Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Juvenil Lobster Pasir Panulirus homarus di dalam Wadah yang Berbeda Warna

(1)

ABSTRAK

BAYU DWI SANTOSO. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Juvenil Lobster Pasir Panulirus homarus di dalam Wadah yang Berbeda Warna. Dibimbing oleh

Dadang Shafruddin dan Yuni Puji Hastuti.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan warna wadah yang baik bagi kelangsungan hidup (KH) dan pertumbuhan lobster pasir selama pemeliharaan 66 hari. Lobster yang digunakan berbobot antara 0,36±0,06 g. Jumlah lobster pasir yang ditebar dalam setiap wadah adalah sebanyak 10 ekor. Wadah yang digunakan berupa box fiber putih sebanyak 16 buah, masing-masing berkapasitas 80 liter. Sebanyak 8 buah wadah dicat dengan warna hitam dan 8 wadah berwarna putih. Pakan diberikan 3 kali, pagi, siang, dan sore. Setiap box dilengkapi dengan sistem aerasi dan tempat persembunyian (shelter) berupa jaring. Sistem pengairan menggunakan sistem flow through, setiap hari dilakukan penyifonan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan warna wadah yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap derajat kelangsungan hidup dan pertumbuhan lobster pasir (p>0,05). KH pada perlakuan wadah berwarna putih dan hitam masing-masing berkisar 12,5±4,63% dan 16,25±7,44%. Pertumbuhan bobot pada wadah berwarna putih dan hitam masing-masing berkisar 0,64±0,24 g dan 0,64±0,42 g. Laju pertumbuhan spesifik lobster pasir yang dipelihara pada wadah berwarna putih dan hitam masing-masing berkisar 1,54±0,39 % dan 1,41±0,78 %. Frekuensi molting pada pelakuan warna wadah putih dan hitam masing-masing 14±2,39 kali dan 14,75±1,67 kali.


(2)

ABSTRACT

BAYU DWI SANTOSO. Growth and Survival of Juvenile Sand Lobster

Panulirus homarus Maintained in Different Color of The Rearing Tank. Supervised by Dadang Shafruddin and Yuni Puji Hastuti.

The research aimed to determine the effect of tank color on growth and survival of the sand lobster. Lobster in body weight of 0.36±0.06 g were stocked at density of 10 lobster in each tank. The tank were used is white fiber box as much as 16 box with capacity 80 L. Eight tank painted with black color and the others with white color. Daily, the lobster fed three times, in morning, afternoon and evening. Every morning the bottom waste was siphoned out (once a day). Each tank was equipped with aeration system and hiding substrat (shelters). Watering system used was flow through system. The results showed that the color of the container did not give a significantly different effect on survival and growth of sand lobster. Survival on the white tank ranges from 12.5±4.63%, the Black-colored tank ranges from 16.25±7.44%. Growth weights on the white tank ranges from 0.64±0.24 g, the Black-colored tank ranges from 0.64±0.42 g. The specific growth rate of lobster on the white tank ranges from 1.54±0.39 %, the Black-colored tank ranges from 1.41±0.78 %. The frequency of molting on the white tank ranges 14±2.39 times, in color black-colored tank ranges from 14.75±1.67 times.


(3)

1

I. PENDAHULUAN

Udang merupakan komoditas unggulan perikanan budidaya yang memiliki ekonomis tinggi. Udang termasuk komoditas yang sudah dikenal dan sangat diminati oleh masyarakat. Terdapat banyak jenis udang yang tersebar di alam. Mulai dari perairan laut, payau, hingga perairan tawar. Salah satu udang yang memiliki ekonomis tinggi adalah lobster air laut.

Permintaan lobster air laut di dunia mengalami peningkatan sekitar 15 % per tahun (Jones, 2008). Kenaikan permintaan ini dipengaruhi oleh pasar internasional, terutama China, sebagai negara tujuan ekspor. Ekspor merupakan salah satu tujuan pemasaran lobster air laut. Hongkong dan Taiwan adalah tujuan pasar utama, meskipun beberapa produk juga dijual langsung ke utara China, Singapura, dan Jepang. Volume yang terjual tidak diketahui, tetapi kemungkinan besar tidak lebih dari 2 500 ton per tahun (Jones, 2008).

Sebagian besar kebutuhan lobster ukuran konsumsi dipenuhi dari hasil tangkapan di alam. Tingginya permintaan akan lobster dikhawatirkan akan menimbulkan penangkapan berlebih (over-fishing). Penangkapan berlebih akan berdampak pada kapasitas induk (broodstock) sebagai penghasil benih untuk budidaya. Selain akan menimbulkan penangkapan berlebih, jumlah lobster hasil tangkapan di alam juga tidak menentu. Hal ini dipengaruhi oleh musim tangkap. Begitu pula dengan kualitasnya, ukuran lobster cenderung beragam.

Terdapat dua jenis lobster yang umum dikembangkan di Indonesia, yaitu lobster pasir Panulirus homarus dan lobster mutiara P. ornatus. Benih lobster yang dibudidayakan adalah benih hasil tangkapan di alam. Perbandingan ketersediaan dari lobster pasir dan lobster mutiara adalah 3:1. Perbandingan ini dapat bervariasi dari satu lokasi ke lokasi lain, tetapi lobster pasir semakin berlimpah di seluruh daerah. Harga lobster pasir dapat mencapai Rp300 000/kg untuk lobster berukuran 100 g hingga 250 g. Sedangkan lobster mutiara dengan ukuran kecil dihargai rendah (<Rp200 000/Kg) (Jones, 2008). Lobster pasir memiliki kualitas yang baik untuk diolah dalam masakan, dikarenakan memiliki daging yang manis dan empuk.


(4)

2 Diperlukan kegiatan budidaya untuk menjaga ketersediaan induk lobster di alam. Melalui kegiatan budidaya, diharapkan kebutuhan lobster untuk pasar ekspor maupun domestik akan terpenuhi, baik dalam jumlah, kualitas, maupun kontinuitas. Untuk saat ini, kegiatan budidaya lobster terpusat di Nusa Tenggara Barat. NTB memiliki sumberdaya lobster yang cukup potensial. Pesisir dan laut NTB seluas 29 159.04 km2, di dalamnya terdapat ekosistem terumbu karang seluas 3 601 km2, yang merupakan habitat alami lobster yang kondisinya masih baik (Idris et al.,2001).

Terbukti sulit untuk menjaga kelangsungan hidup lobster pasir pada kegiatan budidaya. Angka kematian selama fase puerulus sangat tinggi, terutama disebabkan oleh kanibalisme. Hal ini sesuai dengan pengalaman di Vietnam dan Australia. Kelangsungan hidup lobster dari fase puerulus hingga juvenil ukuran 2 cm berkisar 40 sampai 50%. Sedangkan kelangsungan hidup pada fase juvenil berkisar antara 60 sampai 90% (Jones, 2007). Tingkat kanibalisme ini akan berkurang seiring dengan pertumbuhan lobster.

Upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi tingginya tingkat kanibalisme adalah dengan penggunaan shelter pada wadah pemeliharaan lobster.

Shelter diperlukan sebagai tempat persembunyian udang yang sedang molting, serta memperluas area untuk udang menempel (Khasani, 2008). Jaring shelter

perlu disediakan dalam wadah pemeliharaan selama kegiatan budidaya sebagai cara yang sederhana dan efektif untuk meningkatkan kelangsungan hidup lobster dengan mengurangi persaingan antara lobster yang lemah dan lobster yang lebih dominan. Bobot dan pertumbuhan panjang karapas lobster secara signifikan tidak terpengaruh oleh adanya shelter, tetapi cenderung menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan wadah pemeliharaan tanpa shelter apapun (Nguyen et al., 2008).

Lobster pasir adalah spesies yang berhabitat di karang, yang banyak ditemukan di terumbu karang dan pantai berbatu. Lobster pasir ditemukan di kedalaman 1 sampai 50 m. Lobster pasir aktif pada malam hari, paling aktif dari senja hingga fajar (FAO, 2007). Untuk menciptakan suasana lingkungan yang menyerupai kondisi habitat lobster, maka dilakukan rekayasa lingkungan. Salah satu cara rekayasa dalam lingkungan adalah penggunaan warna wadah.


(5)

3 Warna wadah akan mempengaruhi intensitas cahaya dan panjang gelombang yang dipantulkan kembali. Keberadaan cahaya yang terlalu intensif dapat membuat beberapa spesies organisme akuatik menjadi stres dan mati (Boeuf & Bail, 1999). Pada larva udang galah Macrobracium rosenbergii (de Man), intensitas cahaya yang tinggi dalam bentuk cahaya langsung dapat menurunkan selera makan dan menyebabkan kematian massal. Pada tangki pemeliharaan berdinding putih, larva udang galah hanya mampu mencapai stadia enam (Aquacop, 1977).

Warna wadah juga mempengaruhi lama waktu dari respons cortisol.

Cortisol adalah produk akhir utama dari hypothalamus-pituitari-sel interrenal (HPI) pada ikan teleostei. Hormon ini memberikan tindakan fisiologis dan diukur dalam darah ikan untuk mengevaluasi respons stres terhadap beberapa rangsangan termasuk pada ikan jundia Rhamdia quelen. Pada ikan jundia dalam perlakuan wadah putih memiliki kadar cortisol yang tetap tinggi selama 24 jam setelah aplikasi stressor, sedangkan ikan dalam wadah biru kadar cortisol dapat berkurang hingga ke konsentrasi sebelum stres selama 12 jam. Penjelasan yang memungkinkan terhadap kondisi ini adalah wadah biru lebih gelap daripada wadah putih, diduga disebabkan pantulan cahaya yang lebih rendah dan transmisi pada dinding wadah. Wadah dengan dinding putih lebih terang dan jernih, dikarenakan ikan jundia memiliki kebiasaan nocturnal, lingkungan dengan dinding putih tidak nyaman dan mempengaruhi perilaku ikan. Baik wadah putih maupun biru memberikan visualisasi yang baik terhadap pakan, sehingga pilihan terhadap lingkungan gelap untuk ikan jundia diduga lebih berhubungan dengan kebiasaan nocturnalnya (Barcellos et al., 2009).

Setiap jenis ikan memiliki reaksi yang berbeda terhadap penggunaan warna wadah. Pada ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) memiliki laju pertumbuhan harian tertinggi pada warna wadah hitam dibandingkan warna putih dan biru muda (Sofronios et al., 2004). Sedangkan pada ikan mas laju pertumbuhan harian tertinggi pada warna wadah putih dibandingkan warna hitam dan hijau (Papoutsoglou et al., 2000).

Atas dasar pengetahuan di atas penggunaan wadah yang memiliki warna yang berbeda pada pendederan juvenil lobster pasir berpotensi mempengaruhi


(6)

4 kelangsungan hidup dan pertumbuhan lobster ini, sehingga dapat dijadikan acuan untuk pemeliharaan lobster yang baik pada waktu berikutnya. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan derajat kelangsungan hidup dan pertumbuhan terbaik juvenil lobster pasir yang dipelihara secara terkontrol dalam wadah dengan warna dasar yang berbeda.


(7)

5

II. BAHAN DAN METODE

2.1 Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua perlakuan dan masing-masing menggunakan delapan ulangan, yaitu :

1) Perlakuan A dengan warna wadah putih 2) Perlakuan B dengan warna wadah hitam

Model Percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yij = µ + σi + εij

Keterangan :

Yij = Data hasil pengamatan pada perlakuan ke-I dan ulangan ke-j µ = Nilai tengah dari pengamatan

σi = Pengaruh aditif dari perlakuan ke-i

εij = Pengaruh galat hasil percobaan pada perlakuan ke-I dan ulangan ke-j

2.2 Prosedur Kerja 2.2.1 Persiapan Wadah

Wadah yang digunakan berupa box fiber putih sebanyak 16 buah dengan kapasitas 80 liter. Sebanyak 8 buah wadah dicat dengan warna hitam dan 8 wadah tetap dengan warna dasar putih. Bagian atas box diberi tutup fiber untuk mengurangi intensitas cahaya yang masuk ke media pemeliharaan. Setiap box

dilengkapi dengan sistem aerasi dan tempat persembunyian (shelter) berupa jaring. Wadah disimpan di dalam hatchery (in door).

2.2.2 Ukuran dan Padat Tebar

Lobster yang digunakan adalah juvenil lobster pasir yang berasal dari Gerupuk (Lombok Tengah) dan Awang (Lombok Tengah). Juvenil lobster pasir ini merupakan hasil tangkapan di alam. Juvenil yang digunakan berbobot 0.36±0.06 g. Jumlah juvenil lobster pasir yang ditebar dalam setiap wadah adalah sebanyak 10 ekor.


(8)

6

2.2.3 Pengelolaan Pakan

Pada umumnya kegiatan budidaya lobster menggunakan ikan rucah sebagai pakan. Namun dalam penelitian ini digunakan dua jenis pakan, yaitu basal moist pellet (pelet basah) dan ikan rucah. Jumlah pakan ditentukan berdasarkan feeding rate (FR). FR yang digunakan adalah sebesar 45% dari biomassa. Frekuensi pemberian pakan tiga kali sehari, yaitu pagi, siang, dan sore sebesar 33.3% dari jumlah total pakan dalam sehari. Pakan basal moist pellet diberikan pada saat pagi dan sore hari, sedangkan ikan rucah diberikan pada saat siang hari. Komposisi dari basal moist pellet dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Komposisi basal moist pellet dalam penelitian

Komposisi %

Krill meal 52.5

Ikan rucah 15.0

Daging kerang hijau 15.0

Cumi 5.0

Algamac-ARA 5.0

Mixed algae 5.0

Pearl E Binder 1.0

Astaxantin 0.5

Minyak ikan 1.0

2.2.4 Pengelolaan Kualitas Air

Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah air laut yang langsung diambil dari perairan pantai Sekotong dengan cara dipompa. Air laut tanpa disaring dialirkan terus-menerus ke setiap wadah pemeliharaan dengan rerata pergantian air 1L/ 32 detik/ 80L atau 1.875 lpm/ m3. Untuk menjaga kualitas air, dilakukan penyifonan kotoran lobster dan sisa pakan setiap hari.

2.3 Parameter Penelitian

Data yang dikumpulkan selama penelitian meliputi jumlah ikan, bobot tubuh, jumlah pakan, jumlah lobster molting, serta kualitas air. Penghitungan jumlah lobster dilakukan setiap hari dengan cara menghitung semua populasi lobster yang hidup pada setiap wadah pemeliharaan (sensus). Pengukuran bobot tubuh dilakukan pada hari ke-0, 16, 29, 41, 52 dan 66 dengan melakukan penimbangan terhadap semua lobster yang terdapat pada setiap wadah


(9)

7 pemeliharaan. Pengukuran jumlah pakan dilakukan setiap hari dengan menggunakan timbangan digital. Jumlah lobster molting diperoleh dari pengamatan berdasarkan cangkang yang terlepas dari tubuh dan diakumulasikan hingga pada akhir perlakuan. Pengukuran kualitas air dilakukan setiap hari meliputi suhu dan pH serta mingguan meliputi DO, salinitas, amonia (NH3), dan

nitrit (NO2-). Selanjutnya data hasil pengukuran parameter tersebut digunakan

untuk menentukan kelangsungan hidup, laju pertumbuhan spesifik, frekuensi molting, dan analisa kualitas air.

2.3.1 Kelangsungan Hidup

Pengamatan tingkat kelangsungan hidup lobster dilakukan setiap hari dengan frekuensi satu kali sehari, dengan cara menghitung jumlah lobster yang masih hidup pada setiap wadah pemeliharaan. Perhitungan tingkat kelangsungan hidup dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut :

Dimana,

SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)

Nt = Jumlah udang yang hidup pada akhir penelitian (ekor) N₀ = Jumlah udang yang hidup pada awal penelitian (ekor)

2.3.2 Laju Pertumbuhan Spesifik

Pengamatan laju pertumbuhan spesifik lobster dilakukan pada hari ke-16, 29, 41, 52 dan 66 dengan cara mengukur biomassa lobster. Perhitungan laju pertumbuhan spesifik lobster selama penelitian dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut :

Dimana,

α = Laju pertumbuhan spesifik (%) t = Lama pemeliharaan (hari) Wt = Rerata bobot akhir benih (gram) W₀ = Rerata bobot awal benih (gram)


(10)

8

2.3.3 Frekuensi Molting

Menurut Lee dan Wickins (2002) frekuensi molting merupakan jumlah frekuensi munculnya lobster yang melakukan molting selama perlakuan. Frekuensi ini dilakukan dengan pengamatan cangkang bekas molting. Data diperoleh dari pengamatan berdasarkan cangkang yang terlepas dari tubuh lobster dan diakumulasikan hingga pada ahir perlakuan.

2.3.4 Kualitas Air

Parameter fisika yang diukur selama penelitian meliputi suhu dan salinitas, sedangkan parameter kimia yang diukur meliputi pH, oksigen terlarut (DO), amonia (NH3), nitrit (NO2-). Parameter suhu, pH dan salinitas diukur secara in

situ. Analisis oksigen terlarut (DO), amonia (NH3) dan nitrit (NO2-) dilakukan di

Laboratorium Kesehatan dan Lingkungan, Balai Budidaya Laut Lombok, Nusa Tenggara Barat. Metode yang digunakan dalam pengukuran ini disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Metode pengukuran parameter fisika kimia air

Parameter Satuan Metode

Suhu ºC Termometer

pH Unit pH meter digital

Salinitas g/l Refraktometer

Oksigen terlarut mg/l Titrimetri

Amonia mg/l Spektrofotometri

Nitrit mg/l Spektrofotometri

2.3.5 Analisis Data

Data yang dikumpulkan selama penelitian meliputi jumlah lobster akhir, bobot tubuh, frekuensi molting, dan kualitas air. Data hasil pengukuran parameter tersebut digunakan untuk menentukan tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, pertumbuhan bobot, dan frekuensi molting. Parameter yang diuji secara statistik adalah bobot lobster sebelum dan setelah penelitian, laju pertumbuhan lobster, dan kelangsungan hidup (KH) lobster, sedangkan data kualitas air meliputi suhu, pH, DO, ammonia, nitrit, dan salinitas dianalisis secara


(11)

9 deskriptif. Data beberapa parameter yang telah diperoleh kemudian ditabulasi dan diolah menggunakan software Microsoft Excel 2007, data dianalisis menggunakan software SPSS versi 16 dan uji lanjut untuk beda nyata menggunakan uji T.


(12)

10

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

Pelaksanaan penelitian selama pemeliharaan 66 hari diperoleh parameter yang diuji menggunakan uji statistik antara lain kelangsungan hidup (KH), laju pertumbuhan spesifik (LPS), dan frekuensi molting (Tabel 3). Parameter lain yang diperoleh adalah kualitas air.

Tabel 3. Nilai parameter uji Warna dasar wadah Ulangan Jumlah akhir lobster KH (%) Bobot awal (g) Bobot akhir (g) Pertumbuhan bobot (g) LPS (%) Frekuensi molting Putih

1 1 10 0.37 0.90 0.53 1.37 18

2 2 20 0.36 1.24 0.88 1.90 13

3 1 10 0.37 1.06 0.70 1.63 15

4 1 10 0.33 0.89 0.56 1.50 10

5 1 10 0.32 1.06 0.74 1.84 13

6 2 20 0.37 1.36 1.00 2.01 16

7 1 10 0.36 0.76 0.40 1.14 14

8 1 10 0.35 0.63 0.28 0.91 13

Rerata

± SD 1.25

12.50

± 4.63 0.35 0.99 0.64 ± 0.24

1.54

± 0.39 14 ± 2.39

Hitam

1 2 20 0.37 1.40 1.03 2.05 16

2 1 10 0.35 0.51 0.17 0.59 16

3 1 10 0.34 0.70 0.36 1.09 13

4 2 20 0.40 1.29 0.89 1.80 15

5 1 10 0.37 0.36 -0.01 -0.03 12

6 3 30 0.35 1.05 0.71 1.71 17

7 1 10 0.34 1.15 0.81 1.86 14

8 2 20 0.37 1.55 1.18 2.19 15

Rerata

± SD 1.625

16.25

± 7.44 0.36 1.00 0.64 ± 0.42

1.41 ± 0.78

14.75 ± 1.67

3.1.1 Tingkat Kelangsungan Hidup

Pada perlakuan wadah berwarna putih kelangsungan hidup berkisar 12.5±4.63%, sedangkan pada perlakuan wadah berwarna hitam sintasan berkisar 16.25±7.44%. Tingkat kelangsungan hidup tertinggi terjadi pada perlakuan wadah berwarna hitam sebesar 30% (Gambar 2). Hasil uji statistik menunjukkan perlakuan warna wadah pemeliharaan yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0.05) terhadap kelangsungan hidup lobster pasir.


(13)

11 Keterangan :

Gambar 1. Kelangsungan hidup (%) lobster pasir Panulirus homarus yang dipelihara selama 66 hari.

Keterangan : Huruf yang sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)

Gambar 2. Histogram kelangsungan hidup (%) Panulirus homarus dengan perlakuan warna wadah pemeliharaan yang berbeda.

3.1.2 Laju Pertumbuhan Spesifik

Setelah masa pemeliharaan selama 66 hari, rerata pertumbuhan bobot lobster pasir yang dipelihara pada wadah berwarna putih dan hitam berkisar antara 0.64±0.24 g dan 0.64±0.42 g. Pada akhir pengamatan pertumbuhan bobot rata-rata tertinggi dicapai pada perlakuan wadah berwarna hitam yakni sebesar 1.18 g (Tabel 3). Hasil uji statistik menunjukkan perlakuan warna wadah pemeliharaan yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0.05) terhadap pertumbuhan bobot lobster pasir.

: warna wadah hitam : warna wadah putih


(14)

12 Keterangan :

Gambar 3. Bobot rata-rata (g) lobster pasir Panulirus homarus selama 66 hari pemeliharaan.

Keterangan : Huruf yang sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)

Gambar 4. Histogram pertumbuhan bobot (g) Panulirus homarus dengan perlakuan warna wadah pemeliharaan yang berbeda.

Laju pertumbuhan spesifik lobster pasir yang dipelihara pada wadah berwarna putih berkisar 1.54±0.39%. Sedangkan pada wadah berwarna hitam berkisar 1.41±0.78%. Laju pertumbuhan spesifik tertinggi terjadi pada perlakuan wadah berwarna hitam sebesar 2.19 % (Gambar 5). Hasil uji statistik menunjukkan perlakuan warna wadah pemeliharaan yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0.05) terhadap laju pertumbuhan spesifik lobster pasir.

: warna wadah hitam : warna wadah putih


(15)

13 Keterangan : Huruf yang sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)

Gambar 5. Histogram laju pertumbuhan spesifik (%) Panulirus homarus dengan perlakuan warna wadah yang berbeda.

3.1.3 Frekuensi Molting

Frekuensi molting lobster pasir pada pelakuan warna wadah berwarna putih berkisar 14±2.39 kali. Sedangkan pada perlakuan warna wadah berwarna hitam berkisar 14.75±1.67 kali. Frekuensi molting tertinggi dicapai pada perlakuan wadah berwarna putih sebesar 18 kali. Rata-rata frekuensi molting tertinggi dicapai pada perlakuan wadah berwarna hitam (Gambar 6).

Gambar 6. Histogram frekuensi molting Panulirus homarus dengan perlakuan warna wadah yang berbeda.

Tabel 4. Kualitas air selama pemeliharaan Warna

dasar wadah suhu (

0

C) pH DO (mg/L) Amonia

(mg/L)

Nitrit (mg/L)

Salinitas (g/L)

Putih 27-29 7.2-7.3 4.00-5.20 0.010-0.130 < 0.02 30-34


(16)

14 Suhu air pemeliharaan untuk perlakuan warna wadah putih dan hitam berkisar antara 27-29ºC. Nilai pH air pemeliharaan antara perlakuan berkisar 7.2-7.4. Oksigen terlarut air pemeliharaan berkisar antara 3.70-5.60 mg/L. Nilai amonia air pemeliharaan berkisar antara 0.010-0.130 mg/L. Nilai nitrit air pemeliharaan <0.02 mg/L. Untuk salinitas air pemeliharaan berkisar antara 30-34 g/L.

3.2 Pembahasan

Kematian seringkali ditemukan dalam produksi lobster pasir, terutama pada fase puerulus. Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya angka kematian ini. Beberapa faktor itu di antaranya adalah kondisi lingkungan, kanibalisme, dan kualitas air. Oleh karena itu diperlukan suatu pencegahan untuk meminimalkan faktor-faktor pemicu kematian pada lobster pasir.

Warna suatu benda akan timbul apabila benda tersebut menyerap panjang gelombang cahaya tertentu dan memantulkan panjang gelombang lain dari cahaya yang sama. Setiap warna memiliki dua karakteristik, yaitu intensitas warna (brightness) dan intensitas cahaya (lightness) (Wetzel, 1975). Pada wadah warna putih sebagian besar cahaya dipantulkan kembali dan tidak diserap oleh wadah. Hal ini menyebabkan lobster mencari tempat berlindung, mengingat sifat lobster yang aktif mencari makan di malam hari (nokturnal). Pada kondisi seperti ini, lobster cenderung berkumpul pada satu titik, di mana intensitas cahaya pada titik tersebut cukup sedikit, yaitu di dekat saluran outlet. Berkumpulnya lobster pada satu titik ini menyebabkan intensitas kontak fisik antar lobster cukup tinggi. Sifat biologi lobster yang teritorial menyebabkan terjadinya persaingan. Kontak fisik dan persaingan ini memperbesar peluang terjadinya kanibalisme. Berbeda dengan wadah warna hitam, intensitas cahaya yang masuk ke media pemeliharaan cenderung lebih sedikit (lampiran 6). Sebagian besar cahaya akan diserap oleh wadah. Kondisi lingkungan yang cenderung gelap menyebabkan lobster aktif bergerak dan tidak berkumpul pada satu titik. Sehingga intensitas kontak fisik antar lobster dapat berkurang. Namun, rendahnya derajat kelangsungan hidup pada semua perlakuan terutama dikarenakan sifat kanibalisme. Hal ini sesuai dengan pernyataan Priyambodo et al. (2011) bahwa tingkat kematian pada fase puerulus sangat tinggi terutama karena alasan kanibalisme. Sifat kanibalisme


(17)

15 adalah sifat saling memakan sesama lobster (Priyambodo et al., 2011). Kanibalisme umumnya terjadi pada saat molting (ganti kulit). Pada saat molting, lobster berada pada kondisi yang lemah, sehingga mudah sekali diserang dan dimangsa oleh lobster lain. Namun tidak jarang kematian juga disebabkan karena gagal molting. Angka kematian yang tinggi juga terjadi di Vietnam dan Australia. Tingkat kelangsungan hidup lobster dari puerulus hingga fase lobster muda berukuran 2.5 cm berkisar 60%.

Untuk mengurangi kanibalisme pada penelitian ini, ke dalam wadah budidaya ditambahkan shelter. Shelter diperlukan untuk persembunyian udang yang sedang moulting, sehingga mampu mengurangi tingkat kanibalisme, dan memperluas area untuk udang menempel (Khasani, 2008). Habitat lobster di alam banyak terdapat di perairan dengan terumbu karang, lobster sering bersembunyi di balik terumbu karang untuk berlindung. Untuk menghasilkan kondisi lingkungan pemeliharaan yang menyerupai kondisi habitat asli lobster, ditambahkan shelter

sebagai tempat berlindung lobster. Jaring shelter dapat disediakan dalam wadah pemeliharaan selama kegiatan budidaya sebagai cara yang sederhana dan efektif untuk meningkatkan kelangsungan hidup lobster dengan mengurangi persaingan antara lobster yang lemah dan lobster yang lebih dominan. Bobot dan pertumbuhan panjang karapas lobster secara signifikan tidak terpengaruh oleh adanya shelter, tetapi cenderung menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan wadah pemeliharaan tanpa shelter apapun (Nguyen et al., 2008).

Laju pertumbuhan spesifik lobster pasir yang dipelihara pada wadah berwarna putih berkisar 1.54±0.39%. Sedangkan pada wadah berwarna hitam berkisar 1.41±0.78%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa warna wadah pemeliharaan yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap laju pertumbuhan spesifik lobster pasir. Pada wadah berwarna putih, pertumbuhan bobot lobster pasir selama 66 hari pemeliharaan berkisar antara 0.64±0.24 g. Sedangkan pada wadah pemeliharaan berwarna hitam berkisar antara 0.64±0.42 g. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan warna wadah pemeliharaan yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan bobot lobster pasir. Lobster dengan ukuran lebih besar


(18)

16 yang dapat bertahan dan mendominasi. Selain dari pakan yang telah diberikan, berkurangnya populasi akibat kanibalisme diduga dapat meningkatkan pertumbuhan lobster.

Langkah awal pertumbuhan lobster ditandai dengan terjadinya pergantian kulit (molting). Proses ini biasanya diikuti dengan pertumbuhan dan berat badan (Priyambodo et al., 2011). Pertumbuhan lobster sebagai hewan Crustacea sangat erat kaitannya dengan aktifitas molting (Widiarso, 2011). Cahaya terang akan menghambat aktivitas molting pada larva Lobster Amerika, dan larva yang tumbuh pada lingkungan gelap memiliki bobot yang relatif lebih berat dibanding lingkungan terang (Hadley, 1906; Templeman, 1936; Eagles et al., 1984). Pada lobster pasir metamorf molting dari fase larva 3 hingga fase postlarva telah terbukti terjadi dengan frekuensi tertinggi selama fase gelap dari fotoperiod (Aiken & Waddy, 1995). Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, frekuensi molting lobster pasir pada perlakuan warna wadah putih berkisar 14±2.39 kali, hampir sama dengan perlakuan warna wadah hitam yang berkisar 14.75±1.67 kali.

Penelitian ini dilakukan di hatchery (in door) yang mendapat sumber cahaya berupa sinar matahari. Sinar matahari dapat masuk ke dalam hatchery melalui jendela yang terdapat di sisi kanan dan kiri serta pintu utama hatchery. Pengukuran intensitas cahaya menggunakan lux meter pada perlakuan warna wadah hitam dan putih menunjukkan 10 lux dan 30 lux. Pada penelitian Hoang et al. (2001) tentang ―Influences of light intensity and photoperiod on moulting and growth of Penaeus merguiensis cultured under laboratory conditions‖ perbedaan

intensitas cahaya yang diikuti dengan perbedaan pertumbuhan dan kelangsungan hidup mencapai 675 lux. Dengan demikian kesamaan nilai kelangsungan hidup dan pertumbuhan pada penelitian ini disebabkan perbedaan intensitas cahaya tidak terlalu besar.

Perlakuan warna wadah pemeliharaan tidak mempengaruhi kualitas air pemeliharaan. Suhu air pemeliharaan untuk perlakuan warna wadah putih dan hitam berkisar antara 27-29ºC. Suhu air yang cukup stabil ini ditunjang pula dengan lokasi pemeliharaan yang berada di dalam hatchery, sehingga suhu dapat lebih stabil. Menurut Booth & Kittaka (1994) suhu mempengaruhi pertumbuhan


(19)

17 juvenile spiny lobster dan spiny lobster dewasa. Lobster dapat tumbuh dengan baik pada perairan dengan suhu hangat daripada perairan dengan suhu dingin. Kisaran suhu yang cenderung stabil ini tidak akan membuat lobster mengalami gangguan dalam adaptasi terhadap perubahan lingkungan sehingga menguntungkan dalam pemanfaatan energi untuk metabolisme dan pertumbuhan (Akbar, 2008).

Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan (Boyd, 1988). Salinitas air pemeliharaan berkisar antara 30-34 g/L. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) di mana nilai salinitas perairan laut berkisar 30-40 g/L. Oksigen terlarut air pemeliharaan berkisar antara 3.70-5.60 mg/L. Menurut McNeely (1979) kadar oksigen terlarut di perairan laut berkisar antara 11 mg/L pada suhu 0ºC dan 7 mg/L pada suhu 25ºC. Kadar oksigen terlarut akan berkurang seiring meningkatnya suhu dan salinitas pada perairan. Kadar oksigen terlarut dalam media pemeliharaan dijaga dengan menambahkan sistem aerasi pada setiap wadah pemeliharaan.

Nilai pH air pemeliharaan antara perlakuan berkisar 7.2-7.4. Nilai pH yang kurang dari 5 sangat buruk bagi kehidupan udang karena dapat menyebabkan kematian, sedangkan pH di atas 9 dapat menurunkan nafsu makan (Merrick, 1993). Nilai amonia air pemeliharaan berkisar antara 0.01-0.13 mg/L. Amonia dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air (Effendi, 2003). Kotoran yang dikeluarkan oleh lobster merupakan limbah aktivitas metabolisme yang menghasilkan amonia. Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH, dan suhu (Effendi, 2003). Menurut McNeely (1979), pada perairan alami kadar amonia biasanya kurang dari 0.1 mg/L. Jika kadar amonia bebas lebih dari 0.2 mg/L, perairan bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan (Sawyer & McCarty, 1978). Avertebrata air lebih toleran terhadap toksisitas amonia daripada ikan (Effendi, 2003), sehingga lobster lebih toleran terhadap toksisitas amonia.

Nilai nitrit air pemeliharaan <0.02 mg/L. Kadar nitrit pada perairan relatif kecil karena segera dioksidasi menjadi nitrat (Effendi, 2003). Perairan alami mengandung nitrit sekitar 0.001 mg/L dan sebaiknya tidak melebihi 0.06 mg/L


(20)

18 (CCREM, 1978). Secara keseluruhan, kualitas air pada media pemeliharaan lobster pasir telah memenuhi kriteria untuk budidaya.


(21)

19

IV.

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Pemeliharaan lobster pasir Panulirus homarus selama 66 hari menunjukkan bahwa perlakuan warna wadah hitam dan putih tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan spesifik, dan pertumbuhan bobot.

4.2 Saran

Untuk mendapatkan perbedaan kelangsungan hidup dan pertumbuhan juvenil lobster pasir perlu dilakukan penelitian di dalam/ di luar ruangan dengan intensitas cahaya yang lebih tinggi.


(22)

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP JUVENIL

LOBSTER PASIR

Panulirus homarus

DI DALAM WADAH

YANG BERBEDA WARNA

BAYU DWI SANTOSO

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(23)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP JUVENIL LOBSTER

PASIR Panulirus homarus DI DALAM WADAH YANG BERBEDA WARNA

adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2013 Bayu Dwi Santoso C14080092


(24)

ABSTRAK

BAYU DWI SANTOSO. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Juvenil Lobster Pasir Panulirus homarus di dalam Wadah yang Berbeda Warna. Dibimbing oleh

Dadang Shafruddin dan Yuni Puji Hastuti.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan warna wadah yang baik bagi kelangsungan hidup (KH) dan pertumbuhan lobster pasir selama pemeliharaan 66 hari. Lobster yang digunakan berbobot antara 0,36±0,06 g. Jumlah lobster pasir yang ditebar dalam setiap wadah adalah sebanyak 10 ekor. Wadah yang digunakan berupa box fiber putih sebanyak 16 buah, masing-masing berkapasitas 80 liter. Sebanyak 8 buah wadah dicat dengan warna hitam dan 8 wadah berwarna putih. Pakan diberikan 3 kali, pagi, siang, dan sore. Setiap box dilengkapi dengan sistem aerasi dan tempat persembunyian (shelter) berupa jaring. Sistem pengairan menggunakan sistem flow through, setiap hari dilakukan penyifonan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan warna wadah yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap derajat kelangsungan hidup dan pertumbuhan lobster pasir (p>0,05). KH pada perlakuan wadah berwarna putih dan hitam masing-masing berkisar 12,5±4,63% dan 16,25±7,44%. Pertumbuhan bobot pada wadah berwarna putih dan hitam masing-masing berkisar 0,64±0,24 g dan 0,64±0,42 g. Laju pertumbuhan spesifik lobster pasir yang dipelihara pada wadah berwarna putih dan hitam masing-masing berkisar 1,54±0,39 % dan 1,41±0,78 %. Frekuensi molting pada pelakuan warna wadah putih dan hitam masing-masing 14±2,39 kali dan 14,75±1,67 kali.


(25)

ABSTRACT

BAYU DWI SANTOSO. Growth and Survival of Juvenile Sand Lobster

Panulirus homarus Maintained in Different Color of The Rearing Tank. Supervised by Dadang Shafruddin and Yuni Puji Hastuti.

The research aimed to determine the effect of tank color on growth and survival of the sand lobster. Lobster in body weight of 0.36±0.06 g were stocked at density of 10 lobster in each tank. The tank were used is white fiber box as much as 16 box with capacity 80 L. Eight tank painted with black color and the others with white color. Daily, the lobster fed three times, in morning, afternoon and evening. Every morning the bottom waste was siphoned out (once a day). Each tank was equipped with aeration system and hiding substrat (shelters). Watering system used was flow through system. The results showed that the color of the container did not give a significantly different effect on survival and growth of sand lobster. Survival on the white tank ranges from 12.5±4.63%, the Black-colored tank ranges from 16.25±7.44%. Growth weights on the white tank ranges from 0.64±0.24 g, the Black-colored tank ranges from 0.64±0.42 g. The specific growth rate of lobster on the white tank ranges from 1.54±0.39 %, the Black-colored tank ranges from 1.41±0.78 %. The frequency of molting on the white tank ranges 14±2.39 times, in color black-colored tank ranges from 14.75±1.67 times.


(26)

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP JUVENIL

LOBSTER PASIR

Panulirus homarus

DI DALAM WADAH

YANG BERBEDA WARNA

BAYU DWI SANTOSO

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada

Departemen Budidaya Perairan

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(27)

Judul Skripsi : Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Juvenil Lobster Pasir Panulirus homarus di dalam Wadah yang Berbeda Warna

Nama Mahasiswa : Bayu Dwi Santoso

Nomor Pokok : C14080092

Disetujui

Diketahui

Ketua Departemen Budidaya Perairan

Tanggal Lulus:

Pembimbing 1

Ir. Dadang Shafruddin, M.Si. NIP. 19551015 1980031 004

Pembimbing 2

Yuni Puji Hastuti, S.Pi., M.Si. NIP. 19810604 2007012 001

Dr. Ir. Sukenda, M.Sc. NIP. 19671013 1993021 001


(28)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa tercurah ke Rasulullah Muhammad SAW dan kita semua sebagai pengikutnya hingga akhir zaman. Karya tulis ilmiah

yang berjudul ―Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Juvenil Lobster Pasir

Panulirus homarus di dalam Wadah yang Berbeda Warna‖ ini merupakan hasil karya penulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan April hingga Juli 2012 bertempat di Balai Budidaya Laut Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini terdapat banyak kekurangan yang dikarenakan oleh keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, karya tulis ilmiah ini berhasil penulis selesaikan. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya.

2. Ibunda Kustini Widiastuti dan Ayahanda Edi Santoso tercinta yang

selalu memberikan do’a, dukungan, dan dorongan bagi penulis untuk

menyelesaikan penelitian ini. Devi Novi Astuti, saudari perempuan penulis yang memberikan semangat dan dukungan moral tanpa henti. 3. Ir. Dadang Shafruddin, M.Si, selaku Pembimbing Utama yang telah

mendampingi, membimbing, memberikan arahan dan masukan dalam proses penelitian dan penyusunan karya tulis ilmiah ini.

4. Yuni Puji Hastuti, S.Pi., M.Si. selaku Pembimbing Kedua yang telah membimbing, memberikan arahan dan masukan dalam proses penelitian dan penyusunan karya tulis ilmiah ini.

5. Arsyad Sujangka selaku Pembimbing Lapang yang telah mendampingi, membimbing, memberikan arahan dan masukan dalam proses penelitian.


(29)

6. Prof. Dr. D. Djokosetiyanto selaku penguji utama dan Dr. Alimuddin, S.Pi, M.Sc selaku Perwakilan Komisi Pendidikan Departemen pada pelaksanaan Ujian Akhir yang telah memberikan banyak masukan dan arahan.

7. Seluruh dosen khususnya staf dosen Budidaya Perairan yang tanpa pamrih memberikan ilmu serta pengalamannya dalam empat tahun penulis belajar di Institut Pertanian Bogor.

8. Kepala Tata Usaha beserta staf pelaksana Departemen Budidaya Perairan yang telah membantu dan bekerja sama dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

9. Nik Sakilidis, Simon Irvin, dan Scott Shanks selaku perwakilan dari ACIAR Australian Centre for International Agricultural Research, serta Samsul, Bayu Priyambodo, dan semua jajaran Balai Budidaya Laut Lombok atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk dapat bergabung dalam penelitian lobster.

10.Ahmad Fauzan, Nurina, Riska, Muttaqin, Aldilla, Tubagus Fikri, Mayyanti, Ima, Titi, Lita, Jenni, Adit, Randi, Dendi seluruh rekan-rekan di Budidaya Perairan 45, Fitri, Yeyen, Siti Soraya, rekan-rekan di Budidaya Perairan 46, rekan-rekan Universitas Mataram, Ahmad Fadli Firsya, Arif Agus Nogroho, Busrol Karim, Pardi, Priagung Wicaksono, Samsu Nur, dan Suryo Aji.

11.Semua pihak yang telah memberi dukungan dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

Semoga karya tulis ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi semua

pihak. Amin ya Rabbal’ alamin.

Bogor, Januari 2013


(30)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lumajang 27 September 1989 dari ibu Kustini Widiastuti dan ayah Edi Santoso. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara.

Pendidikan formal yang dilalui penulis adalah SMA Negeri 2 Lumajang dan lulus tahun 2008. Pada tahun yang sama, penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan memilih Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah mengikuti IPB Go Field

2010, kegiatan magang di Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Air Tawar (BPBAT) Cijengkol Subang pada 2011, dan kegiatan magang di Balai Budidaya Laut Lombok pada tahun 2011. Selain itu, selama menjadi mahasiswa, penulis juga aktif menjadi Pengurus Himpunan Mahasiswa Akuakultur (HIMAKUA), Wakil Ketua Ikatan Keluarga Lumajang (IKALULU) pada 2009, dan Ketua Ikatan Keluarga Lumajang (IKALULU) pada 2010. Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan dengan menulis skripsi yang berjudul

Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Juvenil Lobster Pasir Panulirus homarus di dalam Wadah yang Berbeda Warna.


(31)

i

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... ii DAFTAR GAMBAR ... iii DAFTAR LAMPIRAN ... iv I. PENDAHULUAN... 1 II. BAHAN DAN METODE ... 5 2.1Rancangan Percobaan ... 5 2.2Prosedur Kerja ... 5 2.2.1 Persiapan Wadah ... 5 2.2.2 Ukuran dan Padat Tebar ... 5 2.2.3 Pengelolaan Pakan ... 6 2.2.4 Pengelolaan Kualitas Air... 6 2.3Parameter Penelitian... 6 2.3.1 Kelangsungan Hidup ... 7 2.3.2 Laju Pertumbuhan Spesifik ... 7 2.3.3 Frekuensi Molting ... 8 2.3.4 Kualitas Air ... 8 2.3.5 Analisis Data ... 8 III. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 10

3.1Hasil ... 10 3.1.1 Tingkat Kelangsungan Hidup ... 10 3.1.2 Laju Pertumbuhan Spesifik ... 11 3.1.3 Frekuensi Molting ... 13 3.2Pembahasan ... 14 IV. KESIMPULAN DAN SARAN ... 18 4.1Kesimpulan ... 19 4.2Saran ... 19 DAFTAR PUSTAKA ... 20 LAMPIRAN ... 23


(32)

ii

DAFTAR TABEL

1. Penentuan komposisi basal moist pellet dalam penelitian ... 6 2. Metode pengukuran parameter fisika kimia air ... 8 3. Nilai parameter uji... 10 4. Kualitas air selama pemeliharaan... 13


(33)

iii

DAFTAR GAMBAR

1. Kelangsungan hidup (%) lobster pasir Panulirus homarus yang dipelihara selama 66 hari ... 11 2. Histogram kelangsungan hidup (%) Panulirus homarus dengan perlakuan

warna wadah pemeliharaan yang berbeda... 11 3. Bobot rerata (g) lobster pasir Panulirus homarus selama 66 hari pemeliharaan ... 12 4. Histogram pertumbuhan bobot (g) Panulirus homarus dengan perlakuan

warna wadah pemeliharaan yang berbeda... 12 5. Histogram laju pertumbuhan spesifik (%) Panulirus homarus dengan

perlakuan warna wadah yang berbeda ... 13 6. Histogram frekuensi molting Panulirus homarus dengan perlakuan warna


(34)

iv

DAFTAR LAMPIRAN

1. Data sampling bobot rerata (g) lobster pasir Panulirus homarus pada perlakuan warna wadah putih dan hitam selama 66 hari pemeliharaan ... 24 2. Tingkat kelangsungan hidup (%) Panulirus homarus selama pemeliharaan 66

hari... 24 3. Laju pertumbuhan spesifik (%) Panulirus homarus selama pemeliharaan 66

hari... 25 4. Pertambahan bobot (g) Panulirus homarus selama pmeliharaan 66 hari ... 25 5. Data kualitas air selama penelitian ... 26 6. Data intensitas cahaya selama penelitian ... 26 7. Hasil uji T-Test pada parameter kelangsungan hidup (%) ... 27 8. Hasil uji T-Test pada parameter pertumbuhan bobot mutlak (g) ... 28 9. Hasil uji T-Test pada parameter laju pertumbuhan spesifik (%) ... 29 10.Hasil uji T-Test pada parameter frekuensi molting... 30


(35)

1

I. PENDAHULUAN

Udang merupakan komoditas unggulan perikanan budidaya yang memiliki ekonomis tinggi. Udang termasuk komoditas yang sudah dikenal dan sangat diminati oleh masyarakat. Terdapat banyak jenis udang yang tersebar di alam. Mulai dari perairan laut, payau, hingga perairan tawar. Salah satu udang yang memiliki ekonomis tinggi adalah lobster air laut.

Permintaan lobster air laut di dunia mengalami peningkatan sekitar 15 % per tahun (Jones, 2008). Kenaikan permintaan ini dipengaruhi oleh pasar internasional, terutama China, sebagai negara tujuan ekspor. Ekspor merupakan salah satu tujuan pemasaran lobster air laut. Hongkong dan Taiwan adalah tujuan pasar utama, meskipun beberapa produk juga dijual langsung ke utara China, Singapura, dan Jepang. Volume yang terjual tidak diketahui, tetapi kemungkinan besar tidak lebih dari 2 500 ton per tahun (Jones, 2008).

Sebagian besar kebutuhan lobster ukuran konsumsi dipenuhi dari hasil tangkapan di alam. Tingginya permintaan akan lobster dikhawatirkan akan menimbulkan penangkapan berlebih (over-fishing). Penangkapan berlebih akan berdampak pada kapasitas induk (broodstock) sebagai penghasil benih untuk budidaya. Selain akan menimbulkan penangkapan berlebih, jumlah lobster hasil tangkapan di alam juga tidak menentu. Hal ini dipengaruhi oleh musim tangkap. Begitu pula dengan kualitasnya, ukuran lobster cenderung beragam.

Terdapat dua jenis lobster yang umum dikembangkan di Indonesia, yaitu lobster pasir Panulirus homarus dan lobster mutiara P. ornatus. Benih lobster yang dibudidayakan adalah benih hasil tangkapan di alam. Perbandingan ketersediaan dari lobster pasir dan lobster mutiara adalah 3:1. Perbandingan ini dapat bervariasi dari satu lokasi ke lokasi lain, tetapi lobster pasir semakin berlimpah di seluruh daerah. Harga lobster pasir dapat mencapai Rp300 000/kg untuk lobster berukuran 100 g hingga 250 g. Sedangkan lobster mutiara dengan ukuran kecil dihargai rendah (<Rp200 000/Kg) (Jones, 2008). Lobster pasir memiliki kualitas yang baik untuk diolah dalam masakan, dikarenakan memiliki daging yang manis dan empuk.


(36)

2 Diperlukan kegiatan budidaya untuk menjaga ketersediaan induk lobster di alam. Melalui kegiatan budidaya, diharapkan kebutuhan lobster untuk pasar ekspor maupun domestik akan terpenuhi, baik dalam jumlah, kualitas, maupun kontinuitas. Untuk saat ini, kegiatan budidaya lobster terpusat di Nusa Tenggara Barat. NTB memiliki sumberdaya lobster yang cukup potensial. Pesisir dan laut NTB seluas 29 159.04 km2, di dalamnya terdapat ekosistem terumbu karang seluas 3 601 km2, yang merupakan habitat alami lobster yang kondisinya masih baik (Idris et al.,2001).

Terbukti sulit untuk menjaga kelangsungan hidup lobster pasir pada kegiatan budidaya. Angka kematian selama fase puerulus sangat tinggi, terutama disebabkan oleh kanibalisme. Hal ini sesuai dengan pengalaman di Vietnam dan Australia. Kelangsungan hidup lobster dari fase puerulus hingga juvenil ukuran 2 cm berkisar 40 sampai 50%. Sedangkan kelangsungan hidup pada fase juvenil berkisar antara 60 sampai 90% (Jones, 2007). Tingkat kanibalisme ini akan berkurang seiring dengan pertumbuhan lobster.

Upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi tingginya tingkat kanibalisme adalah dengan penggunaan shelter pada wadah pemeliharaan lobster.

Shelter diperlukan sebagai tempat persembunyian udang yang sedang molting, serta memperluas area untuk udang menempel (Khasani, 2008). Jaring shelter

perlu disediakan dalam wadah pemeliharaan selama kegiatan budidaya sebagai cara yang sederhana dan efektif untuk meningkatkan kelangsungan hidup lobster dengan mengurangi persaingan antara lobster yang lemah dan lobster yang lebih dominan. Bobot dan pertumbuhan panjang karapas lobster secara signifikan tidak terpengaruh oleh adanya shelter, tetapi cenderung menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan wadah pemeliharaan tanpa shelter apapun (Nguyen et al., 2008).

Lobster pasir adalah spesies yang berhabitat di karang, yang banyak ditemukan di terumbu karang dan pantai berbatu. Lobster pasir ditemukan di kedalaman 1 sampai 50 m. Lobster pasir aktif pada malam hari, paling aktif dari senja hingga fajar (FAO, 2007). Untuk menciptakan suasana lingkungan yang menyerupai kondisi habitat lobster, maka dilakukan rekayasa lingkungan. Salah satu cara rekayasa dalam lingkungan adalah penggunaan warna wadah.


(37)

3 Warna wadah akan mempengaruhi intensitas cahaya dan panjang gelombang yang dipantulkan kembali. Keberadaan cahaya yang terlalu intensif dapat membuat beberapa spesies organisme akuatik menjadi stres dan mati (Boeuf & Bail, 1999). Pada larva udang galah Macrobracium rosenbergii (de Man), intensitas cahaya yang tinggi dalam bentuk cahaya langsung dapat menurunkan selera makan dan menyebabkan kematian massal. Pada tangki pemeliharaan berdinding putih, larva udang galah hanya mampu mencapai stadia enam (Aquacop, 1977).

Warna wadah juga mempengaruhi lama waktu dari respons cortisol.

Cortisol adalah produk akhir utama dari hypothalamus-pituitari-sel interrenal (HPI) pada ikan teleostei. Hormon ini memberikan tindakan fisiologis dan diukur dalam darah ikan untuk mengevaluasi respons stres terhadap beberapa rangsangan termasuk pada ikan jundia Rhamdia quelen. Pada ikan jundia dalam perlakuan wadah putih memiliki kadar cortisol yang tetap tinggi selama 24 jam setelah aplikasi stressor, sedangkan ikan dalam wadah biru kadar cortisol dapat berkurang hingga ke konsentrasi sebelum stres selama 12 jam. Penjelasan yang memungkinkan terhadap kondisi ini adalah wadah biru lebih gelap daripada wadah putih, diduga disebabkan pantulan cahaya yang lebih rendah dan transmisi pada dinding wadah. Wadah dengan dinding putih lebih terang dan jernih, dikarenakan ikan jundia memiliki kebiasaan nocturnal, lingkungan dengan dinding putih tidak nyaman dan mempengaruhi perilaku ikan. Baik wadah putih maupun biru memberikan visualisasi yang baik terhadap pakan, sehingga pilihan terhadap lingkungan gelap untuk ikan jundia diduga lebih berhubungan dengan kebiasaan nocturnalnya (Barcellos et al., 2009).

Setiap jenis ikan memiliki reaksi yang berbeda terhadap penggunaan warna wadah. Pada ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) memiliki laju pertumbuhan harian tertinggi pada warna wadah hitam dibandingkan warna putih dan biru muda (Sofronios et al., 2004). Sedangkan pada ikan mas laju pertumbuhan harian tertinggi pada warna wadah putih dibandingkan warna hitam dan hijau (Papoutsoglou et al., 2000).

Atas dasar pengetahuan di atas penggunaan wadah yang memiliki warna yang berbeda pada pendederan juvenil lobster pasir berpotensi mempengaruhi


(38)

4 kelangsungan hidup dan pertumbuhan lobster ini, sehingga dapat dijadikan acuan untuk pemeliharaan lobster yang baik pada waktu berikutnya. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan derajat kelangsungan hidup dan pertumbuhan terbaik juvenil lobster pasir yang dipelihara secara terkontrol dalam wadah dengan warna dasar yang berbeda.


(39)

5

II. BAHAN DAN METODE

2.1 Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua perlakuan dan masing-masing menggunakan delapan ulangan, yaitu :

1) Perlakuan A dengan warna wadah putih 2) Perlakuan B dengan warna wadah hitam

Model Percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yij = µ + σi + εij

Keterangan :

Yij = Data hasil pengamatan pada perlakuan ke-I dan ulangan ke-j µ = Nilai tengah dari pengamatan

σi = Pengaruh aditif dari perlakuan ke-i

εij = Pengaruh galat hasil percobaan pada perlakuan ke-I dan ulangan ke-j

2.2 Prosedur Kerja 2.2.1 Persiapan Wadah

Wadah yang digunakan berupa box fiber putih sebanyak 16 buah dengan kapasitas 80 liter. Sebanyak 8 buah wadah dicat dengan warna hitam dan 8 wadah tetap dengan warna dasar putih. Bagian atas box diberi tutup fiber untuk mengurangi intensitas cahaya yang masuk ke media pemeliharaan. Setiap box

dilengkapi dengan sistem aerasi dan tempat persembunyian (shelter) berupa jaring. Wadah disimpan di dalam hatchery (in door).

2.2.2 Ukuran dan Padat Tebar

Lobster yang digunakan adalah juvenil lobster pasir yang berasal dari Gerupuk (Lombok Tengah) dan Awang (Lombok Tengah). Juvenil lobster pasir ini merupakan hasil tangkapan di alam. Juvenil yang digunakan berbobot 0.36±0.06 g. Jumlah juvenil lobster pasir yang ditebar dalam setiap wadah adalah sebanyak 10 ekor.


(40)

6

2.2.3 Pengelolaan Pakan

Pada umumnya kegiatan budidaya lobster menggunakan ikan rucah sebagai pakan. Namun dalam penelitian ini digunakan dua jenis pakan, yaitu basal moist pellet (pelet basah) dan ikan rucah. Jumlah pakan ditentukan berdasarkan feeding rate (FR). FR yang digunakan adalah sebesar 45% dari biomassa. Frekuensi pemberian pakan tiga kali sehari, yaitu pagi, siang, dan sore sebesar 33.3% dari jumlah total pakan dalam sehari. Pakan basal moist pellet diberikan pada saat pagi dan sore hari, sedangkan ikan rucah diberikan pada saat siang hari. Komposisi dari basal moist pellet dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Komposisi basal moist pellet dalam penelitian

Komposisi %

Krill meal 52.5

Ikan rucah 15.0

Daging kerang hijau 15.0

Cumi 5.0

Algamac-ARA 5.0

Mixed algae 5.0

Pearl E Binder 1.0

Astaxantin 0.5

Minyak ikan 1.0

2.2.4 Pengelolaan Kualitas Air

Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah air laut yang langsung diambil dari perairan pantai Sekotong dengan cara dipompa. Air laut tanpa disaring dialirkan terus-menerus ke setiap wadah pemeliharaan dengan rerata pergantian air 1L/ 32 detik/ 80L atau 1.875 lpm/ m3. Untuk menjaga kualitas air, dilakukan penyifonan kotoran lobster dan sisa pakan setiap hari.

2.3 Parameter Penelitian

Data yang dikumpulkan selama penelitian meliputi jumlah ikan, bobot tubuh, jumlah pakan, jumlah lobster molting, serta kualitas air. Penghitungan jumlah lobster dilakukan setiap hari dengan cara menghitung semua populasi lobster yang hidup pada setiap wadah pemeliharaan (sensus). Pengukuran bobot tubuh dilakukan pada hari ke-0, 16, 29, 41, 52 dan 66 dengan melakukan penimbangan terhadap semua lobster yang terdapat pada setiap wadah


(41)

7 pemeliharaan. Pengukuran jumlah pakan dilakukan setiap hari dengan menggunakan timbangan digital. Jumlah lobster molting diperoleh dari pengamatan berdasarkan cangkang yang terlepas dari tubuh dan diakumulasikan hingga pada akhir perlakuan. Pengukuran kualitas air dilakukan setiap hari meliputi suhu dan pH serta mingguan meliputi DO, salinitas, amonia (NH3), dan

nitrit (NO2-). Selanjutnya data hasil pengukuran parameter tersebut digunakan

untuk menentukan kelangsungan hidup, laju pertumbuhan spesifik, frekuensi molting, dan analisa kualitas air.

2.3.1 Kelangsungan Hidup

Pengamatan tingkat kelangsungan hidup lobster dilakukan setiap hari dengan frekuensi satu kali sehari, dengan cara menghitung jumlah lobster yang masih hidup pada setiap wadah pemeliharaan. Perhitungan tingkat kelangsungan hidup dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut :

Dimana,

SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)

Nt = Jumlah udang yang hidup pada akhir penelitian (ekor) N₀ = Jumlah udang yang hidup pada awal penelitian (ekor)

2.3.2 Laju Pertumbuhan Spesifik

Pengamatan laju pertumbuhan spesifik lobster dilakukan pada hari ke-16, 29, 41, 52 dan 66 dengan cara mengukur biomassa lobster. Perhitungan laju pertumbuhan spesifik lobster selama penelitian dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut :

Dimana,

α = Laju pertumbuhan spesifik (%) t = Lama pemeliharaan (hari) Wt = Rerata bobot akhir benih (gram) W₀ = Rerata bobot awal benih (gram)


(42)

8

2.3.3 Frekuensi Molting

Menurut Lee dan Wickins (2002) frekuensi molting merupakan jumlah frekuensi munculnya lobster yang melakukan molting selama perlakuan. Frekuensi ini dilakukan dengan pengamatan cangkang bekas molting. Data diperoleh dari pengamatan berdasarkan cangkang yang terlepas dari tubuh lobster dan diakumulasikan hingga pada ahir perlakuan.

2.3.4 Kualitas Air

Parameter fisika yang diukur selama penelitian meliputi suhu dan salinitas, sedangkan parameter kimia yang diukur meliputi pH, oksigen terlarut (DO), amonia (NH3), nitrit (NO2-). Parameter suhu, pH dan salinitas diukur secara in

situ. Analisis oksigen terlarut (DO), amonia (NH3) dan nitrit (NO2-) dilakukan di

Laboratorium Kesehatan dan Lingkungan, Balai Budidaya Laut Lombok, Nusa Tenggara Barat. Metode yang digunakan dalam pengukuran ini disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Metode pengukuran parameter fisika kimia air

Parameter Satuan Metode

Suhu ºC Termometer

pH Unit pH meter digital

Salinitas g/l Refraktometer

Oksigen terlarut mg/l Titrimetri

Amonia mg/l Spektrofotometri

Nitrit mg/l Spektrofotometri

2.3.5 Analisis Data

Data yang dikumpulkan selama penelitian meliputi jumlah lobster akhir, bobot tubuh, frekuensi molting, dan kualitas air. Data hasil pengukuran parameter tersebut digunakan untuk menentukan tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, pertumbuhan bobot, dan frekuensi molting. Parameter yang diuji secara statistik adalah bobot lobster sebelum dan setelah penelitian, laju pertumbuhan lobster, dan kelangsungan hidup (KH) lobster, sedangkan data kualitas air meliputi suhu, pH, DO, ammonia, nitrit, dan salinitas dianalisis secara


(43)

9 deskriptif. Data beberapa parameter yang telah diperoleh kemudian ditabulasi dan diolah menggunakan software Microsoft Excel 2007, data dianalisis menggunakan software SPSS versi 16 dan uji lanjut untuk beda nyata menggunakan uji T.


(44)

10

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

Pelaksanaan penelitian selama pemeliharaan 66 hari diperoleh parameter yang diuji menggunakan uji statistik antara lain kelangsungan hidup (KH), laju pertumbuhan spesifik (LPS), dan frekuensi molting (Tabel 3). Parameter lain yang diperoleh adalah kualitas air.

Tabel 3. Nilai parameter uji Warna dasar wadah Ulangan Jumlah akhir lobster KH (%) Bobot awal (g) Bobot akhir (g) Pertumbuhan bobot (g) LPS (%) Frekuensi molting Putih

1 1 10 0.37 0.90 0.53 1.37 18

2 2 20 0.36 1.24 0.88 1.90 13

3 1 10 0.37 1.06 0.70 1.63 15

4 1 10 0.33 0.89 0.56 1.50 10

5 1 10 0.32 1.06 0.74 1.84 13

6 2 20 0.37 1.36 1.00 2.01 16

7 1 10 0.36 0.76 0.40 1.14 14

8 1 10 0.35 0.63 0.28 0.91 13

Rerata

± SD 1.25

12.50

± 4.63 0.35 0.99 0.64 ± 0.24

1.54

± 0.39 14 ± 2.39

Hitam

1 2 20 0.37 1.40 1.03 2.05 16

2 1 10 0.35 0.51 0.17 0.59 16

3 1 10 0.34 0.70 0.36 1.09 13

4 2 20 0.40 1.29 0.89 1.80 15

5 1 10 0.37 0.36 -0.01 -0.03 12

6 3 30 0.35 1.05 0.71 1.71 17

7 1 10 0.34 1.15 0.81 1.86 14

8 2 20 0.37 1.55 1.18 2.19 15

Rerata

± SD 1.625

16.25

± 7.44 0.36 1.00 0.64 ± 0.42

1.41 ± 0.78

14.75 ± 1.67

3.1.1 Tingkat Kelangsungan Hidup

Pada perlakuan wadah berwarna putih kelangsungan hidup berkisar 12.5±4.63%, sedangkan pada perlakuan wadah berwarna hitam sintasan berkisar 16.25±7.44%. Tingkat kelangsungan hidup tertinggi terjadi pada perlakuan wadah berwarna hitam sebesar 30% (Gambar 2). Hasil uji statistik menunjukkan perlakuan warna wadah pemeliharaan yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0.05) terhadap kelangsungan hidup lobster pasir.


(45)

11 Keterangan :

Gambar 1. Kelangsungan hidup (%) lobster pasir Panulirus homarus yang dipelihara selama 66 hari.

Keterangan : Huruf yang sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)

Gambar 2. Histogram kelangsungan hidup (%) Panulirus homarus dengan perlakuan warna wadah pemeliharaan yang berbeda.

3.1.2 Laju Pertumbuhan Spesifik

Setelah masa pemeliharaan selama 66 hari, rerata pertumbuhan bobot lobster pasir yang dipelihara pada wadah berwarna putih dan hitam berkisar antara 0.64±0.24 g dan 0.64±0.42 g. Pada akhir pengamatan pertumbuhan bobot rata-rata tertinggi dicapai pada perlakuan wadah berwarna hitam yakni sebesar 1.18 g (Tabel 3). Hasil uji statistik menunjukkan perlakuan warna wadah pemeliharaan yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0.05) terhadap pertumbuhan bobot lobster pasir.

: warna wadah hitam : warna wadah putih


(46)

12 Keterangan :

Gambar 3. Bobot rata-rata (g) lobster pasir Panulirus homarus selama 66 hari pemeliharaan.

Keterangan : Huruf yang sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)

Gambar 4. Histogram pertumbuhan bobot (g) Panulirus homarus dengan perlakuan warna wadah pemeliharaan yang berbeda.

Laju pertumbuhan spesifik lobster pasir yang dipelihara pada wadah berwarna putih berkisar 1.54±0.39%. Sedangkan pada wadah berwarna hitam berkisar 1.41±0.78%. Laju pertumbuhan spesifik tertinggi terjadi pada perlakuan wadah berwarna hitam sebesar 2.19 % (Gambar 5). Hasil uji statistik menunjukkan perlakuan warna wadah pemeliharaan yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0.05) terhadap laju pertumbuhan spesifik lobster pasir.

: warna wadah hitam : warna wadah putih


(47)

13 Keterangan : Huruf yang sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)

Gambar 5. Histogram laju pertumbuhan spesifik (%) Panulirus homarus dengan perlakuan warna wadah yang berbeda.

3.1.3 Frekuensi Molting

Frekuensi molting lobster pasir pada pelakuan warna wadah berwarna putih berkisar 14±2.39 kali. Sedangkan pada perlakuan warna wadah berwarna hitam berkisar 14.75±1.67 kali. Frekuensi molting tertinggi dicapai pada perlakuan wadah berwarna putih sebesar 18 kali. Rata-rata frekuensi molting tertinggi dicapai pada perlakuan wadah berwarna hitam (Gambar 6).

Gambar 6. Histogram frekuensi molting Panulirus homarus dengan perlakuan warna wadah yang berbeda.

Tabel 4. Kualitas air selama pemeliharaan Warna

dasar wadah suhu (

0

C) pH DO (mg/L) Amonia

(mg/L)

Nitrit (mg/L)

Salinitas (g/L)

Putih 27-29 7.2-7.3 4.00-5.20 0.010-0.130 < 0.02 30-34


(48)

14 Suhu air pemeliharaan untuk perlakuan warna wadah putih dan hitam berkisar antara 27-29ºC. Nilai pH air pemeliharaan antara perlakuan berkisar 7.2-7.4. Oksigen terlarut air pemeliharaan berkisar antara 3.70-5.60 mg/L. Nilai amonia air pemeliharaan berkisar antara 0.010-0.130 mg/L. Nilai nitrit air pemeliharaan <0.02 mg/L. Untuk salinitas air pemeliharaan berkisar antara 30-34 g/L.

3.2 Pembahasan

Kematian seringkali ditemukan dalam produksi lobster pasir, terutama pada fase puerulus. Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya angka kematian ini. Beberapa faktor itu di antaranya adalah kondisi lingkungan, kanibalisme, dan kualitas air. Oleh karena itu diperlukan suatu pencegahan untuk meminimalkan faktor-faktor pemicu kematian pada lobster pasir.

Warna suatu benda akan timbul apabila benda tersebut menyerap panjang gelombang cahaya tertentu dan memantulkan panjang gelombang lain dari cahaya yang sama. Setiap warna memiliki dua karakteristik, yaitu intensitas warna (brightness) dan intensitas cahaya (lightness) (Wetzel, 1975). Pada wadah warna putih sebagian besar cahaya dipantulkan kembali dan tidak diserap oleh wadah. Hal ini menyebabkan lobster mencari tempat berlindung, mengingat sifat lobster yang aktif mencari makan di malam hari (nokturnal). Pada kondisi seperti ini, lobster cenderung berkumpul pada satu titik, di mana intensitas cahaya pada titik tersebut cukup sedikit, yaitu di dekat saluran outlet. Berkumpulnya lobster pada satu titik ini menyebabkan intensitas kontak fisik antar lobster cukup tinggi. Sifat biologi lobster yang teritorial menyebabkan terjadinya persaingan. Kontak fisik dan persaingan ini memperbesar peluang terjadinya kanibalisme. Berbeda dengan wadah warna hitam, intensitas cahaya yang masuk ke media pemeliharaan cenderung lebih sedikit (lampiran 6). Sebagian besar cahaya akan diserap oleh wadah. Kondisi lingkungan yang cenderung gelap menyebabkan lobster aktif bergerak dan tidak berkumpul pada satu titik. Sehingga intensitas kontak fisik antar lobster dapat berkurang. Namun, rendahnya derajat kelangsungan hidup pada semua perlakuan terutama dikarenakan sifat kanibalisme. Hal ini sesuai dengan pernyataan Priyambodo et al. (2011) bahwa tingkat kematian pada fase puerulus sangat tinggi terutama karena alasan kanibalisme. Sifat kanibalisme


(49)

15 adalah sifat saling memakan sesama lobster (Priyambodo et al., 2011). Kanibalisme umumnya terjadi pada saat molting (ganti kulit). Pada saat molting, lobster berada pada kondisi yang lemah, sehingga mudah sekali diserang dan dimangsa oleh lobster lain. Namun tidak jarang kematian juga disebabkan karena gagal molting. Angka kematian yang tinggi juga terjadi di Vietnam dan Australia. Tingkat kelangsungan hidup lobster dari puerulus hingga fase lobster muda berukuran 2.5 cm berkisar 60%.

Untuk mengurangi kanibalisme pada penelitian ini, ke dalam wadah budidaya ditambahkan shelter. Shelter diperlukan untuk persembunyian udang yang sedang moulting, sehingga mampu mengurangi tingkat kanibalisme, dan memperluas area untuk udang menempel (Khasani, 2008). Habitat lobster di alam banyak terdapat di perairan dengan terumbu karang, lobster sering bersembunyi di balik terumbu karang untuk berlindung. Untuk menghasilkan kondisi lingkungan pemeliharaan yang menyerupai kondisi habitat asli lobster, ditambahkan shelter

sebagai tempat berlindung lobster. Jaring shelter dapat disediakan dalam wadah pemeliharaan selama kegiatan budidaya sebagai cara yang sederhana dan efektif untuk meningkatkan kelangsungan hidup lobster dengan mengurangi persaingan antara lobster yang lemah dan lobster yang lebih dominan. Bobot dan pertumbuhan panjang karapas lobster secara signifikan tidak terpengaruh oleh adanya shelter, tetapi cenderung menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan wadah pemeliharaan tanpa shelter apapun (Nguyen et al., 2008).

Laju pertumbuhan spesifik lobster pasir yang dipelihara pada wadah berwarna putih berkisar 1.54±0.39%. Sedangkan pada wadah berwarna hitam berkisar 1.41±0.78%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa warna wadah pemeliharaan yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap laju pertumbuhan spesifik lobster pasir. Pada wadah berwarna putih, pertumbuhan bobot lobster pasir selama 66 hari pemeliharaan berkisar antara 0.64±0.24 g. Sedangkan pada wadah pemeliharaan berwarna hitam berkisar antara 0.64±0.42 g. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan warna wadah pemeliharaan yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan bobot lobster pasir. Lobster dengan ukuran lebih besar


(50)

16 yang dapat bertahan dan mendominasi. Selain dari pakan yang telah diberikan, berkurangnya populasi akibat kanibalisme diduga dapat meningkatkan pertumbuhan lobster.

Langkah awal pertumbuhan lobster ditandai dengan terjadinya pergantian kulit (molting). Proses ini biasanya diikuti dengan pertumbuhan dan berat badan (Priyambodo et al., 2011). Pertumbuhan lobster sebagai hewan Crustacea sangat erat kaitannya dengan aktifitas molting (Widiarso, 2011). Cahaya terang akan menghambat aktivitas molting pada larva Lobster Amerika, dan larva yang tumbuh pada lingkungan gelap memiliki bobot yang relatif lebih berat dibanding lingkungan terang (Hadley, 1906; Templeman, 1936; Eagles et al., 1984). Pada lobster pasir metamorf molting dari fase larva 3 hingga fase postlarva telah terbukti terjadi dengan frekuensi tertinggi selama fase gelap dari fotoperiod (Aiken & Waddy, 1995). Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, frekuensi molting lobster pasir pada perlakuan warna wadah putih berkisar 14±2.39 kali, hampir sama dengan perlakuan warna wadah hitam yang berkisar 14.75±1.67 kali.

Penelitian ini dilakukan di hatchery (in door) yang mendapat sumber cahaya berupa sinar matahari. Sinar matahari dapat masuk ke dalam hatchery melalui jendela yang terdapat di sisi kanan dan kiri serta pintu utama hatchery. Pengukuran intensitas cahaya menggunakan lux meter pada perlakuan warna wadah hitam dan putih menunjukkan 10 lux dan 30 lux. Pada penelitian Hoang et al. (2001) tentang ―Influences of light intensity and photoperiod on moulting and growth of Penaeus merguiensis cultured under laboratory conditions‖ perbedaan

intensitas cahaya yang diikuti dengan perbedaan pertumbuhan dan kelangsungan hidup mencapai 675 lux. Dengan demikian kesamaan nilai kelangsungan hidup dan pertumbuhan pada penelitian ini disebabkan perbedaan intensitas cahaya tidak terlalu besar.

Perlakuan warna wadah pemeliharaan tidak mempengaruhi kualitas air pemeliharaan. Suhu air pemeliharaan untuk perlakuan warna wadah putih dan hitam berkisar antara 27-29ºC. Suhu air yang cukup stabil ini ditunjang pula dengan lokasi pemeliharaan yang berada di dalam hatchery, sehingga suhu dapat lebih stabil. Menurut Booth & Kittaka (1994) suhu mempengaruhi pertumbuhan


(51)

17 juvenile spiny lobster dan spiny lobster dewasa. Lobster dapat tumbuh dengan baik pada perairan dengan suhu hangat daripada perairan dengan suhu dingin. Kisaran suhu yang cenderung stabil ini tidak akan membuat lobster mengalami gangguan dalam adaptasi terhadap perubahan lingkungan sehingga menguntungkan dalam pemanfaatan energi untuk metabolisme dan pertumbuhan (Akbar, 2008).

Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan (Boyd, 1988). Salinitas air pemeliharaan berkisar antara 30-34 g/L. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) di mana nilai salinitas perairan laut berkisar 30-40 g/L. Oksigen terlarut air pemeliharaan berkisar antara 3.70-5.60 mg/L. Menurut McNeely (1979) kadar oksigen terlarut di perairan laut berkisar antara 11 mg/L pada suhu 0ºC dan 7 mg/L pada suhu 25ºC. Kadar oksigen terlarut akan berkurang seiring meningkatnya suhu dan salinitas pada perairan. Kadar oksigen terlarut dalam media pemeliharaan dijaga dengan menambahkan sistem aerasi pada setiap wadah pemeliharaan.

Nilai pH air pemeliharaan antara perlakuan berkisar 7.2-7.4. Nilai pH yang kurang dari 5 sangat buruk bagi kehidupan udang karena dapat menyebabkan kematian, sedangkan pH di atas 9 dapat menurunkan nafsu makan (Merrick, 1993). Nilai amonia air pemeliharaan berkisar antara 0.01-0.13 mg/L. Amonia dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air (Effendi, 2003). Kotoran yang dikeluarkan oleh lobster merupakan limbah aktivitas metabolisme yang menghasilkan amonia. Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH, dan suhu (Effendi, 2003). Menurut McNeely (1979), pada perairan alami kadar amonia biasanya kurang dari 0.1 mg/L. Jika kadar amonia bebas lebih dari 0.2 mg/L, perairan bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan (Sawyer & McCarty, 1978). Avertebrata air lebih toleran terhadap toksisitas amonia daripada ikan (Effendi, 2003), sehingga lobster lebih toleran terhadap toksisitas amonia.

Nilai nitrit air pemeliharaan <0.02 mg/L. Kadar nitrit pada perairan relatif kecil karena segera dioksidasi menjadi nitrat (Effendi, 2003). Perairan alami mengandung nitrit sekitar 0.001 mg/L dan sebaiknya tidak melebihi 0.06 mg/L


(52)

18 (CCREM, 1978). Secara keseluruhan, kualitas air pada media pemeliharaan lobster pasir telah memenuhi kriteria untuk budidaya.


(53)

19

IV.

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Pemeliharaan lobster pasir Panulirus homarus selama 66 hari menunjukkan bahwa perlakuan warna wadah hitam dan putih tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan spesifik, dan pertumbuhan bobot.

4.2 Saran

Untuk mendapatkan perbedaan kelangsungan hidup dan pertumbuhan juvenil lobster pasir perlu dilakukan penelitian di dalam/ di luar ruangan dengan intensitas cahaya yang lebih tinggi.


(54)

20

DAFTAR PUSTAKA

Aiken, D.E. & Waddy, S.L. 1995. Aquaculture. In: J.R. Factor (Ed.) Biology of the Lobster Homarus americanus.

Akbar, D. 2008. Upaya Peningkatan Produktivitas Pendederan Lobster Air Tawar

Cherax quadricarinatus pada Berbagai Kepadatan dalam Akuarium dengan Lantai Ganda, serta Penerapan Sistem Resirkulasi. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Intitut Pertanian Bogor.

Aquacop. 1977. Macrobracium rosenbergii (de Man) Culture in Polynesia: Progress in Developing a Mass Intensive Larval rearing Tecnique in Clear Water. Proceeding World Mariculture Society. 8: 311-326.

Barcellos L.J.G., Kreutz L.C., Quevedo R.M., Santos J.G., Koakoski G., Centenaro L., & Pottker E. 2009. Influence of Color Background and Shelter Availability on Jundiá (Rhamdia quelen) Stress Response. Aquaculture. 288: 51–56.

Boeuf G. & Bail P.Y.L. 1999. Does Light Have an Influence on Fish Growth? Journal of Aquaculture. 177: 129-152.

Booth, J. & Kittaka, J. 1994. Growout of Juvenile Spiny Lobster. In: B.F. Phillips & J. Kittaka (Ed.) Spiny Lobster Management. Oxford: Blackwell Science.

Boyd, C.E. 1988. Water Quality in Warm Water Fish Ponds. Di dalam: Effendi H. (Ed.) Telaah Kualitas Air (Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan); 2003; Yogyakarta: Kanisius. hlm 66.

CCREM (Canadian Council of Resource and Environment Ministers). 1987. Canadian Water Quality. Di dalam: Effendi H. (Ed.) Telaah Kualitas Air (Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan); 2003; Yogyakarta: Kanisius. hlm 152.

Eagles, M.D., Aiken, D.E. & Waddy, S.L. 1984. Effect of Food Quality and Feeding Schedule on Survival, Growth and Development of Larval American Lobsters Fed Frozen Adult Brine Shrimp. Journal of the World Mariculture Society. 14: 142–3.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air (Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan). Yogyakarta: Kanisius.

FAO (Food and Agriculture Organization of the United Nations). 2007. Fisheries and Aquaculture Department—Cultured Aquatic Species Information Programe Panulirus homarus (Linnaeus, 1978). [terhubung berkala].


(55)

21 <http://www.fao.org/fishery/culturedspecies/Panulirus_homarus/en>. (15 Mei 2012).

Hadley, P.B. 1906. The Relation of Optical Stimuli to Rheotaxis in the American Lobster, Homarus americanus. American Journal of Physiology. 17: 326– 43.

Hoang, T., Lee, S. Y., Barchiesis, M., Keenan, C. P., & Marsden, G. E. 2001. Influences of Light Intensity and Photoperiod on Moulting and Growth of

Penaeus merguiensis Cultured Under Laboratory Conditions. Aquaculture. 216: 343-354.

Husni, A.S.A. 2002. Pengaruh Perbedaan Warna Wadah terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii de Man). [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Idris, I., S. Putra, S. Diposaptono, Baddrudin, M. Knight, J. Patlis & W.T.P. Siahaan. 2001. Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir. Kerjasama Direktorat Bina Pesisir dengan CRMP. Jakarta.

Jones, C. 2007. Improving Lobster Grow-Out and Nutrition in Nusa Tenggara Barat. Australia: ACIAR.

Jones, C. 2008. Studi Kelayakan: Meningkatkan Pembesaran dan Nutrisi Lobster di Nusa Tenggara Barat. Australia: ACIAR.

Khasani, I. 2008. Upaya Peningkatan Produksi dalam Usaha Pembesaran Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii de Man). Media Akuakultur. 3 Nomor 1. 27.

Lee, D. O’ C. & Wickins, J. F. 2002. Crustaceans Farming Ranching and Culture. 2nd edition. United Kingdom: Blackwell Science.

McNeely R.N., Nelmanis V.P., & Dwyer L. 1979. Water Quality Source Book, a Guide to Water Quality Parameter. Di dalam: Effendi H. (Ed.) Telaah Kualitas Air (Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan); 2003; Yogyakarta: Kanisius. hlm 151.

Merrick, J.R. 1993. Fresh Water Cryfish if New South Wales Linnean Society of New South Wales. Australia. 127 p.

Nguyen M. C., Nguyen T. B. N. & Le T. N. 2008. Effect of Different Types of Shelter on Growth and Survival of Panulirus ornatus juveniles. [ACIAR PROCEEDINGS]

Papoutsoglou S.E., Mylonakis G., Miliou H., Karakatsouli N.P., & Chadio S. 2000. Effects of Background Colour on Growth Performances and


(1)

25

Lampiran 3. Laju pertumbuhan spesifik (%)

Panulirus homarus

selama

pemeliharaan 66 hari pada wadah yang berbeda warna.

Ulangan Warna wadah

Putih Hitam

1 1.37 2.05

2 1.90 0.59

3 1.63 1.09

4 1.50 1.80

5 1.84 -0.03

6 2.01 1.71

7 1.14 1.86

8 0.91 2.19

rerata 1.54 1.41

SD 0.39 0.78

Lampiran 4. Pertambahan bobot (g)

Panulirus homarus

selama pemeliharaan 66

hari pada wadah yang berbeda warna.

Ulangan Warna wadah

Putih Hitam

1 0.53 1.03

2 0.88 0.17

3 0.70 0.36

4 0.56 0.89

5 0.74 -0.01

6 1.00 0.71

7 0.40 0.81

8 0.28 1.18

Rerata 0.64 0.64


(2)

26

Lampiran 5. Data kualitas air selama penelitian.

Warna wadah Hari ke- Suhu (ºC) DO

(mg/L) pH Salinitas Amonia

Nitrit (mg/L)

Putih

1 29 4.2 7.3 34 0.02 <0.02

8 29 4.5 7.3 33 0.04 <0.02

15 27 4.0 7.3 32 0.05 <0.02

22 28 4.7 7.3 30 0.01 <0.02

29 27 5.2 7.3 34 0.07 <0.02

36 27 4.9 7.3 31 0.06 <0.02

43 27 4.2 7.3 34 0.03 <0.02

50 27 4.4 7.3 32 0.05 <0.02

57 28 4.2 7.3 34 0.13 <0.02

64 28 4.9 7.3 31 0.05 <0.02

Hitam

1 29 4.5 7.3 34 0.05 <0.02

8 29 4.2 7.3 33 0.06 <0.02

15 27 4.8 7.3 31 0.02 <0.02

22 28 5.6 7.3 34 0.05 <0.02

29 27 5.2 7.3 32 0.01 <0.02

36 27 5.5 7.3 32 0.03 <0.02

43 27 4.3 7.3 33 0.09 <0.02

50 27 3.7 7.3 31 0.06 <0.02

57 28 4.2 7.3 31 0.10 <0.02

64 28 4.7 7.3 34 0.01 <0.02

Lampiran 6. Data intensitas cahaya selama penelitian.

Warna wadah Hari ke- Intensitas Cahaya (Lux)

Pagi Siang Malam

Putih

1 15 30 2

8 15 30 2

15 15 30 2

22 15 30 2

29 15 30 2

36 15 30 2

43 15 30 2

50 15 30 2

57 15 30 2

64 15 30 2

Hitam

1 5 10 2

8 5 10 2

15 5 10 2

22 5 10 2

29 5 10 2

36 5 10 2

43 5 10 2

50 5 10 2

57 5 10 2


(3)

27

Lampiran 6. Hasil uji T-Test pada parameter kelangsungan hidup (%).

Group Statistics

Perlakuan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean KH (%) Putih 8 12.5000 4.62910 1.63663

Hitam 8 16.2500 7.44024 2.63052

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper KH (%) Equal variances assumed 3.111 .100 -1.210 14 .246 -3.75000 3.09810 -10.39476 2.89476

Equal variances not assumed -1.210 11.713 .250 -3.75000 3.09810 -10.51856 3.01856

1.

Uji keragaman

H0 : ragam kedua populasi homogen

H1 : ragam kedua populasi tidak homogen

Nilai-p(0.1) > alpha 5% maka terima H0 artinya ragam homogen

2.

Uji-t

H0 : µhitam= µputih

H1 : µhitam≠ µputih


(4)

28

Lampiran 7. Hasil uji T-Test pada parameter pertumbuhan bobot mutlak (g).

Group Statistics

Perlakuan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean pertumbuhan bobot mutlak

(g)

Putih 8 .6359 .23930 .08461

Hitam 8 .6419 .42481 .15019

Independent Samples Test Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

pertumbuhan bobot mutlak (g)

Equal variances

assumed 3.833 .071 -.035 14 .973 -.00604 .17238 -.37577 .36369

Equal variances not

assumed -.035 11.036 .973 -.00604 .17238 -.38530 .37322

1.

Uji keragaman

H0 : ragam kedua populasi homogen

H1 : ragam kedua populasi tidak homogen

Nilai-p(0.071) > alpha 5% maka terima H0 artinya ragam homogen

2.

Uji-t

H0 : µhitam= µputih

H1 : µhitam≠ µputih


(5)

29

Lampiran 8. Hasil uji T-Test pada parameter laju pertumbuhan spesifik (%).

Group Statistics

Perlakuan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

LPS (%) Putih 8 1.5372 .38532 .13623

Hitam 8 1.4079 .78278 .27675

Independent Samples Test Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

LPS (%) Equal variances assumed 4.919 .044 .419 14 .682 .12926 .30847 -.53234 .79086

Equal variances not

assumed .419 10.204 .684 .12926 .30847 -.55619 .81471

1.

Uji keragaman

H0 : ragam kedua populasi homogen

H1 : ragam kedua populasi tidak homogen

Nilai-p(0.044) < alpha 5% maka tolak H0 artinya ragam tidak homogen untuk kedua populasi

2.

Uji-t

H0 : µhitam= µputih

H1 : µhitam≠ µputih


(6)

30

Lampiran 9. Hasil uji T-Test pada parameter frekuensi molting.

Group Statistics

Perlakuan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

frekuensi molting Putih 8 14.0000 2.39046 .84515

Hitam 8 14.7500 1.66905 .59010

Independent Samples Test Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

frekuensi molting Equal variances assumed .505 .489 -.728 14 .479 -.75000 1.03078 -2.96080 1.46080

Equal variances not

assumed -.728 12.514 .480 -.75000 1.03078 -2.98567 1.48567

1.

Uji keragaman

H0 : ragam kedua populasi homogen

H1 : ragam kedua populasi tidak homogen

Nilai-p(0.489) > alpha 5% maka terima H0 artinya ragam homogen untuk kedua populasi

2.

Uji-t

H0 : µhitam= µputih

H1 : µhitam≠ µputih