JUSTIFICATION FOR INCLUSION ASSESSMENT AGAINST CRITERIA

2 dan sastra memiliki luasan sama besar, berhubungan secara kongruen dan bukan lebih kecil atau lebih besar. Itulah rasionalitas pertama yang ditemukan. Selanjutnya, rasionalitas konsepsi “pada” tersebut tampaknya mengacu pada rasionalitas lain, yakni kongruensi realitas aktual dan imajinatif. Lihat, pada mulanya Nurgiyantoro menyadari tentang kebudayaan sebagai sebuah kenyataan yang berpijak pada dunia simbol. Sampai kemudian dia menghasilkan pernyataan bahwa “intisari kebudayaan bukan artifak, peralatan, atau elemen-elemen kultural lain yang berwujud, melainkan bagaimana para anggota kelompok menginterpretasikan, mempergunakan, dan menerima benda-benda Nurgiyantoro, 2003.” Katanya, budaya lebih sebagai konstruksi mental yang berasal dari individu yang menafsirkan. Karena teks sastra merupakan ungkapan pengarang terhadap realitas sosial-budaya sementara itu budaya adalah persoalan penafsiran realitas maka sesungguhnya pengarang adalah “penafsir yang menulis keterlibatannya dalam kebudayaan” sementara itu masyarakat adalah “penafsir yang tidak menuliskan keterlibatan kebudayaannya”. Untuk mempelajari intisari budaya tersebut, menurutnya, seseorang harus menempuh dua jalan. Pertama melalui cara resmi sebagaimana tertuang dalam kurikulum pendidikan. Salah satu mata pelajarannya adalah Bahasa dan Sastra Indonesia. Kedua adalah cara tidak resmi, yakni belajar sendiri. Karya sastra merupakan salah satu sumber utama, khususnya “teks sastra yang mengangkat kehidupan sosial-budaya suatu masyarakat Nurgiyantoro, 2003.” Dua cara ini menempatkan karya sastra sebagai teknik memahami budaya, baik secara kognitif maupun secara afektif. Dia menjelaskan tentang “teks sastra yang mengangkat kehidupan sosial Nurgiyantoro, 2003”, tetapi tidak mengungkapkan tentang “realitas sosial yang mengangkat teks sastra”. Adalah mudah menjawab pertanyaan “apa pesan sosial atau kritik sosial dari karya A atau B”. Melalui tradisi kritik sastra, diketahui bahwa karya sastra dijadikan sebagai media oleh subjek untuk memahami realitas budaya. Karena karya sastra dijadikan sebagai media penyampai simbol, dia akan kesulitan menjawab bagaimana realitas budaya menjadikan teks sastra bukan hanya sebagai medium simbol-simbol kultural, tetapi sebagai objek tafsir masyarakat itu sendiri karena karya sastra adalah hasil budaya sekaligus sebagai medium penyampai makna budaya. Itulah kenapa makalah ini secara singkat akan menjelaskan kedudukan karya sastra sebagai medium simbol-simbol kultural menyetujui pendapat Nurgiyantoro tetapi sekaligus menyanggahnya karena karya sastra bukan sekadar medium, melainkan didudukkan sebagai simbol kultural itu sendiri. Karena “shastra” sebagaimana asal-usul kata “sastra” dalam bahasa Sanskrit yang berarti “ilmu yang tertulis” adalah kehidupan yang kongruen dengan kebudyaaan maka di akhir makalah ini akan ditemui simpulan tentang kehadiran karya sastra Indonesia sebagai produk budaya yang penting dallam pengembanan kebudayaan nasional. Alur pikir tersebut dijadikan dasar rasionalitas tulisan ini. Bahwasanya kebudayaan yang dikemas melalui UU, dan oleh karenanya dinyatakan dengan RUU Kebudayaan, secara niscaya tidak bisa meninggalkan karya sastra sebagai cara sekaligus tujuan dalam konteks pembangunan orientasi kultural Indonesia. Skema metodologis makalah ini memanfaatkan metode filsafat atomisme logis untuk memperoleh konsep kebudayaan dalam RUU. Konsep itu direfleksikan ke dalam hasil penafsiran terhadap karya sastra yang ditangkap melalui metode hermeneutik. Lingkaran hermeneutik itu berakhir pada relevansi tafsir terhadap pengembangan draf RUU yang selaras dengan cita-cita kebangsaan sebagaimana dipahami dalam perspektif filsafat sosial. “Imajinasi Kebudayaan” dalam RUU Kebudayaan 3 Lahirnya sebuah Rancangan Undang-Undang haruslah didahului oleh sebuah kajian teoretis yang dinamakan dengan Naskah Akademik. Kajian tersebut terdiri atas penjelasan ilmiah yang memiliki legitimasi dari teori dan mendapatkan pembuktian secara empiris. Bila mencermati kajian teoretis yang melahirkan RUU Kebudayaan, akan tampak jelas tentang asal-usul dan tujuan adanya peraturan tersebut. Secara eksplisit, sebelum menjadi RUU kebudayaan, dalam naskah akademik tertulis “Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya”. Hal itu dimaksudkan bahwa lahirnya UU tersebut dijadikan sebagai upaya Negara dalam melindungi kekayaan yang disebut dengan budaya. Budaya, dengan begitu, menurut pandangan ymang tertera dalam Naskah Akademik tersebut, adalah sebuah aset, harta, kekayaan, atau apa pun bentuk konkret yang berfungsi atribut pendukung status kekayaan kelompok atau individu. Budaya bersifat ekstensional. Akan tetapi, bila gejala-gejala kultural secara ekstensional dianggap sebagai aset, gejala-gejala kultural secara intensional justru menjadi ancaman serius. Pelestarian hasil-hasil kultural yang bersifat tradisional itu tidak dibarengi dengan kemampuan mengembangkan dan memanfaatkan hasil-hasil yang telah ada. Hal yang justru terjadi adalah lemahnya aspek- aspek kebudayaan dalam wilayah intensionalitas. Dalam Naskah Akademik dijelaskan, sebab- sebab lahirnya RUU kebudayaan adalah sebuah realitas yang berisi tentang perubahan- perubahan tata nilai akibat pengaruh dunia luar. Begini: Kondisi kekinian Indonesia berada di tengah globalisasi yang mengikis kesadaran generasi muda akan warisan tradisi budaya Indonesia sehingga diperlukan sebuah solusi untuk mengenalkan kembali warisan tradisi budaya Indonesia. Beranjak dari latar belakang inilah Rancangan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya disusun. Sumber: Naskah Akademik RUU Kebudayaan Istilah “sebuah solusi mengenalkan kembali warisan tradisi” mengacu pada fakta sebelumnya tentang aspek kultural secara intensional. Generasi sekarang dianggap kurang memahami nilai-nilai tradisi yang diperlakukan sebagai produk jadi atau aset kekayaan. Rancangan undang-undang tersebut dapat merupakan perangkat mekanisme untuk mempraktikkan proyek tafsir massal terhadap budaya tradisi. Sebagai hasil akhir rancangan tersebut adalah “sebagai alat pemersatu di atas keanekaragaman budaya”. Pemersatu itu jelas merupakan perwujudan ideologis yang dibangun bangsa ini sejak 1945. Bila dilihat secara teoretis, kebudayaan dalam konsepsi RUU Kebudayaan didefinisikan sebagai “Perwujudan dan keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam rangka perkembangan kepribadian manusia dengan segala hubungannya, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.” Sumber RUU Kebudayaan. Hal itu selaras dengan konsep-konsep yang pernah dikembangkan dalam disiplin ilmu antropologi klasik oleh Koentjaraningrat. Diakui atau tidak, konsep-konsep budaya di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perannya dalam buku Pengantar Ilmu Antropologi 1990. Sejak tahun 1970-an, Koentjaraningrat dinilai berhasil mengembangkan konstruksi pemikiran yang mapan tentang antropologi yang terdiri atas bentuk dan isi. Bentuknya ada tujuh unsur sedangkan isinya ada empat. Tujuh unsur kebudayaan sebagaimana dianut dalam buku kanon antropologi adalah 1 bahasa, 2 sistem pengetahuan, 3 organisasi sosial, 4 sistem peralatan hidup dan teknologi, 5 sistem mata pencaharian hidup, 6 sistem religi, 7 kesenian Koentjaraningrat, 1990: 204. Sementara itu, isi kebudayaan yang didefinisikan dengan gagasan, kehendak, dan tindakan menjadi tahapan-tahapan dalam praktik kebudayaan. Secara sederhana Koentjaraningrat mengungkapkan proses menjadi “budaya”, yakni dari 1 4 gagasan, tindakan, dan benda, 2 tema atau pola budaya, 3 kompleks budaya, dan berakhir menjadi 4 adat istiadat Koentjaraningrat, 1990: 207. Berdasarkan skema berpikir di atas, maka RUU Kebudayaan itu kemudian mengambil unsur-unsur yang dianggap relevan dengan perkembangan mutakhir. Dalam hal bentuk, RUU mengambil empat unsur saja, yakni 1 bahasa, 2 seni, 3 ilmu pengetahuan, 4 adat- istiadat, dan 5 cagar budaya. Masing-masing unsur tersebut memiliki implikasi bagi pemerintah terhadap pembentukan institusi-institusi sosial. Sebagai bukti dapat dijelaskan berikut ini: 1 Unsur bahasa Unsur bahasa sejak awal mula telah membawa implikasi terhadap sendi-sendi kehidupan berbangsa. Hal itu jelas tercantum dalam sistem perundang-undangan di Indonesia, dimulai dari UUD, UU, hingga peraturan-peratuan di bawahnya. Karena itulah para penyusun RUU menganggap wajar manakala implikasi terhadap bahasa tidak dicantumkan di dalam RUU tersebut karena sudah diwadahi oleh sistem perundang-undangan yang lain. Kendati begitu, Pemerintah masih menandaskan bahwa pelestarian unsur bahasa dalam RUU Kebudayaan itu dilakukan melalui 1 kesenian dan 2 memasukkan bahasa daerah ke dalam muatan lokal kurikulum pendidikan. Adapun pembinaan bahasa sebagaimana diatur dalam RUU tersebut, sebagaimana terbaca dalam pasal 12, diserahkan kepada sistem perundang-undangan lain yang berlaku. 2 Unsur seni Unsur membawa impikasi terhadap lahirnya insitusi sosial yang disebut dengan industri budaya. Di dalam RUU tersebut seni didefinisikan sebagai “Hasil karya manusia atau sekelompok masyakat dalam bentuk yang dapat menimbulkan rasa indah dan bernilai tinggi Sumber: RUU Kebudayaan.” Seni memperoleh tempat dalam pemikiran pemerintah melalui istilah pelestarian. Pelestarian itu dilakukan melalui pendidikan, pengadaan sarana dan prasarana kegiatan, pelindungan hak cipta, pelindungan atas kewajiban serah simpan karya cetak dan karya rekam, penghargaan seni. Hal tersebut memberikan gambaran tentang sebuah sketsa pemerintah tentang rencana-rencana ke depan untuk membangun unsur kesenian. Karena pelestarian tersebut menyangkut karya seni, maka pemerintah kemudian mengatur dalam bab tersendiri yang berjudul “industri budaya” Bab VII. Di dalam industri budaya ini dijelaskan bahwa apa yang dimaksud dengan produk industri budaya meliputi lembaga yang menghasilkan jenis-jenis benda yang spesifik, yakni teks, nonteks, campuran teks dan nonteks, dan jasa. Pemerintah memberikan jaminan pelindungan dan pengembangan industri tersebut. Jaminan terebut dikatakan, “mencakup keterpaduan dalam perencanaan, pengelolaan, pendanaan, pemasaran, dan pelestarian.” Jaminan itu akan berlaku sepanjang memiliki sifat profesional, bermanfaat, dan ada peran swasta. 3 Unsur Sistem Pengetahuan Unsur sistem pengetahuan ini berimplikasi terhadap pembentukan mekanisme kontrol terhadap institusi pendidikan dan sosial, yakni sekolah dan media massa. Sistem pengetahuan menghasilkan rasionalitas yang toleran terhadap budaya lain. Dalam bagian ketiga dijelaskan, sistem pengetahuan bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengkajian dan pelestarian. Mekanisme kontrol ini secara jelaskan dikatakan “melalui pendidikan dan media massa”. Sebetulnya dua hal ini juga sudah mendapatkan pengaturan tersendiri dalam sistem perundang-undangan kita. Perhatikan isi pasal berikut ini: “Pelestarian sistem pengetahuan melalui pendidikan dilakukan dengan mengintegrasikan sistem pengetahuan lokal ke dalam kurikulum satuan pendidikan mulai tingkat pendidikan dasar sampai pendidikan menengah.” 4 Unsur Adat Istiadat 5 Unsur Adat istiadar berimplikasi terhadap lembaga adat di Indonesia. Menurut pandangan RUU kebudayaan, adat adalah “serangkaian tingkah laku yang terlembaga dan mentradisi dalam masyarakat yang berfungsi mewujudkan nilai sosial budaya ke dalam kehidupan sehari-hari Sumber: RUU Kebudayaan.” Dalam konteks pembangunan kebudayaan, dikatakan dalam pasal 20 bahwa adat dapat dimanfaatkan untuk memperkaya kebudayaan dan untuk melestarikan dapat dilakukan melalui pendidikan dan media massa. Konsekuensi adanya unsur adat istiadat dalam khazanah kebudayaan di Indonesia adalah kewenangan lembaga adat untuk turut serta menangani permasalahan-permasalahan sosial. Hal itu mirip denan kewenangan negara sebagai sistem yang mengawasi dan melindungi setiap warga. 5 Cagar Budaya Cagar Budaya dimengerti sebagai “warisan budaya bersifat kebendaan ... yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting”. Cagar budaya berimplikasi terhadap pembentukan sebuah lembaga yang secara khusus mencatat hasil karya generasi masa lampau yang dinilai penting bagi pengembangan kebudayaan secara umum. Implikasi tersebut dijabarkan dalam Bab IX bertajuk “Dokumentasi”. Lima unsur dan implikasinya terhadap sistem dan integrasi sosial dapat dilihat dalam skema di bawah ini: Skema Pemikiran RUU Kebudayaan Keterangan: - Skema tersebut didasarkan pada pembacaan penulis terhadap RUU Kebudayaan sebagaimana yang diumumkan pemerintah. - Skema ini tidak memiliki pretensi sebagai ringkasan dari RUU itu sendiri. ` Skema tersebut memberikan rincian tentang model pemikiran yang menjadi acuan dalam Rancangan Undang-Undang. Pemerintah telah mengatur lima unsur kebudayaan pokok berikut implikasi pengaturannya. Bahasa dan seni berimplikasi terhadap pengembangan industri kreatif. Sistem pengetahuan berimplikasi terhadap pendidikan rasionalitas tentang Cagar Hak dan Kewajiban Penyelenggaraan Pendanaan Komunikasi Antarbudaya Lembaga Adat Penghargaa n dan Pelestarian Industri Budaya Pelindungan Partisipasi Masyarakat Unsur- unsur Seni Ilmu Bahasa Adat Asas-asas Penyelenggaraan Kebudayaan Dokumenta 6 toleransi dan keberagaman. Adat-istiadat berimplikasi terhadap kuatnya lembaga adat di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu cagar budaya berimplikasi terhadap adanya mekanisme pendataan terhadap warisan-warisan generasi masa lalu yang memiliki nilai tinggi. Tinjauan Kritis Pola pikir tentang kebudayaan di atas dapat dikatakan berdiri di sebuah mindset yang bisa diakui bersama sehingga sebagian orang mengatakan sebagai pakem dalam disiplin ilmu antropologi Lihat Ohromi dan bandingkan dengan Koentjaraningrat. Berdasarkan pakem di atas, maka dapat diperoleh hasil refleksi di bawah ini: - Unsur-unsur kebudayaan yang relevan tidak mengakomodasi realitas mayor di Indonesia. Sebagai contoh, sistem keyakinan yang dipercayai sebagai realisasi dari keyakinan individu atau kelompok tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Penganut agama lokal di nusantara tidak mendapatkan tempat dalam pelbagai Undang-Undang di Indonesia, termasuk dalam Rancangan Undang-Undang Kebudayaan. Sistem keyakinan pernah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri kebudayaan dan pariwisata Nomor 43 Tahun 2009 dan Nomor 41 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kendati begitu, peraturan tersebut tidak memberikan kekuatan hukum yang lebih kuat. - Pelbagai unsur kebudayaan telah diundangkan secara khusus dan mendetail di dalam sistem perundang-undangan lain. Dengan begitu, Rancangan ini tak ubahnya sebagai sebuah RUU yang secara umum yang melakukan pengulangan demi pengulangan dari UU yang lain. - Mekanisme ilmu pengetahuan yang mencatumkan “program acara kebudayaan” tidak menyebut secara jelas “hasil-hasil budaya” yang akan dijadikan sebagai media penyampai pesan kebudayaan. Dalam RUU pula tidak tercantumkan jenis kebudayaan apa yang secara kontinyu, periodik, atau spontan diumumkan melalui media massa. Dalam pasal 19 tercantum ayat yang menyatakan, “a. paling sedikit 2 dua jam dalam satu minggu, untuk media massa elektronik dan paling sedikit 1 satu kolom khusus untuk media cetak.” Bila media elektronik diminta untuk menyediakan dua jam dalam satu minggu memiliki arti denotatif yang jelas, maka permintaan “satu kolom khusus” memiliki arti yang diragukan. Sebab, satu kolom dalam media cetak itu mengandung arti lebar kalimat yang tercetak dalam satu halaman. Biasanya satu kolom adalah 5-10 kata. Dalam satu halaman media cetak harian terapat 6 kolom per halaman sedangkan untuk media cetak mingguan hanya terdapat tiga kolom. Bisa dibayangkan, bila terbitan per hari hanya diminta satu kolom berarti memiliki berita sangat kecil dalam media harian. - Agak aneh klausul cagar budaya dimasukkan kembali ke dalam bagian tersendiri dan mengulang secara umum. Sebab, sudah ada Undang-Undang Republik Indonesia No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang secara khusus membicarakan hal tersebut. Dalam RUU ini hanya mengatur tentang dokumentasi dan pelestarian sementara dalam UU No 11 tahun 2010 sudah mengatur tentang mekanisme pelestarian, lembaga-lembaga yang berwenang, serta mekanisme dokumentasi yang detail. - Pengaturan kewenangan lembaga adat pada wilayah perdata perlu diatur secara detail tentang mekanisme sosial sehingga tidak tumpang tindih dengan kewenangan negara. Istilah “lembaga adat yang menyelesaikan masalah-masalah perdata” cenderung dapat disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan politis pada era reformasi yang bising dengan istilah suku, adat, kebebasan, dan demokrasi. Bahasa dan Seni sebagai Media dan Tujuan Dalam RUU dijelaskan bahwa pelestarian bahasa dilakukan melalui dua cara, yakni 1 seni dan 2 mata pelajaran muatan lokal. Itu berarti pelestarian satu unsur kebudayaan