Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Lobster Pasir (Panulirus Homarus) Dalam Kerangka Ekologi Ekonomi Di Kabupaten Gunungkidul Dan Sekitarnya

OPTIMASI PEMANFAATAN SUMBER DAYA LOBSTER PASIR
(Panulirus homarus) DALAM KERANGKA EKOLOGI-EKONOMI
DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL DAN SEKITARNYA

ADRIAN DAMORA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Optimasi Pemanfaatan
Sumber Daya Lobster Pasir (Panulirus homarus) dalam Kerangka EkologiEkonomi di Kabupaten Gunungkidul dan Sekitarnya” adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016
Adrian Damora
NRP C252120191

Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait.

RINGKASAN
ADRIAN DAMORA. Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Lobster Pasir
(Panulirus homarus) dalam Kerangka Ekologi-Ekonomi di Kabupaten
Gunungkidul dan Sekitarnya. Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO dan YUSLI
WARDIATNO.
Lobster pasir (P. homarus) merupakan spesies lobster dari genus Panulirus
yang paling banyak tertangkap di perairan Gunungkidul. Jumlah nelayan
penangkap lobster di perairan ini yang terus meningkat, menyebabkan eksploitasi
terhadap spesies ini juga meningkat. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis
tingkat eksplotasi dan model optimal pemanfaatan dengan bioekonomi spasial

dari sumber daya lobster pasir (P. homarus) di Kabupaten Gunungkidul. Hasil
dari penelitian diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dalam pengelolaan
sumber daya lobster pasir (P. homarus) yang lebih optimal di Kabupaten
Gunungkidul.
Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2013 sampai Mei 2014.
Pengamatan aspek biologi lobster pasir (P. homarus) dilakukan pada bulan
Februari 2013 sampai Januari 2014 di dua lokasi pendaratan lobster, sedangkan
pengamatan aspek teknis penangkapan dan ekonomi dilakukan pada bulan Mei
2014 di enam lokasi pendaratan lobster. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada
informasi di lokasi tersebut selalu dijadikan tempat pendaratan dan pemasaran
lobster, baik saat musim puncak ataupun paceklik penangkapan lobster.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa fungsi pertumbuhan von Bertalanffy
untuk lobster betina dan jantan menunjukkan bahwa lobster pasir (P. homarus)
memiliki pertumbuhan yang lambat namun memiliki laju pertumbuhan yang lebih
cepat dari pada lobster-lobster famili Palinuridae pada umumnya. Umur maksimal
yang dapat dicapai lobster pasir (P. homarus) berkisar antara 8-10 tahun, lebih
muda dibandingkan lobster-lobster famili Palinuridae pada umumnya. Ukuran
rata-rata lobster pasir pertama kali tertangkap (Lc) lebih kecil dari ukuran matang
kelamin secara fungsionalnya (Lm). Nilai laju eksploitasi (E0.5) juga telah melebihi
0.5. Dua hal ini menjadi indikator lobster pasir (P. homarus) sudah mengalami

tangkap lebih. Batimetri, curah hujan dan variabilitas iklim telah memberikan
pengaruh terhadap hasil tangkapan per upaya lobster pasir (P. homarus). Anomali
yang terjadi pada periode El Niño dan dampak dari La Niña telah memberikan
pengaruh pada rendahnya hasil tangkapan lobster di perairan Gunungkidul pada
periode 2010-2011.
Peluang ketertangkapan, harga bahan bakar minyak, harga jual, total cost,
dan total revenue dari penangkapan lobster pasir (P. homarus) telah diidentifikasi
dengan pendekatan biekonomi spasial. Penangkapan di enam lokasi pendaratan
lobster (Gesing, Ngerenehan, Baron, Ngandong, Siung, and Sadeng) dapat
dioptimalkan selama musim puncak penangkapan, dimana Pantai Sadeng
memberikan keuntungan maksimum sebesar Rp 217 575 093.00 per bulan. Pantai
Gesing and Siung dapat dioptimalkan selama musim paceklik penangkapan,
dimana Pantai Gesing memberikan keuntungan maksimum sebesar Rp 38 120
542.00 per bulan.
Kata kunci: Bioekonomi Spasial, Optimasi Pemanfaatan, Tingkat Eksploitasi.

SUMMARY
ADRIAN DAMORA. Optimization of Sand Lobster (Panulirus homarus)
Resource Utilization with a Ecology-Economy Approach in Gunungkidul District
and Adjacent Waters. Supervised by LUKY ADRIANTO and YUSLI

WARDIATNO.
The sands lobster (Panulirus homarus) is the most caught species of the
genus Panulirus in the coastal waters of Gunungkidul. As a result of the high
economic value of this species, its catch rate continues to increase. The purpose of
this study is to analysis exploitation rate and optimization model with a spatial
bioeconomic approach of sand lobsters (P. homarus) in Gunungkidul District. The
results of the study are expected to be taken into optimization management of
sand lobsters (P. homarus) in Gunungkidul District.
The research was conducted in February 2013 to May 2014. Sands lobster
(P. homarus) biological observation was conducted from February 2013 to
January 2014 at two lobster landing locations, while the observation of the
technical aspects of capture and economy was conducted in May 2014 at six
lobster locations. The selection of location is based on information of a regular
landing lobster area and marketing place during the peak catch season or catch
drought catch.
Results show that Von Bertalanffy growth function for females and males
showed that sand lobsters (P. homarus) grow slowly, but their growth rate are in
general faster than lobsters of the Palinuridae family. The maximum age that can
be achieved by sand lobsters (P. homarus) range between 8-10 years old, which is
in general younger than lobsters of the Palinuridae family. The average carapace

length of the first capture (Lc) is smaller than the size of the first sexually mature
lobster (Lm). The exploitation rate (E0.5) value of sand lobster (P. homarus) has
also exceeded 0.5. These conditions indicate that sand lobster (P. homarus) has
been overexploited. Bathymetric conditions, rainfall, and climate variability
affects the catch yield of sand lobsters (P. homarus). Anomalies that occurred
during the El Niño event and the impact of the La Niña event has resulted in the
low catch yield of lobsters in Gunungkidul waters in the 2010-2011 period.
Catchability, fuel price, selling price, total cost, and total revenue from
each lobster landing locations were identified with spatial bioeconomic approach.
The capture of sand lobsters (P. homarus) in six lobster landing locations (Gesing,
Ngerenehan, Baron, Ngandong, Siung, and Sadeng) can be optimized during peak
catch seasons with maximum profit in Sadeng Beach Rp 217 575 093.00 per
month. At Gesing and Siung Beach can be optimized during catch drought
seasons with maximum profit in Gesing Beach Rp 38 120 542.00 per month.
Keywords: Exploitation Rate, Spatial Bioeconomic, Utilization Optimization.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

OPTIMASI PEMANFAATAN SUMBER DAYA LOBSTER PASIR
(Panulirus homarus) DALAM KERANGKA EKOLOGI-EKONOMI
DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL DAN SEKITARNYA

ADRIAN DAMORA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof(Ris) Dr Ali Suman

PRAKATA
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis yang disusun berjudul
“Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Lobster Pasir (Panulirus homarus) dalam
Kerangka Ekologi-Ekonomi di Kabupaten Gunungkidul”. Tesis ini diharapkan
dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul
dalam mengevaluasi keberlanjutan dari aktivitas perikanan, sekaligus memberikan
masukan dalam perumusan kebijakan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.
Terima kasih Penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Luky Adrianto, MSc
dan Bapak Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc selaku pembimbing, berkat bimbingan
dan arahannya sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan.
Seiring dengan selesainya penulisan tesis ini, dengan tulus hati penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr Ir Achmad Fahrudin, MSc selaku ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana IPB
atas bimbingan dan arahannya selama penulis menjadi mahasiswa di

program studi ini.
2. Bapak Prof(Ris) Dr Ali Suman selaku penguji luar komisi pada ujian tesis
atas saran-saran dan masukan yang diberikan dalam melengkapi dan
memperbaiki penulisan tesis ini.
3. Kepala Balai Penelitian Perikanan Laut, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan
Perikanan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk ikut
serta dalam kegiatan penelitian yang diadakan di instansi ini.
4. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Gunungkidul beserta
stafnya yang telah memberi dukungan fasilitas dan data dalam
penyelesaian tesis ini.
5. Keluarga besar yang telah memberikan doa, semangat, dukungan,
pengertian dan kasih sayang selama ini.
6. Rekan-rekan mahasiswa SPL yang telah membantu dan mendampingi
selama studi.
7. Rekan-rekan Coral Triangle Program WWF-Indonesia yang telah banyak
membantu dan memberikan dukungan.
8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyelesaian tugas akhir penulis.


Bogor, Agustus 2016

Adrian Damora

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

xiv

1

PENDAHULUAN ...........................................................................................

1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
1.6

2

Waktu dan Lokasi Penelitian
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Analisis Data
Parameter Pertumbuhan dan Mortalitas
Ukuran Rata-rata Matang Kelamin dan Rasio Potensi
Pemijahan
Hasil Tangkapan per Upaya
Bioekonomi Spasial
Teknik Pengambilan Keputusan Strategis dan Taktis

5

55
6
6
7
8
8
10

HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................
3.1
3.2
3.3

3.4

3.5
4

1
2
3
3
4
4

METODE PENELITIAN ................................................................................
2.1
2.2
2.3

3

Latar Belakang
Perumusan Masalah
Kerangka Pikir Pemecahan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Batasan Penelitian

Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Perikanan Lobster di Kabupaten Gunungkidul
Tingkat Eksploitasi Sumber Daya
Hubungan Panjang-Bobot
Ukuran Rata-Rata Pertama Kali Tertangkap dan Matang
Kelamin
Rasio Potensi Pemijahan
Parameter Pertumbuhan dan Mortalitas
Hasil Tangkapan per Upaya
Model Bioekonomi Spasial
Karakter Ekologi Spasial
Bioekonomi Spasial
Keputusan Strategis dan Taktis

11
12
14
14
15
16
16
20
22
22
23
26

KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................
4.1
4.2

Kesimpulan
Saran

DAFTAR PUSTAKA

28
29
29

4

LAMPIRAN

35

RIWAYAT HIDUP

41

DAFTAR TABEL
3.1
3.2
3.3

Parameter pertumbuhan lobster pasir (Panulirus homarus) di
beberapa lokasi ....................................................................................

20

Karakter ekologi dari enam lokasi pendaratan lobster di Kabupaten
Gunungkidul ...........................................................................................

22

Alokasi spasial dinamik dan total keuntungan ekonomi dari usaha
penangkapan lobster pasir (Panulirus homarus) di Kabupaten
Gunungkidul .........................................................................................

26

DAFTAR GAMBAR

1.1

Kerangka pikir pemecahan masalah .......................................................

4

2.1

Peta lokasi penelitian di Kabupaten Gunungkidul, DIY ........................

5

2.2

Skema pengambilan contoh untuk data primer ......................................

6

2.3

Skema konsep biekonomi spasial

.

9

2.4

Proses hirarki dalam teknik pengambilan keputusan taktis ....................

11

3.1

Alat tangkap lobster di Gunungkidul: krendet dan jaring insang dasar..

13

3.2

Hubungan panjang-bobot lobster pasir (Panulirus homarus) di
Kabupaten Gunungkidul .........................................................................

14

Sebaran frekuensi panjang dan frekuensi panjang kumulatif hasil
tangkapan lobster pasir (Panulirus homarus) di Kabupaten
Gunungkidul ...........................................................................................

15

Perbandingan nilai (a) panjang rata-rata pertama kali tertangkap (Lc)
dan (b) panjang rata-rata pertama kali matang kelamin secara
fungsional (Lm) dari lobster pasir (Panulirus homarus) di Kabupaten
Gunungkidul ...........................................................................................

16

Kurva pertumbuhan lobster pasir (Panulirus homarus) di Kabupaten
Gunungkidul ...........................................................................................

17

Penyebaran frekuensi panjang karapas lobster pasir (Panulirus
homarus) (a) betina dan (b) jantan secara bulanan sebagai penentu laju
pertumbuhan ...........................................................................................

18

Kurva hasil tangkapan sebagai penentu laju mortalitas lobster pasir
(Panulirus homarus) (a) betina dan (b) jantan di Kabupaten
Gunungkidul ...........................................................................................

19

Rerata CPUE lobster pasir (Panulirus homarus) secara bulanan dan
tahunan di perairan Gunungkidul (2009-2013) ......................................

21

3.3

3.4

3.5
3.6

3.7

3.8

3.9

Konektivitas antara lokasi pendaratan dan daerah penangkapan lobster
pasir (Panulirus homarus) sebagai dasar konsep bioekonomi spasial di
Kabupaten Gunungkidul .........................................................................

23

3.10 Perbandingan harga BBM dan harga jual lobster pasir (Panulirus
homarus) di enam lokasi pendaratan lobster di Kabupaten
Gunungkidul ...........................................................................................

25

3.11 Proses hirarki pengambilan keputusan taktis pemanfaatan sumber
daya lobster pasir (Panulirus homarus) di Kabupaten Gunungkidul .....

27

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.

Kondisi topografi pesisir (pantai) penangkapan lobster di Kabupaten
Gunungkidul ...........................................................................................

36

Contoh perhitungan bioekonomi spasial pemanfaatan sumber daya
lobster pasir (Panulirus homarus) di Kabupaten Gunungkidul ..............

38

Perbandingan karakter ekologi dari enam lokasi pendaratan lobster di
Kabupaten Gunungkidul .........................................................................

39

Perbandingan karakter sosial-ekonomi dari enam lokasi
pendaratan lobster di Kabupaten Gunungkidul ......................................

40

1

1.
1.1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan tingkat keanekaragaman biota laut
yang tinggi, salah satunya sumber daya krustasea. Sumber daya krustasea di
Indonesia telah menjadi objek penelitian berberapa tahun ini. Krustasea yang
menjadi target penelitian lebih banyak pada krustasea laut, seperti udang mantis
(Harpisquilla raphidea), rajungan (Portunus pelagicus), lobster (Famili
Palinuridae), dan undur-undur laut (Ordo Hippoidea). Secara umum aspek yang
diteliti pada hewan-hewan krustasea tersebut mencakup aspek biologi, seperti
habitat (Suman et al. 1994; Hasrun 1996; Wirosaputro 1996; Nuraini dan
Sumiono 2006; Hargiyatno et al. 2013; Sarong dan Wardiatno 2013; Wardiatno et
al. 2014), morfometrik (Wardiatno and Mashar 2013), hubungan dan
pertumbuhan alometrik (Mashar dan Wardiatno 2013a,b; Muzammil et al. 2015;
Pramithasari et al. 2016), fluktuasi kelimpahan dan dinamika populasi (Wardiatno
and Mashar 2011; Mashar et al. 2014; Hamid and Wardiatno 2015), aspek
reproduksi (Wardiatno and Mashar 2010; Zairion et al. 2014; Zairion et al.
2015a,b; Edritanti et al. 2016), distribusi betina bertelur berdasarkan habitat
(Hamid et al. 2016) hingga potensi pemanfaatannya untuk kebutuhan gizi
manusia (Wardiatno et al. 2012; Santoso et al. 2015). Keanekaragaman krustasea
pun menjadi salah satu topik penelitian (Mashar et al. 2014; Ardika et al. 2015;
Mashar et al. 2015; Wardiatno et al. 2015a,b; Wardiatno et al. 2016a,b,c).
Gunungkidul merupakan salah satu dari tiga kabupaten di Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY), selain Bantul dan Kulon Progo, yang dibatasi
perairan laut. Kondisi geografis ini menyebabkan sektor perikanan memiliki peran
penting dalam perekonomian di kabupaten tersebut. Di sepanjang pantai
Gunungkidul sendiri terdapat beberapa teluk yang menjadi pusat-pusat pendaratan
ikan, antara lain Sadeng, Siung, Baron, Drini, Ngrenehan, Gesing, dan
Wediombo.
Pada periode tahun 2002-2011, produksi perikanan di Propinsi DIY dapat
dikatakan berfluktuatif. Produksi tersebut didominasi produksi jenis krustasea
sampai dengan 90% dari total produksi perikanan di provinsi tersebut. Pada
periode tahun 2008-2011 terjadi peningkatan produksi perikanan, dimana dari
produksi perikanan provinsi secara keseluruhan, ternyata Kabupaten Gunungkidul
memberikan kontribusi terbesar sejak tahun 2006.
Perikanan di Kabupaten Gunungkidul didominasi oleh jenis ikan pelagis.
Pada tahun 2012 produksinya mencapai 941.3 ton, sedangkan produksi lobster di
tahun yang sama hanya mencapai 82.4 ton. Namun, dilihat dari nilai produksinya,
ternyata lobster memberikan kontribusi tertinggi di antara semua komoditas
perikanan, yaitu mencapai Rp 14.237.862.604,00 (DKP Gunungkidul 2012).
Lobster pasir (Panulirus homarus) merupakan spesies yang paling banyak
tertangkap, yaitu sebesar 47% dari enam spesies lobster yang tertangkap di pesisir
selatan Daerah Istimewa Yogyakarta (Aisyah dan Triharyuni 2010).
Tingginya nilai ekonomi lobster pasir (P. homarus) merupakan salah satu
faktor yang mendorong nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan secara

2

terus-menerus tanpa memperhatikan kelestarian sumber daya dan lingkungan. Hal
ini terindikasi dari menurunnya hasil tangkapan lobster di pantai selatan Jawa,
dimana perairan Kabupaten Gunungkidul termasuk yang memberikan kontribusi
terbesar terhadap produksinya (KKP 2012). Kondisi ini juga tidak diikuti oleh
kesadaran nelayan untuk melakukan pengendalian penangkapan, misalnya dengan
pengaturan jumlah tangkapan dan upaya penangkapan lobster.
Perikanan seperti halnya sektor ekonomi lain, juga merupakan salah satu
aktivitas yang memberikan kontribusi kesejahteraan terhadap masyarakat,
termasuk masyarakat nelayan di Gunungkidul, Yogyakarta. Sebagian besar
penduduk di Gunungkidul menggantungkan hidupnya dari hasil laut, terutama
sumber daya lobster. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan sumber daya lobster
yang tidak hanya menggunakan pendekatan ekologi dan biologi tapi juga aspek
ekonomi untuk mencapai tujuan keberlanjutan sumber daya alam dan
pertumbuhan ekonomi.
Hubungan antara ekologi dan ekonomi menunjukkan sumber daya alam
digunakan sebagai modal stok alam dalam ekonomi, dimana pengelolaan sumber
daya lobster tidak hanya bertujuan untuk memberikan informasi tentang kondisi
stok sumber daya lobster, tetapi juga memberikan informasi bagaimana menjaga
keberlanjutan stok untuk masa depan, baik keberlanjutan stok lobster di alam
maupun keberlanjutan kehidupan ekonomi nelayan penangkapnya.
Penelitian yang berkenaan dengan perikanan lobster di Kabupaten
Gunungkidul sejauh ini didominasi oleh kajian biologi dan penangkapannya,
seperti yang dilaporkan oleh Mahasin (2003), Aisyah dan Triharyuni (2011) dan
Hargiyatno et al. (2013), sedangkan kajian yang terkait dengan pemanfaatan
perikanan lobster berdasarkan aspek ekologi dan ekonomi yang optimal serta
kajian strategi melalui beberapa skenario pengelolaan belum pernah dilakukan,
maka sangat perlu untuk dilakukan penelitian tentang optimasi pengelolaan
perikanan lobster pasir (P. homarus) dalam kerangka ekologi-ekonomi, sehingga
dengan penelitian ini diharapkan pemanfaatan perikanan lobster di wilayah
Kabupaten Gunungkidul dapat dilakukan secara optimal tanpa mengganggu
kelestarian sumber daya yang ada.
1.2

Perumusan Masalah

Salah satu permasalahan perikanan lobster di Kabupaten Gunungkidul
adalah belum adanya kajian yang mengarah pada keterkaitan antara aspek
ekobiologi lobster dengan ekonomi penangkapannya dalam suatu kerangka
ekologi-ekonomi, padahal hal ini menjadi penting untuk dilakukan mengingat
keberlanjutan suatu sumber daya ikan harus pula didukung oleh keberlanjutan
sistem ekonominya. Kajian-kajian yang pernah ada hanya terbatas pada aspek
ekologi dan biologi sumber daya lobster.
Di sisi lain, penangkapan lobster di Gunungkidul dari tahun ke tahun
semakin meningkat, dikarenakan memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Peningkatan ini dapat terlihat saat musim penangkapan lobster, jumlah armada
penangkapannya akan bertambah mencapai tiga kali lipat. Hal ini dikarenakan

3

banyak nelayan andon yang datang dari berbagai wilayah, antara lain Pacitan,
Kebumen, Cilacap bahkan sampai Pangandaran dan Malang.
Penangkapan yang tidak rasional, dengan tidak memperhatikan jumlah
hasil tangkapan dan jumlah stok di laut, menjadikan sumber daya lobster di
Gunungkidul mengalami tangkap lebih. Permasalahan stok dalam upaya
pengelolaan sumber daya perikanan pada umumnya meliputi keberadaan data
mengenai total hasil tangkapan, jumlah upaya tangkap, hasil tangkapan per upaya
(CPUE) dan karakteristik biologi komoditas tangkapan, seperti ukuran panjang
dan bobot, umur dan lain-lain. Hal ini tentunya terjadi pada spesies lobster yang
paling dominan tertangkap di Gunungkidul, yaitu lobster pasir (P. homarus).
Tingkat pengusahaan lobster yang demikian dikhawatirkan akan
mengakibatkan kondisi perikanan yang oleh ahli perikanan dinyatakan sebagai
keadaan yang tidak mampu menghasilkan suatu kehidupan yang layak bagi
nelayan. Oleh karena itu, dalam paradigma pengelolaan perikanan yang maju,
pengelolaan aspek ekonomi menjadi sangat penting untuk dilakukan di samping
pengelolaan aspek biologi. Masukan tersebut kemudian diolah untuk menyusun
beberapa skenario kebijakan yang disimulasikan yang disertai rekomendasi
perangkat pengelolaannya.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka pertanyaan yang akan
dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana status pemanfaatan sumber daya lobster pasir (P. homarus) di
Kabupaten Gunungkidul ditinjau dari aspek biologi?
2. Bagaimana penilaian bioekonomi pemanfaatan lobster pasir (P. homarus) di
Kabupaten Gunungkidul?
3. Bagaimana model optimum pengelolaan perikanan lobster pasir (P. homarus)
dalam kerangka ekologi-ekonomi di Kabupaten Gunungkidul?
1.3

Kerangka Pikir Pemecahan Masalah

Adanya perkembangan teknologi penangkapan, degradasi lingkungan,
peningkatan jumlah nelayan dan sistem perizinan penangkapan yang lemah dalam
pemanfaatan sumber daya losbter di Kabupaten Gunungkidul berakibat pada
eksploitasi berlebih pada sumber daya tersebut, termasuk spesies lobster pasir (P.
homarus). Hal ini menimbulkan dugaan bahwa telah terjadi penurunan stok
lobster pasir di alam. Namun, dugaan ini harus dibuktikan dengan informasi
ekobiologi dari sumber daya tersebut.
Sebagaimana yang kita pahami bahwa lobster termasuk pada sumber daya
yang memiliki mobilitas rendah karena hidup di dasar perairan. Oleh karena itu,
pemanfaatan sumber daya lobster. Kerangka pikir pemecahan masalah dalam
penelitian ini disajikan pada Gambar 1.1.
1.4

1

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini, antara lain:
Menganalisis tingkat pemanfaatan lobster pasir (P. homarus) yang tertangkap
di Kabupaten Gunungkidul berdasarkan aspek ekobiologi.

4

2
3

Menganalisis nilai bioekonomi spasial pemanfaatan lobster pasir (P.
homarus) di Kabupaten Gunungkidul.
Menyusun keputusan taktis pemanfaatan lobster pasir (P. homarus)
berdasarkan kerangka ekologi-ekonomi di Kabupaten Gunungkidul.
1.5

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi status terkini
sumber daya lobster pasir (P. homarus) di Kabupaten Gunungkidul sebagai bahan
masukan dalam pengelolaan perikanan agar pemanfaatannya dapat berkelanjutan.
1.6

Batasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan data hanya di enam lokasi
pendaratan lobster yang mewakili wilayah timur sampai barat Kabupaten
Gunungkidul. Hal ini menyebabkan terdapat keterbatasan dalam karakter ekologi
dari objek penelitian sehingga harus berhati-hati dalam menafsirkan hasil
penelitian yang ada.

Gambar 1.1

Kerangka pikir pemecahan masalah

5

2

METODE PENELITIAN

2.1

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2013 sampai dengan bulan
Mei 2014. Lokasi penelitian berada di Kabupaten Gunungkidul. Pengamatan
aspek biologi, ekonomi dan teknis penangkapan lobster pasir (P. homarus)
dilakukan di beberapa tempat pendaratan ikan (TPI) yang menjadi pusat
pendaratan lobster, dimana pemilihan lokasi ini didasarkan pada informasi bahwa
di lokasi tersebut selalu dijadikan tempat pendaratan dan pemasaran lobster, baik
saat musim ataupun paceklik penangkapan lobster.

Gambar 2.1
2.2

Peta lokasi penelitian di Kabupaten Gunungkidul, DIY
Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Data primer meliputi data aspek biologi dan ekonomi lobster pasir (P.
homarus). Pengambilan contoh lobster untuk pengamatan parameter biologi
dilakukan setiap bulan selama 12 bulan. Parameter biologi lobster yang diamati,
antara lain panjang karapas (mm), bobot individu (gram), jenis kelamin dan
kematangan kelamin secara fungsional (Mac Diarmid and Sainte-Marie 2006).
Pengambilan contoh data primer biologi diperoleh dengan mengukur
lobster pasir yang didaratkan di tempat pendaratan ikan (TPI). Penentuan nelayan
yang akan diukur lobster pasir hasil tangkapannya dilakukan dengan pengambilan
contoh purposif (purposive sampling), sedangkan pengukuran lobster dilakukan

6

secara sensus terhadap jenis P. homarus yang tertangkap oleh nelayan-nelayan
yang telah terpilih sebelumnya. Lobster yang dijadikan contoh diukur panjang
karapasnya dengan menggunakan penggaris kaliper dengan skala 0,1 mm dan
ditimbang bobotnya dengan menggunakaan neraca digital berketelitian 0,1 g.
Untuk lobster betina yang didapat, diamati tingkat kematangan kelaminnya secara
fungsional dengan mengamati ada atau tidaknya telur yang dierami di bagian
abdomennya (berried female).
Perolehan data primer untuk aspek ekonomi pada penelitian ini dilakukan
dengan metode wawancara secara terstruktur dengan menggunakan daftar
kuesioner. Wawancara secara mendalam (in-depth interview) meliputi seluruh
aspek kegiatan produksi, antara lain harga jual lobster, biaya operasional
penangkapan, seperti kapal, mesin, alat tangkap, bahan bakar, dan perbekalan
awak kapal. Pengambilan contoh untuk aspek biologi dan ekonomi dilakukan
dengan teknik purposif, yaitu pengambilan contoh yang dianggap dapat mewakili
berdasarkan tujuan penelitian (Gambar 2.2).

Gambar 2.2

Skema pengambilan contoh untuk data primer

Data sekunder yang diambil pada penelitian ini, antara lain data hasil
tangkapan atau produksi dan upaya tangkap berdasarkan runut waktu, kondisi
demografi masyarakat nelayan lobster. Data sekunder ini diperoleh dari tempat
pendaratan ikan (TPI) maupun instansi pemerintah daerah setempat.
2.3

Analisis Data

Parameter Pertumbuhan dan Mortalitas
Analisis ini dimulai dengan menghitung panjang rata-rata lobster tertangkap
(Lc), yang diturunkan dari 50% frekuensi kumulatif sebaran ukuran, sedangkan
hubungan panjang-bobotdianalisis menggunakan persamaan eksponensial sebagai
berikut (Lagler1972; Jennings et al. 2001):
W = aCLb ................................................................................................. (1)
dimana :
W
= bobot individu lobster (gram)

7

CL
= panjang karapas lobster (mm)
a dan b = konstanta hasil regresi
Untuk menentukan bahwa nilai b = 3 atau b ≠ 3, maka digunakan uji-t
(Walpole 1993). Jika hasil uji t diperoleh nilai b = 3, maka nilai b dapat
ditentukan menjadi 3 dengan konstanta a yang diubah menjadi:
a = EXP(Y-3*X) ..................................................................................... (2)
Parameter pertumbuhan (K dan L∞) ditentukan dengan metode ELEFAN I
(Gayanilo et al. 1994) didasari melalui persamaan von Bertalanffy sebagai
berikut.
Lt = L∞ (1 – e –K (t – to)) ............................................................................ (3)
dimana:
Lt = panjangkarapas lobster saat umur ke-t (mm)
L∞ = panjang karapas asimptotik lobster (mm)
K
= laju pertumbuhan lobster
Parameter pertumbuhan t0 dihitung melalui persamaan Pauly (1987) in Sparre and
Venema (1992) sebagai berikut.
log (-t0) = -0,3922 - 0,2752 log (L∞) - 1,038 log (K) .............................. (4)
Laju kematian total (Z) diduga dengan metode kurva hasil tangkapan
(catch curve) yang menggunakan slope (b) dan Ln N/t dengan umur relatif sesuai
dengan rumus Pauly (1990) sebagai berikut:
Ln N/t = a – Zt ........................................................................................ (5)
dimana:
N
= banyaknya lobster pada waktu t
t
= waktu yang diperlukan untuk tumbuh suatu kelas panjang
a
= hasil tangkapan yang dikonversikan terhadap panjang
Sementara itu kematian alamiah lobster diduga dengan menggunakan
rumus empiris Pauly sebagai berikut:
Log M= -0,0066-0,279 Log + 0,654 Log K + 0,4534 Log T ....................... (6)
dimana:
M = laju kematian alamiah
L
= panjang karapas maksimum (mm)
K
= laju pertumbuhan (mm/tahun)
T
= suhu (oC)
Untuk nilai laju kematian karena penangkapan diperoleh dengan
mengurangi laju kematian total (Z) dengan laju kematian alamiah (M) atau F=ZM dan laju pengusahaan (E) dihitung sebagai E=F/Z (Sparre and Venema 1992).
Ukuran Rata-Rata Matang Kelamin dan Rasio Potensi Pemijahan
Ukuran rata-rata lobster matang kelamin (Lm) secara fungsional
didapatkan dengan cara memplotkan frekuensi kumulatif dengan setiap panjang
karapas lobster, sehingga akan diperoleh kurva logistik baku, dimana titik potong
antara kurva dengan 50% frekuensi kumulatif adalah panjang karapas saat 50%
matang kelamin (Kizhakudan and Patel 2010). Musim pemijahan lobster akan
dianalisis dari sebaran persentase lobster betina yang membawa telur (berried

8

female) setiap bulannya selama satu tahun pengambilan contoh lobster. Persentase
terbesar pada bulan tertentu ditandai sebagai puncak musim pemijahan lobster.
Rasio potensi pemijahan (spawning potential ratio, SPR) merupakan
proporsi pemijahan ikan-ikan yang tidak tertangkap dalam kebijakan penangkapan
(Walters and Martell 2004). Dengan kata lain, SPR membandingkan kemampuan
pemijahan (atau kapasitas reproduksi) dari stok dalam kondisi sudah tereksploitasi
dengan kemampuan pemijahan (atau kapasitas reproduksi) stok dalam kondisi
belum tereksploitasi. Secara umum, rumus umum dari SPR adalah sebagai
berikut.
SPR =

........................ (7)

Masukan data yang dibutuhkan dalam penghitungan SPR, antara lain: K,
L∞ dan t0 yang didapat dari fungsi pertumbuhan von Bertalanffy, serta nilai a dan
b hasil regresi hubungan panjang-bobotdan nilai Lm. Selanjutnya, masukan data
tersebut akan diolah menggunakan excel spreadsheet, dimana informasi tambahan
yang dibutuhkan adalah SSBF (Spawning Stock Biomass saat ini), dan SSBF=0
(Spawning Stock Biomass pada saat belum ada penangkapan).
Hasil Tangkapan per Upaya
Data hasil tangkapan dan trip penangkapan lobster dianalisis untuk
mengetahui tren hasil tangkapan per upaya (catch per unit effort) secara bulanan,
mengacu pada Gulland (1983) sebagai berikut.
CPUE(t) = catch(t) / effort(t) ....................................................................... (8)
dimana:
CPUE(t)
= hasil tangkapan per upaya penangkapan pada waktu ke-t
catch(t)
= hasil tangkapan pada waktu ke-t
effort(t)
= upaya penangkapan pada waktu ke-t
Bioekonomi Spasial
Analisis ini didasari bahwa beberapa jenis sumber daya perikanan
demersal kurang tepat apabila menggunakan model bioekonomi konvensional
dimana model ini digunakan untuk kondisi sumber daya ikan yang diasumsikan
memiliki homogenitas dalam distribusi spasial dan upaya tangkap (Anderson and
Seijo 2010). Padahal sumber daya lobster memiliki karakteristik distribusi stok
yang menyebar menurut sebaran spasial. Konsep tersebut dapat dilihat dalam
ilustrasi di bawah ini:

9

Gambar 2.3 Skema konsep biekonomi spasial
Oleh karena itu, analisis biekonomi dalam penelitian ini menggunakan model
sebagai berikut.
fkhm(t ) SAEkhm(t ).DAYS.Vhm(t ) .............................................................. (9)
dimana:
Pkquasi khm(t )
Dkh m
SAEkhm (t )
.............................................................. (10)
Pkquasi khm(t )
(
)
Dkh m
k
dimana:
fkhm(t)
= alokasi spasial dinamik dari intensitas perikanan dari
kapal tipe m dari pelabuhan perikanan h dan menangkap
lobster di daerah perikanan k pada saat t
SAEkhm(t)
= alokasi spasial dari upaya tangkap
DAYS
= rata-rata hari ke laut efektif per bulan
Vhm(t)
= jumlah kapal tipe m pada pelabuhan h yang secara
musiman mengalokasikan upaya tangkap untuk spesies
target
Pk
= peluang menemukan spesies target pada tingkat
keuntungan di daerah penangkapan k
quasiπkhm(t) = quasi rent dari biaya variabel yang diterima oleh kapal
perikanan tipe m dari pelabuhan h dan daerah
penangkapan lobster k
Dkh
= jarak daerah penangkapan lobster dengan pelabuhan h
Øm
= faktor bobot (fraction of distance) untuk tipe kapal
perikanan m
Untuk mendapatkan nilai quasi πkhm(t) diperoleh dari persamaan:
quasi khm(t ) TRkhm(t ) VCkhm(t ) .......................................................... (11)
dimana:

10

= penerimaan total yang diterima oleh kapal m dari
pelabuhan h dari hasil menangkap lobster di daerah
penangkapan lobster k
VCkhm(t)
= biaya variabel yang dikeluarkan oleh kapal m dari
pelabuhan h dari hasil menangkap lobster di daerah
penangkapan lobster k
Untuk mendapatkan nilai VCkhm(t) diperoleh dari persamaan:
VCkhm(t ) qmBk (t ) Dkh OVCm ....................................................... (12)
dimana:
Dkh
= transfer costs yang didefinisikan sebagai fungsi dari jarak
= biaya bahan bakar rata-rata per km jarak yang ditempuh
qmBk = nilai proporsi hasil tangkapan dengan labor payment
OVC = nilai biaya variabel lainnya (misalnya pemeliharaan)
Selanjutnya, untuk total keuntungan ekonomi secara kumulatif yang
diterima oleh kapal m dari pelabuhan asal h pada musim penangkapan tertentu
adalah:
TRkhm(t)

t DT
khm

(t DT )

khm

(t )

(TRkhm (t ) TC khm (t ))dt ................................ (13)
t

dimana total penerimaan (TR) didefinisikan sebagai:5
TRkhm (t ) (qm Bk (t ) Ptar Yinc .Pinc ) f khm (t ) ................................................. (14)
sedangkan total biaya (TC) didefinisikan sebagai:
TC khm (t ) FC mVhm VC khm (t ) f khm .......................................................... (15)
dimana:
Ptar
= harga rata-rata lobster target
Pinc
= harga rata-rata lobster hasil tangkapan insidental
Yinc = hasil tangkapan insidental rata-rata per trip penangkapan
fm
= trip penangkapan dari kapal m yang berangkat dari pelabuhan h
dan menangkap lobster di daerah penangkapan k
qm
= catchability coefficient dari kapal m
Bk
= biomassa lobster target yang ditangkap di daerah penangkapan k
FCm = daily fixed cost (termasuk pembayaran bunga untuk modal yang
dipinjam, biaya administrasi dan opportunity cost of capital
untuk kapal m)
Vhm = jumlah kapal m di pelabuhan h
VCkhm = biaya variabel untuk kapal m yang berangkat dari pelabuhan h
dan menangkap lobster di daerah penangkapan k
Teknik Pengambilan Keputusan Strategis dan Taktis
Teknik pengambilan keputusan ini digunakan dalam perencanaan
pengelolaan yang digambarkan melalui proses hirarki (Halliday and Pinhorn
1985) (Gambar 5). Dalam proses hirarki ini, tujuan dari pengelolaan
ditransformasi menjadi strategi-strategi, kemudian ditranformasi lagi untuk

11

menentukan langkah-langkah pengelolaan taktis dalam penerapan strategi-strategi
tersebut.

Gambar 2.4

Proses hirarki dalam teknik pengambilan keputusan taktis

Tujuan merupakan pernyataan umum mengenai pencapaian dari
pengelolaan. Spesifikasi tekanan dan referensi masing-masing dalam strategi
adalah kunci hubungan antara atribut, yang mencerminkan tujuan dan taktik, yang
dipantau dan dikendalikan. Hubungan antara atribut dan referensi serta hubungan
antara tekanan dan taktik merupakan dasar untuk membuat rencana operasional.
Hal ini merupakan keuntungan dasar yang didapat, yaitu dapat mengkuantifikasi
respon yang ada, namun apabila terdapat keterbatasan pengetahuan, pemahaman
kualitatif dalam asosiasi tersebut dapat membantu dalam pengambilan keputusan
dalam pengelolaan (Gavaris 2009).

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu kabupaten yang berada di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan ibukota Wonosari. Luas wilayah
kabupaten ini 1 485.36 km2 atau sebesar 46.63 % dari luas wilayah Propinsi
daerah Istimewa Yogyakarta. Secara geografis Kabupaten Gunungkidul terletak
pada 7o46’-8o09’ Lintang Selatan dan 110o21’-110o50’ Bujur Timur. Batas-batas
wilayah Kabupaten Gunungkidul sebagai berikut.
Utara
: Kabupaten Klaten dan Kabupaten Sukaharjo
Selatan
: Samudera Hindia
Barat
: Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman
Timur
: Kabupaten Wonogiri
Wilayah Kabupaten Gunungkidul terletak pada ketinggian yang bervariasi
antara 0-800 meter di atas permukaan laut. Sebesar 90.33 % atau 1 341.71 km2
wilayah kabupaten ini berada pada ketinggian 100-500 m di atas permukaan laut.
Di Kabupaten Gunungkidul terdapat dua daerah aliran sungai (DAS) permukaan,
yaitu DAS Opak-Oyo dan DAS Dengkeng. Masing-masing DAS tersebut terdiri

12

dari beberapa sub DAS yang berfungsi untuk mengairi areal pertanian. Selain itu,
terdapat pula DAS bawah permukaan, yaitu DAS Bribin.
Air permukaan (sungai dan mata air) dijumpai di wilayah utara dan tengah
Gunungkidul. Di beberapa tempat di wilayah tengah mempunyai air tanah yang
cukup dangkal dan dapat dimanfaatkan untuk sumur ladang. Zona selatan
Kabupaten Gunungkidul merupakan kawasan karst yang jarang ditemukan air
permukaan. Bentuk permukaannya berbukit-bukit dengan ketinggian 0-300 meter
dari permukaan laut. Di wilayah ini dijumpai sungai bawah tanah, seperti Bribin,
Ngobaran dan Seropan serta ditemukan juga telaga musiman yang punya berbagai
fungsi bagi masyarakat sekitarnya. Zona selatan atau Zona Gunung Seribu ini,
meliputi wilayah Kecamatan Purwosari, Panggang Saptosari, Paliyan, Tepus,
Tanjungsari, Rongkop, Girisubo, Semanu Selatan dan Ponjong Selatan.
3.2

Perikanan Lobster di Kabupaten Gunungkidul

Dari 19 spesies Panulirus yang ada di dunia, ada 12 spesies yang tersebar
di perairan tropis dan tujuh spesies di antaranya terdapat di Indonesia, namun
yang banyak ditemukan hanya enam spesies saja (Suman et al. 1994).
Berdasarkan data pendaratan lobster di pantai selatan DI Yogyakarta, terdapat
empat spesies lobster dari genus Panulirus yang mengdominasi hasil tangkapan
nelayan, yakni P. homarus sebesar 47%, P. penicillatus 34%, P. longipes sebesar
9%, dan P. ornatus sebesar 5% (Aisyah dan Triharyuni 2011).
Lobster hampir sepanjang hidupnya memilih tempat yang berbatu karang,
di balik batu karang yang hidup ataupun yang sudah mati, pada pasir berbatu
karang halus atau tempat-tempat yang berbatu karang di sekitar pulau-pulau
sepanjang pantai atau teluk. Cobb and Phillips (1980) menyatakan bahwa lobster
banyak ditemukan di perairan pantai khususnya pada dasar yang berkarang atau
terumbu karang dan terkadang ditemukan juga pada dasar berpasir yang
bercampur dengan tanaman air. Daerah-daerah yang terlindung dan perairan yang
relatif tenang lebih disukai oleh biota ini.
Lobster pada siang hari bersembunyi di antara karang atau gua-gua karang
dan pada malam hari keluar dari tempat persembunyiannya, mengembara mencari
makanan hingga di tempat-tempat yang relatif dekat sekali dengan daratan pantai
terutama pada waktu air pasang. Lobster sering dijumpai pada kedalaman air
berkisar antara 5-30 meter, sedangkan pada perairan yang jernih masih dapat
dijumpai sampai kedalaman 90 meter. Salinitas habitatnya berkisar antara 25-40
permil dengan suhu air berkisar antara 26-28oC atau lebih menyukai air yang
dingin (Cobb and Phillips 1980).
Masing-masing spesies lobster mempunyai ciri khas yang tampak pada
warna tubuhnya. P. homarus sendiri habitatnya berada di lingkungan perairan
dangkal pada kedalaman 1-90 m, terutama pada kedalaman antara 1-5 m. Spesies
ini menyenangi daerah yang berkarang, kadang dijumpai di daerah yang keruh.
Hidup bergerombol terutama pada malam hari. Panjang total dapat mencapai 31
cm, rata-rata panjang total 20-25 cm dengan panjang karapas sekitar 12 cm.
Spesies ini memiliki warna dasar kehijauan atau kecoklatan dengan dihiasi oleh

13

bintik terang tersebar di seluruh permukaan segmen abdomen dan pada kaki
terdapat bercak putih (Wirosaputro 1996; Purnomo 1999).
Menurut Kanciruk (1980), famili Palinuridae menempati daerah pada
koordinat 45o LU sampai 45o LS. Keragaman spesies biasanya menurun pada
perairan dengan temperatur tinggi, namun dengan kelimpahan yang tinggi. Pada
perairan yang hangat, proses molting terjadi lebih sering dan rata-rata
pertumbuhan lebih cepat meskipun ukuran maksimum dewasa jarang ditemukan.

Gambar 3.1

Alat tangkap lobster di Gunungkidul: krendet dan jaring insang
dasar (sumber: foto pribadi 2013)

Alat tangkap yang umumnya digunakan untuk menangkap lobster di DI
Yogyakarta ada dua jenis, yaitu krendet dan jaring insang dasar. Penangkapan
lobster dengan alat tangkap krendet dilakukan dengan beberapa teknik, yaitu
melempar krendet dari ketinggian tebing, membuat susunan krendet seperti
pancing rawai dan dibentangkan di tengah laut dan dengan berjalan kaki
menyusuri pantai karang. Pada umumnya, setelah krendet ditebar lalu ditunggu
beberapa jam untuk diangkat kembali, terkecuali untuk teknik berjalan kaki yang
akan diambil keesokan harinya (sekitar 12 jam). Seorang nelayan penangkap
lobster dapat memiliki 7-13 krendet karena pembuatannya yang mudah dan murah
(Nitimulya et al. 1996). Alat tangkap krendet ini dapat juga dioperasikan pada
kedalaman antara 10-60 m (Setyono 2000) dengan menggunakan perahu
fiberglass.
Alat tangkap jaring insang dasar mulai digunakan sejak tahun 1986.
Penangkapan dilakukan dengan menggunakan perahu fiberglass bermesin tempel.
Satu kali trip penangkapan biasanya menggunakan rata-rata 25 set jaring. Satu set
jaring panjangnya dapat mencapai 30 m dengan lebar 3,5 m tanpa memperhatikan
ukuran mata jaringnya, karena lobster tidak mengenal selektivitas ukuran mata
jaring. Lobster umumnya tertangkap karena terjerat oleh duri yang menempel di
tubuhnya. Jaring insang dioperasikan pada kedalaman 10 m atau pada jarak
sekitar 4-5 mil dari pantai. Pemasangan jaring insang pada daerah penangkapan
dilakukan selama 24-72 jam (Wirosaputro 1996).

14

3.3

Tingkat Eksploitasi Sumber Daya
Hubungan Panjang-Bobot

Pendugaan hubungan panjang-bobot didasarkan pada lobster contoh yang
diperoleh dari hasil tangkapan nelayan selama penelitian, yaitu Februari 2013
sampai dengan bulan Januari 2014. Model pendugaan hubungan panjang-bobot
untuk lobster pasir (n = 1067 ekor) di perairan Gunungkidul adalah W =
0,002CL2,762 (Gambar 3.2).

Gambar 3.2

Hubungan panjang-bobot lobster pasir (Panulirus homarus) di
Kabupaten Gunungkidul

Hasil uji t dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05), didapatkan pola
pertumbuhan lobster bersifat allometrik negatif. Pola pertumbuhan ini
menunjukkan bahwa pertambahan panjang lebih mendominasi dibandingkan
pertambahan bobot lobster pasir. Pola pertumbuhan seperti ini ternyata memiliki
persamaan dengan beberapa perairan lain. Penelitian di perairan Aceh Barat,
Pangandaran, Teluk Ekas serta selatan Yogyakarta dan Pacitan juga menunjukkan
pola pertumbuhan allometrik negatif (Suman dan Subani 1993; Suman et al. 1994;
Nuraini dan Sumiono 2006; Aisyah and Triharyuni 2011; Hargiyatno et al. 2013).
Perbedaan lokasi dapat menyebabkan perbedaan pola pertumbuhan, meskipun
dengan spesies yang sama. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh faktor ekologi
maupun biologi. Faktor ekologi tersebut, antara lain musim dan kualitas perairan
(suhu, salinitas dan pH), posisi geografis dan teknik pengambilan contoh.
Sedangkan faktor biologi, meliputi jenis kelamin, perkembangan gonad, fase
pertumbuhan dan kebiasaan makan (Froose 2006).

15

Ukuran Rata-Rata Pertama Kali Tertangkap dan Matang Kelamin
Sebaran frekuensi panjang lobster pasir hasil tangkapan jaring lobster dan
krendet umumnya mempunyai kisaran ukuran yang sempit dan hanya terdapat
satu modus. Ukuran panjang karapas lobster pasir yang tertangkap berkisar antara
31.0-96.6 mm. Sedangkan rata-rata ukuran lobster yang tertangkap (Lc), diperoleh
nilai 53 mmCL (Gambar 3.3). Nilai Lc ini lebih menjelaskan struktur populasi
yang ada di daerah penangkapan dari pada mekanikal selektivitas alat tangkap
jaring lobster atau pun krendet.

Gambar 3.3

Sebaran frekuensi panjang dan frekuensi panjang kumulatif hasil
tangkapan lobster pasir (Panulirus homarus) di Kabupaten
Gunungkidul

Selanjutnya dari lobster-lobster betina yang membawa telur dilakukan
penghitungan ukuran rata-rata pertama kali matang kelamin secara fungsional
(Lm) yang akan dibandingkan dengan ukuran rata-rata pertama kali tertangkap
(Lc). Hasil analisis menunjukkan nilai Lm sebesar 58.5 mmCL.
Perbandingan nilai Lc dan Lm (Gambar 3.4) dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa Lc < Lm, dimana perbandingan ini menunjukkan bahwa
pemanfaatan lobster pasir di perairan ini berada dalam kondisi yang
mengkhawatirkan karena lobster-lobster yang belum layak tangkap sudah
tertangkap. Selain itu, rasio potensi pemijahan sebesar 16 % menunjukkan bahwa
sumber daya lobster pasir di Kabupaten Gunungkidul juga berada dalam kondisi
eksploitasi berlebih. Kondisi sumber daya yang masih dalam status kurang
dieksploitasi atau eksploitasi penuh berada dalam rasio masing-masing 20-30 %
dan lebih dari 30 %. Referensi ini tidak dapat dijadikan satu-satunya patokan

16

dalam menentukan status sumber daya, karena ketahanan setiap spesies terhadap
tekanan penangkapan berbeda.

Gambar 3.4

Perbandingan nilai (a) panjang rata-rata pertama kali tertangkap
(Lc) dan (b) panjang rata-rata pertama kali matang kelamin secara
fungsional (Lm) dari lobster pasir (Panulirus homarus) di
Kabupaten Gunungkidul
Rasio Potensi Pemijahan

Rasio Potensi Pemijahan membandingkan kemampuan pemijahan (atau
kapasitas reproduksi) dari stok dalam kondisi sudah tereksploitasi dengan
kemampuan pemijahan (atau kapasitas reproduksi) stok dalam kondisi belum
tereksploitasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa rasio potensi pemijahan lobster
pasir berada pada posisi 16 %, dimana rasio ini menunjukkan rasio kurang dari 20
% sehingga dapat dikatakan sumber daya lobster pasir di perairan Gunungkidul
berada dalam kondisi eksploitasi berlebih.
Berdasarkan tingkat pemanfaatan, perbandingan ukuran Lc dan Lm serta
rasio potensi pemijahan menunjukkan bahwa sumber daya lobster pasir sudah
berada dalam kondisi eksplotasi berlebih. Oleh karena itu, sebagai upaya
pemulihan kondisi ini harus dilakukan pengaturan regulasi ukuran layak tangkap
untuk spesies P. homarus di perairan Gunungkidul. Berdasarkan analisis-analisis
di atas, dapat direkomendasikan panjang karapas lobster pasir yang diperbolehkan
ditangkap adalah lobster-lobster di atas panjang karapas 58.5 mm (asumsi Lm)
atau 67.0 mm (asumsi rasio potensi pemijahan). Dengan demikian, apabila
regulasi ini diterapkan akan memulihkan kondisi sumber daya lobster pasir,
karena pemanfaatan yang ada menjamin proses rekrutmen di alam.
Parameter Pertumbuhan dan Mortalitas
Dengan merunut data frekuensi lebar karapas dari bulan ke bulan (Gambar
3.5), diperoleh laju pertumbuhan (K) lobster pasir di perairan Gunungkidul adalah
0.46/tahun untuk lobster betina dan 0.49/tahun untuk lobster jantan. Panjang
karapas asimptotik (L∞) adalah 104.8 mm untuk lobster betina dan 101.3 mm
untuk lobster jantan, sedangkan umur lobster pasir saat panjang 0 (t0) sebesar -

17

0.25 tahun untuk lobster betina dan -0.24 untuk lobster jantan. Dengan demikian
persamaan pertumbuhan von Bertalanffy untuk lobster betina sebagai Lt =
104.8[1-e-0.46(t+0.25)] dan lobster jantan sebagai Lt = 101.3[1-e-0,49(t+0.24)].

Gambar 3.5

Kurva pertumbuhan lobster pasir (Panulirus homarus) di
Kabupaten Gunungkidul

Gambar 3.5 merupakan kurva pertumbuhan von Bertalanffy lobster pasir
yang menunjukkan umur maksimal yang dapat dicapai lobster pasir antara 8-10
tahun. Setelah melewati umur 10 tahun, lobster akan mengalami stagnasi
pertumbuhan atau dengan kata lain lobster akan mengalami kematian alamiah.
Gambar 3.6 juga menunjukkan bahwa lobster pasir mengalami pergeseran
modus panjang ke panjang karapas yang lebih besar namun tidak signifikan. Hal
ini diduga disebabkan oleh sedikitnya lobster contoh yang diukur pada masingmasing jenis kelamin. Semakin banyak jumlah lobster contoh yang diukur setiap
bulannya akan lebih menampakkan struktur ukuran lobster-lobster yang
tertangkap, yang selanjutnya akan lebih memudahkan dalam menduga laju
pertumbuhannya. Namun, apabila dilihat pada bulan Juni-Agustus terlihat bahwa
modus panjang berada pada kelas panjang kecil, sehingga menandakan pada
bulan-bulan tersebut terjadi peremajaan lobster-lobster baru ke dalam populasi.
Laju pertumbuhan (K) yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa lobster pasir (P. homarus) memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi,
karena nilai ini be