LEGAL INFORMATION Kumpulan Makalah KBI X subtema 6 rev Membawa Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia
6
toleransi dan keberagaman. Adat-istiadat berimplikasi terhadap kuatnya lembaga adat di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu cagar budaya berimplikasi terhadap adanya
mekanisme pendataan terhadap warisan-warisan generasi masa lalu yang memiliki nilai tinggi.
Tinjauan Kritis
Pola pikir tentang kebudayaan di atas dapat dikatakan berdiri di sebuah mindset yang bisa diakui bersama sehingga sebagian orang mengatakan sebagai pakem dalam disiplin ilmu
antropologi Lihat Ohromi dan bandingkan dengan Koentjaraningrat. Berdasarkan pakem di atas, maka dapat diperoleh hasil refleksi di bawah ini:
- Unsur-unsur kebudayaan yang relevan tidak mengakomodasi realitas mayor di Indonesia.
Sebagai contoh, sistem keyakinan yang dipercayai sebagai realisasi dari keyakinan individu atau kelompok tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Penganut agama
lokal di nusantara tidak mendapatkan tempat dalam pelbagai Undang-Undang di Indonesia, termasuk dalam Rancangan Undang-Undang Kebudayaan. Sistem keyakinan
pernah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri kebudayaan dan pariwisata Nomor 43 Tahun 2009 dan Nomor 41 tentang Pedoman Pelayanan
Kepada Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kendati begitu, peraturan tersebut tidak memberikan kekuatan hukum yang lebih kuat.
- Pelbagai unsur kebudayaan telah diundangkan secara khusus dan mendetail di dalam
sistem perundang-undangan lain. Dengan begitu, Rancangan ini tak ubahnya sebagai sebuah RUU yang secara umum yang melakukan pengulangan demi pengulangan dari
UU yang lain.
- Mekanisme ilmu pengetahuan yang mencatumkan “program acara kebudayaan” tidak
menyebut secara jelas “hasil-hasil budaya” yang akan dijadikan sebagai media penyampai pesan kebudayaan. Dalam RUU pula tidak tercantumkan jenis kebudayaan
apa yang secara kontinyu, periodik, atau spontan diumumkan melalui media massa. Dalam pasal 19 tercantum ayat yang menyatakan, “a. paling sedikit 2 dua jam dalam
satu minggu, untuk media massa elektronik dan paling sedikit 1 satu kolom khusus untuk media cetak.” Bila media elektronik diminta untuk menyediakan dua jam dalam
satu minggu memiliki arti denotatif yang jelas, maka permintaan “satu kolom khusus” memiliki arti yang diragukan. Sebab, satu kolom dalam media cetak itu mengandung arti
lebar kalimat yang tercetak dalam satu halaman. Biasanya satu kolom adalah 5-10 kata. Dalam satu halaman media cetak harian terapat 6 kolom per halaman sedangkan untuk
media cetak mingguan hanya terdapat tiga kolom. Bisa dibayangkan, bila terbitan per hari hanya diminta satu kolom berarti memiliki berita sangat kecil dalam media harian.
- Agak aneh klausul cagar budaya dimasukkan kembali ke dalam bagian tersendiri dan
mengulang secara umum. Sebab, sudah ada Undang-Undang Republik Indonesia No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang secara khusus membicarakan hal tersebut.
Dalam RUU ini hanya mengatur tentang dokumentasi dan pelestarian sementara dalam UU No 11 tahun 2010 sudah mengatur tentang mekanisme pelestarian, lembaga-lembaga
yang berwenang, serta mekanisme dokumentasi yang detail.
- Pengaturan kewenangan lembaga adat pada wilayah perdata perlu diatur secara detail
tentang mekanisme sosial sehingga tidak tumpang tindih dengan kewenangan negara. Istilah “lembaga adat yang menyelesaikan masalah-masalah perdata” cenderung dapat
disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan politis pada era reformasi yang bising dengan istilah suku, adat, kebebasan, dan demokrasi.
Bahasa dan Seni sebagai Media dan Tujuan
Dalam RUU dijelaskan bahwa pelestarian bahasa dilakukan melalui dua cara, yakni 1 seni dan 2 mata pelajaran muatan lokal. Itu berarti pelestarian satu unsur kebudayaan
7
“diserahkan” pada unsur kebudayaan lain, yakni seni. Sementara itu, konsepsi pendidikan juga tidak hanya dijadikan sebagai media pelestarian bahasa, tetapi juga unsur sistem
pengetahuan. Karena unsur pengetahuan berimplikasi terhadap pengembangan rasionalitas yang toleran. Hal itu selaras dengan garis besar kurikulum 2013 yang mengedepankan
pendidikan yang berkarakter dan toleran.
Ketika kesenian dijadikan sebagai ujung tombak pelestarian unsur budaya, maka praktik pelestarian berkesenian itu dijabarkan melalui pendidikan, pengadaan sarana dan
prasarana kegiatan, pelindungan hak cipta, pelindungan atas kewajiban serah simpan karya cetak dan karya rekam, dan penghargaan seni.
Mekanisme pelestarian itu sesungguhnya sudah diatur di dalam sistem perundang- undangan yang lain. Dengan begitu, RUU tersebut sebetulnya untuk ke sekian kali
menyerahkan tanggungjawab yang kepada sistem sosial yang sudah terbangun sebelumnya. Kemampuan RUU tersebut menghasilkan sebuah rekayasa sosial yang baru
dipertanyakan. Sebab, RUU tidak hanya gagal memprediksi apa pola-pola sosial yang ada datang, tetapi juga tidak mampu menyuguhkan sebuah realitas baru yang dijadikan sebagai
visi kenegaraan dan kebangsaan. RUU gagal menjawab pertanyaan, di mana kesejatian atau identitas kultural yang hendak dimunculkan?
Kajian-kajian teoretis menunjukkan bahwa kebudayaan bukanlah hasil cetakan yang menyerupai sebuah bentuk mati atau tak berubah. Kebudayaan sebagai “hasil dari proses
belajar” Ember, 2006: 18. Karena proses itu tidak berhenti, maka kebudayaan memiliki sifat 1 menyatu, 2 menyesuaikan, dan 3 selalu berubah.
Dalam proses perubahan itulah bahasa memegang peranan dalam memajukan dan memundurkan sebuah kebudayaan. Kata Ember:
“Bahasa berbeda sifatnya dari semua sistem komunikasi antara hewan, berhubung dengan bahasa bersifat simbolis, artinya suatu perkataan mampu melambangkan arti
apa pun, walaupun hal atau barang yang dilambangkan artinya oleh kata itu tidak hadir” Ember, 2006: 20.
Fakta di atas memberikan jalinan yang runut dari sebuah proses lahirnya budaya. Diawali dari sebuah gagasan, sistem tanda dalam komunikasi hingga susunan simbol yang mengawetkan
segala kebijaksaan yang pernah dicapai secara gemilang oleh sebuah generasi. Sifat Karya Sastra dan Identitas Kebudayaan
RUU tersebut mencatumkan konsepsi “kebudayaan nasional” tetapi tidak mencatumkan “identitas kebudayaan nasional”. Ini mengingatkan pada upaya
memperkenalkan seseorang tetapi tidak menyebutkan namanya. Ironi kemudian muncul: Saya menceritakan kepada Anda tentang seseorang. Dalam cerita itu, saya katakan, ada seseorang
tetapi tidak memiliki nama, alamat, jenis kelamin, dan statusnya. Ada seseorang, tetapi tidak memiliki identitas; Adakah orang tersebut?
Mestinya RUU tersebut muncul pada tahun 1970-an ketika terjadi perdebatan antara Sutan Takdir Alisyahbana dan Armijn Pane. Perdebatan identitas budaya Indonesia pada masa
lalu mempermasalahan orientasi pengembangan identitas kultural. Secara klasik dijelaskan dalam Layar Terkembang sebagai simbol kebudayaan Indonesia yang berorientasi pada
kemajuan, modernitas, inovasi, dan rasionalitas sementara Belenggu adalah simbol identitas kebudayaan Indonesia yang berorientasi pada stabilitas, norma, dan warisan kebudayaan.
Pada 1993 YB Mangunwijaya menulis novel Burung-burung Rantau yang bermaksud menyelesaikan perdebatan identitas kebudayaan itu dengan menggunakan istilah “pasca-
Indonesia”. Identitas kebudayaan pasca-Indonesia adalah kebudayaan yang tidak berorientasi pada Barat yang rasional maupun Timur yang normatif, melainkan pada sebuah nilai-nilai
filosofis bangsa yang relevan dengan perkembangan dunia global. Jelasnya begini: Nilai Timur yang selaras dengan nilai Barat.