Penanganan Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga pada Polsek Natar
71
Beberapa hari sebelum kejadian KDRT terjadi, ibu asuti diberi magic-com yang sudah rusak oleh majikannya. Ibu astuti lalu berinisiatif memperbaiki magic-com
tersebut karena merasa memerlukannya. Namun biaya reparasi magic-com nya kurang meski sebenarnya sudah diberi uang oleh majikannya sebesar Rp. 20.000,-
Biaya perbaikan seluruhnya Rp. 30.000. majikan ibu astuti pernah mengatakan bahwa jika uang untuk biaya perbaikannya kurang maka ibu Astuti bisa meminta
lagi kekurangannya kepada pihak majikan. Namun karena malu, Ibu astuti kemudian meminta uang kepada suaminya.
Pada tanggal 22 Oktober 2009, karena suaminya tidak memiliki uang tambahan
tersebut, suami langsung marah-marah dan memukuli ibu astuti dengan alasan tidak bilang terlebih dahulu kepadanya kalau hendak memperbaiki magic-com
tersebut. Ibu Astuti, istri dari bapak Ahmat Muthadil kemudian melaporkan ke posko
bahwa dirinya telah dianiaya oleh suaminya dipukuli hingga berakibat muka dan bibirnya memar semua. Karena tidak terima atas perlakuan suaminya, ibu astuti
melaporkan suaminya ke polsek natar dan malam itu juga suaminya langsung dijemput dan ditahan oleh polsek natar. Setelah 6 hari ditahan di polsek, Ibu astuti
merasa tidak tega melihat suaminya dipenjara, lalu ia mencabut perkaranya dengan syarat sang suami tidak mengulangi perbuatannya kembali melakukan
KDRT. Berdasarkan kronologis kasus di atas, terlihat bahwa telah terjadi kekerasan dalam
rumah tangga terhadap ibu astuti. bentuk kekerasan yang diterima ibu astuti adalah kekerasan fisik yang mengakibatkan muka dan bibirnya memar semua.
72
Suami ibu Astuti dapat dijerat dengan UU No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT dengan pasal 44 ayat 1 UUPKDRT dengan ancaman hukuman pidana penjara
paling lama 5 tahun atau denda paling banyak 15 juta rupiah atau Pasal 44 ayat 4 yang menyebutkan bahwa dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
1 dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 empat bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 lima juta rupiah.
Respon positif ditunjukkan oleh Polsek Natar yang segera menindaklanjuti laporan ibu Astuti dengan melakukan penangkapan terhadap suaminya. Pada
kasus ibu Astuti, ia meminta posko Bantuan Hukum masyarakat untuk memediasi kasus KDRT yang dialaminya. Ia ingin mencabut laporannya dikepolisian dan
berdamai dengan suaminya. Untuk itu langkah hukum yang diambil oleh GS dan paralegal yang terlibat adalah :
1. Menggali kronologis kasus secara lebih detail sehingga dapat dianalisis
apakah kasusnya dapat didamaikan sesuai keinginan korban atau sebaliknya kasusnya tetap dilanjutkan ke proses hukum.
2. Memberitahukan kepada ibu astuti akan hak-haknya sebagai korban KDRT
dan berbagai kemungkinan atas konsekuensi-konsekuensi yang harus ditanggungnya jika kasusnya distop atau diteruskan ke proses hukum
selanjutnya. Diantaranya adalah jika kasusnya distop dan didamaikan, bukan tidak mungkin suaminya akan mengulang kembali tindak kekerasan yang
dilakukannya. Dan jika kasusnya tetap dilanjutkan, maka bisa saja suaminya mendapatkan hukuman penjara dan ia beserta anak-anaknya harus siap secara
73
fisik, mental dan ekonomi karena tidak ada lagi yang akan bertanggungjawab terhadap keluarganya.
3. Paralegal selaku pendampingan ibu Astuti memberikan tenggang waktu
kepada ibu Astuti dan keluarga untuk berfikir dan mengambil keputusan apakah ia akan melanjutkan kasusnya atau tidak.
4. Setelah waktu yang ditentukan habis, paralegal mendatangi ibu Astuti untuk
menanyakan keputusan yang diambilnya. Karena ibu Astuti memutuskan untuk mencabut laporannya maka paralegal akhirnya mengambil langkah-
langkah pencabutan laporan di kepolisian. 5.
Ibu Astuti dengan ditemani oleh paralegal dan keluarganya mendatangi Polsek Natar untuk mencabut laporannya. Sesuai dengan saran pihak terkait
dan tokoh, maka dibuatlah perdamaian antara ibu astuti dan suaminya. Dalam perdamaian tersebut pihak suami berjanji tidak akan mengulangi
perbuatannya kembali dan siap ditahan jika ia mengulangi tindak kekerasan yang dilakukannya.
Pada kasus ibu Astuti di atas, pilihan perdamaian dilakukan karena pihak korban
berkeinginan kuat untuk berdamai dengan pelaku. Dengan melapor ke polisi, dan ditahannya pelaku, korban berharap pelaku menjadi jera dan tidak mengulang
perbuatannya lagi. Selain itu, tindak KDRT yang dilakukan oleh suami ibu astuti baru pertama kalinya dilakukan dan akibat yang ditimbulkan tidak sampai
menggangu aktivitas sehari-hari ibu Astuti. Meski demikian Gender Specialist GS tetap mengingatkan bahwa walaupun
baru pertama kali dilakukan bukan tidak mungkin siklus kekerasannya akan terus
74
berulang . Ibu Astuti harus bersiap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi sebagai konsekuensi pilihannya untuk berdamai. Gender Specialist GS,
Fasilitator Posko fasko dan paralegal tidak dapat memaksa ibu Astuti untuk melanjutkan kasusnya karena semua keputusan dikembalikan kembali kepada
korban setelah korban diberikan arahan alternative penyelesaian kasus beserta segala konsekuensinya.
Menurut keterangan dari Kanit Reskrim pada Polsek Natar Setio Budi Howo
bahwa langkah yang diambil pihak penyidik kepolisian terkait dengan kasus tersebut adalah sebagai berikut:
71
1. Penyidik di Polsek Natar menyadari bahwa hukum bukanlah sebagai sesuatu
yang final. Hukum harus dapat mengikuti dinamika kehidupan manusia. Ketika penyidik selalu mengutamakan kepastian hukum, maka rasa keadilan
dan kemanfaatan manusia tidak akan terpenuhi. Oleh karena itu penyidik mencoba lebih mengerti akan apa yang diinginkan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan dalam
suatu pelaporan.
Penyidik berusaha
mengenyampingkan kepastian hukum untuk dapat memenuhi keinginan dari pihak pelapor maupun terlapor ketika sudah sepakat untuk melakukan
perdamaian dan tidak lagi menempuh jalur hukum sebagaimana mestinya. 2.
Penyidik mencoba memahami bahwa hukum hanyalah alat dari tujuan manusia yaitu untuk mencapai kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia.
Untuk mencapainya penyidik lebih mendahulukan keadilan substansif daripada keadilan prosedural. Penyidik menyadari apabila hanya mengejar
keadilan prosedural, maka banyak perkara pidana yang seharusnya dapat
71
Hasil wawancara pada tanggal 26 Juni 2016
75
diselesaikan dengan perdamaian akan tetap dilanjutkan ke proses pengadilan, akan tetapi rasa keadilan dan kemanfaatan tidak akan dirasakan oleh pihak
pelapor maupun terlapor. Hal ini dapat kita lihat dari langkah-langkah yang dilakukan penyidik dalam menghadapi kasus Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Penyidik mempertimbangkan unsur kemanusiaan, ketika suami sebagai pencari nafkah hidup keluarga harus menjalani hukuman, maka istri
dan anak-anaknya akan terlantar. Apabila terjadi perceraian, maka masa depan anak akan terancam, dan nantinya bukan tidak mungkin akan
menimbulkan kejahatan-kejahatan baru di masyarakat. Dengan melakukan mediasi, diharapkan kehidupan keluarga akan harmonis kembali, dan masa
depan anak dapat menjadi tanggung jawab bersama kedua orangtuanya.
Apabila dilihat dari segi peraturan, hukum di Indonesia belum sepenuhnya dapat mengikuti perkembangan perilaku atau kebudayaan masyarakat Indonesia. Di
sadari bahwa Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia adalah produk hukum dari jaman kolonial Belanda. Berkembangnya kebudayaan
masyarakat Indonesia sampai saat ini belum dapat diadopsi sepenuhnya dalam KUHP yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. KUHP belum mengatur tentang
proses pencabutan laporan dalam delik biasa apabila pihak pelapor dan terlapor sudah berdamai, padahal hal tersebut merupakan perilaku masyarakat Indonesia
yang berkembang sampai saat ini. Penyidik menerapkan hukum progresif dengan mencoba menggerakkan peraturan dengan perilaku yang berkembang di
masyarakat, sehingga diharapkan peraturan akan berubah menjadi hukum positif seperti yang diinginkan masyarakat.
76
Hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan “pembebasan” yaitu
membebaskan diri dari tipe, cara berpikir , asas dan teori hukum yang legalistik- positivistik. Penyidik di Polsek Natar sudah melaksanakan hal tersebut dengan
tidak terjebak dalam cara berpikir yang legalistik-positivistik, melainkan mencoba langkah-langkah kreatif dan inovatif dengan melakukan mediasi terlebih dahulu,
memanggil kedua belah pihak dengan melibatkan keluarga dan unsur pemerintahan sehingga tercapainya kata mufakat yang berbuah kepada keadilan
yang substantif daripada keadilan prosedural. Kreativitas yang dilakukan penyidik dalam penyelesaian perkara pidana yang tergolong delik biasa merupakan suatu
terobosan hukum untuk menghindari ketimpangan hukum. Terobosan hukum inilah yang diharapkan dapat mewujudkan tujuan kemanusiaan melalui
bekerjanya hukum, yang menurut Satjipto Rahardjo diistilahkan dengan hukum yang membuat bahagia.
72
Penerapan hukum progresif dengan teori tujuan hukum Gustav Radbruch. Gustav mengajarkan bahwa ada tiga tujuan hukum, yaitu keadilan gerechtigkeit,
kemanfaatan zweckmaeszigkeit, dan kepastian hukum rechtssicherkeit.
73
Radburch mengajarkan bahwa diperlukan penggunaan asas prioritas dalam menentukan tujuan hukum itu, dimana prioritas pertama adalah keadilan, kedua
adalah kemanfaatan dan terakhir barulah kepastian hukum. Proses penyelesaian kasus menurut keadilan restoratif tidak lagi menjadi
monopoli kewenangan aparat penegak hukum melainkan ada keterlibatan secara aktif di antara para pihak.
Jadi dalam konstruksi keadilan restoratif korban dan
72
Satjipto Rahardjo, Menuju Produk Hukum Progresif, Makalah disampaikan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh FH UNDIP, 24 Januari 2004.
73
Achmad Ali, Op. Cit., hlm. 3.
77
masyarakat, di samping pelaku, dipandang sebagai bagian dari konflik dan dengan demikian tujuan serta proses penyelesaian kasuskonflik dilakukan
dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak tersebut. Apabila penyelesaian
konflikkasus diharapkan
untuk memberikanmenegakkan
keadilan, maka keadilan yang diterima para pihakpun termasuk korban dapat dirasakan lebih substantif.
Fakta bahwa KDRT terjadi di antara orang-orang yang memiliki relasi khusus
yang pada umumnya dianggap sangat dekat, baik karena perkawinan maupun hubungan darah. Adanya relasi khusus yang pada umumnya dianggap sangat
dekat tersebut dapat dilihat dari rumusan Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 2 UUPKDRT. Pasal 1 angka 1 UUPKDRT merumuskan bahwa kekerasan dalam
rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, danatau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Menurut ketentuan-ketentuan dalam UUPKDRT satu-satunya penyelesaian
menurut jalur hukum pidana terhadap kekerasan dalam rumah tangga adalah dengan menjatuhkan pemidanaan terhadap pelaku. Dengan kata lain, satu-satunya
bentuk pertanggungjawaban pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah dengan menjalani sanksi pidana.
Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa pemidanaan terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga dapat menimbulkan
akibat yang tidak mengenakkantidak menyenangkan bagi korbannya yang
78
tidak lain merupakan anggota keluarga atau dianggap sebagai anggota pelaku sendiri, misalnya : antara pelaku dan keluarganya yang juga merupakan
korban hidup terpisahkan oleh tembok penjara, nafkah korban akan terganggu, dan terjadi keretakan dalam hubungan keluarga.
Penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku kekerasan dalam rumah tangga juga akan memelihara suasana
konflik antara pelaku dengan korbannya yang tidak lain adalah keluarganya sendiri atau orang yang menurut aturan hukum harus dianggap sebagai
keluarga. Terpeliharanya suasana konflik tersebut jelas akan mempersulit tercapainya salah satu tujuan dari penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga, yaitu memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Padahal oleh Satjipto Rahardjo juga dikatakan bahwa hukum
mempunyai tujuan yang lebih jauh, yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat.
74
Fakta bahwa korban atau keluarga korban kekerasan dalam rumah tangga
yang telah melaporkan perkaranya kepada aparat penyidik lebih sering memilih untuk menyelesaikan perkaranya secara kekeluargaan dengan tidak melanjutkan
proses penyelesaian kasusnya menurut jalur hukum pidana. Pilihan cara penyelesaian perkara oleh korban tersebut dilakukan dengan mencabut laporan
yang telah dibuatnya. Penyelesaian konflik menurut pemikiran keadilan restoratif pada dasarnya dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan harmoni
antara kepentingan korban, pelaku, dan masyarakat. Harmonisasi kepentingan pelaku, korban, dan masyarakat yang menjadi
74
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, KOMPAS, Jakarta, 2007, hlm. 11, 22.
79
tujuan penyelesaian konflik menurut pemikiran keadilan restoratif tersebut sesuai dengan salah satu tujuan dari penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 huruf d UUPKDRT. Dikaitkan dengan penyelesaian kasus melalui jalur hukum pidana, maka dapat
dikatakan bahwa prinsip-prinsip keadilan restoratif berkaitan dengan 2 dua hal pokok, yaitu: pertama, berkaitan dengan sanksi yang dapat dikenakan terhadap
pelaku; dan kedua, berkaitan dengan proses penyelesaian perkaranya. Berkaitan dengan hal itu, maka kajian restoratif terhadap peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan upaya penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia akan difokuskan pada aturan- aturan hukum yang mengancamkan
sanksi pidana pada pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan aturan-aturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara pidana kekerasan dalam
rumah tangga. Seperti undang-undang perlindungan anak, UUPKDRT sebenarnya juga
telah mengakomodasi ide keadilan restoratif sebagaimana dapat dilihat dari Pasal 10 dan Pasal 39, tetapi diakomodasinya ide keadilan restoratif
tersebut tidak diletakkan dalam konteks penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga menurut jalur hukum pidana.
Prisip-prinsip keadilan restoratif pada dasarnya berkaitan dengan 2 dua hal,
yaitu : pertama, berkaitan dengan kebijakan hukum pidana materiil khususnya berkaitan dengan kebijakan mengenai sanksi pidana; dan kedua, berkaitan
dengan kebijakan hukum pidana formil khususnya berkaitan dengan cara penyelesaian kasus.
80
Sesuai dengan ide dasarnya, jenis sanksi dalam keadilan restoratif merupakan sanksi yang dapat mewujudkan tanggung jawab pelaku terhadap pemulihan
penderitaan korban. Hal ini berbeda dengan jenis sanksi pidana yang didasarkan pada idepemikiran retributif. Dalam pemikiran retributif, sanksi pidana
dikenakan terutama sebagai wujud tanggung jawab pelaku terhadap negara atau merupakan suatu pembalasan atau pengimbalan yang dilakukan oleh negara
atas kesalahan pelaku. Meskipun dalam perkembangan pemikiran mengenai pemidanaan lalu muncul pemikiran-pemikiran baru untuk lebih memperhatikan
unsur kemanusiaan dalam penerapan sanksi pidana, hal itu tetap tidak merubah tujuan utama dari penerapan sanksi pidana berdasar ide retributif.
Berdasarkan paparan mengenai kecenderungan dunia internasional, khususnya
mengenai dirumuskannya jenis sanksi ganti kerugian, dapat dikatakan bahwa kewajiban pelaku untuk memberikan kompensasi atau restitusi atau ganti rugi
tersebut kepada korban merupakan pencerminanperwujudan dari ide keadilan restoratif. Perumusan sanksi ganti rugi dalam aturan hukum mengenai
kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia menurut pemikiran penulis tidak cocok untuk diterapkan mengingat hal- hal sebagai berikut:
1. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 1 angka 1 dan dihubungkan dengan
Pasal 2 UUPKDRT dapat ditegaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga terjadi di antara anggota keluarga sendiri.
Hubungan kekeluargaan di antara pelaku dan korban pada kekerasan dalam
rumah tangga pada dasarnya dilandaskan pada cinta kasih, hormat- menghormati
dan pada pokoknya suatu hubungan paguyuban yang tidak memperhitungkan untung rugi. Dengan demikian akan dirasa janggal jika
kemudian ada perhitungan ganti rugi sebagai salah satu sarana untuk
81
menyelesaikan konflik di antara mereka. Dengan dimasukkannya orang yang bekerja membantu rumah tangga disebut juga sebagai pembantu rumah tangga
dan menetap dalam rumah tangga sebagai anggota keluarga, maka pembentuk Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 telah melakukan penegasan bahwa orang
yang bekerja membantu rumah tangga, selama ia menetap dalam rumah tangga tersebut, diberi kedudukan sebagai anggota keluarga sama seperti anggota
keluarga yang lain. Oleh karena itu hubungan kekeluargaan yang menjadi basis hubungan dalam rumah tangga diharapkan lebih menonjol dibandingkan
hubungan pekerjaan antara majikan dengan orang yang bekerja padanya. 2.
Kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya merupakan pengingkaran dari sesuatu yang menjadi landasan hubungan kekeluargaan tersebut di atas, serta
pengingkaran terhadap tugas, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing anggota keluarga. Oleh karena itu, menurut penulis, sanksi yang cocok untuk
dikenakan kepada pelaku seharusnya juga merupakan sanksi yang, di satu sisi, merupakan sanksi yang merepresentasikan tugas, kewajiban, dan tanggung jawab
pelaku dalam hisup kerumahtanggaan, serta di sisi lain, merupakan sanksi yang berkorelasi dengan kebutuhan untuk merehabilitasi korban.
3. Dalam kehidupan rumah tangga di Indonesia pada umumnya terjadi
penyatuan harta kekayaan. Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menentukan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Dengan demikian maka akan dirasa janggal apabila ganti
rugi, yang menurut ide keadilan restoratif merupakan perwujudan tanggung jawab pelaku terhadap korban, dijalankan oleh pelaku dengan menggunakan
82
harta yang juga merupakan harta korbannya. Meskipun di antara pelaku dan korban dimungkinkan adanya penguasaan harta bawaan yang terpisah satu sama
lain, kejanggalan juga akan terasa karena ganti rugi yang diberikan oleh pelaku tersebut pada akhirnya juga akan menjadi harta bersama antara pelaku dan
korban. Keberadaan keluargarumah tangga di tengah-tengah masyarakat tersebut
menurut penulis juga mengandung konsekuensi bahwa penyelesaian konflik dalam rumah tangga harus juga memperhatikan perasaan keadilan masyarakat
serta kepentingan masyarakat untuk menjaga dan memelihara ketertiban umum. Berkaitan dengan adanya pertimbangan untuk juga tetap memperhatikan rasa
keadilan masyarakat serta kepentingan masyarakat akan terciptanya ketertiban umum tersebut, maka pengancaman sanksi pidana penjara, sebagai pidana
pokok yang pada umumnya diancamkan pada setiap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga khususnya kekerasan dalam rumah tangga yang berakibat
berat atau matinya korban serta kekerasan seksual bukan di antara suami-isteri, dianggap masih sesuai. Sedangkan untuk mengakomodasi kepentingan
pemulihan korban sebagai suatu bentuk pertanggungjawaban pelaku sekaligus beraspek rehabilitatif bagi pelaku sendiri, perlu dirumuskan sanksi pidana
yang bertitik tolak dari pelaksanaan tugas, kewajiban, dan tanggung jawab pelaku dalam hidup berumah-tanggaberkeluarga, misalnya : sanksi yang
mewajibkan pelaku untuk memberikan nafkah dan kewajiban untuk melakukan perawatan atau pemeliharaan terhadap anggota keluarga sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 30, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 45, dan Pasal 46 Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
83
Terkait dengan adanya ancaman sanksi pidana denda sebagaimana dirumuskan dalam aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan dalam kasus-
kasus kekerasan dalam rumah tangga, khususnya dalam UUPKDRT, menurut Sely Fitriani selaku Direktur Eksekutif LSM DAMAR tidak sesuai
diancamkanditerapkan terhadap semua jenis kekerasan dalam rumah tangga sehingga harus dihapus dengan alasan sebagai berikut:
75
1. Aspek perlindungan kepentingan masyarakat dan rehabilitasi terhadap
pelaku dalam pidana denda tidak begitu terasa sebagaimana tampak pada pidana penjara.
2. Karena pidana denda itu merupakan pembayaranpenyerahan sejumlah
uang kepada negara, maka pidana denda tidak beraspek pada upaya pemulihan penderitaan korban. Bahkan pidana denda dapat semakin
memberatkan ekonomi keluarga pelaku, termasuk didalamnya adalah kemungkinan menambah beban ekonomi korban.
Hal tersebut dapat terjadi karena, pada umumnya, kekerasan dalam rumah tangga terjadi di
antara orang-orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau terjadi di antara orang-orang yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri.
3. Sekalipun dalam pidana denda ada segi positifnya, yaitu dapat
dihindarkannya stigmatisasi atau prisonisasi bagi pelaku, segi positif dari pidana denda tersebut hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang secara
ekonomi telah berkelebihanorang-orang kaya. Sedangkan bagi pelaku yang secara ekonomi tidak mampu, sehingga tidak dapat membayar denda,
kemungkinan terjadinya stigmatisasi tetap akan ada karena hakim dapat
75
Hasil wawancara pada tanggal 24 Mei 2016
84
menentukan adanya pidana kurungan pengganti denda. Dalam pidana denda, negara
“ memaksa “ pelaku untuk menyerahkan sejumlah uang sebagai denda kepada negara. Apabila di antara pelaku dan korbannya
terdapat kesatuan harta benda, sebagaimana lazimnya dalam satu keluarga, maka denda yang harus dibayarkan oleh pelaku kepada negara tersebut mau tidak
mau juga akan membebani korbannya. Dengan kata lain korban yang sudah mengalami penderitaan akibat dari tindak kekerasan juga dipaksa untuk
menanggung beban dari pidana yang dijatuhkan pada pelaku. Beban yang juga harus ditanggung oleh korban yang juga merupakan anggota keluarga dari
pelaku tersebut jelas akan menambah kesulitan bagi hidup yang bersangkutan, padahal seperti yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo pencari keadilan tidak
hanya berkepentingan agar hukum ditegakkan, yang lebih penting adalah mereka ingin dibantu keluar dari kesulitannya.
76
Penerapan aturan hukum yang justru menambah kesulitanpenderitaan korban menurut penulis juga tidak sesuai
dengan tujuan akhir dari kebijakan kriminal criminal policy, yaitu kesejahteraan sosial.
Menurut ketentuan KUHAP, penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah
tangga pada dasarnya akan menghadap-hadapkan pelaku melawan aparat penegak hukum, sedangkan korban hanya akan berperan sebagai saksi. Dengan
kata lain, pihak yang terlibat secara aktif dalam proses penyelesaian pidana menurut KUHAP tersebut adalah aparat penegak hukum dan pelaku, sedangkan
korban diberi peran yang pasif. Proses penyelesaian tindak pidana menurut KUHAP, yang pada dasarnya masih dijiwai oleh pemikiran retributif tersebut,
76
Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980, hlm. 95
85
juga berlaku bagi kekerasan dalam rumah tangga. Berbeda dengan proses penyelesaian tindak pidana yang bersifat retributif, proses
penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga yang didasari oleh ide keadilan restoratif adalah suatu penyelesaian kasus yang melibatkan korban
secara aktif. Meskipun demikian, menurut pemikiran penulis, dilibatkannya korban dalam penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga tersebut
tidak dilakukan untuk semua kasus, melainkan hanya untuk kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga tertentu, yaitu kekerasan dalam rumah tangga
yang menimbulkan penderitaan fisik atau psikis yang bersifat ringan, kekerasan seksual di antara suami dan istri, dan penelantaran rumah tangga. Adapun dasar
pertimbangan dari pemikiran tersebut adalah: a.
Kepentingan negaramasyarakat untuk menjaga atau memelihara kepentingan umum serta menjaga perasaan keadilan masyarakat dalam
pemidanaan terhadap kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan akibat-akibat yang bersifat berat atau matinya korban dianggap lebih
besar dibandingkan dengan kepentingan individu untuk tetap mempertahankan keberlangsungan rumah tangganya.
b. Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kekerasan dalam rumah tangga yang
berakibat berat atau matinya korban lebih sulit atau bahkan tidak dapat dipulihkan apabila dibandingkan dengan kekerasan dalam rumah tangga
yang berakibat ringan atau penelantaran keluarga. c.
Kepentingan korban atau keluarga korban agar perkara-perkara kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan akibat-akibat yang bersifat ringan
serta kekerasan seksual di antara suami-istri tidak dituntut menurut hukum
86
pidana dianggap lebih besar dibandingkan dengan kepentingan negara atau kepentingan umum agar perkaranya itu dituntut. Hal itu tersirat
dengan dirumuskannya kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan akibat-akibat yang bersifat ringan serta kekerasan seksual di antara suami-
istri tersebut sebagai tindak pidana aduan Pasal 51, Pasal 52, dan Pasal 53 UUPKDRT.
d. Ancaman pidana penjara terhadap kekerasan fisik atau psikis yang
berakibat ringan tersebut termasuk dalam kategori pidana perampasan kemerdekaan yang singkat. Pasal 44 ayat 4 dan Pasal 45 ayat 2
UUPKDRT merumuskan ancaman pidana penjara paling lama 4 empat bulan. Dari segi jangka waktunya, ancaman pidana penjara yang
dirumuskan di dalam kedua pasal tersebut termasuk kategori pidana perampasan kemerdekaan yang singkat. Perumusanpengancaman sanksi
pidana, termasuk pidana perampasan kemerdekaan singkat dalam Pasal 44 ayat 4 dan Pasal 45 ayat 2 UUPKDRT tersebut secara filosofis bertolak
belakang dengan tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang dirumuskan dalam Pasal 4 antara lain adalah untuk memelihara keutuhan
rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Di samping itu menurut Barda Nawawi Arief dalam perkembangannya banyak yang mempersoalkan
kembali manfaat penggunaan pidana penjara sebagai salah satu sarana untuk menanggulangi kejahatan, terutama masalah efektifitasnya.
77
Dengan kata lain, penggunaan pidana penjarapidana perampasan kemerdekaan,
khususnya pidana perampasan kemerdekaan yang singkat, mengandung
77
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, CV. Ananta, Semarang, 1994, hlm. 46
87
kelemahan.
78
e. Tindak pidana penelantaran keluarga pada hakikatnya merupakan
pengingkaran dari tugas, kewajiban, dan tanggung jawab pelaku terhadap keluarganya.
Mengacu kepada cara-cara alternatif penyelesaian tindak pidana menurut
ide keadilan restoratif yang dikemukakan oleh David Miers, sikap aparat penyidik yang memperbolehkan dicabutnya laporan korban untuk kasus-
kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan alasan akan diselesaikan secara kekeluargaan di antara korban dan pelaku, serta sifat komunalnya dan prinsip-
prinsip kekeluargaan yang ada pada masyarakat Indonesia, kiranya model penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga khususnya kekerasan
yang berakibat ringan, kekerasan seksual di antara suamiistri serta penelantaran keluarga yang tepat adalah mediasi yang dilakukan oleh aparat
penyidik. Adapun mediasi dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan dalam rumah
tangga tertentu tersebut dilakukan tidak hanya di antara pelaku dan korban, melainkan dilakukan dengan sedikit modifikasi, yaitu dengan melibatkan
keluarga dekat dari pelaku dan korban serta tokoh-tokoh masyarakat atau agama yang disegani oleh para pihak. Model mediasi seperti itu pada dasarnya mirip
dengan family group conferencing programs. Model mediasi yang dimodifikasi tersebut juga dirasa sesuai dengan inti yang terkandung dalam
Pancasila yang merupakan cita hukum bangsa dan negara Indonesia, yaitu
78
Schaffmeister, Pidana Badan Singkat Sebagai Pidana Di Waktu Luang terjemahan oleh : Tristam Pascal Moeliono PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 15-16
88
musyawarah mufakat atau kekeluargaan serta sesuai dengan ciri khas hukum nasional Indonesia, yaitu terkandungnya asas kekeluargaan.
Penyidik di Polsek Natar dalam menyelesaikan perkara pidana yang tergolong
delik biasa, menerapakan teori tujuan hukum menurut Gustav Radbruch. Penyidik mencoba memahami keadilan apakah yang sebenarnya diinginkan oleh pelapor
dan terlapor. Prioritas pertama adalah keadilan yang diharapkan dari pihak-pihak yang terkait, setelah timbul keadilan, tentunya akan memberi manfaat kepada
kedua belah pihak, dan terkadang mengenyampingkan kepastian hukum. Dilihat dari sudut pandang hukum, pekerjaan kepolisian, tidak lain berupa
penerapan atau penegakan hukum, dengan demikian, polisi menjadi penjaga status quo
dari hukum. polisi itu adalah “hamba hukum”, “aparat penegak hukum”, dan sebagainya. Pemahaman di atas membawa implikasi bahwa tidak ada legitimasi
lain untuk polisi, kecuali sebagai aparat penegak hukum, sehingga pertanggungjawaban yang harus diberikannya juga semata-mata terhadap hukum
yang menjadi “majikannya”. Dilihat dari kaca mata hukum progresif, polisi tidak menjadikan hukum sebagai
pusatnya, tapi rakyatlah manusia yang menjadi perhatian utama. Ketika polisi menjadi pengayom dan pelindung rakyat, maka bukan hukum yang menjadi
patokan utama, tapi hati nurani. Artinya, ketika ada suatu kasus, yang pertama kali dilihat bukan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan kasus itu, tapi hal-hal
lain di luar hukum. Ia tidak lagi terkungkung dengan rumusan formal perundang- undangan yang mengancam hukuman penjara bagi seorang pencuri, tapi melihat
kasus itu sesuai dengan hati dan pikirannya. Polisi yang demikian ini disebut
89
dengan “polisi protagonis”, yaitu polisi yang mengayomi dan melindungi rakyat kecil. Ia memiliki kesabaran, keberanian untuk keluar dari aturan hukum tertulis
yang selama ini menjadi majikannya, dedikasi, dan pro rakyat kecil.
79
Pemahaman ini dapat diartikan bahwa sudah saatnya polisi menjadi bagian dari
masyarakat. Ia harus peka terhadap kepentingan masyarakat. Di sini yang ditekankan bukan pada pertanggungjawaban secara hirarkhis dan berdasarkan
peraturan-peraturan, melainkan lebih secara sosiologis mendekatkan kepada masyarakat dan warganya. Di sini polisi lebih memberikan pertanggung jawaban
terhadap tuntutan dan kebutuhan warga masyarakat secara substansial. Konsep inilah yang kemudian dikenal dengancommunity policing.
80
Memang berat konsep ini diterapkan mengingat begitu kuatnya paham
formalisme yang diterapkan oleh polisi di dalam menanggulangi kejahatan. Kalau konsep ini diterapkan, akan ada perubahan pola pikir, cara pandang dan
paradigma polisi di dalam memperlakukan penjahat yang notabene adalah manusia itu sendiri. Kriteria untuk terciptanya community policing ini paling tidak
antara lain; mendekatkan kepada rakyat, dalam arti rakyat tidak dijadikan lawan; menjadikan akuntabel terhadap masyarakat; menggantikan pada “penghancuran”
dengan melayani dan menolong; peka dan melibatkan kepada urusan sipil dari warga Negara masyarakat seperti membantu orang lemah, tidak tahu dan
kebingungan, frustasi, pengangguran, sakit, lapar, kesepakatan, dan putus asa.
79
Satjipto Rahardjo, 2007, Membangun Polisi Sipil Perspektif Hukum, Sosial dan Kemasyarakatan, Penerbit Kompas, Jakarta, hlm. 30-31
80
Ibid hlm, 33
90
Di samping gagasan hukum progresif sesungguhnya juga ditemukan dalam sistem yang digunakan dalam kepolisian, yaitu yang dikenal dengan diskresi. Jika
hukum progresif, sebagaimana uraian di atas, lebih mengutamakan tujuan dan konteks ketimbang teks-teks aturan semata. Ini menyebabkan soal diskresi yang
dikenal dalam tugas polisi sangat dianjurkan dalam penyelenggaraan hukum. Artinya, polisi dituntut untuk memilih dengan kebijakan bagaimana ia harus
bertindak. Otoritas yang ada padanya berdasarkan aturan-aturan resmi, dipakai sebagai dasar pembenaran untuk menempuh cara yang bijaksana dalam
menghampiri kenyataan tugasnya berdasarkan pendekatan moral, kemanusiaan dan hati nurani dari pada ketentuan-ketentuan formal.
Kewenangan formal dijalankan oleh legislasi dan aktualisasinya oleh badan-badan
pelaksana enforcement agencies. Artinya, kewenangan formal yang diberikan tidak
otomatis memberi
kekuasaan kepada
badan badan
untuk mengimplementasikan kekuasaan tersebut. Kewenangan formal sekedar memberi
legalisasi, sedang aktualisasi kekuasaan disebarkan ke masyarakat.
81
Jika konsep ini diterapkan, ini berarti walaupun kepolisian polisi memiliki kewenangan
untuk memproses kasus seseorang kepada kejaksaan, tidak secara otomatis dapat diaktualisasikan. Tergantung pada bagaimana karakteristik pelaku dan kejahatan
yang dilakukan serta kontekstualisasinya dengan aspek sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain, aturan-aturan formal tidak menjadi satu-satunya majikan yang
harus dilayani, tapi beralih pada hati nurani dan manusia.
81
Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Penerbit Kompas, Jakarta, , hlm. 45-46
91
Penerapan Teori tentang tujuan hukum menurut Gustav Radbruch dapat dilihat dari penyelesaian kasus KDRT dengan korban ibu Astuti di Polsek Natar,
penyidik mengambil kebijakan untuk tidak melanjutkan penyidikan ke jaksa penuntut umum. Langkah yang diambil penyidik ini menurut Teori Keadilan
adalah dengan mendahulukan prioritas keadilan. Dengan mendahulukan keadilan dan kemanfaatan otomatis kepastian hukum akan dikesampingkan karena kasus
penganiayaan atau KDRT tergolong delik biasa yang tetap harus diproses walaupun sudah ada perdamaian dan pencabutan laporan. Ketidakselarasan antara
penerapan keadilan dan kemanfaatan dengan kepastian hukum dalam penerapan hukum memang tidak dapat dihindari. Penyidik dituntut untuk cermat dan
bijaksana dalam menentukan prioritas yang didahulukan. Untuk memahami ini diperlukan penyidik yang mempunyai hati nurani yang peka terhadap keinginan
masyarakat dan kreatif serta inovatif sesuai dengan apa yang diasumsikan dalam hukum progresif.
Penulis menganalisis bahwa penerapan hukum progresif dalam penyelesaian
perkara pidana oleh penyidik Polsek Natar dilakukan dengan beberapa metode atau cara yaitu sebagai berikut:
1. Menerapkan mediasi penal dengan prinsip-prinsip keadilan restorative, hal ini
sesuai dengan hasil wawancara dengan Kanit Reskrim Polsek Natar, bahwa ketika menghadapi adanya pencabutan laporan pada perkara pidana yang
tergolong delik biasa, penyidik harus mengambil langkah-langkah dengan menerapkan restorative justice. Hal ini dilakukan dengan memediasi pihak-
pihak yang terlibat, dan mencoba merestorasi “kerusakan” yang ditimbulkan akibat suatu perbuatan pidana. U
paya untuk memperbaiki “kerusakan”
92
tersebut diiringi dengan upaya untuk memperbaiki hubungan antara korban dengan terlapor dan masyarakat. Hubungan dengan masyarakat diperbaiki
dengan melibatkan unsur pemerintahan setempat seperti Ketua RT, RW, Lurah, maupun Bhabinkamtibmas. Mekanisme penyelesaian dengan keadilan
restoratif dapat menempatkan posisi masyarakat bukan hanya sebagai penonton saja, melainkan dapat berperan aktif dalam memantau atas
pelaksanaan suatu hasil kesepakatan sebagai bagian dari penyelesaian perkara pidana.
Mediasi dengan menerapkan keadilan restoratif ini disebut juga dengan
mediasi penal. Mediasi penal terkadang memang berada di luar ketentuan Legal System. Alasan penyidik Polsek Natar menerapkan mediasi penal
adalah mempertimbangkan asas keadilan dan kemanfaatan baik dari korban dan terlapor, sehingga terkadang mengenyampingkan kepastian hukum.
Beranjak dari pemikiran tentang keunggulan dan kelemahan dari
penyelesaian perkara pidana di luar sistem yang tidak diakui oleh hukum formal yang berlaku, keadilan restoratif telah menjadi suatu kebutuhan dalam
masyarakat. Hal ini erat kaitannya dengan prinsip dan budaya masyarakat Indonesia yang lebih mementingkan musyawarah dan mufakat untuk
memecahkan suatu persoalan, akan tetapi hal tersebut belum termuat dalam KUHP dan KUHAP yang masih didominasi oleh peninggalan budaya
kolonial. Penyelesaian perkara pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif
merupakan salah satu perwujudan dari pelaksanaan hukum progresif karena
93
pada dasarnya yang didahulukan adalah kepentingan masyarakat. Penyidik mencoba menempatkan hukum agar lebih dapat menyesuaikan apa yang
diinginkan oleh masyarakat, sehingga tujuan hukum secara hakiki dapat tercapai yaitu untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
2. Menerapkan diskresi kepolisian. Sebagaimana kita ketahui bahwa tugas polisi
sebagai penyidik dalam sistem peradilan pidana menempatkannya dalam jajaran paling depan, sehingga polisi dituntut untuk bisa menyeleksi atau
memilah-milah perkara mana yang pantas untuk diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan. Tanpa adanya pemilahan
perkara oleh polisi pada saat penyidikan maka akan terjadi penumpukan perkara yang nantinya tidak efisien bagi semua pihak.
Penyidik di Polsek Natar dalam melakukan penyidikan kasus pidana seperti
yang telah dicontohkan sebelumnya selalu mempertimbangkan untuk memajukan kasus yang sedang ditanganinya ke pengadilan. Penyidik
cenderung untuk memediasikan kasus-kasus yang dinilai kerugiannya kecil dan bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Pada situasi seperti ini, penyidik
menggunakan kewenangan diskresi kepolisian dalam penyidikan. Penulis menganalisis alasan penerapan diskresi kepolisian dalam
penyelesaian perkara pidana oleh penyidik Polsek Natar adalah sebagai berikut:
a. Adanya perdamaian dari pelapor dan terlapor.
Penyidik pada saat melaksanakan tahapan-tahapan penyidikan sering sekali berhadapan dengan situasi dimana kedua belah pihak sudah saling
94
memaafkan, mengganti kerugian yang ditimbulkan, serta mencabut laporan di kepolisian. Pencabutan laporan dalam kasus-kasus yang
tergolong bukan delik aduan delik biasa sebenarnya tetap dapat dilanjutkan oleh penyidik, akan tetapi dalam kasus-kasus tertentu yang
tidak meresahkan masyarakat umum, dan kerugian yang ditimbulkan kecil, penyidik Polsek Natar mengambil kebijaksanaan untuk tidak
melanjutkan perkara tersebut ke proses pengadilan berikutnya. Langkah diskresi ini dilakukan penyidik dengan mengedepankan asas keadilan dan
kemanfaatan, walaupun terkadang mengenyampingkan kepastian hukum. b.
Apabila penyidikan tetap dilanjutkan akan menimbulkan potensi gangguan terhadap kamtibmas yang lebih besar.
Langkah yang diambil penyidik Polsek Natar merupakan salah satu alasan dilakukannya diskresi kepolisian menurut Satjipto Rahardjo. Satjipto
berpendapat bahwa sifat tugas kepolisan yang mendesak dan mendadak, mengharuskan polisi untuk cepat dan tepat dalam bertindak. Apabila
polisi lambat dalam bertindak, maka dalam bilangan detik dapat terjadi aneka peristiwa, kecelakaan, bunuh diri, dan bukan tidak mungkin dapat
terjadi kerusuhan massal. Jadi keleluasaan dan kelonggaran diperlukan bagi pekerjaan polisi. Kekakuan pengaturan pekerjaan polisi bisa fatal.
Diskresi diberikan kepada polisi untuk menentukan pilihan tindakan course of action yang akan dilakukan.
82
Ketentuan Pasal 5 dan Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1981 disebutkan bahwa: “Setiap pejabat kepolisian yang berkualifikasi menyelidik dan menyidik
82
Satjipto Rahardjo, Op. cit., hlm. 261.
95
dalam rangka melaksanakan tugas di bidang peradilan pidana karena kewajibannya diberi wewenang oleh undang u
ndang”. Mengingat wewenang kepolisian untuk melaksanakan tindakan-tindakan kepolisian tidak mungkin
diatur secara terperinci maka dalam ketentuan Pasal 5 Ayat 1 angka 4 dan Pasal 7 A
yat 1 huruf j dinyatakan bahwa “polisi berwenang karena kewajibannya melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.” Maksud dari tindakan lain disini adalah tindakan dari penyelidik atau penyidik untuk kepentingan penyelidikan atau penyidikan dengan ketentuan
tidak bertentangan dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan, tindakan itu harus patut dan masuk akal, dan
termasuk dalam lingkungan jabatannya dan atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa serta menghormati hak asasi manusia.
Dengan demikian tindakan lain ini seperti tindakan penyidik berupa diskresi kepolisian boleh diambil selama masih dalam jalur yang ditentukan oleh
hukum itu sendiri. Berdasarkan Pasal 7 Ayat 1 tersebut polisi dapat mengambil tindakan lain
pada saat penyidikan selain yang telah disebutkan pada aturan perundang- undangan tersebut selama demi kepentingan tugas-tugas kepolisian.
Sekalipun polisi telah diberi kewenangan oleh undang undang untuk mengambil tindakan lain tersebut, tetap saja polisi harus bisa untuk
mempertanggungjawabkan atas segala tindakan dan keputusan yang telah diambil di dalam melaksanakan tugasnya. Hal demikian dimaksudkan agar
polisi tidak menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya, mengingat
96
kewenangan untuk melakukan tindakan lain oleh polisi pada saat penyidikan tersebut demikian luasnya.
Penyidik sebenarnya tidak perlu ragu dalam menerapkan hukum progresif. UUD 1945 mengatur bahwa hukum adat tetap berlaku bagi masyarakat setempat.
Ketentuan yang mengatur pelaksanaan hukum adat terdapat pada peraturan peralihan UUD 1945 Pasal 11 diatur bahwa
: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakannya yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini. Hukum adat masih berlaku dalam penyelesaian masalah di masyarakat dengan melakukan musyawarah untuk mencapai kata
mufakat. UUD 1945 secara hirarkis lebih tinggi daripada KUHP dan KUHAP yang merupakan suatu undang-undang. Oleh karena itu menurut Supriyadi,
hukum adat dapat dijadikan dasar untuk menerapkan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana, walaupun tidak diatur dalam KUHP maupun
KUHAP. Penegakan hukum menurut Sely Fitriani selaku Direktur Eksekutif LSM DAMAR
adalah terciptanya perdamaian dan ketertiban di dalam masyarakat. Oleh karena itu penegakan hukum harus bersifat flexibel. Ketika sudah ada perdamaian antara
kedua belah pihak, penyidik dapat mengambil kebijakan untuk tidak meneruskan ke kejaksaan dan pengadilan. Penerapan hukum progresif dapat dilaksanakan
melalui mediasi penal dengan berpegang terhadap prinsip-prinsip Keadilan Restoratif.
83
83
Hasil wawancara tanggal 26 Mei 2016.
97
Kanit Reskrim pada Polsek Natar Setio Budi Howo menyatakan alasan perlunya penerapan hukum progresif dalam menyelesaikan perkara pidana pada tahap
penyidikan. Hukum progresif perlu diterapkan dalam penyelesaian perkara pidana karena hal ini diperlukan untuk mengakomodasi keinginan dari pihak-pihak yang
terlibat sebagai korban maupun terlapor. Dengan adanya perdamaian dan saling mengganti kerugian yang ditimbulkan, tujuan hukum dari segi kemanfaatan dan
keadilan dapat tercapai.
84
Heni Siswanto selaku Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Lampung
menyatakan bahwa mengenai alasan perlunya penerapan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap penyidikan. Heni menjelaskan bahwa
hukum progresif perlu diterapkan mengingat proses penyidikan oleh penyidik yang dilakukan selalu berkaitan dengan proses selanjutnya dalam sistem peradilan
pidana. Jaksa penuntut umum dan hakim tidak bisa menolak perkara yang sudah dilimpahkan oleh penyidik. Perdamaian sebagai hasil dari mediasi penal pada
tahap penuntutan maupun persidangan hanya dapat digunakan untuk memperingan hukuman yang akan diberikan, tidak menjadi dasar bagi jaksa atau
hakim untuk membebaskan terdakwa karena hakim dalam memutuskan suatu perkara selalu berdasarkan undang undang. Oleh karena itu, apabila semua
perkara dilimpahkan penyidik ke jaksa maupun hakim maka akan terjadi penumpukan perkara. Penerapan hukum progresif pada tahap penyidikan dapat
mengurangi beban hakim dalam memutuskan perkara yang masuk ke pengadilan.
85
84
Hasil wawancara tanggal 26 Mei 2016
85
Hasil wawancara tanggal 14 April 2016.
98
Heni juga berpendapat bahwa penerapan hukum progresif pada tahap penyidikan diperlukan untuk menghindari perceraian pada kasus KDRT. Korban KDRT
ketika melapor ke kepolisian belum tentu mempunyai niat untuk bercerai, akan tetapi ketika penyidik memproses perkara tersebut tanpa melakukan mediasi
terlebih dahulu maka dapat menyebabkan perceraian. Orang tua dari suami atau istri akan timbul gengsi atau pi’il dalam adat Lampung, sehingga kemungkinan
untuk perceraian akan semakin besar. Heni menyarankan kepada penyidik agar dalam menangani kasus KDRT dapat menerapkan hukum progresif dengan
melakukan mediasi terlebih dahulu sehingga terjadi perdamaian antara suami istri.
86
Menurut analisis penulis, pelaksanaan diskresi kepolisian oleh penyidik Polsek
Natar dengan mengenyampingkan perkara merupakan suatu bentuk penerapan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana. Tindakan lain yang diambil
penyidik tersebut adalah suatu bentuk pembebasan dari ajaran legalistik formal yang berlaku. Walaupun keluar dari asas kepastian hukum, namun tindakan ini
diambil untuk memenuhi tujuan hukum lain berupa kemanfaatan dan keadilan bagi pihak-pihak yang terlibat, sehingga hukum dapat mengakomodir kebutuhan
masyarakat akan hukum itu sendiri. Penulis berpendapat bahwa hukum progresif perlu diterapkan dalam penyelesaian
perkara pidana di tahap penyidikan. Beban sub sistem dalam sistem peradilan pidana di Indonesia sudah cukup berat. Beban untuk melakukan pembinaan
86
Ibid.
99
kepada narapida dan menjadikan mereka dapat kembali bermasyarakat bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu, perlu adanya sinergitas antara sub sistem dalam
sistem peradilan pidana untuk dapat mengurangi beban sistem peradilan pidana yang cukup berat selama ini. Titik yang paling mungkin diterapkan hukum
progresif adalah pada tahap penyidikan. Penyidik harus berupaya untuk melakukan mediasi pada kasus-kasus tertentu sehingga tidak semua perkara
masuk ke proses peradilan selanjutnya. Untuk itulah diperlukan keberanian dan kecerdasan seorang penyidik untuk dapat menerapkan hukum progresif yang
mengedepankan aspek keadilan dan kemanfaatan daripada aspek kepastian hukum dalam suatu penyelesaian perkara pidana.
Tindakan yang diambil penyidik untuk tidak melanjutkan perkara ketika sudah
ada perdamaian menurut penulis adalah suatu tindakan yang menolak keadaan status quo yang selama ini selalu berpegang pada asas legalitas hukum. Penyidik
mencoba keluar dari kebuntuan hukum dengan menerapkan hukum progresif. Hal ini sesuai dengan pemikiran Satjipto Rahardjo bahwa setiap kali ada masalah
dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau serta diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. Maka
hukum tidak menjadi suatu yang final tetapi selalu “dalam proses menjadi” law as process, law in the making dalam rangka menuju hukum yang berkeadilan,
yakni hukum yang mampu mewujudkan kesejahteraan atau hukum yang peduli terhadap rakyat.
100