IDENTITY AND DESCRIPTION OF THE DOCUMENTARY HERITAGE

14 Appendixes to La Galigo nomination UNESCO 1 Subtema: 6 Sumbangan Sastra Indonesia dalam RUU Kebudayaan: Kajian Atomisme Logis, Hermeneutik, dan Filsafat Sosial Oleh Saifur Rohman Universitas Negeri Jakarta Email: saifur_rohman2000yahoo.com Rancangan Undang-Undang Kebudayaan yang diusulkan oleh legislatif pada 2012 tidak memberikan ruang yang strategis bagi pengembangan bahasa dan sastra Indonesia. Hal itu terbukti melalui pernyataan umum yang reduplikatif sehingga tidak mencerminkan strategi yang khas, lestari, dan sistemik. Karena itu makalah ini bermaksud membuktikan bahwa karya sastra merupakan media sekaligus objek strategis dalam pengembangan kebudayaan nasional. Langkah metodologis yang ditempuh adalah melalui kajian penafsiran, metode filsafat sosial, dan atomisme logis. Metode tafsir memanfaatkan hasil kritik sastra. Metode filsafat sosial dimanfaatkan untuk menemukan nilai-nilai dasar kebangsaan. Metode atomisme logis digunakan untuk menemukan logika dalam draf hukum. Konsepsi kebudayaan yang digunakan dalam makalah ini merupakan hasil analisis kritis terhadap konstruksi budaya pasca-Indonesia yang telah dikembangkan dalam karya sastra. Berdasarkan skema metodologis di atas maka ditemukan lemahnya pemahaman terhadap identitas, makna, dan strategi pengembangan kebudayaan Indonesia. Naskah akademik hingga draf hukum disusun atas dasar sesat pikir yang berimplikasi terhadap involusi budaya. Pengembangan yang diharapkan melalui UU kebudayaan justru menemui kebuntuan dalam labirin gelap dan panjang. Direkomendasikan perlunya penggalian makna karya sastra dalam strategi pengembangan kebudayaan Indonesia. Sangatlah musykil mengembangkan kebudayaan dengan cara mengabaikan ruh kebudayaan yang tecermin dalam karya sastra. Kata kunci: RUU Kebudayaan, Karya Sastra, Transdisipliner, Involusi. Pengantar Pada 11 Oktober 2003 Burhan Nurgiyantoro dikukuhkan sebagai guru besar sastra. Hipotesisnya tergambar dalam pidato yang berjudul “Belajar Multikulturalisme pada Bahasa dan Sastra Indonesia” 2003. Hipotesis pertama bahwa ada relasi antara sastra dan pemahaman budaya dan kedua, oleh karena kebudayaan itu terkait dengan karya sastra, multiluturalisme adalah salah satu fenomena budaya yang dapat dipelajari melalui karya sastra. Pemahaman terhadap konsep besar dan abstrak tentang kebudayaan dan sastra dapat dimulai dari unsur kecil dan konkret. Secara analitik, judul tersebut mengandung dua kelas yang dihubungkan dengan satu kata hubung “pada”. Secara metodologis, pilihan kata hubung “pada” antara frase “belajar multikulturalisme” dan “Bahasa dan Sastra Indonesia” memiliki rasionalitas. Dalam beberapa arti, kata “pada” berlawanan dengan kata “dalam”. Kata “pada” memilki arti “menunjukkan posisi di atas atau memiliki arti setara dengan kata hubung “di” Sumber: Http:kbbi.web.id. Sementara itu kata “dalam” memiliki berada di kedalaman, antonim dari bagian luar Sumber: Http:kbbi.web.id. Dalam beberapa arti yang lain, kata “pada” juga tidak dimaksudkan sebagai antonim, tetapi menjelaskan tentang “sama luasnya dengan...”. Hal itu berbeda dengan kata “dalam” yang memiliki arti “bagian dari”. Budaya 2 dan sastra memiliki luasan sama besar, berhubungan secara kongruen dan bukan lebih kecil atau lebih besar. Itulah rasionalitas pertama yang ditemukan. Selanjutnya, rasionalitas konsepsi “pada” tersebut tampaknya mengacu pada rasionalitas lain, yakni kongruensi realitas aktual dan imajinatif. Lihat, pada mulanya Nurgiyantoro menyadari tentang kebudayaan sebagai sebuah kenyataan yang berpijak pada dunia simbol. Sampai kemudian dia menghasilkan pernyataan bahwa “intisari kebudayaan bukan artifak, peralatan, atau elemen-elemen kultural lain yang berwujud, melainkan bagaimana para anggota kelompok menginterpretasikan, mempergunakan, dan menerima benda-benda Nurgiyantoro, 2003.” Katanya, budaya lebih sebagai konstruksi mental yang berasal dari individu yang menafsirkan. Karena teks sastra merupakan ungkapan pengarang terhadap realitas sosial-budaya sementara itu budaya adalah persoalan penafsiran realitas maka sesungguhnya pengarang adalah “penafsir yang menulis keterlibatannya dalam kebudayaan” sementara itu masyarakat adalah “penafsir yang tidak menuliskan keterlibatan kebudayaannya”. Untuk mempelajari intisari budaya tersebut, menurutnya, seseorang harus menempuh dua jalan. Pertama melalui cara resmi sebagaimana tertuang dalam kurikulum pendidikan. Salah satu mata pelajarannya adalah Bahasa dan Sastra Indonesia. Kedua adalah cara tidak resmi, yakni belajar sendiri. Karya sastra merupakan salah satu sumber utama, khususnya “teks sastra yang mengangkat kehidupan sosial-budaya suatu masyarakat Nurgiyantoro, 2003.” Dua cara ini menempatkan karya sastra sebagai teknik memahami budaya, baik secara kognitif maupun secara afektif. Dia menjelaskan tentang “teks sastra yang mengangkat kehidupan sosial Nurgiyantoro, 2003”, tetapi tidak mengungkapkan tentang “realitas sosial yang mengangkat teks sastra”. Adalah mudah menjawab pertanyaan “apa pesan sosial atau kritik sosial dari karya A atau B”. Melalui tradisi kritik sastra, diketahui bahwa karya sastra dijadikan sebagai media oleh subjek untuk memahami realitas budaya. Karena karya sastra dijadikan sebagai media penyampai simbol, dia akan kesulitan menjawab bagaimana realitas budaya menjadikan teks sastra bukan hanya sebagai medium simbol-simbol kultural, tetapi sebagai objek tafsir masyarakat itu sendiri karena karya sastra adalah hasil budaya sekaligus sebagai medium penyampai makna budaya. Itulah kenapa makalah ini secara singkat akan menjelaskan kedudukan karya sastra sebagai medium simbol-simbol kultural menyetujui pendapat Nurgiyantoro tetapi sekaligus menyanggahnya karena karya sastra bukan sekadar medium, melainkan didudukkan sebagai simbol kultural itu sendiri. Karena “shastra” sebagaimana asal-usul kata “sastra” dalam bahasa Sanskrit yang berarti “ilmu yang tertulis” adalah kehidupan yang kongruen dengan kebudyaaan maka di akhir makalah ini akan ditemui simpulan tentang kehadiran karya sastra Indonesia sebagai produk budaya yang penting dallam pengembanan kebudayaan nasional. Alur pikir tersebut dijadikan dasar rasionalitas tulisan ini. Bahwasanya kebudayaan yang dikemas melalui UU, dan oleh karenanya dinyatakan dengan RUU Kebudayaan, secara niscaya tidak bisa meninggalkan karya sastra sebagai cara sekaligus tujuan dalam konteks pembangunan orientasi kultural Indonesia. Skema metodologis makalah ini memanfaatkan metode filsafat atomisme logis untuk memperoleh konsep kebudayaan dalam RUU. Konsep itu direfleksikan ke dalam hasil penafsiran terhadap karya sastra yang ditangkap melalui metode hermeneutik. Lingkaran hermeneutik itu berakhir pada relevansi tafsir terhadap pengembangan draf RUU yang selaras dengan cita-cita kebangsaan sebagaimana dipahami dalam perspektif filsafat sosial. “Imajinasi Kebudayaan” dalam RUU Kebudayaan