ASSESSMENT OF RISK Kumpulan Makalah KBI X subtema 6 rev Membawa Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia
7
“diserahkan” pada unsur kebudayaan lain, yakni seni. Sementara itu, konsepsi pendidikan juga tidak hanya dijadikan sebagai media pelestarian bahasa, tetapi juga unsur sistem
pengetahuan. Karena unsur pengetahuan berimplikasi terhadap pengembangan rasionalitas yang toleran. Hal itu selaras dengan garis besar kurikulum 2013 yang mengedepankan
pendidikan yang berkarakter dan toleran.
Ketika kesenian dijadikan sebagai ujung tombak pelestarian unsur budaya, maka praktik pelestarian berkesenian itu dijabarkan melalui pendidikan, pengadaan sarana dan
prasarana kegiatan, pelindungan hak cipta, pelindungan atas kewajiban serah simpan karya cetak dan karya rekam, dan penghargaan seni.
Mekanisme pelestarian itu sesungguhnya sudah diatur di dalam sistem perundang- undangan yang lain. Dengan begitu, RUU tersebut sebetulnya untuk ke sekian kali
menyerahkan tanggungjawab yang kepada sistem sosial yang sudah terbangun sebelumnya. Kemampuan RUU tersebut menghasilkan sebuah rekayasa sosial yang baru
dipertanyakan. Sebab, RUU tidak hanya gagal memprediksi apa pola-pola sosial yang ada datang, tetapi juga tidak mampu menyuguhkan sebuah realitas baru yang dijadikan sebagai
visi kenegaraan dan kebangsaan. RUU gagal menjawab pertanyaan, di mana kesejatian atau identitas kultural yang hendak dimunculkan?
Kajian-kajian teoretis menunjukkan bahwa kebudayaan bukanlah hasil cetakan yang menyerupai sebuah bentuk mati atau tak berubah. Kebudayaan sebagai “hasil dari proses
belajar” Ember, 2006: 18. Karena proses itu tidak berhenti, maka kebudayaan memiliki sifat 1 menyatu, 2 menyesuaikan, dan 3 selalu berubah.
Dalam proses perubahan itulah bahasa memegang peranan dalam memajukan dan memundurkan sebuah kebudayaan. Kata Ember:
“Bahasa berbeda sifatnya dari semua sistem komunikasi antara hewan, berhubung dengan bahasa bersifat simbolis, artinya suatu perkataan mampu melambangkan arti
apa pun, walaupun hal atau barang yang dilambangkan artinya oleh kata itu tidak hadir” Ember, 2006: 20.
Fakta di atas memberikan jalinan yang runut dari sebuah proses lahirnya budaya. Diawali dari sebuah gagasan, sistem tanda dalam komunikasi hingga susunan simbol yang mengawetkan
segala kebijaksaan yang pernah dicapai secara gemilang oleh sebuah generasi. Sifat Karya Sastra dan Identitas Kebudayaan
RUU tersebut mencatumkan konsepsi “kebudayaan nasional” tetapi tidak mencatumkan “identitas kebudayaan nasional”. Ini mengingatkan pada upaya
memperkenalkan seseorang tetapi tidak menyebutkan namanya. Ironi kemudian muncul: Saya menceritakan kepada Anda tentang seseorang. Dalam cerita itu, saya katakan, ada seseorang
tetapi tidak memiliki nama, alamat, jenis kelamin, dan statusnya. Ada seseorang, tetapi tidak memiliki identitas; Adakah orang tersebut?
Mestinya RUU tersebut muncul pada tahun 1970-an ketika terjadi perdebatan antara Sutan Takdir Alisyahbana dan Armijn Pane. Perdebatan identitas budaya Indonesia pada masa
lalu mempermasalahan orientasi pengembangan identitas kultural. Secara klasik dijelaskan dalam Layar Terkembang sebagai simbol kebudayaan Indonesia yang berorientasi pada
kemajuan, modernitas, inovasi, dan rasionalitas sementara Belenggu adalah simbol identitas kebudayaan Indonesia yang berorientasi pada stabilitas, norma, dan warisan kebudayaan.
Pada 1993 YB Mangunwijaya menulis novel Burung-burung Rantau yang bermaksud menyelesaikan perdebatan identitas kebudayaan itu dengan menggunakan istilah “pasca-
Indonesia”. Identitas kebudayaan pasca-Indonesia adalah kebudayaan yang tidak berorientasi pada Barat yang rasional maupun Timur yang normatif, melainkan pada sebuah nilai-nilai
filosofis bangsa yang relevan dengan perkembangan dunia global. Jelasnya begini: Nilai Timur yang selaras dengan nilai Barat.
8
Ketika pada 2000-an identitas kebudayaan Indonesia definisikan sebagai “menjadi Indonesia” sekurang-kurangnya pernah diungkapkan oleh Daniel Dakhidae pada awal 2000-
an oleh karena identitas itu tidak pernah selesai dibangun, maka identitas kebudayaan sekurang-kurangnya bisa dilihat dalam konteks multikulturalisme, sebuah pengejawantahan
dari “bhinneka” atas pelangi nilai. Dalam istilah Suprayitno adalah Mencoba lagi Menjadi Indonesia
2001 dan untuk selanjutnya mencoba lebih lagi, tak ubahnya Sisifus dari kiriman cerita Albert Camus.
Sederhananya sebagai berikut: Jika Burung-burung Rantau 1993 yang semula menjadi sintesis dari dua tesis Layar Terkembang dan Belenggu, maka kini Burung-Burung
Rantau akan bersiap menjadi tesis yang mendapatkan antitesis dari novel Laskar Pelangi
2005 karya Andrea Hirata. Pelangi adalah simbol beragam nilai yang membentuk sebuah mozaik dan itu kemudian disebut dengan identitas kebudayaan nasional.
Konsepsi dialektika identitas inilah yang luput dari pemahaman RUU. Dialektika merupakan penyederhanaan dari proses besar kebudayaan. Sekurang-kurangnya Hegel telah
sangat berjasa menunjukkan praktik dialektika dalam sejarah kebudayaan dunia. Dalam dunia sastra dialektika ini identik dengan tafsir model tradisi Marxis. Karena itu, tak heran manakala
Michael Ryan dalam Teori Sastra: Sebuah Pengantar Praktis 2011 menjelaskan hubungan karya sastra dan kebudayaan dalam perspektif Marxisme, budaya material, kajian etnis, dan
kajian poskolonial. Etnografi dan karya sastra memiliki persamaan dalam pengungkapkan realitas sosial. Sementara itu, keduanya memiliki perbedaan yang mencolok karena “ciri-ciri
imajiner tersebut merupakan penentu paling tegas pada perbedaan budaya dan kekhususan sastra Ryan, 2011: 244.” Ciri tersebut membedakan antara karya-karya Pramoedya Ananta
Toer dengan karya-karya Sartono Kartodidjo, misalnya, kendati mereka berdua sama-sama membicarakan tentang sejarah Indonesia. Bila Pramoedya “mengimajinasikan” sejarah maka
Sartono “menggambarkan” sejarah. Demikian pula, cerpen “Penembak Misterius” karya Seno Gumira Ajidarma bukanlah sejarah tentang penembak misterius yang biasa disingkat dengan
Petrus pada masa Jenderal Soeharto 1966-1998.
Imajinasi merupakan isi kebudayaan yang bersifat abstrak. Kebudayaan tidak pernah bisa dibangun tanpa gagasan yang bersifat imajinatif karena isi kebudayaan adalah 1
gagasan, 2 kehendak, dan 3 tindakan. Dalam perspektif konstruktivisme, karya sastra yang memuat gagasan imajinatif merupakan objek kebudayaan yang mendapatkan tempat sama
penting dengan arsitektur Indis yang telah ditinggalkan kolonial. Persoalan yang selalu muncul, bilamana hasil arsitektur itu dimasukkan dalam sebuah mekanisme perlindungan
cagar budaya, anehnya karya sastra hanya dimasukkan di dalam dokumentasi katalog di perpustakaan-perpustakaan pusat kota.
Beranjak dari kenyataan tersebut, pengelolaan kebudayaan tersebut jelas sangat pincang. Fakta menunjukkan, persoalan-persoalan sejarah yang tidak bisa diungkap oleh
dokumentasi cagar budaya maupun buku-buku referensi sejarah ilmiah akhirnya hanya bisa diartikulasikan melalui karya sastra. Sastra berhasil membuka tabir realitas historis yang
terkadang gelap dan menghidupkan dalam sebuah realitas “aktual” bagi pembaca. Sebagai contoh, fiksi populer yang selama ini dipandang memiliki mutu estetis rendah memiliki
kelebihan dalam menjelaskan fakta-fakta historis pada masa itu. Budaya pop pada masa tahun 1990-an bisa dibidik melalui fiksi seperti Lupus karya Hilman maupun Balada Si Roy karya
Gola Gong. Demikian pula novel-novel Eddy D Iskandar dapat menggambarkan begitu detail kenyataan-kenyataan pada tahun 1980-an.
Ida Rochani Adi dalam buku berjudul Fiksi Populer: Teori dan Metode Kajian 2011 berbicara tentang relasi budaya dan sastra dalam subab “Fiksi Populer dan Budaya Adi,
2011: 129. Dia mengkhususkan diri pada fiksi populer sebagai titik tolak menghubungkan dengan gejala-gejala umum dalam masyarakat. Dikatakan bahwa fiksi tidak bisa dilepaskan
dari latar belakang kultural yang menjadi tempat kelahirannya. Fiksi akan berisi budaya