PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Bandar Lampung) (Jurnal)

  

PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA PELAKU TINDAK PIDANA

KORUPSI

(Studi di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Bandar Lampung)

(Jurnal)

  

Oleh

RIO JULIO PASARIBU

BAGIAN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

  

2017

  

PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA PELAKU TINDAK PIDANA

KORUPSI

(Studi di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Bandar Lampung)

Oleh

  

Rio Julio Pasaribu, Diah Gustiniati M, Gunawan Jatmiko

(Email: riopasaribuxcl@gmail.com)

Abstrak

  Tindak pidana korupsi yaitu tindakan penyuapan, gratifikasi, penyelewengan atau penggelapan uang (penyalahgunaan jabatan) negara atau perusahaan dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Dengan ketatnya pemberian remisi untuk pelaku tindak pidana korupsi, sebagaimana yang di atur dalam PP No 99 Tahun 2012 yang ketentuannya bertentangan dengan ketentuan Undang – undang No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dalam Pasal 14 ayat (1) huruf i menyebutkan bahwa salah satu hak narapidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana(remisi), yang bisa berpengaruh dengan proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. Permasalahan dalam skripsi ini yang pertama bagaimanakah pembinaan narapidana wanita pelaku tindak pidana korupsi di lembaga pemasyarakatan wanita kelas IIA bandar lampung, dan yang kedua faktor penghambat apa saja dalam pembinaan narapidana wanita pelaku tindak pidana korupsi di lembaga pemasyarakatan wanita kelas IIA bandar lampung.

  Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, Berdasarkan Pasal 7 PP No 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan diatur bahwa ada beberapa tahap pembinaan terhadap narapidana, yang diterapkan di Lapas Wanita Kelas IIA Bandar Lampung yaitu: 1) tahap pertama; 2) tahap kedua; 3) tahap ketiga; 4) tahap keempat. Jenis – jenis pembinaan yang terdapat pada Lapas Wanita Kelas IIA Bandar Lampung yaitu: pembinaan kerohanian, pembinaan intelektual(intelektual, kesadaran berbangsa dan bernegara, kesadaran hukum), Pembinaan Kepribadian, pembinaan kesehatan, dan pembinaan kemandirian. pelaksanaannya sudah berjalan sesuai dengan peraturan yang ada tetapi perlu dioptimalkan kembali. Faktor penghambat dalam pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana wanita pelaku tindak pidana koruspi di lembaga pemasyarakatan wanita kelas IIA bandar lampung yaitu, faktor perundang – undangan, faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, faktor masyarakat,dan faktor narapidana.

  Kata Kunci : Pembinaan, Lembaga Pemasyarakatan, Korupsi

  Rio Julio Pasaribu

THE FOSTERING OF PERPERATOR CORRUPTION

(The Study In Woman Penintentiary Class IIA Bandar Lampung)

  

By

Rio Julio Pasaribu, Diah Gustiniati M, Gunawan Jatmiko

(Email: riopasaribuxcl@gmail.com)

Abstract

  The criminal act of corruption is the act of bribery, gratification, misappropriation or embezzlement of money (abuse of position) of the state or company and so on for personal gain or others. With the tightness of remission for the perpetrators of corruption, as regulated in Government Regulation No. 99 in 2012 whose provisions are contradictory to the provisions of Law No. 12 of 1995 on Corrections, in Article 14 paragraph (1) letter i states that one of the prisoners' rights is to obtain a reduction in criminal (remission), which may affect the process of fostering in Penal Institutions. The problem of this thesis is the first how the guidance of female prisoners of corruption in prisons of women class IIA BandarLampung, and the second factor inhibiting the guidance of female criminals’ perpetrators of corruption in female prison class IIA Bandar Lampung.

  Based on the results of research and discussion, Based on Article 7 of Government Regulation No. 31/1999 on Leading and Guidance of Prisoners of Correctional Institution, it is stipulated that there are several stages of guidance on prisoners, which are applied in Women's Class IIA Bandar Lampung, namely: 1) the first stage; 2) The second stage; 3) the third stage; 4) the fourth stage. The types of guidance found in the Bandar Lampung IIA Female’s Classroom are: spiritual guidance, intellectual development (intellectual, national and state awareness, legal awareness), Personality Guidance, health coaching, and self-help.

  The implementation is already in accordance with existing regulations but need to be optimized again. The inhibiting factor in the implementation of guidance on female prisoners of corruption crime in prisons of female class IIA Bandar Lampung that is, legislative factors, law enforcement factors, facilities, community factors, and inmates’ factor.

  Key words: Guidance, Penitentiary Institution, Corruption

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

  Tindak pidana korupsi telah meluas dihampir seluruh masyarakat di Indonesia, perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara yang diakibatkan serta bentuk pelaksanaan tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis dan korupsi sudah merupakan patalogi social (penyakit sosial) yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

  penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

  negara dalam mengatur dan mengembangkan roda pemerintahan untuk kemajuan bangsa dan negara, justru memainkan peran utama dalam ragam praktik korupsi. Mulai dari penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan kewenangan untuk kepentingan pribadi dan kroni, hingga praktik politik dinasti. Tidak sedikit sekarang wanita menjadi pemimpin di beberapa daerah dan perusahan – perusahaan di Indonesia. akhirnya menjadi palaku tindak pidana korupsi, terkuaknya kasus – kasus korupsi yang dilakukan oleh wanita memberikan tugas tambahan bagi para penegak hukum untuk bisa menanggulangi kasus tersebut. Beberapa kasus praktik korupsi yang dilakukan oleh wanita yaitu di tahun 2014 terjadi 2 peristiwa tindak pidana korupsi. Pada bulan Mei mantan bendahara inspektorat Kabupaten Lampung Timur, Desi Fitriyana berumur 32 tahun terbukti melakukan tindak pidana korupsi bersama 1 Denny Indrayana, Hukum di Sarang Koruptor,

  Kompas, Jakarta, 2008, hlm.35 2 Ermansyah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama dengan mantan kepala inspektorat saat itu.

  M Indrajaya, 56 tahun yaitu melakukan pemotongan dana tambahan penghasilan beban kerja bagi pegawai dan perjalan pegawai Badan Inspektorat Kabupaten Lampung Timur tahun anggaran 2012 sebesar Rp. 1,11 miliar. Masing – masing dijatuhkan pidana penjara terhadap Desi Fitriyana selama empat tahun, denda Rp. 200 juta dan subsider 6 bulan kurungan. Sedangkan M Indrajaya dijatuhkan pidana penjara selama lima tahun, denda Rp 200 juta, subsider enam bulan kurungan penjara.

  3 Pada bulan Juni terbukti suatu tindak

1 Tindak pidana korupsi yaitu tindak pidana

  pidana korupsi yang dilakukan oleh mantan Kasubbag Keuangan Pada Dinas Pendidikan kabupaten Lampung Utara, Berti Astuti berumur 40 tahun. Dia terbukti menggelapkan dana sertifikasi guru tahun 2012 yang sumber dananya berasal dari APBN senilai Rp7,3 miliar. Berti Astuti dijatuhkan pidana penjara selama delapan tahun, denda Rp300 juta subsider kurungan tiga bulan penjara, terdakwa juga diharuskan membayar uang pengganti Rp3,6 miliar.

2 Orang – orang yang dipercayakan oleh

  4 Pembinaan Narapidana sebagaimana diatur

  dalam UU No.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan, pembinaan narapidana juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1999 tentang Pembiaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, yakni dalam ketentuan

  Pasal 2 PP No.31 tahun 1999 yaitu: (1) program pembinaan dan pembimbingan meliputi kegiatan pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian.

  (2) program pembinaan diperuntukan bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan. 3

  http://eksposnews.com/hukum-kriminal/2- Koruptor-di-Lampung-Timur-Divonis diakses tanggal 29 agustus 2016 pukul 21.34 wib 4 http://www.saibumi.com/artikel-53588-berti- divonis-8-tahun-penjara.html#ixzz4Ips9t64O

  (3) program Pembimbingan diperuntukkan bagi Klien. Peraturan perundang – undangan lain yang juga terkait dengan pembinaan diatur dalam Peraturan Pemerintah No.32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan yang kemudian diubah menjadi Peraturan Pemerintah No.99 tahun 2012 tentang perubahan kedua atas peraturan nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksaan hak warga binaan pemasyarakatan. Pemberian remisi yang tercantum didalam Undang – undang Nomor 12 Tahun 1995, narapidana harus memenuhi beberapa persyaratan yang intinya menaati peraturan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan. Pemberian remisi bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan diatur di dalam beberapa peraturan Perundang – undangan antara lain Undang – undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Keputusan Presiden RI No. 174 Tahun 1999 tentang remisi. Sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) huruf i Undang – undang Nomor

  a. Petugas Lembaga Pemasyarakatan Wanita

  Pembinaan terhadap narapidana sesuai gagasan dari Sahardjo pada tahun 1963 yang kemudian kita kenal dengan sebutan pemasyarakatan. Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) merupakan tempat terakhir, dimana pelaksanaan pidana dilaksanakan. Pelaksanaan pidana

  A. Pembinaan Narapidana Wanita Pelaku Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Bandar Lampung

  II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

  Pengolahan data dengan cara identifikasi data, kemudian klasifikasi data sehingga menempatkan data menurut kerangka sistematis bahasan berdasarkan uraian masalah.

  c. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung

  b. Narapidana Wanita Korupsi di Lapas Wanita

  Pendekatan masalah yang digunakan dalam enelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Sedangkan sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Pengumpulan data secara studi lapangan dilakukan melalui wawancara dengan :

  12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bahwa salah satu hak narapidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). pelaku tindak pidana korupsi, sebagaimana yang di atur dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 yang ketentuannya bertentangan dengan ketentuan Undang – undang Nomor

  C. Metode Penelitian

  IIA Bandar Lampung?

  b. Faktor penghambat apa saja dalam pembinaan narapadina wanita pelaku tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Wanita klas

  IIA Bandar Lampung?

  a. Bagaimanakah pembinaan narapidana wanita pelaku tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas

  Berdasarkan uraian latar belakang, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah:

  12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dalam Pasal 14 ayat (1) huruf i menyebutkan bahwa salah satu hak narapidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana(remisi), yang bisa berpengaruh dengan proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan.

B. Permasalahan

  dilakukan dengan proses pemasyarakatan, sistem pemasyarakatan menurut Undang- undang pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat. Berhasilnya pembinaan warga binaan pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan (Lapas) merupakan tujuan yang paling utama sebagai akhir dari sistem peradilan di Indonesia, yaitu untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. berdasarkan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan diatur bahwa ada beberapa tahap pembinaan terhadap narapidana, yaitu:

  1. Tahap pertama Pada tahapan awal ini narapidana melakukan pemeriksaan fisik sampai pada registrasi, melalui masa pengenalan setelah ditetapkan di blok hunian masing – masing, warga binaan akan diberitahukan oleh petugas pemasyarakatan mengenai tata tertib yang ada di lembaga pemasyarakatan (Lapas), nama – nama petugas serta seluruh staff pegawai, kewajiban dan hak warga binaan, cara menyampaikan keluhan dan segala sesuatu yang ada di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Bandar Lampung. Sangat diharapkan agar warga binaan dapat menyesuaikan diri dalam beradaptasi, sehingga dapat berinteraksi secara normal di dalam Lapas.

  Terhadap setiap narapidana yang ditempatkan didalam lembaga pemasyarakatan itu dilakukan penelitian oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) untuk mengetahui segala hal tentang dari narapidana, termasuk tentang apa sebabnya mereka telah melakukan pelanggaran, berikut segala keterangan tentang diri mereka yang dapat diperoleh dari keluarga mereka, dari orang- orang yang pernah berhubungan dekat dengan mereka, dari orang yang menjadi korban perbuatan mereka dan dari petugas instansi yang menangani perkara mereka. Pada tahap ini dilakukan pengawasan yang sangat ketat(maximum security).

  2. Tahap kedua Pembinaan pada tahap ini terhitung sejak yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (satu per tiga) dari masa pidana, dan menurut dari Dewan Pembina Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan, antara lain mereka menunjukkan keinsafan, perbaikan, disiplin dan patuh pada peraturan – peraturan tata tertib yang berlaku di lembaga pemasyarakatan, maka kepadanya diberikan lebih banyak kebebasan dengan memberlakukan tingkat pengawasan sedang (medium security).

  3. Tahap ketiga Tahap ini disebut tahap asimilasi, pelaksanaannya dimulai jika proses pembinaan telah berlangsung 1/2 (satu per dua) sampai 2/3 (dua per tiga) dari masa pidana, dan menurut Dewan Pembinaan Pemasyarakatan telah di capai cukup kemajuan – kemajuan baik secara fisik maupun secara mental dan dari segi keterampilan, maka proses pembinaan diperluas dengan pembinaan di dalam Lapas ataupun di luar Lapas, yakni ikut beribadah bersama – sama dengan masyarakat luar, mengikuti pendidikan di sekolah – sekolah umum, bekerja di luar lembaga pemasyarakatan. Untuk narapidana tindak pidana khusus khususnya Tindak Pidana Korupsi akan melakukan perkerjaan yang berkaitan dengan sosial, yang mana Warga Binaan Pemasyarakatan ini tidak mendapat upah atas pekerjaan yang mereka lakukan karena dalam hal ekonomi sudah dianggap mampu, tetapi dalam pelaksanaannya masih berada di bawah pengawasan dan bimbingan dari petugas lembaga pemasyarakatan.

  4. Tahap kempat Tahap akhir atau tahap integrasi, dilaksanakan setelah warga binaan pemasyarakatan menjalani 2/3 (dua per tiga) dari masa pidananya sampai dengan berakhirnya masa pidana. Pada tahap ini apabila warga binaan pemasyarakatan sudah dinilai berkelakuan baik selama menjalani pembinaan, maka kepada narapidana tersebut dapat diajukan remisi, pembebasan bersyarat, dan cuti mengunjungi keluarga. Semua proses tersebut harus melalui pengajuan terlebih dahulu yang akan di tentukan lewat proses persidangan oleh Dewan Pembina Pemasyarakatan. Tahap ini pengawasan sudah sangat berkurang (minimum security).

  Wanita Kelas IIA Bandar Lampung telah menerapkan pola pembinaan sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri Kehakiman tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, dengan jenis – jenis pembinaan sebagai berikut:

  1. Pembinaan Kerohanian Pembinaan kerohanian dalam Lapas Wanita Kelas IIA Bandara Lampung dilaksanaan oleh JFU Pengelolaan Pembinaan Kerohanian, dan sudah berjalan dengan baik. Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Bandar Lampung memiliki Masjid yang dapat digunakan oleh WBP untuk melaksanakan 5 Hasil wawancara Joko Satrio, JFU Penelaah Status

  • – nasehat dari pimpinan upacara untuk membangun kesadaran berbangsa dan bernegara.

  WBP Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA

  shalat berjamaah dan kerohanian lainnya seperti pengajian, pesantren kilat dan kegiatan kerohanian lainnya dengan bekerjasama dengan Dewan Dakwah,

  IAIN, Pondok Pesantren, Muslimah NU,dll. Terdapat juga Gereja, tempat WBP yang beragama Kristen dan Khatolik melaksanakan ibadah dan kegiatan kerohanian lainnya.

  2. Pembinaan intelektual Pelaksanaan pembinaan intelektual dilakukan oleh JFU Pengelola Pembinaan Intelektul, pembinan intelektual terdiri dari beberapa bagian yaitu: a. Pembinaan intelektual (kecerdasan) Pembiaan intelektual terkait dengan tingkat pendidikan, yaitu lapas memfasilitasi WBP untuk malakukan Kejar paket A,B,C bekerjasama dengan PKBM Sidodadi Sukarame Bandar Lampung, dan untuk hal ini tidak lagi dibutuhkan oleh narapidana korupsi karena biasanya tingkat kecerdasan dan intelektualitas para narapidana korupsi sudah tinggi. Fasilitas lain yang tersedia di Lapas Wanita Kelas IIA Bandar Lampung adalah perpustakaan, yang berkerjasama dengan Perpustakaan Daerah Provinsi Lampung. Perpustakaan ditujukan untuk mengarahkan narapidana dan tahanan untuk mengisi waktu luang dengan membaca sesuai minat baca para WBP/narapidana di Lapas Wanita Kelas IIA Bandar Lampung.

5 Dalam hal ini Lembaga Pemasyarakatan

  b. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara Untuk menumbuhkan kecintaan terhadap Negara Repubik Indonesia dan nilai – nilai Pancasila, secara rutin setiap Senin pagi dilaksanakan upacara bendera. Dalam kegiatan ini biasanya diisi dengan nasehat c. Pembinaan kesadaran hukum Pembinaan kesadaran hukum dilakukan dengan kegiatan penyuluhan hukum oleh pihak Kanwil Kemenkumham. Dengan mensosialisasikan hukum kepada narapidana, tujuan pembinaan ini diharapkan membentuk narapidana memiliki kesadaran hukum yang tinggi, sehingga kedepannya setelah kembeli ke tengah – tengah masyarakat dapat turut menegakan hukum dan keadilan, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman dan terbentuknya perilaku warga negara yang taat kepada hukum yang berlaku.

  3. Pembinaan Kepribadian Pelaksana pembinaan kepribadian pada Lapas Wanita Kelas IIA Bandar Lampung adalah JFU Pengelola Pembinaan Kepribadian. Kegiatan pembinaan kepribadian antara lain kegiatan kepramukaan dan kegiatan kesenian.

  4. Pembinaan kesehatan Pembinaan kesehatan dilaksanakan oleh JFU Pengelola Pembinaan Kesehatan, untuk mendorong sikap positif, pembinaan jasmani berupa olah raga juga secara rutin dilakukan. Untuk pembinaan jasmani, narapidana korupsi melakukan olahraga ringan untuk menjaga kebugaran tubuh dalam bentuk jogging (lari ringan) yang padat dilakukan setiap hari, hari Jumat diadakan senam ringan dan gotong royong dilanjutkan dengan kegiatan pembinaan kemandirian sesuai minat masing – masing WBP/narapidana.

  5. Pembinaan kemandirian Pembinaan kemandirian yang diperuntukan untuk pengembangan keterampilan – keterampilan sebagai bekal yang dipersiapkan bagi WBP/narapidana saat menjalani masa pidana di Lapas Wanita Kelas IIA Bandar Lampung, yang diharapkan berguna untuk kedepannya ketika WBP/narapidana telah kembali ditengah – tengah masyarakat.

  B. Faktor Penghambat Pembinaan Narapidana Wanita Pelaku Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Bandar Lampung

  Pelaksanaan pembinaan yang dilaksanakan dalam Lembaga Pemasyarakatan pada umumnya telah di atur dan dirancang secara rinci dengan berbagai macam perundang – undangan yang lahir. Perencanaan yang dilaksanakan meskipun telah secara rinci dirancang, tidak semua berjalan dengan baik. Dalam perjalannan suatu pelaksanaan terhadap suatu rencana akan ditemui suatu hambatan – hambatan. Hambatan dalam setiap tindakan merupakan hal yang wajar karena terjadi di luar dugaan. Demikian juga yang terjadi dalam pelaksanaan pembinaan narapidana perempuan tindak pidana korupsi di Lapas Perempuan Kelas IIA Bandar Lampung.

  Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar Lampung mengalami hambatan dalam pelaksanaan pembinaan narapidana wanita khususnya pelaku tindak pidana korupsi. Berdasarkan hasil penelitian ada beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan pelaku tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Bandar Lampung.

  1. Faktor Perundang – Undangan (Subtansi hukum)

  Penegakan hukum yang terjadi dalam sistem peradilan di Indonesia, seringkali terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum itu sendiri. Karena wujud keadilan berupa rumusan yang bersifat abstrak dan semu, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu hal yang telah ditentukan secara jelas dan pasti berupa suatu peraturan dan undang –undang (normatif). Undang – undang nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan mengatur hak – hak narapidana yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1), yaitu: “Narapidana berhak:

  a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c. Mendapat pendidikan dan pengajaran;

  d. Mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. Menyampaikan keluhan;

  f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;

  g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan h. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; k. Mendapatkan pembebasan bersyarat; l. Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

  Muatan dalam Pasal 14 ayat (1) huruf i yang berbunyi “Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)” diatur juga dalam

  Pasal 34 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan No.32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yaitu,”Setiap narapidana dan Anak pidana berhak mendapatkan remisi.” Syarat – syarat bagi narapidana dan anak pidana untuk memperoleh remisi terdapat dalam

  Pasal 34 ayat (2) dan (3) PP 99/2012, yaitu: (2) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada

  Narapidana dan Anak Pidana yang telah memenuhi syarat: a. berkelakuan baik; dan

  b. telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan. (3) Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuktikan dengan:

  a. tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir, terhitung sebelum tanggal pemberian Remisi; dan b. telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh LAPAS dengan predikat baik.”

  Selain syarat – syarat yang terdapat pada

  Pasal 34, persyaratan lain juga terdapat dalam Pasal 34A ayat (1) yang berbunyi: (1) pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika ,dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:

  a. bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya; b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan

  c. telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar: 1) kesetian kepada Negara Kesatuan

  Repubik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia, atau

  2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana Warga Negar Asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme. (2) Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun. (3) Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.

  Retno Hadayani menyatakan bahwa narapidana tindak pidana korupsi yang tidak dapat memenuhi persyaratan yang telah diatur dalam hukum atau perundang

  • – undangan, sebagai contoh saudari B A, yang melakukan tindak pidana korupsi, mantan Kasubbag Keuangan Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Lampung Utara, kasus penggelapan dana sertifikasi guru tahun 2014 yang kemudian divonis 8 (delapan) tahun pidana penjara. Ia tidak dapat membayar denda dan uang pengganti kerugian negara, sudah secara otomatis narapidana tersebut tidak dapat diusulkan untuk mendapatkan remisi dan juga apabila pada kasus lain narapidana yang tidak mempunyai surat keterangan, sesuai Pasal 34A PP No.99 Tahun 2012.

  2. Faktor Penegak Hukum Erna Dewi menyatakan bahwa perbedaan pendapat diantara para penegak hukum sering terjadi. Pada umumnya penegakan hukum pada Lembaga Pemasyarakatan dikehendaki agar pelaku tindak pidana di hukum seberat – berat nya (tidak mendapatkan remisi), khususnya tindak pidana korupsi bahkan diharapkan harus dilakukan hukuman mati , tetapi jika dari petugas lembaga pemasyarakatan dengan tidak adanya remisi kepada narapidana korupsi dapat menimbulkan antara lain: 1) Kecemburuan sosial antara narapidana lain yang rentan terjadinya kerusuhan di dalam lembaga pemasyarakatan. 2) Kondisi lembaga pemasyarakatan yang akan menjadi melebihi kapasitas (over capacity), dan menumpuk yang di khawatirkan terjadi kerusuhan, yang akhirnya melakukan tindakan yang nekat.

  3. Faktor Sarana dan Fasilitas Fasilitas merupakan suatu sarana yang menjadi pendukung untuk kelancaran atas pelaksanaan dalam fungsi pembinaan, dan dalam hal ini untuk mendukung dalam mencapai tujuan dari pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan wanita kelas IIA Bandar Lampung. Fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras. Menurut Retno Hadayani, sarana dan fasilitas dalam pelaksanaan pembinaan terhadap WBP/Narapidana di Lapas sangat penting untuk terlaksananya pelaksanaan pembinaan dengan baik dan tujuan dari pembinaan itu sendiri tercapai. Fasilitas yang baik akan mencegah hal – hal yang tidak diinginkan, seperti ketika dalam pemberian remisi bagi narapidana korupsi dan apabila narapidana yang lain tidak mendapatkan remisi juga, ini bisa menimbulkan suatu kecemburuan sosial diantara mereka, dan bisa menyebabkan kericuhan dan kerusuhan, dan banyaknya narapidana yang ada di lapas, dan dengan kurangnya sarana dan fasilitas yang tidak mendukung, dikhawatirkan bisa membuat kerusuhan di antara narapidana.

  4. Faktor Masyarakat Kesadaran hukum yang dimiliki oleh masyarakat memiliki tingkatan yang berbeda. Ada yang memiliki tingkatan yang tinggi, sedang, dan rendah.

  Kesadaran hukum yang dimaksud yaitu suatu proses yang mencakup pengetahuan hukum, sikap hukum dan perilaku hukum. Salah satu indikator untuk mengetahui berfungsinya suatu hukum yang berlaku yaitu dari kepatuhan masyarakat terhadap hukum itu sendiri. Artinya, apabila tingkatan dari kepatuhan masyarakat terhadap hukum yang berlaku tinggi, maka hukum tersebut memang berfungsi. Erna dewi menyatakan bahwa keinginan masyarakat terhadap pelaku tindak pidana terutama pelaku tindak pidana korupsi agar di hukum seberat – seberatnya atau bila perlu di hukum mati. Dari reaksi negarif masyarakat yang beranggapan bahwa tindak pidana sudah seperti budaya yang hidup di kalangan pejabat dan para petinggi di negeri ini terlihat dari banyaknya koruptor yang tertangkap, dan anggapan lain yang menganggap kurang baiknya kerjasama antara para penegak hukum yang bekerja dan memberantas tindak pidana korupsi.

  5. Faktor Narapidana Keberhasilan dati terlaksananya program pembinaan terhadap WBP/narapidana tidak tergantung dari faktor yang telah disebutkan sebelumnya, malainkan juga dapat berasal dari faktor WBP/narapidana itu sendiri, yang memegang peran yang hambatan yang berasal dari WBP/narapidana antara lain:

  a. tidak adanya minat

  b. tidak adanya bakat

  c. watak diri

  d. sarana dan fasilitas pembinaan WBP/narapidana khususnya pelaku tindak pidana korupsi, pada umunya diawal proses pembinaan sulit menerima program pembinaan yang dilaksanaan oleh petugas Lapas, dalam hal ini petugas mengambil peran dengan melakukan beberapa tindakan. Tindakan yang dilakukan yaitu memberi mereka waktu untuk merenungkan perbuatan mereka dan memberi pengertian bahwa mereka telah melakukan suatu tindak pidana, yang mana itu merupakan tindakan yang dilarang oleh undang – undang yang berlaku, untuk itu sudah sewajarnya mereka wajib mengikuti seluruh proses pelaksaan pidana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yaitu proses pembinaan pemasyarakatan.

  6 III. SIMPULAN

  Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasana mengenai pembinaan narapidana wanita pelaku tindak pidana korupsi di lembaga pemasyarakatan wanita klas IIA Bandar Lampung, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. pembinaan narapidana wanita pelaku tindak pidana korupsi di Lembaga

  Pemasyarakatan Kelas IIA Bandar Lampung sudah sesuai dengan peraturan Undang – undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dan sesuai dengan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dilaksanakan melalui 4 tahap, yaitu: 1) Tahap pertama disebut dengan nama mapenaling, Penjagaan terhadap narapidana pada tahap ini sangat ketat (max security). 2) Tahap kedua disebut waktu narapidana sudah menjalankan 1/3 dari masa pidana, jenis – jenis pembinaan yang dimaksud sebagai berikut: pembinaan kerohanian, pembinaan intelektual (intelektual/kecerdasan, kesadaran berbangsa dan bernegara, kesadaran hukum), pembinaan kepribadian, pembinaan kesehatan, pembinaan kemandirian. Pada tahap ini diberlakukan tingkat pengawasan sedang (medium security). 3) Tahap ketiga atau tahap asimilasi, 6 Hasil wawancara Retno Hadayani, Kasubsi

  Registrasi Lembaga Pemasyarakatan Perempuan

  pelaksaannya dimulai apabila proses pembinaan telah berlangsung 1/2 sampai 2/3 dari masa pidana dan telah dicapai kemajuan dari narapidana, proses pembinaan diperluas yaitu di lakukuan di luar lapas dengan melakukan pekerjaan sosial. 4). Tahap keempat atau tahap integrasi, dilaksanaan setelah warga binaan pemasyarakatan telah menjalani 2/3 sampai berakhirnya masa pidana. Pada tahap ini pengawasan sudah sangat berkurang (minimum security). Akan tetapi, pelaksanaan sistem pemasyarakatan tidak membedakan antara narapidana tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.

DAFTAR PUSTAKA

  • . 2008. Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: PT. Gramedia ----------------. 2010. Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan keempat. Jakarta: Rineka Cipta Hidayat, Farhan. Pemasyarakatan Sebagai Upaya Perlindungan terhadap Masyarakat, Warta Pemasyarakatan Nomor 19 Tahun VI September 2005

  2. Faktor–faktor yang menjadi penghambat pembinaan narapidana wanita pelaku tindak pidana korupsi di lembaga pemasyarakatan wanita kelas

  IIA Bandar lampung sebagai berikut: Faktor perundang – undangan atau hukumnya sendiri, belum membedakan proses pembinaan antara narapidana tindak pidana umum dan tindak pidana khusus, adanya pertentangan antara UU 12/1995 tentang pemasyarakatan dengan PP 99/2012, yaitu mengenai pemberian remisi yang diperketat terhadap tindak pidana khusus, sedangkan dalam Pasal 14 ayat (1) huruf i menyebutkan bahwa hak daripada narapidana yaitu mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); Faktor penegakan hukum, adanya perbedaaan pendapat diantara penegak hukum; Faktor Masyarakat, masyarakat masih menonjolkan sikap negatif terhadap narapidana dan ingin agar pelaku tindak pidana korupsi di hukum seberat

  A. Buku

  Danil, Elwi. 2012. Korupsi: Konsep,

  Tindak Pidana, dan Pemberantasannya ,

  Jakarta: Rajawali Pers Hamzah, Andi. 2003. Hukum Acara

  Pidana Indonesia, Jakarta: Sapta Artha Jaya.

  Kadri Husin dan Budi Rizki. 2015. Sistem Peradilan di Indonesia, Cetakan Kedua, Bandar Lampung: Lembaga Penelitian Universitas Lampung Maulani, Diah Gustiani, dkk. 2013.

  Hukum Penitensia dan Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, Bandar Lampung: PKKPUU FH Unila.

  Moelajtno. 2009. Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta

  P.A.F., Lamintang. 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Keempat, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang.

  2010. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudens, Jakarta: Sinar:Grafika

  • – seberatnya atau bila perlu di hukum mati; Faktor Narapidana, yakni adanya hambatan – hambatan yang berasal dari WBP/narapidana antara lain: a. tidak adanya minat, b. tidak adanya bakat, c. watak diri.
    • . 2012. Hukum Penitensier Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta: Cetakan kedua. Sinar Grafika

  B. Undang – Undang

  Undang–undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Undang–undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan Peratutan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

  Keputusan Menteri Kehakiman Nomor:M.02-PK.04.10,Tahun 1990,Tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan

  C. Penelusuran Internet

  http://www.saibumi.com http://eksposnews.com No. Handphone: 085384335430

Dokumen yang terkait

ABSTRAK PERAN PENYIDIK DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL UMUM DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN CARA MUTILASI (STUDI KASUS DI POLDA LAMPUNG)

0 0 16

MEDIASI PENAL OLEH LEMBAGA KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA RINGAN DALAM MEWUJUDKAN PRINSIP RESTORATIVE JUCTICE (Studi di Wilayah Hukum Polresta Bandar Lampung)

0 0 14

KOORDINASI ANTARA PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) BEA DAN CUKAI DENGAN PENYIDIK POLRI DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANAEKSPOR ILEGAL PASIR TIMAH (Studi di Kantor Pelayanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Bandar Lampung)

0 1 15

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TENTANG PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN ORANG TUA TERHADAP ANAK (Putusan Perkara Nomor 548Pid.Sus2016PN.Tjk) (Jurnal)

0 0 12

UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENAMBANGAN BATU ILEGAL DI KABUPATEN LAMPUNG UTARA (Studi Pada Polres Lampung Utara) Jurnal Penelitian

0 0 13

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH AYAH KANDUNG

0 0 15

ABSTRACT THE LEGAL ENFORCEMENT AGAINST POLICE MEMBERS WHO COMMITTED ILLEGAL LEVIES (A Case Study In Polresta Bandar Lampung Jurisdiction) By Agung Kurniawan, Heni Siswanto, Damanhuri Email : kurniaagung40gmail.com

0 0 13

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN DENGAN MENGGUNAKAN IDENTITAS PALSU SEBAGAI POLISI (Studi Putusan No. 1287Pid.B2014PN-Tjk) (Jurnal)

0 0 14

PELAKSANAAN REHABILITASI SEBAGAI UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Pada Loka Rehabilitasi Kalianda)

1 1 14

Abstrack LEGAL ENFORCEMENT ANALYSIS OF POLRI INVESTORS IN THE FALSE ABOUT CAPTURE OR ERROR IN PERSONA (Study in Polda Lampung) by Yonatan Kristiyanto, Eko Raharjo, Tri andrisman Email : jonatanchristianto25gmail.com

0 0 10