Aktivitas dakwah K.H.Muhyiddin Na'im melalui masjid al-Akhyar kemag Jakarta selatan

(1)

JAKARTA SELATAN

Skripsi

Diajukan Pada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I)

Oleh

Ahmad Shofi NIM : 105051001960

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H / 2010 M


(2)

MELALUI MASJID AL-AKHYAR KEMANG

JAKARTA SELATAN

Skripsi

Diajukan Pada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I)

Oleh

Ahmad Shofi NIM : 105051001960

Dibawah Bimbingan :

Umi Musyarafah, MA. NIP : 19710816997031004

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1431 H / 2010 M


(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 15 Juni 2010


(4)

Ahmad Shofi

AKTIVITAS DAKWAH K.H. MUHYIDDIN NA’IM DI WILAYAH CIPETE JAKARTA SELATAN

Kegiatan kerja yang dilaksanakan pada tiap bagian suatu organisasi atau lembaga, sedangkan dakwah pada hakikatnya adalah ajaran atau seruan kepada umat manusia untuk menuju kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat sesuai dengan pedoman Al-Qur’an dan Hadits. Aktivitas dakwah akan berjalan dengan baik apabila para da’i atau da’iyahnya memenuhi semua unsur-unsur dakwah baik dari subjek dakwah, maupun objek dakwahnya seiring dengan perkembangan zaman dan masyarakat atau mad’u yang heterogen. Maka seorang da’i harus pandai-pandai memilih metode yang baik untuk digunakan dalam penyampaian dakwahnya. Sedangkan masjid disini mempunyai peranan yang sangat berhubungan selain digunakan untuk mengerjakan sholat 5 waktu secara berjama’ah, masjid juga dapat digunakan untuk berbagai hal yang berbau mensyiarkan agama Islam.

K.H. Muhyiddin Na’im dikenal sebagai muballigh yang aktif diberbagai majelis pengajian yang ada di jabodetabek khususnya pada Masjid Al-Akhyar Kemang Jakarta-Selatan, selain itu beliau juga aktiv dalam berbagai macam lembaga pemerintah seperti NU, MUI dan FUHAB yang beliau sendiri mempunyai peranan yang penting dalam lembaga-lembaga tersebut.

Berdasarkan latar belakang tersebut, yang ingin diketahui dari penelitian ini adalah bagaimana aktivitas dan bentuk dakwah beliau dalam mengembangkan dakwah Islam. Jadi, metode penelitian yang digunakan dalam skripsi inni dengan menggunakan Metode Kualitatif dengan cara analisis isi, yakni berdasarkan data-data, wawancara, observasi dan berbagai sumber tertulis maupun lisan yang berkaitan dengan dakwah K.H. Muhyiddin Na’im. pada masjid Al-Akhyar ini juga mendapatkan dukunga dari berbagai pihak atas kegiatan-kegiatan dakwah yang dilakukan pada masjid Al-Akhyar.

Dari penlitian ini ditemukan bahwa aktivitas K.H. Muhyiddin Na’im dalam mengembangkan dakwah Islamnya lebih mengedepankan dari kegiatan sosial beliau dimasyarakat luas ataupun dari segi pendidikan dan pengalaman beliau yang cukup luas dengan tujuan agar mad’u mendapatkan motivasi dan berbagi pengalaman untuk menuju masyrakat Islam yang idealis.

Pada zaman yang modern ini, sangat diharuskan agar perkembangan Islam terus berkembang dan maju. Dengan landasan kesatuan antar sesama muslim. Sebagai umat muslim kita harus berperan aktif dalam memperjuangkan agama Allah SWT sehingga umat Islam tetap pada seorang muslim yang menjalankan perintah agama.


(5)

Alahmdulillah wa Syukurillah, puji syukur penulis panjatkan atas semua ni’mat dan karunia yang Allah SWT berikan selama ini, yang tak henti-hentinya memberikan kekuatan yang luar biasa disaat penulis merasakan lelah, jenuh menghadapi semua kesulitan dalam penyusunan skripsi ini, sehingga skripsi yang berjudul Aktivitas Dakwah K.H. Muhyiddin Na’im di Wilayah Cipete Jakarta Selatan telah selesai disusun.

Sholawat beserta salam semoga terlimpah curahkan kepada Rasulullah Nabi Besar Muhammad SAW yang dengan limpahan syafa’atnya menuntun umatnya kejalan kebaikan, yaitu jalan yang diridhoi Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata, karena sesungguhnya tanpa kehendak-Nya segala sesuatu tidak mungkin terjadi. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Betapapun hebatnya manusia, tak ada yang bisa melakukan segala sesuatunya sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Untuk itu perkenankanlah penulis secara khusus dengan rasa hormat dan bangga menyampaikan ucapan terima kasih yang mendalam kepada :

1. Bapak Dr. Arief Subhan MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwan dan Ilmu Komunikasi

2. Drs. Wahidin Saputra MA, selaku Pembantu Dekan Akademik, Drs. H. Djalaluddin MA, selaku Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum dan Drs. Study Rizal LK. MA, selaku Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Ilmu dakwah dan Komunikasi


(6)

Penyiaran Islam

4. Ibu Umi Musyarrafah MA, selaku Sekertaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam sekaligus Dosen pembimbing skripsi yang telah banyak membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini, dan juga meluangkan waktu, fikiran dan tenaga, dalam memberikan arahan dan bimbingan disela-sela kesibukan beliau. Serta telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan perkuliahan ini. Dan dalam pengurusan nilai-nilai kuliah. Terima kasih ibu.

5. Seluruh Doden Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah memberikan ilmu, pengalaman dan wawasan serta kontribusi yang tak ternilai harganya. Semoga menjadi amal ibadah yang tak akan terputus. Dan tak lupa kepada seluruh staff dan karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, juga para staff perpustakaan Fakultas maupun Universitas yang telah memberikan pelayanan kepada penulis selama menjalani studi di kampus ini.

6. Bapak. K.H. Muhyiddin Na’im MA selaku objek yang penulis teliti, penulis mengucapkan banyak terima kasih telah diizinkan untuk meneliti serta waktu, fikiran, pengalaman, tenaga, ilmu yang beliau luangkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga beliau selalu diberi kekuatan sehingga ilmu beliau terus menerus dapat di syiarkan.

7. Seluruh keluarga besar H. Nipan (Alm) dan K.H. Moh Na’im (Alm), Abinda tercinta K.H. Mahmud Nipan yang telah berpulang ke rahmatullah semoga beliau diterima disisi-Nya Amin…Serta uminda


(7)

iv

anak-anaknya sehingga kami menjadi orang yang berpendidikan, motivasi, do’a dan seluruh pengorbanan beliau yang tidak terhingga baik berupa moril maupun materil. Jasa kalian tak dapat dibalas dengan apapun.

Terima kasih ya Abi….. Terima kasih ya Ummi….

8. Untuk semua saudara-saudariku tercinta, Hj.Lutfiah beserta suami H. Ahmad Mauluddin, Kasyful Anwar semoga diberi kemudahan, Fakhrur El-Rozie, Aminuddin Zuhrie beserta istri Dewi, Fathiyah beserta suami Bapak Alvin, Fatimah Az-Zahro’ besrta suami Khatib Jum’ah, adeku yang paling bontot Rifki Fauzi. semoga kalian terus menerus diberkahi dan diridhoi didunia maupun akhirat. Amiiiinnn….

9. Teman-temanku seperjuangan semua yang kucinta baik dari kampus UIN maupun dari luar, Vikar, Kikim, Rihab, sdri Azzah, dan semua rekan yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, thanks guys. Semoga jalan hidup yang kita jalani selalu diberi petunjuk oleh Allah SWT amiiinn…moga tali silaturrahim kita semua tetap terjaga…amiiiinn….

Akhir kata, hanya do’a dan harapan yang dapat penulis panjatkan, semoga semua kebaikan kalian, senantiasa Allah SWT balas dengan limpahan yang berlipat ganda disertai keberkahan oleh-Nya. Amin, Amin yaa Rabbal ‘Alamiiin,,,,,

Jakarta, 14 Mei 2010


(8)

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

D. Metodologi Penelitian ... 5

E. Kajian Pustaka... 6

F. Sistematis Penulisan... 7

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Aktivitas ... 9

B. Pengertian Dakwah ... 10

C. Pengertian Aktivitas Dakwah... 13

D. Unsur-Unsur Dakwah ... 14

E. Sasaran Dakwah ... 27

F. Pengertian Masjid ... 35

BAB III PROFIL K.H. MUHYIDDIN NA’IM DAN MASJID AL-AKHYAR A. Profil K.H. Muhyiddin Na’im... 36

1. Latar Belakang Keluarga... 36


(9)

vi

BAB IV ANALISIS DATA AKTIVITAS DAKWAH ISLAM K.H. MUHYIDDIN NA’IM

A. Aktivitas K.H. Muhyiddin Na’im ... 47

B. Bentuk Dakwah K.H. Muhyiddin Na’im ... 49

C. Faktor Pendukung, Hambatan-hambatan yang dihadapi serta Penanggulangannya pada Masjid Al-Akhyar... 52

1. Faktor Pendukung ... 52

2. Faktor Penghambat ... 53

3. Cara-cara Penanggulangannya ... 54

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 55

B. Saran-saran... 56

DAFTAR PUSTAKA... 58


(10)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dakwah memegang peranan yang sangat penting di dalam kehidupan bermasyarakat. Maju mundurnya sebuah masyarakat ditentukan oleh ulama dalam membimbingnya. Hal ini mengingat perkembangan, perubahan, dan kemajuan masyarakat berlangsung demikian pesat dan cepat. Respon masyarakat atas perkembangan dan kemajuan zaman tersebut, membuat banyak warga dunia terus berbenah diri, agar mereka tak tertinggal peradaban modern yang ditandai dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Demikian halnya dengan dunia dakwah. Secara global, sejauh ini syi’ar Islam masih disampaikan dengan cara dan strategi yang kurang tepat sasaran. Dari mulai materi, cara penyampaian, hingga penguasaan wawasan yang kurang mendalam dari seorang da’i, padahal Islam harus disampaikan dengan cara metodologi yang tepat dan benar, serta dapat dicerna dan dapat diterima banyak dari kalangan masyarakat luas terutama umat Islam. Dakwah secara definitif adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana ke jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.1

Kegiatan berdakwah telah berlangsung seumur sejarah kehidupan manusia. Sejak bapak manusia pertama Nabi Adam AS, hingga Nabi

1

Toha Yahya Omar, Islam dan Dakwah, (Jakarta: PT. Al Mawardi Prima, 2004), Cet. Ke-1. h. 67


(11)

Muhammad SAW sekarang ini. Dahulu Rasulullah SAW pada awal masa kenabian, tidak langsung diperintahkan berdakawah terang-terangan kepada seluruh manusia, akan tetapi beliau berdakwah dengan kerabat-kerabatnya dulu. Setelah itu beliau diperintahkan berdakwah secara terang-terangan terhadap orang lain atau orang banyak.

Seorang ulama ditengah-tengah masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengubah tingkah laku sosial masyarakat, hal ini didasarkan pada sebuah asumsi bahwa seorang ulama keberadaannya di tengah masyarakat sangat dibutuhkan dan dihormati.

Satu kehormatan masyarakat terhadap seorang ulama, karena keluasan Ilmu pengetahuan yang dimilikinya, khususnya dalam pengetahuan agama. Dalam ajaran Islam, ulama memang memiliki kedudukan yang tinggi dan peranan yang penting dalam kehidupan umat. Sedemikian penting kedudukan ulama di tengah kehidupan masyarakat, sehingga seseorang ulama diharapkan mampu meneruskan, mengembangkan dan melaksanakan apa yang telah dicontohkan dan disunnahkan oleh para nabi.

Dalam peran lainnya, peran ini sering disebutkan juga sebagai amar ma’ruf nahi munkar yang rinciannya meliputi tugas untuk :

1. Menyebarkan dan mempertahankan ajaran nilai-nilai agama. 2. Melaksanakan control dalam masyarakat (social of change) 3. menjadi agen perubahan sosial (agen of change)2.


(12)

Dakwah merupakan suatu keharusan dalam rangka mengembangkan agama. Dakwah harus dilakukan sesuai dengan perkembangan zaman sekarang yang sudah maju dalam hal teknologi maupun ilmu pengetahuan.

Aktivitas dakwah yang baik akan membawa pengaruh terhadap kemajuan agama dan sebaliknya aktivitas dakwah yang kurang baik akan berakibat pada kemunduran agama, sehubung adanya hubungan timbal balik seperti itu maka dapat dimengerti jika Islam merupakan kewajiban dakwah atas setiap pemeluknya.

Peran ulama sangatlah besar dalam menyebarkan ajaran Islam. Diantara peran yang cukup besar dari seorang ulama adalah agen perubahan sosial masyarakat menuju tatanan kehidupan yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Hal ini dilakukan oleh seorang ulama dengan cara mengajak manusia untuk mengikuti jalan Allah SWT melalui ajaran dakwah yang ia lakukan, karena pada dasarnya dakwah adalah merupakan manifestasi iman yang paling utama yang dimiliki seseorang. Sebab dakwah itu tidak lain kecuali menunjukkan jalan yang haq kepada segenap insan, menanamkan rasa cinta kepada kebaikan dan benci kebathilan serta kejahatan, dan membawanya keluar dari kebohongan serta kekalutan.3

Atas uraian di atas, maka penulis merasa terdorong untuk mengadakan penelitian seputar bentuk dakwah K.H. Muhyiddin Na’im baik pada pengajian yang diadakan di Masjid Al-Akhyar Kemang Jakarta selatan, yaitu melalui ilmu yang beliau dapat dan pengalaman beliau yang aktif dalam Majlis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlotul ‘Ulama (NU), dan berbagai organisasi sosial


(13)

masyarakat. Dan beliau juga aktif di organisasi mancanegara seperti Persatuan Mahasiswa Idonesia di Damaskus Syiria dan Masyarakat Islam Idonesia di kedutaan Damaskus. Serta dilihat dari letak geografis Masjid Al-Akhyar yang berada ditengah keramaian bagi para turis kafe-kafe asing, restaurant asing, ataupun keramian bagi para anak muda sekarang ini, sehingga penulis merasa tertarik untuk mengangkat sebuah skripsi dengan judul “Aktivitas Dakwah K.H. Muhyiddin Na’im Di Masjid Al-Akhyar Kemang Jakarta Selatan”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar penelitian lebih terarah dan memudahkan untuk menelitinya, maka peneliti membatasi penelitian ini mengenai bentuk dakwah K.H. Muhyiddin Na’im Di Masjid Al-Akhyar Kemang Jakarta Selatan.

2. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

a. Apa saja aktivitas K.H. Muhyiddin Na’im?

b. Bentuk dakwah apa saja yang digunakan oleh K.H. Muhyiddin Na’im? c. Apa saja faktor pendukung, penghambat dan cara penaggulangannya

pada masjid Al-akhyar?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:


(14)

a. Untuk mengetahui aktivitas dakwah K.H. Muhyiddin Na’im.

b. Untuk mengetahui bentuk dakwah yang digunakan oleh K.H. Muhyiddin Na’im.

c. Untuk mengetahui kelebihan atau kekurangan yang ditemukan dalam penyampaian ajaran Islam pada Masjid Al-Akhyar

2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi perkembangan wacana keilmuan dakwah Islam, terutama tentang aktivitas dakwah Islam seorang da’i yang sukses dan membawa peningkatan multiguna bagi umat Islam. Sekaligus dapat menambah khazanah keilmuan dakwah Islam K.H. Muhyiddin Na’im dengan pengalaman, pengetahuan, dan motifasinya terhadap dakwah Islam. b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tindakan praktis untuk memberikan pengetahuan kepada penulis tentang aktivitas dakwah K.H. Muhyiddin Na’im. Dan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah intelektual, wawasan dan gambaran secara utuh mengenai dakwaH.

D. Metodologi Penelitian

Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang dihasilkan dari suatu data-data yang dikumpulkan


(15)

berupa kata-kata, gambar, dan merupakan penelitian ilmiah4. Serta wawancara langsung dengan beliau dan buku-buku yang digunakan oleh penulis adalah buku-buku yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

1. Subjek dan objek penelitian

Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah K.H. Muhyiddin Na’im. Sedangkan yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah aktivitas dakwah Islam K.H. Muhyiddin Na’im melalui masjid Al-Akhyar Kemang Jakarta Selatan.

2. Tehnik pengumpulan data

a. Observasi, yaitu penulis langsung mendatangi kediaman K.H. Muhyiddin Na’im yang beralamat dijalan H. Moh. Na’im Cipete. Guna untuk mendapatkan data-data yang akurat tentang aktifitas dakwah K.H. Muhyiddin Na’im, serta turut dalam pengajian yang dipimpin langsung oleh beliau. Satu kali dalam seminggu, yaitu tiap hari senin pukul 18.30 WIB atau setelah maghrib yang diadakan di Masjid Al-Akhyar.

b. Dokumentasi, yaitu data yang diperoleh dari buku-buku tertentu atau dokumen-dokumen yang berkaitan dengan apa yang diteliti penulis dan internet yaitu dengan membuka situs-situs yang sangat berkaitan dengan penelitian tersebut.

c. Wawancara, merupakan alat pengumpulan informasi langsung tentang beberapa jenis data.5 Dalam penelitian ini penulis menunjukkan pertanyaan-pertanyaan langsung dan via telepon

4

Lexy, J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:Remaja Rosda Karya,1999), Cet, Ke-10, h. 3

5


(16)

dengan K.H. Muhyiddin Na’im, dan beberapa pengurusnya (H.Muhiddin sebagai ketua masjid, H.Syahroni sebagai sek. Masjid, hakim sebagai ket. Remaja Masjid Al-Akhyar Kemang Jakarta Selatan) dan masyarakat sekitar masjid (Bpk.Aripin, Sdra Yudi, Sdra Ahmad Sani).

E. Tinjauan Pustaka

Ada beberapa skripsi yang menjadi tinjauan pustaka bagi penulis kali ini, namun ada beberapa poin penting yang diambil sebagai perbandingan antara skripsi sudah ada dengan skripsi yang penulis buat, antara lain:

1. Subjek pada skripsi yang peneliti angkat, aktif diberbagai lembaga pemerintahn serta lebih mengedepankan jiwa sifat sosialnya. Beda halnya dari skripsi sebelumnya yang sifatnya, lebih cenderung aktif pada satu majeli taklim saja, seperti skripsi yang berjudul “Aktivitas Dakwah Habib Hasan bin Ja’far Assegaf di Majelis Taklim Nurul Mustofa Ciganjur”. 2. Objek pada skripsi sebelumnya hanya cenderung tertuju pada kaum wanita

saja. Sedangkan objek yang peneliti angkat bersifat umum baik laki-laki, remaja, bapak-bapak, maupun perempuan. Yang berjudul “Aktivitas Dakwah Ustzh. Hj. Ida Farida M.A”

F. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan skripsi ini, penulis akan menguraikannya kedalam beberapa bab sebagai berikut:


(17)

Bab I Pendahuluan. Meliputi latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka dan sistematis penulisan.

Bab II Landasan teoritis. Terdiri dari pengertian aktifitas, Pengertian Dakwah, Pengertian Aktifitas Dakwah, Unsur-Unsur Dakwah, sasaran Dakwah dan Pengertian Masjid

Bab III Profil K.H. Muhyiddin Na’im dan Profil Masjid Al-Akhyar Kemang Jakarta Selatan. Meliputi Latar Belakang K.H. Muhyiddin Na’im, Pendidikan beliau serta aktivitas beliau. Dan Profil Masjid Al-Akhyar meliputi sejarah, struktur, dan tujuan Masjid Al-Akhyar.

Bab IV Analisis aktivitas dakwah Islam K.H. Muhyiddin Na’im pada Masjid Al-Akhyar. Meliputi aktivitas dan bentuk dakwah Bil-Lisan, Bil-Qolam, Bil-Hal. Dan Faktor yang penghambat dan pendukung serta cara penanggulannya pada masjid Al-Akhyar.

Bab V Penutup, Kesimpulan dan saran-saran dari hasil penelitian yang dilakukan.


(18)

TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian Aktivitas

Aktivitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “aktifitas adalah keaktifan, kegiatan-kegiatan, kesibukan atau bisa juga berarti kerja atau salah satu kegiatan kerja yang dilaksanakan tiap bagian dalam tiap suatu organisasi atau lembaga.”1

Sedangkan menurut Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, yaitu bertindak pada diri setiap eksistensi atau makhluk yang membuat atau menghasilkan sesuatu, dengan aktivitas menandai bahwa hubungan khusus manusia dengan dunia. Manusia bertindak sebagai subjek, alam sebagai objek. Manusia mengalih wujudkan dan mengolah alam. Berkat aktivitas atau kerjanya, manusia mengangkat dirinya dari dunia dan bersifat khas sesuai ciri dan kebutuhannya.

Dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali aktifitas, kegiatan atau kesibukan yang dilakukan manusia. Namun, berarti atau tidaknya kegiatan tersebut bergantung pada individu tersebut. Karena, menurut Samuel Soeltoe sebenarnya aktivitas bukan hanya sekedar kegiatan. Beliau mengatakan bahwa aktifitas dipandang sebagai usaha mencapai atau memenuhi kebutuhan.2

1

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2004), cet. Ke- 3, h. 17

2

Samuel Soeltoe, Psikologi Pendidikan II, (Jakarta: FEUI. 1982), h. 52


(19)

B. Pengertian Dakwah

Kata dakwah berasal dari bahasa Arab Dakwah dan kata daa’a, yad’u

yang berarti panggilan, ajakan dan seruan.3 Di samping itu, makna dakwah secara bahasa juga mempunyai arti:

1. An-Nida artinya memanggil.

2. Menyeru; ad-du’a ila syai’i, artinya menyeru dan mendorong sesuatu. 3. Ad-dakwah ila qadhiyah, artinya menegaskannya atau membelanya baik

terhadap yang haq ataupun yang batil, yang positif maupun yang negatif. 4. Suatu usaha berupa perkataan atau perbuatan untuk menarik manusia ke

suatu aliran atau agama tertentu (Al-Misbah Al-munir, pada kalimat

da’aa).

5. Memohon dan meminta, ini yang sering disebut dengan istilah berdo’a.4 Menurut pendapat K.H. M. Isa Anshari, dakwah yaitu menyampaikan seruan Islam, mengajak dan memanggil umat manusia, agar menerima dan mempercayai keyakinan dan hidup Islam.

Ki Moesa A. Machfoeld dalam bukunya Filsafat Dakwah (Ilmu Dakwah dan Penerapannya) mendefinisikan dakwah yaitu panggilan, tujuannya membangkitkan kesadaran manusia untuk kembali ke jalan Allah SWT. Upaya memanggil atau mengajak kembali manusia ke jalan Allah tersebut bersifat ekspansif yaitu memperbanyak jumlah manusia yang berada di jalan-Nya.5

3

Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 2 4

Jum’ah Amin Abdul ‘Aziz, Fiqh Dakwah Prinsip dan Kaidah Asasi Dakwah Islam, (Solo: Era Intermedia, 1998), cet. Ke-3, h. 25

5

Ki Moesa A. Machfoeld, Filsafat Dakwah “Ilmu Dakwah dan Penerapannya”, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2004), h. 15


(20)

Pengertian dakwah dibedakan dengan beberapa kata yang bersaudara yaitu ta’lim, tadzkir dan tashwir. Ta’lim artinya mengajar, tujuannya untuk menambah pengetahuan orang yang diajar. Tadzkir artinya mengingatkan, tujuannya untuk memperbaiki kelupaan orang kepada sesuatu yang harus selalu diingat. Sedangkan tashwir artinya melukiskan sesuatu pada alam pikiran orang, tujuannya untuk membangkitkan pengertian akan sesuatu yang dilukiskan.6

Dakwah menurut Syaikh Ali Mahfudz yaitu mengajak manusia untuk mengerjakan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka dari perbuatan jelek, agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat.7

Jum’ah Amin Abdul Aziz dalam Fiqh Dakwah mengartikan dakwah sebagai usaha menyeru manusia kepada Islam yang hanif dengan keutuhan dan keuniversalannya, dengan syiar dan syariatnya, dengan aqidah dan kemuliaan akhlaknya, dengan metode dakwahnya yang bijaksana dan saran-sarannya yang unik serta cara-cara penyampaiannya yang benar.8

Dakwah menurut HSM. Nasaruddin Latif yaitu setiap aktifitas dengan tulisan maupun lisan yang bersifat menyeru, mengajak, memanggil maupun lainnya untuk beriman dan menaati Allah SWT, sesuai dengan garis-garis Aqidah dan syariat serta akhlak Islaminya. 9

6

Hasanuddin, Hukum Dakwah: Tinjauan Aspek Hukum dalam Berdakwah di Indonesia, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), cet. Ke-1, h. 27

7

Hasanuddin, Hukum Dakwah: Tinjauan Aspek Hukum dalam Berdakwah di Indonesia, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), cet. Ke-1, h. 28

8

Jum’ah Amin Abdul Aziz, Fiqh Dakwah, (Solo: Era Intermedia, 1998), Cet. Ke-1, h. 74 9


(21)

Muhammad Al Wakil. Dakwah adalah mengumpulkan manusia dalam kebaikan dan menunjukkan mereka jalan yang benar dengan cara amar ma’ruf nahi munkar.10

Menurut Bakhial Khauli, dakwah adalah satu proses menghidupkan peraturan-peraturan Islam dengan maksud memindahkan umat dari satu keadaan kepada keadaan lain.11

Muhammad Nasir (Wafat 1971) berpendapat dakwah adalah usaha menyerukan dan menyampaikan kepada perorangan manusia dan seluruh umat tentang pandangan dan tujuan hidup manusia di dunia ini yang meliputi amar ma’ruf nahi munkar, dengan berbagai macam media dan cara yang diperbolehkan akhlak dan membimbing pengalamannya dalam perikehidupan perseorangan, berumah tangga (usrah), bermasyarakat dan bernegara.12

Menurut Sudirman (Wafat 1979) dalam bukunya Problematika Dakwah Islam di Indonesia, dakwah adalah merealisasikan ajaran Islam di dalam kenyataan hidup sehari-hari baik bagi kehidupan perorangan maupun masyarakat sebagai keseluruhan tata hidup bersama dalam rangka pembangunan bangsa dan umat manusia untuk memperoleh keridlaan Allah SWT.13

Taufiq Wa’i. dakwah adalah mengumpulkan manusia dalam kebaikan, menunjukkan mereka jalan yang benar dengan cara merealisasikan manhaj

Allah di bumi dalam ucapan dan amalan, menyeru kepada yang ma’ruf dan

10

Armawati Arbi, Dakwah dan Komunikasi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), cet. Ke-1, h. 36

11

Ghazali Darussalam, Dinamika Ilmu Dakwah Islamiyah, (Malaysia: Nur Niaga SDN. BHD. 1996), cet. I, h. 5

12

Muhammad Nasir, Fiqh al-Da’wah dalam Majalah Islam, Kiblat, Jakarta, 1971, h. 7 13


(22)

mencegah dari yang munkar, membimbing mereka kepada shirathal mustaqim

dan bersabar menghadapi ujian yang menghadang di perjalanan.14

Dari beberapa pengertian dakwah di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan, dakwah yaitu menyampaikan dan memanggil serta mengajak manusia ke jalan Allah SWT, untuk melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dalam mencapai kehidupan di dunia dan di akhirat, sesuai dengan tuntunan dan contoh Rasulullah.

C. Pengertian Aktivitas Dakwah

Dengan penjelasan di atas dapat kita artikan bahwa aktifitas dakwah adalah segala sesuatu yang berbentuk aktifitas atau kegiatan yang dilakukan dengan sadar yang mengajak manusia ke jalan yang mulia di sisi Allah SWT. Serta meluruskan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam.

Aktifitas dakwah juga dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan yang mengarah kepada perubahan terhadap sesuatu yang belum baik agar menjadi baik dan kepada sesuatu yang sudah baik agar menjadi lebih baik lagi.

Dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali aktifitas, kegiatan atau kesibukan yang dilakukan manusia. Namun, berarti atau setidaknya kegiatan tersebut bergantung pada individu tersebut. Karena menurut Samuel Soeitoe, sebenarnya aktifitas bukan hanya sekedar kegiatan, tetapi aktifitas dipandang sebagai usaha untuk mencapai atau memenuhi kebutuhan orang yang melakukan aktifitas itu sendiri.15

14

Armawati Arbi, Dakwah dan Komunikasi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), cet. Ke-1, h. 37

15


(23)

Definisi di atas menimbulkan beberapa prinsip yang menjadikan substansi aktifitas dakwah sebagai berikut:

1. Dakwah merupakan suatu proses aktifitas yang penyelanggaranya dilakukan dengan sadar atau sengaja.

2. Usaha yang diselenggarakan itu berupa mengajak seseorang untuk beramal

ma’ruf nahi munkar untuk memeluk agama Islam.

3. Proses penyelenggaraan tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu yaitu untuk mendapat kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridhoi Allah SWT.

D. Unsur-unsur Dakwah

Dakwah pada hakikatnya adalah segala aktivitas dan kegiatan yang mengajak orang untuk berubah dari satu situasi yang mengandung nilai kehidupan yang bukan Islami kepada nilai kehidupan yang Islami.

Dalam Ilmu dakwah terdapat beberapa unsur, antara lain :

1. Subjek Dakwah, pengertian subjek disini adalah seorang da’i dalam ilmu dakwah bermakna sebagai pelaku dakwah, biasa disebut dengan istilah subyek dakwah. Tentang subyek dakwah ini ada yang mengatakan hanya da’i atau mubaligh saja.

Sedang da’i yang penulis maksud adalah dalam pengertian yang luas, sehingga yang menjadi da’i itu tidak hanya orang yang menyandang predikat Kyai, ulama atau pemuka agama saja, akan tetapi juga dapat seorang guru, pembina suatu organisasi, orang tua, pimpinan lembaga, atau profesi-profesi yang lain termasuk da’i, sebab bagaimanapun profesinya, mereka adalah sebagai pelaku dakwah.


(24)

Da’i yang sukses biasanya juga berangkat dari kepiawaiannya dalam memilih kata. Pemilihan kata adalah hikmah yang sangat diperlukan dalam dakwah.16

Diantara para ulama masih terjadi perbedaan pendapat tentang dakwah itu, apakah wajib kifayah atau wajib a’in, sementara Muhammad Abduh cenderung berpendapat, bahwa dakwah itu hukumnya wajib a’in. Demikian menurut Syamsuri Siddiq (1982:12). Penulis sendiri cenderung kepada wajib a’in, hanya bentuk dakwahnya yang berbeda tergantung kepada profesi dan kemampuan masing-masing.17

Ada saatnya dimana da’i menjadi efektif dan berbicara membawa bencana, tetapi di saat lain terjadi sebaliknya, diam malah mendatangkan bahaya besar dan berbicara mendatangkan hasil yang gemilang. Kemampuan da’i menempatkan dirinya, kapan harus berbicara dan kapan harus memilih diam, juga adalah hikmah yang menentukan keberhasilan dakwah.18

Da’i tidak boleh hanya sekedar menyampaikan ajaran agama tetapi mengamalkannya. Seharusnya da’ilah orang pertama yang mengamalkan apa yang diucapkannya. Kemampuan da’i untuk menjadi contoh nyata umatnya dalam bertindak adalah hikmah yang seharusnya tidak boleh ditinggalkan oleh seorang da’i. Dengan amalan nyata yang langsung dilihat oleh masyarakatnya, para da’i tidak terlalu sulit untuk berbicara banyak, tetapi gerak dia adalah dakwah yang jauh lebih efektif dari sekedar berbicara.

16

M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Prenada media, 2003), cet. Ke-1, h. 12 17

Internet. Artikel Ilmu Dakwah indonetasia.com/definisionline/index.php. diakses pada tanggal 14-06-2010

18

Internet. Definisi_Dakwah takafultimdiniyah.multiply.com/journal. diakses pada tanggal 14-06-2010


(25)

2. Objek Dakwah, sedangkan yang dijadikan objek dakwah adalah peristiwa komunikasi di mana da’i menyampaikan pesan melalui lambing-lambang kepada Mad’u, dan mad’u menerima pesan itu, mengolahnya dan kemudian meresponnya. Jadi, proses saling mempengaruhi antara da’i dan

mad’u adalah merupakan peristiwa mental. Dengan mengacu pada pengertian psikologi, maka dapat dirumuskan bahwa psikologi dakwah ialah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan dan mengendalikan tingkah laku manusia yang terkait dalam proses dakwah. Psikologi dakwah berusaha menyingkap apa yang tersembunyi di balik perilaku manusia yang terlibat dalam dakwah, dan selanjutnya menggunakan pengetahuan itu untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan dari dakwah itu.

3. Materi Dakwah, ialah ajaran-ajaran agama Islam. Ajaran-ajaran Islam inilah yang wajib disampaikan kepada umat manusia dan mengajak mereka agar mau menerima dan mengikutinya. Diharapkan agar ajaran-ajaran Islam benar-benar diketahui, dipahami, dihayati dan diamalkan, sehingga mereka hidup dan berada dalam kehidupan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam.19

4. Media Dakwah, yaitu segala sesuatu yang dapat membantu juru dakwah dalam menyampaikan dakwahnya secara efektif dan efisien.20 Media dakwah adalah peralatan yang dipergunakan untuk menyampaikan matrei dakwah.21

19

M. Masyhur Amin, Dakwah Islam dan Pesan Moral, (Yogyakarta: Al Amin Press, 1997), cet. Ke-1, h. 11

20

Hasanuddin, Hukum Dakwah: Tinjauan Aspek Hukum dalam Berdakwah di Indonesia, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), cet. Ke-1, h. 40

21

Warbi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, (Jakarta: Logos, 1997), cet. Ke-1, h.35


(26)

Media adalah suatu alat yang digunakan untuk menyampaikan sesuatu. Sarana penggunaannya adalah keefektifan dan keefisienan, semakin efektif dan efisien suatu media dalam menyampaikan sesuatu, maka ia akan jadi pilihan. Adapun 3 wasilah dakwah (media dakwah) dari segi penyampaian pesan, yaitu:

a. Spoken Words, yaitu media dakwah berbentuk ucapan atau bunyi yang dapat ditangkap dengan panca indera pendengaran seperti radio, telepon dan sebagainya.

b. Printed Writing, yaitu media dakwah yang berbentuk tulisan, gambar, lukisan dan sebagainya yang dapat dengan panca indera penglihatan. c. The Audio Visual, yaitu media dakwah yang berbentuk gambar hidup

yang dapat didengar dan dilihat, seperti televisi, video dan sebagainya. Menurut Drs. Slamet Muhaemin Abda, media dakwah dari instrumennya dapat dilihat dari empat sifat, yaitu:

a. Media visual yaitu alat yang dapat dioperasikan untuk kepentingan dakwah dengan melalui indera penglihat seperti film, slide, transparansi, overhead projector, gambar, foto dan lain-lain.

b. Media auditif yaitu alat-alat yang dapat dioperasikan sebagai sarana penunjang dakwah yang dapat ditangkap melalui indera pendengaran, seperti radio, tape recorder, telepon, telegram dan sebagainya.

c. Media audio visual yaitu alat-alat dakwah yang dapat didengar juga sekaligus dapat dilihat, seperti movie film, televisi, video dan sebagainya.


(27)

Media cetak yaitu cetakan dalam bentuk tulisan dan gambar sebagai pelengkap informasi tulis, seperti buku, surat kabar, majalah, bulletin, booklet, leaflet dan sebagainya.22

5. Metode Dakwah, Dari segi bahasa metode berasal dari dua kata yaitu meta

(melalui) dan hodos (jalan, cara). Sumber yang lain menyebutkan bahwa metode berasal dari bahasa Jerman methodica artinya ajaran tentang metode. Dalam bahasa Yunani, metode berasal dari kata methodos artinya jalan yang dalam bahasa Arab disebut thariq.23 Sementara itu, dalam Kamus bahasa Indonesia kata metode mangandung arti “cara yang teratur dan berpikir baik-baik untuk maksud (dalam ilmu pengetahuan, dsb); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan”.24 Jadi metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan.

Metode dakwah artinya cara-cara yang dipergunakan oleh seorang da’i untuk menyampaikan materi dakwah, yaitu al-Islam atau serentetan kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu.25

Al-Qur’an menurut Sayyid Quthub, mengemukakan prinsip-prinsip umum metodologi dakwah. Dianataranya ialah prinsip dakwah dengan bijaksana dan kearifan (bi al-hikmah), dakwah dengan nasehat yang baik (bi

22

Hasanuddin, Hukum Dakwah: Tinjauan Aspek Hukum dalam Berdakwah di Indonesia, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), cet. Ke-1, h. 44

23

Hasanuddin, Hukum Dakwah: Tinjauan Aspek Hukum dalam Berdakwah di Indonesia, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), cet. Ke-1, h. 35

24

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, cet. IX, 1986), h. 649

25

Warbi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, (Jakarta: Logos, 1997), cet. Ke-1, h. 34


(28)

al-mau’izhat al-hasanah), dakwah dengan dialog yang baik (bi jadal al-husna), dan dakwah dengan pembalasan berimbang (mu’aqabat bi al-mitsl).26

Adapun metode dalam melaksanakan dakwah tercantum dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125:

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”(Q.S. An-Nahl/16: 125)

Dari ayat tersebut menunjukkan bahwa metode dakwah itu ada tiga cara:27

a. Al-Hikmah

Kata hikmah dalam bentuk masdarnya adalah “hukman” yang diartikan secara makna aslinya adalah mencegah. Jika dikaitkan dengan hukum berarti mencegah dari kedzaliman dan jika dikaitkan dengan dakwah maka berarti menghindari hal-hal yang kurang relevan dalam melaksanakan tugas dakwah.28

26

Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah sayyid Quthub:Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah, (Jakarta: Penamadani, 2006), cet. Ke-1, h. 246

27

Hasanuddin, Hukum Dakwah: Tinjauan Aspek Hukum dalam Berdakwah di Indonesia, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), cet. Ke-1, h. 36

28


(29)

Pengertian al-hikmah menurut Prof. Toha Jahja Omar MA, yaitu bijaksana, artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya dan kitalah yang harus berpikir, berusaha menyusun dan mengatur cara-cara dengan menyesuaikan kepada keadaan dan zaman, asal tidak bertentangan dengan hal-hal yang dilarang Tuhan.29

M. Abduh berpendapat bahwa, hikmah adalah mengetahui rahasia dan faedah dalam tiap-tiap hal. Hikmah juga digunakan dalam arti ucapan yang sedikit lafazh akan tetapi banyak makna30 ataupun diartikan meletakkan sesuatu pada tempat atau semestinya.31

Al-hikmah diartikan pula sebagai al ‘adl (keadilan), al-haq

(kebenaran), al-hilm (ketabahan), al ‘ilm (pengetahuan), terakhir an Nubuwwah (kenabian). Di samping itu, al-hikmah juga diartikan sebagai menempatkan sesuatu pada proposisinya.32

Menurut Imam Abdullah bin Ahmad Mahmud An-Nasafi:

“Dakwah dengan bil-hikmah ialah dakwah dengan menggunakan perkataan yang benar dan pasti, yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan”.

Menurut Ki. M.A. Mahfoeld al-hikmah adalah berarti tepa selira, mengukur baju dengan diri sendiri, tidak memberikan kepada orang lain apa yang diri sendiri tak senang dapat dari orang lain.33

29

Hasanuddin, Hukum Dakwah: Tinjauan Aspek Hukum dalam Berdakwah di Indonesia, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), cet. Ke-1, h.36

30

Lihat, Sa’dy Abu Habib, al-Qomusul Fiqhi, h. 97 31

Abu Hayyan, al-Bahrul Muhith, Jilid 1, h. 392 Juga Dr. Zaid Abdul Karim, ad-Dakwah bil-Hikmah, h. 26

32

M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Prenada media, 2003), cet. Ke-1, h. 10 33

Hasanuddin, Hukum Dakwah: Tinjauan Aspek Hukum dalam Berdakwah di Indonesia, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), cet. Ke-1, h.37


(30)

Sebagai metode dakwah, al-hikmah diartikan bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang, hati yang bersih, menarik perhatian orang kepada agama atau Tuhan.

Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa al-hikmah adalah kemampuan da’i memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif mad’u. Memang tidak semua orang meraih sukses. Karunia Allah yang diberikan kepada orang yang layak mendapatkan hikmah Insya Allah juga akan berimbas kepada para mad’unya, sehingga mereka termotivasi untuk merubah diri dan mengamalkan apa yang disarankan da’i kepada mereka.

Dalam dunia dakwah, hikmah adalah penentu sukses tidaknya dakwah. Dalam menghadapi mad’u yang beragam tingkat pendidikan, strata sosial, dan latar belakang budaya, para da’i memerlukan hikmah, sehingga ajaran Islam mampu memasuki runag hati para mad’u dengan tepat.34 Oleh karena itu, para da’i dituntut untuk mengerti dan memahami sekaligus mamanfaatkan latar belakangnya, sehingga ide-ide yang diterima dirasakan sebagai sesuatu yang menyentuh dan menyejukkan kalbunya.

Dengan demikian jika hikmah dikaitkan dengan dakwah kita akan menemukan bahwa ia merupakan peringatan kepada juru dakwah untuk tidak menggunakan satu bentuk metode saja. Sebaliknya, mereka harus menggunakan berbagai macam metode sesuai dengan realitas yang dihadapi dan sikap masyarakat terhadap Islam. Sebab sudah jelas bahwa dakwah tidak akan berhasil menjadi suatu wujud yang riil jika metode


(31)

dakwah yang dipakai untuk menghadapi orang bodoh sama dengan yang dipakai untuk menghadapi orang terpelajar. Jelas, kemampuan kedua kelompok tersebut dalam berpikir dan menangkap dakwah yang disampaikan tidak dapat disamakan. Bagaimanapun daya pengungkapan dan pemikiran yang dimiliki manusia berbeda-beda.35

b. Al-Mau’idzatil Hasanah

Secara bahasa, mau’izhah hasanah terdiri dari dua kata, mau’izhah

dan hasanah. Kata mau’izhah berasal dari kata wa’adza-ya’idzu-wa’dzan-‘idzatan yang berarti: nasihat, bimbingan, pendidikan dan peringatan,36 sementara hasanah merupakan kebalikan dari sayyi’ah yang artinya kebaikan lawannya kejelekan.37

Menurut pakar bahasa, nasehat (al-wa’zh atau mau’izdhah)

mengandung arti teguran atau peringatan. Ashfahani, dengan mengutip pendapat Imam Khalil, menyatakan bahwa nasihat adalah memberikan peringatan (al-tadzkir) dengan kebaikan yang dapat menyentuh hati. Jadi, makna terpenting dari nasihat adalah mengingatkan (tadzkir) dan membuat peringatan (dzikra) kepada umat manusia.38

Menurut Imam Abdullah bin Ahmad an-Nasafi yang dikutip oleh H. Hasanuddin adalah sebagai berikut:

35

M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Prenada media, 2003), cet. Ke-1, h. 14 36

Lois Ma’luf, Munjid al-Lughah wa A’lam (Beirut: Dari Fikr. 1986) h. 907, Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, jilid VI (Beirut: Dar Fikr, 1990), h. 466.

37

M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Prenada media, 2003), cet. Ke-1, h. 16 38

Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah sayyid Quthub:Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah, (Jakarta: Penamadani, 2006), cet. Ke-1, h. 249


(32)

“Al-Mau’izhah al-Hasanah adalah (perkataan-perkataan) yang tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau memberikan nasihat dan menghendaki manfaat kepada mereka atau dengan al-Qur’an.”39

Menurut Abd. Hamid al-Bilali al-Mau’izhah al-Hasanah merupakan salah satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan memberikan nasihat atau membimbing dengan lemah lembut agar mereka mau berbuat baik.40

Mau’idzatil Hasanah dapat diartikan sebagai ungkapan yang mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita gembira, peringatan, pesan-pesan positif (wasiat) yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.41

Dari beberapa definisi di atas, mau’izhah hasanah tersebut bisa diklasifikasikan dalam beberapa bentuk:

1) Nasihat atau petuah

2) Bimbingan, pengajaran (pendidikan) 3) Kisah-kisah

4) Kabar gembira dan peringatan (al-Basyir dan al-Nadzir)

5) Wasiat (pesan-pesan positif).

39

Hasanuddin, Hukum Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 37 40

Abdul Hamid al-Bilali, Fiqh al-Dakwah fi ingkar al-Mungkar (Kuwait: Dar al-Dakwah, 1989), h. 260

41


(33)

Menurut Ki. M.A. Mahfoeld, al-mau’idzatil hasanah adalah diukur dari segi dakwah itu sendiri.42 Hasanah dalam dakwah adalah sebagai ridha ibadah kepada Allah SWT. Dan di dalamnya mengandung:

1) Didengar orang, lebih banyak lebih baik suara panggilannya.

2) Diturut orang, lebih banyak lebih baik maksud tujuannya, sehingga menjadi lebih besar kuantitas manusia yang kembali ke jalan Tuhannya, jalan Allah SWT.43

Jadi kalau kita telusuri kesimpulan dari Mau’idzatil Hasanah, akan mengandung arti kata-kata yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan; tidak membongkar atau membeberkan kesalahan orang lain sebab kelemah-lembutan dalam menasihati seringkali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman.

c. Al-Mujadalah Bi Al-Lati Hiya Ahsan

Dari segi etimologi (bahasa) lafazh mujadalah terambil dari kata

“jadala” yang bermakna memintal, melilit. Apabila ditambahkan alif pada huruf jim yang mengikuti wazan faa ala, “jaa dala” dapat bermakna berdebat, dan “mujaadalah” perdebatan.44

Dari segi istilah (terminologi) terdapat beberapa pengertian al-mujadalah (al-Hiwar) dari segi istilah. Al-Mujadalah (al-Hiwar) berarti

42

Hasanuddin, Hukum Dakwah: Tinjauan Aspek Hukum dalam Berdakwah di Indonesia, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), cet. Ke-1, h. 37

43

M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Prenada media, 2003), cet. Ke-1, h. 17 44

Ahmad Warson al-Munawwir, al-Munawwir, Jakarta:Pustaka Progresif, 1997, Cet. Ke-14, h. 175 hal ini juga dapat dilihat pada kamus al-Bisri, karangan K.H. Adib Bisri dan K.H. Munawwir AF, Pustaka Progresif, 2000, h. 67 dan ini berarti sama pula dengan lafaazh al-Khiwaar yang berarti jawaban, al-Mukhaawaroh; Tanya jawab, perdebatan. Lebih jelas lihat kamus al-Bisri, h. 140


(34)

upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, tanpa adanya suasana yang mengharuskan lahirnya permusuhan di antara keduanya. Sedangkan menurut Dr. Sayyid Muhammad Thantawi ialah suatu upaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat.

Menurut tafsir An-Nasafi,45 kata ini mengandung arti:

“Berbantahan dengan baik yaitu dengan jalan sebaik-baiknya dalam bermujadalah, antara lain dengan perkataan yang lunak, lemah lembut, tidak dengan ucapan yang kasar atau dengan mempergunakan sesuatu (perkataan) yang bisa menyadarkan hati, membangunkan jiwa dan menerangi akal pikiran, ini merupakan penolakan bagi orang yang enggan melakukan perdebatan dalam agama.”

Menurut Ki. M.A. Mahfoeld, allati hiya ahsan yaitu bi daru ‘uqulihim, dengan kadar tingkat obyek yang bersikap bantahan. Maka harus melihat apakah obyek dakwah itu Islam, Islam abangan atau non Islam.46

Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, Al-Mujadalah merupakan tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat.

45

Hasanuddin, Hukum Dakwah: Tinjauan Aspek Hukum dalam Berdakwah di Indonesia, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996) h. 38

46

Hasanuddin, Hukum Dakwah: Tinjauan Aspek Hukum dalam Berdakwah di Indonesia, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), cet. Ke-1, h. 38


(35)

Tujuan Dakwah adalah Dakwah yang dilaksanakan harus mempunyai tujuan tertentu. Tujuan ini dapat dirumuskan sedemikian rupa sehingga jelas apa yang hendak dicapai. Di dalam proses dakwah, tujuan adalah merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Dengan tujuan itulah dapat dirumuskan suatu landasan tindakan dalam pelaksanaan dakwah.

Menurut Drs. H.M. Arifin M.Ed., tujuan dakwah adalah untuk menumbuhkan pengertian, kesadaran, penghayatan dan pengamalan ajaran agama yang dibawakan oleh aparat dakwah atau penerang agama. Oleh karena itu ruang lingkup dakwah adalah menyangkut masalah pembentukan sikap mental dan pengembangan motivasi yang bersifat positif dalam segala lapangan hidup manusia.

Syekh Ali Mahfudz merumuskan, bahwa tujuan dakwah ada lima perkara, yaitu:

1) Menyiarkan tuntunan Islam, membetulkan aqidah dan meluruskan amal perbuatan manusia, terutama budi pekertinya.

2) Memindahkan hati dari keadaan yang jelek kepada keadaan yang baik. 3) Membentuk persaudaraan dan menguatkan tali persatuan di antara

kaum muslimin.

4) Menolak faham atheisme, dengan mengimbangi cara-cara mereka bekerja.

5) Menolak syubhat-syubhat, bid’ah dan khurafat atau kepercayaan yang tidak bersumber dari agama dengan mendalami ilmu Ushuluddin.


(36)

Dari rumusan tujuan pelaksanaan dakwah di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa tujuan dakwah ada dua, yaitu:

a. Tujuan langsung yakni ditujukan langsung kepada masyarakat agar melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-nya.

b. Tujuan tidak langsung, yaitu dengan membentuk kader-kader da’i baik melalui jenjang pendidikan formal maupun non formal, sehingga mereka dapat diterjunkan ke dalam masyarakat.

Tujuan umum maupun khusus dakwah yaitu:

a. Mengajak orang-orang Islam untuk memeluk agama Islam (meng-Islamkan orang-orang non-muslim).

b. MengIslamkan orang-orang Islam artinya meningkatkan kualitas iman, Islam dan ihsan kaum muslimin sehingga mereka menjadi orang-orang yang mengamalkan Islam secara keseluruhan (kaffah).

c. Menyerahkan kebaikan dan mencegah timbulnya dan tersebarnya bentuk-bentuk kemaksiatan yang akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan individu dan masyarakat.

d. Membentuk individu-individu dan masyarakat yang menjadi Islam sebagai pegangan dan pandangan dalam segi-segi kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Jadi tujuan dakwah adalah mempertemukan kembali fitrah manusia dengan agama atau menyadarkan manusia supaya mengakui kebenaran Islam dan mau mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi orang baik.47

47


(37)

E. Sasaran Dakwah

Sehubungan dengan kenyataan yang berkembang dalam masyarakat, bila dari aspek kehidupan psikolgis, maka dalam pelaksanaan program kegiatan dakwah berbagai permasalahan yang menyangkut sasaran bimbingan atau dakwah perlu mendapatkan konsiderasi yang tepat yaitu meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat ilihat dari segi sosiologis berupa masyarakat terasing, pedesaan, kota besar dan kecil, serta masyarakat di daerah marginal dari kota besar.

2. Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi struktur kelembagaan berupa masyarakat, pemerintah dan keluarga.

3. Sasaran yang berupa kelompok-kelompok masyarakat dilihat dari segi sosial cultural berupa golongan priyayi, abangan dan santri. Klasifikasi ini terutama terdapat dalam masyarakat di Jawa.

4. Sasaran yang berhubungan dengan golongan masyarakat dilihat dari segi tingkat usia berupa golongan anak-anak, remaja dan orang tua.

5. Sasaran yang berhubungan dengan golongan masyarakat dilihat dari okupasinal (profesi, atau pekerjaan) berupa golongan petani, pedagang, seniman, buruh, pegawai negeri (administrator).

6. Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi tingkat hidup sosial ekonomis berupa golongan orang kaya, menengah dan miskin.

7. Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari segi jenis kelamin berupa golongan wanita, pria dan sebagainya.


(38)

8. Sasaran berhubungan dengan golongan dilihat dari segikhusus berupa golongan masyarakat tunasusila, tunawisma, tuna karya, naarapidana dan sebagainya.

Dan jika disebutkan secara general, sasaran dakwah ini adalah meliputi semua golongan masyarakat. Walaupun masyarakat ini berbeda dan masing-masing memiliki ciri-ciri khusus dan tentunya juga memerlukan cara-cara yang berbeda-beda dalam berdakwah, perlu kita lihat dulu siapa mad’unya, dari golongan mana agar apa yang akan kita dakwahkan dapat diterima dengan baik oleh mad’u.

Secara garis besar, ajaran Islam meliputi lima aspek penting yaitu aqidah, syari’ah, ibadah, mu’amalah dan akhlak. Dengan begitu bisa dikatakan akhlak merupakan sepertiga dari ajaran Islam dan sekaligus menjadi puncak dari seluruh rangkaian ajaran Islam. Bahkan, semua bentuk ibadah bermuara pada pembentukan akhlak yang mulia.48

1. Aqidah

Dari segi bahasa, aqidah berasal dari al ‘aqdu yang berarti ikatan, kepastian, pengukuhan, pengencangan dengan kuat, juga berarti yakin dan mantap (Kamus Lisan al-Arab, III:295-300). Aqidah atau iman yaitu pengakuan dengan lisan dan membenarkan dengan hati bahwa semua yang dibawa oleh Rasulullah adalah benar dan hak. Masalah iman ini telah digariskan dan ditetapkan sebagai yang tersebut dalam rukun iman.49

Aqidah ini merupakan fondamen bagi setiap muslim. Aqidah inilah yang menjadi dasar yang memberi arah bagi hidup dan kehidupan seorang

48

Didin Hafidhuddin, Akhlak Sosial Muslim: Satu Hati dan Perbuatan, (Jakarta: Pustaka Zaman, 2000), cet. Ke-1, h. 71

49


(39)

muslim. Aqidah ini merupakan keimanan kepada Allah SWT, para malaikat as, kitab-kitab yang diwahyukan kepada para Rasul, adanya hari kiamat dan adanya qadha’ dan qadar serta masalah-masalah yang berakitan dengan pokok-pokok keimanan itu. Hal ini pernah diterangkan oleh Nabi Muhammad Saw ketika beliau menjawab pertanyaan malaikat Jibril as sebagai berikut:50

ﺮﺧ ْا

مْﻮ ْاو

ْﻮ رو

آو

ﻜﺋ

ﻼ و

ﷲﺎ

ْﺆ

ْنأ

ﱢﺮﺷو

ﺮْﺧ

رْﺪﻘْﺎ

ﻦ ْﺆ و

)

ﺮ ﻋ

ﻦﻋ

اور

(

Artinya :“Hendaknya engkau beriman kepada Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para RasulNya, hari akhir dan adanya takdir baik dan buruk (yang diciptakan oleh)Nya.” (HR. Muslim dan Umar)

Dimensi aqidah ini mengungkap masalah keyakinan manusia terhadap rukun iman, kebenaran agama dan masalah-masalah gaib yang diajarkan agama. Inti dimensi aqidah dalam ajaran Islam adalah tauhid. Ismail R. Al-Faruqi seperti dikutip oleh Fuad Anshori bahwa esensi Islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan, tindakan yang menegaskan Allah sebagai Yang Maha Esa.51

Aqidah adalah pesan-pesan dakwah yang meliputi: Iman kepada Allah SWT, iman kepada malaikat, iman kepada kitab Allah, iman kepada Rasul Allah, iman kepada hari akhir dan iman kepada qadha dan qadar.52 2. Syari’ah

Secara bahasa (etimologi) kata “syari’ah” berasal dari Bahasa Arab yang berarti peraturan atau undang-undang, yaitu

50

M. Masyhur Amin, Dakwah Islam dan Pesan Moral, h. 11 51

Fuad Nashori dan Pachmy Diana Muharam, Mengembangkan Kretaivitas dalam Perspektif Psikologi Islam, (Yogyakarta: Menara Kudus, 2002), cet. Ke-2, h. 78

52


(40)

peraturan mengenai tingkah laku yang mengikat harus dipatuhi dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.53

Berbicara mengenai syari’ah, Syeikh Mahmud Syaltut, sebagaimana dikutip H. Endang Saefuddin Anshari, M.A, menulis:54 keyakinan merupakan dasar daripada syari’ah. Dan syari’ah adalah hasil daripada kepercayaan, sebab perundang-undangan tanpa keimanan bagaikan bangunan yang tidak bertumpuan dan keimanan dengan tidak disertai syari’ah untuk melaksanakannya, hanyalah akan merupakan teori, ajaran yang tiada berdaya dan berhasil.

Syari’ah mengandung cara-cara atau peraturan ibadah seperti sembahyang, puasa, zakat, ibadah haji dan lain-lain yang dalam istilah, lebih umum disebutkan “hablum minallah”. Syariah juga mengandung muamalah seperti perkawinan, hutang-piutang, jual-beli, keadilan sosial, pendidikan dan lain-lain yang menyangkut hubungan manusia (hablum minan nas).55

3. Ibadah

Ibadah adalah bahasa Arab yang secara etimologi berasal dari akar kata ‘abada-ya’budu-‘abdan-‘ibaadatan yang berarti taat, tunduk, patuh, merendahkan diri dan hina. Kesemua pengertian itu mempunyai makna yang berdekatan.56 Para ahli dari berbagai disiplin ilmu mengemukakan pengertian ibadah dari segi terminologi dengan rumusan yang bervariasi

53

M. Abdul Mujieb, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), cet. Ke-1, h. 343

54

Endang Saefuddin Anshari, Kuliah Al Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta:Rajawali, 1992), cet. Ke-3, ed.2, h. 91

55

Anwar Masy’ari, Akhlak Al-Qur’an, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), cet. Ke-1, h.10 56

Al-Qardhawi Yusuf, Al-Ibadah fi al-Islam, Muassasah al-Risalah, (Beirut: T.pn.,1979). cet. 6, h. 27


(41)

sesuai dengan bidangnya. Para ahli di bidang akhlak mendefinisikan ibadah sebagai berikut: Mengerjakan segala bentuk ketaatan badaniyah dan menyelenggarakan segala syari’at (hukum).Menurut ahli Fiqh, ibadah adalah: Segala bentuk ketaatan yang engkau kerjakan untuk mencapai keridhaan Allah SWT dan mengharapkan pahala-Nya di akhirat.57

Para Ulama membagi ibadah menjadi dua, yaitu ibadah makhdhah

dan ibadah ghair makhdhah. Ibadah makhdhah adalah berbagai perbuatan yang dilakukan semata-mata hanya wujud pengabdian seseorang kepada Tuhannya. Sedangkan ibadah ghair makhdhah adalah berbagai perbuatan yang dilakukan sebagai upaya memenuhi kebutuhan kehidupan dunia yang disertai dengan niat mencari ridha-Nya.58

Kita telah mengetahui, bahwa misi manusia di alam ini adalah beribadah kepada Allah. Kita juga telah mengetahui bahwa ibadah adalah mengoptimalkan ketundukan yang disertai dengan mengoptimalkan kecintaan kepada Allah. Dan ibadah di dalam Islam mencakup agama secara keseluruhan dan meliputi seluruh kehidupan dengan berbagai macam isinya.59

4. Muamalah

Pengertian muamalah dapat dilihat dari dua segi, pertama dari segi bahasa dan ke dua dari segi istilah. Menurut bahasa muamalah berasal dari kata ‘aamala-yu’aamilu-mu’aamalatan sama dengan wazan

57

Tengku Muhammad Habsyi Ash-Siddieqy, Kuliah Ibadah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), cet. Ke-8, h. 3

58

M. Saefuddaulah, Akhlak Ijtima’iyah, (T.tp.:Pamator, 1998), cet. Ke-1, h. 8 59

Yusuf al-Qardhawi, Ibadah dalam Islam, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2005), cet. Ke-1, h.118


(42)

yufaa’ilu-mufaa’alatan, artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling mengamalkan.60

Menurut istilah, pengertian muamalah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pengertian muamalah dalam arti luas dan pengertian muamalah dalam arti sempit. Definisi muamalah dalam arti luas dijelaskan oleh para ahli sebagai berikut: Al Dimyati berpendapat bahwa muamalah adalah: Menghasilkan duniawi, supaya menjadi sebab suksesnya masalah ukhrawi.61

Muhammad Yusuf Musa berpendapat bahwa muamalah adalah peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia.62

Sedangkan pengertian muamalah dalam arti sempit (khas), didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut:

a. Menurut Hudlari Byk: Muamalah adalah semua akad yang

membolehkan manusia saling menukar manfaatnya.

b. Menurut Idris Ahmad,63 muamalah adalah aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik.

c. Menurut Rasyid Ridha, muamalah adalah tukar-menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.

60

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, h. 1 61

Lihat al Dimyati, dalam: I’anat al Thalibin, Toha Putra, Semarang, tt. hlm.2 62

Lihat Abdul Madjid, dalam : Pokok-pokok Fiqh Muamalah dan Hukum Kbendaan dalam Islam, IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, 1986 hlm. 1

63


(43)

d. Muamalah menurut Fuqaha yaitu segala hukum yang dilaksanakan untuk kebaikan keluarga, masyarakat dan Negara atau kemuslihatan dunia.64

5. Akhlak

Akhlak secara etimologis berarti tingkah laku atau perbuatan. Dan secara terminologis akhlak adalah tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya.65

Imam Ghazali dalam bukunya “Ihya Ulumuddin” menyatakan sebagai berikut: Akhlak ialah sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang menimbulkan segala perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan.66

Dr Ahmad Amin dalam bukunya “Al-Akhlak” mengatakan bahwa akhlak adalah ilmu untuk menetapkan ukuran segala perbuatan manusia, yang baik atau yang buruk, yang benar atau yang salah, yang hak atau yang batil.67

Sedangkan menurut Ibnu Maskawih, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.68

Akhlak yang dituntut dan dipelihara ialah akhlak yang merupakan sendi agama di sisi Tuhan, bukanlah sekedar mengerti bahwa kebenaran

64

Tengku Muhammad Habsyi Ash-Siddieqy, Kuliah Ibadah, h. 5 65

Hasan Saleh, Studi Islam di Perguruan Tinggi Pembinaan IMTAQ dan Pengembangan Wawasan, (Jakarta: Penerbit ISTN, 2000), cet. Ke-2, h. 57

66

Anwar Masy’ari, Akhlak Al-Qur’an, h. 3 67

Ahmad Amin, Al-Akhlak, terjemahan Y Bahtiar Affandy, (Jakarta: Jembatan, 1995), h.1 68


(44)

itu adalah mulia dan dusta adalah hina, dan bukan pula sekedar mengetahui bahwa ikhlas itu suatu yang agung, sedang tipu daya adalah sebuah kehancuran. Akan tetapi akhlak yang dituntut yaitu reaksi jiwa dan segala sesuatu yang mempengaruhinya untuk melakukan apa yang patut dilakukan dan meninggalkan apa yang harus ditinggalkan.69

Adapun ruang lingkup akhlak terbagi dalam beberapa bagian:

a. Akhlak terhadap Kholik. Allah SWT adalah Al-Khaliq (Maha

pencipta) dan manusia adalah makhluk (yang diciptakan). Manusia wajib tunduk kepada peraturan Allah. Hal ini menunjukkan kepada sifat manusia sebagai hamba.

b. Akhlak terhadap Mahkluk. Prinsip hidup dalam Islam termasuk kewajiban memperhatikan kehidupan antara sesama orang-orang beriman. Kedudukan seorang muslim dengan muslim lainnya adalah ibarat satu jasad, dimana satu anggota badan dengan anggota badan lainnya mempunyai hubungan yang erat.70

F. Pengertian Masjid

Ditinjau dari segi bahasa Masjid berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata sajada, yasjudu yang berarti sujud, sedangkan kata masjid merupakan

isim makan dari kata tersebut yang berarti tempat bersujud.

Pada zaman pra-Islam tempat di sekitar Ka’bah dinamakan masjid. Abu Bakar membangun sebuah tempat untuk shalat di dekat rumahnya di mekkah. Terdapat keragaman gaya bangunan masjid, namun terdapat

69

Ali Akbar, Nabi Muhammad Pembawa Rahmat, Suara Mesjid, No. 64, DDII, hlm. 9 70

http://www.cahaya-islam.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=286, diakses pada tanggal 08 Mei 2010, pada pukul 16:40 WIB


(45)

beberapa elemen utama. Syarat utama sebuah masjid adalah tersedianya sebuah ruangan besar untuk menjalankan shalat, baik beratap maupun tidak beratap, yang didalamnya jama’ahnya membentuk barisan di belakang posisi imam untuk menyelenggarakan shalat berjama’ah.71

Seseorang tidak diperkenankan berdiam di dalam ruangan ini kecuali dalam keadaan suci dai hadats besar. Untuk memastikan arah kiblat, ka’bah biasanya dalam sebuah masjid terdapat sebuah ruangan yang dinamakan

mihrab. Masjid juga dapat dijadikan sebagai lembaga untuk melaksanakan aktifitas-aktifitas dakwah.

71


(46)

PROFIL K.H. MUHYIDDIN NA’IM DAN MASJID AL-AKHYAR KEMANG JAKARTA SELATAN

A. Profil K.H. Muhyiddin Na’im 1. Latar Belakang Keluarga

Beliau lahir di Jakarta, pada tanggal 12 Januari 1950, K.H. Muhyiddin Na’im adalah putra dari keluarga pasangan Alm. K.H. Muhammad Na’im dan Almh. Hj. Saodah Binti Musyaffa’. Beliau terlahir dari keluarga yang sangat religius. Ayahandanya semasa hidup adalah seorang Ulama besar, dan beliau dikenal sebagai salah satu Ulama besar yang turut mensyiarkan agama Islam di berbagai daerah, khususnya diwilayah Cipete Utara Jakarta-Selatan.

K.H. Muhammad Na’im Lahir pada tahun 1912, dari pasangan, beliau juga aktif dalam salah seorang pengurus Syuria NU dengan Rekannya seperti K.H. Abdul Wahid Hasyim, K.H. Idham Chalid, K.H. Anwar Musyaddad, K.H. Ilyas, K.H. Saifuddin Zuhri, K.H. Tohir Rohili, K.H. Mursyidi, K.H. Ishaq Yahya, K.H. Ahmad Syaikhu, K.H. Nur Ali Bekasi, K.H. Abdul Aziz Amin. Beliau juga menjadi saksi atas dideklarasikannya pemerintah Republik Indonesia Serikat. H. Na’im dan Mera dan beliau meninggal dunia pada 12 Mei 1973 pada usia 61 tahun. Seminggu sebelum wafat, kini istrinya yang masih hidup ada dua orang. Putra-putrinya yang masih hidup ada 27 orang. Cucu cicitnya ada sekitar 300 orang. Diantara mereka yang aktif dalam bidang dakwah dan


(47)

pendidikan, seperti K.H. Abdul Hayyi Na’im, K.H. Muhyiddin Na’im,

K.H. Muhammad Fatih Na’im, Hj. Siti Aisyah, Hj. Mahmudah Na’im, siti Sahlah Na’im. Di samping itu banyak pula yang mengabdikan diri di berbagai instansi pemerintah dan swasta.1

K.H. Muhyiddin Na’im adalah seorang Ulama dan tokoh masyarakat betawi yang sangat di hormati, dan karena pengalaman beliau yang cukup luas dapat memberikan motivasi tersendiri bagi K.H. Muhyiddin Na’im untuk berkesempatan berdakwah dan mengetahui bagaimana cara mempraktekan dakwah diberbagai forum, baik didalam maupun diluar negeri.

K.H. Muhyiddin Na’im mempunyai beberapa saudara kandung, diantaranya Hj. Zakiyah Na’im, Hj. Nafisah Na’im, K.H. Muhyiddin

Na’im, Hj. Mahmudah Na’im, H. Muhammad Ali Na’im, H.

Abdurrahman Na’im, H. Adnan Na’im, H. Muhammad Diinul Hadi Na’im, H. Maliha Na’im, H. Zaenal Aripin Na’im, Hj. Azizah Na’im, tidak ketinggalan kakak maupun adik-adiknya yang berkecimpung dalam mensyiarkan agama Islam.

Sejak kecil kedua orang tuanya, terutama bapaknya (K.H. Muhammad Na’im) cukup dikenal sebagai orang tua yang sangat tegas terhadap anak-anaknya, sudah mempersiapkan bekal pendidikan agama, berupa belajar membaca Al-Qur’an, cinta dengan Ilmu agama yang mengharuskan beliau untuk selalu dan terus belajar.

1

Wawancara dengan adik K.H. Muhyiddin Na’im (K.H. Abdurrahman Na’im) di masjid An-Nur Cipete Utara Jakarta Selatan.


(48)

Sejak usia belia, beliau sudah terbiasa dengan kesibukan dakwah, sama halnya dengan anak-anak seusianya, beliau juga bermain bersama teman-temannya akan tetapi beliau tidak pernah melupakan kewajibannya sebagai pelajar untuk menuntut ilmu agama.

Beliau sudah berdakwah dari kecil, tetapi sesudah menikah atau kurang lebih 28 tahun lalu, ternyata beliau lebih menyukai dan menekuni profesi dakwah sebagaimana beliau mengikuti jejak ayahnya. Dan di usia yang sudah matang ini, beliau masih menggeluti di dunia dakwah atas dukungan dari istri tercintanya, Hj. Rohimah dari seorang anak K.H. Fathullah (Alm).

Beliau bukan hanya sekedar seorang da’i yang berani berjuang di medan dakwah, melainkan beliau juga seorang guru atau kyai yang selalu membimbing dan mendidik murid-muridnya agar menjadi lebih baik dan berakhlakul karimah. Dan beliau juga seorang suami yang banyak memberi panutan bagi keluarganya, beliau selalu menyempatkan waktu luang untuk berkumpul dan bersenda gurau bersama keluarga besarnya.

Hingga saat ini K.H.Muhyiddin Na’im mempunyai lima orang anak yang sangat di banggakan. Di antara nya : Rozana, H.Muhammad wafi, Ahmad Labib, Rihaburrahman dan Naji.

2. Latar Belakang Pendidikan K.H. Muhyiddin Na’im

Ulama yang sangat ramah ini tidak hanya pandai berbicara, tetapi beliau juga aktif saat bangku sekolah, sejak kecil beliau bercita-cita ingin menjadi da’i sekaligus guru. Dari kecil beliau juga sering mengikuti ayah


(49)

mengajar pengajian. Sehingga apapun ilmu yang diturunkan padanya selalu direalisasikan.

Bapak dari lima orang anak ini pernah menuntut Ilmu di Jakarta sampai antar propinsi sampai perguruan tinggi di luar negri, diantara nya : a. SD yang terletak didaerah Perla Jakarta selata tahun

b. MTs yang berada diJombang yaitu Tebuireng,

c. selanjutnya beliau melanjutkan ke perguruan tinggi di Damaskus (Syiria), disana beliau mendapat gelar Lc dan Kairo (Mesir) beliau mendapat gelar MA.

Beliau sama sekali tidak membeda-bedakan antara ilmu umum dengan ilmu agama, karena menurut sang ayah “apapun ilmu itu selama baik dan membawa manfaat maka raihlah terus”2.

Beliau tidak hanya menuntut ilmu didalam negeri saja, akan tetapi beliau juga menuntut ilmu di luar negeri bagian timur, Damaskus atau Syiriya, Jerman dan Amerika.

B. Aktivitas K.H. Muhyiddin Na’im

Sejak belia, beliau sudah banyak melakukan hal-hal positif yang membawanya kearah yang lebih baik baik, diantaranya : belajar mengajar, belajar ceramah di berbagai pengajian. Dan beliau juga termasuk orang yang gemar membaca khususnya kitab-kitab untuk menuangkan inspirasinya, waktu selebihnya ia gunakan untuk ceramah, berkhutbah, dan memberikan ilmu kepada orang lain.

2


(50)

Da’i yang penuh tawaddlu’ ini tidak pernah merasa lelah untuk melakukan semua aktivitasnya. Dari kecil sampai sekarang beliau terkenal mudah bergaul dengan siapa saja. Maupun dengan para pejabat beliau cukup di kenal karena beliau aktif dalam beberapa lembaga-lembaga pemerintahan juga, seperti NU (Nahdlotul Ulama), MUI DKI (Majelis Ulama Indonesia), FUHAB Forum Ulama Habaib) dll, maka dari sini beliau mempunyai tekad dakwah untuk mengembangkan agama Islam.

Selama ini beliau tidak hanya ceramah di Masjid Al-Akhyar yang beliau pimpin, akan tetapi beliau juga berceramah atau mengisi pengajian di berbagai daerah khususnya wilayah DKI Jakarta Selatan. Selain itu beliau juga sering diundang ceramah pada acara hari-hari besar Islam seperti : Maulid Nabi SAW, Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW dan undangan ceramah di dalam maupun luar negeri.

Pada awalnya kegiatan dakwah bil-lisan K.H. Muhyiddin Na’im hanya mengajar pada satu masjid yang terletak dekat rumah beliau di daerah Cipete Jakarta Selatan yaitu masjid An-Nur tempat bapaknya mengajar, akan tetapi karena efek yang ditimbulkan dari dakwah yang disampaikannya membuahkan hasil, maka beliau terus melanjutkan dakwahnya dengan mengajak masyarakat setempat untuk belajar mengaji.

Pada usia 25 tahun, beliau mulai memberanikan diri untuk menunjukkan performanya sebagai penceramah atau da’i muda. Meskipun dakwah yang disampaikannya belum maksimal ternyata dakwah yang dirasakan sangat bermanfaat bagi mad’u pada saat itu. Sehingga beliau mengajak masyarakat setempat untuk mengaji dan belajar bersama.3

3


(51)

Beliau bukan pria yang mudah menyerah, tetapi beliau semakin penasaran untuk lebih mendalami ilmu agamanya, agar beliau terus mampu untuk mengimplementasikan dakwahnya kepada orang lain.

Setelah menikah beliau lebih konsentrasi lagi dalam berdakwah, karena beliau sudah mempunyai banyak pengalaman sekaligus pengetahuan yang sudah beliau dapatkan dari membaca.

Dalam wawancara yang penulis dapati, beliau mengkategorikan dakwah bil lisan sama halnya seperti pidato, ceramah, mengaji, diskusi, nasihat atau segala yang penyampaiannya melalui lisan dengan bertujuan untuk mengajak orang menjadi lebih baik.

Figurnya sebagai ulama yang akan haus akan ilmu dan beramal, mengajak dirinya dimanapun beliau berada dan ada kesempatan, beliau tak segan-segan untuk mengadakan suatu acara atau kegiatan-kegiatan yang bersifat keagamaan. Dakwah bil lisan yang dilakukan K.H. Muhyiddin Na’im. Penulis kelompokkan menjadi beberapa bentuk, yaitu :

1. Ceramah, dakwah yang beliau lakukan melalui ceramah ini adalah menyampaikan pesan-pesan dan nasehat-nasehat yang baik dan membawa nilai-nilai positif kepada mad’u, yang gunanya untuk membawa mad’u menjadimanusia yang bermanfaat dan berguna bagi masyarakat dan Tuhannya (Allah SWT). Biasanya beliau melakukan pengajian di beberapa Masji di Jakarta dalam satu harinya.

Tidak hanya selain ceramah di Jakarta, beliau juga ceramah diluar kota dan bahkan diluar negeri seperti Syiria dan Damaskus. Aktivitas ceramah diluar negeri ini mulai sejak tahun kurang lebih 1990an hingga


(52)

saat ini. Banyak perbedaan yang terdapat antara ceramah didalam negeri dalam suatu pengajian terdapat beberapa orang yang memulai acara sampai do’a, sedangkan diluar negeri sejak mulai acara atau do’a, yang memimpin hanya beliau.

2. Mengaji, dakwah ini juga biasa beliau lakukan dalam setiap minggunya. Dengan mengadakan pengajian mingguan bapak-bapak maupun remaja dalam setiap minggunya. Dengan mengadakan pengajian mingguan bapak-bapak ataupun remaja di wilayah Kemang Jakarta Selatan khususnya pada pembahasan kali ini di Masjid Al-Akhyar, guna menyampaikan pesan dakwah sekaligus nasihat-nasihat yang sholeh dan diakhiri dengan tanya-jawab dari mad’u kepada beliau.

Dalam pengajian tersebut membahas kitab “Riyadushsholihin” adaalh kitab yang secara keseluruhannya membahas tentang Fiqh, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan memberikan pemahaman secara utuh karena kitab tersebut adalah salah satu kitab yang terpenting dalam kitab referensi Islam.

3. Musyawarah (diskusi), dakwah bentuk ini biasanya dilakukan oleh K.H. Muhyiddin Na’im dengan mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh para ‘alim ulama serta tokoh agama untuk membahas suatu permasalahan dan bertukar fikiran tentang agama Islam, musyawarah seperti ini biasanya dilakukan didalam suatu organisasi seperti NU dan MUI di Jakarta Selatan.

Dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang notabennya adalah sumber utama yang mencakup keseluruhan kultur Islam yang murni. Adapun


(53)

materi yang digunakan dalam pembahasan yang digunakan untuk pengisian ceramhnya yaitu tentang : tauhid, muamalah, sejarah, akhlak dan do’a-do’a lainnya. Profesinya sebagai ulama membuat beliau banyak bersosialisasi dengan siapapun sehingga beliau sering kali di undang untuk ceramah di berbagai tempat baik itu di jabodetabek tetapi juga di luar negeri.

Pada awalnya kegiatan dakwah bil-lisan K.H. Muhyiddin Na’im hanya mengajar pada satu masjid yang terletak dekat rumah beliau di daerah Cipete Jakarta Selatan yaitu masjid An-Nur tempat bapaknya mengajar, akan tetapi karena efek yang ditimbulkan dari dakwah yang disampaikannya membuahkan hasil, maka beliau terus melanjutkan dakwahnya dengan mengajak masyarakat setempat untuk belajar mengaji.

Pada usia 25 tahun, beliau mulai memberanikan diri untuk menunjukkan performanya sebagai penceramah atau da’i muda. Meskipun dakwah yang disampaikannya belum maksimal ternyata dakwah yang dirasakan sangat bermanfaat bagi mad’u pada saat itu. Sehingga beliau mengajak masyarakat setempat untuk mengaji dan belajar bersama.

Beliau bukan pria yang mudah menyerah, tetapi beliau semakin penasaran untuk lebih mendalami ilmu agamanya, agar beliau terus mampu untuk mengimplementasikan dakwahnya kepada orang lain.

Setelah menikah beliau lebih konsentrasi lagi dalam berdakwah, karena beliau sudah mempunyai banyak pengalaman sekaligus pengetahuan yang sudah beliau dapatkan dari membaca.


(54)

Dalam wawancara yang penulis dapati, beliau mengkategorikan dakwah bil lisan sama halnya seperti pidato, ceramah, mengaji, diskusi, nasihat atau segala yang penyampaiannya melalui lisan dengan bertujuan untuk mengajak orang menjadi lebih baik.

Figurnya sebagai ulama yang akan haus akan ilmu dan beramal, mengajak dirinya dimanapun beliau berada dan ada kesempatan, beliau tak segan-segan untuk mengadakan suatu acara atau kegiatan-kegiatan yang bersifat keagamaan. Dakwah bil lisan yang dilakukan K.H. Muhyiddin Na’im. Penulis kelompokkan menjadi beberapa bentuk, yaitu :

4. Ceramah, dakwah yang beliau lakukan melalui ceramah ini adalah menyampaikan pesan-pesan dan nasehat-nasehat yang baik dan membawa nilai-nilai positif kepada mad’u, yang gunanya untuk membawa mad’u menjadimanusia yang bermanfaat dan berguna bagi masyarakat dan Tuhannya (Allah SWT). Biasanya beliau melakukan pengajian di beberapa Masji di Jakarta dalam satu harinya.

Tidak hanya selain ceramah di Jakarta, beliau juga ceramah diluar kota dan bahkan diluar negeri seperti Syiria dan Damaskus. Aktivitas ceramah diluar negeri ini mulai sejak tahun kurang lebih 1990an hingga saat ini. Banyak perbedaan yang terdapat antara ceramah didalam negeri dalam suatu pengajian terdapat beberapa orang yang memulai acara sampai do’a, sedangkan diluar negeri sejak mulai acara atau do’a, yang memimpin hanya beliau.

5. Mengaji, dakwah ini juga biasa beliau lakukan dalam setiap minggunya. Dengan mengadakan pengajian mingguan bapak-bapak maupun remaja


(55)

dalam setiap minggunya. Dengan mengadakan pengajian mingguan bapak-bapak ataupun remaja di wilayah Kemang Jakarta Selatan khususnya pada pembahasan kali ini di Masjid Al-Akhyar, guna menyampaikan pesan dakwah sekaligus nasihat-nasihat yang sholeh dan diakhiri dengan tanya-jawab dari mad’u kepada beliau.

Dalam pengajian tersebut membahas kitab “Riyadushsholihin” adalah kitab yang secara keseluruhannya membahas tentang Fiqh, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan memberikan pemahaman secara utuh karena kitab tersebut adalah salah satu kitab yang terpenting dalam kitab referensi Islam.

6. Musyawarah (diskusi), dakwah bentuk ini biasanya dilakukan oleh K.H. Muhyiddin Na’im dengan mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh para ‘alim ulama serta tokoh agama untuk membahas suatu permasalahan dan bertukar fikiran tentang agama Islam, musyawarah seperti ini biasanya dilakukan didalam suatu organisasi seperti NU dan MUI di Jakarta Selatan.

Dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang notabennya adalah sumber utama yang mencakup keseluruhan kultur Islam yang murni. Adapun materi yang digunakan dalam pembahasan yang digunakan untuk pengisian ceramhnya yaitu tentang : tauhid, muamalah, sejarah, akhlak dan do’a-do’a lainnya. Profesinya sebagai ulama membuat beliau banyak bersosialisasi dengan siapapun sehingga beliau sering kali di undang untuk ceramah di berbagai tempat baik itu di jabodetabek tetapi juga di luar negeri.


(56)

Dengan kesibukan yang banyak menyita waktunya, beliau tidak pernah lupa untuk memperhatikan proyek sosial yang sudah beliau geluti kurang lebih dari 20 tahun. Proyek sosial yang beliau tangani antara lain mengurus dan mendidik anak yatim, panti jompo yang kurang mampu untuk mendapatkan perhatian yang lebih layak, dan bencana alam seperti Tsunami. Gempa di Sukabumi. Karena beliau juga untuk menjadi orang kepercayaan atau penyambung penyalur donator yang sangat memperhatikan keadeaan bangsa umat Islam di Indonesia, beliau adalah Syekh Hasan Hitho’ Cs, K.H. Muhyiddin Na’im terpilih menjadi orang kepercayaaan seluruh sumbangan yang beliau (Syekh Hasan Hitho’ Cs) salurkan.

Padatnya aktivitas yang beliau jalankan, tidak menyurutkan kewajibannya sebagai suami, sekaligus guru dan da’i. Jika di rumah beliau adalah sosok kepala rumah tangga yang sangat diandalkan, seorang yang santun dan penyayang terhadap istri dan ank-anaknya. Tetapi apabila beliau sedang tugas di luar, beliau adalah seorang guru, mu’allim, dan da’i yang ramah. 4

Dari kegiatan-kegiatan beliau mempunyai visi dan misi yang sangat rasional seperti : beliau membangun generasi muda dan kaum bapak-bapak agar menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhkan larangan-Nya

4


(57)

MELALUI MASJID AL-AKHYAR

A. Aktivitas K.H. Muhyiddin Na’im

Menurut analisa penulis, bahwa aktivitas merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih. Dari hasil penelitian penulis mendapatkan beberapa data kegiatan beliau yang berupa kegiatan dakwah dan kegiatan organisasi, diantaranya :

1. Sebagai wakil ketua komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), beliau menjabat sejak tahun 2004 sampai dengan sekarang.

2. Sebagai katib (Penulis) Sekertaris Suriah Nahdlotul Ulama (NU), beliau menjabat sejak tahun 1998 sampai dengan sekarang.

3. Sebagai sekertaris Yayasan Alumni Timur-Tengah Indonesia, beliau menjabat sejak tahun 1988 sampai dengan sekarang.

4. Kegiatan agama, saat ini kegiatan beliau yang sifatnya keagamaan, diantaranya: mengisi khutbah antar Masjid, untuk masyarakat Islam Indonesia di Kedutaan besar dan Alumni Masyarakat Indonesia di Timur-Tengah. Beliau sering sekali mengendari mobil pribadinya tanpa didampingi sang supir, karena menurutnya beliau lebih bebas dan dapat melakukan aktivitas apapun. Tetapi kebiasaan ini biasa beliau lakukan apabila beliau mendapat undangan ceramah di daerah jabodetabek saja. 5. Kegiatan Sosial, Untuk mengembangkan kegiatan sosial yang dilakukan

oleh K.H. Muhyiddin Na’im, maka beliau lebih memilih melakukan


(1)

56

ikhlas untuk memajukan dan menyebarkan ajaran Islam yang ditanamkan Pengurus Masjid Al-Akhyar.

B. Saran

1. Perlu adanya perbaikan-perbaikan dalam pelaksanaan dakwah Islam menyangkut tehnik yang digunakan, materi yang disampaikan dan jadwal kegiatan dakwah agar lebih diperhatikan.

2. Kepada umat muslim hendaknya menyadari betapa pentingnya seorang da’i atau da’iyah dalam kehidupan kita. Sebab dari segala permasalahan yang dihadapi oleh kita sebagai umat muslim yang kurang faham tentang ilmu agama, kita bisa mendapatkan jawaban atas permasalahan yang kita hadapi dalam keseharian.

3. Untuk para calon praktisi atau para calon da’i atau daiyah hendaknya ikut berpastisipasi dalam menambah wawasan keilmuan tentang bagaimana cara berdakwah dimasyarakat serta bagaimana agar dakwah tersebut bisa berhasil lewat pengajian pada masjid-masjid setempat.

4. Pengurus masjid harus mengadakan pertemuan guna mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan sehingga pengurus dapat mengetahui perkembangannya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah. Masykuri, MimbarAgama dan Budaya Vol XVI, 1999,

Abdul ‘Aziz, Jum’ah Amin. Fiqh Dakwah Prinsip dan Kaidah Asasi Dakwah Islam, (Solo: Era Intermedia, 1998)

Affandi, Suherman. Faktor Kesuksesan Da’I (Risalah No. 6/XXXVIII, 1990)Al-Qardhawi,Yusuf. Ibadah dalam Islam, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2005),

Akbar, Ali. Nabi Muhammad Pembawa Rahmat, Suara Mesjid, No. 64, DDII, Amin, Ahmad. Al-Akhlak, terjemahan Y Bahtiar Affandy, (Jakarta: Jembatan,

1995).

Anshari, Endang Saefuddin. Kuliah Al Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan

Arbi, Armawati. Dakwah dan Komunikasi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003). Aziz, Moh. Ali. Ilmu Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2004).

Bachtiar,Warbi. Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, (Jakarta: Logos, 1997). Darussalam,Ghazali. Dinamika Ilmu Dakwah Islamiyah, (Malaysia: Nur Niaga

SDN BHD. 1996).

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2004),

Habsyi Ash-Siddieqy,Tengku Muhammad. Kuliah Ibadah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994).

Hadi, Sutrisno. Metodologi Research, (Yogyakarta:Andy Offet, 1983).

Hafidhuddin, Didin. Akhlak Sosial Muslim: Satu Hati dan Perbuatan, (Jakarta: Pustaka Zaman, 2000).

Hamid Bilali, Abdul. Fiqh Dakwah fi ingkar Mungkar (Kuwait: Dar al-Dakwah, 1989).

Hasanuddin, Hukum Dakwah: Tinjauan Aspek Hukum dalam Berdakwah di Indonesia, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996).

Hasanuddin, Hukum Dakwah: Tinjauan Aspek Hukum dalam Berdakwah di Indonesia, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996).


(3)

59

Hayyan,Abu al-Bahrul Muhith, Jilid 1, h. 392 Juga Dr. Zaid Abdul Karim, ad-Dakwah Bil-Hikmah.

Hefni, Harjanji. dkk, Metode Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2001).

http://www.cahaya-islam.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id= 286

Internet. Artikel Ilmu Dakwah indonetasia.com/definisionline/index.php. diakses pada tanggal 14-06-2010

Internet. Definisi_Dakwah takafultimdiniyah.multiply.com/journal. diakses pada tanggal 14-06-2010

Ismail, Ilyas. Paradigma Dakwah sayyid Quthub:Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah, (Jakarta: Penamadani, 2006).

M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Prenada media, 2003), cet. Ke-1, h. 14 Ma’luf,Lois. Munjid al-Lughah wa A’lam (Beirut: Dari Fikr. 1986) Ibnu Mandzur,

Lisan al-Arab, jilid VI (Beirut: Dar Fikr, 1990)

Machfoeld, Ki Moesa A. Filsafat Dakwah “Ilmu Dakwah dan Penerapannya”, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2004)

Masy’ari, Anwar. Akhlak Al-Qur’an, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990). Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:Remaja Rosda Karya,1999). Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 5 Mujieb, M. Abdul. Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994). Munir,M. Metode Dakwah, (Jakarta: Prenada media, 2003), cet. Ke-1, h. 12

Nashori Fuad dan Pachmy Diana Muharam, Mengembangkan Kretaivitas dalam Perspektif Psikologi Islam, (Yogyakarta: Menara Kudus, 2002).

Nasir, Muhammad. Fiqh al-Da’wah dalam Majalah Islam, Kiblat, Jakarta, 1971. Omar, Toha Yahya. Islam dan Dakwah, (Jakarta: PT. Al Mawardi Prima, 2004). Saefuddaulah M., Akhlak Ijtima’iyah, (T.tp.:Pamator, 1998).

Saleh,Hasan. Studi Islam di Perguruan Tinggi Pembinaan IMTAQ dan Pengembangan Wawasan, (Jakarta: Penerbit ISTN, 2000).

Soeltoe, Samuel, Psikologi Pendidikan II, (Jakarta: FEUI. 1982).


(4)

60

Syekh Thahir Ibn Saleh, Al-Jawahirul Kalamiyah, (Al-Qahirah: 1386 H, T.pn.,). Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, cet. IX,

1986),

Tinggi, Al-Munawwir, Ahmad Warson al-Munawwir, Jakarta: Pustaka Progresif, 1997,

Yusuf, Al-Qardhawi. Al-Ibadah fi al-Islam, Muassasah al-Risalah, (Beirut: T.pn.,1979).


(5)

HASIL WAWANCARA

Nara Sumber : K.H. Muhyiddin Na’im Tgl wawancara : 10 februari 2010

1. T : Kitab apa yang di pakai dalam pengajian di masjid Al-Akhyar ? J : Riyadlushshsolihin

2. T : Tentang apa saja yang terkandung dalam kitab Riyadlushsholihin itu ? J : Banyak pembahasan yang terkandung dalam kitab itu, disini saya lebih

menekankan kepada Ilmu Fiqih, karena saya sering melihat banyak orang yang kesulitan dalam Ilmu fiqih tersebut.

3. T : tujuan dalam pengajaran dan kenapa memakai kitab tersebut?

J : Memberikan pemahaman Islam secara menyeluruh, dan juga karena kitab tersebut sangatlah penting untuk dipelajari dan difahami.

4. T : Metode seperti apa yang dipakai dalam pengajaran ?

J : Dibaca, diterangkan, Tanya-jawab. ( ujar pak kyai singkatnya) 5. T : Pesan / kata untuk khalayak banyak ?

J : Pelajarilah Islam dari sumber yang benar dan asli, pelajarilah dan perdalam lagi nilai-nilai Islam dengan sumber yang akurat dan asli.

Nara Sumber : Fathi duraini (jama’ah) Tgl wawancara : 7 April 2010

1. T : Bagaiman menurut anda pengajaran K.H. Muhyiddin Na’im?

J : Saya merasa terbantu dengan pengajian ini, karena disamping kadang saya mendapati kesulitan dalam Ilmu fiqih, kisah yang beliau ceritakan begitu mendalam sehingga saya menjadi lebih khusyu kalau sholat.


(6)

Nara Sumber : Muh. Rusydi (jama’ah) Tgl wawancara : 07 April 2010

1. T : bagaimana respon anda setelah mengikuti pengajian ?

J : saya lebih senang ketika beliau berecerita tentang pengalaman beliau, karena lebih memotivasi saya untuk berkembang.

Nara Sumber : Ahmad Sani (pengurus masjid) Tgl wawancara : 15 Maret 2010

1. T : Bagaimana kepengurusan struktur organisasi di masjid ini ?

J : Struktur organisasinya seperti yang anda lihat (bagan struktur organisasi) menurut saya bagus, karena yang lebih berperan disini adalah kebanyakan dari kalangan pemuda dan sebagai pondasinya tetap di pantau dari kalangan orang tua. Serta di masjid ini seseorang bebas dalam menyatakan sesuatu. Ngikutin zaman yang demokrasi gitu…(katanya sambil tersenyum).

Nara Sumber : Hj. Mahmudah Na’im (Ketua Majlis Ta’lim Al-Akhyar kaum ibu) Tgl wawancara : 27 April 2010

1. T : Bagaimana peran ibu pada masjid ini ?

J : saya, selaku ketua majlis ta’lim masjid Al-Akhyar kaum ibu, ikut merasakan kemegahan masjid Al-Akhyar ini karena masjid yang cukup besar ini denga letaknya yang berada di kearamaian orang asing turut berbangga dapat menyertakan dakwah Islam saya terhapa orang banyak. Terlebih tiap bulan saya mengadakan acara bulanan ibu-ibu. Dan segala jenis kegiatan lainnya.