Evaluasi Dampak Relokasi Nelayan Kali Adem Terhadap Masyarakat Desa Karang Song Indramayu

(1)

EVALUASI DAMPAK RELOKASI

NELAYAN KALI ADEM TERHADAP MASYARAKAT DESA KARANG SONG INDRAMAYU

E. HERMAN KHAERON

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Dampak Relokasi Nelayan Kali Adem Terhadap Masyarakat Desa Karang Song Indramayu, adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2007

E. Herman Khaeron C525010254


(3)

ABSTRAK

Penggusuran terhadap pemukiman yang didiami oleh sekitar 1.600 keluarga nelayan di bantaran Sungai Kali Adem, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara telah dilakukan pada November 2003. Terkait dengan hal tersebut, pemerintah Kabupaten Indramayu telah menyiapkan lahan di Desa Karang Song sebagai tempat untuk pemukiman kembali yang dapat menampung sekitar 240 keluarga nelayan.

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi relokasi terhadap kondisi sosial ekonomi, aspek fisik, aspek lingkungan, maupun aspek teknologi pada masyarakat pemukiman relokasi di Desa Karang Song yang merupakan nelayan asal Kali Adem, serta mengkaji dampak adanya penduduk pendatang di pemukiman relokasi Desa Karang Song terhadap kondisi sosial budaya masyarakat sekitar pemukiman relokasi Desa Karang Song pasca program relokasi.

Penelitian dilakukan di Desa Karang Song, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat pada bulan Pebruari – April 2005. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei. Responden ditentukan dengan menggunakan metode pengambilan contoh sistematis (systematic sampling). Populasi pengambilan sampel untuk penelitian ini terdiri dari dua populasi penduduk di pemukiman relokasi dan populasi penduduk di sekitar pemukiman relokasi. Jumlah total responden yang diambil sebanyak 60 responden. Hasil survei pendahuluan tentang karakteristik umum masyarakat nelayan Kali Adem yang tinggal di Desa Karang Song (penduduk pemukiman relokasi) serta penduduk sekitar pemukiman relokasi menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan informasi serta alasan relokasi antara penduduk pemukiman relokasi dan penduduk sekitar pemukiman relokasi. Sekitar 60% penduduk pemukiman relokasi dan juga penduduk sekitar pemukiman relokasi adalah berpendidikan sekolah dasar (SD). Sekitar 70% penduduk pemukiman relokasi dan 40% penduduk sekitar pemukiman relokasi berprofesi sebagai nelayan.

Hasil penelitian pada penduduk di daerah pemukiman relokasi menunjukkan bahwa program relokasi telah memberikan perbaikan yang nyata (p<0.005) pada indikator-indikator ketersediaan fasilitas tempat tinggal, kondisi tempat tinggal pemukiman relokasi, ketersediaan fasilitas peribadatan, frekuensi kegiatan keagamaan, ketersediaan pos-pos keamanan, kesadaran bahaya pencemaran lingkungan, teknologi pengolahan ikan, serta pola pergaulan muda-mudi. Namun terjadi penurunan yang nyata (p<0.005) pada indikator pendapatan bulanan dan ketersediaan lapangan kerja.

Hasil penelitian pada penduduk sekitar pemukiman relokasi menunjukkan bahwa program relokasi telah memberikan perbaikan yang nyata (p<0.005) pada indikator-indikator fasilitas kesehatan, fasilitas kegiatan perikanan, fasilitas pendidikan, dan teknologi pengolahan ikan.

Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa program relokasi telah memberikan perbaikan secara umum pada kualitas hidup masyarakat pemukiman relokasi maupun penduduk pemukiman di sekitar relokasi Desa Karang Song, meskipun belum memberikan dampak yang signifikan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Kata Kunci : Desa Kali Adem, bencana banjir, nelayan, program relokasi, Desa Karang Song


(4)

ABSTRACT

As one of the alternative solution program in overcoming the flood problems in Jakarta Province, the government has relloccated fishermen stayed at the edge of Kali Adem area in North Jakarta municipality to Karang Song village at Indramayu district in Province of Central Java, mainly due to the fact that those fishermen generally were coming from Indramayu district. This research was conducted to observe the influence of reloccation program towards the prosperity level of relloccated Kali Adem’s fishermen to Karang Song village and also towards the community stayed surrounding Karang Song village. Results showed that relloccation program has significantly (p<0.005) improved the availability of facility of community settlement and its condition, religion facility and its religious activity frequency, safety posts, the negative effect of pollutions, fish processing facility, and also youth relationship model. However, this relloccation program has significantly decreased the family monthly income and the availability of job. Further, the relloccation program has also significantly (p<0.005) improved towards health facility, fishery activity facility, educational facility, and also fish processing facility in areas surrounding Karang Song village; but not for other indicators. It could be concluded that relloccation program has already given the improvement in living quality of both of relloccated fishermen and communities stayed around Karang Song village.

Key words : Kali Adem village, flood problem, fishermen, relloccation program, Karang Song village.


(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun,


(6)

EVALUASI DAMPAK RELOKASI

NELAYAN KALI ADEM TERHADAP MASYARAKAT DESA KARANG SONG INDRAMAYU

E. HERMAN KHAERON

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007


(7)

Judul Tesis : Evaluasi Dampak Relokasi Nelayan Kali Adem Terhadap Masyarakat Desa Karang Song Indramayu

Nama : E. Herman Khaeron

NIM : C525010254

Program Studi : Teknologi Kelautan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc. Prof.Dr.Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc.

Ketua Anggota

Diketahui,

Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ketua,

Prof. Dr. Ir. John Haluan, MSc. Prof Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.


(8)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : E. Herman Khaeron Tempat, Tanggal Lahir : Kuningan, 4 Mei 1969 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Status : Nikah, dr. Ratnawati, Anak : Kamilah & Raihani Alamat : Pondok Mitra Lestari Blok A 8 No 5 Bekasi Selatan

Tlp/Fax : 021-8219419 Hp. 0811905512 Email : hermakh@yahoo.com

Pendidikan

Tahun 1976-1982 SD Negeri Garawangi I Kuningan Tahun 1982-1984 SMP Negeri IV Karawang

Tahun 1985-1987 STM Negeri Karawang, Jurusan Mekanika Teknik.

Tahun 1991-1996 Sarjana (S1) : Teknik dan Manajemen Industri, Universitas Islam Bandung.

Pengalaman Pekerjaan

Tahun 1996 – 1997 Manajer Produksi PT. Star Metal Ware Industry

Tahun 1997 – 1999 Ass. Manajer Operasional PT. Aquatec Maxcon Indonesia Tahun 1999 – 2000 Manajer Pengembangan PT. Cides Persada Consultant Tahun 2000 – 2003 Government and Public Affair BP Indonesia

Tahun 2001 – Sekarang Direktur Eksekutif Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R)

Tahun 2001 – Sekarang Direktur Utama PT. Swadaya Budi Hartama Tahun 2003 – Sekarang Wakil Sekretaris Yayasan Perisai Laut Indonesia. Tahun 2004 – Sekarang Sekjen Jaringan Ekonomi Masyarakat Pesisir Indonesia. Tahun 2005 – Sekarang Ketua Departemen Kelautan dan Perikanan Dewan

Pimpinan Pusat Partai Demokrat.

Tahun 2006 – Sekarang Sekretaris Departemen IPTEK ICMI Pusat

Tahun 2006 – Sekarang Anggota Badan Pengawas Gabungan Koperasi Pesisir Nusantara.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT., atas berkah, hidayat dan taufik-Nya penyusunan tesis ini dapat kami selesaikan.

Tesis ini berjudul “ Evaluasi Dampak Relokasi Nelayan Kali Adem Terhadap Masyarakat Desa Karang Song Indramayu . Penelitian ini dilakukan di Desa Karang Song pada bulan Pebruari sampai dengan Maret 2005 dan di verifikasi pada bulan Januari 2007, atas biaya sendiri. Tesis ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi penelitian Institut Pertanian Bogor, dan menjadi pedoman pengambil kebijakan bagi pemerintah dalam hal relokasi nelayan.

Dalam penyusunan tesis ini, kami banyak mendapatkan arahan dan bimbingan dari Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc., selaku anggota komisi pembimbing, untuk karenanya kami meyampaikan banyak terima kasih.

Demikian pula, kepada semua pihak, sahabat dan rekan-rekan yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini, terutama untuk ibu dan ayahanda yang telah membesarkan saya dengan segala daya dan upayanya; dr. Ratnawati sebagai istri yang dengan setia selalu mendorong dan mendampingi dalam penyelesaian studi. Juga dipersembahkan untuk kebanggaan anak-anak : Kamilah dan Raihani, semoga menjadi motivasi dalam mencapai jenjang pendidikannya yang lebih baik.

Kami menyadari, bahwa dengan segala keterbatasan dalam penulisan tesis ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu kami mengharapkan kritikan dan masukan yang sifatnya membangun demi penyempurnaannya.

Jakarta, Maret 2007


(10)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL...

DAFTAR GAMBAR……….

DAFTAR LAMPIRAN………….

1 PENDAHULUAN………..

1.1 Latar Belakang………... 1.2 Perumusan Masalah………... 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian……….……….. 1.4 Hipotesis Penelitian ... 1.5 Kerangka Pemikiran...

2 TINJAUAN PUSTAKA ………

2.1 Kesejahteraan Sosial……….……….……….... 2.2 Pembangunan Masyarakat Pesisir...……….. 2.2.1 Batasan wilayah pesisir………... 2.2.2 Kebijakan pemerintah (otonomi daerah)... 2.2.3 Pemanfaatan sumberdaya pesisir... 2.2.4 Karakteristik masyarakat nelayan... 2.2.5 Interaksi dan konplik sosial masyarakat... 2.3 Pemeliharaan dan Pelestarian Lingkungan... 2.4 Infrastruktur dan Kelembagaan... 2.5 Transmigrasi, Urbanisasi dan Relokasi... 2.5.1 Dampak akibat pemukiman kembali... 2.5.2 Masalah pemukiman kembali... 2.5.3 Tata cara pelaksanaan yang baik... 2.5.4 Relokasi... 2.6 Model Proses Implementasi Kebijakan... 2.7 Pembangunan Masyarakat Desa... 2.8 Kebijakan Pemerintah Pusat...

3 METODOLOGI PENELITIAN... 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian... 3.2 Alur Penelitian... 3.3 Metode Pengambilan Contoh dan Pengukuran... 3.3.1 Data primer... 3.3.2 Data sekunder... 3.3.3 Penentuan responden...

v vi ix 1 1 3 4 5 5 7 7 9 11 11 13 13 15 16 18 19 20 21 24 25 31 33 34 37 37 37 39 39 39 40


(11)

3.3.4 Pengukuran variabel indikator sosial ekonomi masyarakat... 3.3.5 Metode analisis data...

4 HASIL DAN PEMBAHASAN... 4.1 Hasil...

4.1.1 Potensi Kabupaten Indramayu... 4.1.2 Desa Karang Song Kecamatan Indramayu... 4.1.3 Masyarakat nelayan Kali Adem... 4.1.4 Interpretasi pengaruh relokasi... 4.1.5 Interpretasi tingkat kesejahteraan... 4.2 Pembahasan... 4.2.1 Potensi Kabupaten Indramayu... 4.2.2 Pengaruh relokasi terhadap tingkat kesejahteraan...

5 KESIMPULAN DAN SARAN... 5.1 Kesimpulan...

5.2 Saran...

DAFTAR PUSTAKA...

LAMPIRAN... 41 43

49 49 49 66 67 67 88 95 95 101

122 122 123

125

128


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jenis dampak utama pemukiman kembali dan langkah-langkah

penanggulangan... 2 Pemukiman kembali pada berbagai jenis proyek... 3 Pilihan relokasi dan bantuan... 4 Relokasi dalam siklus proyek... 5 Indikator kesejahteraan... 6 Tabel kontingensi frekuensi pengamatan dan frekuensi harapan... 7 Jumlah penduduk Kecamatan Indramayu menurut jenis kelamin, tahun 2005... 8 Laporan data penduduk kepala keluarga bulan Desember 2006...

21 22 27 30 42 47

53 66


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka relokasi nelayan ... 2 Kerangka pemikiran penelitian... 3 Pengukuran dasar dan tujuan... 4 Peta lokasi penelitian... 5 Alur penelitian... 6 Ilustrasi populasi pada pengambilan sampel penelitian……….. 7 Ilustrasi interpretasi penelitian... 8 Luas areal tanah sawah dan tanah kering…... 9 Banyaknya anggota Korpri…... 10 Banyaknya anggota DPRD..………...………. 11 Hasil pencapaian imunisasi... 12 Banyaknya petugas medis... 13 Peserta KB aktif... 14 Banyaknya jumlah guru... 15 Produksi palawija………... 16 Produksi ikan laut segar..…... 17 Kontribusi hasil hutan... 18 Banyaknya pencari kerja... 19 Panjang jalan... 20 Banyaknya korban kecelakaan... 21 Banyaknya pengunjung tempat rekreasi... 22 PDRB Kabupaten Indramayu ...…... 23 Laju pertumbuhan ekonomi... 24 Karakteristik umum penduduk Desa Karang Song... 25 Sosialisasi program relokasi di Desa Karang Song... 26 Pendapatan per bulan penduduk pemukiman relokasi Karang Song...

3 6 32 37 38 40 43 50 51 51 55 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 65 68 68 69


(14)

27 Pendapatan per bulan penduduk sekitar pemukiman relokasi Karang Song.. 28 Tingkat konsumsi penduduk pemukiman relokasi Karang Song... 29 Tingkat konsumsi penduduk sekitar pemukiman relokasi Karang Song... 30 Ketersediaan fasilitas kesehatan di pemukiman relokasi Karang Song... 31 Ketersediaan fasilitas kesehatan di sekitar pemukiman relokasi Karang Song... 32 Intensitas berobat penduduk pemukiman relokasi Karang Song... 33 Intensitas berobat penduduk sekitar pemukiman relokasi Karang Song ... 34 Fasilitas kegiatan perikanan di pemukiman relokasi Karang Song... 35 Fasilitas kegiatan perikanan di sekitar pemukiman relokasi Karang Song... 36 Ketersediaan lapangan kerja penduduk pemukiman relokasi Karang Song... 37 Ketersediaan lapangan kerja penduduk sekitar pemukiman relokasi Karang Song... 38 Ketersediaan fasilitas pendidikan pemukiman relokasi Karang Song... 39 Ketersediaan fasilitas pendidikan di sekitar pemukiman relokasi Karang Song... 40 Tingkat pendidikan hingga SLTP penduduk pemukiman relokasi Karang Song... 41 Tingkat pendidikan hingga SLTP penduduk di sekitar pemukiman relokasi Karang Song... 42 Ketersediaan sarana transportasi di pemukiman relokasi Karang Song... 43 Ketersediaan sarana transportasi di sekitar pemukiman relokasi Karang Song... 44 Kemudahan transportasi di pemukiman relokasi Karang Song... 45 Kemudahan transportasi di sekitar pemukiman relokasi Karang Song... 46 Fasilitas tempat tinggal di pemukiman relokasi Karang Song... 47 Fasilitas tempat tinggal di sekitar pemukiman relokasi Karang Song... 48 Kondisi tempat tinggal di pemukiman relokasi Karang Song... 49 Kondisi tempat tinggal di sekitar pemukiman relokasi Karang Song... 50 Fasilitas peribadatan di pemukiman relokasi Karang Song... 51 Fasilitas peribadatan di sekitar pemukiman relokasi Karang Song... 52 Kegiatan keagamaan tiap bulan di pemukiman relokasi Karang Song ...

69 70 70 71 71 72 72 73 73 74 74 75 75 76 76 77 77 78 78 79 79 80 80 81 81 82


(15)

53 Kegiatan keagamaan tiap bulan di sekitar pemukiman Karang Song... 54 Fasilitas pos keamanan di pemukiman relokasi Karang Song... 55 Fasilitas pos keamanan di sekitar pemukiman relokasi Karang Song... 56 Kejadian kerusakan lingkungan di pemukiman relokasi Karang Song... 57 Kejadian kerusakan lingkungan di sekitar pemukiman relokasi Karang Song... 58 Kondisi teknologi penangkapan ikan di pemukiman relokasi Karang Song.. 59 Kondisi teknologi penangkapan ikan di sekitar pemukiman Karang Song.... 60 Kondisi pengolahan ikan skala UMKM di pemukiman relokasi Karang Song... 61 Kondisi pengolahan ikan skala UMKM di sekitar pemukiman relokasi Karang Song... 62 Pergaulan muda-mudi di pemukiman relokasi Karang Song... 63 Pergaulan muda-mudi di sekitar pemukiman relokasi Karang Song... 64 Tingkat pendapatan dan konsumsi penduduk pemukiman relokasi dan di sekitar pemukiman Karang Song (sebelum dan sesudah relokasi)... 65 Tingkat kesehatan penduduk pemukiman relokasi dan di sekitar

pemukiman Karang Song (sebelum dan sesudah relokasi)... 66 Kondisi pendidikan penduduk pemukiman relokasi dan di sekitar

pemukiman Karang Song (sebelum dan sesudah relokasi)... 67 Kondisi lingkungan fisik penduduk pemukiman relokasi dan di sekitar pemukiman Karang Song (sebelum dan sesudah relokasi)... 68 Interaksi sosial penduduk pemukiman relokasi dan sekitar pemukiman Karang Song (sebelum dan sesudah relokasi)...

82 83 83 84

84 85 85

86

86 87 87

116

118

119

120


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Data Kabupaten Indramayu... 2 Tabulasi data hasil penelitian... 3 Karakteristik responden hasil penelitian... 4 Kuesioner penelitian...

128 136 150 188


(17)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mengingat dua per tiga dari luas wilayah Indonesia merupakan lautan maka merupakan sebuah keharusan dari pemerintah untuk memperhatikan pembangunan di sektor perikanan dan kelautan. Sektor perikanan dan kelautan yang mencakup perikanan laut, air payau dan perairan tawar, pertambangan minyak dan gas, industri maritim, jasa angkutan dan perhubungan laut, pariwisata bahari, dan bangunan kelautan merupakan potensi yang sangat besar untuk pertumbuhan ekonomi bangsa. Kesejahteraan dan pertumbuhan sosial ekonomi masyarakat nelayan merupakan platform yang utama dalam pembangunan perikanan dan kelautan.

Paradigma pembangunan perikanan pada dasarnya mengalami evolusi dari paradigma konservasi (biologi) ke paradigma rasionalisasi (ekonomi) kemudian ke paradigma sosial/komunitas. Pandangan pembangunan perikanan yang berkelanjutan haruslah mengakomodasikan ketiga aspek tersebut. Oleh karenanya konsep pembangunan perikanan yang berkelanjutan sendiri mengandung aspek (Fauzi et al., 2002) :

1) Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga tidak melewati daya dukungya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistim menjadi konsern utama.

2) Socio-economic sustainabilty (keberlanjutan sosio-ekonomi). Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan perikanan harus memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pelaku perikanan baik pada tingkat individu. Dengan kata lain mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan konsern dalam kerangka keberlanjutan ini.

3) Community sustainability, mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan.

4) Institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan). Dalam kerangka ini keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut memelihara aspek finansial dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat dari ketiga pembangunan berkelanjutan di atas.


(18)

Kawasan pesisir merupakan suatu wilayah yang menjadi salah satu sasaran dan target untuk pembangunan sektor perikanan dan kelautan, mengingat sekitar 90% komunitas nelayan tinggal dan menggantungkan kehidupan di daerah tersebut. Desa Karang Song, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu Jawa Barat merupakan salah satu wilayah pesisir yang baru-baru ini dijadikan tempat relokasi nelayan dari daerah Kali Adem akibat penggusuran oleh Pemerintah DKI Jakarta. Pada bulan November 2003 telah dilakukan penggusuran terhadap pemukiman yang didiami oleh sekitar 1.600 keluarga nelayan di bantaran Sungai Kali Adem, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Penggusuran yang dilakukan pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merupakan suatu kebijakan dalam rangka menertibkan daerah-daerah bantaran sungai sebagai bagian dari upaya penanggulangan masalah banjir di Jakarta. Sebagian besar dari keluarga nelayan yang tergusur dari bantaran Sungai Kali Adem, berasal dari daerah Indramayu. Menyikapi permasalahan yang sedang dihadapi keluarga-keluarga nelayan yang tergusur dari bantaran Sungai Kali Adem, Pemerintah Kabupaten Indramayu telah menyiapkan lahan di Desa Karang Song sebagai tempat untuk pemukiman kembali yang dapat menampung 400 keluarga nelayan, dan 240 unit pemukiman diantaranya untuk keluarga nelayan asal Kali Adem.

Meski demikian relokasi masyarakat nelayan Kali Adem tetap harus memperhatikan efektivitas dan efisiensi dari program tersebut. Dengan memperhatikan karakteristik nelayan Kali Adem dan masyarakat Karang Song sebagai penduduk setempat yang berhubungan langsung dengan relokasi tersebut. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan program relokasi nelayan tersebut di antaranya adalah kondisi sosial, budaya, ekonomi, sumberdaya yang dihadapi dan teknologi yang biasanya digunakan. Aspek-aspek inilah yang harus benar-benar diperhatikan oleh pemerintah, karena apabila hal ini tidak dipahami maka keberhasilan dari program relokasi ini akan menjadi sebuah pertanyaan besar. Kegagalan pelaksanaan program pembangunan menimbulkan terjadinya dampak negatif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Karang Song itu sendiri.

Mengingat selama ini, program-program pembangunan yang ditujukan pada masyarakat nelayan kerap mengabaikan karakteristik masyarakat nelayan sehingga menuai kegagalan. Oleh sebab itu diperlukan suatu manajemen strategi yang tepat, yang


(19)

bersifat multidimensional, sehingga diharapkan mampu menghindarkan timbulnya kesan yang menjadikan penduduk atau nelayan sebagai obyek pembangunan saja maupun untuk alasan-alasan politis lainnya.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas penelitian ini akan difokuskan pada evaluasi dampak relokasi nelayan Kali Adem terhadap pengembangan sosial ekonomi masyarakat Desa Karang Song sebagai masyarakat yang berhubungan langsung.

1.2 Perumusan Masalah

Kebijakan pemerintah menanggulangi masalah penduduk Desa Kali Adem, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara yang terkena penggusuran, yaitu dengan menempatkan mereka di Desa Karang Song, Indramayu, memberikan dampak pada kondisi sosial ekonomi, kemasyarakatan dan juga sistem kelembagaan serta struktur fisik Desa Karang Song. Hal ini terutama disebabkan karena tercabutnya jaringan sosial ekonomi yang telah terbentuk di tempat tinggal asal, dan mesti membangun kembali jaringan tersebut di tempat yang baru.

Dengan adanya penduduk pendatang yang sebagian besar memiliki mata pencaharian dan keahlian sebagai nelayan, dan membawa karakter sosial ekonomi juga kemasyarakatan dari asal tempat tinggalnya di Jakarta, akan memberikan pengaruh terhadap aspek kemasyarakatan maupun fisik seperti unit-unit kelembagaan, ekonomi dan lingkungan atau sumberdaya alam pada Desa dan masyarakat Karang Song (Gambar 1).

Gambar 1 Kerangka relokasi nelayan.

Program Relokasi Nelayan melalui:

- Penyediaan pemukiman - Pemulihan jaringan

sosial ekonomi Permasalahan:

- Kehilangan tempat tinggal - Terputusnya

jaringan sosial ekonomi

Hasil yang Diharapkan:

- Tersedianya Pemukiman baru - Terpulihkannya

jaringan sosial ekonomi - Memberikan

dampak positif terhadap masyarakat di sekitarnya PENGGUSURAN


(20)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dampak yang ingin diketahui dengan adanya masyarakat pendatang dari Desa Kali Adem tehadap Desa Karang Song, atas dasar kebijakan pemerintah menerapkan sistem relokasi adalah:

1) Bagaimana dampak program relokasi terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Desa Karang Song ?

2) Bagaimana dampak program relokasi terhadap aspek kemasyarakatan (sosial, ekonomi, perilaku) dan aspek fisik (infrastrukur, sarana dan prasarana perikanan) pada masyarakat pemukiman relokasi di Desa Karang Song dan sekitarnya ?

3) Bagaimana persepsi masyarakat yang berada di luar atau sekitar Desa Karang Song terhadap Desa Karang Song pasca relokasi?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Tujuan

1) Mengevaluasi kondisi sosial ekonomi masyarakat di pemukiman relokasi Desa Karang Song dan sekitarnya pada pra- dan pasca- relokasi.

2) Mengevaluasi aspek fisik, teknologi dan lingkungan masyarakat di pemukiman relokasi Desa Karang Song dan sekitarnya pada pra- dan pasca- relokasi.

3) Mengkaji pengaruh kehadiran penduduk pendatang terhadap kondisi sosial budaya masyarakat Desa Karang Song pasca relokasi.

1.3.2 Manfaat

1) Sebagai bahan masukan dalam menentukan strategi yang optimal kebijakan pembangunan dan pengelolaan Desa Karang Song.

2) Memberikan gambaran yang jelas bagi berbagai pihak terkait mengenai program relokasi yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam hal menanggulangi masalah penggusuran lahan di bantaran kali daerah perkotaan.

3) Memberikan gambaran yang lebih jelas tentang kondisi terkini serta kebutuhan-kebutuhan pembangunan fisik pada masyarakat pemukiman relokasi Desa Karang Song maupun masyarakat sekitarnya.


(21)

1.4 Hipotesis Penelitian

Relokasi telah memberikan dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan asal Kali Adem, maupun terhadap masyarakat di sekitar pemukiman relokasi di Desa Karang Song.

1.5 Kerangka Pemikiran

Desa Karang Song secara geografis berada di wilayah pesisir pantai Pulau Jawa memiliki masyarakat dengan pola mata pencaharian sebagai nelayan. Dengan mengandalkan potensi sumber daya laut, sebagian besar penduduk bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil menangkap ikan. Pemanfaatan sumberdaya laut oleh masyarakat Desa Karang Song dapat dilihat sebagai suatu perilaku ekonomi masyarakat.

Adanya penduduk pendatang, yaitu warga dari Desa Kali Adem, yang memiliki pola mata pencaharian yang sama sebagai nelayan, dan berarti juga bertambahnya penduduk Desa Karang Song, serta pelaksanaan program relokasi oleh pemerintah yang secara fisik berperan dalam pembangunan akan menghasilkan dampak terhadap kondisi sosial ekonomi dan kemasyarakatan juga kondisi fisik Desa Karang Song.

Pengaruh dari program relokasi terhadap masyarakat Desa Karang Song tentu akan berbeda pada setiap individu tergantung pada umur, mata pencaharian, pendidikan, jumlah anggota keluarga, pendapatan, lama tinggal dan tingkat kesejahteraan. Pengaruh program relokasi terhadap penduduk asal Desa Karang Song dapat dikaji melalui persepsi mereka terhadap kondisi ekonomi, perubahan gaya hidup, hubungan sosial antar masyarakat, sistem kelembagaan, dan unit-unit ekonomi yang ada, serta asumsi masyarakat yang berada di luar atau sekitar wilayah Desa Karang Song.

Setelah pengaruh-pengaruh dari hasil program relokasi diketahui, maka diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk membuat suatu arahan strategi pembangunan Desa Karang Song khususnya dan desa-desa sebagai penampung relokasi lainnya, yang menguntungkan semua pihak terkait. Secara skematis kerangka pemikiran penelitian ini dijelaskan pada Gambar 2.


(22)

Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian.

Suatu lingkungan hidup yang berkualitas tinggi dapat menjamin daya huni (habitability) yang tinggi pula bagi penghuninya dalam hal ini populasi manusia. Menurut ekologi umum, jenis-jenis sumberdaya yang menentukan tinggi rendahnya daya huni tadi meliputi materi, energi, ruang, waktu dan keragaman (diversity). Kualitas lingkungan yang tinggi membutuhkan fasilitas yang murah bagi tercapainya kualitas hidup yang tinggi pula. Akan tetapi ini erat sekali hubungannya dengan budaya, termasuk di dalamnya teknologi dari penduduk yang besangkutan. Jelasnya, sampai seberapa jauh penduduk mendayagunakan sumber-sumber tersebut. Sikap terhadap alam sekitar ataupun faham agama tertentu ikut mempengaruhi intensitas campur tangan manusia ke dalam lingkungannya (Daldjoeni dan Suyitno, 1986).

Bencana Alam Banjir di Kali Adem,

DKI Jakarta

Pemerintah DKI Jakarta

Pemerintah Kab Indramayu

Program relokasi nelayan

Desa Karang Song (Kab Indramayu) Nelayan Kali

Adem

Masyarakat Desa Karang Song

Permasalahan-permasalahan pra- dan pasca-relokasi

Ekonomi Sosial Infrastruktur Perumahan Kesehatan Teknologi Pendidikan


(23)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kesejahteraan Sosial

Istilah kesejahteraan sosial bukanlah hal baru, baik wacana global maupun nasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah lama mengatur masalah ini sebagai salah satu bidang kegiatan masyarakat internasional (Suharto, 2005). PBB memberi batasan kesejahteraan sosial sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisasi yang bertujuan untuk membantu individu atau masyarakat guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan meningkatkan kesejahterannya selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat. Definisi ini menekankan bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu institusi atau bidang kegiatan yang melibatkan aktivis terorganisir yang diselenggarakan baik oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta yang bertujuan untuk mencegah, mengatasi atau memberikan kontribusi terhadap pemecahan masalah sosial, dan peningkatan kualitas hidup individu, kelompok dan masyarakat (Suharto, 2005).

Di Indonesia, konsep kesejahteraan sosial telah ada dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, merumuskan kesejahteraan sosial sebagai : ’’ Suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir dan bathin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak atau kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila”.

Di dalam UUD 1945, kesejahteraan sosial menjadi judul khusus BAB XIV yang didalamnya memuat Pasal 33 tentang sistem perekonomian dan Pasal 34 tentang kepedulian negara terhadap kelompok lemah (fakir miskin dan anak-anak terlantar) serta sistem jaminan sosial. Dengan demikian, kesejahteraan sosial pada intinya mencakup tiga konsepsi, yaitu : Pertama, Kondisi kehidupan atau keadaan sejahtera dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial. Kedua, Institusi sebagai arena atau bidang kegiatan yang melibatkan lembaga kesejahteraan sosial dan berbagai profesi kemanusiaan yang menyelenggarakan usaha kesejahteraan sosial dan pelayanan sosial.


(24)

Ketiga, Aktivitas sebagai implimentasi dari kegiatan-kegiatan atau usaha yang terorganisir untuk mencapai kondisi sejahtera (Suharto, 2005).

UU Perikanan No. 31 tahun 2004, membersitkan harapan bagi nelayan. Di bawah Bab X Pemberdayaan Nelayan Kecil dan Pembudidaya Ikan Kecil, Pemerintah dituntut memberdayakan nelayan dan pembudidaya ikan melalui penyediaan skim kredit, baik untuk modal usaha maupun biaya operasional, dengan cara yang mudah dan bunga pinjaman yang rendah. Pemerintah juga menyediakan dan mengusahakan dana untuk memberdayakan nelayan dan pembudidaya ikan, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun sumber luar negeri. Untuk peningkatan kualitas SDM nelayan dan pembudidaya ikan (Saad, 2004).

Pemerintah menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengolahan, dan pemasaran ikan. Pemerintah juga akan mendorong korporatisasi nelayan dan pembudidaya ikan melalui penumbuhkembangan kelompok usaha dan koperasi.

Nelayan kecil, menurut UU Perikanan, diberikan keleluasaan untuk melakukan penangkapan ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Namun untuk kepentingan statistik dan pemberdayaan, nelayan kecil harus mendaftarkan diri, usaha, dan kegiatannya kepada instansi perikanan setempat, tanpa dikenakan biaya. Nelayan kecil juga dibebaskan dari kewajiban membayar pungutan perikanan.

UU Perikanan juga mendorong masyarakat agar ikut berpartisipasi dalam pemberdayaan nelayan dan pembudidaya ikan. Demikian pula pengusaha perikanan harus mendorong kemitraan usaha yang saling menguntungkan dengan kelompok nelayan kecil. Secara normatif, UU Perikanan sudah cukup komprehensif mengatur pemberdayaan masyarakat dan membersitkan harapan bagi nelayan. Akan tetapi diperlukan kerja keras pemerintahan baru untuk menjelmakannya ke dalam realitas sehari-hari. Keterbatasan akses permodalan akan dipecahkan melaui penyediaan skim kredit mudah dan murah. Hal ini bukan persoalan mudah, karena Pemerintah tidak lagi memiliki otoritas mendikte Bank Indonesia untuk menyediakan skim kredit program seperti pada masa lalu, sementara kemampuan finansial pemerintah sangat terbatas (Saad, 2004).


(25)

2.2 Pembangunan Masyarakat Pesisir

Mengembangkan atau membangun ekonomi masyarakat pesisir memiliki derajat komplikasi yang lebih besar, oleh sebab itu sedikit berbeda dibandingkan dengan membangun kawasan pedalaman (hinterland). Hal ini disebabkan kawasan pesisir memiliki karakteristik sumberdaya alam yang berbeda, sehingga mempengaruhi tindakan dan aksi pelaku ekonominya. Kondisi alam membuat ada perbedaan masyarakat dalam pandangan, sikap dan tindakan mereka dalam hal mengembangkan ekonomi kawasan pesisir (Nikijuluw, 2005).

Kondisi alam yang berbeda dan seterusnya menyebabkan perbedaan pandangan, sikap, dan tindakan masyarakat ini patut dipahami oleh coastal manager (pelaku pembangunan kawasan pesisir). Pemahaman tersebut diperlukan supaya pembangunan ekonomi di kawasan pesisir tepat arah, sasaran, guna, dan manfaat.

Penyebab degradasi dan marjinalisasi kawasan pesisir yang terjadi di Indonesia, lebih disebabkan oleh : Sebagian besar sumberdaya hayati pesisir telah mengalami eksploitasi lebih dan ekosistem pesisir mengalami tekanan yang berat, terjadi degradasi lingkungan karena kerusakan dan polusi baik yang berasal dari laut dan daratan, kemiskinan dan proses pemiskinan terus berlangsung dengan semakin timpangnya pendapatan, kelembagaan yang ada tidak tepat untuk menjawab permasalahan yang muncul, penegakan hukum tidak berjalan dengan baik, kurangnya pelaksanaan pembangunan secara terintegrasi, dan rendahnya kapasitas masyarakat meskipun potensinya ada dan cukup besar (Nikijuluw, 2005).

Departemen Kelautan dan Perikanan sudah selayaknya memberikan perhatian khusus terhadap potensi kelautan dan perikanan untuk selanjutnya menerapkan program-program pengembangan berbagai jenis kegiatan di sektor-sektor kelautan dan perikanan di Indonesia. Salah satunya adalah mendorong terjadinya investasi di beberapa sektor kelautan dan perikanan yang dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat Indonesia secara umum. Sebagai langkah pertama, perlu dilakukan identifikasi terhadap berbagai jenis kegiatan di sektor-sektor kelautan dan perikanan yang dapat memberikan kontribusi besar bagi masyarakat Indonesia. Dari kegiatan tersebut selanjutnya ditentukan sektor-sektor di kelautan dan perikanan yang diprioritaskan untuk dikembangkan (Resosudarmo et al., 2002).


(26)

Langkah kedua adalah memperkirakan pelaku-pelaku ekonomi yang akan melakukan investasi di sektorsektor prioritas tersebut untuk kemudian menciptakan sistem insentif yang mendorong mereka agar segera berinvestasi. Pengembangan program untuk merangsang investasi di sektor-sektor kelautan dan perikanan penting dilakukan setidaknya untuk dua alasan. Pertama, sering terjadinya informasi asimetris di pasar membuat para calon pelaku investasi tidak dapat melihat manfaat besar yang akan diterimanya jika melakukan investasi di suatu sektor. Kedua, kalaupun informasi di pasar sempurna, seringkali pilihan untuk melakukan investasi jatuh di sektor-sektor yang sangat menguntungkan bagi investor, tapi manfaatnya bagi kebanyakan orang relatif kecil (Resosudarmo et al., 2002).

Memperkirakan siapa pelaku investasi perlu dilakukan sebelum perumusan suatu sistem insentif. Perhatikan, umumnya, setiap pemberian insentif kepada satu pihak akan memberikan konsekuensi beban kepada pihak pemberi insentif, dalam hal ini pemerintah Indonesia. Sebagai contoh, insentif berupa penyederhanaan proses perijinan. Baik langsung maupun tidak langsung, ada biaya yang perlu dikeluarkan oleh lembaga pemberi ijin untuk mengubah proses perijinan yang diaturnya menjadi lebih sederhana. Pemberian insentif yang tidak tepat sasaran hanya menimbulkan biaya pada pemberi insentif, sementara itu pihak yang diberi insentif belum tentu terdorong untuk melakukan investasi.

Selanjutnya perlu ditentukan kriteria-kriteria agar sebuah sektor dapat dikatakan sektor prioritas, dengan menggunakan kriteria sederhana sebagai berikut (Resosudarmo et al., 2002) :

1) Sektor Prioritas Jangka Pendek adalah sektor-sektor yang dampak dari investasi di sektor-sektor terhadap kenaikan total produksi dan pendapatan masyarakat relatif besar. Dalam hal ini, kenaikan total produksi dan pendapatan masyarakat digunakan sebagai kriteria. Pertimbangannya, strategi jangka pendek hendaknya diarahkan pada hal-hal yang langsung terasa manfaatnya pada masyarakat dan dapat menunjang kenaikan aktivitas perekonomian sesegera mungkin.

2) Sektor Prioritas Jangka Panjang adalah sektor-sektor yang mampu mendorong tumbuhnya kegiatan sektor-sektor lainnya dalam perekonomian.


(27)

2.2.1 Batasan wilayah pesisir

Secara ekologis wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara ekosistem laut dan daratan, di mana segenap faktor yang bekerja di ekosistem laut dan daratan bertemu serta membentuk ekosistem yang unik. Sampai saat ini belum ada kesepakatan tentang batas kearah darat dan kearah laut dari suatu wilayah pesisir (Adiati, 1996 ).

Definisi pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Dahuri, 2003).

Pembatasan wilayah pesisir demikian menggambarkan bahwa potensi dan kekayaan wilayah pesisir yang besar. Maka perlu adanya sebuah manajemen pembangunan di bidang perikanan dan kelautan yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat pesisir, dalam hal ini nelayan.

2.2.2 Kebijakan pemerintah (otonomi daerah)

UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian di adendum menjadi UU No. 32 tahun 2006 memberikan kewenangan yang luas dan nyata kepada daerah untuk melaksanakan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya kelautan di wilayah kewenangannya, disertai dengan kewajiban untuk memelihara kelestarian lingkungan. Pemberian wewenang ini tidak menghapuskan komitmen Pemerintah Pusat dengan pelbagai konvensi internasional terkait, termasuk dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya. Kondisi tersebut di atas menunjukkan perlunya konsep terpadu dalam pengelolaan sumberdaya pesisir ini, agar memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat yang dilandasi oleh kepentingan bersama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan serta pembangunan yang berkelanjutan.

Realitas yang terjadi sejak pemberlakukan Otonomi Daerah 1 Januari 2001, menunjukkan terjadinya peralihan kebijakan yang bersifat terpusat ke daerah, dimana menimbulkan konsekuensi bagi dunia usaha, terutama di bidang kelautan yang akan


(28)

dijadikan peluang yang menjanjikan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini pula yang kemudian menjadikan banyak pertanyaan dari pihak daerah tentang masalah-masalah yang menyangkut batas penyelenggaraan usaha kelautan, penentuan kebijakan (faktor legal) yang harus dilibatkan, komposisi pembagian keuntungan yang harus seimbang, dan menyangkut masalah pengembangan masyarakat pesisir sebagai tujuan pokok (Satria, 2002).

Pelaksanaan Otonomi Daerah harus diimbangi oleh strategi yang dapat mengantisipasi permasalahan di atas, antara lain adalah dengan persiapan yang matang, kepercayaan publik, difasilitasi pemerintah pusat dan daerah, kejelasan visi pengembangan, dan kesiapan sumberdaya yang mampu beradaptasi. Hal ini hanya dapat dilaksanakan dengan demokratis, partisipasi masyarakat, kreativitas dan aspirasi masyarakat tidak saja lebih terjamin, tetapi yang lebih penting lagi adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Dudle Seers dengan definisi perkembangan ekonomi yang mencakup peningkatan output per kapita, penurunan kemiskinan absolut, perbaikan distribusi pendapatan dan peningkatan penyerapan tenaga kerja mengemukakan pemikiran strukturalis bahwa jika pertumbuhan yang berkesinambungan terjadi disektor modern yang diiringi dengan terjadinya diversifikasi struktural dalam ekonomi, maka situasi ini akan menimbulkan penyerapan tenaga kerja dari sektor tradisional ke sektor-sektor yang berproduktivitas tinggi dengan tingkat upah yang juga tinggi (Satria, 2002).

Tumbuhnya kesadaran bahwa nilai lokal dan keswadayaan masyarakat merupakan faktor penting bagi berlangsungnya pembangunan kelautan. Jika dalam model pembangunan kelautan konvensional menempatkan negara/pemerintahan sebagai aktor penting pembangunan dan bersifat top-down, maka dalam model gerakan baru aktor pembanguan tersebut didesentralisasikan kepada masyarakat pada tingkat yang paling kecil (bottom-up). Hal ini dapat diartikan bahwa kita harus menyediakan ruang yang lebih besar kepada inisiatif-inisiatif lokal yang berkembang di masyarakat untuk terlibat dalam pelaksanaannya. Pada titik ini, pengembangan daerah harus memiliki keberpihakan untuk mengikutsertakan masyarakat sebagai partisipan gerakan. Konsekuensinya, lembaga-lembaga seperti LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan Lembaga Non Pemerintah lainnya harus diberi tempat untuk berkiprah dalam proses pengembangan,


(29)

sekaligus diperlakukan sebagai alternatif atau prototip gerakan yang akan ikut berperan aktif dalam mensukseskan pembangunan kelautan (Satria, 2002).

2.2.3 Pemanfaatan sumberdaya pesisir

Secara etis dan sosiologis, partisipasi masyarakat itu sangat penting dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Secara etis, pembangunan kelautan harus memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi sebagai subyek dan bukan sebagai obyek. Secara sosiologis, keberhasilan pembangunan kelautan akan ditentukan oleh keterlibatan masyarakat dengan segenap sumberdayanya. Pelibatan ini akan menemui kesejatian dalam proses pembangunan kelautan (Satria, 2002).

Lebih penting lagi adalah secara politik harus terdapat usaha penguatan rakyat sebagai basis untuk memagari kepentingan mereka, khususnya berkaitan dengan pelaku ekonomi lainnya yang memiliki kekuatan penetrasi modal dan teknologi yang lebih besar. Model ini bergerak dalam dua level besar ; pertama, memberi ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Kedua, secara politik memberikan penguatan kepada masyarakat dalam usahanya menjalankan proses pembangunan, melalui usaha penguatan kesadaran transpormatif, penguatan organisasi, penguatan ekonomi, penguatan jaringan kerjasama, dan penguatan advokasi (Kusnadi, 2000).

Lawrence (1998) dalam Satria (2002) menyebutkan, pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan tergantung pada perhatian kepada masalah pengelolaan dan perencanaan yaitu:

1) Pengakuan terhadap pentingnya aspek ekonomi dan sosial dari wilayah pesisir.

2) Kemampuan dalam mengambil keputusan untuk merencanakan dan mengelola pemanfaatan wilayah pesisir secara berkenjutan.

3) Integrasi pengelolaan pemanfaatan wilayah pesisir yang beragam kedalam struktur sosial, budaya, hukum dan administrasi dari wilayah pesisir.

4) Pemeliharaan keutuhan fungsional dari wilayah pesisir serta ekosistem komponennya.

2.2.4 Karakteristik masyarakat nelayan

Horton et al. (1991) dalam Satria (2002), mendefinisikan masyarakat adalah sekumpulan manusia secara relatif mandiri, cukup lama hidup bersama, mendiami suatu


(30)

wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama dan melakukan sebagian besar kegiatannya didalam kompleks tersebut.

Dalam membedakan pengertian masyarakat dari satuan-satuan sosial lainnya, menurut Koentjaraningrat (1990) dalam Satria, (2002) dengan membuat matriks masyarakat yang terdiri dari sumbu horisontal yang merupakan satu-satuan sosial dan sumbu vertikal yang merupakan unsur pengikat satuan sosial tersebut. Satuan-satuan sosial tersebut mencakup kerumunan, golongan sosial, katagori sosial, jaringan sosial, kelompok, himpunan dan komunitas. Unsur pengikatnya mencakup pusat orientasi, sarana interaksi, aktivitas interaksi, kesinambungan, identitas, lokasi, sistem adat dan norma, organisasi tradisional, organisasi buatan serta pimpinan. Identitas tempat merupakan unsur pengikat yang penting dan dapat membedakannya dari satuan sosial lainnya.

Secara sosiologis, karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris seiring dengan perbedaan karakteristik sumber daya yang dihadapinya. Dimana masyarakat agraris yang direpresentasikan kaum petani menghadapi sumber daya yang terkontrol, yaitu pengelolaan lahan untuk produksi suatu komoditas dengan output yang relatif dapat diprediksi sehingga mobilitas usaha yang terjadi relatif rendah dan elemen resiko tidak terlalu besar (Satria, 2002). Masyarakat nelayan menghadapi sumberdaya yang merupakan open access, yang menyebabkan nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil yang maksimal, sehingga elemen resikonya menjadi sangat tinggi. Kondisi sumberdaya yang beresiko akan membawa karakteristik dan sikap dari masyarakat pesisir dalam hal ini nelayan adalah keras, tegas dan terbuka.

Pendekatan untuk memahami fenomena permasalahan kenelayanan tidak bisa diseragamkan sehingga program relokasi pun jangan sampai disamakan dengan program transmigrasi petani (bedol desa atau hijrah). Dalam pendekatan sosiologi, masyarakat pesisir berbeda dengan masyarakat pertanian yang basisnya kegiatan di darat. Hal ini disebabkan sosiologi masyarakat pesisir ini direkonstruksi dari basis sumberdaya (resources), sedangkan sosiologi pedesaaan berbasis pada society sehingga pendekatannya pun harus berbeda. Dengan demikian, kajian-kajian sosiologi masyarakat


(31)

pesisir bersumber pada aktivitas masyarakat yang terkait dengan sumberdaya perikanan (Satria, 2002).

Sikap dan persepsi masyarakat mengenai sumberdaya pesisir dan laut di Indonesia, yang pertama adalah kenyataan bahwa pengetahuan formal masyarakat Indonesia tentang sumberdaya pesisir dan laut yang ada kurang. Hal ini berakibat pada kurangnya dasar pemikiran bagi pengambilan keputusan tentang pemanfaatan langsung sumberdaya pesisir dan laut tersebut. Di samping itu kenyataan di atas mengakibatkan kurangnya kemampuan masyarakat untuk berperan langsung dan memberikan kontribusi yang signifikan dalam perumusan kebijakan kelautan. Yang kedua adalah masyarakat Indonesia menempatkan nilai yang tinggi bagi sumberdaya pesisir dan laut bagi tujuan pemanfaatan fungsional (misalnya sebagai sumber pangan) dan amenitas (misalnya rekreasi).

Masyarakat memberikan perhatian yang tinggi dalam hal penurunan nilai sumberdaya pesisir dan laut serta mengkaitkan kualitas sumberdaya tersebut pada kualitas hidup mereka dan bersedia untuk ikut serta dalam upaya tersebut. Yang terakhir adalah bahwa dalam perumusan kebijakan bagi wilayah pesisir dan lautan, para penentu kebijakan harus memberikan perhatian penuh baik kepada kepentingan masyarakat secara umum dan kepentingan lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat tersebut (Dutton

et al., 2001).

Kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga formal pada saat ini sangatlah rentan. Efektivitas bentuk-bentuk pengelolaan yang telah direformasi atau bentuk-bentuk pengelolaan baru akan sangat tergantung pada kepercayaan publik yang harus dibangun sejalan dengan proses kebijakan. Di samping itu, efektivitas pengelolaan tersebut juga akan tergantung pada perhatian yang diberikan kepada konstituen yang lebih luas yang ada dalam setiap proses pengambilan keputusan di tingkat lokal maupun nasional.

2.2.5 Interaksi dan konflik sosial masyarakat

Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia (Soekanto, 1995 dalam


(32)

Syarat terjadinya interaksi sosial adalah adanya kontak sosial dan adanya komunikasi. Bentuk-bentuk proses sosial meliputi, proses sosial yang bersifat asosiatif (mendekatkan) dan proses sosial yang bersifat disosiatif (menjauhkan). Proses sosial yang tergolong asosiatif, antara lain kerjasama, asimilasi, akulturasi, dan akomodasi. Sementara proses sosial yang tergolong disosiatif misalnya persaingan, kontravensi dan konflik. (Soekanto, 1995 dalam Satria, 2002).

Persaingan dapat terjadi pada masing-masing individu mapun antar kelompok dalam pencapaian suatu tujuan keuntungan dalam segala aspek kehidupan, seperti persaingan ekonomi, persaingan kedudukan, dan peranan dan persaingan ras (Soekanto, 1995 dalam Satria, 2002). Jika persaingan yang terjadi diikuti gejala-gejala ketidak pastian dan keraguan tentang seseorang dan sikap tersembunyi atas gagasan dan budaya yang dimilikinya, hal itu disebut kontravensi. Sikap tersembunyi ini dapat pula bersumber pada rasa ketidak senangan terhadap kepribadian seseorang yang selanjutnya akan memunculkan ketegangan dalam hubungan kedua belah pihak karena dikuasai rasa amarah sehingga akan timbul sebuah konflik.

Menurut Soekanto (1995) dalam Satria (2002), beberapa faktor yang menjadi penyebab utama terjadinya konflik adalah perbedaan individu, perbedaan budaya, perbedaan kepentingan, dan perubahan sosial.

2.3 Pemeliharaan dan Pelestarian Lingkungan

Keberlanjutan telah menjadi isu penting dalam pembangunan ekonomi dunia, karena masyarakat dunia sudah menyadari bahwa eksploitasi sumberdaya alam dapat mengakibatkan degradasi lingkungan. Menurut Yakin (1997) bahwa dalam beberapa hal, eksploitasi sumberdaya yang tidak terkontrol bukan hanya bisa mengakibatkan kelangkaan sumberdaya tetapi juga dapat mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan. Oleh karena itu pembangunan ekonomi harus mengarah kepada pembangunan yang berwawasan lingkungan atau yang berkelanjutan (sustainable development). Konsep dasar pembangunan yang berwawasan lingkungan ada dua aspek yang penting, yaitu lingkungan (ecology, the environment) dan pembangunan (development) (Yakin, 1997).


(33)

Ekologi budaya yang dilontarkan oleh Adiati (1996), menjelaskan hubungan timbal balik yang terjadi antara kebudayaan dan lingkungan melalui penelaahan adaptasi. Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh adanya kecenderungan untuk menerima pendekatan materialistik dan ketidakpuasan terhadap faham yang telah berkembang bahwa gejala-gejala sosial hanya dapat diterangkan dari segi sosial saja. Dua kelompok elemen yang mempengaruhi sistem sosial politik kelompok masyarakat, yaitu keolompok inti kebudayaan yang dipengaruhi oleh lingkungan sumberdaya alam dan kelompok bukan inti kebudayaan yang dipengaruhi oleh kelompok masyarakat lain seperti agama, bahasa seni dan nilai-nilai kebudayaan.

Sebagai contoh, kegiatan pelibatan masyarakat dalam rehabilitasi mangrove yang dilakukan Wetlands International – Indonesia Programme (WI-IP) sejak tahun 1998 sampai saat ini di Desa Karang Song Indramayu. Upaya pelibatan masyarakat yang dilakukan oleh LSM ini dikaji sebagai upaya memperoleh pembelajaran. Berdasarkan penyebab degradasi hutan mangrove di atas, maka diperlukan tindakan-tindakan untuk mengurangi kedua jenis tekanan tersebut sesuai dengan sumber masalahnya. Dalam meminimasi tekanan internal diperlukan pembinaan masyarakat yang bersifat andragogi, yaitu pembinaan yang berorientasi pada inisiatif sendiri dalam mendiagnosis kebutuhan, tujuan, strategi dan penilaian belajar (Bengen et al., 2002).

Adapun menurut Bengen et al. (2002) lebih lanjut mengemukakan strategi pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove dilakukan melalui strategi persuasif, edukatif dan fasilitatif, dengan uraian seperti di bawah ini.

1) Strategi Persuasif

Strategi persuasif dilakukan dalam bentuk pembinaan-pembinaan. Kegiatan pembinaan

merupakan upaya untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran dari kelompok sasaran terhadap pesan yang disampaikan. Materi pembinaan meliputi penyuluhan tentang pentingnya hutan mangrove dan pelestariannya, pengelolaan tambak yang ramah lingkungan serta pentingnya organisasi/kelompok masyarakat.

2) Strategi Edukatif

Strategi edukatif dilakukan dalam bentuk pelatihan-pelatihan. Melalui pelatihan diharapkan dapat meningkatkan ketrampilan kelompok sasaran terhadap suatu aspek


(34)

tertentu. Kegiatan pelatihan yang telah dilakukan adalah peningkatan pemahaman dan ketrampilan kelompok sasaran di bidang rehabilitasi mangrove seperti seleksi buah, pembibitan dan penanaman; pelatihan peningkatan pemahaman dan ketrampilan di bidang perikanan, yaitu budidaya udang tambak ramah lingkungan dan budidaya bandeng; pelatihan pengembangan kemampuan dalam pengelolaan kelompok, seperti administrasi, pengelolaan keuangan, kepengurusan dan aturan main pelaksanaan program.

3) Strategi Fasilitatif

Strategi fasilitatif dilakukan dalam bentuk pemberian bantuan usaha yang merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi mangrove.

2.4 Infrastruktur dan Kelembagaan

Definisi yang paling umum mengenai kelembagaan adalah suatu gugus aturan (rule of conduct) formal (hukum, kontrak, sistem politik, organisasi, pasar, dan sebagainya) serta informal (norma, tradisi, sistem nilai, agama, trend sosial, dan sebagainya) yang memfasilitasi koordinasi dan hubungan antara individu ataupun kelompok (Fauzi, 2004). Secara lebih spesifik, Douglass North, ahli ekonomi kelembagaan, menyatakan bahwa institusi lebih pasti terjadi pada hubungan antara manusia serta mempengaruhi perilaku dan outcomes seperti keragaan ekonomi, efisiensi, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.

Sistem kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, abstrak yang mencakup idiologi, hukum, adat-istiadat aturan kebiasaan yang tidak lepas dari sistem perilaku dan lingkungan (Yulianto, 1997).

Dalam perspektif ekonomi kelembagaan baru, pada tingkat makro aturan yang mempengaruhi perilaku dan keragaan dari perilaku ekonomi dimana organisasi dibentuk dan dibiayai transaksi (Coase, 1973 dalam Fauzi, 2004) secara terpadu di dalamnya. Hal tersebut merupakan suatu gugus fundamental dari aturan mendasar mengenai aspek politik, sosial dan legal yang mendasari proses produksi, pertukaran (exchange) dan


(35)

distribusi. Pada tingkat mikro, aspek kelembagaan lebih dikenal sebagai suatu

institutional arrangement yang lebih mengedepankan aspek institutions of governance.

2.5 Transmigrasi, Urbanisasi dan Relokasi

Transmigrasi merupakan perpindahan penduduk dari pemukiman padat ke lahan yang masih kosong dengan tujuan sebagai sarana untuk distribusi dan pemerataan jumlah penduduk suatu wilayah, pemerataan pembangunan, dan sebagai sarana pemersatuan bangsa. Latar belakang tercetusnya program transmigrasi adalah terjadinya kepadatan populasi penduduk di suatu daerah dan disisi lain terdapatnya lahan kosong yang sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai pemukiman, dan sebagai upaya dalam pemanfaatan potensi sumberdaya alam (Maulida, 2002).

Maulida, (2002) menerangkan bahwa pandangan tentang migrasi desa-kota mula-mula berlandaskan pada beberapa hipotesis yang menyatakan hal-hal berikut:

1) Migrasi merupakan penyebab utama peningkatan jumlah penduduk perkotaan serta peningkatan kemiskinan yang cepat di perkotaan.

2) Mayoritas mereka yang hidup di perkampungan (slums) dan pemukiman liar (squatter settlements) adalah migran.

3) Sebagian besar dari para migran adalah miskin atau tidak semampu penduduk asli perkotaan.

4) Aliran perpindahan para migran ke daerah perkotaan terutama berasal dari daerah pedesaan.

5) Para migran yang terpaksa meninggalkan daerah perdesaan karena kemiskinan dan pengangguran di desa, biasanya menuju perkotaan.

6) Perbaikan keadaan di desa akan mengurangi arus migrasi desa-kota.

7) Program-program yang dilaksankan di daerah pedesaan akan memperbaiki kondisi pedesaan dan dengan demikian akan mengurangi migrasi desa-kota.

Secara umum urbanisasi diartikan sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota. Suburbanisasi diartikan sebagai proses terbentuknya pemukiman-pemukiman baru dan juga kawasan-kawasan industri di pinggiran wilayah perkotaan, terutama sebagai


(36)

akibat perpindahan penduduk kota yang membutuhkan tempat bermukim dan untuk kegiatan industri (Maulida, 2002).

Pemukiman liar yang terdapat di bantaran Sungai Kali Adem, Jakarta Utara merupakan salah satu fenomena yang terjadi dari proses urbanisasi. Ternyata kondisi demikian akan memberikan dampak negatif sehingga perlu adanya penataan kembali daerah tersebut. Relokasi merupakan upaya dalam penataan kembali daerah pemukiman penduduk melalui pemindahan penduduk ke wilayah lain. Secara umum bahwa relokasi merupakan perpindahan penduduk suatu wilayah ke wilayah lain secara sengaja (Maulida, 2002).

2.5.1 Dampak akibat pemukiman kembali

Proyek bantuan bank yang merubah pola penggunaan lahan, air dan sumberdaya alam lainnya dapat menyebabkan dampak pemukiman kembali. Dampak ini, sering timbul akibat pengadaan lahan yang didapat melalui ekspropriasi atau melalui pengaturan lainnya. Perumahan, struktur dan sistem masyarakat, hubungan sosial dan pelayanan sosial dapat terganggu. Sumber-sumber produktif, termasuk lahan, pendapatan dan mata pencaharian dapat hilang. Kultur budaya dan kegotong-royongan yang ada dalam masyarakat dapat menurun. Kehilangan sumber kehidupan dan pendapatan dapat mendorong timbulnya eksploitasi ekosistem, kesulitan hidup, ketegangan sosial, dan kemiskinan (Asian Development Bank, 1999).

Di perkotaan, penduduk yang tergusur akan menimbulkan peningkatan tempat-tempat kumuh. Oleh karena itu, orang terkena dampak ini tidak mempunyai pilihan selain harus mencoba membangun kembali kehidupan, pendapatan dan segala potensi yang dimilikinya di tempat lain. Untuk menjamin bahwa masyarakat tidak dirugikan dalam proses pembangunan, bank berusaha mencegah atau mengurangi dampak pemukiman kembali. Jika pemukiman kembali tidak dapat dihindari, bank membantu memulihkan mutu kehidupan dan mata pencaharian orang terkena dampak. Apabila memungkinkan tidak hanya memulihkan tapi juga meningkatkan mutu kehidupan, khususnya bagi kelompok rawan/rentan. Seluruh bentuk dampak pemukiman kembali memerlukan langkah pencegahan sebagaimana tercantum pada Tabel 1.


(37)

Tabel 1 Jenis dampak utama pemukiman kembali dan langkah penanggulangan

Jenis Dampak Langkah Penanggulangan

Kehilangan sumber yang produktif, termasuk lahan, pendapatan dan mata pencaharian .

Kehilangan perumahan, mungkin seluruh struktur, sistem dan fasilitas sosial masyarakat.

Kehilangan kekayaan lain

Kehilangan sumber daya masyarakat, lingkungan, peninggalan budaya dan harta lainnya.

Ganti rugi yang sesuai dengan harga penggantian, atau penggantian bagi pendapatan dan mata pencaharian yang hilang. Penggantian pendapatan dan biaya pemindahan selama waktu pembangunan kembali serta langkah pemulihan pendapatan bagi yang kehilangan mata

pencaharian.

Ganti rugi bagi perumahan dan kekayaan yang hilang sesuai dengan harga penggantian; relokasi termasuk pembangunan tempat relokasi, kalau perlu, serta langkah-langkah memperbaiki taraf hidup.

Ganti rugi sesuai harga penggantian atau diganti.

Diganti atau ganti rugi sesuai dengan harga penggantian,

langkah-langkah pemulihan . Sumber: Asian Development Bank, 1999

2.5.2 Masalah pemukiman kembali

Orang-orang yang terkena dampak (OTD) adalah mereka yang akan mengalami kerugian sebagai akibat adanya proyek, seluruh atau sebagian kekayaan baik fisik maupun non-fisik, termasuk rumah, masyarakat, lahan produktif, sumber daya seperti hutan, persawahan, lokasi penangkapan ikan, kawasan pusat budaya, barang komersial, barang sewaan, kesempatan memperoleh pendapatan, jaringan dan kegiatan sosial dan budaya. Dampak seperti ini bisa permanen atau bisa sementara. Hal ini sering terjadi karena ekspropriasi, penggunaan wewenang khusus atas tanah atau pengaturan lainnya (Asian Development Bank, 1999).


(38)

Tabel 2 Pemukiman kembali pada berbagai jenis proyek

Sektor

Komponen Proyek yang Mungkin Menimbulkan Dampak Pemukiman

Kembali

Jenis Dampak Pemukiman Kembali

• Transpor

• Listrik dan Pembangkit Tenaga yang lain.

• Ruas jalan atau rel kereta api

• Stasiun, terminal, jembatan.

• Bandar udara, dermaga, pelabuhan sungai

• Jaringan transmisi

• Instalasi pembangkit tenaga, stasiun transmisi, substasiun dan jalan akses

Dampak Pemukiman Kembali terhadap alinyemen/jalur jalan atau rel kereta api. Gangguan biasanya dapat diatasi oleh masyarakat sendiri, karena alinyemen tidak lebar. Tetapi apabila alinyemen panjang dan memotong batas administratif, maka

pembagian tanggung jawab tidak jelas dan hak kepemilikan juga dapat berbeda antara ruas jalan. Alinyemen/jalur tersebut mungkin membelah tanah milik, jalan dan gang, sistem irigasi, jaringan sosial dan ekonomi, atau jalan menuju ke sumber daya. Kadang-kadang juga dibutuhkan untuk sementara waktu, lahan yang akan digunakan untuk pekerjaan konstruksi.

Dapat menimbulkan dampak pemukiman kembali setempat, dan memerlukan lahan untuk sementara waktu, yang akan digunakan untuk pekerjaan konstruksi.

Ada kemungkinan terjadi dampak pemukiman kembali yang cukup serius terhadap

masyarakat di lokasi tersebut. Dapat terjadi pemindahan seluruh masyarakat atau gangguan terhadap komunikasi, tanah milik, sistem sosial dan ekonomi, serta penggunaan sumber daya. Juga memerlukan lahan yang dipinjam sementara untuk pekerjaan konstruksi.

Dampak pemukiman kembali minor dari pembangunan pilar. Hal ini bisa menjadi serius apabila lahan yang dimiliki kecil. Pelarangan masuk daerah jalur transmisi tanpa adanya pembebasan lahan, dapat

menimbulkan dampak terhadap penggunaan lahan penduduk sepanjang jalur transmisi. Juga akan memerlukan lahan untuk sementara waktu yang digunakan untuk pekerjaan konstruksi.

Dapat menyebabkan dampak setempat yang cukup serius dan memerlukan lahan sementara waktu yang digunakan untuk pembangunan. Instalasi tenaga listrik tersebut dapat menimbulkan dampak pemukiman kembali, akibat dari polusi/pencemaran tanah, udara atau air.


(39)

Sektor

Komponen Proyek yang Mungkin Menimbulkan Dampak Pemukiman

Kembali

Jenis Dampak Pemukiman Kembali

• Air Bersih dan Sanitasi

• Sampah Padat

• Peremajaan Perkotaan

• Kesehatan

• Pendidikan

• Irigasi dan Pengendalian Banjir

• Waduk pembangkit tenaga hidro-listrik

• Sistem retikulasi (pembagian)

• Stasiun pompa, lokasi pengolahan

• Waduk untuk air bersih

• Tempat pembuangan sementara, tempat pembuangan akhir landfill

• Tempat prasarana perkotaan

• Kawasan rumah sakit, klinik, dan sarana pendidikan kesehatan

• Kawasan sekolah, lembaga pelatihan dan sebagainya

• Saluran, tanggul pelindung dan pekerjaan terkait

• Bendung

Konstruksi waduk/bendungan dapat menimbulkan dampak yang serius dan luas, dapat memindahkan seluruh penduduk dari areal konstruksi dan areal yang akan ditenggelamkan, serta dapat mengganggu komunikasi, kepemilikan lahan, sistem sosial dan ekonomi, dan penggunaan sumber daya. Juga akan memerlukan lahan untuk sementara waktu yang digunakan dalam menyelesaikan pekerjaan konstruksi. Memerlukan lahan yang dipinjam sementara waktu untuk pekerjaan konstruksi.

Penggunaan jalur yang ada (misalnya jalan raya) dapat mengurangi gangguan. Pembebasan lahan yang memanjang dan sempit hanya menimbulkan gangguan/ dampak minor.

Dapat menimbulkan dampak setempat yang lebih serius. Memerlukan lahan yang dipinjam sementara waktu untuk pekerjaan

pembangunan.

Konstruksi waduk dapat menimbulkan dampak yang serius dan luas. Lihat waduk pembangkit tenaga hidro-listrik.

Dapat menimbulkan dampak setempat yang serius.

Dapat menimbulkan dampak setempat yang serius.

Dapat menimbulkan dampak setempat yang serius. Masyarakat diminta untuk merelakan sedikit bidang tanah untuk fasilitas umum. Dapat menimbulkan dampak setempat yang serius. Masyarakat diminta untuk merelakan sedikit bidang tanah untuk fasilitas umum. Pemukiman Kembali berdampak pada suatu alinyemen atau jalur yang sempit. Lihat jalur jalan atau rel kereta api.

Konstruksi bendung dapat menimbulkan dampak yang serius dan seringkali luas. Lihat waduk pembangkit tenaga hidro-listrik.


(40)

Sektor

Komponen Proyek yang Mungkin Menimbulkan Dampak Pemukiman

Kembali

Jenis Dampak Pemukiman Kembali

• Operasi Pertambangan

• Pengembangan Kehutanan

• Taman, Kawasan Konservasi

• Pertambangan strip

• Reboisasi, hutan tanaman industri, penutupan hutan

• Taman Nasional atau kawasan pengembangan bio-diversitas

menurun drastis (misalnya, pencemaran tanah atau air).

Dapat menimbulkan hilangnya sumber pendapatan dan mata pencaharian yang didapat dari hutan. Hilangnya kesempatan mendapat makanan untuk ternak. Pemindahan penduduk. Dapat menyebabkan hilangnya kesempatan mendapat makanan untuk ternak, atau gangguan terhadap rute ternak mencari makanan. Dapat memindahkan penduduk dari taman/hutan.

Sumber: Asian Development Bank, 1999

2.5.3 Tata cara pelaksanaan yang baik

Pelaksanaan yang baik dalam merencanakan dan melakukan kegiatan pemukiman kembali mencerminkan tujuan kebijaksanaan bank untuk Pemukiman Kembali tercapai. Agar dapat melaksanakan dengan baik, menurut Asian Development Bank (1999) unsur-unsur pokok berikut ini perlu diperhatikan:

1) Melakukan usaha yang dapat mengurangi atau menghindarkan Pemukiman Kembali dengan mencari pilihan-pilihan perencanaan lain yang layak.

2) Menentukan parameter-parameter Pemukiman Kembali pada tahap PAKS dan menyusun KA yang sesuai untuk Studi Kelayakan BTPP.

3) Mempertimbangkan dan melaksanakan kegiatan Pemukiman Kembali sebagai program pembangunan yang menjadi bagian seluruh proyek, termasuk sektor swasta dan proyek yang dibiayai bersama dan kredit pada lembaga keuangan.

4) Melaksanakan survei dan sensus sosial ekonomi Orang Terkena Dampak (OTD) pada awal persiapan proyek untuk mengidentifikasi kerugian pengadaan lahan dan mengidentifikasi seluruh OTD serta menghindarkan masuknya pihak lain atau spekulan.

5) Melibatkan seluruh stakeholders (pihak-pihak yang berkepentingan dan terkait) dalam proses konsultasi, khususnya semua OTD, termasuk kelompok rentan/rawan.


(41)

6) Mengganti, bagi OTD termasuk bagi orang yang tidak mempunyai hak legal atas lahan, untuk semua kerugian dengan nilai penggantian.

7) Apabila diperlukan relokasi rumah, penting untuk menyiapkan pilihan-pilihan relokasi dan mengadakan musyawarah dengan OTD dan masyarakat setempat dalam memulihkan kondisi taraf hidupnya.

8) Apabila orang kehilangan pendapatan dan mata pencaharian, perlu menyusun program pemulihan yang bertujuan meningkatkan, atau sekurang-kurangnya memulihkan potensi produktifitasnya.

9) Melakukan persiapan sosial bagi OTD apabila mereka ini kelompok rawan atau mengalami tekanan sosial akibat pemindahan.

10)Mempersiapkan RPK dengan jadwal, ketentuan-ketentuan, dan sumber pendanaan sebelum penilaian serta menyiapkan ringkasan RPK sebelum RTM. Melampirkan ringkasan Rencana Pemukiman Kembali pada draf LSP untuk direksi Bank.

11)Melibatkan ahli Pemukiman Kembali dan ahli Ilmu Sosial serta melibatkan OTD dalam perencanaaan, pelaksanaan dan pemantauan RPK.

2.5.4 Relokasi

Relokasi, barangkali, merupakan hal yang paling sulit dari keseluruhan tugas yang menyangkut pemukiman kembali, karena membangun kembali kondisi kehidupan dan dalam beberapa kasus, pemukiman dan pola hidup seluruh masyarakat, dapat menjadi tugas paling menantang dan kompleks (Asian Development Bank, 1999).

1) Permasalahan dalam perencanaan relokasi

• Apakah diperlukan relokasi untuk semua OTD?

• Adakah kasta, suku terasing atau perbedaan etnik di antara penduduk yang terkena dampak?

• Apakah ada pola-pola pemukiman?

• Bagaimana letak rumah mereka satu sama lain saat ini?

• Apakah ada fasilitas sosial masyarakat saat ini (pemeliharaan kesehatan, pendidikan) di lokasi yang terkena dampak?

• Berapa sering orang-orang menggunakan berbagai sarana? Apakah variasi ini atas dasar musim, jenis kelamin, umur, status pendapatan atau faktor lain?


(42)

• Bagaimana tingkat kepadatan pemukiman sekarang?

• Bagaimana tingkat kemudahan menjangkau pusat-pusat pasar dan kota sekarang?

• Bagaimana pola angkutan dan komunikasi di lokasi terkena dampak?

• Bagaimana pola penggunaan fasilitas agama dan budaya? 2) Pilihan relokasi

Berdasarkan pada skala kebutuhan relokasi, perlu mempertimbangkan berbagai alternatif pilihan relokasi yang tepat yang melibatkan semua yang terkait. Pemukim kembali dan kelompok penduduk setempat harus berpartisipasi dalam menentukan pilihan relokasi yang terbaik (Asian Development Bank, 1999).

Berbagai pilihan mempunyai dampak yang berbeda-beda, sehingga membutuhkan tingkat dukungan dan bantuan yang berbeda pula dalam proses relokasi. Tidak ada relokasi adalah pilihan paling baik. Tetapi bila relokasi OTD dari rumah mereka tidak dapat dihindarkan, maka harus dikurangi semaksimal mungkin dengan mempertimbangkan berbagai pilihan alternatif untuk proyek investasi utama. Misalnya, relokasi sering dapat dikurangi dengan merubah rute proyek prasarana yang menyebabkan relokasi (misalnya jalan raya, jalur pipa).

Relokasi setempat (di atau dekat lokasi proyek) mungkin dapat dilakukan jika jumlah OTD sedikit, jika kepadatan penduduk relatif rendah, dan proyek meliputi kawasan kecil yang tersebaratau jalur memanjang. OTD dapat diijinkan menempati, misalnya, bagian kawasan yang tidak dibutuhkan untuk damija (daerah milik jalan), dengan membersihkan lahan di luar damija, dalam proyek-proyek jalan. Dalam hal ini, relokasi setempat tidak mempengaruhi kehidupan sosial-ekonomi dan organisasi sosial penduduk, karena OTD pindah hanya dalam jarak yang pendek. Sebagai akibatnya, dampak pemukiman kembali menjadi terbatas (Asian Development Bank, 1999).

Relokasi mandiri dapat terjadi kalau OTD berinisiatif, baik perseorangan atau kelompok melakukan relokasi ke tempat pilihan mereka sendiri (berbeda dengan kawasan pemukiman kembali) berdasarkan pertimbangan faktor ekonomi (misalnya, ketersediaan pekerjaan atau lahan lebih murah) atau faktor sosial (misalnya, kekeluargaan).

Dalam hal ini, beberapa OTD dapat pindah dengan memperoleh seluruh ganti rugi yang merupakan haknya, yang mana hal ini biasanya lebih bermanfaat, karena banyak keputusan mengenai materiil, hubungan sosial dan kesejahteraan ekonomi dibuat oleh


(43)

pemukim itu sendiri. Mereka hanya membutuhkan dukungan sosial atau pekerjaan yang sifatnya terbatas dari proyek untuk mendapatkan kembali tingkat hidup sebagaimana sebelum proyek.

Tabel 3 Pilihan relokasi dan bantuan

Tipe Ganti rugi

Dana bantuan pemindahan Dana bantuan relokasi Perencanaan dan pembangunan relokasi Bantuan pada penduduk setempat P&E Tanpa Relokasi Relokasi Setempat Relokasi Mandiri Relokasi ke tempat yang dipilih IP

9 (jika kehilangan kekayaan ) 9 (jika kehilangan kekayaan ) 9 9 - 9 9 9 -

9 (kecil

- - - 9 - - - (kecil) 9 9 9 9

Sumber: Asian Development Bank, 1999

Relokasi ke kawasan yang dipilih oleh IP, jauh dari perkampungan asli OTD dapat menyebabkan tekanan, khususnya jika lokasi itu berbeda keadaan lingkungannya, pola kehidupan ekonomi dan mata pencaharian, atau parameter sosial dan budayanya. Relokasi ke kawasan yang jauh, atau kawasan yang berbeda karakteristik lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi harus sedapat mungkin dihindari.

3) Pilihan tempat relokasi

Lokasi dan kualitas tempat relokasi baru adalah faktor penting dalam perencanaan relokasi, karena sangat menentukan hal-hal berikut ini, kemudahan menuju ke lahan usaha, jaringan sosial, pekerjaan, bidang usaha, kredit dan peluang pasar. Setiap lokasi mempunyai keterbatasan dan peluang masing-masing. Memilih lokasi yang sama baik dengan kawasan yang dahulu (tempatnya yang lama) dari segi karakteristik lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi akan lebih memungkinkan relokasi dan pemulihan pendapatan berhasil. Jadi pemilihan lokasi harus dipertimbangkan sebagai bagian dari Studi Kelayakan (Asian Development Bank, 1999).


(44)

Pemilihan lokasi harus memperhitungkan dampak terhadap masyarakat setempat. Permasalahan seperti kualitas lahan, daya tampung lokasi, kekayaan milik umum, sumber daya, prasarana sosial dan komposisi penduduk (stratifikasi sosial, suku-bangsa, jenis kelamin, etnik minoritas) perlu dipertimbangkan selama studi kelayakan. Idealnya, tempat relokasi baru sebaiknya secara geografis dekat dengan tempat lama/asli untuk mempertahankan jaringan sosial dan ikatan masyarakat yang sudah baik. Dalam proyek pembangunan perkotaan, yang sering mengakibatkan relokasi dalam jumlah besar, dampak tersebut dapat dikurangi dengan merelokasikan ke berbagai kawasan yang kecil dan dekat. Dalam kasus tersebut, pemilihan tempat dan rencana relokasi harus berdasarkan, dan diputuskan melalui musyawarah dengan masyarakat. OTD dan masyarakat setempat harus diijinkan berpartisipasi dalam mengambil keputusan mengenai pemilihan tempat, susunan dan rancangan, dan pembangunan lokasi (lihat Kotak 6.1). Dalam hal pembangunan lokasi tidak diperlukan, baik karena hanya sejumlah kecil rumah tangga yang membutuhkan relokasi, maupun karena letak keluarga yang terkena dampak tersebar, maka dalam hal ini harus masih ada rencana relokasi khusus OTD ini dengan memberikan bantuan untuk relokasi mandiri (Asian Development Bank, 1999).

4) Empat tahap pemilihan lokasi

Menurut ADB (1999), ada empat tahap pemilihan lokasi relokasi, yaitu :

Pemilihan lokasi dan alternatif : Memilih lokasi yang baik adalah unsur paling penting. Mulai dengan pilihan-pilihan altematif, yang melibatkan pemukim kembali yang potensial dan penduduk setempat dalam proses tersebut.

Studi Kelayakan : Melakukan studi kelayakan lokasi alternatif dan mempertimbangkan potensi kawasan dari segi persamaan ekologi, harga lahan, pekerjaan, kemungkinan untuk memperoleh kredit, pemasaran dan peluang ekonomi lainnya untuk mata pencarian OTD dan masyarakat setempat.

Susunan dan Rancangan : Susunan dan rancangan kawasan relokasi harus sesuai dengan spesifikasi dan kebiasaan budaya. Mengidentifikasi lokasi sekarang terhadap berbagai prasarana fisik dan sosial di masyarakat yang terkena dampak: bagaimana anggota keluarga, kerabat, terkait satu sama lain di kawasan sekarang,


(45)

serta berapa, sering dan siapa (jenis kelamin/umur) yang menggunakan berbagai sarana dan prasarana sosial. Penting memahami pola pemukiman dan rancangan yang ada supaya dapat menaksir kebutuhan di kawasan pemukiman yang baru. Masukan masyarakat harus menjadi bagian integral proses rancangan.

Pembangunan Lokasi Pemukiman Kembali : Luas lahan untuk pembangunan rumah harus berdasarkan tempat tinggal sebelumnya dan kebutuhan di kawasan baru. Pemukim kembali harus diijinkan membangun rumah mereka sendiri dari pada diberikan rumah yang sudah disediakan oleh IP. Seluruh sarana dan prasarana fisik dan sosial harus sudah siap sebelum pemukim diminta untuk pindah ke lokasi. Organisasi OTD dan perkumpulan masyarakat harus diajak bermusyawarah dalam pembangunan lokasi pemukiman kembali.

5) Rencana dan target relokasi

Rencana relokasi, seleksi pilihan-pilihan dan pembangunan prasarana dan sarana di kawasan relokasi wajib diintegrasikan dengan siklus proyek investasi utama, supaya gangguan terhadap kehidupan OTD yang direlokasikan minimal. Seluruh relokasi harus diselesaikan satu bulan sebelum pembangunan dimulai. Dengan demikian, pimpinan proyek wajib bermusyawarah dengan OTD dan bekerja sama dengan mereka pada seluruh tahap RPK , dari pemilihan lokasi sampai relokasi pemukim di kawasan baru (Asian Development Bank, 1999).

Jika jumlah yang direlokasi cukup berarti, pimpinan proyek harus menentukan target relokasi tahunan (dalam konteks siklus proyek) untuk dapat menyelesaikan relokasi OTD dengan baik sebelum tahap pembangunan. Musyawarah dengan pemukim dan penduduk setempat harus dilakukan untuk menentukan target relokasi dan untuk mencapai target tersebut.

6) Hidup dengan penduduk setempat

Dalam perencanaan pemukiman kembali, OTD tidak boleh dianggap hidup dalam pengasingan. Relokasi OTD dapat berdampak terhadap penduduk setempat dalam berbagai bidang termasuk pekerjaan, penggunaan sumber daya milik umum dan eksploitasi sumber daya alam atau fasilitas sosial. Perselisihan antara masyarakat pemukim dan penduduk setempat dapat timbul kalau instansi pelaksana hanya membantu OTD. Prasarana dan fasilitas penunjang di kawasan re1okasi dapat dimanfaatkan


(46)

bersama-sama dengan masyarakat setempat (penduduk asli) dan masyarakat ini dapat bekerja-sama dengan pemukim dalam program pembangunan ekonomi dan integrasi sosial. Masyarakat setempat perlu diperlakukan sedemikian rupa, sehingga tidak merasa didiskriminasikan terhadap pemberian entitelmen yang bukan ganti rugi. Mereka berhak mendapat pelatihan, pekerjaan, dan keuntungan lainnya yang diberikan oleh proyek (Asian Development Bank, 1999).

Tabel 4 Relokasi dalam siklus proyek

Butir-butir Pokok Tindakan Siklus Proyek Butir-butir Pokok Tindakan

Identifikasi Proyek/PAKS

Studi Kelayakan BTPP

RTM

Penilaian

Negosiasi Pinjaman

Pelaksanaan

Pemantauan dan Evaluasi

• Mempertimbangkan berbagai pilihan pemukiman kembali.

• Meminimalkan kehilangan perumahan.

• Mengidentifikasi pilihan-pilihan lain termasuk relokasi mandiri

• Mengidentifikasi tempat relokasi.

• Melakukan studi kelayakan lokasi.

• Melibatkan OTD dan penduduk setempat dalam pemilihan lokasi.

• Membuat konsep RPK untuk dikaji dan ditanggapi.

• Mengkaji RPK.

• Mengkaji anggaran dan sumber dana.

• Mengkaji RPK dan target.

• Memeriksa semua persiapan untuk relokasi.

• Memasukkan hal-hal penting sebagai pemenuhan persyaratan.

• Membangun seluruh prasarana, fasilitas sosial dan umum.

• Melibatkan OTD, penduduk setempat dan LSM (kalau perlu) dalam pelaksanaan.

• Melibatkan wanita dan kelompok wanita dalam penyusunan struktur tata ruang dan semua fasilitas sosial di lokasi tersebut.

• Memberikan tunjangan dan biaya pemindahan.

• Melaksanakan pemantauan oleh instansi pemukiman kembali.

• Melakukan evaluasi independen mengenai kinerja kegiatan relokasi.


(47)

7) Daftar periksa : relokasi

Asian Development Bank (1999), mengemukakan langkah-langkah yang harus diikuti dalam daftar periksa relokasi sebagai berikut :

• Mempertimbangkan seluruh pilihan dan mengembangkan strategi relokasi alternatif dengan mengadakan musyawarah dengan OTD.

• Memilih tempat relokasi yang sesuai, kalau dibutuhkan, sebagai bagian studi kelayakan.

• Meningkatkan partisipasi OTD dan masyarakat setempat dalam membuat keputusan mengenai pemilihan lokasi, susunan dan desain serta pembangunan lokasi.

• Berkonsultasi dengan kaum wanita dan kelompok wanita tentang tata-ruang pemukiman termasuk komunikasi, fasilitas sosial, cagar budaya dan peningkatan kesejahteraan warga.

• Menentukan target dan menyusun rencana relokasi melalui musyawarah dan partisipasi OTD yang potensial.

• Menjamin bahwa tempat relokasi telah dilengkapi dengan semua fasilitas yang diperlukan sebelum relokasi dilaksanakan.

• Mengembangkan program yang dapat memberi manfaat kepada OTD dan

penduduk setempat secara bersama-sama untuk mewujudkan integrasi sosial pada masa datang.

2.6 Model Proses Implementasi Kebijakan

Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan didasarkan pada kepentingan utama terhadap faktor-faktor yang menentukan kebijakan. Identifikasi indikator-indikator pencapaian merupakan tahap yang krusial dalam analisis implementasi kebijakan. Indikator-indikator pencapaian ini menilai sejauh mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan telah direalisasikan. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan berguna di dalam menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh (Winarno, 2002).

Di samping itu, ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan merupakan bukti itu sendiri dan dapat diukur dengan mudah dalam beberapa kasus. Misalnya, pemerintah


(48)

berusaha menciptakan lapangan pekerjaan untuk para pengangguran dengan membuat beberapa proyek padat karya. Untuk menjelaskan apakah implementasi telah berhasil atau tidak, perlu ditentukan jumlah pekerjaan yang telah diciptakan, identitas orang-orang yang dipekerjakan dan kemajuan proyek-proyek pembangunan yang berhubungan (Winarno, 2002).

Sumber: Winarno, 2002

Gambar 3 Pengukuran dasar dan tujuan.

Namun demikian, dalam banyak kasus ditemukan beberapa kesulitan besar untuk mengidentifikasi dan mengukur pencapaian. Ada dua penyebab mengapa hal ini terjadi : Pertama, mungkin disebabkan oleh bidang program yang terlalu luas dan sifat tujuan yang kompleks. Kedua, mungkin akibat dari kekaburan-kekaburan dan kontradiksi-kontradiksi dalam pernyataan ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan.

Ukuran-ukuran Dasar dan tujuan-tujuan

Kebijaksanaan

Sumber-sumber

Karaktn badan-badan pelaksana

Kondisi-kondisi ekonomi, sosial, politik dan budaya

Kecendrungan pelaksana-pelaksana

Pencapaian Komunikasi antar

organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan


(1)

Lampiran 4 Kuesioner penelitian

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN MASYARAKAT PASCA RELOKASI MASYARAKAT NELAYAN EKS KALI ADEM

TERHADAP MASYARAKAT DESA KARANG SONG INDRAMAYU, JAWA BARAT

No. Responden : ... Nama Responden : ... Alamat Responden : ... ... Tanggal Wawancara : ...

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

I. Karakteristik Responden

1. Umur : ………...………

2. Jenis Kelamin : ………...………….……….

3. Status : ………...……….

4. Tingkat Pendidikan : ……….

5. Jumlah Anggota Keluarga: ………...……. 6. Mata Pencaharian : ………...

7. Lama Tinggal : ………..

II. Identitas Keluarga Responden

No Nama L/

P

Umur (th)

Tingkat Pendidikan

Pekerjaan Hubungan

Keluarga Ket.

Pokok Sampingan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. III. Umum

1. Apakah saudara mengetahui program relokasi penduduk ke Desa Karang Song oleh pemerintah?

a. Tidak b. Ragu-ragu c. Ya

jika ya, dari mana saudara tahu: ………….

2. Jika ya, sejauh mana saudara mengetahui tentang relokasi tersebut? (dari mana, lokasi, waktu, berapa, jumlanya, tujuan)

a. Kurang b. Cukup c. Banyak

3. Apakah saudara mengetahui alasan tentang relokasi penduduk tersebut?


(3)

IV. Dampak Relokasi terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pemukiman Relokasi dan Sekitarnya di Desa Karang Song

1. Berapa pendapatan per bulan sebelum adanya program relokasi

a. di bawah 500.000 b. 500.000 – 1000.000 c. diatas 1000.000 2. Berapa pendapatan per bulan setelah program relokasi

a. di bawah 500.000 b. 500.000 – 1000.000 c. diatas 1000.000 3. Tingkat konsumsi keluarga sebelum program relokasi

a. tinggi b. sedang c. rendah 4. Tingkat konsumsi keluarga setelah program relokasi

a. tinggi b. sedang c. rendah

5. Bagaimana fasilitas kesehatan (Puskesmas, Posyandu, Rumah Sakit) sebelum program relokasi

a. tersedia b. ragu-ragu c. tidak tersedia

6. Bagaimana fasilitas kesehatan (Puskesmas, Posyandu, Rumah Sakit) setelah program relokasi

a. tersedia b. ragu-ragu c. tidak tersedia

7. Berapa kali dalam setahun anggota keluarga berobat ke Puskesmas/Rumah Sakit sebelum Program Relokasi

a. 0 – 2 kali b. 3 – 5 kali c. lebih dari 5 kali

8. Berapa kali dalam setahun anggota keluarga berobat ke Puskesmas/Rumah Sakit setelah Program Relokasi

a. 0 – 2 kali b. 3 – 5 kali c. lebih dari 5 kali

9. Bagaimana fasilitas untuk kegiatan perikanan (pelabuhan, TPI) sebelum program relokasi

a. tersedia b. kurang memadai c. tidak tersedia

10. Bagaimana fasilitas untuk kegiatan perikanan (pelabuhan, TPI setelah program relokasi

a. tersedia b. kurang memadai c. tidak tersedia 11. Bagaimana kemudahan pekerjaan sebelum adanya program relokasi


(4)

12. Bagaimana kemudahan pekerjaan setelah program relokasi a. mudah b. agak sulit c. sulit

13. Bagaimana fasilitas pendidikan (sekolah) sebelum program relokasi a. tersedia b. kurang memadai c. tidak tersedia 14. Bagaimana fasilitas pendidikan (sekolah) setelah program relokasi

a. tersedia b. kurang memadai c. tidak tersedia

15. Berapa jumlah anggota keluarga yang berpendidikan tamat SLTP sebelum program relokasi

a. di atas 60 % b. 30 – 60 % c. di bawah 30 %

16. Berapa jumlah anggota keluarga yang berpendidikan tamat SLTP setelah program relokasi

a. di atas 60 % b. 30 – 60 % c. di bawah 30 % 17. Bagaimana ketersediaan sarana transportasi sebelum program relokasi?

a. tersedia b. kurang memadai c. tidak tersedia 18. Bagaimana ketersediaan sarana transportasi setelah program relokasi?

a. tersedia b. kurang memadai c. tidak tersedia

19. Bagaimana kemudahan transportasi dalam kota sebelum program relokasi a. mudah b. agak sulit c. sulit

20. Bagaimana kemudahan transportasi dalam kota setelah program relokasi a. mudah b. agak sulit c. Sulit

21. Bagaimana fasilitas tempat tinggal/rumah sebelum program relokasi a. tersedia b. ragu-ragu c. tidak tersedia 22. Bagaimana fasilitas tempat tinggal/rumah setelah program relokasi

a. tersedia b. ragu-ragu c. tidak tersedia 23. Bagaimana keadaan tempat tinggal/rumah sebelum program relokasi

a. layak b. kurang layak c. tidak layak 24. Bagaimana keadaan tempat tinggal/rumah setelah program relokasi


(5)

25. Tempat peribadatan masyarakat sebelum program relokasi a. tersedia b. kurang tersedia c. tidak tersedia 26. Tempat peribadatan masyarakat setelah program relokasi

a. tersedia b. kurang tersedia c. tidak tersedia

27. Berapa kali di adakan kegiatan keagamaan (pengajian) dalam sebulan sebelum program relokasi

a. lebih dari 2 kali b. 1 – 2 kali c. tidak pernah

28. Berapa kali di adakan kegiatan keagamaan (pengajian) dalam sebulan setelah program relokasi

a. lebih dari 2 kali b. 1 – 2 kali c. tidak pernah 29. Apakah tersedia pos-pos keamanan sebelum adanya program relokasi

a. tersedia b. kurang tersedia c. tidak tersedia 30. Apakah tersedia pos-pos keamanan setelah adanya program relokasi

a. tersedia b. kurang tersedia c. tidak tersedia

31. Apakah terjadi pencemaran atau kerusakan terhadap lingkungan sekitar sebelum adanya program relokasi

a. tidak b. ragu-ragu c. ya

32. Apakah terjadi pencemaran atau kerusakan terhadap lingkungan sekitar setelah adanya program relokasi

a. tidak b. ragu-ragu c. ya

33. Bagaimana teknologi penangkapan ikan oleh nelayan sebelum adanya program relokasi

a. modern / berkembang b. ragu-ragu c. Tradisional 34. Bagaimana teknologi penangkapan ikan oleh nelayan setelah program relokasi

a. modern / berkembang b. ragu-ragu c. tradisional

35. Bagaimana teknologi pengolahan ikan oleh industri rumah tangga sebelum adanya program relokasi


(6)

36. Bagaimana teknologi pengolahan ikan oleh industri rumah tangga setelah adanya program relokasi

a. memadai b. kurang memadai c. tidak memadai

37. Bagaimana pergaulan muda-mudi di lingkungan sebelum adanya program relokasi a. baik b. kurang baik c. tidak baik

38. Bagaimana pergaulan muda-mudi di lingkungan setelah program relokasi a. baik b. kurang baik c. tidak baik