PENGETATAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPSI (Studi pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung)

(1)

PENGETATAN REMISI TERHADAP

NARAPIDANA KORUPSI

(Studi pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung)

OLEH

FIO ALEX ZULKARNAIN Tesis

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Derajat MAGISTER HUKUM

Pada

Jurusan Sub Program Hukum Pidana Program Pascasarjana Magister Hukum

Universitas Lampung

PROGRAM MAGISTER HUKUM PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

PENGETATAN REMISI TERHADAP

NARAPIDANA KORUPSI

(Studi pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung)

OLEH

FIO ALEX ZULKARNAIN

Berdasarkan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 14 Narapidana berhak mendapatkan remisi setelah memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan yang berlaku,dalam Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi, dinyatakan Remisi merupakan salah satu tujuan sarana hukum yang penting dalam rangka mewujudkan tujuan Sistem Pemasyarakatan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana pelaksanaan pengetatan remisi terhadap narapidana korupsi dan apa saja faktor penghambat dalam pelaksanaannya di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris dengan menggunakan data sekunder, data primer dan analisis Kualitatif.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Remisi yang merupakan hak narapidana, keberadaannya tidak lepas dengan Sistem Pemasyarakatan yang merupakan suatu tatanan pembinaan terhadap narapidana, maka remisi merupakan suatu rangsangan agar narapidana bersedia menjalani pembinaan untuk merubah perilaku sesuai dengan tujuan Sistem Pemasyarakatan. Pengetatan pemberian remisi bagi narapidana korupsi dapat dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksaksanaan Hak Warga Binaan, dengan persyaratan membayar denda dan uang pengganti serta membuat pernyataan bekerjasama dengan penegak hukum untuk membongkar kasus korupsi. Sedangkan faktor – faktor penghambatnya adalah faktor hukum/peraturannya, Petugas, sarana dan prasarananya. Diiharapkan pengetatan remisi ini dapat memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Dengan demikian, setidaknya aturan baru mengenai tidak diberikannya remisi bagi koruptor sudah dapat diterapkan . Percepatan penerapan itu, merupakan hal yang harus benar-benar dipertimbangkan karena telah banyak menuai protes masyarakat.


(3)

(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN RIWAYAT HIDUP

PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR MOTTO

Halaman

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian... 1

1.2 Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup ……... 7

1.2.1 Perumusan Masalah…... 7

2.2.2 Ruang Lingkup ………... 7

1.3 Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian... 8

1.4 Kerangka Pemikiran... 8

1.5 Kerangka Konseptual... 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pidana dan Jenis Pidana... 19

2.2 Pengertian dan Jenis Pertangung jawaban Pidana... 25

2.3 Tindak Pidana Korupsi………... 28


(7)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Masalah………... 48

3.2 Sumber dan Jenis Data ……….. 48

.

3.3 Pengumpulan Data………. 51

3.4 Pengolahan Data………... 52

3.5 Analisis Data……….. 52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian……….…….. 53 4.2 Pelaksanaan Pengetatan Pemberian Remisi Narapidana korupsi.. 61

4.3 Faktor Penghambat Pelaksanaan Pengetatan Pemberian Remisi Narapidana Korupsi ……… 82

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan……….. 88 5.2 Saran………..……… 89

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

1

BAB I PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang Masalah

Aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin di dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentinganmMasyarakat.

Menurut Soetanto Soepiadly bahwa Korupsi telah dianggap sebagai hal yang biasa,dengan dalih “sudah sesuai prosedur”. Koruptor tidak lagi memiliki rasa malu dan takut,sebaliknya memamerkan hasil korupsinya secara demonstratife. Politisi tidak lagi mengabdi kepada konstituennya.Partai politik bukannya dijadikan alat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat banyak,melainkan menjadi ajang untuk mengeruk harta dan ambisi pribadi ( Soetanto Soepiadly, 2005:2)

Ditegaskan pula bahwa korupsi selalu bermula dan berkembang di sektor public dengan bukti-bukti yang nyata bahwa dengan kekuasaan itulah pejabat publik


(9)

2 menekan atau memeras para pencari keadilan atau mereka yang memerlukan jasa pelayanan dari pemerintah.

Pada bulan Agustus 2012, Pemerintah memberikan remisi bagi para koruptor. Tidak kurang dari 408 koruptor mendapatkan remisi pada perayaan 17 Agustus dan tidak kurang 235 orang lainnya mendapatkan remisi khusus pada hari raya idul fitri.

Remisi tersebut diberikan kepada narapidana sebagai suatu hak berdasarkan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan pasal 14. dengan persyaratan mereka yang di nilai berkelakuan baik dan sudah menjalani minimal 6 (enam) bulan masa pidana.

Secara yuridis tidak ada yang salah atas peristiwa itu, apalagi Indonesia adalah negara yang bermazhab positivisme sebuah aliran filsafat/teori yang berpandangan bahwa hukum itu adalah undang – undang. Bagi mazhab ini kebenaran dan keadilan di sadarkan kepada bunyi undang – undang. Mazhab ini memang sangat legalistik , empirik dan yang terpenting adanya kepastian hukum. Jadi jangan heran jika seorang tua renta yang miskin karena kelaparan terpaksa mencuri buah kakau ( ingat kasus mbah minah dengan kasus kakaunya ) harus mendapatkan ganjaran 3 bulan penjara. Ganjaran itu bagi mazhab positivisme sudah setimpal dengan perbuatannya. Positivism tidak memberikan ruang buat rasa kemanusiaan dan bahkan pada moralitas.


(10)

3 Di lain pihak ada pencuri yang di beri lebel koruptor, untuk menandai mereka yang telah mendapatkan uang negara secara ilegal ( melawan hukum ). Oleh karena perbuatan korupsi di negara ini demikian masivnya seperti penyakit yang mewabah dan menahun sangat sulit untuk di sembuhkan maka negara `mendifinisikan korupsi sebagai perbuatan tindak pidana yang luar biasa. Karena sifat luar biasanya inilah kemudian dibuatkan aturan yang eksklusif(khusus), lembaga pengadilan yang mengadilinya juga dibuat secara khusus, yakni pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) bahkan dibuatkan juga lembaga eksklusif yang di tgaskan khusus untuk menyelidiki dan menyidiknya, yakni Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dengan ancaman hukuman yang jauh lebih berat.

Namun demikian, korupsi bukan berarti berkurang apabila hilang, bahkan terus tumbuh silih berganti, ibarat pepatah “mati satu tumbuh seribu” baik kuantitas maupun kualitasnya. Banyak sudah cara untuk mencegahnya. Di zaman pemerintahan soeharto sangat populer istilah Waskat (pengawasan melekat), sebuah teknis untuk saling mengawasi antara atasan dengan bawahan atau sebaliknya. Selama 32 tahun kepemimpinan Soeharto jarang-jarang terdengar koruptor tertangkap padahal setiap hari hidung rakyat merasakan bau busuk korupsi tetapi tidak pernah dapat melihatnya secara nyata. Korupsi memang ibarat bau busuk yang hanya bias dirasakan tetapi tidak bisa dilihat dan diraba. Karena atmosfir tersebut sudah menyebar disemua lini dan turun temurun selama puluhan tahun sehingga seakan-akan telah membudaya, paling tidak telah menjadi kebiasaan. Ironosnya lembaga penegak hukum, diantaranya di pengadilan yang


(11)

4 seharusnya menjadi tumpuan harapan upaya pemberatasan korupsi ternyata tidak lebih baik dan bersih.

Seorang peneliti peradilan Indonesia asal Belanda, Dr. Sebastian Pompe menyatakan bahwa Korupsi di peradilan tidak hanya terbatas pada : (1) individual corruption (need & greed corruption), tetapi telah dapat dikategorikan sebagai (2) structural corruption (melibatkan keseluruhan komponen peradilan, dan merupakan praktek yang telah telah berlangsung sekian lama);(3) institutional corruption (terdapat sikap menghambat dan adanya gejala kehilangan motivasiuntuk memerangi korupsi secara total, serta “menerima” praktek dan pola-pola korupsi); (4) political corruption (tidak memberikan reaksi atau tanggapan tegas terhadap praktek korupsi yang telah meluas dan mengakar, serta tidak mengutuk praktek korupsi yang telah diketahuinya. Kedua sikap pembiaran tersebut dianggap melindungi dan mendukung praktek korupsi serta menghambat upaya-upaya pembaruan.

Keberadaan seluruh bentuk-bentuk korupsi inilah yang kemudian peradilan Indonesia menyandang predikat hyper corruption. Hal ini tidak hanya terjadi di lembaga pengadilan tetapi juga sangat potensial terjadi pada lembaga-lembaga peradilan lainnya seperti kejaksaan dan kepolisian.

Dalam Majalah Hukum Nasional, BPHN menyatakan Banyak upaya yang dilakukan umtuk menekan kejahatan korupsi di lingkungan peradilan, diantaranya langkah yang dilakukan oleh ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan, beberapa langkah pembaruan yang dilakukan sebagai berikut:


(12)

5 1. Penerapan kebijakan “peradilan satu atap” (berlaku efektif 31 Maret 2004), 2. Tersusunnya 7 (tujuh) “cetak biru” (blue prints) pembaruan peradilan yang

terdiri dari cetak biru pembaruan MA, pembaruan manajemen keuangan, pembaruan pengadilan niaga, pembaruan peradilan tipikor, dan cetak biru Komisi Yudisial.

3. Dibentuknya Tim Pembaruan yang melibatkan stake holders di luar MA yang berfungsi melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap efektifitas pelaksanaan berbagai cetak biru dan melakukan koordinasi dalam pendanaan dan pelaksanaan program pembaruan;

4. Tumbuhnya kultur keterbukaan di MA terhadap kekuatan pembaruan, terutama keterbukaan terhadap kelompok-kelompok civil society dalam mempengaruhi kebijakan pembaruan;

5. Mulai diterapkannya proses seleksi hakim yang relative terbuka dengan juga mempertimbangkan hasil-hasil penyelidikan lapangan (field investigation) yang dilakukan oleh kelompok-kelompok civil society dalam proses pengambilan keputusan. Sebagai contoh, proses seleksi hakim ad hoc pengadilan Tipikor angkatan I dan II.

Akan tetapi upaya tersebut di atas belum menimbulkan dampak nyata terhadap masyarakat, khususnya masyarakat pencari keadilan pencari keadilan. Masih ditemukan banyaknya pengaduan masyarakat yang tidak dilanjuti; putusan pengadilan yang tidak konsisten, janggal dan kontroversi; ditemukan indikasi masih terjadinya”jual beli perkara”, serta masih sulitnya masyarakat mandapatkan akses terhadap informasi tentang status dan putusan pengadilan. Semua upaya


(13)

6 pemberatasan korupsi tidak membuat para pajabat atau siapa saja takut melakukannya bahkan ditengarai semakin terbuka. Sering orang mengatakan jika di zaman Soeharto korupsi dilakukan dengan cara yang lebih sopan, bermartabat dan elegan tetapi di zaman reformasi caranya lebih terbuka dan vulgar. Artinya semangat reformasi yang lahir untuk memberantas korupsi sama sekali tidak merasuki jiwa para individu penyelenggara pemerintahan.

Pemberantasan korupsi diperlukan langkah konkret, salah satunya kebijakan penghentian atau penghapusan remisi bagi koruptor,namun kebijakan tersebut banyak pro dan kontra. Remisi terhadap pelaku pidana korupsi merupakan bentuk perlawanan terhadap koruptor. Kebijakan Menteri Hukum dan HAM yang menunda (Moratorium) remisi terhadap pelaku korupsi menjadi kontroversial,karena moratorium dianggap telah melanggar hak-hak pembebasan bersyarat dan juga asas persamaan terhadap narapidana, oleh karena itu dalam rangka memberikan rasa keadilan pada masyarakat pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas telah mendorong penulis untuk menyusun tesis dengan judul ” Pengetatan Remisi Terhadap Narapidana Korupsi”.


(14)

7 1.2 Perumusan masalah dan Ruang Lingkup

1.2.1 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah dalam tesis ini adalah :

1. Bagaimana pelaksanaan pengetatan remisi terhadap Narapadana Tindak Pidana Korupsi berdasarkan PP 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

2. Apa saja Faktor – factor penghambat pelaksanaan pengetatan remisi terhadap Narapadana Tindak Pidana Korupsi berdasarkan PP 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

1.2.2 Ruang lingkup

Berdasarkan pada permasalahan di atas, maka ruang lingkup dalam pembahasan tesis ini meliputi ruang lingkup objek pengetatan remisi terhadap Narapadana Tindak Pidana Korupsi berdasarkan PP 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Waktu penelitian dilaksanakan bulan Mei 2013, temapat penelitian adalah Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung dan Subjek Penelitian adalah Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan Kepala Bidang Pembinaan.


(15)

8 1.3 Kegunaan Penelitian

a. Secara Teoritis

Untuk mengembangkan konsep - konsep, asas - asas dan norma - norma hukum khususnya di dalam hukum pidana dalam pelaksanaan pengetatan remisi terhadap Narapadana Tindak Pidana Korupsi berdasarkan PP 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

b. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak – pihak yang memerlukan, baik aparatur pemerintah, dan pihak – pihak lain yang mempunyai wewenang untuk memberikan remisi untuk narapidana tindak pidana korupsi berdasarkan PP 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyaraktan Kelas I Bandar Lampung.

1.4 Kerangka Teori

Kerangka Teoritis adalah konsep – konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi – dimensi social yang dianggap relevan oleh peneliti. ( Soerjono Soekanto, 1986:125).


(16)

9 Menurut Romli Atmasasmita (2004:12) strategi pemberantasan korupsi harus menggunakan 4 (empat) pendekatan, yaitu :

a. Pendekatan Hukum

Pendekatan hukum memegang peranan yang sangat strategis dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, keberhasilan pendekatan ini tidak semata – mata hanya diukur dengan keberhasilan dalam proses legislasi peraturan pemberantasan korupsi, akan tetapi juga harus diseratai dengan langkah penegakan hukum yang konsisten, baik yang bersifat preventif moralistik maupun yang bersifat represif moralistik.

b. Pendekatan Moralistik dan keimanan

Pendekatan moralistik dan keimanan merupakan rambu – rambu pembatas untuk meluruskan jalannya langkah penegakan hukum dan memperkuat integritas penyelenggara negara untuk selalu memegang teguh dan menjunjung tinggi keadilan berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.

c. Pendekatan Edukatif

Pendekatan edukatif berfungsi meningkatkan daya nalar masyarakat sehingga dapat memahami dan secara komprehensif latar belakang dan sebab – sebab terjadinya korupsi serta langka pencegahannya.


(17)

10 d. Pendekatan Sosial Kultural

Pendekatan sosial kultural berfungsi membangun kultur masyarakat untuk mengutuk dan mengecam tindak pidana korupsi melalu kampanye publik yang meluas dan merata diseluruh pelosok tanah air. Pemberdayaan partisipasi publik bertujuan menumbuhkan budaya anti korupsi dikalangan masyarakat.

Pidana penjara merupakan salah satu pidana pokok yang membatasi kebebasan bergerak dari narapidana di lakukan dengan memasukan narapidana ke penjara. Masyarakat yang melakukan tindak pidana hanya dapat dijatuhi hukuman melalui proses pradilan.

Mengenai system pengertian pidana penjara menurut P.A.F Lamintang menulis sebagai berikut :Yang dimaksud dengan pidana penjara itu adalah suatu pidana pembatasan bergerak bagi suatu terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut didalam sebuah lembaga pemasyarakatan,dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan dan tata tertib yang berlaku di lembaga pemasyarakatan.( P.A.F Lamintang,1988: 69).

Dalam Majalah Pengembangan Pendekatan Terpadu dalam Sistem Peradilan Pidana Suatu Pemikiran awal,majalah hukum nasional menyatakan Sistem peradilan pidana adalah system dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi suatu kejahatan. Karena itu tujuan tujuan system adalah :


(18)

11 2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehinga masyarakat puas bahwa

keadilan telah ditegakkan dan yang salah telah dipidana.

3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatan.(BPHN,1999:79)

Komponen – komponen yang bekerja sama dalam system ini adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Empat komponen ini diharapkan bekerja sama membentuk apa yang di kenal dengan nama system peradilan terpadu.

Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarah selalu mengalami perubahan dari abad keabad,keberadaanya diperdebatkan oleh para ahli. Bila di simak urut dari sudut perkembangan masyarakat manusia,perubahan itu adalah hal yang wajar, karena manusia akan selalu berupaya untuk memperbaharui tenteng suatu hal demi meningkatkan kesejahteraan dengan mendasarkan diri pada pengalamanya dimana masa lampau. Mengenai tujuan pemidanaan dari masa ke masa berkembang sebagai teori yang secara garis besar terbagi dalam Teori Retributif;

Teori Retributif, Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata- mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.( Ninik suparni, 1996 :16).

Menurut Muladi dan Bardanawawi Arif, Adapun teori Relatif/Ultitarian, teori ini di pelopori oleh Jeremi Bentham yang berpendapat tujuan hukuman adalah :


(19)

12 a. Mencegah suatu pelanggaran ( to prevent all offenses )

b. Mencegah pelanggaran yang paling jahat ( to prevent the worst offenses ) c. Menekan kejahatan ( to keep doen mischief ) dan

d. Menekan kerugian / biaya sekecil – kecilnya ( to act the lleast ekpense ) (Muladi dan Bardanawawi,1998: 31)

Menurut teori ini pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan sipelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Dan teori ini munculah tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan pada masyarakat. Pidana harus dimaksudkan untuk mengibah tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cenderung melakukan kejahatan.

Teori gabungan, menurut teori ini tujuan pemidanaan bersifat plural,karena menggabungkan kedua teori ( teori retributive dan utiliratif) dalam suatu kesatuan. Oleh karena itu teori gabungan sering disebut sebagai teori integrative. Teori integrative lebih melihat pada adanya pembenaran pidana terletak pada pembalasan, disini hanya yang bersalah dipidana, dan beratnya pidana tidak boleh melebihi beratnya pelanggaran secara proporsional. Tujuan lainnya adalah prepensi umum, akibat pentingnya dari pidana itu ialah pelajaran yang diberikan kepada masyarakat dan menimbulkan rasa sakit, begitu pula memperbaiki penjahat.( Van Bemmelen,1984:.29)

Jika membahas tentang Lembaga Pemasyarakatan, maka hal itu tidak akan terlepas dari maksud dan tujuan pemidanaan seperti hal nya telah kita ketahui


(20)

13 bahwa tujuan pemindanaan seperti halnya telah kita ketahui bahwa tujuan dari pemindanaan dalam system kepenjaraan adalah penjeraan, maksudnya adalah dengan dipidananya seseorang terpidana di Lembaga Pemasyarakatan dimaksudkan supaya pelaku tindak pidana itu menjadi jera sehingga tidak lagi mengulangi perbuatannya lagi. Dalam system kepenjaraan itu perlakuan para petugas penjara pada narapidana itu keras,bahkan sering tidak manusiawi.

Menurut Bahruddin Soeryobroto tujuan dari pidana adalah sebagai berikut: Tujuan Pidana penjara adalah pemasyarakatan yang dinyatakan sebagai usaha untuk mencapai kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan yang terjalin antara individu melanggar hukum dengan pribadinya sebagai manusia, antara pelanggaran hukum dengan sesama manusia, antara pelanggar hukum dengan masyarakat dengan alamnya.( Baharuddin Suryobroto, 2002: 12)

Tahapan-tahapan tersebut tidak dikenal didalam system kepenjaraan.Tahap admisi/ orientasi dimaksud agar narapidana mengenal cara hidup pembinaan dari dirinya. Didalam tahapan pembinaan, narapidana dibina, di bombing agar tidak melakukan lagi tindak pidana dikemudian hari apabila telah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Narapidana diberi pendidikan,agama, keterampilan dan berbagai kegiatan pembinaan lainnya. Sedangkan pada tahap asimilasi, narapidana diasimilasikan ketengah-tengah masyarakat diluar Lembaga Pemasyarakatan. Asimilasi dimaksudkan sebagai upaya penyesuaian diri,agar narapidana tidak canggung apabila keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, apabila telah habis masa


(21)

14 pidananya atau apabila mendapat pelepasan bersyarat, cuti menjelang lepas atau pembebasan karena mendapat remisi.

Besarnya perhatian dan pemikiran yang dicurahkan terhadap masalah “ Tujuan Pemindanaan” sudah merupakan bagian dari rencana pembentukan kitab Undang -Undang hukum pidana nasional yang saat ini sedang dikaji dibadan pembinaan nasional berbagai bentuk dan usaha penanggulangan masalah kejahatan telah dilakukan, nanun kejahatan tak kunjung berkurang. Hukum pidana sebagai ultimatum remedium yang oleh sebagian orang dianggap mampu memberikan tekanan psikologis agar orang lain tidak melakukan kejahatan nampaknya patut diragukan. Oleh karena itu, perlu diadakan pengkajian-pengkajian terhadap system pemidanaan yang selama ini dipergunakan,apakah sudah memadai atau tidak.

Prinsipnya dalam hukum pidana Indonesia, tujuan pemberian sanksi pidana haruslah berfungsi untuk membina ( membuat pelanggar hukum menjadi tobat dan bukan berfungsi sebagai pembalasan).Pandangan dan pemahaman seperti itu yang sesuai dengan pandangan hidup bangsa yang terkandung dalam pancasila, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Awalnya sanksi pidana penjara itu dikenal sebagai salah satu sarana untuk membalas dendam bagi seorang pelaku kejahatan. Tujuan dari hukuman penjara itu dikenal sebagai salah satu sarana untuk membalas dendam bagi seorang pelaku kejahatan. Tujuan dari hukuman dan masyarakat dilindungi. Pemenjaraan tidak harus mengingat prikemanusiaan,


(22)

15 akan tetapi juga harus dapat membantu orang lain agar tidak melakukan kejahatan.

Sedangkan menurut muladi: bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan social yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri atas seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi, dengan catatan tujuan yang merupakan titik berat dan harus bersifat kasuistis. Perangkat tujuan pemidanaan yang dimaksud terdiri dari:

a. Pencegahan (umum dan khusus) b. Perlindungan masyarakat

c. Memelihara solidaritas masyarakat

d. Pengimbalan/ perimbangan (Muladi dan Bardanawawi,1992: 24)

Penekanan unsur balas dendam dan penjeraan dalam system kepenjaraan itu dipandang sebagai suatu system yang tidak sesuai dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi social, agar narapidana menyadari kesalahannya dan tidak mengulang kembali.

Narapidana itu tidak objek tetapi subyek yang tidak berbeda dengan manusia lain yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan yang dapat dikenakan pidana. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikan menjadi anggota masyarakat yang baik dan taat kepada hukum, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang sama,tertib dan damai.


(23)

16 Munculnya konsep Pemasyarakatan pada tahun 1964 merupakan system yang baru dalam membina pelanggaran hukum. Menurut Sahardjo dalam konfernsi Kepenjaraan di Lembaga Pemasyarakatan mengatakan bahwa tujuan dari pemidanaan bukanlah menghukum atau membuat si pelanggar hukum menderita, akan tetapi Pemasyarakatan yaitu membimbing mereka menjadi warga masyarakat yang berguna.Upaya pemasyarakatan dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana khususnya narapidana korupsi untuk menjadi warga Negara yang berguna dimasyarakat pada umumnya sangat berbeda dengan narapidana kasus lainnya dalam hal melaksanakan pembinaan didalam Lembaga Pemasyarakatan.( Saharjo, 1971: 21)

Mereka yang menjadi narapidana (berdasarkan Undang _ Undang Nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan pasal 1 ayat 7 Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan)

Sedangkan Korupsi adalah adalah Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang,penerimaan uang sogok dan sebagainya

Narapidana korupsi bukan lagi dibuat jera dengan cara pembalasan dendam,tetapi diberikan pembinaan yang berbeda agar kelak menjadi masyarakat yang baik, dalam rangka mencapai tujuan tersebut dalam hal ini tidak terlepas dari peran serta dari pelanggar hukum sendiri (Narapidana),Petugas Pemasyarakatan dan peran serta masyarakat.


(24)

17 1.5 Kerangka Konseptual

Kerangka Konseptual adalah kerangka menggambarkan hubungan antara konsep – konsep khusus, merupakan kumpulan dari arti – arti yang berkaitan dengan dengan istilah – istilah yang ingin diteliti ( Soerjono Soekanto, 1999:32).

Agar tidak terjadi kesalahanpahaman terhadap pokok permasalahan dan pembahasan dalam tesis ini, maka dibawah ini ada beberapa konsep yang bertujuan untuk menjelaskan istilah – istilah yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami tesis ini :

a. Pengetatan adalah mempersulit dengan persyaratan persyaratan yang harus dipenuhi.

b. Remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

c. Narapidana adalah adalah bagian dari masyarakat, setiap narapidana adalah seorang manusia yang tetap mempunyai hak-hak dasar yang harus dihormati, yang menjalani pidana penjara dan pidana tambahan di Lembaga pemasyarakatan (Romli Atmasasmita dan Soemadipradja, 1979 ; 12).

d. Lembaga Pemasyarakatan adalah unit pelaksana teknis dibawah kementerian Hukum dan Ham yang mempunyai tugas memberikan pembinaan kepada narapidana ( Undang - undang Nomor 12 tahun1995 pasal 2).

e. Warga Binaan Pemasyarakatan, Terpidana, Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, Klien Pemasyarakatan, LAPAS dan BAPAS adalah Warga


(25)

18 Binaan Pemasyarakatan, Terpidana, Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, Klien Pemasyarakatan LAPAS dan BAPAS sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

f. Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa , intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.


(26)

19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Pidana dan Jenis Tindak Pidana

Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat – syarat tertentu. Pidana pada umumnya sering diartikan sebagai hukuman, tetapi dalam penulisan tesis ini perlu dibedakan pengertiannya. Hukuman adalah pengertian yang bersifat umum, sedangkan pidana merupakan suatu pengertian yang bersifat khusus sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan.(Moejatno, 1993: 16)

Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukkan ciri–ciri dan sifatnya yang khas sehingga sangat berbeda sekali dengan pengertian pidana yang sering dipersepsikan masyarakat kita sebagai suatu hukuman tanpa memberikan batasan yang jelas tentang arti dari hukuman itu sendiri. Agar di dapat suatu gambaran yang lebih luas, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat atau definisi oleh para sarjana hukum sebagai berikut menurut Soedarto Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat–syarat tertentu, sedangkan menurut Roeslan Saleh Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu.(Moejatno, 1993: 23)


(27)

20 Pidana sendiri mengandung unsur – unsur sebagai berikut

a. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat–akibat lain yang tidak menyenangkan.

b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).

c. Pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang–undang.(Moejatno, 1993: 36)

Tindak pidana adalah “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan disertai ancamam (sanksi) dan menurut wujudnya atau sifat perbuatan perbuatan atau tindak pidana ini adalah perbuatan – perbuatan yang melawan hukum, perbuatan – perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil”.(Moejatno, 1993: 56)

Menurut Van Hammel, tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam Undang – Undang, melawan hukum, yag patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.(Andi Hamzah, 1999: 88)

Istilah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) telah menjadi istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Criminal justice system sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Adapun peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara


(28)

21 peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku social.(Muladi dan Barda Nawawi Arief,1984:15)

Perkataan tindak pidana atau “Straftbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma(gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku, dimana penjatuhan hukum terhadap pelaku tersebutadalh demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “Straftbaar Feit”, Strafbar Feit terdiri dari 3 (tiga) kata yakni Straf, Baar dan Feit. Straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum, perkataan baar diterjemahkan sebagai dapat dan boleh sedangkan kata feit diterjemahkan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Istilah tindak pidana telah lazim.Tindak menunjuk pada hak kelakuan manusia dalam arti positif (handelen). Padahal pengertian yang sebenarnya dalam istilah feit adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif. ( P.A.F. Lamintang, 1996 : 182)

Perbuatan aktif maksudnya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan atau diisyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP atau merusak yang diatur dalam Pasal 406 KUHP. Sedangkan perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apapun, dimana seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misal perbuatan tidak menolong sebagaimana diatur dalam Pasal 531 KUHP atau perbuatan membiarkan yang diatur dalam Pasal 304 KUHP.


(29)

22 Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak ditemukan definisi tindak pidana. Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk mengenai pertanggungjawaban. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya melakukan suatu perbuatan, yang kemudian apakah orang yang telah melakukan perbuatan tersebut dapat dipidana atau tidak. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum.

Straftbaar feit adalah kelakukan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.Sedangkan Van Hamel mengatakan bahwa straftbaar feit adalah kelakukan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Menurut ahli hukum pidana Indonesia, Komariah E. Saprdjaja bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu. Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya diletakkan sanksi pidana. Dengan demikian dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana. Terdapat pemisahan antara pertanggungajwaban pidana dan tindak pidana, yang dikenal dengan paham dualisme, yang memisahkan antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana. Para ahli hukum umumnya mengidentifikasi adanya tiga persoalan mendasar dalam hukum pidana. Saner, berpendapat bahwa hal itu berkaitan dnegan, onrecht, schuld, dan strafe. Sementara


(30)

23 itu, packer menyebut ketiga masalah tersebut berkenaan dengan crime, responsibility, dan panishment.( Drs.Adami Chazawi,2002: 67)

Persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu, dan pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan itu. Dengan kata lain, masalah mendasar dalam hukum pidana berhubungan dengan persoalan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Pembedaan ini, menimbulkan konsepsi yang bukan hanya perlu memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungajwaban pidana, tetapi lebih jauh memisahkan pertanggungjawaban pidana dengan pengenaan pidana. Berdasarkan hal ini pengkajian juga diarahkan untuk mendalami bagaiman teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana seharusnya diterapkan dalam mempertanggungjawabkan dan mengenakan pidana terhadap pembuat tindak pidana. Dengan kata lain, perlu pengkajian untuk menemukan pola penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana.

Teori yang memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana bertitik tolak dari pandangan bahwa, unsur tidak pidana hanyalah perbuatan, dengan demikian aturan mengenai tindak pidana mestinya sebatas menentukan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan. Aturan hukum mengenai tindak pidana berfungsi sebagai pembeda antara perbuatan yang terlarang daam hukum pidana dan perbuatan-perbuatan lain diluar kategori tersebut.

Dengan adanya aturan mengenai tindak pidana dapat dikenali perbuatan-perbuatan yang dilarang dan karenanya tidak boleh dilakukan. Dengan kata lain, the rules which


(31)

24 all of you us what we can and cannot do. Aturan tersebut menentukan perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu, ditinjau dari tujuan-tujuan prevensi, aturan hukum yang memuat rumusan tindak pidana juga berfungsi sebagai peringatan bagi masyarakat untuk sejauh mungkin menghindar dari melakukan perbuatan tersebut, mengingat ancaman pidana yang dilekatkan padanya. Aturan tersebut berisi pedoman bertingkah laku bagi masyarakat, sehingga dilihat dari segi represif tekanannya lebih banyak pada fungsi perlindungan individu dari kewenang-wenangan penguasa. Sedangkan aturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana berfungsi sebagai penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorag sehingga sah jika dijatuhi pidana. Tekanannya justru pada fungsi melegitimasi tindakan penegak hukum untuk menimpakan nestapa pada pembuat tindak pidana. Dengan keharusan untuk tetap menjaga kesimbangan antara tingkat ketercelaan seseorang karena melakukan tindak pidana dan penetuan berat ringannya nestapa yang menjadi konsekuensinya.

Berdasarkan Resolusi Seminar Nasional I di Jakarta pada bulan Maret 1963 tentang beberapa asas–asas dan dasar–dasar pokok hukum nasional, tujuan hukum pidana dirumuskan untuk mencegah penghambatan atau menghalang–halangi terwujudnya masyarakat yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia, yaitu dengan penentuan perbuatan–perbuatan mana yang pantang dan tidak boleh dilakukan serta pidana apakah yang diancamkan kepada mereka yang melanggar larangan itu sehingga dengan demikian setiap orang mendapat pengayoman dan bimbingan ke arah masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang–Undang Dasar 1945.(Moelyatno,1993:17)


(32)

25 Rumusan yang telah dikemukakan di atas dapat diambil tiga dasar pemikiran pokok persoalan dalam hukum pidana ,yaitu perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu dan pidana yang diancamkan kepada si pelanggar larangan itu. Mengenai tujuan pidana pada umumnya sebagai pendidikan dan pengayoman. Wujud pendidikan dan pengayoman tersebut adalah membimbing manusia dengan kerpribadian penuh menjadi warga masyarakat yang baik serta bersama yang lainnya ikut membangun masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang–Undang Dasar 1945.

2.2 Pengertian dan Jenis Pertanggungjawaban Pidana

Orang yang mempunyai kesalahan adalah jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut dan karenanya dapat bahkan harus menghindari untuk berbuat demikian. Jika begitu tentunya perbuatan tersebut memang sengaja dilakukan.(Moelyatno,1993:20)

Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan yang mana jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa hingga dapat dikatakan normal, sehat karena orang yang sehat dan normal inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya yang sesuai dengan ukuran – ukuran yang dianggap baik oleh masyarakat. Perlu kita


(33)

26 ketahui bahwa inti dari pada pertanggungjawaban itu berupa keadaan jiwa/batin seseorang yang pada saat melakukan perbuatan pidana dalam keadaan sehat. Jadi jelas bahwa untuk adanya bertanggungjawaban pidan diperlukan syarat bahwa sipembuat mampu bertanggujngjawab.

Kesalahan dapat dilihat dari sikap batin pembuat terhadap perbuatan dan akibatnya, dari adanya kesalahan dapat ditentukan adanya pertanggungjawaban. Jan Remmelink mendefinisikan: “Kesalahan adalah pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat- yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu- terhadap manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat dihindarinya, berperilaku bertentangan terhadap tuntutan masyarakat hukum untuk tidak melanggar garis yang ditentukan dan menghindari perbuatan yang dicela oleh umum, yang dipertegas oleh Jan Remmelink yakni berperilaku dengan menghindari egoisme yang tidak dapat diterima oleh kehidupan dalam masyarakat.(Remmelink Jan, 2003:142)

Menurut Moeljatno dalam hukum pidana dikenal ada dua jenis teori kesalahan. Untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, maka suatu perbuatan harus mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa). Dalam hal tindak pidana Narkotika ini akan dijelaskan mengenai kesengajaan (opzet) saja, yaitu :

a. Kesengajaan (opzet)

Menurut teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut :


(34)

27 1) Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar – benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.

2) Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

3) Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang – terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atar perbuatan seseorang yang dilakukan.

b. Kurang hati – hati/kealpaan (culpa)

Arti dari culpa ialah pada umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang


(35)

28 tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati – hati, sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi (Moeljatno,1993:46)

Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorangn terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannnya itu emenuhi unusr – unsur yang telah ditentukan dalam undang – undang.

Van Hamel mengatakan bahwa ada tiga syarat untuk mampu bertanggungjawab: 1) Mampu untuk mengerti nilai – nilai dari akibat perbuatan sendiri

2) Mampu untk menyadari bahwa perbuatan itu menurut pandangan masyarakat tidak diperbolehkan

3) Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan – perbuatan itu. (Soedarto,1990:93)

2.3 Tindak Pidana Korupsi

Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfia dari korupsi dapat berupa

:Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan


(36)

29 sogok dan sebagainya.Korup (busuk; suka menerima uang suap, uang sogok; memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya, Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya); Koruptor (orang yang korupsi).(Evi Hartanti,2005:7)

Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum.( Evi Hartanti,2005:10)

Berdasarkan undang-undang bahwa korupsi diartikan:Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2);Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.

Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan


(37)

30 tindak pidana korupsi, pertanggung jawaban pidana pada perkara tindak pidana korupsi yaitu:

1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

2. Pegawai Negeri adalah meliputi :

a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian;

b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana;

c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;

d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau

e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut.


(38)

31 Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi Pidana Mati,Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.

Pidana Penjara Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1) Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja


(39)

32 mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21) Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.

Pidana TambahanPerampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.

Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana


(40)

33 dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan Oleh atau Atas Nama Suatu Korporasi,Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui procedural ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut: Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain.Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa ke siding pengadilan.Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan menyerahkan surat


(41)

34 panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus berkantor.

Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;Perbuatan melawan hukum;Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

2.4 Pengertian Remisi dan Sistem Pemasyarakatan

Dalam Keputusan Presiden nomor 174 Tahun 1999 Tentang, menyatakan Remisi merupakan salah satu tujuan sarana hukum yang penting dalam rangka mewujudkan tujuan Sistem Pemasyarakatan. Berkaitan dengan hal tersebut, posisi lembaga remisi adalah merupakan salah satu alat pembinaan dalam sistem pemasyarakatan yang berfungsi:

a. Sebagai Katalisator (untuk mempercepat) upaya meminimalisasi pengarus prisonisasi.

b. Sebagai Katalisator (untuk mempercepat) proses pemberian tanggung jawab di dalam masyarakat luas.

c. Sebagai alat modifikasi prilaku dalam proses pembinaan selama dalam di dalam Lembaga Pemasyarakatan.


(42)

35 d. Secara tidak langsung dapat mengurangi gejala over kapasitas di Lembaga

Pemasyarakatan.

e. Dalam rangka efisiensi anggaran Negara.(Adi Sujatno, 2004 :.66).

Acapkali Lembaga Pemasyarakatan dikritik karena perlakuan tidak manusiawi, padahal tidak semua negara yang mengklaim sebagai negara demokrasi dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, mempunyai mekanisme remisi.

Remisi adalah pengurangan hukuman yang merupakan hak yang dimiliki oleh setiap narapidana. Tentunya hak tersebut diberikan kepada mereka yang memenuhi syarat untuk mendapatkan remisi dimaksud. Syarat tersebut adalah berkelakuan baik, tidak dikenakan hukuman disiplin, sudah menjalani pidana lebih dari 6 bulan, tidak dijatuhi hukum mati/ seumur hidup dan tidak sedang menjalani pidana pengganti denda dan tidak sedang menjalani Cuti Menjelang Bebas (CMB). Pemberian Remisi bukanlah merupakan wujud belas kasihan pemerintah kepada warga binaan. Remisi adalah refleksi dan tanggungjawab warga binaan terhadap dirinya, yaitu sebagai tanggungjawab atas pelanggaran yang telah dilakukan. Remisi adalah refleksi itikad baik warga binaan terhadap petugas.

Apa yang dinamakan remisi pada hakekatnya adalah suatu pengurangan secara dengan sendiri dan pidana penam yang dapat dihilangkan seluruhnya atau sebagian karena ketidak tertiban.


(43)

36 Menurut prosedur pemberian hak ini dimulai dengan adanya penilaian dan tim pengawas atau perihal pengawas atau penilal yang merupakan orang dalam Lembaga Pemasyarakatan atau rumah tahanan negara, yang kemudian diajukan ke kepalanya, yang dinilai oleh tim diantaranya apakah si narapidana berkelakuan baik untuk mendapatkan hak itu. Selanjutnya terserah Kepala Lembaga Pemasyarakatan atau rumah tahanan negara apakah mengajukan nama itu ke Direktorat Jenderal pemasyarakatan, ini juga membuat faktor subjektivitas penguasa lahanan berperan penting.

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Pemberian Remisi, menurut Pasal 4, menyatakan bahwa untuk mendapatkan Remisi adalah narapidana yang sudah menjalani pidana minimal 6 (enam) bulan dan berkelakuan baik. Seharusnya, scmua tahanan mempunyai hak yang sama dan diperlakukan sama seperti yang sudah dijamin oleh undang-undang. Pemerintah telah memperpaiki aturan mengenai pemberian Remisi, yakni dengan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Pemberian Remisi Umum setiap tanggal 17 Agustus dan Remisi Khusus (Keagamaan) pada setiap hari raya 11 Agustus dan Remisi Khusus (Keagamaan) pada setiap han raya yang paling dihormati pemeluknya, antara lain pada han Raya Idul Fitri bagi penganut agama Islam dan tanggal 25 Desember bagi pemeluk agama Kristen, dan Katholik maupun han besar agama lainnya sesual dengan agama yang dianut pemeluknya. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dianalisa bahwa pemberian remisi merupakan salah satu hak narapidana untuk mendapatkan pengurangan masa


(44)

37 tahanan yang dijatuhkan kepadanya. Remisi diberikan kepada narapidana pada setiap hari Kemerdekaan Republik Indonesia yaitu tanggal 17 Agustus, atau setiap hari besar keagamaan narapidana. Remisi diberikan kepada narapidana yang mempunyai kelakuan baik dalam program pembinaan narapidana pada Lembaga Pemasyarakatan dan telah menjalani pidana selama 6 (enam) bulan.

Menurut Pasal I ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa warga binaan pemasyarakatan adalah narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan. Sedangkan dalam Pasal I ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, pengertian narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS atau Lembaga pemasyarakatan. istilah narapidana digunakan setelah berlakunya pelaksanaan sistem pmasyarakatan. Istilah ini sebagai pengganti orang yang dihukum/ orang hukuman.

Dalam ketentuan KUHAP Bab I ketentuan umum Pasal I ayat (32) dinyatakan bahwa narapidana disebut juga dengan terpidana, terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Narapidana juga adalah salah seorang anggota masyarakat yang selama waktu tertentu diproses dalam lingkungan tempat tertentu dengan tujuan, metode dan sistemmatika pemasyarakatan dan pada suatu saat narapidana itu akan kembali menjadi anggota masyarakat yang baik dan taat pada hukum, oleh karna itu dapat


(45)

38 dikatakan, narapidana juga seorang individu yang patut dihargai dan dihormati sebagai mahluk tuhan dan anggota masyarakat.(Barnbang Poernomo, 1985:12).

Sistem pemasyarakatan menurut ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dilakukan penggolongan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dalam rangka pembinaan atas dasar: 1. Umur,

2. Jenis kelamin,

3. Lama pidana dijatuhkan, 4. Jenis kejahatan,

5. Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas dapat diketahui bahwa narapidana adalah setiap orang yang menjalankan putusan pidana pada Lembaga Pemasyarakatan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam rangka pembinaan narapidana maka perlu dilakukan pengelompokan supaya mempermudah prosedur pembinaan. Tujuan dan penggolongan ini agar kejahatan tidak menular dan yang satu kepada yang lain, menghindar perbuatan cabul, memudahkan dalam pengawasan dan perasaan hargadiri tidak hilang.

Perlakuan terhadap pelanggar hukum terus mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan peradaban manusia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu doktrin pembalasan, penjeraan rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Sejak tanggal 27 April 1964 perlakuan terhadap pelanggar hukum di Indonesia mengalami perubahan yang mendasar, yaitu dan sistem kepenjaraan yang menitik


(46)

39 beratkan pada penjaraan ke sistem pemasyarakatan yang menitik beratkan pada pembinaan dan termasuk dalam doktrin reintegrasi sosial yang berasumsi bahwa terjadinya pelanggaran hukum disamping karena kesalahan individu, juga karena kesalahan masyarakat yang ikut mengkondisikannya, karena itu pembinaan pelanggar hukum harus melibatkan masyarakat untuk memulihkan hubungan yang harmonis antara pelanggar hukum dan masyarakat. Konsep inilah yang melahirkan yang melahirkan pemulihan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan pada Sistem Pemasyarakatan.

Dengan mengganti istilah penjara menjadi pemasyarakatan, tentu terkandung maksud baik, yaitu bahwa pembinaan narapidana berorientasi pada tindakantindakan yang lebih manusiawi dan disesuaikan dengan kondisi narapidana itu.

Dalam Konferensi dinas direktur-direktur penjara pada bulan April 1964 menyatakan telah menerima Sistem Pemasyaraktan sebagai dasar perlakuan terhadap narapidana. Menurut Soedjono D, menyatakan bahwa: Sistem pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan narapidana yang didasarkan atas azas Pancasila dan memandang narapidana sebagai makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat sekaligus. Dalam membina narapidana diperkembangkan kehidupan jiwanya, jasmaniahnya, pribadi serta kemasyarakatannya, dan dalam penyelenggaraannya mengikut sertakan secara langsung dan tidak melepas hubungan dengan masyarakat. Wujud serta cam pembinaan narapidana dalam semua segi kehidupannya dan pembatasan kebebasan bergerak serta pergaulannya


(47)

40 dengan masyarakat diluar lembaga disesuaikan dengan kemajuan sikap dan tingkah lakunya seth mana pidana yang wajib dijalani, dengan demikian diharapkan narapidana pada waktu bebas dan Lembaga benarbenar telah slap hidup bermasyarakat kembali dengan baik (Soedjono Dirjosisworo,1984 : 199). Konsepsi Pemasyarakatan pertama kali pada tahun 1964 oleh Saharjo, disaat beliau menerima gelar doctor honoris causa (pidato pohon beringin). Pemasyarakatan berarti kebijaksanaan dalam pelaksanaan perlakuan terhadap narapidana yang bersifat mengayomi masyarakat dan gangguan kejahatan sekaligus mengayomi para narapidana yang “tersesat jalan” dan memberi berkat hidup bagi narapidana setelali kembali kedalam masyarakat. Pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan terpidana yang dengan keputusan Hakim untuk menjalani pidananya ditempatkan dalam lembaga pemasyarakatan, lebih lanjut beliau menyatakan bahwa stilah penjara diubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan.( Sahardjo, 1964: 23)

Sistem pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan terpidana yang didasarkan atas azas Pancasila dan memandang terpidana sebagai mahluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat sekaligus. Pembinaan terpidana dikembangkan hidup kejiwaannya, jasmaniahnya, pribadi serta kemasyarakatannya dan dalam penyelenggaraannya mengikut sertakan secara langsung dan tidak melepaskan hubungannya dengan masyarakat. Wujud serta cara pembinaan terpidana dalam semua segi kehidupannya dan pembatasan kebebasan bergerak serta pergaulannya dengan masyarakat diluar lembaga disesuaikan dengan kemajuan sikap dan


(48)

41 tingkah Iakunya serta lama pidana yang wajib dijalani, dengan demikian diharapkan terpidana pada waktu lepas dan LAPAS benar-benar telah siap kembali hidup bermasyarakat dengan baik.(Soedjono Dirjosisworo,1984:200).

Lapas adalah suatu organisasi formal (instansi pemerintah) yang ditugaskan untuk menampung narapidana/ anak didik yang dinyatakan bersalah oleh hakim melalui putusan kadang kala dipakai juga untuk tempat penahanan yang dilakukan baik oleh polisi, jaksa maupun hakim dalam rangka pendekatan hukum. Proses penjatuhan hukum/ penahanan adalah merupakan upaya penegakan hukum yang bertujuan agar terdapat suasana aman, tertib, adail dan sejahtera dalam masyarakat.

Lembaga Pemasyarakatan sebagai instalasi pelaksana dan proses penghukuman, idealnya harus dapat melayani ketiga fungsi tersebut di atas secara serasi dan seimbang. Walaupun disadari bahwa tugas tersebut adalah merupakan tugas yang tidak mudah. Pelaksanaan tugas Lembaga Pemasyarakatan secara kasat mata ugas tersebut adalah merupakan tugas yang dilematis sifatnya. Bagaimana dapat melayani ketiga fungsi tersebut secara memuaskan, sedangkan kepentingan dan pihak-pihak yang bersangkutan adalah tidak sama bahkan kadang-kadang saling bertolak belakang atau kontradiktif satu sama lainnya. Keadaan ini diperparah lagi oleh adanya faktor-faktor struktural (keadaan tarik menarik antara sistem sosial, sistem budaya, sistem ekonomi dan sistem hukum dalam masyarakat) yang bekerja secara insentif, sehingga menimbulkan berbagai dampak yang kurang memdukung terciptanya situasi dan kondisi serta suasana “pembinaan”.


(49)

42 Diperhatikan lebih lanjut, tujuan tersebut di atas sebenarnya merupakan hal yang wajar, karena fungsi yang demikian notadene adalah merupakan upaya mensosialisasikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.dengan demikian eksistensi lapas adalah juga mengemban tugas dan tanggung jawab “institusi sosial” yang ada didalam masyarakat seperti keluarga, sekolah-sekolah, alim ulama dan lain sebagainya. Malah lebih ekstrim lagi dapat dikatakan bahwa eksistensi lapas tidak akan ada, apabila institusi sosial yang disebutkan dimuka dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, yaitu dapat mensosialisasikan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat secara sempurna.

Sehingga semua warga dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara baik. Yang pada giliranyna hal ini akan menciptakan suasana yang tertib dan aman, karena tidak ada seorang pun anggota masyarakat yang melanggar hukum. Dengan perkataan lain, secara ekstrim depat disimpulkan bahwa eksistensi lapas sebenarnya tidak diperlukan, seandainya “institusi-institusi sosial” tersebut dapat melaksanakan fungsinya. Ditinjau dan segi ini, secara ideal lapas diharapkan dapat mengatasi kegagalan-kegagalan yang dialami oleh keluarga, sekolah, alim ulama dan lain sebagainya daiam membina warga masyarakat yang berlaku menyimpang tersebut.

Bersama dengan itu lapas juga dibebani untuk melayani kepentingan masyarakat, dalam arti “efek hukum” harus dapat mempengaruhi sedemikiän rupa agar anggota masyarakat lain takut untuk melanggar hukum.hal ini berarti secara visual pelaksanaan hukuman harus mengerikan dan membuat orang jera untuk berbuat


(50)

43 kejahatan. Disamping itu hukuman juga sekaligus harus dapat memenuhi harapan dan tuntutan dan pihak yang menjadi korban kejahatan, yang biasanya akan menuntut ditegakkannya rasa keadilan. Dimana secara objektif rasa keadilan itu oleh masyarakat umum/awam, biasanya dipersepsi sebagai pemberian pembalasan yang setimpal. Flash yang demikian dapat dimengerti kerena secara “naluriah dan fitroh”, manusia memiliki instink untuk mempertahankan dan melindungi suatu cara hidup yang berakar dalam pikiran masyarakat berdasarkan emosi-emosi yang bersifat kolektif. Kesadaran ini membuat mereka menjadi yakut terhadap kejahatan yang selanjutnya menuntut diadakanya suatu perwujudan balas dendam terhadap pelaku kejahatan. Memang hakekat dan penghukuman, seperti yang dipahami masyarakat pada umumnya, adalah pemberian “derita” secara sadar oleh negara kepada pelaku kejahatan (pelanggar hukum).

Menjadi suatu pertanyaan kita bersama tentang bisakah etika untuk membina (fungsi korektif) dapat berdampingan bersamaan dengan etikad untuk membalas dendam (fungsi retributif). Dapatkah situasi yang menakutkan dan mengerikan (fungsi preventif) favourabel atau mempunyai daya dukung untuk penyelenggarakan pembinaan.

Hak asasi manusia (HAM) mendasarkan persamaan hak di muka hukum, sebagaimana Deklarasi Universal HAM. Penulis merasa perlu mempertegas bahwa remisi bukan semata-mata berbicara soal berat ringan sebuah perkara melainkan juga menyangkut hak yang melekat pada tiap terhukum. Bahkan jika kita benar-benar memperhatikan, hak tersebut merupakan realisasi dan


(51)

44 konsekuensi dari konsep yang telah disepakati, bahwa Indonesia tidak mengenal lagi penjara-kepenjaraan tetapi meletakkan aksentualitasnya pada pemasyarakatan dan lembaga pemasyarakatan.

Karena itulah, tidak ada lagi UU tentang Kepenjaraan, yang ada hanya UU dan peraturan tentang lembaga pemasyarakatan (LP atau lapas). Terkait dengan pemahaman bahwa remisi adalah hak yang melekat pada diri pribadi terhukum, kita bisa menyimak Keppres Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi yang meletakkan landasannya pada pertimbangannya bahwa remisi merupakan salah satu sarana penting dalam rangka mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan. Pasal 1 regulasi itu menyebutkan tiap narapidana dan anak pidana yang menjalani pidana penjara sementara dan pidana kurungan mendapat remisi bila berkelakuan baik selama menjalani pidana.

Keppres tersebut diperbarui dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-01.PK.02.02 Tahun 2010 yang meletakkan landasan bahwa pemberian remisi kepada narapidana dan anak pidana merupakan perwujudan dari pemajuan dan perlindungan HAM berdasarkan sistem pemasyarakatan.

Semua itu untuk memperjelas bahwa hukum di Indonesia tidak memihak pada kebencian dan balas dendam, tetapi justru dengan kesederhanaan dan budaya toleransi menempatkan terhukum untuk menikmati hak yang melekat padanya.


(52)

45 Mengatur Mekanisme, Hal itu sekaligus menjelaskan bahwa hak remisi bagi terhukum tidak dapat dibatasi dan wajib diberikan sebagai bentuk kemerdekaan dari sisi pemberian pidana yang menempatkan terhukum sebagai manusia yang harus kembali dimasyarakatkan. Hal itu dipertegas oleh kata pemasyarakatan pada istilah lembaga pemasyarakatan, bukan lagi dengan kata lembaga penjara.

Jika ada pendapat menyatakan bahwa korupsi termasuk extraordinary crime sehingga terpidana kasus korupsi tidak pantas mendapat remisi, pernyataan itu hanya menggunakan kesempatan dan suasana. Yang melontarkan pendapat itu lupa bahwa kejahatan yang lebih ekstrem dan lebih menusuk perasaan rakyat serta kemanusiaan, misalnya mutilasi atau pemerkosaan terhadap anak di bawah umur adalah lebih keji dan lebih jahat karena menyinggung langsung dan melupakan rasa ketentraman masyarakat.

Nyatanya pelaku kasus mutilasi dan pemerkosaan anak di bawah umur juga mendapat remisi dalam mekanisme pelaksanaan pemasyarakatannya. Dalam praktik seharusnya remisi harus dipersamakan dengan kejahatan yang telah diputus oleh hakim, karena putusan terhadap terdakwa bersifat final dan telah mempertimbangkan rasa keadilan. Karena itu, rasanya tidak adil jika ranah remisi dikaitkan semata-mata dengan derita yang wajib dijalani, tidak dipahami sebagai alur memasyarakatkan kembali orang yang terbukti bersalah dengan mempertimbangkan hak-hak dan HAM.

Remisi dapat diberikan kepada setiap terpidana, siapa pun orangnya, asalkan memenuhi persyaratan untuk mendapatkannya. Hal itu juga mengingat bahwa


(53)

46 remisi adalah hak yang diberikan oleh HAM yang tidak dapat dilumpuhkan dan dikesampingkan. Hanya (mekanisme pemberian) remisi perlu diatur dan dibenahi agar tetap menyentuh rasa keadilan, baik bagi terhukum maupun masyarakat.

Oleh sebab itulah dalam rangka memberikan rasa keadilan dalam masyarakat dan membuat jera terpidana tindak pidana korupsi Pemerintah Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Berdasarkan Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, dijelaskan bahwa Pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme,narkotika,psikotropika,korupsi, kejahatan terhadap keamanan Negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional lainnya, harus memenuhi persyaratan sebgai berikut : a. Bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar

perkara tindak pidana yang dilakukannya.

b. Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi.


(54)

47 c. Telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan


(55)

48

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Masalah

Pendekatan normative emperis adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normative (kodifikasi, undang-undang atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Penelitian normative yuridis yaitu hukum yang berlaku dan bagaimana pelaksanaannya melalui informasi dari pihak – pihak yang dianggap mengetahui masalah yang berhubungan dengan pengetatan remisi terhadap Narapadana Tindak Pidana Korupsi berdasarkan PP 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung.

3.2 Sumber dan Jenis Data

a. Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengadakan studi kepustakaan (Library Research). Studi kepustakaan dimaksud unutk memperoleh arah pemikiran


(56)

49 dan tujuan penelitian yang dilakukan dengan cara membaca, mengutip dan menelaah litertur – literatur yang menunjang, peraturan perundang – undangan serta bahan – bahan bacaaan ilmiah lainnya yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.

Data sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu :

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat sifatnya, untuk penulisan tesis ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah

a) Undang – Undang Dasar 1945 hasil Amandemen

b) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP).

c) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana.

d) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

e) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.


(57)

50 f) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

g)Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI .

h)Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman RI.

i) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999 Tentang Remisi.

j) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

k)Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

l) Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusi RI nomor : M.HH-07.PK.01.05.04 tanggal 16 November 2011 Tentang Moratorium Terhadap Tindak Pelaku Pidana Korupsi.


(58)

51 2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan atau membahas bahan hukum primer misalnya buku – buku, referensi,literatur dan karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum tersier adalah bahan – bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder antara lain Kamus Bahasa Indonesi, Kamus Bahasa Inggris, Majalah dan surat kabar.

b. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil penelitian di lapangan pada objek penelitian yang dilakukan di Lembaga Pemasyarkatan Klas I Bandar Lampung dengan cara observasi dan wawancara.

3.3 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara :

a. Studi Pustaka, adalah suatu cara mengumpulkan data sekunder dengan cara membaca, mencatat dan mempelajari dari buku – buku, peraturan perundang – undangan serta dokumen lain yang berhubungan dengan permasalahan.

b. Studi Lapangan rhadap pejabat yang ditunjuk dan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan. Metode ini digunakan dengan tujuan agar respondent bebas


(59)

52 memberikan jawaban tetapi berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian. Sedangkan lokasi yang dipilih adalah Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung.

3.4 Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, selanjutnya adalah pengolahan data, yaitu kegiatan merapikan dan menganalisa data tersebut, kegiatan ini meliputi kegiatan seleksi data dengan cara memeriksa data yang diperoleh melalui kelengkapannya. Klasifikasi atau pengelompokan data secara sistematik.Kegiatan pengolahan data dapat dilakukan sebagai berikut :

1) Pemeriksaan data, yaitu berupa penentuan data sesuai dengan pokok bahasa apabila ada kemungkinan yang kurang atau keliru.

2) Pengklasifikasi data, yaitu penggolongan atau pengelompokan data menurut kerangka bahasan yang telah ditentukan.

3) Penyusunan data, yaitu berupa penempatan data pada tiap pokok bahasa secara sistematis sehingga memudahkan untuk dianalisis lebih lanjut.

3.5 Analisis Data

Analisa data dilakukan secara kualitatif, yaitu tersusun dalam bentuk kalimat yang teratur, sistematis sehingga mudah dipahami dan diberi makna jelas. Secara kualitatif artinya mendekripsikan secara rinci, lengkap, jelas dan komprehensif data dan informasi hasil penelitian dan pemabahasan. Berdasarkan pada hasil analisi data tersebut, kemudian diambil kesimpulan secara induktif.


(60)

(61)

88 BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Atas dasar hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pengetatan remisi bagi terpidana kasus korupsi ternyata tidak perlu menunggu waktu lama. Jika Kementerian Hukum dan HAM serius, penghapusan remisi bagi koruptor bisa segera dirumuskan tanpa perlu melakukan revisi Undang Undang.

karena konteks kejahatan korupsi berada pada level di atas pidana lain. Keduanya tidak layak mendapatkan remisi karena merupakan kejahatan luar biasa. Korupsi secara langsung dan tidak langsung bisa menghancurkan harga diri bangsa. Tak luput pula, masyarakat juga menjadi korban. Meskipun remisi adalah hak bagi narapidana berkelakuan baik, namun hal itu tidak menjadi penghalang pengetatan tersebut. Oleh sebab itulah Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32


(62)

89 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksaksanaan Hak Warga Binaan, diharapkan dapat memberikan efek jera terhadap peklau tindak pidana korupsi. 2. Faktor Penghambat Pelaksanaan Pengetatan Pemberian Remisi Kepada

Terpidana Korupsi adalah :

a. Faktor Hukum/Peraturannya, Masalah surat keputusan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI yang dikeluarkan pada 16 November 2011, menunjukan pemerintah tidak memperhatikan prosedur peraturan. Serta asas-asas umum pemerintahan yang baik.

b. Sumber daya Manusia, kurangnya pengetahuan petugas terhadap pemberian remisi karena petugas tidak diberikan pelatihan ataupun diklat khusus tentang remisi.

c. Sarana dan Prasana, kurangnya sarana prasarana yang baik dalam penyusunan remisi sehingga masih bersifat manual.

5.2 Saran

Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan, maka saran yang dapat penulis ajukan adalah sebagai berikut:

1. Dengan Keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, pemerintah diharapkan


(63)

90 dengan secara seksama melaksnakan ketentuan peraturan pemerintah tersebut sehingga tujuan dari pemberantasan tindak pidan korupsi dapat terwujud.

2. Seharusnya pemerintah/Menteri hukum dan HAM RI, dalam membuat Surat Keputusan harus memperhatikan rambu-rambu yang ada sehingga sesuai asas kepatutan serta asas umum pemerintahan yang baik, mengajukan kepada Kementerian Hukum dan HAM RI melalui Direktorat Jendral Pemasyarakatan peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pelatihan dan diklat mengenai remisi serta penambahan sarana prasana berupa Komputer dan alat penyimpan data yang baik sehingga dapat memberikan data yang akurat apabila diperlukan.


(1)

(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU – BUKU

Atmasasmita Romli. 1975. Dan Pemenjaraan Ke Pembinaan Narapidana. Alumni. Bandung. Disadur New Horizonns In Criminology. Harry Elmer Barnes & Negley K. Teeters. ____________ & Soemadipradja. 1979.Sistem Pemasyarakatan Di

Indonesia. Bina Cipta. Bandung.

Atmosudirdjo Prajudi, 1979. Administrasi dan Manajemen Umum. Gunung Agung. Jakarta.

Dirdjosisworo Soedjono. 1972.Dasar-Dasar Penologi Usaha Pembahanjan Sistem Kepenjaraan Dan Pembinaan Narapidana. Alumni. Bandung.

F. Susanto Anthon. 2004.Wajah Peradilan Kita Konstruksi SosiaI

Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan

Akuntabilitas PradiIan Pidana. Refika Aditama. Bandung. Gunakaya A.Widiada. 1988 Sejarah dan Konsep Pemasyarakatan.

Armico. Bandung.

1985.Sistem Pidana dan Pemidanaan. Pradnya Paramita, Jakarta.

Hamzah,Andi 1983.Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesi., Akademika Pressindo. Jakarta.

, 2000. Kamus Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Hartanti, Evi, S.H., 2005. Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika . Jakarta Hanitijo Sumitro Ronny. 1994.Metodologi Penelitian Hukum dan


(3)

Harsono CI.. 1995. Sistem Baru Pembinaan Narapidana. Djambatan Jakarta.

Kasim, Azhar .1993.Pengukuran Efektivitas Dalam Organisasi, Fakultas Ekonorni Universitas Indonesia. Jakarta.

Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia. 1997. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia Jilid III Edisi Ketiga,Toko Gunung Agung, Jakarta.

______________ 1997.Sistem Administrasi Negara RI, Gunung Agung, Jakarta.

_____________ 2007. Sistem Administrasi Negara

Lamintang PAF. 1984. Hukum Penitensier Di Indonesia. Armico Bandung.

Marpaung Leden. 2005.Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta.

Moeljatno. 1983. Asas-Asas Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta,

Muladi & Barda Nawawi Arief. 1992.Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bardung.

. 1992. Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni Bandung. _________ 2002. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan

Pidana. BP Universitas Diponegoro, Semarang.

Poernomo Bambang. 1982. Hukum Pidana Kumpulan Karangan IImiah. Bina Aksara. Jakarta.

____________, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta,1986.

Priyatno,Dwidja. 2006. Sistem Pe!aksanaan Pidana Penjara Di Indonesia. Refika Aditama. Bandung.


(4)

Reksodiputro Mardjono, 1997. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia. Jakarta.

Rukmini Mien. 2003. Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah Dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Alumni. Bandung.

Sujatno Adi, 2004. Sistem Pemasyarakatan Indonesia (Membangun Manusia Mandiri). Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Jakarta.

Sudirman Didin. 2006. Masalah-Masalah Aktual Bidang Pemasyarakatan. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Jakarta.

Samosir Djisman. 1992.Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pembinaan Di Indonesia. Bina Cipta. Bandung

___________ 2006. .Aspek Hukum Pidana Dan Kriminologi. Alumni. Bandung.

Soekanto,Soerjono.2003. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. RajaGrafindo Persada. Jakarta’.

Soedjono Dirdjosisworo, Sejarah dan Azas-Azas Penologi (Pemasyarakatan), Armico, Bandung 1984.

Sondang P. Siagian, Filsafat Administrasi, Bumi Aksara, Jakarta, 2004

Suwandi. 2004. Instrumen Penegakan HAM Di Indonesia. Refika Aditama. Bandung,


(5)

B. PERUNDANG – UNDANGAN DAN PERATURAN LAINNYA Undang – Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Pidana.

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana.

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI .

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman RI.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999 Tentang Remisi.

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusi RI nomor :

M.HH-07.PK.01.05.04 tanggal 16 November 2011 Tentang Moratorium Terhadap Tindak Pelaku Pidana Korupsi.


(6)

C. SUMBER LAIN – LAIN

Pengembangan Pendekatan Terpadu dalam Sistem Peradilan Pidana Suatu Pemikiran awal,majalah hukum nasional,BPHN,No.2

http://www.detiknews.com/read/2011/11/03/044659/1758902/10 http://www.pelitaonline.com/read/hukum-dan-kriminalitas/nasional www. Hukum online.com