Evaluasi Penggunaan Shelter terhadap Respons Fisiologi Pendederan Lobster Pasir Panulirus homarus Menggunakan Sistem Resirkulasi

EVALUASI PENGGUNAAN SHELTER TERHADAP RESPONS
FISIOLOGI PENDEDERAN LOBSTER PASIR Panulirus
homarus MENGGUNAKAN SISTEM RESIRKULASI

KUKUH ADIYANA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis dengan judul Evaluasi
Penggunaan Shelter terhadap Respons Fisiologi Pendederan Lobster Pasir
Panulirus homarus Menggunakan Sistem Resirkulasi adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014

Kukuh Adiyana
NIM C151120571

RINGKASAN
KUKUH ADIYANA. Evaluasi Penggunaan Shelter terhadap Respons Fisiologi
Pendederan Lobster Pasir Panulirus homarus Menggunakan Sistem Resirkulasi.
Dibimbing oleh: EDDY SUPRIYONO dan MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR.
Salah satu kendala dalam pembesaran lobster pasir Panulirus homarus
adalah rendahnya kelangsungan hidup benih. Hal tersebut terjadi karena benih
yang ditebar tidak mengalami proses aklimatisasi terlebih dahulu. Selain itu,
ukuran yang tidak seragam juga dapat menyebabkan terjadinya kanibalisme pada
saat moulting. Penggunaan shelter dimaksudkan untuk meminimalkan kontak
antar benih lobster, mengurangi stres selama moulting serta memaksimalkan
pertumbuhan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menentukan jenis
shelter yang meminimumkan respons stres dan memberikan produksi benih
lobster yang baik.

Pada penelitian ini digunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4
perlakuan dan 2 ulangan. Jenis perlakuan adalah penggunaan shelter dari jaring,
pipa paralon, lubang angin dan tanpa shelter sebagai kontrol. Variabel gambaran
hemolymph yang digunakan untuk mengkaji respons stres diantaranya adalah
Total Hemocyte Count (THC), glukosa, dan total protein. Variabel kualitas air
selama penelitian yang diuji meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut,
karbondioksida, nitrat, nitrit dan amonia. Pengujian biometri meliputi bobot,
panjang total, dan tingkat kelangsungan hidup. Uji proksimat dilakukan pada
pakan (ikan teri) dan lobster.
Hasil pengujian hemolymph (THC, glukosa, dan total protein) selama
penelitian menunjukkan, shelter paralon menghasilkan respons stres lebih rendah
dan stabil apabila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Kondisi kualitas air
selama penelitian, secara keseluruhan masih memenuhi standar budidaya untuk
lobster. Penggunaan shelter paralon menghasilkan pertumbuhan dan kelangsungan
hidup yang lebih baik dibanding perlakuan lainnya. Laju pertumbuhan bobot
harian lobster tertinggi dicapai pada shelter paralon, yaitu sebesar 1,38±0,04%.
Tingkat kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada penggunaan shelter paralon
sebesar 65,26±1,41%, sedangkan terendah terdapat pada kontrol sebesar
39,47±2,12%. Penggunaan shelter tidak mempengaruhi kandungan proksimat
lobster. Penggunaan shelter paralon menghasilkan rasio konversi pakan (FCR)

terendah (8,53±0,16), sedangkan tertinggi terdapat pada kontrol (9,33±0,16).
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan, penggunaan shelter pada
pendederan lobster Panulirus homarus memberikan respons stres yang lebih
rendah dibandingkan kontrol, ditinjau dari respons THC, glukosa, dan total
protein hemolymph lobster selama penelitian. Shelter paralon merupakan shelter
yang terbaik, karena mampu menekan tingkat stres dan menghasilkan tingkat
pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang lebih baik dibanding perlakuan
lainnya.
Kata kunci:

glukosa, kelangsungan hidup, lobster pasir, shelter, stres, THC,
total protein.

SUMMARY
KUKUH ADIYANA. Evaluation of
Spinny Lobster Pannulirus homarus
Physiology Responsse on Different Shelters Reared in Recirculated System.
Supervised by: EDDY SUPRIYONO and MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR.
Low survival rate is one of the obstacles face in lobster seed aquaculture.
This is because reared lobster seeds doesn’t pass prior acclimatization process. In

addition, non-uniform seed size also leads to cannibalism among lobsters at
moulting phase. The use of shelter is intended to minimize physical contact
among lobsters, reduce stress during moulting and maximize growth. This study
aims to analyse and determine the best type of shelter that alleviated stress
response and generated higher lobster seed productivity.
This research used completely randomized design with four treatments and
all experimental treatment run duplicate. Type of treatment shelter were nets
shelter, modified PVC pipes, vents and without shelter as a control. There were
several variables to assess stress response, Total Hemocyte Count (THC), glucose,
and total protein. Water quality variables were recorded during the study includes
temperature, salinity, dissolved oxygen, carbon dioxide, nitrate, nitrite and
ammonia. Biometric parameter (weight, total length and survival rate) were
measured during the study. Proximate examination performed on feed (anchovies)
and lobster.
The results in hemolymph (THC, glucose, and total protein) during the
study indicates, PVC pipe shelter showed the lowest and stable stress response
when compared with other treatments. Water quality conditions during the study
meet overall standards requirement for lobster aquaculture. The use of PVC pipe
shelters produce the best growth in terms of weight and lobster total length.
Lobster daily growth weight rate in PVC pipe shelter is 1,38 ± 0,04%. The highest

survival rate showed in PVC pipe shelter treatment for 65,26 ± 1,41%, while the
lowest was in control for 39,47 ± 2,12%. Various shelter materials didn’t affect
lobster proximate content. Lobster which lived in various shelter material didn’t
show different proximate content. PVC pipe shelter result in the lowest
(8,53±0,16) feed conversion ratio (FCR), while control treatment showed the
highest (9,33 ± 0,16).
Based on the study results it can be concluded that, shelters used in
Panulirus homarus nursery showed lower stress response than without shelter, in
terms of several parameters THC, glucose, and total protein lobster hemolymph
during the study. PVC pipe shelter is the best, it reduced stress level and yielded
better growth and survival rate among the other treatments.
Key words: glucose, survival, spinny lobster, shelter, stress, THC , total protein.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis
ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

EVALUASI PENGGUNAAN SHELTER TERHADAP RESPONS
FISIOLOGI PENDEDERAN LOBSTER PASIR Panulirus
homarus MENGGUNAKAN SISTEM RESIRKULASI

KUKUH ADIYANA

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Tatag Budiardi, MSi

Judul Tesis

Nama
NIM

: Evaluasi Penggunaan Shelter terhadap Respons Fisiologi
Pendederan Lobster Pasir Panulirus homarus Menggunakan
Sistem Resirkulasi
: Kukuh Adiyana
: C151120571

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Eddy Supriyono, MSc
Ketua

Prof Dr Ir Muhammad Zairin Junior, M Sc

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Departemen
Budidaya Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Sukenda, Msc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 29 Agustus 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah

SWT atas segala
karuniaNya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Penelitian tesis
berjudul “Evaluasi Penggunaan Shelter terhadap Respons Fisiologi Pendederan
Lobster Pasir Panulirus homarus Menggunakan Sistem Resirkulasi” ini
dilaksanakan pada bulan Nopember 2013 sampai dengan Januari 2014. Tempat
penelitian di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Ancol
Timur, Jakarta Utara.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr Ir Eddy Supriyono, MSc dan
Prof Dr Ir Muhammad Zairin Junior, MSc selaku dosen pembimbing, Dr Ir Tatag
Budiardi, MSi selaku penguji luar komisi, Dr Ir Widanarni MSi selaku ketua
program studi, Bapak Mardi, Bapak Ranta, serta rekan-rekan Ilmu Akuakultur
2012. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, istri dan
keluarga tercinta atas semua doa, dukungan dan semangat yang diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Kukuh Adiyana

v


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Alat dan Bahan
Tahapan Penelitian
Rancangan Penelitian
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas Air
Respon Gambaran Hemolymph Lobster
Respon Pertumbuhan
Proksimat
Rasio Konversi Pakan

Kelangsungan Hidup
4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vi
1
1
2
3
3
3
3
3
5
6
7
7
14
20
23
25
25
26
26
27
27
30
44

vi

DAFTAR TABEL
1
2
3

Gambaran proksimat ikan teri
Gambaran proksimat lobster pada awal penelitian
Gambaran proksimat lobster pada akhir penelitian

4
24
24

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Jenis shelter yang digunakan dalam perlakuan.
Modifikasi paralon (a), lubang angin (b), dan jaring (c)
Sistem resirkulasi pada kolam penelitian
Susunan material Filter
Kondisi suhu selama Penelitian
Kondisi oksigen terlarut selama penelitian (09:00 WIB)
Kondisi oksigen terlarut selama penelitian (16:00 WIB)
Kondisi pH selama Penelitian
Kondisi salinitas selama penelitian
Kondisi CO 2 selama penelitian
Kondisi nitrit selama penelitian
Kondisi nitrat selama penelitian
Kondisi amonia selama penelitian
Respon THC lobster pada berbagai macam shelter
selama penelitian
Respon glukosa lobster pada berbagai macam shelter
selama penelitian
Lobster sakit (atas) dan lobster sehat (bawah)
Respon total protein hemolymph lobster pada berbagai macam
shelter selama penelitian.
Bobot total lobster pada berbagai macam shelter selama
penelitian
Laju pertumbuhan bobot harian lobster pada berbagai macam
shelter selama penelitian
Panjang total lobster pada berbagai macam shelter
selama penelitian
Rasio konversi pakan lobster pada berbagai macam shelter
selama penelitian
Kelangsungan hidup lobster pada akhir penelitian

4
5
5
8
8
9
9
10
11
12
13
14
15
17
18
19
21
21
23
25
26

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Hasil
Hasil
Hasil
Hasil

analisis
analisis
analisis
analisis

ragam hemolymph lobster
ragam respons pertumbuhan lobster
ragam rasio konversi pakan (FCR)
ragam kelangsungan hidup lobster

30
39
43
43

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permintaan kebutuhan lobster air laut di pasar internasional mencapai 20002500 ton/tahun, sementara pasokan lobster di pasar tidak tersedia secara kontinyu
(Drengstig dan Bergheim 2013). Hal ini disebabkan oleh daya dukung lobster
yang semakin menurun di alam dan pengaruh musim, yang menyulitkan untuk
kegiatan penangkapan lobster di alam. Untuk mengatasi masalah tersebut
beberapa penelitian mengenai teknik budidaya larva lobster Panulirus ornatus
untuk tujuan pembesaran secara komersial juga telah banyak dilakukan di
Australia, namun demikian upaya kegiatan budidaya tersebut belum begitu
berhasil (Sachlikidis et al. 2010). Salah satu kendala dalam kegiatan budidaya
pembesaran lobster adalah rendahnya kelangsungan hidup benih yang
dibudidayakan (Thuy dan Ngoc 2004). Selain itu, kebutuhan benih yang seragam
dan adaptif adalah salah satu permasalahan dalam budidaya pembesaran lobster
yang perlu dipecahkan.
Pembenihan lobster secara komersial belum banyak dilakukan, selain itu
teknik pemeliharan larva lobster masih sulit untuk dipahami (Vijayakumaran et al.
2010; Jones 2010). Kegiatan budidaya lobster sedang marak dilakukan oleh
beberapa negara ASEAN. Lobster yang umum dibudidayakan adalah lobster pasir
Panulirus homarus. Pada budidaya lobster di Vietnam, benih lobster yang
tertangkap di pelihara selama 30 - 60 hari terlebih dahulu, sebelum dibudidaya
dalam keramba di laut (Chau et al. 2008). Pada masa pemeliharaan benih inilah,
terjadi kematian yang cukup tinggi, yaitu lebih dari setengah bagian, terkadang
seluruh benih mengalami kematian (Thuy dan Ngoc 2004). Menurut Phillips et al.
(2003), Kematian larva pada lobster Panulirus cygnus di alam diperkirakan sangat
tinggi (80-98%), yang terjadi pada saat puerulus menetap di dasar perairan serta
akibat transportasi benih untuk kegiatan budidaya di darat.
Di Indonesia, khususnya di kawasan Pelabuhan Ratu, kegiatan budidaya
lobster dalam keramba jaring apung dilakukan untuk membesarkan benih
berukuran kurang dari 50 gram/ekor. Pada kegiatan budidaya pembesaran lobster
ini, ukuran benih yang digunakan sangat beragam, dengan kepadatan tebar 33
ekor/ m2 . Selain itu, pada kegiatan pembesaran lobster ini, benih yang digunakan
tidak melalui proses aklimatisasi terlebih dahulu. Hal tersebut menyebabkan
tingkat kematian pada benih yang dibudidayakan sangat tinggi. Keberagaman
ukuran benih yang digunakan, menyebabkan potensi terjadinya kanibalisme
semakin tinggi (Johnston et al. 2006). Larva lobster bersifat sangat kanibal karena
ketika menemukan sebuah objek mereka akan menguji apakah benda tersebut
dapat dimakan atau tidak (Burton 2003). Tingkat kematian benih lobster yang
tinggi tentunya dapat mengurangi keuntungan pembudidaya. Salah satu cara untuk
mengatasi permasalahan adalah perlu dilakukan kegiatan pendederan benih
lobster, sebelum dilakukan penebaran di keramba.
Kegiatan pendederan lobster air laut, dapat dilakukan secara indoor.
Menurut James (2007), kegiatan pendederan secara indoor memiliki kelebihan
dibanding outdoor, diantaranya lebih rendahnya biaya operasional pemberian
pakan dan infrastuktur. Menurut Drengstig dan Bergheim (2013), sistem

2

resirkulasi pada pembesaran lobster dapat digunakan untuk menjaga kualitas air
dan meminimumkan resiko terjadinya serangan penyakit. Sistem resirkulasi juga
lebih ramah lingkungan yaitu dengan pemanfaatan kembali air yang
digunakan,sehingga tidak ada penggantian air selama kegiatan budidaya.
Pendederan lobster Panulirus homarus secara indoor menggunakan sistem
resirkulasi, juga dimaksudkan untuk aklimatisasi benih.
Proses pendederan
lobster ini bertujuan untuk memberi kesempatan bagi benih lobster untuk
beradaptasi dengan lingkungan yang baru, sehingga benih yang dihasilkan bersifat
lebih adaptif terhadap perubahan kondisi lingkungan, dan dapat mengurangi
tingkat kematian benih (Syda-Rao et al. 2010; Mohammed et al. 2010).
Pengaruh penggunaan shelter pada budidaya lobster dalam beberapa
penelitian menunjukkan hasil yang positif. Menurut James et al. (2002),
penggunaan shelter pada lobster meningkatkan kelangsungan hidup, tetapi tidak
memberikan pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan lobster. Penelitian lain
menunjukkan penggunaan shelter jaring pada lobster P. cygnus dengan ukuran
sekitar 2,26 ± 0,13 gram, menghasilkan kelangsungan hidup dan SGR masingmasing sebesar 91,7 + 3,7 % dan 1,25 ± 0,03% (Johnston et al. 2006). Dari hasil
penelitian ini, penggunaan shelter jaring meminimalkan kontak antar benih
lobster, mengurangi stres selama moulting serta memaksimalkan pertumbuhan.
Fisiologi adalah ilmu yang mempelajari fungsi mekanik, fisik, dan biokimia
dari makhluk hidup. Salah satu parameter yang dapat diuji untuk mengetahui
pengaruh penggunaan shelter terhadap respons fisiologi lobster adalah respons
stres. Salah satu cara untuk menganalisis respons stres adalah dengan uji
gambaran darah, baik secara fisika maupun kimia. Respons stres dapat dievaluasi
secara subjektif dengan menggunakan pengamatan tingkah laku atau secara
kuantitatif dengan mengukur perubahan pada beberapa variabel fisologis seperti
penggunaan oksigen, komposisi darah, pH, hormon, ion dan hemosit (Lorenzon et
al. 2007).
Menurut Jussila et al. (2001); Verghese et al. (2007); Yildiz et al. (2004),
Total Hemocycte Count (THC) adalah salah satu parameter yang dapat digunakan
sebagai indikator terjadinya stres pada krustasea. Selain THC, jumlah konsentrasi
glukosa dalam hemolymph meningkat sebagai respons stres yang diakibatkan oleh
penanganan, salinitas, penyakit dan polutan (Lorenzon et al. 2007). Variabel
metabolik lainnya seperti total protein dapat digunakan untuk pemantauan kondisi
fisiologi pada krustasea akibat stres (Mercier et al. 2006)
Menurut Chau et al. (2008), informasi mengenai efek penggunaan berbagai
tipe atau jenis shelter terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih
lobster belum banyak diketahui. Selain hal tersebut, penelitian mengenai efek
penggunaan shelter terhadap respons fisiologi benih lobster khususnya Panulirus
homarus belum pernah dilakukan, sehingga perlu dilakukan kajian lebih lanjut.

Perumusan Masalah
Salah satu kendala dalam kegiatan budidaya pembesaran lobster pasir
Panulirus homarus adalah rendahnya kelangsungan hidup benih yang
dibudidayakan. Hal tersebut karena benih yang ditebar tidak mengalami proses
aklimatisasi terlebih dahulu. Selain itu ukuran yang tidak seragam juga

3

menyebabkan potensi terjadinya kanibalisme antar lobster pada saat moulting
lebih besar. Kurangnya benih yang seragam dan adaptif adalah salah satu
permasalahan dalam budidaya pembesaran lobster yang memerlukan solusi.
Aplikasi shelter dan sistem resirkulasi adalah salah satu solusi yang dapat
digunakan dalam usaha pendederan lobster. Pada kegiatan pendederan dengan
aplikasi shelter dan sistem resirkulasi ini diharapkan, benih yang dihasilkan
mempunyai kemampuan lebih adaptif dan berukuran seragam. Kajian tinjauan
mengenai aplikasi shelter dan sistem resirkulasi terhadap respons fisiologi benih
lobster perlu dilakukan, mengingat penelitian mengenai teknik pemeliharaan
benih dan hubungannya dengan respons fisiologi benih lobster belum banyak
dilakukan.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis pengaruh penggunaan shelter terhadap respons fisiologi
pendederan lobster Panulirus homarus.
2. Menentukan jenis shelter yang meminimumkan respons stres dan memberikan
produksi benih lobster yang baik.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan untuk kegiatan budidaya
pendederan lobster Panulirus homarus dengan menggunakan sistem resirkulasi.

2 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu dan tempat penelitian dilakukan pada bulan Nopember 2013 sampai
dengan Januari 2014, di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
IPB, Jalan Pasir Putih 1 Ancol Timur Jakarta Utara.

Alat dan Bahan
Benih lobster air laut
Benih lobster yang digunakan dalam penelitian ini berjenis lobster pasir
Panulirus homarus yang didapat dari wilayah Lombok Selatan sebanyak 900
ekor. Bobot benih lobster yang digunakan dalam peneltian ini 2,12±0,02 gram/
ekor.
Pakan ikan teri
Pakan berupa potongan ikan teri basah yang didapatkan pada pedagang
pengumpul. Gambaran proksimat ikan teri dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

4

Tabel 1

Gambaran proksimat ikan teri

Parameter
(%)
Kadar Air
Protein
Karbohidrat
Lemak
Abu

Ikan teri
Bobot basah
Bobot kering
78,62±0,17
12,83±0,23
60,04±0,58
0,71±0,09
3,3±0,40
2,31±0,22
10,79±1,11
5,53±0,07
25,87±0,13

Shelter
Shelter yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 3 jenis shelter, yaitu
shelter dari susunan lubang angin, jaring dan pipa paralon (Gambar 1). Volume
dari ketiga jenis shelter yang digunakan adalah sama yaitu ± 8000 cm3 .

(a)
Gambar 1

(b)

(c)

Jenis shelter yang digunakan dalam perlakuan. Modifikasi paralon
(a), lubang angin (b), dan jaring (c)

Kolam aklimatisasi
Kolam aklimatisasi yang digunakan berukuran 4 x 1 x 1,5 m, yang terbuat
dari pasangan bata dan plester semen. Ketinggian air laut selama aklimatisasi ±1,2
m. Kolam aklimatisasi juga dilengkapi dengan filter fisik yang terdiri dari susunan
busa filter dan karbon aktif. Selama proses aklimatisasi benih lobster juga diberi
shelter berupa potongan pelepah daun kelapa sebagai tempat berlindung.
Bak Penelitian
Pada penelitian ini digunakan 8 buah bak plastik untuk perlakuan, 1 bak
plastik untuk tampungan filtrat, dan dan 1 bak fiber untuk tampungan outlet. Bak
plastik yang digunakan berdimensi 1,2 x 0,95 x 1 m, sedangkan bak fiber
berbentuk lingkaran dengan diameter 1,5 m dan tinggi 0,75 m. Pada penelitian ini,
digunakan sistem resirkulasi, dengan mengoperasikan 2 pompa submersible
masing-masing kapasitas 5500 L/jam (Gambar 2). Aerasi dilakukan dengan
menggunakan aerator jenis diffuser, dengan jumlah titik aerasi sebanyak 3 titik
pada masing-masing kolam perlakuan. Filter yang digunakan tersusun dari
beberapa media yang terdiri dari batu koral, zeolit, karbon aktif, dan batu
biocrystal untuk media tumbuh mikroorganisme pengurai (Gambar 3).

5

Gambar 2 Sistem resirkulasi pada kolam penelitian

Gambar 3 Susunan material filter

Tahapan Penelitian
Aklimatisasi
Aklimatisasi benih lobster dilakukan selama 7 hari di kolam aklimatisasi. Selama
aklimatisasi, benih diberi pakan ikan teri sebanyak 10% bobot tubuh, dengan
frekuensi pemberian pakan satu kali sehari (Johnston et al. 2006).
Kegiatan Penelitian
Setelah dilakukan aklimatisasi, benih lobster kemudian disortir agar seragam
bobotnya. Benih kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan digital.
Bobot benih yang digunakan adalah sebesar 2,12±0,02 gram. Padat tebar benih

6

lobster dalam penelitian ini adalah 95 ekor/ m2 . Selama penelitian, pemberian
pakan ikan teri sebesar 10% juga dilakukan satu kali dalam sehari (Johnston et al.
2006). Pemeliharaan benih selama penelitian dilakukan selama 70 hari.

Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan
4 perlakuan dan 2 ulangan. Jenis perlakuan adalah menggunakan shelter dari
jaring (A), pipa paralon (B), lubang angin (C) dan tanpa shelter sebagai kontrol
(K).
Pengukuran parameter fisika air meliputi pH, salinitas, temperatur dan DO
dilakukan setiap hari. Pengamatan parameter kimia air meliputi: amonia, nitrit,
nitrat, CO2 dilakukan pada hari ke-0, 1, 3, 7, kemudian setiap 7 hari sampai akhir
penelitian (APHA,1990).
Pengamatan parameter glukosa dan total hemocycte count (THC)
hemolymph dilakukan pada 0, 24 jam, 3 hari, 7 hari, kemudian setiap 7 hari,
sampai akhir penelitian. Analisis glukosa mengacu pada metode Wedemeyer dan
Yasutake (1977), sedangkan THC mengacu pada Blaxhall dan Daishley (1973).
Pengamatan parameter total protein dilakukan pada 0, 24 jam, 3 hari, 7 hari, 14
hari, kemudian setiap 14 hari, sampai akhir penelitian. Analisis total protein
mengacu pada Lowry et al. (1981).
Pengujian biometri lobster dilakukan setiap 7 hari, meliputi bobot dan
panjang total. Tingkat kelangsungan hidup diamati pada akhir penelitian.
Pengukuran biometri mengacu pada Solanki et al. (2012).
Uji proksimat dilakukan pada pakan (ikan teri) dan lobster. Pengujian
proksimat dilakukan pada awal dan akhir penelitian yang meliputi kandungan
kadar air, karbohidrat, protein, lemak dan abu (Takeuchi 1988).
Data THC, glukosa, total protein, kelangsungan hidup, bobot, panjang total,
laju pertumbuhan bobot harian lobster, dan rasio konversi pakan, dianalisis secara
statistik menggunakan analisis ragam (ANOVA) dengan uji F pada selang
kepercayaan 95% menggunakan Software statistik Minitab 16. Apabila
berpengaruh nyata, dilakukan uji lanjut menggunakan metode Tukey, untuk
melihat perbedaan antar perlakuan yang diuji. Data kualitas air dan proksimat
dianalisis secara deskriptif. Beberapa persamaan rumus yang digunakan adalah:
Kelangsungan hidup
Kelangsungan hidup atau survival rate (SR), dihitung dengan rumus Huisman.
(1987):
SR = Nt X 100%
No
Keterangan:
SR
= Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt
= Jumlah lobster hidup pada akhir penelitian (ekor)
No
= Jumlah lobster hidup pada awal penelitian (ekor)

7

Laju pertumbuhan Spesifik
Laju pertumbuhan spesifik atau Specific Growth Rate (SGR) dihitung dengan
menggunakan rumus Solanki et al. (2012):
SGR (%) = [ (Wt /W0 )1/t – 1] x 100%
Keterangan:
SGR = Specific Growth Rate (%)
Wt
= Bobot rata-rata lobster pada akhir penelitian (gram)
Wo
= Bobot rata-rata lobster pada awal penelitian (gram)
T
= Periode penelitian (hari)
Rasio Konversi Pakan
Rasio konversi pakan dihitung dengan menggunakan rumus (Zonneveld et al.
1991):
FCR =
F
Bt + Bm – Bo
Keterangan:
FCR = Konversi pakan
F
= Jumlah pakan
Bt
= Biomassa lobster akhir penelitian (gram)
Bm
= Biomassa lobster yang mati selama penelitian (gram)
Bo
= Biomassa lobster awal penelitian (gram)
Total hemosit
Prosedur pengujian berdasarkan Blaxhall dan Daishley (1973), dengan rumus
yang digunakan untuk menghitung total hemosit adalah sebagai berikut:
Total hemosit = rata-rata jumlah sel x
1
x faktor pengenceran
Volume kotak besar
Panjang Total
Panjang total dihitung dengan menggunakan persamaan Solanki et al. (2012):
Panjang total = Panjang karapaks + Panjang abdominal

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas Air
Suhu

Kondisi suhu selama penelitian relatif stabil pada kisaran 27,33 – 28,88 ºC.
Kondisi suhu selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

8

Gambar 4

Kondisi suhu selama penelitian. (A) shelter jaring, (B) shelter
paralon, (C) shelter lubang angin, (K) kontrol

Berdasarkan Gambar 4, perubahan suhu selama penelitian terjadi karena
pengaruh cuaca pada saat penelitian. Apabila cuaca hujan maka suhu udara dalam
ruang menjadi lebih rendah, sehingga menyebabkan temperatur air mengalami
penurunan, demikian juga sebaliknya. Menurut Phillips dan Kittaka (2000),
pertumbuhan tercepat pada juvenil Panulirus homarus dapat dicapai pada suhu
sebesar 28 ºC, dengan panjang karapaks yang dicapai sebesar 60 mm dalam waktu
18 bulan. Data lain, menunjukkan beberapa jenis lobster mempunyai toleransi
suhu yang berbeda-beda untuk tumbuh pada kondisi optimum, seperti Panulirus
argus tumbuh optimum pada suhu berkisar 25-27 ºC, Panulirus ornatus (30 ºC),
Panulirus cygnus (25-26 ºC), dan Panulirus Interruptus (28 ºC). Kondisi suhu
selama penelitian masih sesuai untuk pertumbuhan lobster, karena berada pada
rentang 27,33 – 28,88 ºC.
Oksigen Terlarut
Kondisi oksigen terlarut selama penelitian relatif stabil pada kisaran 5,26 –
7,09 mg/L (09:00 WIB) dan 5,15-7,17 mg/L (16:00 WIB). Kondisi oksigen
terlarut selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6.

Gambar 5

Kondisi oksigen terlarut selama penelitian (09:00 WIB). (A) shelter
jaring, (B) shelter paralon, (C) shelter lubang angin, (K) kontrol

9

Gambar 6

Kondisi oksigen terlarut selama penelitian (16:00 WIB). (A) shelter
jaring, (B) shelter paralon, (C) shelter lubang angin, (K) kontrol

Tampak pada Gambar 5 dan 6, kondisi oksigen terlarut selama penelitian
masih sesuai untuk syarat optimal lobster tumbuh. Menurut Phillips dan Kittaka
(2000), konsentrasi oksigen terlarut minimum yang direkomendasikan untuk
budidaya lobster adalah 40-80% oksigen saturasi (2,7 – 5,4 mg/L), sedangkan
konsentrasi oksigen terlarut letal berkisar antara 0,5 sampai 3 mg/L (bergantung
pada spesies). Menurut Boyd dan Tucker (1998), konsentrasi oksigen terlarut
yang disarankan untuk kegiatan perikanan adalah > 5 mg/L.
pH
kondisi pH selama penelitian relatif stabil pada kisaran 7,07-7,86.
pH selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7

Kondisi

Kondisi pH selama penelitian. (A) shelter jaring, (B) shelter paralon,
(C) shelter lubang angin, (K) kontrol

Tampak pada Gambar 7, tren grafik menunjukkan, ada kecenderungan
penurunan nilai pH pada awal penelitian. Penurunan ini disebabkan adanya
peningkatan CO2 bebas yang dihasilkan dari sisa metabolisme lobster. Menurut
Mackereth et al. (1989), nilai pH berkaitan erat dengan karbondioksida dan

10

alkalinitas. Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas, dan
semakin rendah kadar karbondioksida bebas, demikian juga sebaliknya.
Secara keseluruhan nilai pH selama penelitian masih sesuai untuk
menunjang kehidupan lobster. Menurut Boyd dan Tucker (1998), nilai pH yang
disarankan untuk kegiatan akuakultur berkisar antara 6,5-9, sedangkan pH yang
optimum untuk biota laut berkisar antara 7,5-8,5. Krustasea pada perairan payau
umumnya mempunyai nilai toleransi pH yang lebih luas. Penelitian pada udang
panaeid menunjukkan pH yang optimum untuk pertumbuhan berkisar antara 5,58,5. Menurut Wickins dan Lee (2002), nilai pH yang disarankan untuk lobster
clawed dan lobster spinny masing- masing sebesar 7,8-8,2 dan 8,0-8,5.
Salinitas
Kondisi salinitas selama penelitian berkisar antara 34,14 – 37,71 ppt..
Kondisi salinitas selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8

Kondisi salinitas selama penelitian. (A) shelter jaring, (B) shelter
paralon, (C) shelter lubang angin, (K) kontrol

Berdasarkan Gambar 8, secara keseluruhan nilai salinitas masih sesuai
untuk kehidupan lobster. Menurut Phillips dan Kittaka (2000), juvenil lobster P.
polyphagus dan P. Cygnus mempunyai toleransi rentang salinitas yang cukup
luas, yaitu masing-masing sebesar 17-50 dan 25-45ppt. Kondisi salinitas optimal
pada lobster spinny dilaporkan pada kisaran 32-36 ppt (Wickins dan Lee 2002).
Kondisi salinitas selama penelitian cenderung mengalami peningkatan. Hal
ini disebabkan karena adanya proses evaporasi air kolam, sehingga volume air
mengalami penurunan tetapi kandungan total padatan terlarut tetap. Hal tersebut
menyebabkan nilai salinitas yang terukur mengalami peningkatan.
CO2

Kondisi CO 2 selama penelitian berkisar antara 0,39 – 5, 19 mg/L. Kondisi
CO 2 selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 9.

11

Gambar 9

Kondisi CO 2 selama penelitian. (A) shelter jaring, (B) shelter paralon,
(C) shelter lubang angin, (K) kontrol

Berdasarkan Gambar 9, secara keseluruhan konsentrasi CO 2 selama
penelitian masih sesuai untuk kehidupan lobster. Menurut Swingle (1968),
kandungan CO 2 bebas sekitar 12 mg/L dapat menyebabkan stres pada ikan,
sedangkan pada konsentrasi 30 mg/L menyebabkan beberapa jenis ikan
mengalami kematian. Penelitian lain menunjukkan, konsentrasi CO2 yang
disarankan untuk budidaya lobster air tawar adalah < 5 mg/l.
Tren grafik CO 2 selama penelitian mempunyai kecenderungan penurunan.
Pada awal penelitian konsentrasi CO 2 relatif lebih tinggi. Hal ini disebabkan
kemungkinan lobster mengalami tingkat stres yang lebih tinggi di awal penelitian
karena belum beradaptasi, sehingga produk sisa metabolisme seperti CO2 yang
dihasilkan juga mengalami peningkatan. Penurunan CO 2 selama penelitian ini
juga berkaitan dengan tingkat kelangsungan hidup lobster yang dipelihara.
Semakin lama waktu penelitian, tingkat kelangsungan hidup juga akan semakin
rendah, sehingga konsentrasi CO 2 yang dihasilkan juga semakin rendah.
Kondisi Nitrit Selama Penelitian
kondisi nitrit selama penelitian berkisar antara 0,22 – 3, 14 mg/L. Kondisi
nitrit selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 10.

12

Gambar 10

Kondisi nitrit selama penelitian. (A) shelter jaring, (B) shelter
paralon, (C) shelter lubang angin, (K) kontrol

Berdasarkan Gambar 10, secara keseluruhan konsentrasi nitrit selama
penelitian masih sesuai untuk kehidupan lobster. Menurut Drengstig dan
Bergheim (2013), kandungan nitrit yang disarankan pada budidaya lobster
Homarus gammarus menggunakan sistem resirkulasi adalah < 5 mg/l. Penelitian
lain menunjukkan, juvenil P. monodon mempunyai toleransi nitrit pada
konsentrasi sebesar 3,8 mg/L dengan salinitas 20 ppt (Boyd and Tucker, 1998).
Tren grafik nitrit selama penelitian mempunyai kecenderungan naik
kemudian mengalami penurunan. Pada penelitian sampai dengan hari ke-28,
konsentrasi nitrit mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan adanya akumulasi sisa
pakan dan feces lobster, sementara bakteri pengkonversi nitrit menjadi nitrat
belum terbentuk dengan baik, sehingga menyebabkan konsentrasi nitrit
mengalami peningkatan. Pada hari ke-35 sampai akhir penelitian, konsentrasi
nitrit cenderung mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan, konversi nitrit
menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter mulai berjalan.
Kondisi Nitrat Selama Penelitian
Kondisi nitrat selama penelitian berkisar antara 0,11 x 10 -1 – 6,78 mg/L.
Kondisi nitrat selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 11.

13

Gambar 11

Kondisi nitrat selama penelitian. (A) shelter jaring, (B) shelter
paralon, (C) shelter lubang angin, (K) kontrol

Tampak pada Gambar 11, secara keseluruhan konsentrasi nitrat selama
penelitian masih sesuai untuk kehidupan lobster. Pada budidaya lobster J.
Edwardsii menggunakan sistem resirkulasi (Phillips dan Kittaka 2000) dan
budidaya lobster spinny (Wickins dan Lee 2002),
konsentrasi nitrat yang
disarankan, sebaiknya kurang dari 100 mg/L.
Tren grafik menunjukkan, pada awal penelitian (sampai hari ke-21)
konsentrasi nitrat mengalami peningkatan perlahan. Konsentrasi nitrat berkisar
dari 0,11 x 10-1 – 2, 62 mg/L. Konsentrasi nitrat kemudian cenderung mengalami
peningkatan sampai akhir penelitian, meskipun fluktuatif. Peningkatan
konsentrasi nitrat ini menunjukkan proses nitrifikasi oleh bakteri telah berjalan.
Menurut Boyd dan Tucker (1998), nitrifikasi adalah oksidasi berurutan amonia
menjadi nitrat yang dilakukan oleh dua kelompok bakteri kemoautotrof dalam
kondisi aerobik. Proses nitrifikasi berlangsung melalui persamaan reaksi sebagai
berikut:
NH4 + + 1,5 O2
NO 2 - + 2H+ + H2 O ( dibantu Nitrosomonas)............(1)
NO 2 - + 0,5 O2
NO 3 - (dibantu Nitrobacter)........................................(2)
Sesuai dengan persamaan (1) diatas, amonia dikonversi menjadi nitrit oleh
bakteri Nitrosomas. Nitrit kemudian dikonversi menjadi nitrat oleh bakteri
Nitrobacter. Nitrifikasi menyebabkan kadar amonia dalam air mengalami
penurunan, dan konsentrasi nitrat mengalami peningkatan.
Kondisi Amonia Selama Penelitian
Kondisi amonia selama penelitian berkisar antara 0,67 x 10 -3 – 0, 55 x 10-1
mg/L. Kondisi amonia selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 12.

14

Gambar 12 Kondisi amonia selama penelitian. (A) shelter jaring, (B) shelter
paralon, (C) shelter lubang angin, (K) kontrol
Tampak pada Gambar 12, secara keseluruhan konsentrasi amonia masih
memenuhi syarat untuk kehidupan lobster. Pada budidaya lobster J. Edwardsii
menggunakan sistem resirkulasi (Phillips dan Kittaka 2000), dan lobster spinny
(Wickins dan Lee 2002), konsentrasi amonia disarankan tidak lebih dari 0,1 mg/L.
Tren grafik amonia, pada awal penelitian cukup rendah, berkisar antara
0,67 x 10-3 – 0,15 x 10-2 (hari ke-0 sampai 14). Hal tersebut menunjukkan,
ekskresi amonia oleh lobster (sisa pakan dan feses) belum banyak terakumulasi di
air. Pada hari ke-21 sampai 35, konsentrasi amonia mengalami peningkatan,
sebagai indikasi meningkatnya akumulasi buangan sisa pakan dan feses.
Konsentrasi amonia kemudian cenderung mengalami penurunan sampai pada
akhir penelitian. Hal ini disebabkan, proses nitrifikasi, yaitu konversi amonia
menjadi nitrit, kemudian nitrit menjadi nitrat oleh bakteri mulai berjalan, sehingga
konsentrasi amonia mengalami penurunan.

Respons Gambaran Hemolymph Lobster
Respons THC Hemolymph Lobster pada Berbagai Macam Shelter
Stres menggambarkan kondisi terganggunya homeostasi hingga berada
diluar batas normal serta proses-proses pemulihan untuk diperbaiki. Stres
berpengaruh pada sistem kekebalan ikan melalui jalur metabolik (Hastuti et al.
2004; Leland et al. 2013; Yeh et al. 2010). Total Hemocyte Count memainkan
peranan penting dalam sistem imun krustasea. Menurut Gunanti et al. (2009),
komposisi hemolymph dapat diukur dan dapat digunakan sebagai penilaian
kesehatan krustasea melalui karakteristik dan aktivitas sistem pertahanan terhadap
agen infeksius yang diperankan oleh hemosit. Hemosit berperan dalam
fagositosis, enkapsulasi, degranulasi dan agregasi nodular terhadap patogen atau
partikel asing.
Respons THC pada berbagai shelter selama penelitian dapat dilihat pada
Gambar 13.

15

Gambar 13

Respons THC lobster pada berbagai macam Shelter selama
penelitian. (A) shelter jaring, (B) shelter paralon, (C) shelter
lubang angin, (K) kontrol. Huruf kecil yang berbeda dalam
grafik menunjukkan beda nyata (p