), membahas tentang tantangan dalam memberantas aktifitas human trafficking yang terjadi di Italia dan Belanda. Dalam tulisannya, Tempesta salah satunya menyoroti tentang dinamika kerjasama antara dua aspek krusial yang menangani para korban pasca human trafficking tersebut, yakni law enforcement dan social service providers. Law enforcement berperan dalam combating the crime, menghukum para exploiters dan mewujudkan keadilan sekaligus melindungi hak dan kesejahteraan para korban disaat yang sama. Sementara social service providers memiliki andil dalam proses recovery yang berhubungan dengan pemulihan kondisi psikologis, fisik, serta kultural para korban. Konsekuensi kedekatan profesionalitas dan interdependensi ini kemudian, dinyatakan Tempesta, memunculkan keniscayaan bagi keduanya untuk membangun hubungan institusional dan operasional untuk dapat merespon semua tugas dengan baik. MoU kemudian dipilih sebagai langkah awal kerjasama kedua institusi independen ini, karena banyak ahli melihat bahwa MoU merupakan perjanjian kerjasama paling efektif bagi para stakeholders yang bergelut dalam isu human trafficking. Tempesta menyebut bahwa ada beberapa keuntungan yang bisa didapatkan dari pelaksanaan MoU,

“...First of all, the parties´ role is clearly identified, more transparency in working dynamics is provided. Secondly it can be interpreted as a measure to evaluate the effectiveness of cooperation. In fact it is most of the times, highly recommended to include in the MoU a provision on evaluation, which allows an evaluation, preferably from an independent body, and leads to improvement. It also helps to recognize party´s limitations and commitments. Even though, professionals involved have their own responsibilities in accordance to their values and mandate, and these agreements should not affect their independence and their autonomy in conducting their jobs. In fact the MoU, in order to prevent or reduce conflicts, is supposed to define the responsibilities, obligations, duties and roles of the stakeholders. Providing a detailed definition on how the relationship should be structured it should contribute building the trust between entities included in the agreement.” (Tempesta, 2012),

Meskipun MoU bukan merupakan fokus utama dalam penelitian Tempesta, namun pemaparannya tentang penyelenggaraan MoU dapat memberikan gambaran yang lebih


(14)

[12]

terang mengenai peran dan manfaat MoU itu sendiri, baik dalam lingkup penanganan sebuah konflik maupun inisiasi kerjasama pemberantasan human trafficking. Walau pemilihan studi kasus serta rumusan masalahnya berbeda dengan penelitian penulis, namun outcome pengetahuan tentang MoU yang ditulis oleh Tempesta telah membantu penulis memperdalam pemahamannya tentang studi MoU.

Penjelasan Tempesta tentang MoU ini pun selaras dengan outcome penelitian yang dihasilkan oleh sebuah report journal milik seorang Global Migration Policy Associates, Piyasiri Wickramasekara, yang berjudul “Bilateral Agreements and Memoranda of Understanding on Migration of Low Skilled Workers: A Review” yang diterbitkan oleh ILO (Wickramasekara, 2015). Penelitian Wickramasekara diantaranya bermaksud untuk mengidentifikasi keberhasilan praktik-praktik terbaik (good practices) dalam pelaksanaan Bilateral Agreements (BAs) dan Memorandum of Understanding (MoU) berdasarkan kriteria tertentu dalam norma internasional, dan menyoroti beberapa agreement yang dapat menghasilkan outcome yang lebih baik bagi pengelolaan migrasi dan perlindungan domestic workers. Dengan menggunakan rights-based approach, Wickramasekara menemukan bahwa sebagian besar case study agreement yang telah diteliti ternyata berhasil menetapkan good practices sehubungan dengan; transparansi dan publisitas; pertukaran informasi relevan; dasar-dasar normatif bagi hak-hak buruh migran; perlakuan yang sama bagi setiap pekerja migran; peningkatan sumber daya manusia dan keterampilan; implementasi, monitoring, dan evaluasi yang konkrit; pembagian tanggung jawab yang jelas antara pihak-pihak yang ada; aspek reintegrasi dari siklus migrasi; praktik perekrutan yang fair; standar upah yang terjamin; ketentuan kontrak kerja yang jelas; pengembangan keterampilan dan sumber daya manusia; identitas dan dokumen perjalanan; keluhan dan sengketa. Kesamaan penelitian Wickramasekara dan penulis sekali lagi terdapat pada fokus kajian, yakni seputar MoU dan perjanjian dua negara dalam perlindungan buruh migran. Tetapi penelitian Wickramasekara menitik beratkan penelaahan pada, salah satunya, seberapa besar oportunitas dan prospek yang dihasilkan oleh bilateral agreement dan Memorandum of Understanding untuk dapat memperbaiki jaminan keselamatan dan kesejahteraan buruh migran. Sementara penelitian penulis nampaknya lebih implementatif, yakni dengan befokus pada 1 studi kasus secara mendalam untuk melihat dan menganalisa dinamika konflik ketenagakerjaan terutama peristiwa ‘pelunakan’ kebijakan perlindungan buruh migran oleh pemerintah dari moratorium menjadi pengusulan MoU.


(15)

[13] A.2.3 Kerangka Teori

Untuk menganalisa pokok permasalahan dalam penelitian kali ini, penulis mendasarkan kerangka pemikirannya pada sebuah teori bernama Ripeness Theory yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh I. William Zartman dalam bukunya berjudul Escalation and Negotiation in International Conflicts.

Theory of ripeness atau ‘teori kematangan’ mencoba menjelaskan dan memberikan ide tentang kapan waktu yang tepat atau ‘matang’ bagi pelaksanaan

negosiasi dalam sebuah konflik. Konflik sendiri diartikan Zartman sebagai sebuah situasi yang muncul ketika terdapat perbedaan pandangan antara dua pihak atau lebih. Konflik dapat menjadi berbahaya ketika perbedaan-perbedaan atau incompatibilitas yang sebelumnya cenderung mengendap atau statis kemudian berubah menjadi dinamis, artinya muncul sebagai clash atau benturan bagi kepentingan pihak satu dan lainnya. Konflik ketenagakerjaan yang terjadi antara Indonesia dan Arab Saudi sesungguhnya diawali oleh hubungan kerjasama yang saling menguntungkan, dimana kedua belah pihak merasa bahwa kepentingan-kepentingan besar mereka seperti supply tenaga kerja (pihak Saudi) dan perluasan kesempatan kerja (pihak Indonesia) dapat dipenuhi oleh satu sama lain. Namun konflik terjadi ketika dalam faktanya, terdapat sejumlah standar regulatif dan normatif (termasuk pandangan tentang HAM) yang berbeda yang berlaku di kedua negara, sehingga menimbulkan berbagai polemik dan kasus kekerasan. Konflik ini kemudian menjadi semakin besar ketika salah satu pihak, yakni Indonesia, menyadari bahwa kerjasama yang sebelumnya seharusnya saling menguntungkan cenderung menjadi merugikan, karena banyaknya kasus penyimpangan HAM yang dilakukan oleh Saudi kepada para Tenaga Kerja Indonesia yang dikirim ke negara itu.

Zartman menjelaskan bahwa setiap konflik, melihat potensi ancaman dan dampak destruktifnya, membutuhkan penyelesaian (resolution) dan pengelolaan (management). Dalam konflik internasional khususnya, penyelesaian dengan menggunakan jalan damai atau negosiasi cenderung lebih diprioritaskan (dari pada melalui perang) karena berbagai kalkulasi manfaat dan keuntungannya. Zartman

mendefinisikan negosiasi sebagai “..a process by which the parties combine their divergent positions into a single agreed outcome” (Zartman & Faure, 2005, hal. 4). Berbeda dengan konsekuensi zero sum game yang mayoritas ditimbulkan oleh dampak berperang, penyelesaian konflik melalui jalan non-zero-sum-game, atau bernegosiasi, dipercaya jauh lebih mulia karena dapat mencegah atau menghentikan kekerasan,


(16)

[14]

memperluas dan melindungi kepentingan, serta membangun perdamaian jangka-panjang (Peace, 2010, hal. 9). Dengan prinsip yang sama pula, resolusi konflik ketenagakerjaan antara Indonesia dan Arab Saudi lebih ditekankan pada upaya perjanjian damai atau negosiasi.

Selanjutnya, Zartman menerangkan bahwa terjadinya negosiasi tak terlepas dari hadirnya serangkaian eskalasi. Boleh dikata bahwa, dalam perspektif ripeness theory, eskalasi merupakan syarat mutlak bagi adanya negosiasi, atau, negosiasi terjadi karena

‘dipaksa’ oleh adanya eskalasi. Justru dengan adanya eskalasi yang semakin tinggi,

kedua belah pihak menjadi semakin mendekati deadlock atau ‘jalan buntu’, yang kemudian akan ‘mematangkan’ kondisi kegentingan konflik sehingga pada akhirnya tak

ada opsi lain kecuali segera melaksanakan negosiasi. Sepanjang terjadinya konflik ketenagakerjaan antara Indonesia dan Arab Saudi, serangkaian eskalasi dalam berbagai level telah sempat terjadi sebelum akhirnya diputuskan untuk melakukan penandatanganan MoU perlindungan dan penempatan TKI pada 2014. Eskalasi ini dilakukan oleh berbagai pihak seperti media, masyarakat, NGO, maupun pemerintah. Ambil contoh mencuatnya berita-berita di media tentang berbagai kasus kekerasan hingga vonis mati TKI di Saudi, kemudian kritik dari berbagai NGO kemanusiaan, hingga berbagai protes dan desakan yang dilayangkan masyarakat maupun parlemen kepada pemerintah. Merasa sebagai pihak yang dirugikan, serangkaian upaya negosiasi tentang perlindungan TKI pun telah sempat dilakukan oleh pemerintah Indonesia, namun tampaknya kasus kekerasan tak juga berhenti. Hingga akhirnya pemerintah memberlakukan kebijakan moratorium pengiriman TKI ke Saudi tahun 2011 sebagai klimaks kemarahan menyusul eksekusi mati seorang TKI yang dilakukan secara diam-diam oleh pemerintah Saudi.

Menurut penulis, posisi moratorium dalam konflik ini justru sebagai puncak dari berbagai level eskalasi yang sempat hadir. Karena justru ketika konflik ini diendapkan, dalam arti kerjasama dihentikan untuk sementara, kemudian muncul berbagai kondisi deadlock yang sangat menyulitkan pihak Indonesia. Jika melihat urgensinya,

pemberlakuan moratorium ketika itu rupanya dipilih karena Indonesia merasa ‘terjepit’

antara kepentingan kerjasama yang sangat strategis serta desakan dari berbagai pihak menyusul berbagai kasus yang muncul. Wenqiang Yin, dalam jurnalnya yang berjudul Moratorium in International Law menyatakan bahwa secara umum, moratorium sebagai penundaan atau penangguhan suatu kegiatan, banyak digunakan sebagai jalan tengah


(17)

[15]

antara IYA dan TIDAK dalam arena hukum internasional, yang kemudian merefleksikan nilai kompromi dan kerjasama dalam hubungan internasional (Yin, 2012). Kemudian terkait isu hak asasi manusia, Rita De Brito Giao dalam tesisnya yang bertajuk New Governance Mechanisms and International Human Rigths Law: Moratoriums in Law and Practice menjelaskan bahwa, “bahkan jika pemberlakuan moratorium itu bertujuan untuk menawarkan solusi alternatif jangka-pendek bagi sebuah masalah, tujuan jangka-panjang sesungguhnya adalah untuk ‘memodifikasi’ status quo [transformative mechanism]” (Giao, 2014, hal. 21), artinya bahwa implikasi

atau ‘daya tekan’ yang dihasilkan oleh dampak dari moratorium itu nantinya diharapkan

dapat mendorong Arab Saudi untuk melakukan negosiasi lebih lanjut, sesuai dengan prediksi dan harapan banyak pihak. Dan benar saja, Arab Saudi pada akhirnya bersedia diajak menandatangani MoU perlindungan dan penempatan TKI untuk pertama kalinya pada 19 Februari 2014.

Tetapi sekali lagi, penandatanganan MoU pada 2014 itu sesungguhnya terjadi

karena ‘dipaksa’ oleh hadirnya serangkaian deadlock. Setelah pemberlakuan moratorium pengiriman TKI tahun 2011, kedua negara, terutama Indonesia, ternyata mendapati beberapa kondisi domestik yang justru menjadi kian buruk jauh melebihi kondisi sebelum pemberlakuan moratorium. Kondisi-kondisi yang seperti ‘jalan buntu’ ini kemudian membuat pemerintah menjadi frustasi hingga berupaya untuk mengusulkan penandatanganan MoU Perlindungan TKI dengan Saudi sebagai solusi bagi kondisi-kondisi menyulitkan itu. Saudi yang juga mengalami deadlock akibat pemberlakuan moratorium saat itu, akhirnya juga bersedia duduk bersama dan menandatangani MoU tersebut pada tahun 2014.

Kemudian bagaimana cara mengukur tingkat ‘kegentingan’ (Zartman

menyebutnya, precarious moment) yang terjadi selama masa-masa deadlock hingga

cukup ‘kuat’ untuk ‘memaksa’ terjadinya negosiasi? Zartman menggunakan 3 framework dalam hal ini, yakni; motivation of political actors to initiate negotiations, kuat atau besarnya keinginan para pemimpin politik untuk melakukan penyelesaian yang saling menguntungkan; opportunity and domestic legitimacy of political leaders to negotiate, besarnya keinginan dan desakan publik untuk mengubah konflik dari kondisi eskalasi menjadi de-eskalasi; dan identification or construction of focal points for negotiations,yang merupakan ‘syarat-syarat’ yang menjadi jaminan bahwa kedua belah pihak akan bergerak secara positif selama fase de-eskalasi (Zartman & Faure, 2005, hal.


(18)

[16]

274). Kondisi-kondisi deadlock yang terjadi di Indonesia pasca pemberlakuan moratorium 2011 rupanya telah memenuhi 3 standar tolak ukur Zartman tersebut,

dimana para pemimpin politiknya (pemerintah), kemudian merasa ‘terpojok’ karena

dampak-dampak ekonomi politik yang muncul, sehingga memaksa pihaknya untuk mempercepat upaya negosiasi dengan Arab Saudi, yang ternyata juga memiliki kesulitan serupa. Selain itu, berbagai tekanan dan desakan publik kepada pemerintah untuk segera bertindak mengatasi dampak buruk dari moratorium itu juga menjadi motivasi penting bagi realisasi penandatanganan MoU 2014. Lalu focal points atau isi klausul tuntutan yang dinegosiasikan dalam MoU perlindungan dan penempatan TKI pun tampaknya, bagi sebagian kalangan, telah cukup mewakili apa yang selama ini dicita-citakan mengenai perjanjian perlindungan TKI di Saudi.

Lalu apa saja sesungguhnya momen-momen deadlock yang begitu ‘menyiksa’ yang terjadi di Indonesia, yang kemudian ‘memaksa’ pemerintahnya untuk mengusulkan penandatanganan MoU perlindungan TKI dengan Arab Saudi?. Menurut

Zartman, salah satu ‘kondisi matang’ (ripe moment) yang menyebabkan konflik begitu

„mature‟ bagi pelaksanaan resolusi adalah ketika pihak yang berkonflik akhirnya

‘terkunci’ pada situasi-situasi sangat buruk, yang disebabkan oleh konflik tersebut. Zartman menyebut kondisi ini sebagai Mutually Hurting Stalemate (MHS).

“...a ripe moment is depicted as a “mutually hurting stalemate” (MHS), which is characterized by a deadlock. The parties are locked into a situation because of an impending catastrope. In this situation, the disputing parties come to recognize, through a cost-benefit calculation, the sharp increase in costs of further escalation, which limits the use of unilateral strategies and enhances the prospect of a negotiated settlement as the only way out of an escalating situation.” (Zartman & Faure, 2005, hal. 272)

Dalam situasi ini, pihak-pihak yang berkonflik akhirnya menyadari bahwa berdasarkan perhitungan untung-rugi, melanjutkan konflik ternyata justru malah menyebabkan kerugian yang jauh lebih besar dari pada menghentikan konflik. Dan karena itu, jalan bernegosiasi lantas menjadi satu-satunya solusi paling prospektif untuk mencegah timbulnya kerugian lebih besar dikemudian hari.


(19)

[17]

Kondisi ripe moment di ilustrasikan Zartman sebagai berikut,

Independent Dependent Independent Dependent Variable variable variable variable

Mutually

Enticing Opportunity

Objective

Successful Outcome

elements

Decision to

Persuasion Negotiate and Perception

Independent Dependent Variable variable

Gambar 1. Ripeness

A. 2. 4 Hipotesis

Dengan mendasarkan analisa kasus pada kerangka theory of ripeness, maka diperoleh beberapa hipotesa yang untuk sementara dapat menjawab pertanyaan

penelitian “mengapa Indonesia melakukan pelunakan kebijakan terhadap Arab Saudi terkait perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Tahun 2011 – 2014?”. Indonesia melakukan pelunakan kebijakan terhadap Arab Saudi terkait perlindungan TKI karena:

1. Meningkatnya jumlah TKI ilegal

Penghentian pengiriman TKI informal secara total ke Saudi tahun 2011 lalu ternyata telah menyebabkan meningkatnya jumlah TKI ilegal di Saudi. Kebijakan untuk menutup akses pengiriman resmi ini ternyata justru telah menyebabkan banyak PPTKIS berbelok arah menjadi calo-calo ilegal karena sulitnya mendapat pekerjaan serta masih banyaknya calon TKI yang ingin berangkat ke Saudi.

2. Tingginya desakan dari parlemen, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),

media, tokoh masyarakat, dan pengusaha PPTKIS.

Permasalahan-permasalahan yang timbul akibat kebijakan moratorium itu akhirnya memicu protes dari berbagai pihak seperti parlemen, LSM, tokoh masyarakat,

Mutually Hurting Stalemate

RIPENESS


(20)

[18]

dan para pelaku bisnis yang merasa dirugikan. Protes yang dilayangkan kepada pemerintah tersebut kemudian terakumulasi menjadi desakan kuat yang memaksa pemerintah untuk segera menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi politik yang kian memburuk itu.

3. Meningkatnya kekerasan terhadap TKI overstayers

Pemberlakuan moratorium tahun 2011 yang menyebabkan berkurangnya pasokan domestic workers di Arab Saudi diprediksi akan berimbas pada meningkatnya TKI overstayers. Hal ini karena TKI Indonesia merupakan primadona di kalangan majikan Saudi. Namun status sebagai TKI overstayers atau TKI ilegal tersebut dikhawatirkan akan menjadi pemicu bagi merebaknya kasus kekerasan dan perdagangan manusia karena kini TKI informal tidak lagi terlindungi oleh pemerintah.

A. 3 Metodologi Penelitian

Secara etimologi, metode diartikan sebagai jalan atau cara melakukan atau mengerjakan sesuatu, sedangkan secara istilah, metode merupakan titik awal menuju proposisi-proposisi akhir dalam bidang pengetahuan tertentu (Nasution, 2008, hal. 13). Sementara itu, Arikunto dalam bukunya Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek menjelaskan bahwa metode penelitian merupakan suatu cara yang digunakan dalam mengumpulkan data penelitian dan membandingkan dengan standar ukuran yang telah ditentukan (Arikunto, 2002, hal. 126). Dengan kata lain, metode penelitian adalah jalan atau cara yang digunakan oleh peneliti untuk mengerjakan penelitiannya.

Terkait dengan hal ini, selanjutnya penulis akan memaparkan tentang kerangka metodologi penelitian yang akan digunakan selama mengadakan penelitian dan

menjawab rumusan masalah “mengapa Indonesia melakukan pelunakan kebijakan terhadap Arab Saudi terkait perlindungan TKI Tahun 2011-2014?”

A. 3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian kali ini adalah penelitian kualitatif. Untuk mendefinisikan maknanya, penulis merujuk pada sebuah buku berjudul Qualitative Research Practice, dimana Jane Ritchie dan Jane Lewis menyuguhkan beberapa pandangan scholars mengenai definisinya. Sumber pertama adalah Denzin dan Lincoln dalam Handbook of Qualitative Research edisi kedua (Ritchie & Lewis, 2003, hal. 2) yang mendefinisikan qualitatif research sebagai berikut,


(21)

[19]

“Qualitative research is a situated activity that locates the observer in the world. It consists of a set of interpretive, material practices that makes the world visible. These practices ... turn the world into a series of representations including fieldnotes, interviews, conversations, photographs, recordings and memos to the self. At this level, qualitative research involves an interpretive, naturalistic approach to the world. This means that qualitative researchers study things in their natural settings, attempting to make sense of, or to interpret, phenomena in terms of the meanings people bring to them. (2000: 3)”

Sementara itu, Nahid Golafshani dalam Understanding Reliability and Validity in Qualitative Research mengutip Patton (2001) yang menegaskan bahwa “qualitative research uses a naturalistic approach that seeks to understand phenomena in

context-specific settings, such as“real world setting [where] the researcher does not attempt to

manipulate the phenomenon of interest”” (Golafshani, 2003, hal. 600). Kemudian, demi

lebih mempermudah pemahaman, ada juga peneliti seperti Strauss dan Corbin yang

mendefinisikan penelitian ini dengan makna ‘sebaliknya’. “By the term „qualitative research‟ we mean any type of research that produces findings not arrived at by

statistical procedures or other means of quantification (Strauss and Corbin, 1998: 11)” (Ritchie & Lewis, 2003, hal. 3). Tidak seperti penelitian kuantitatif yang mencari kausal determinasi, prediksi, dan generalisasi dari berbagai penemuan, penelitian kualitatif mencari pencerahan, pemahaman, dan ekstrapolasi (perhitungan) dari sebuah situasi (Hoepfl, 1997 dalam Golafshani, 2003, hal 600).

A. 3. 2 Pendekatan Penelitian

Penelitian kualitatif memiliki 4 (empat) pendekatan utama berdasarkan tujuan akhir penelitiannya. Pendekatan pertama adalah contextual atau deskriptif, yang digunakan untuk mendeskripsikan tentang bentuk dan sifat dasar dari suatu fenomena. Yang kedua adalah pendekatan evaluative, yang digunakan untuk menakar atau menaksir efektifitas suatu fenomena. Yang ketiga adalah pendekatan generative, yang digunakan untuk menyokong perkembangan suatu teori, strategi atau aksi. Dan yang keempat adalah pendekatan explanatory, yang digunakan untuk mengusut latar belakang, alasan atau hubungan yang terjadi pada (satu) fenomena (Ritchie & Lewis, 2003, hal. 27).

Sesuai dengan tujuan dan rumusan masalahnya, maka pendekatan penelitian kali ini masuk ke dalam kategori qualitatif explanatory, dimana metode kualitatif yang digunakan kemudian bertujuan untuk mencari ‘penyebab’ dan ‘alasan sebenarnya’ dari


(22)

[20]

suatu kejadian, yaitu pengubahan atau pelunakan kebijakan moratorium menjadi MoU. Hal ini pun sesuai dengan penjelasan Ritchie dan Lewis,

“Explanatory research is concerned with why phenomena occur and the forces and influences that drive their occurence. Because of its facility to examine subjects in depth, qualitative research provides a unique tool for studying what lies behind, or underpins, a decision, attitude, behaviour or other phenomena. It also allows associations that occur in people’s thinking or acting – and the meaning these have for people – to be identified. These in turn may indicate some explanatory – even causal –link”. (Ritchie & Lewis, 2003, hal. 28)

Secara praktis, Ritchie dan Lewis menjelaskan, explanatory research dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor atau pengaruh yang mendasari suatu sikap dan keyakinan atau persepsi tertentu, motivasi-motivasi yang menyebabkan dikeluarkannya sebuah keputusan berupa aksi maupun non-aksi, latar belakang terbentuknya sebuah peristiwa baik pengalaman atau kejadian, serta sirkumstansi atau konteks dimana sebuah fenomena terjadi.

A. 3. 3 Strategi Penelitian

Strategi penelitian ini menggunakan studi kasus. Robert E. Stake dalam Handbook of Qualitative Research edisi pertama (Denzin & Lincoln, 1997, hal. 300)

menjelaskan bahwa studi kasus bisa berarti “proses mengkaji kasus” sekaligus “hasil dari proses pengkajian” tersebut. Penelitian studi kasus merupakan penelitian terfokus yang meneliti satu fenomena, nilai atau aspek dari sebuah kasus secara mendalam. Karena itu, setelah selesai melakukan penelitian, selain menemukan jawaban dari rumusan masalah, peneliti seringkali mendapati suatu pembelajaran yang unik dan menarik, termasuk studi suatu teori dan atau kasus lainnya. Berdasarkan tujuannya, terdapat 3 (tiga) kategori pembahasan dalam penelitian jenis ini, yaitu studi kasus intrinsik (intrinsic case study) yang ditempuh oleh peneliti karena ingin lebih memahami kasus yang dengan kekhususan dan kesederhanaanya tersebut sangat menarik, studi kasus instrumental (instrumental case study) yang digunakan untuk meneliti suatu kasus tertentu agar tersaji sebuah perspektif tentang isu atau perbaikan suatu teori, dan studi kasus kolektif (collective case study) yaitu kajian yang meneliti sejumlah kasus secara bersamaan agar dia [peneliti] dapat meneliti fenomena, populasi, atau kondisi umum (Denzin & Lincoln, 1997, hal. 301).

Berdasarkan keterangan diatas, maka penelitian studi kasus kali ini masuk kedalam kategori kajian instrumental case study, dimana sesungguhnya, kasus


(23)

[21]

(moratorium pengiriman TKI hingga penandatanganan MoU perlindungan dan penempatan TKI di Arab Saudi) bukan menjadi minat utama; namun memainkan peran suportif yang memudahkan pemahaman kita tentang sesuatu yang lain, yakni efek dari pemberlakuan moratorium tahun 2011 yang menjadi pendorong bagi pengubahan kebijakan MoU tahun 2014. Hal ini tidak lain adalah untuk menjawab pertanyaan besar

yang selalu menjadi akhir penelitian studi kasus yaitu, Stake menulis, “apa yang dapat dipelajari dari kasus tunggal?” (Denzin & Lincoln, 1997, hal. 301). Sehingga diharapkan, hasil peneltian kali ini dapat digunakan sebagai referensi maupun pelajaran bagi pihak-pihak yang memiliki concern dan atau terlibat dalam isu resolusi konflik maupun penyelenggaraan MoU.

A. 3. 4 Lokasi dan Jangkauan Penelitian

Proses penelitian ini sebagian besar dilaksanakan di Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebagian di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Beberapa proses seperti studi literatur, pengumpulan data sekunder dari berbagai sumber baik eletronik, media maupun kepustakaan, hingga proses analisa dan pengolahan data dikerjakan di DI Yogyakarta. Sementara untuk mendapatkan berbagai data primer berupa keterangan langsung dari para narasumber dan pejabat yang terkait dengan topik dan masalah penelitian, penulis mengadakan kunjungan dan wawancara ke beberapa kantor pemerintah seperti kedutaan besar serta Kementerian Luar Negeri di Jakarta. Secara duratif, penelitian ini memakan waktu selama sekitar 6 (enam) hingga 10 (sepuluh) bulan, terhitung sejak dimulainya proses pemilihan judul serta studi literatur pada September 2015.

Secara kasus, penelitian ini berfokus pada studi MoU dalam kerangka kebijakan dan perjanjian dua negara yang diantaranya menganalisa tentang latar belakang dan dinamika konflik ketenagakerjaan hingga alasan Indonesia mengusulkan penandatanganan MoU pada tahun 2014. Karena itu, batasan aktor yang dibahas pada penelitian ini adalah kedua negara yang berkonflik, yaitu Indonesia dan Arab Saudi. Sementara itu, batasan waktu dalam penelitian ini dimulai sejak pemberlakuan moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi pada Agustus 2011, hingga ditandatanganinya perjanjian MoU antara kedua negara pada 19 Februari 2014. Sehingga, hal-hal lain mengenai pihak ketiga atau peristiwa terkait TKI yang terjadi sebelum pemberlakuan moratorium tahun 2011 atau sesudah penandatanganan MoU tahun 2014, kalaupun dibutuhkan, tidak dibahas dalam porsi yang besar.


(24)

[22]

A. 3. 5 Metode Pengumpulan Data

Data-data dalam penelitian kali ini diperoleh melalui pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer didapatkan melalui proses wawancara mendalam atau in-depth interviews. Menurut Ritchie dan Lewis, metode ini difokuskan untuk menarik informasi dan data dari seorang (atau sedikit) individu dengan melakukan wawancara secara tertutup dan mendalam. Berbeda dengan metode focus groups yang dikonsentrasikan bagi pencapaian lebih general dan solutif (karena melibatkan diskusi kelompok), in-depth interviews berfokus pada eksplorasi sebuah isu secara mendalam dengan mengandalkan informasi, pandangan, pengalaman, serta sirkumstansi nara sumber yang prospektif dan atau yang terlibat langsung dalam peristiwa tersebut, sehingga data yang diperoleh pun bisa lebih detail dan akurat. Disamping itu, jika metode focus groups digunakan untuk memecahkan permasalahan yang abstrak dan konseptual, in-depths interviews digunakan untuk memahami proses dan isu-isu yang kompleks seperti mengenai motivasi, keputusan, dampak, serta akibat-akibat (Ritchie & Lewis, 2003, hal. 60).

Terkait dengan in-depth interviews, setidaknya ada beberapa pihak yang penulis wawancarai, yang sebagian besar dilaksanakan di Jakarta. Berikut adalah informasinya: Pihak pemerintah Indonesia:

1. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia

2. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Pihak Badan Nasional:

1. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI)

2. Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Yogyakarta

Pihak LSM / NGO dan Pelaku Bisnis: 1. Migrant Care

2. PJTKI

Sementara itu, data-data sekunder diperoleh melalui proses studi dokumen. Metode ini melibatkan proses analisa dokumen atau documentary analysis yang dimaksudkan baik untuk memahami konten substantifnya maupun untuk mendapatkan makna lebih mendalam dari ulasan materialnya. Dokumen-dokumen ini dapat berupa media reports, dokumen pemerintah seperti surat edaran moratorium, teks MoU dan perjanjian antar


(25)

[23]

negara, peraturan perundangan-undangan, arsip dan surat-surat kenegaraan, data terkait jumlah dan permasalahan TKI dari tahun ke tahun, serta berbagai dokumen pendukung lainnya.

A. 3. 6 Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah key informant sample. Key informant sample adalah metode sampling yang berfokus pada subjek dengan expertise atau keahlian tertentu (Marshall, 1996, hal. 523). Artinya, penulis memilih subjek berdasarkan keterkaitannya pada kasus dan atau inti permasalahan yang ingin dipecahkan oleh penulis, contohnya para pihak yang memiliki peran dalam peristiwa moratorium, proses negosiasi atau penandatangan MoU Indonesia-Arab Saudi serta pihak-pihak yang memiliki keterlibatan maupun concern dengan pengiriman TKI ke Arab Saudi tahun 2011 sampai 2014.

A. 3. 7 Metode Analisis Data

Proses analisis data diawali dengan pengumpulan data sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber terkait baik berupa lisan maupun tulisan. Setelah itu, langkah selanjutnya adalah data reduction atau data management, yaitu tahap menyortir atau mereduksi masa data dengan cara merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dan dicari pola serta temanya, sehingga sumber data menjadi lebih teratur dan terorganisir untuk langkah analisis selanjutnya. Kemudian, data-data tersebut dipelajari menggunakan pendekatan discourse analysis dan analytic induction.

Discourse analysis adalah metode analisa diskursus berdasarkan ‘bahasa’ tertentu atau penggunaan satu teori implisit yang digunakan untuk memahami sebuah fenomena sosial berdasarkan konteksnya. Pendekatan analisa ini diterangkan Ritchie dan Lewis sebagai berikut,

“...which is concerned with the way knowledge is produced within a particular discourse through the use of distinctive language (for example, legal discourse, medical discourse) or through the adoption of implicit theories in order to make sense of social action (for example, poverty, power, gender relations). Discourse analysis may also focus on what is going on in an interaction in terms of performances, linguistic styles, rhetorical devices and ways in which talk and text set out to convince and compete with alternative accounts.” (Ritchie & Lewis, 2003, hal. 200)


(26)

[24]

Sementara analytic induction merupakan metode analisa yang bertujuan untuk mengidentifikasikan sebuah hukum (laws) dan karakter sebenarnya dari sebuah fenomena. Lebih jauh, pendekatan ini dipaparkan sebagai berikut.

“...which aims to identify deterministic laws and the essential character of phenomena, involving an iterative process of defining a problem, formulating and testing a hypothesis, then reformulating the hypothesis or redefining the problem until all cases 'fit' the hypothesis.” (Ritchie & Lewis, 2003, hal. 201)

Tahap selanjutnya setelah analisa data adalah generalisasi. Generalisasi dimaksudkan untuk mengetahui apakah penemuan-penemuan yang dihasilkan dari berbagai studi tersebut relevan dengan konteks dan penelitian itu sendiri. Kemudian, apabila semua studi, penelitian dan analisa telah dirasa cukup, maka proses selanjutnya adalah reporting dan atau data presenting, yaitu penyusunan berbagai findings dan argumen kedalam satu tulisan yang sistematis.

A. 3. 8 Metode Interpretasi Data

Sesuai dengan tujuan dan pendekatan penelitian ini, yaitu explanatory, maka metode interpretasi data dilakukan sesuai dengan mekanisme explanatory. Metode interpretasi data dalam kajian explanatory menitik beratkan pada tujuan untuk

menjawab pertanyaan ‘mengapa’ dalam satu kejadian tertentu. Karena itu, setelah

berhasil mendeskripsikan suatu fenomena, tugas peneliti kemudian adalah mengumpulkan berbagai data yang diperlukan untuk menjawab rumusan masalah

dengan mencari ‘pattern‟ atau ‘pola’ yang menyebabkan rumusan masalah tersebut terjadi. Dalam mencoba menjawab pertanyaan ‘mengapa Indonesia melakukan pelunakan kebijakan terhadap Arab Saudi terkait perlindungan TKI tahun 2011-2014?’, penulis dituntut untuk mencari serangkaian pola (yang mengarah pada keuntungan maupun kerugian Indonesia) yang kemudian mendorong pemerintah Indonesia untuk mengusulkan penandatanganan MoU tersebut, dengan berbagai data yang telah dikumpulkan. Ritchie dan Lewis menjelaskan,

“Explanatory accounts tend to be developed at the later (or higher) stages of analysis when most of the descriptive and typological work has already been undertaken. In order to move from descriptive to explanatory accounts, the analyst will usually try to find patterns of association within the data and then attempt to account for why those patterns occur. Again, there are different ways in which lingkages may be found. There will be explicit associations that occur in the text or notes; lingkages between sets of phenomena; and associations between experiences, behaviours and perspectives and certain


(27)

[25]

characteristics of the study population.” (Ritchie & Lewis, 2003, hal. 215)

A. 3. 9 Menguji Reliabilitas dan Validitas Penelitian Dengan Teknik „Triangulasi‟ Kualitas dari sebuah penelitian ditentukan dari kemampuannya untuk menyuguhkan satu tulisan yang terpercaya (reliable) dan valid. Dan untuk itu, diperlukan satu teknik khusus yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat reliabilitas dan validitas data serta penemuan penelitian itu sendiri. Dalam penelitian kali ini, penulis menggunakan teknik triangulasi sebagai pengukur validitas dan reliabilitas hasil penelitian penulis. Teknik triangulasi didefinisikan oleh Creswell dan Miller sebagai berikut, “...a validity procedures where researchers search for convergence among multiple and different sources of information to form themes or categories in study” (Golafshani, 2003, hal. 604). Sementara menurut Denzin (1970), triangulasi adalah langkah pemaduan berbagai sumber data, peneliti, teori, dan metode dalam suatu penelitian tentang suatu gejala sosial tertentu (Denzin N. , 1970). Berdasarkan pengertian yang luas ini, Denzin kemudian membagi teknik triangulasi menjadi empat tipe, yaitu triangulasi sumber data, triangulasi peneliti, triangulasi teori, dan triangulasi metode.

Triangulasi sumber data adalah pengumpulan data dari beragam sumber yang berbeda dengan menggunakan satu metode yang sama. Contohnya, wawancara mendalam tentang satu topik tertentu dengan beberapa nara sumber yang memiliki peran dan atau keterlibatan berbeda dengan masalah yang diangkat. Denzin juga menjelaskan bahwa dalam triangulasi tipe ini, terdapat tiga dasar konfirmasi yaitu waktu, ruang, dan orang (yang meliputi agregat atau orang terpilih, interaktif atau grup kecil, dan kolektivitas atau masyarakat). Sementara triangulasi peneliti adalah pelibatan sejumlah peneliti yang berbeda disiplin ilmunya dalam suatu penelitian yang sama. Triangulasi peneliti dimaksudkan antara lain untuk menghindari potensi bias individu pada peneliti tunggal. Namun jika suatu penelitian melibatkan triangulasi peneliti, maka harus dipastikan bahwa peneliti yang paling ahli terlibat langsung dalam proses pengumpulan dan analisis data, karena jika diwakilkan pada peneliti junior maka triangulasi peneliti tersebut akan menjadi kurang atau bahkan tidak efektif. Selanjutnya triangulasi teori, adalah penggunaan sejumlah perpektif atau teori dalam menafsir seperangkat data. Triangulasi teori ini pada kenyataannya jarang sekali terpacai dalam penelitian sosial, karena setiap teori memiliki dasar asumsi yang berbeda-beda dan akan


(28)

[26]

menerangkan seperangkat data (yang sama) dengan cara yang berbeda pula. Kemudian triangulasi metode, adalah penggunaan sejumlah metode pengumpulan data dalam suatu penelitian. Triangulasi metode diperlukan karena setiap metode pengumpulan data memiliki kelemahan dan keunggulan sendiri, sehingga dengan memadukan sedikitnya tiga metode, misalnya pengamatan berperanserta, wawancara mendalam, dan penelusuran dokumen, maka kelemahan metode satu dan lainnya akan tertutupi sehingga tangkapan atas realitas sosial menjadi lebih terpercaya (Tani, 2015).

Berdasarkan keterangan tersebut, penulis menggunakan teknik triangulasi tipe sumber data dengan acuan dasar konfirmasi yaitu orang (agregat / orang terpilih). Berdasarkan teknik ini, validitas penelitian diukur dengan cara mempertanyakan satu jenis pertanyaan yang sama, tentang topik yang sama, kepada beberapa narasumber yang berbeda. Dalam kasus penulis misalnya, dengan rumusan masalah ‘mengapa Indonesia melakukan pelunakan kebijakan terhadap Arab Saudi terkait perlindungan TKI tahun 2011-2014?’, penulis menanyakan satu pertanyaan seperti ‘menurut anda, mengapa pemerintah Indonesia mengubah kebijakan perlindungan TKI dari moratorium menjadi MoU ketika itu?” kepada beberapa pejabat terkait seperti pihak Kementerian Tenaga Kerja RI, Kementerian Luar Negeri RI, serta beberapa pemangku NGO seperti Migrant Care dan ILO. Jika didapati bahwa para nara sumber menjawab alasan dibalik pengubahan kebijakan tersebut adalah A, dengan didukung oleh berbagai sumber data sekunder serta asumsi logis dalam hipotesis, maka hasil penemuan tersebut dapat dikatakan valid. Artinya, jawaban yang diperoleh tersebut terbukti dan terjaga konsistensinya.

A. 3.10 Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan, penulis membagi tulisan ini menjadi 5 (lima) bab:

Bab I. Pendahuluan

Bab ini berisi tentang basis penelitian yang berupa latar belakang penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, rumusan masalah, orisinalitas penelitian, kajian literatur, kerangka teori, hipotesis, metodologi penelitian (yang meliputi jenis penelitian, lokasi dan jangkauan penelitian, teknik pengumpulan data, metode analisis data, dan metode interpretasi data), serta sistematika penulisan sebagai gambaran keseluruhan penelitian ini.


(29)

[27]

Bab II. Kerjasama Ketenagakerjaan Antara Indonesia dan Arab Saudi

Bab ini mengisahkan tentang sejarah ketenagakerjaan kedua negara (Indonesia dan Arab Saudi) dilihat dari sudut pandang dan kondisi masing-masing negara. Kemudian, pembahasan dilanjutkan pada pemaparan tentang regulasi dan peraturan ketenagakerjaan domestik di masing-masing negara. Pada bab ini juga dijelaskan tentang motivasi kedua negara sehingga kemudian menjalin kerjasama di bidang ketenagekarjaan.

Bab III. Memorandum of Understanding (MoU) Antara Indonesia dan Arab Saudi Tahun 2014

Pada bab ini dipaparkan mengenai apa itu Memorandum of Understanding (MoU) dan apa itu moratorium, sebagai fenomena eskalasi puncak dalam konflik yang sedang diteliti. Selanjutnya dijelaskan juga mengenai munculnya berbagai masalah dan dinamika yang akhirnya mengantarkan kedua belah pihak pada langkah negosiasi dan penandatanganan MoU Perlindungan dan Penempatan TKI tahun 2014.

Bab IV. Faktor-Faktor Yang Mendorong Indonesia Mengusulkan

Penandatanganan MoU Perlindungan dan Penempatan TKI dengan Arab Saudi Pada Tahun 2014

Dengan menggunakan theory of ripeness, bab ini membahas tentang jawaban dari rumusan masalah penelitian, yaitu tentang terjadinya kondisi deadlock yang dialami oleh Indonesia, yang kemudian mendorong pemerintahnya untuk mengubah kebijakan moratorium tahun 2011 menjadi pengusulan Memorandum of Understanding (MoU) perlindungan dan penempatan TKI tahun 2014.

Bab V. Kesimpulan

Bab ini akan berisi tentang kesimpulan dari bab-bab sebelumnya, yang di dalamnya akan dibahas mengenai ringkasan studi, kritik (falsifikasi) teori, penguatan (afirmasi) teori, serta pemaparan tentang pandangan (insight) baru mengenai realitas dari subjek dan objek penelitian secara sederhana.


(30)

[1] BAB II

KERJASAMA KETENAGAKERJAAN INDONESIA DAN ARAB SAUDI

Terjadinya kerjasama ketenagakerjaan antar negara sesungguhnya dimotori oleh demam globalisasi. Tuntutan globalisasi yang mensyaratkan perkembangan di segala bidang yang di warnai kompetisi tinggi memaksa negara untuk menggunakan berbagai solusi dan alternatif agar tetap bisa survive sekaligus bisa bersaing dalam percaturan dunia. Negara kemudian dipacu untuk mengeksploitasi dan memanfaatkan segala potensi yang dimilikinya demi mencapai cita-cita tersebut.

Upaya survival sekaligus development inilah yang kemudian semakin meningkatkan interdependensi antar negara. Negara kemudian akan saling bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan satu sama lain. Dalam pembahasan selanjutnya, penulis akan mencoba menjelaskan tentang aspek-aspek yang melatarbelakangi dan memotivasi kerjasama ketenagakerjaan antara Indonesia dan Arab Saudi.

A.1. 1 Sejarah Ketenagakerjaan dan Migrasi Tenaga Kerja Indonesia

B.1.1.1 Masa Kolonial a. Belanda

Pasca runtuhnya kesultanan Mataram pada abad ke-18, okupansi Belanda yang dimulai pada sekitar tahun 1600 an menjadi semakin kuat dengan mendirikan Perusahaan Dagang Hindia Belanda (Vereenigde Oost-Indische Compagnie/VOC) di Jawa. Dominasi Belanda yang berlangsung selama tiga setengah abad atau sekitar 350 tahun tersebut telah dengan signifikan mengubah sistem sosial termasuk budaya ketenagakerjaan yang ada di Indonesia. Kehidupan sosial yang seolah terbagi ke dalam tiga kasta yakni pemerintah Belanda dan Eropa sebagai pemangku kekuasaan tertinggi dan pengelola perekonomian, priyayi atau aristokrat pribumi sebagai perantara petani dan sipil Eropa, serta para petani sebagai buruh dan budak, semakin mematangkan

mentalitas ‘buruh’ di kalangan rakyat Indonesia. Dengan menonjolnya sistem ekonomi perbudakan, para penduduk dipaksa bekerja di sektor-sektor yang notabene dirty dan dangerous seperti menjadi petani kasar, buruh di perkebunan, tukang bangunan, dan pelayan di rumah-rumah para penjajah.


(31)

[2]

Tak hanya di Nusantara, pemerintah Belanda pun mengirim dan mempekerjakan para penduduk pribumi ke beberapa wilayah di luar negeri, seperti New Caledonia dan Suriname, yang juga merupakan wilayah koloni Belanda. Namun bukan diprakarsai oleh kesadaran pribadi untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga, migrasi tenaga kerja ke luar negeri pada zaman itu lebih disebabkan karena tuntutan dan paksaan penjajah (Sitorus, 2011). Para buruh diharuskan bekerja selama 8 jam di perkebunan atau 10 jam di pabrik, 6 hari dalam seminggu, sesuai dengan masa kontrak yang umumnya mencapai 5 tahun. Exploitasi anak pun nampaknya sudah menjadi hal yang

lazim pada masa itu. Asyarifh menulis, “...para TKI laki-laki usia di atas 16 tahun yang bekerja di perusahaan perkebunan Suriname menerima gaji sebesar 60 sen sehari dan

pekerja wanita usia di atas 10 tahun sebesar 40 sen sehari” (Asyarifh, 2011).

b. Jepang

Langgengnya penjajahan Belanda ini kemudian berhasil digulingkan oleh pendudukan Jepang pada tahun 1942. Banyak yang melihat bahwa penjajahan Jepang memberi dampak seperti mata uang, di satu sisi dinilai lebih kejam dari pada penjajahan Belanda namun di sisi lain justru membantu membangun kekuatan dan nasionalisme pemuda Indonesia untuk mempersiapkan kemerdekaan. Hal ini terutama terlihat dari pola perekrutan tenaga kerja pada masa itu. Demi memenangkan perang Asia Timur Raya, Jepang memberlakukan sebuah sistem kerja paksa yang dikenal dengan istilah romusha. Para pekerja Romusha ini pada umumnya didatangkan dari desa-desa di Jawa yang terdiri dari pemuda petani dan pengangguran.

Tetapi Jepang ternyata tidak hanya membutuhkan tenaga para kuli untuk membangun berbagai prasarana perang, tetapi juga membutuhkan supply personil militer dalam jumlah besar untuk mendukung upaya ekspansinya. Karena itu, Jepang kemudian merekrut, melatih, dan mempersenjatai banyak kaum muda Indonesia sehingga banyak dari mereka yang menjadi ahli perang. Kemudian Jepang juga secara

tidak langsung telah ‘mendidik’ para pemuda Indonesia dibidang politik dengan memberikan akses dan kesempatan lebih besar untuk terlibat dalam proses pemerintahan dan perpolitikan saat itu.

Migrasi tenaga kerja yang kental terlihat pada masa penjajahan Jepang disebabkan oleh sistem romusha yang mengharuskan mobilisasi dan perpindahan pekerja ke berbagai wilayah di Nusantara demi membangun sarana dan prasarana perang bagi Jepang. Selain itu, beberapa aktivitas migrasi pola lama (forced migration)


(32)

[3]

seperti yang terjadi pada masa kolonial Belanda pun masih terjadi. Ditambah dengan berlangsungnya beberapa migrasi tradisional dari dan ke Malaysia yang dimotori oleh faktor pekerjaan dan kekerabatan.

B.1.1.2 Pasca Kemerdekaan dan Orde Lama (1945 – 1966)

Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, tampuk kepemimpinan Indonesia di pegang oleh Insinyur Soekarno yang selanjutnya berlangsung selama 21 tahun. Meskipun banyak yang menilai bahwa selama kurun waktu tersebut Soekarno telah gagal dalam membangun perekonomian Indonesia, namun dari segi ketenagakerjaan, pemerintahan era ini justru berhasil menelurkan beberapa peraturan perlindungan tenaga kerja yang terbilang sangat progresif, seperti; dibentuknya Kementerian Perburuhan pada 3 Juli 1947 melalui Peraturan Pemerintah No.3 tahun 1947 sebagai lembaga resmi yang secara khusus mengurusi masalah perburuhan; diratifikasinya sejumlah konvensi HAM dan buruh tingkat internasional; serta disahkannya beberapa Undang-Undang seperti UU No.21 tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan serta UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, sebagai follow up dari munculnya berbagai tuntutan dan perselisihan normatif materil antara buruh dan majikan di sekitaran tahun 1950an.

Kondisi ketenagakerjaan pada era ini sesungguhnya sangat didominasi oleh dinamika kemunculan dan vokalnya asosiasi gerakan buruh dalam perpolitikan Indonesia. Besarnya keterlibatan buruh inilah yang kemudian menghasilkan berbagai produk kebijakan ketenagakerjaan yang sangat protektif dan pro buruh. Diprakarsai oleh terbentuknya Barisan Buruh Indonesia (BBI) pada September 1945 yang mengusung perjuangan sosial ekonomi para buruh, berbagai level serikat buruh pun kemudian bermunculan di seluruh tanah air. Namun ironisnya, besarnya pengaruh dan popularitas gerakan buruh ini disalahgunakan secara politis. Berbagai partai politik seketika berduyun-duyun membentuk serikat buruh versi mereka, demi meraup dukungan dan suara pada pemilihan umum tahun 1955.

Dalam konteks migrasi tenaga kerja, penulis tak banyak menemukan catatan sejarah yang menjelaskan tentang dinamika maupun dokumentasi kebijakan di era ini. Pasalnya, selain karena masih disibukkan oleh upaya membangun bangsa pasca kolonialisme, pemerintah belum melirik potensi migrasi tenaga kerja (terutama pengiriman TKILN) sebagai salah satu sumber devisa bagi negara. Kementrian


(33)

[4]

Perburuhan yang saat itu didirikan pun hanya berfokus mengelola aspek ketenagakerjaan di dalam negeri. Mobilitas migrasi internasional yang dapat dilacak adalah perpindahan penduduk Indonesia ke negara-negara seperti Malaysia dan Arab Saudi yang biasanya dimotori oleh pekerjaan, hubungan kekerabatan, perpindahan permanen, dan untuk menunaikan haji.

B.1.1.3 Masa Orde Baru (1966 – 1998)

Pergantian era dari orde lama menuju orde baru ditandai dengan peralihan kekuasaan politik dari kepemimpinan Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret 1966 yang kontroversial (Simanjuntak, 2012). Peristiwa Supersemar ini kemudian menjadi tonggak dimulainya 32 tahun kekuasaan Soeharto yang dideklarasikan sebagai koreksi total terhadap budaya dan sistem politik era orde lama yang cenderung berfokus menjadi penyeimbang antara kekuatan nasionalis, agama, militer, dan komunis menjadi berfokus pada pembangunan ekonomi serta pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, serangkaian kebijakan dan strategi ekonomi pun dilaksanakan oleh Soeharto. Secara struktural, pemerintah mengubah nama birokrasi ketenagakerjaan yang sebelumnya bernama Kementrian Perburuhan menjadi Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi, sampai berakhirnya Kabinet Pembangunan III (1983). Kemudian pada Kabinet Pembangunan IV, pemerintah membagi Departemen ini menjadi 2, yaitu Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Kementrian Koperasi, karena melihat besarnya porsi tugas yang diemban (Asyarifh, 2011). Secara praktis, percepatan pertumbuhan ekonomi dimulai dengan menjalankan strategi Pembangunan Lima Tahun (Pelita), yang difokuskan pada sektor pertanian dan industri.

Namun target pertumbuhan ekonomi berbasis ekonomi global yang sejak awal dihasratkan Soeharto lambat laun menggeser dominasi sektor pertanian di dalam negeri. Berbagai fasilitas, sarana dan infrastruktur perindustrian yang dibangun rejim ini mensyaratkan penggunaan lahan besar-besaran sehingga memaksa penduduk untuk merelakan tanah pertanian mereka untuk dibangun pabrik dan gedung bertingkat. Hilangnya lahan pertanian ini secara otomatis juga menghilangkan sumber mata pencaharian utama berjuta penduduk, yang kemudian menyebabkan tingginya angka pengangguran dan meningkatnya keresahan tenaga kerja. Kendati upaya-upaya penyediaan lapangan kerja seperti Program padat karya dan transmigrasi, disamping


(1)

Parties to the Agreement are:

First Party : The Government of the Kingdom of Saudi Arabia represented by the Ministry of Labor

Second Party

: The Government of the Republic of Indonesia

represented by the Ministry of Manpower and Transmigration

Article 1

This Agreement shall aim at establishing an effective mechanism for placement of Indonesian domestic workers. ensuring the protection of the rights of both Indonesian domestic workers and their employers, and sHtting standard of employment contract in accordance with their respe:ctive applicable laws and regulations.

Article 2 The Parties shall:

a. take all necessary measures, in a manner prescribed by their respe:ctive applicable laws and regulations, which may include international norms, to ensure effective and equal protection of the rights of domestic wo1rkers and their employers, including the rights to have effective legal イ・ュeセ 、 ゥ・ウ@ as available to their legal system for the protection of such rights;

b. cooperate through dialogue and consultation through diplomatic channel in addressing all issues relating to the implementation of this Agreement;

c. ensure that all recruitments of Indonesian domestic workers be ca1rried out by licensed recruitment offices, companies or agencies;

d.

Take all necessary measures to ensure compliance of the licensed

recruitment offices, companies or agencies to their applicable domestic

Gf1


(2)

laws and regulations with respect to placement of the ャ ョ、ッョエセウゥ。ョ@

domestic workers in Saudi Arabia;

e. endeavor to control recruitment costs in both countries ;

f. endeavor to develop a robust management of placement of lndonE3Sian domestic workers , including development of online recruitment and placement system;

g. develop guidelines for placement and protection of Indonesian domestic workers, setting out responsibilities of domestic workers, employers and licensed recruitment offices, companies and agencies;

h. Adopt a standard employment contract for domestic workers , the tenct of which shall have been accepted by the competent authorities of the two countries, which shall be binding among the contracting parties (Employer, Domestic Worker, Saudi Recruitment Offices and Indonesia Recruitment Agencies) ;

i. In accordance with the prevailing laws and regulations of both countries , require that the employment contract include at least the following clauses:

(1). type of work and working time (2). place of work

(3). duties and responsibilities of the employer and the worker (4) . wage and its payment

(5). day off and leave

(6) . duration, extension and termination of contract

Article 3


(3)

a. Supervise and take all necessary measures with a view to ・ョウオイゥョセS@ the implementation of all the terms of employment contract between the employer and the domestic worker;

b. ensure the fulfillment of the right of Indonesian domestic workers to hold their own travel document, identification document or any other personal documents in any circumstance except in confiscation as authorized by court of Saudi Arabia, and to communicate freely with their families;

c. issue a valid identity card after the arrival of an Indonesian domestic worker in accordance with its applicable laws and regulations;

d. endeavor to require employers to provide an insurance scheme with a view to protecting the right of Indonesian domestic workers andl the interest of their employer;

e. facilitate the opening of a bank account by the employer under the ntame of an Indonesian domestic workers for depositing his I her income as provided in the employment contract;

f. endeavor to establish a mechanism which will provide 24 hour assistance available to the Indonesia domestic workers;

g. Facilitate the exercise of consular protection and assistance rendereld by Indonesian diplomatic or consular missions, by providing information about any Indonesian domestic workers arrested or imprisoned or detained as per the applied laws and regulations:

h. Facilitate the repatriation of domestic workers upon contract compleltion, emergency situations or as the need arises, including the issuanoe of r

Jl


(4)

Article 4

In accordance with its applicable laws and regulations, the Second Party セ[ィ。ャャ Z@

a. require that prospective Indonesian domestic workers between 21 - 55 years of age;

b. ensure that the prospective recruited Indonesian domestic workers have no criminal record ;

c. provide training to Indonesian domestic workers on specific skills as required in the employment contract, and knowledge on culture, customs and social practices in Saudi Arabia;

d. ensure that Indonesian domestic workers satisfy health requirement as determined by Saudi Arabia;

e. Take necessary action towards facilitating transport of prospective workers to the Kingdom within a period not exceeding 1 (one) month from the date of receipt of visa by the recruitment agencies in ャョ、ッョ・セウゥ。 N@

Article 5

1. An employment contract between an Indonesian domestic worker and her

I

his employer shall be valid only when it is formulated in understandable languages and agreed by both parties to the contract and may be verified by any Party.

2. The Parties within their respective competences shall take any necessary measures to ensure full implementation of the terms of the employment contract. For that purpose, both Parties undertake to provide effective legal remedies for both Indonesian domestic workers or employers in the event of breach of employment contract, including to/\,$) secure the right of any party to claim compensation.

()>

#


(5)

3. The Parties shall exert its best endeavor to settle any dispute arising between an Indonesian domestic workers and her

I

his employer in accordance with the law of Saudi Arabia.

Article 6

1.

The parties agree to establish a Joint Working Committee comprising relevant officials from respective Parties to discuss any matter arising from the implementation of this Agreement.

2. The Joint Working Committee shall meet from time to time and 、・ウゥセjョ。エ・@

the venue and the date of the meeting.

Article 7

Any dispute arising out of the interpretation or implementation of this agreement shall be settled amicably through consultations or negotiations between the Parties.

Article 8

1. Each Party shall notify the either Party in writing through diplomatic channels of completion of its constitutional procedures for the entry into force of this Agreement. This Agreement shall be effective as of the date of the later notification.

2. This agreement shall be in force for a period of 3 (three) years and automatically renewable for the same periods unless either party notify in writing its intention to terminate this agreement 2 (two) months prior to its expiration.

3. Either Party may terminate this Agreement at any time by giving written

notification to the other Party 6 (six) months in advance of the intended

GfJ


(6)

セMMMMM MMMMMMMMMMMMMM MMMMMMMMM

4. Notwithstanding the termination of this Agreement, its provision shall

remain in force with regard to employment contracts concluded during the validity of this Agreement. The termination of this Agreement shall not affect the completion of ongoing programs of projects under this Agreement, unless jointly decided otherwise by the Parties.

Article 9

The Agreement may be amended or revised by mutual consent between the Parties. Such amendment or revision shall come into force pursuant to the Article 8 paragraph 1.

IN WITNESS WHEREOF, the undersigned, being duly authorized thereto by

their respective Governments, have signed this Agreement.

DONE in duplicate, in Riyadh on the 191h of February 2014, in Indonesian,

Arabic, and English languages, all texts being equally authentic. In case of

W

any divergence of interpretation of this Agreement, the English text shall ')__

prevail.

q::.

ON BEHALF OF

THE GOVERNMENT

OF THE REPUBLIC OF INDONESIA

Signed

Muhaimin Iskandar

Minister for Manpower and

Transmigration

ON BEHALF OF

THE GOVERNMENT OF THE KINGDOM OF SAUDI ARABIA

Signed

Adel M. Fakeih

Minister of Labor