STUDI KONDISI VEGETASI SEBAGAI HABITAT MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI BUKIT GUNUNG SULAH KOTA BANDAR LAMPUNG

(1)

STUDI KONDISI VEGETASI SEBAGAI HABITAT

MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis)

DI BUKIT GUNUNG SULAH KOTA BANDAR LAMPUNG

(Skripsi)

Oleh

NICO YOLANDA

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2012


(2)

ABSTRAK

STUDI KONDISI VEGETASI SEBAGAI HABITAT MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI BUKIT GUNUNG SULAH KOTA BANDAR LAMPUNG

Oleh

NICO YOLANDA

Bukit Gunung Sulah adalah salah satu bukit di Kota Bandar Lampung dan dihuni oleh monyet ekor panjang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) kondisi vegetasi yang sumber pakan alami monyet ekor panjang, dan (2) keadaan umum dari komposisi jenis dan struktur vegetasi di Bukit Gunung Sulah. Data yang diambil dari penelitian ini meliputi : (1) data vegetasi dengan menggunakan metode jalur berpetak yang akan dianalisis menggunakan analisis vegetasi, (2) data makanan diambil dengan cara studi pustaka dan wawancara dengan

masyarakat mengenai jenis–jenis tanaman dan bagian-bagian yang dimakan oleh monyet ekor panjang, dan (3) Data profil vegetasi dengan mengukur tinggi total pohon, tinggi bebas cabang, diameter pohon, diameter tajuk, lokasi pohon pada plot. Bukit Gunung Sulah memiliki 19 spesies tanaman yang menjadi pakan alami monyet ekor panjang dan 10 spesies yang belum diketahui secara jelas kegunaannya bagi monyet ekor panjang. Bukit Gunung Sulah memiliki tingkat kerapatan dan sebaran tanaman penyusun vegetasi yang termasuk dalam kategori rapat dengan rata–rata jarak antar tanaman sebesar 0,62 m. Keadaan seperti ini akan menguntungkan monyet ekor panjang untuk melakukan aktivitas seperti bermain dan berlindung. Bukit Gunung Sulah memiliki 29 spesies penyusun vegetasi yang didominasi oleh 24 spesies pohon dan 5 spesies selain pohon. Stratifikasi tajuk di Bukit Gunung Sulah terdapat tiga stratum yaitu stratum C, D, dan E.


(3)

ABSTRACT

Study of Vegetation Condition as

a Long-Tailed Macaque (Macaca fascicularis) Habitat’s

in Gunung Sulah Hill Bandar Lampung

By

NICO YOLANDA

Gunung Sulah is one of the hills at Bandar Lampung it was habitat of long-tailed macaque. The aimed of this study to determine (1) the condition of vegetation which become their the natural feed sources of long-tailed macaque, and (2) the general condition of species composition and vegetation structure at Gunung Sulah Hill.The data’s taken were: (1) vegetation data, taken by using lane square method and analyzed using analysis of vegetation, (2) feeding data, taken by the literature study and public information based on interview, and (3) vegetation profile taken bymeasuring the total of tree’s height, branch-free height, stem diameter, canopy diameter, and the location of trees on the plot. In Gunung Sulah Hill there are 19 plant species as a natural feed long-tailed macaque and 10

species that unknown clearly about their function for long-tailed macaque. The density and distribution of vegetation at Gunung Sulah Hill was tightly, with average distance of inter-plants 0,62 m. Gunung Sulah Hill have 29 plant species which dominated with 24 trees species and 5 species not belonging to tree species. There are 3 stratification of canopy at Gunung Sulah Hill, that is Stratum C, D, and E.


(4)

STUDI KONDISI VEGETASI SEBAGAI HABITAT MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI BUKIT GUNUNG SULAH KOTA BANDAR LAMPUNG

Oleh

NICO YOLANDA

Skripsi

sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEHUTANAN

pada

Jurusan Kehutanan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(5)

Judul Skripsi : STUDI KONDISI VEGETASI SEBAGAI

HABITAT MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI BUKIT GUNUNG SULAH KOTA BANDAR LAMPUNG

Nama Mahasiswa : Nico Yolanda Nomor Pokok Mahasiswa : 0514081039 Program Studi : Kehutanan Fakultas : Pertanian

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Agus Setiawan, M.Si. Dra. Nuning Nurcahyani, M.Sc.

NIP 195908111986031001 NIP 196603051991032001

2. Ketua Jurusan Kehutanan

Dr. Ir. Agus Setiawan, M.Si.


(6)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Ir. Agus Setiawan, M.Si. …………

Sekretaris : Dra. Nuning Nurcahyani, M.Sc. …………

Penguji

Bukan Pembimbing : Ir. Indriayanto, M.P …………

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S.

NIP 196108261987021001


(7)

i

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang Bandar Lampung, pada 26 Oktober 1986, anak dari pasangan Bapak Hi. Alrianto

(Almarhum) dan Ibu Hj. Nuryana. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 1 Dwi Warga Tunggal Jaya Tulang Bawang pada tahun 1998, pendidikan sekolah menengah pertama di SLTP Negeri 3 Purwajaya Tulang Bawang lulus pada tahun 2001 dan pendidikan sekolah menengah umum di SMA Negeri 1 Banjar Agung Tulang Bawang lulus pada tahun 2004.

Tahun 2005, penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada bulan Juli tahun 2009 Penulis melaksanakan Praktik Umum di RPH Tenjo BKPH Parung Panjang KPH Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat Dan Bantendengan judul praktik umum “Sistem Pengamanan Patroli Hutan di RPH Tenjo BKPH Parung Panjang KPH Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten”.

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung (HIMASYLVA) sebagai pengurus Bidang Penguatan Organisasi dan Pengkaderan pada periode 2006/2007


(8)

ii hingga 2007/2008,Liaison officersPekan Ilmiah Mahasiswa Nasional XX pada tahun 2007,Liaison officersKejuaraan Nasional Futsal Antar Mahasiswa pada tahun 2007, Ketua Komisi A (Keuangan), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) pada periode 2007/2008 hingga 2008/2009, Koordinator Pengurus Pusat Sylva Indonesia (PPSI) pada periode 2008/2010.

Penulis juga pernah menjadi asisten dosen mata kuliah Konservasi Sumberdaya Hutan tahun 2007, asisten dosen mata kuliah Inventarisasi Hutan pada tahun 2009, selain itu penulis pernah bekerja sebagai surveyor di Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2007 hingga 2008, Lembaga Survei CIRUS pada tahun 2009, Tim Survey pekerjaan Studi Inventarisasi Lahan Kompensasi PT. Natarang Minning Kecamatan Kelumbayan Kabupaten Tanggamus, Lembaga Penilaian Independent (LPI) Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) pada tahun 2008 hingga 2011, Kordinator Surveyor Pekerjaan

Identifikasi dan Inventarisasi Hutan Rakyat di Wilayah Lampung pada tahun 2011 dan Anggota LSM Garuda Sylva (Garsy) dari tahun 2009 hingga sekarang.


(9)

iii

Alhamdulillah syukur kehadirat Allah SWT

atas segala berkah dan rahmat yang selalu senantiasa

diberikan kepada ku selama ini, terima kasih ya Allah hanya

rasa syukurku yang teramat besar yang mampu ku panjatkan

kepada-Mu. amin

Sebagai wujud ungkapan rasa cinta, kasih dan sayang

serta bakti yang tulus, kupersembahkan

karya kecil ini teruntuk :

Papi (Almarhum) dan Mami tercinta

serta

Adik-adikku tersayang

(

yang selalu menantikan keberhasilanku

)

Keluarga , Bayu, Anshory, Echa, Otong, Bang Reza, Bang Kiki,

Bang Sabto, Kokoh, Bunda Maghdalena, serta

seseorang yang selalu setia menyayangi, menemani,

membantu, dan mengingatkan aku.

-Intan Puspita

S.TP-Support, cinta, kasih dan sayang kalian semua takkan pernah

terlupakan


(10)

iv

Tiada daya upaya dan Kekuatan kecuali dengan

pertolongan Allah. S.W.T

(HR. Ahmad)

Hidup selalu mengalami perubahan, bersiap dan

hadapilah

(Nico)

Jangan merasa kecil di hadapan orang besar, dan

jangan merasa besar dihadapan orang kecil

(Nico)

Keikhlasan Untuk melepaskan sesuatu yang

berharga, merupakan perang batin yang luar biasa

untuk menguji ketegaran kita sebagai umatNya

(Account TweetHebat)

Meminta Maaf tidak akan menjadikan diri kita

terhina, melainkan akan mengangkat derajat kita

sebagai makhluk ciptaanNya

(Nico)

Salah atau benar dia tetap saudaraku sesama

kehutanan


(11)

v

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul”Studi kondisi vegetasi sebagai habitat monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Bukit Gunung Sulah Kota Bandar Lampung. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan yang baik.

Penulis juga menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Agus Setiawan, M.Si., selaku Dosen Pembimbing, Pembimbing Akademik, dan Ketua Jurusan yang telah banyak membantu, membimbing, memberikan saran serta memberikan motivasi selama melakukan penelitian dan penyusunan skripsi, sehingga Penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. 2. Ibu Dra. Nuning Nurcahyani, M.Sc., selaku Dosen Pembimbing II, yang telah

banyak meluangkan waktu untuk membimbing Penulis selama penyusunan skripsi.


(12)

vi 3. Bapak Ir. Indriyanto, M.P., selaku Pembahas, terima kasih atas saran dan

kritik yang membangun kepada Penulis serta bantuan yang telah diberikan, sehingga karya tulis dapat terselesaikan.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

5. Dosen, Staf dan karyawan Jurusan Kehutanan atas bimbingan dan ilmu pengetahuan yang telah diberikan selama Penulis menjadi mahasiswa. 6. Papi dan Mami tercinta, serta Adik-adikku tersayang (Niken Yolandari dan

Jevo Yolanda) terima kasih atas kasih sayang dan cintanya yang selalu senantiasa memberikan doa, moril, perhatian, dukungan dan semangat yang tak terbatas bagi keberhasilan Penulis.

7. Abang dan Uhti, Ayah dan Ibu, Papa dan Mama, Paman dan Bunda, Manda dan Ummah, Paksu dan Maksu, Mbak Ririn, Bang Erik, Roby, Mia, Tama, Hafiz, Rizky, Wulan, Omat, Gilang, Jovan, beserta Keluarga Besar Hi. Syamsumin terima kasih atas kasih sayang, doa, moril, perhatian, dukungan yang diberikan kepada Penulis.

8. Saudara-saudari seperjuangan penulis (Mehete Harajuku Team 2005) atas persaudaraan, kebersamaan, dan persahabatan yang indah dan akan selalu penulis kenang.

9. Saudara saudari sesama kehutanan dari angkatan 1996 -2011 Fakultas

Pertanian Universitas Lampung atas kebersamaan yang selalu penulis kenang. 10. HIMASYLVA terima kasih atas pendewasaan diri dan karakter yang


(13)

vii 11. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu, yang telah

membantu baik secara langsung maupun tidak langsung kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis, seluruh civitas akademika Jurusan Kehutanan maupun masyarakat luas. Penulis berdoa semoga kebaikan dibalas oleh ALLAH SWT. Amin.

Bandar Lampung, Februari 2012 Penulis


(14)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 2

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 3

E. Kerangka Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Monyet Ekor Panjang ... 5

B. Daerah Penyebaran ... 6

C. Daerah Jelajah(Home Range) ... 7

D. Ukuran dan Komposisi Kelompok ... 8

E. Habitat ... 9

F. Komponen Habitat ... 10

G. Komposisi Spesies ... 17

H. Stratifikasi Tajuk ... 18

I. Tingkat Penguasaan Jenis ... 21

J. Analisis Vegetasi ... 22

III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 24


(15)

ix C. Jenis Data ... 25 D. Metode Pengumpulan Data ... 25 E. Analisis Data ... 27 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Deskripsi Wilayah Penelitian ... 29 B. Potensi Kelurahan ... 30 V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Vegetasi Sebagai Bahan Pakan Alami Monyet ekor panjang 33 B. Profil Vegetasi ... 44 VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 49 B. Saran ... 49 DAFTAR PUSTAKA ... 50-52 LAMPIRAN ... 53-67


(16)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Design petak contoh di lokasi penelitian dengan menggunakan metode

jalur berpetak ... 26

2. Peta Bukit Gunung Sulah (lokasi penelitian) ... 52

3. Profil vegetasi di Bukit Gunung Sulah pada plot 1–5 ... 53

4. Profil vegetasi di Bukit Gunung Sulah pada plot 6–10 ... 54

5. Profil vegetasi di Bukit Gunung Sulah pada plot 11–15 ... 55

6. Profil vegetasi di Bukit Gunung Sulah pada plot 6–20 ... 56

7. Pohon jambu air(Syzygium aquea)yang menjadi pakan alami monyet ekor panjang ... 57

8. Salak(Salacca zalacca)yang merupakan salah satu tumbuhan bawah 57 9. Pulai (Alstonia scholaris) pohon tertinggi di Bukit Gunung Sulah ... 58

10. Papan Peringatan berdasarkan Perda No.8 Tahun 2000 ... 58

11. Petai (Parkia speciosa) salah satu pakan alami monyet ekor panjang .. 59


(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring meningkatnya jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan, maka akan menyebabkan sumber daya lahan akan makin banyak dimanfaatkan serta laju konversi Ruang Terbuka Hijau (RTH) semakin cepat. RTH berupa

persawahan, pertamanan, lapangan, bukit-bukit dan kebun telah berubah bentuk menjadi bangunan–bangunan untuk mencukupi fasilitas penduduk kota. Sejalan dengan hal tersebut maka akan menyebabkan berkurangnya luas RTH sebagai habitat satwa liar.

Gunung Sulah merupakan salah satu bukit di Kota Bandar Lampung yang masuk dalam kategori masih hijau (Walhi, 2010). Tempat ini merupakan Kawasan Resapan sebagai RTH berbentuk hutan kota yang ditumbuhi pepohonan dan dihuni oleh beberapa satwa liar untuk hidup dan berkembang biak yang salah satunya adalah monyet ekor panjang(Macaca fascicularis). Keadaan seperti ini perlu dipertahankan, mengingat pentingnya keberadaan hutan kota yang memberikan kontribusi jasa lingkungan terhadap Kota Bandar Lampung di masa kini dan yang akan datang serta sebagai habitat satwa yang ada di dalamnya.


(18)

2

Monyet ekor panjang adalah salah satu satwa liar yang di Indonesia

dikategorikan tidak dilindungi. Satwa ini menghabiskan waktu untuk mencari makan, berlindung, dan tidur di atas pepohonan (arboreal). Oleh karena itu kehidupan monyet ekor panjang tidak bisa dipisahkan dari lingkungan tempat hidupnya (habitat) yang bergantung pada vegetasi. Kondisi habitat ini sangat mempengaruhi terhadap kelangsungan hidupnya.

Kondisi vegetasi di Gunung Sulah ini khususnya sebagai habitat monyet ekor panjang belum diketahui secara jelas. Oleh karena itu perlu dilakukan

penelitian mengenai vegetasi untuk habitat monyet ekor panjang di Gunung Sulah sebagai langkah awal untuk mengetahui kondisi habitatnya sebagai pendukung utama kehidupan. Dengan dilakukannya penelitian tentang studi kondisi vegetasi ini akan diperoleh data mengenai struktur dan komponen penyusun habitat khususnya makanan monyet ekor panjang di Gunung Sulah ini. Diharapkan dengan adanya data mengenai vegetasi ini dapat memberikan bahan pertimbangan pihak–pihak terkait sebagai upaya perlindungan dan pelestarian monyet ekor panjang beserta habitatnya.

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah penelitian ini sebagai berikut :

1. Spesies apa yang menjadi sumber pakan alami monyet ekor panjang. 2. Bagaimana keadaan umum komposisi jenis dan struktur vegetasi di Bukit


(19)

3

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan

1. Mengetahui kondisi vegetasi yang menjadi sumber pakan alami monyet ekor panjang.

2. Mengetahui keadaan umum dari komposisi jenis dan struktur vegetasi di Bukit Gunung Sulah.

D. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi tentang kondisi vegetasi di Gunung Sulah sebagai habitat monyet ekor panjang.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pihak terkait dalam pengelolaan habitat. monyet ekor panjang di Kota Bandar Lampung.

3. Sebagai informasi tambahan bagi penelitian selanjutnya.

E. Kerangka Penelitian

Gunung Sulah merupakan salah satu bukit yang dimiliki oleh kota Bandar lampung merupakan kawasan resapan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) berbentuk hutan kota. Struktur vegetasi hutan kota yang bersifat multistrata akan memberikan ruang tumbuh bagi berbagai jenis tumbuhan lain (selain pohon), baik perdu, semak, maupun epifit sehingga akan memiliki

keanekaragaman flora yang tinggi. Kondisi tersebut akan menciptakan habitat bagi berbagai jenis satwa dengan menyediakan pakan,cover(tempat


(20)

4

Gunawan, dan Darnaedi, 2006). Selain itu hutan kota memberikan manfaat lain seperti jasa lingkungan terhadap daerah sekitarnya.

Salah satu satwa yang terdapat di Gunung Sulah adalah monyet ekor panjang. Monyet ekor panjang sangat bergantung pada habitat dan kondisi lingkungan di sekitar untuk keberlangsungan hidupnya. Kehidupan monyet ekor panjang di masa akan datang semakin terancam oleh manusia seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk terhadap habitatnya. Selain itu monyet ekor panjang banyak diburu karena sering dianggap sebagai hama bagi tanaman

masyarakat, dan sebagai satwa percobaan di laboratorium dan kepentingan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu dikhawatirkan di masa yang akan datang monyet ekor panjang akan punah di Gunung Sulah akibat dari tekanan ini.

Kondisi ini perlu mendapat perhatian dan pengelolaan secara serius, oleh karena itu diperlukan dukungan berupa data yang cukup. Salah satu data yang diperlukan untuk mendukung keberadaan monyet ekor panjang adalah data dan informasi mengenai struktur dan komposisi penyusun vegetasi serta makanan. Untuk memperoleh data dan informasi tersebut digunakan

beberapa metode yaitu dengan menggunakan metode jalur berpetak dan profil vegetasi, serta studi literatur dan wawancara dengan masyarakat.

Diharapkan dari hasil penelitian ini diperoleh data dan informasi yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan untuk habitat monyet ekor panjang di wilayah Kota Bandar Lampung.


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Biologi Monyet Ekor Panjang

1. Klasifikasi

Monyet ekor panjang(Macaca fascicularis)merupakan binatang bertulang belakang(Vertebrata)yang diklasifikasikan oleh Napier dan Napier (1967) sebagai berikut :

Phyllum :Chordata Sub Phyllum :Vertebrata Class :Mamalia

Ordo :Primata

Sub Ordo :Anthropoideae Family :Cercopithecideae Sub Family :Cercotihecideae Genus :Macaca

Species :Macaca fascicularis

Sub Species :Macaca fascicularis fascicularis


(22)

6

2. Morfologi

Monyet ekor panjang tergolong monyet kecil yang berwarna coklat dengan bagian perut berwarna lebih muda dan disertai rambut keputih–putihan yang jelas pada bagian muka. Dalam perkembangannya, rambut yang tumbuh pada muka tersebut berbeda–beda antara satu individu dengan individu lainnya. Perbedaan warna ini dapat menjadi indikator yang dapat membantu dalam mengenali individu berdasarkan jenis kelamin dan kelas umurnya (Aldrich–Black, 1970dalamChivers, 1980).

Menurut Lekagul dan McNeely (1977), ciri morfologi yang penting adalah adanya kantong pipi(cheek pouch)yang berguna untuk menyimpan makanan sementara. Kantong pipi ini akan digunakan monyet ekor panjang untuk memasukkan makanan ke dalam mulut secara cepat dan mengunyahnya di tempat lain yang secara fisik lebih menyenangkan.

B. Daerah Penyebaran

Menurut Lekagul dan McNeely (1977), genusMacacatidak hanya terdapat di Indonesia, akan tetapi tersebar juga di Indo Cina, Thailand, Burma, Malaya dan Philiphina. Di Indonesia monyet ekor panjang tersebar di Sumatra, kepulauan Lingga dan Riau, Bangka, Belitung, Pulau Kalimantan dan Pulau–

pulau sekitarnya, Kepulauan Karimata, Anambas, Taribelan, Natuna, Pulau Simalur, Nias, Jawa, Bali, Pulau Matasari, Pulau Bawean, Maratua, Timor, Lombok, Sumba, Sumbawa, dan Pulau Flores.


(23)

7 Crockett dan Wilson (1980),mengemukakan bahwa monyet ekor panjang lebih menyukai tempat–tempat dengan kemiringan yang rendah dan tanah lapang bila dibandingkan denganM. nemestrina. Menurut Bismark (1984), monyet ekor panjang umumnya hidup dekat pantai, danau dan sungai, mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap kerusakan habitat dan dekat pemukiman.

C. Daerah Jelajah(Home Range)

Menurut Alikodra (1990), suatu wilayah akan dikunjungi satwa liar secara tetap apabila dapat mensuplai makanan, minuman, serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung atau bersembunyi, tempat tidur dan tempat kawin. Wilayah ini disebut wilayah jelajah (home range), sedangkan daerahteritori adalah suatu tempat dimana beberapa spesies mempunyai tempat yang khas dan selalu dipertahankan dengan aktif, misalnya tempat tidur (bagi primata), tempat istirahat (bagi binatang pengerat), dan tempat bersarang (bagi burung).

Wilayah jelajah bervariasi sesuai dengan keadaan sumberdaya

lingkungannya, semakin baik kondisi lingkungannya semakin sempit ukuran wilayah jelajahnya (Alikodra, 1990). Faktor yang secara potensial

mempengaruhi penggunaan wilayah jelajah monyet ekor panjang, baik ditinjau dari pengaruh jangka panjang maupun jangka pendek. Pola

penggunaan jangka panjang pada umumnya disesuaikan dengan pemanfaatan buah, sedang pencarian serangga disesuaikan dengan keadaannya yang menguntungkan. Monyet ekor panjang menghindari lereng–lereng terjal terutama untuk menghindari risiko adanya pemangsa dan untuk menghemat


(24)

8 tenaga. Wilayah yang tumpang tindih dengan kelompok tetangga juga

dihindari, sehingga tidak terjadi pertemuan dengan kelompok lainnya (Schaik, 1985 dikutip oleh Alikodra,1990).

Bismark (1984), menyatakan bahwa pada dasarnya pergerakan primata setiap hari adalah berjalan menuju tempat makan dan pada sore hari bergerak menuju lokasi tempat tidurnya. Daerah jelajah monyet ekor panjang adalah 50–100 hektar perkelompok. Djuwantoko dan Soerwarno (1993),

menambahkan bahwa luas daerah jelajah monyet ekor panjang pada musim kering 46,5 hektar dan pada musim penghujan 89,2 hektar.

D. Ukuran dan Komposisi Kelompok

Salah satu karakteristik primata adalah hidup secara berkelompok. Monyet ekor panjang membentuk kelompok yang disebutmultimale groupyaitu kelompok yang lebih dari satu jantan dewasa dalam satu kelompok dan biasanya terbagi dalam sub kelompok dengan ukuran kelompok bervariasi antara 20–60 individu perkelompok (Crockett dan Wilson, 1980).

Ukuran kelompok dan penyebarannya mungkin dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan seperti penyebaran dan ketersediaan makanan, lokasi tidur dan tekanan predator. Faktor lain yang diperkirakan mempengaruhi ukuran kelompok adalah kerapatan vegetasi (Aldrich–Black, 1970dalamChivers, 1980).

Bismark (1984), menyatakan bahwa pembentukan dan besarnya kelompok monyet ekor panjang bervariasi menurut tipe dan habitatnya. Pada hutan


(25)

9 primer kelompok satwa ini sekitar 10 ekor, di hutan bakau sekitar 15 ekor dan di hutan yang telah dikelola oleh manusia terdapat lebih dari 40 ekor. Selain itu, monyet ekor panjang dengan kelompokmultimalemempunyai jumlah individu dalam kelompok terdiri dari 14% jantan dewasa, 33,3–35,2% betina dewasa, 50,5% bayi dan anak–anak.

E. Habitat

Habitat adalah suatu tempat dimana organisasi atau individu biasanya

ditemukan. Suatu habitat merupakan hasil interaksi berbagai komponen yaitu komponen fisik yang terdiri dari air, tanah, dan iklim, serta komponen biotik yang merupakan satu kesatuan yang digunakan sebagai tempat hidup dan berkembang biak (Alikodra ,1990). Habitat merupakan faktor paling penting untuk kehidupan satwa liar, dan kualitas juga berpengaruh langsung terhadap populasi satwa (Bismark, 1984).

Habitat asli monyet ekor panjang adalah rawa–rawa bakau, tetapi ditemui juga pada hutan primer dan sekunder pada ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut, selain itu juga terdapat pada perbatasan areal hutan dan pertanian (Mukhtar, 1982). Jenis ini dianggap sebagai binatang pengganggu karena sering merusak tanaman perkebunan, jagung, ketela, pepaya dan pisang (Sugiharto, 1992).

Menurut Linburg (1980), monyet ekor panjang banyak ditemui di habitat terganggu khususnya daerah ripairan (tepi sungai, tepi danau, dan sepanjang pantai dan hutan sekunder areal perladangan. Selain itu terdapat pula di rawa


(26)

10 mangrove yang terkadang monyet ini hanya satu–satunya spesies anggota dari primata, atau di daerah pantai bersama spesies lainnya seperti lutung

(Presbytis cristata). Sementara itu Napier dan Napier (1970), menyatakan bahwa monyet ekor panjang adalah salah satu contoh genus yang dapat beradaptasi dengan keadaan lingkungan dan iklim yang berbeda.

Pada mulanya kehidupan primata ini adalaharboreal, mereka bertempat tinggal terutama di pohon–pohon dan hanya beberapa saja yang hidup di darat. Primata yang mempunyai kemajuan ke arah kehidupanterestrial keadaannya lebih kuat dan cakap untuk melindungi dirinya dari predator, pertahanan diri yang dipakai adalah dengan cara hidup berkelompok (Mukhtar, 1982).

Sebagian besar primata familiCercopithecideae, Hylobatideae, dan

Pongideaehidup di hutan sekitar daun–daun dan dahan pohon pada kanopi hutan. Posisi demikian sangat menguntungkan, sedangkan makanan yang berupa buah, daun, dan biji berlimpah–limpah sepanjang tahun (Mukhtar, 1982).

F. Komponen Habitat

Margasatwa dalam melangsungkan hidupnya memerlukan tempat–tempat yang digunakan untuk mencari makan, minum, bermain, dan tempat untuk berkembang biak. Tempat–tempat semacam itu membentuk satu kesatuan yang disebut habitat (Alikodra, 1980). Kondisi habitat sangat mempengaruhi


(27)

11 kondisi satwa di dalamnya, karena di dalam habitat terjadi interaksi antara satwa dengan lingkungannya.

Alikodra (1980), menyatakan bahwa habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan,air, dan perlindungan. Sementara itu dari segi komponennya, habitat terdiri dari komponen biotik (hayati) dan fisik. Komponen fisik dan komponen biotik ini membentuk sistem yang dapat mengendalikan kehidupan satwa liar. Suatu habitat adalah hasil interaksi dari sejumlah komponen. Secara terperinci komponen fisik terdiri dari air,

temperatur dan tanah, sedangkan komponen biotik terdiri dari vegetasi, mikro dan makro fauna, serta makanan.

1. Komponen Biotik

a. Vegetasi

Vegetasi adalah kumpulan dari tumbuh–tumbuhan yang hidup

bersama–sama pada suatu tempat, biasanya terdiri atas beberapa jenis yang berbeda. Kumpulan dari berbagai jenis tumbuahan yang masing–

masing tergabung dalam suatu populasi yang saling berinteraksi antara satu sama lain dinamakan komunitas (Soerianegara dan Indrawan, 1978).

Vegetasi merupakan keseluruhan tumbuhan yang hidup bersama pada suatu daerah tertentu yang dapat dicirikan oleh spesies penyusun vegetasi baik tumbuhan kecil sampai yang berukuran besar. Vegetasi merupakan tempat hidup, berkembang biak, dan sebagai sumber


(28)

12 makanan bagi habitat monyet ekor panjang. Analisis vegetasi bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis (susunan) dan struktur vegetasi yang ada dalam mendukung kehidupan monyet ekor panjang. Komunitas tumbuhan merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh sekaligus sebagai sistem yang dinamis. Sementara itu komunitas merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh karena komunitas ini terbentuk secara berangsur–angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuhan, adaptasi agregasi, persaingan, dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilitas (Alikodra, 1990).

Analisis vegetasi yang dilakukan pada suatu komunitas dibagi dua, yaitu dengan menggunakan parameter kuantitatif dan kualitatif. Jenis parameter yang termasuk dalam parameter kualitatif biasanya bersifat deskriptif, sedangkan paramater kuantitatif biasanya diperoleh melalui pengukuran dimensi tertentu. Dalam analisis vegetasi kuantitatif, parameter–parameter yang dihitung misalnya kerapatan, frekuensi dan luas penutupan serta indeks nilai penting dari jenis–jenis yang

membentuk vegetasi.

Gopal dan Bhardwaj (1979)dalamIndriyanto (2003), mengemukakan beberapa parameter kuantitatif dalam analisis komunitas tumbuhan, sebagai berikut :

1) Kerapatan adalah jumlah individu per unit area (luas) atau unit per volume.


(29)

13 2) Frekuensi suatu jenis spesies tumbuhan adalah jumlah petak contoh tempat ditemukanya suatu spesies dari sejumlah petak contoh yang dibuat.

3) Luas penutupan adalah proporsi antara luas tempat yang ditutup oleh suatu spesies tumbuhan dengan luas total habitat. Luas penutupan ini biasanya dinyatakan dengan menggunakan luas penutupan tajuk ataupun luas bidang dasar.

4) Indeks nilai penting adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan) spesies–spesies dalam komunitas suatu tumbuh–tumbuhan.

b. Makanan

Monyet ekor panjang merupakan salah satu jenis satwa pemakan buah (frugivorous). Penggolongan ini didasarkan pada banyaknya bagian tumbuhan yang dimakan oleh monyet ekor panjang tersebut. Selain sebagaifrugivorous, monyet ekor panjang juga mempunyai alternatif untuk mencari sumber makanan lain. Jenis–jenis yang dapat dimakan monyet ekor panjang antara lain : serangga, rumput, jamur, akar, umbi, dan telur burung. Jenis tumbuhan pakan monyet ekor panjang di Banyu Sumurup Gunung Kidul menurut Sugiharto (1992), adalah jati(Tectona grandis), jambu biji(Psidium guajava), srikaya(Annona squamosa), bungur(Lagerstromeia speciosa), trembesi(Samanea saman), flamboyan(Delonix regia), randu(Ceiba petandra), pepaya(Carica papaya), kedondong(Spondias dulcis), kelapa(Cocos nucifera),


(30)

14 tembelekan(Lantana camara), rumput teki(Cyperus rotundus), kirinyu (Eupatorium odoratum), talas(Colocasia esculenta), kemangi(Ocimum basilicum), ketela(Manihot esculenta), ciplukan(Physalis angulate), ketela rambat(Ipomoea batatas), tebu(Saccharum officinarum), tomat (Solanum lycopersicum), tembakau(Nicotiana tabacum), asam

(Tamarindus indica), dan turi(Sesbeania grandiflora). Selain itu jenis lain sebagai pakan monyet ekor panjang adalah buah karet, pucuk padi, dan buah jagung yang muda serta beberapa yang tua. Romauli (1993), menemukan bahwa vegetasi yang dijadikan sumber pakan di Pulau Tinjil pada bulan Juli–Agustus 1990 yaitu beringin(Ficus benjamina), jambu bol(Eugenia densiflora),tangkil(Gnetum gnemon),waru (Hibiscus tiliaceus),biji keben(Barringtonia asiatica),mengkudu (Morinda citrifolia),tanjung(Mimusops elengii),awar–awar(Ficus septica),mangga(Mangifera indica),hanjuang(Dracaena elliptica), dan kedaya(Disoxylum amooroides).

Menurut Alikodra (2010), jenis–jenis pohon penghasil buah untuk memenuhi kebutuhan pakan satwa liar yang ideal adalah beringin (Ficus sp),kelumpung(Sterculia foetida),asam(Tamarindus indica), sawo kecik(Manilkara kauki),dan tancang(Brugeira sp). Selain itu tanaman lainnya adalah gandum(Triticum aestivum), padi(Oryza sativa), pisang(Musa parasidisiaca), pepaya(Carica papaya), murbei (Morus alba), dan jagung(Zea mays).

Menurut Aldrich–Blake (1976)dalamChivers (1980), aktivitas makan paling banyak dilakukan pada pagi dan sore hari, sedangkan waktu


(31)

15 istirahat dilakukan pada tengah hari. Adapun jenis pakan monyet ekor panjang yaitu buah–buahan, serangga, bunga rumput, tanah dan jamur. Monyet ekor panjang dikatakan sebagaifrugivor, jika dilihat dari jenis pakan yang dikonsumsinya, lebih dari 90% pakan monyet ekor panjang adalah buah–buahan (Wheatley,1976dalamLindburg, 1980).

Terdapat prinsip penting dalam hubungan antara perilaku satwa dengan penyebarannya dan kelimpahan dari sumber makanannya, pada

hubungan antara penyebaran, kepadatan dan ukuran grup, area yang kecil potensi pakannya dieksploitasi oleh kelompok yang kecil dan sebaliknya, areal yang melimpah potensi pakannya dieksploitasi oleh kelopok yang besar (Wheatley,1976dalamLindburg, 1980).

c. Satwa Lain

Dalam suatu kawasan hutan tidak selalu hanya dihuni oleh suatu jenis satwa liar saja, tetapi juga memungkinkan terdiri dari beberapa jenis fauna yang hidup di dalamnya baik sebagai tempat tinggal sementara, sebagai tempat bermigrasi, maupun tempat tinggal untuk hidup dan berkembang biak. Manusia dan hewan peliharaan (ternak) juga

termasuk anggota masyarakat biotik yang mempunyai peranan penting terhadap kelestarian habitat beserta lingkungannya (Alikodra,1990).

Menurut Bismark (1984), struktur hutan berpengaruh nyata terhadap struktur satwa liar yang tinggal di dalamnya, di dalam hutan banyak dijumpai berbagai jenis satwa yang hidup berdampingan, satwa liar


(32)

16 saling berinteraksi antar sesama membentuk rantai makanan yang tak terpisahkan.

2. Komponen Fisik

Komponen fisik dari suatu habitat meliputi :

a. Air

Air merupakan komponen yang sangat penting dalam kehidupan satwa liar, kebutuhan air bagi satwa liar berbeda–beda tergantung dari jenis dan ukuran satwa liar. Beberapa sumber air dapat ditemukan dari : sungai, mata air, danau dan tumbuh–tumbuhan yang mempunyai kadar air tinggi (Anonimous, 1986dikutip olehSalampessy, 2002). Menurut Alikodra (2010), air dipergunakan satwa liar untuk minum dan

berkubang. Sumber–sumber air ini dapat terdiri danau, rawa, sungai, mata air dan sebagainya.

b. Tanah

Tanah terbentuk sebagai hasil interaksi proses geologis, iklim dan biologis. Tumbuhan dan berbagai jenis kehidupan fauna juga berpengaruh terhadap faktor fisik dan proses–proses organis. Tumbuhan menggunakan hara mineral untuk membentuk molekul–

molekul organis dan jaringan yang gilirannya akan dimanfaatkan oleh kehidupan satwa liar (Alikodra,1990).


(33)

17

c. Temperatur

Menurut Alikodra (1990), temperatur merupakan faktor yang penting dalam wilayah biosfer, karena pengaruhnya sangat besar pada segala bentuk kehidupan. Beberapa kegiatan organisme seperti reproduksi, pertumbuhan, dan kematian sangat dipengaruhi oleh temperatur lingkungannya. Pada umumnya temperatur berpengaruh terhadap prilaku satwa liar. Dalam suatu percobaan membuktikan bahwa ukuran dan warna satwa liar dapat pula dipengaruhi oleh temperatur, selain itu temperatur juga berpengaruh terhadap ukuran tubuh ataupun bagian–bagiannya.

G. Komposisi Spesies

Komposisi ekosistem tumbuhan dapat diartikan variasi jenis flora yang menyusun suatu komunitas. Komposisi jenis tumbuhan merupakan daftar floristik dari jenis tumbuhan yang ada dalam suatu komunitas (Misra, 1980 yang dikutip oleh Fachrul, 2007). Jenis tumbuhan yang ada dapat diketahui dari pengumpulan atau koleksi secara periodik dan identifikasi di lapangan. Contoh jenis tumbuhanya dapat diperoleh dari pencatatan dalam sampling unit, seperti dalam petak–petak pertelaan atau transek waktu dikumpulkan data kuantitatif pada penelitian struktur vegetasi. Daftar floristik sangat berguna karena dapat dipakai sebagai salah satu parameter vegetasi untuk mengetahui keanekaragaman jenis tumbuhan dalam komunitas.

Komposisi dan struktur suatu vegetasi merupakan fungsi dari beberapa faktor, seperti flora setempat, habitat (iklim, tanah dan lain lain), waktu dan


(34)

18 kesempatan. Kelimpahan jenis ditentukan berdasarkan besarnya frekuensi, kerapatan, dan dominansi setiap jenis. Penguasaan suatu jenis ditentukan berdasarkan indeks nilai penting, volume, biomasa, persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar, dan banyaknya individu dan kerapatan (Marsono, 1999).

Struktur suatu vegetasi terdiri dari individu–individu yang membentuk tegakan di dalam suatu ruang. Komunitas tumbuhan terdiri sekelompok tumbuh–tumbuhan yang masing–masing individu mempertahankan sifatnya. Struktur vegetasi terdiri dari 3 komponen (Marsono, 1999) yaitu:

1) Struktur vertikal vegetasi yang merupakan diagram profil yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai dan herba penyusun vegetasi.

2) Sebaran horizontal jenis–jenis penyusun yang menggambarkan letak dari suatu individu terhadap individu lain.

3) Kelimpahan (abundance) setiap jenis dalam suatu komunitas.

H. Stratifikasi Tajuk

Menurut Vickery (1984)dalamIndriyanto (2006), stratifikasi (pelapisan) tajuk merupakan susunan tetumbuhan secara vertikal di dalam komunitas tumbuhan atau ekosistem hutan. Pada tipe ekosistem hutan hujan tropis, stratifikasi itu terkenal dan lengkap. Tiap lapisan dalam stratifikasi itu disebut stratum atau strata.


(35)

19 Stratifikasi tajuk terjadi karena dua hal penting yang dimiliki atau dialami oleh tumbuhan dalam persekutuan hidupnya dengan tumbuhan lainnya yaitu

sebagai berikut (Indriyanto, 2006).

1. Akibat persaingan antartumbuhan. Adanya persaingan tersebut

muncullah spesies–spesies pohon yang memiliki kemampuan bersaing, memiliki pertumbuhan kuat, dan menjadi spesies yang dominan atau lebih berkuasa dibandingkan spesies lainnya. Bagi pohon–pohon yang tinggi akan menjadi pohon pemenang dan menguasai pohon–pohon lain yang lebih rendah. Pohon–pohon dominan ini akan mencirikan komunitas hutan yang bersangkutan.

2. Akibat sifat toleransi spesies pohon terhadap intensitas radiasi matahari. Spesies–spesies pohon yang intoleran yang mendapatkan kesempatan ruang tumbuh dengan radiasi matahari penuh, maka pohon tersebut akan tumbuh dengan cepat dan tinggi pohonnya mencapai posisi paling atas. Tetapi pohon intoleran yang ternaungi oleh pohon lainnya, maka

pertumbuhannya akan terhambat dan kemungkinan besar tidak bertahan hidup pada hutan–hutan yang sangat lebat, dan akhirnya mati.

Sebaliknya, pohon yang bersifat toleran terhadap naungan sudah pasti pohon ini akan tumbuh dengan baik jika mendapat naungan dari pohon–

pohon lain yang lebih tinggi, bahkan pohon toleran dalam suatu komunitas tumbuhan perlu berdampingan dengan pohon lain sebagai penaung agar pertumbuhannya optimal. Dengan demikian, secara otomatis sifat toleransi ini akan menciptakan stratifikasi tajuk dalam hutan.


(36)

20

Menurut Irwanto (2007), di dalam hutan hujan akan didapati 3 stratum bahkan lebih, yang dicirikan dengan adanya susunan dari pohon–pohon yang diatur dalam tiga tingkatan yang jelas. Tingkat pertama (dominan) membentuk satu kanopi sempurna. Kanopi merupakan kumpulan tajuk (kesatuan tajuk) atas hutan yang rata–rata mempunyai ketinggian 20––35 meter dan tumbuhnya rapat sehingga tajuknya saling bersentuhan

membentuk kesinambungan dan menjadi atap hutan. Hal ini menyebabkan kondisi sekitar hutan menjadi sejuk atau teduh tanpa sinar matahari.

Tumbuh–tumbuhan yang terdapat di kanopi umumnya berdaun tetapi variasinya kurang. Permukaan daun rata dan mengkilap di kedua sisinya. Di bawahnya terdapat suatu tingkatan lain dari pohon–pohon besar yang juga membentuk kanopi yang sempurna. Lebih rendah lagi terdapat suatu tingkatan dari pohon–pohon kecil yang terpencar.

Suatu stratum pohon dapat membentuk suatu kanopi yang kontinu atau diskontinu. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya tajuk–tajuk yang saling bersentuhan secara lateral. Istilah kanopi adakalanya sinonim dengan stratum. Kanopi berarti suatu lapisan yang sedikit banyak kontinu dari tajuk–tajuk pohon yang tingginya mendekati sama, misalnya

permukaan yang tertutup. Atap dari hutan kadangkala juga disebut kanopi. Di dalam hutan hujan, permukaan ini dapat dibentuk oleh tajuk–tajuk dari stratum yang paling tinggi saja (Irwanto, 2007).

Menurut Indriyanto (2006), stratifikasi yang terdapat pada hutan hujan tropis dapat dibagi menjadi lima stratum berurutan dari atas ke bawah,


(37)

21 yaitu stratum A, stratum B, stratum C, stratum D, dan stratum E.

Masing–masing stratum yang dimaksudkan, diuraikan sebagai berikut. 1. Stratum A (Astorey) yaitu lapisan tajuk (kanopi) hutan paling atas

yang dibentuk oleh pohon–pohon yang tingginya lebih dari 30m. 2. Stratum B (Bstorey) yaitu lapisan tajuk kedua dari atas yang dibentuk

oleh pohon–pohon yang tingginya mencapai 20 –30m.

3. Stratum C (Cstorey) yaitu lapisan tajuk ketiga dari atas yang dibentuk oleh pohon–pohon yang tingginya mencapai 4 – 20m. 4. Stratum D (Dstorey) yaitu lapisan tajuk keempat dari atas yang

dibentuk oleh spesies tumbuhan semak dan perdu yang tingginya 1 –

4m. Pada stratum ini juga terdapat dan/atau dibentuk oleh spesies–

spesies pohon yang masih muda atau dalam fase anakan (seedling) terdapat palma–palma kecil, herba besar, dan paku–pakuan besar. 5. Stratum E (Estorey) yaitu tajuk paling bawah (lapisan kelima dari

atas) yang dibentuk oleh spesies–spesies tumbuhan penutup tanah (ground cover) yang tingginya 0– 1m. Keanekaragaman spesies pada stratum E lebih sedikit dibandingkan dengan stratum lainnya.

I. Tingkat Penguasaan Jenis

Dominansi merupakan tingkat penguasaan suatu spesies dalam suatu komunitas atau pengaruh suatu jenis terhadap jenis lain atas penguasaan bidang dasar dalam komunitas. Dominansi ditentukan berdasarkan luas bidang dasar jenis yang bersangkutan (Marsono, 1999).


(38)

22 Tingkat dominansi atau penguasaan jenis dapat dilihat dari indeks nilai

penting (INP). Indeks nilai penting merupakan parameter kuantitatif yang dapat di pakai untuk menyatakan tingkat penguasaan spesies dalam suatu komunitas tumbuhan. Spesies–spesies yang dominan (yang berkuasa) dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi, sehingga spesies yang paling dominan tentu saja memiliki nilai penting yang paling besar (Indriyanto, 2006).

Keanekaragaman jenis dapat digunakan untuk menandai jumlah spesies

daerah tertentu atau sebagai jumlah spesies diantara jumlah total individu yang terdapat di daerah tersebut. Soerianegara (1998 yang dikutip oleh Affandi, 2008), menambahkan bahwa keanekaragaman jenis tidak hanya ditentukan oleh banyaknya jenis, tetapi juga oleh banyaknya individu tiap jenis.

J. Analisis Vegetasi

Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi. Dalam ekologi hutan, satuan vegetasi yang dipelajari atau diselidiki berupa komunitas tumbuhan yang merupakan asosiasi kongkrit dari semua spesies tumbuhan yang menempati suatu habitat. Oleh karena itu tujuan yang ingin dicapai dalam analisis komunitas adalah untuk mengetahui komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu wilayah yang dipelajari (Indriyanto, 2006).

Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh–tumbuhan, biasanya terdiri dari beberapa jenis yang hidup bersama–sama pada suatu tempat. Dalam


(39)

23 mekanisme kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data jenis, diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penyusun komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan.

Berdasarkan tujuan, pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu (Marsono, 1999):

1. pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan batas–batas jenis dan membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama namun waktu pengamatan berbeda,

2. menduga tentang keragaman jenis dalam suatu areal, dan

3. melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor lingkungan tertentu atau beberapa faktor lingkungan.


(40)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2011.

B. Alat dan Objek Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kompas untuk menentukan arah garis rintis atau jalur, tali plastik sebagai pembatas plot, patok kayu, alat ukur tinggi pohon (christen hypsometer), alat dokumentasi gambar (kamera), alat ukur diameter (pita meter), meteran dengan panjang 50 meter sebagai penentu jarak plot,tallysheet,Global Positioning System(GPS) untuk menentukan koordinat lokasi penelitian, buku pengenalan tumbuhan dan alat tulis. Objek penelitian ini adalah vegetasi yang ada di Bukit Gunung Sulah (Gambar 2) seluas 7,7 Ha.


(41)

25

C. Jenis Data

Adapun jenis data yang dikumpulkan yaitu berupa : 1. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung di lapangan. Data primer yang diambil meliputi : spesies, diameter batang, dan tinggi tumbuhan, jenis makanan (jenis dan bagian yang dimakan oleh monyet ekor panjang), tinggi bebas cabang, diameter tajuk, lokasi pohon pada plot (jarak sumbu x dan y).

2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data penunjang yang berupa data tentang kependudukan, jenis tanah, sumber air dan literatur-literatur mengenai jenis–jenis tanaman yang berguna bagi monyet ekor panjang.

D. Metode Pengumpulan Data

1. Vegetasi hutan

Cara pengumpulan data vegetasi di Gunung Sulah diambil menggunakan metode jalur berpetak (Indriyanto, 2006).

Menurut Boon dan Tideman (1950yang dikutip olehSoerianegara dan Indrawan, 1978) untuk kelompok hutan yang luasnya 1.000 ha atau lebih intensitas sampling yang digunakan sebaiknya 2 %, sementara itu jika kurang dari 1.000 ha maka intensitas sampling sebaiknya digunakan 5 %–

10 %. Berdasarkan ketentuan di atas maka digunakan intensitas sampling 10% dikarenakan luas dari Gunung Sulah kurang lebih 7,7 ha. Dari luas


(42)

26 total 77.000 m2akan diambil luas sampel 7.700 m2yang kemudian dibagi menjadi 20 petak dengan jarak antar garis rintis 100 m.

Gambar 1. Desain petak contoh di lokasi penelitian dengan metode jalur berpetak.

Keterangan :

Petak A : petak berukuran 20 m x 20 m untuk pengamatan pohon Petak B : petak berukuran 10 m x 10 m untuk pengamatan poles Petak C : petak berukuran 5 m x 5 m untuk pengamatan sapling Petak D : petak berukuran 2 m x 2 m untuk pengamatanseedling

dan tanaman selain pohon

Petak yang digunakan dalam penelitian ini adalah 7.700 m2yang

kemudian dibagi menjadi 20 plot dengan luas masing–masing plot 20 m x 20 m untuk pengamatan fase pohon, 10 m x 10 m untuk pengamatan fase tiang, 5 m x 5 m untuk pengamatan fase pancang, 2 m x 2 m untuk pengamatan fase semai dan tanaman selain pohon. Setelah membuat plot pengamatan, dilakukan pencatatan jenis, diameter, dan tinggi tumbuhan.

2. Makanan

Identifikasi jenis pakan diketahui dengan cara studi literatur dan

wawancara dengan masyarakat sekitar mengenai jenis–jenis tanaman dan bagian–bagian yang dimakan oleh monyet ekor panjang.


(43)

27

3. Profil hutan

Metode ini digunakan untuk memperoleh gambaran stratifikasi tajuk dan kontinuitas dari vegetasi petak contoh. Variabel yang akan diukur adalah tinggi total pohon, tinggi bebas cabang, diameter (untuk pohon yang berdiameter 10 cm ke atas), diameter tajuk, lokasi pohon pada plot.

E. Analisis Data

1. Vegetasi hutan

Menurut Indriyanto (2006), untuk menganalisis vegetasi hutan dapat dihitung menggunakan rumus–rumus berikut ini :

a. Kerapatan

Kerapatan (K) menunjukkan jumlah individu dalam suatu petak. Kerapatan tiap spesies dibedakan berdasarkan tingkat pertumbuhan (semai, pancang, tiang, pohon dan tanaman selain pohon)

penghitungan kerapatan dapat diketahui berdasarkan rumus berikut :

b. Distribusi/Frekuensi

Distribusi/frekuensi (F) menunjukkan jumlah penyebaran tempat ditemukannya suatu spesies dari semua plot ukur. Dapat dihitung dengan rumus berikut :

contoh petak seluruh luas i -ke spesies untuk individu jumlah K % 100 spesies seluruh kerapatan i -k spesies kerapatan


(44)

28

c. Dominansi

Dominansi (D) digunakan untuk mengetahui spesies yang tumbuh lebih banyak/mendominasi. Penghitungan dominansi dapat diketahui berdasarkan rumus berikut :

d. Indeks Nilai Penting

Indeks Nilai Penting (Importance Value Index) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan) spesies–spesies dalam suatu komunitas tumbuhan. Penghitungan INP dapat diperoleh berdasarkan rumus berikut : INP = KR + FR + DR

2. Makanan

Data tentang makanan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif berdasarkan jenis dan bagian–bagian tumbuhan yang menjadi pakan monyet ekor panjang.

3. Profil hutan

Analisis yang digunakan untuk profil hutan ini adalah analisis deskriptif berdasarkan gambaran vegetasi yang didapat di lapangan.

contoh petak luas i -ke dasar bidang luas jumlah D 100% x spesies seluruh dominansi i -ke spesies suatu dominansi DR 100% x spesies seluruh frekuensi i -ke spesies frekuensi FR contoh petak seluruh jumlah i -ke spesies suatu ditemukan contoh petak jumlah F


(45)

IV. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

A. Deskripsi Wilayah Penelitian

Kelurahan Gunung Sulah yang sebelumnya merupakan wilayah Kelurahan Jagabaya II Kecamatan Sukarame pada tahun 1984. Kelurahan Jagabaya II mengalami pemekaran dua kelurahan yaitu Kelurahan Way Halim Permai dan Kelurahan Gunung Sulah. Berdasarkan Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bandar Lampung Nomor : 821.20-12-12-1989 tanggal 05 Agustus 1989 dengan luas ± 97 ha, yang menjadi dua Lingkungan.

Berdasarkan adanya pemecahan/pemekaran wilayah tersebut, Kelurahan Gunung Sulah merupakan territorial administratif langsung di bawah dan bertanggung jawab kepada Wilayah Kecamatan Sukarame. Kelurahan Gunung Sulah adalah Kelurahan secara geografis terletak di bagian selatan Kecamatan Sukarame yang ditandai dengan tugu batas.

1. Batas wilayah

Adapun batas-batas dengan kelurahan lain yang ditandai dengan tugu batas yaitu :

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Way Halim Permai b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Jagabaya II c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Surabaya


(46)

30

d. Sebelah Timur berbatasan dengan Jagabaya III.

2. Kondisi Geografis

a. Ketinggian tanah dari permukaan laut ± 150 mdpl.

b. Banyak curah hujan pertahun terjadi pada bulan Nopember–Maret, dengan klasifikasi 2000–3000 mm.

c. Keadaan permukaan tanah rendah. d. Jenis tanah adalah tanah liat.

3. Orbisitas (Jarak dari Pusat Pemerintah Kelurahan) a. Jarak dari Pusat Pemerintahan Kecamatan ± 2 Km. b. Jarak dari Ibu Kota Bandar Lampung ± 5 Km. c. Jarak dari Ibu Kota Propinsi ± 8 Km.

d. Jarak dari Ibu Kota Negara ± 600 Km.

B. Potensi Kelurahan

1. Potensi Sumberdaya Alam a. Luas Kulurahan

Luas total dari Kelurahan Gunung Sulah adalah 97 ha, yang terbagi dalam beberapa luasan berdasarkan penggunaan seperti pemukiman, perkantoran, pekarangan, taman dan lain-lain.

b. Sumber daya air

Sumberdaya air yang digunakan masyarakat untuk berbagai keperluan diperoleh dari berbagai sumber yaitu dari sumur gali yang digunakan sebanyak 1.800 kepala keluarga (KK) dan PAM (Perusahaan Air


(47)

31

Mineral) sebanyak 2.120 KK. Dari berbagai sumber air tersebut mempunyai kualitas yang baik dan aman dikonsumsi oleh masyarakat. Selain itu, Kelurahan Gunung Sulah memiliki kualiatas udara yang masuk dalam kategori sehat.

2. Lembaga Pemerintahan

Kelurahan Gunung Sulah memiliki Jumlah aparat sebanyak 9 orang yang memiliki latar belakang pendidikan Sarjana sebanyak 4 orang dan SLTA sebanyak 5 orang. Jumlah Rukun Tetangga sebanyak 29 orang yang terbagi dalam 3 Lingkungan.

3. Tenaga Kerja

Penduduk Kelurahan Gunung Sulah memiliki mata pencaharian pokok masing–masing sebagai berikut : buruh/swasta sebanyak 2.611 orang, pegawai negeri sebanyak 214 orang, pedagang sebanyak 1.785 orang, penjahit sebanyak 37 orang, tukang batu sebanyak 202 orang, tukang kayu sebanyak 149 orang, montir 18 orang, dokter sebanyak 1 orang, supir sebanyak 141 orang, pengemudi becak sebanyak 5 orang, TNI/Polri sebanyak 72 orang, pengusaha sebanyak 6 orang, dan lain–lain sebanyak 2.085.

4. Etnis

Dari keseluruhan jumlah penduduk Kelurahan Gunung Sulah dihuni oleh berbagai etnis/ suku yaitu masing–masing 5.381 jiwa dari etnis Jawa, 3.269 jiwa dari etnis Lampung, 1.495 jiwa dari etnis Palembang, 17 jiwa dari etnis China, 359 jiwa dari etis Batak, dan lain-lain sebesar 29 jiwa.


(48)

32

5. Pendidikan

Tabel 1. Tingkat Pendidikan Kelurahan Gunung Sulah

Sumber : Profil Kelurahan Gunung Sulah, Kecamatan Sukarame, Kota Bandar Lampung (2008)

No Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa)

1 Belum sekolah 1.800

2 Tidak tamat SD 201

3 Tamat SD/Sederajat 1.270

4 Tamat SMP 2.232

5 Tamat SMA 4.416

6 Diploma 1 95

7 Diploma 2 90

8 Diploma 3 101


(49)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bukit Gunung Sulah memiliki 19 spesies tanaman yang menjadi pakan alami monyet ekor panjang dan 10 spesies yang belum diketahui secara jelas kegunaannya bagi monyet ekor panjang. Kerapatan tanaman

penyusun vegetasi di Bukit Gunung Sulah memiliki tingkat kerapatan dan sebarannya yang termasuk dalam kategori rapat dengan rata–rata jarak antar tanaman sebesar 0,62 m. Keadaan seperti ini akan menguntungkan monyet ekor panjang untuk melakukan aktivitas seperti bermain dan berlindung.

2. Bukit Gunung Sulah memiliki 29 spesies penyusun vegetasi yang

didominasi oleh 24 spesies pohon dan 5 spesies selain pohon. Stratifikasi tajuk di Bukit Gunung Sulah terdapat tiga stratum yaitu stratum C, D, dan E.

B. Saran

Perlu meningkatkan kegiatan penanaman permudaan buatan yang dapat digunakan monyet ekor panjang sebagai tempat bermain, berlindung dan akan menjadi sumber pakan alam


(50)

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, R. 2008. Keanekaragaman Jenis Mamalia Teresterial di Taman

Nasional Berbak Provinsi Jambi. Skripsi Universitas Lampung. Bandar Lampung. 120 hlm. Tidak Dipublikasikan.

Alikodra, H.S., 1980.Dasar-dasar Pengelolaan Margasatwa. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. 210 hal

____________.1990.Pengelolaan Satwa Liar Jilid I.Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati IPB. Bogor

____________.2010.Teknik Pengelolaan Satwa Liar. IPB Press. Bogor Anon. 2001. Macaca fascicularis.website. Forest Departement Serawak.

http://www.forestry.serawak.gov.my/forweb/wildlife/fauna/mammal/itm ac.htm. di akses 02 Agustus 2010.

Bismark, M. 1984.Biologi dan Konservasi Primata di Indonesia. Penerbit Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor.

Chiver.D.J (editor). 1980.Malayan Forest Primates; Ten Year’s Study in

Tropical Rain Forest.Plenum Press.N.Y. and London.

Crockett, M.C., and Wilson, 1980.The ecological separation of Macaca nemestrina and Macaca fascicularis in Sumatra. In: The Macaques: Studies in Ecology, Behavior and Evolution,D. G. Lindburg (ed.), Van Nostrand Reinhold, New York, pp. 148–181.

Djuwantoko, A.T. dan H.S. Soewarno. 1993. Ekologi Prilaku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis,Raffles. 1921) di Hutan Tanaman Jati. Laporan Penelitian. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak Dipublikasikan.

Fachrul, M.F. 2007.Metode Sampling Bioekologi. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. 198 hlm.

Farida, H. 2008. Aktifitas Makan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Bumi Perkemahan Cibubur Jakarta. Departemen Biologi FMIPA. IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.


(51)

51

Gem, C. 1996.Kamus Saku Biologi. Erlangga. Jakarta

Indriyanto. 2003.Ekologi Hutan. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung.

_________.2006.Ekologi Hutan.PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Irwanto. 2007. Stratifikasi Tumbuhan. Universitas Pattimura. Maluku. http://www.irwantoshut.com/. Diakses 15 Januari 2009

Kelurahan Gunung Sulah. 1998.Profil Kelurahan Gunung Sulah, Kecamatan Sukarame, Kota Bandar Lampung.Bandar Lampung

Lekagul, B. And Neely. J.A. Mc. 1977.Mammal of Thailand. Assosiation for the Conservation of Wildlife Sahakambat Co.,Bangkok. Bangkok.

Lindburg, G,D., ed. 1980.The Macaques. Van Nostrand Reinhold Co. New York. Hal. 239-240

Marsono, Dj. 1999. Visi dan Misi Konservasi Sumberdaya Alam indonesia, Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Institut

Pertanian STIPER. Yogyakarta. www.irwantoshut.com. Diakses Pada 05 Oktober 2009. 129 hlm.

Mukhtar, A.S. 1982. Penelitian Pola Pergerakan(Macaca fascicularis, Raffles,1821) Di Taman Wisata dan Cagar Alam Penanjung

Pangandaran, Jawa Barat.Tesis Magister Sains. Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Napier, J.R. and Napier, P.H. 1967.A Handbook of Living Primate Morphology Ecology and Behaviour of Human Primates. Academic Press London. New York.

Purnomosidhi. P., Suparman, Roshetko, J.M. 2002.Perbanyakan dan Budidaya Tanaman Buah-buahan. ICRAF Southeast Asia Regional Research

Programme. Bogor

Romauli, S. 1993. Studi di Habitat Monyet ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles, 1821) di Pulau Tinjil. Skripsi Sarjana IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Salampessy, A. 2002. Studi Habitat Badak Sumatra(Dicerorhinus sumatrensis Fischer, 1814) di Areal Pengembangan Suaka Rhino Sumatera Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Skripsi Universitas Lampung. Bandar Lampung. Tidak Dipublikasikan.


(52)

52 Santoso, N. 1996. Analsis Habitat dan Potensi Pakan Monyet Ekor Panjang

(Macaca fascicularisRaffles) di Pulau Tinjil. Media Konservasi Vol. V No. (1) April 1996 : 5–9. Bogor.

Setiawan, A, Alikodra, H.S., Gunawan, A, dan Dedy Darnaedi. 2006.

Keanekaragaman Jenis Pohon dan Burung Di Beberapa Areal Hutan Kota Bandar Lampung. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XII No. 1 : 1-13. Bogor.

Sinaga, M.S., Pranoto, U., Surono, H., Nadila, A., 2010. Pemanfaatan Habitat Oleh Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)di Kampus IPB Darmaga. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Soerianegara, I, dan A. Indrawan, 1978.Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Sugiharto, G. 1992. Studi Perilaku Makan Monyet Ekor Panjang(Macaca

fascicularis)di Pulau Tinjil, Jawa Barat. Skripsi Sarjana IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Sunarto, H. 1991.Budidaya Melinjo dan Usaha Produksi. Kanisius. Yogyakarta. Hal 66.

Suratmo, F.G. 1979.Prinsip Dasar Tingkah Laku Satwa Liar. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Wahyudi, R. 1998. Populasi dan Perilaku Monyet Ekor Panjang(Macaca fascicularis)di Bukit Banten Kelurahan Sidodadi Kecamatan Kedaton Kotamadya Bandar Lampung. Skripsi Sarjana MIPA Universitas Lampung. Bandar Lampung. Tidak Dipublikasikan.

Walhi. 2010.Dikepung Bukit-Bukit Gundul. http://www.walhi.or.id/in/ruang-media/walhi-di-media/635-dikepung-bukit-bukit-gundul. Diakses pada 2 Agustus 2010.


(1)

31

Mineral) sebanyak 2.120 KK. Dari berbagai sumber air tersebut mempunyai kualitas yang baik dan aman dikonsumsi oleh masyarakat. Selain itu, Kelurahan Gunung Sulah memiliki kualiatas udara yang masuk dalam kategori sehat.

2. Lembaga Pemerintahan

Kelurahan Gunung Sulah memiliki Jumlah aparat sebanyak 9 orang yang memiliki latar belakang pendidikan Sarjana sebanyak 4 orang dan SLTA sebanyak 5 orang. Jumlah Rukun Tetangga sebanyak 29 orang yang terbagi dalam 3 Lingkungan.

3. Tenaga Kerja

Penduduk Kelurahan Gunung Sulah memiliki mata pencaharian pokok masing–masing sebagai berikut : buruh/swasta sebanyak 2.611 orang, pegawai negeri sebanyak 214 orang, pedagang sebanyak 1.785 orang, penjahit sebanyak 37 orang, tukang batu sebanyak 202 orang, tukang kayu sebanyak 149 orang, montir 18 orang, dokter sebanyak 1 orang, supir sebanyak 141 orang, pengemudi becak sebanyak 5 orang, TNI/Polri sebanyak 72 orang, pengusaha sebanyak 6 orang, dan lain–lain sebanyak 2.085.

4. Etnis

Dari keseluruhan jumlah penduduk Kelurahan Gunung Sulah dihuni oleh berbagai etnis/ suku yaitu masing–masing 5.381 jiwa dari etnis Jawa, 3.269 jiwa dari etnis Lampung, 1.495 jiwa dari etnis Palembang, 17 jiwa dari etnis China, 359 jiwa dari etis Batak, dan lain-lain sebesar 29 jiwa.


(2)

32

5. Pendidikan

Tabel 1. Tingkat Pendidikan Kelurahan Gunung Sulah

Sumber : Profil Kelurahan Gunung Sulah, Kecamatan Sukarame, Kota Bandar Lampung (2008)

No Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa)

1 Belum sekolah 1.800

2 Tidak tamat SD 201

3 Tamat SD/Sederajat 1.270

4 Tamat SMP 2.232

5 Tamat SMA 4.416

6 Diploma 1 95

7 Diploma 2 90

8 Diploma 3 101


(3)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bukit Gunung Sulah memiliki 19 spesies tanaman yang menjadi pakan alami monyet ekor panjang dan 10 spesies yang belum diketahui secara jelas kegunaannya bagi monyet ekor panjang. Kerapatan tanaman

penyusun vegetasi di Bukit Gunung Sulah memiliki tingkat kerapatan dan sebarannya yang termasuk dalam kategori rapat dengan rata–rata jarak antar tanaman sebesar 0,62 m. Keadaan seperti ini akan menguntungkan monyet ekor panjang untuk melakukan aktivitas seperti bermain dan berlindung.

2. Bukit Gunung Sulah memiliki 29 spesies penyusun vegetasi yang

didominasi oleh 24 spesies pohon dan 5 spesies selain pohon. Stratifikasi tajuk di Bukit Gunung Sulah terdapat tiga stratum yaitu stratum C, D, dan E.

B. Saran

Perlu meningkatkan kegiatan penanaman permudaan buatan yang dapat digunakan monyet ekor panjang sebagai tempat bermain, berlindung dan akan menjadi sumber pakan alam


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, R. 2008. Keanekaragaman Jenis Mamalia Teresterial di Taman

Nasional Berbak Provinsi Jambi. Skripsi Universitas Lampung. Bandar Lampung. 120 hlm. Tidak Dipublikasikan.

Alikodra, H.S., 1980.Dasar-dasar Pengelolaan Margasatwa. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. 210 hal

____________.1990.Pengelolaan Satwa Liar Jilid I.Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati IPB. Bogor

____________.2010.Teknik Pengelolaan Satwa Liar. IPB Press. Bogor Anon. 2001. Macaca fascicularis.website. Forest Departement Serawak.

http://www.forestry.serawak.gov.my/forweb/wildlife/fauna/mammal/itm ac.htm. di akses 02 Agustus 2010.

Bismark, M. 1984.Biologi dan Konservasi Primata di Indonesia. Penerbit Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor.

Chiver.D.J (editor). 1980.Malayan Forest Primates; Ten Year’s Study in Tropical Rain Forest.Plenum Press.N.Y. and London.

Crockett, M.C., and Wilson, 1980.The ecological separation of Macaca nemestrina and Macaca fascicularis in Sumatra. In: The Macaques: Studies in Ecology, Behavior and Evolution,D. G. Lindburg (ed.), Van Nostrand Reinhold, New York, pp. 148–181.

Djuwantoko, A.T. dan H.S. Soewarno. 1993. Ekologi Prilaku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis,Raffles. 1921) di Hutan Tanaman Jati. Laporan Penelitian. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak Dipublikasikan.

Fachrul, M.F. 2007.Metode Sampling Bioekologi. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. 198 hlm.

Farida, H. 2008. Aktifitas Makan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Bumi Perkemahan Cibubur Jakarta. Departemen Biologi FMIPA. IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.


(5)

51

Gem, C. 1996.Kamus Saku Biologi. Erlangga. Jakarta

Indriyanto. 2003.Ekologi Hutan. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung.

_________.2006.Ekologi Hutan.PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Irwanto. 2007. Stratifikasi Tumbuhan. Universitas Pattimura. Maluku. http://www.irwantoshut.com/. Diakses 15 Januari 2009

Kelurahan Gunung Sulah. 1998.Profil Kelurahan Gunung Sulah, Kecamatan Sukarame, Kota Bandar Lampung.Bandar Lampung

Lekagul, B. And Neely. J.A. Mc. 1977.Mammal of Thailand. Assosiation for the Conservation of Wildlife Sahakambat Co.,Bangkok. Bangkok.

Lindburg, G,D., ed. 1980.The Macaques. Van Nostrand Reinhold Co. New York. Hal. 239-240

Marsono, Dj. 1999. Visi dan Misi Konservasi Sumberdaya Alam indonesia, Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Institut

Pertanian STIPER. Yogyakarta. www.irwantoshut.com. Diakses Pada 05 Oktober 2009. 129 hlm.

Mukhtar, A.S. 1982. Penelitian Pola Pergerakan(Macaca fascicularis, Raffles,1821) Di Taman Wisata dan Cagar Alam Penanjung

Pangandaran, Jawa Barat.Tesis Magister Sains. Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Napier, J.R. and Napier, P.H. 1967.A Handbook of Living Primate Morphology Ecology and Behaviour of Human Primates. Academic Press London. New York.

Purnomosidhi. P., Suparman, Roshetko, J.M. 2002.Perbanyakan dan Budidaya Tanaman Buah-buahan. ICRAF Southeast Asia Regional Research

Programme. Bogor

Romauli, S. 1993. Studi di Habitat Monyet ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles, 1821) di Pulau Tinjil. Skripsi Sarjana IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Salampessy, A. 2002. Studi Habitat Badak Sumatra(Dicerorhinus sumatrensis Fischer, 1814) di Areal Pengembangan Suaka Rhino Sumatera Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Skripsi Universitas Lampung. Bandar Lampung. Tidak Dipublikasikan.


(6)

52 Santoso, N. 1996. Analsis Habitat dan Potensi Pakan Monyet Ekor Panjang

(Macaca fascicularisRaffles) di Pulau Tinjil. Media Konservasi Vol. V No. (1) April 1996 : 5–9. Bogor.

Setiawan, A, Alikodra, H.S., Gunawan, A, dan Dedy Darnaedi. 2006.

Keanekaragaman Jenis Pohon dan Burung Di Beberapa Areal Hutan Kota Bandar Lampung. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XII No. 1 : 1-13. Bogor.

Sinaga, M.S., Pranoto, U., Surono, H., Nadila, A., 2010. Pemanfaatan Habitat Oleh Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)di Kampus IPB Darmaga. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Soerianegara, I, dan A. Indrawan, 1978.Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Sugiharto, G. 1992. Studi Perilaku Makan Monyet Ekor Panjang(Macaca

fascicularis)di Pulau Tinjil, Jawa Barat. Skripsi Sarjana IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Sunarto, H. 1991.Budidaya Melinjo dan Usaha Produksi. Kanisius. Yogyakarta. Hal 66.

Suratmo, F.G. 1979.Prinsip Dasar Tingkah Laku Satwa Liar. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Wahyudi, R. 1998. Populasi dan Perilaku Monyet Ekor Panjang(Macaca fascicularis)di Bukit Banten Kelurahan Sidodadi Kecamatan Kedaton Kotamadya Bandar Lampung. Skripsi Sarjana MIPA Universitas Lampung. Bandar Lampung. Tidak Dipublikasikan.

Walhi. 2010.Dikepung Bukit-Bukit Gundul. http://www.walhi.or.id/in/ruang-media/walhi-di-media/635-dikepung-bukit-bukit-gundul. Diakses pada 2 Agustus 2010.