Penilaian Fungsi Fisik Pada Penderita Rematik Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Periode Juni – November 2011

(1)

PENILAIAN FUNGSI FISIK PADA PENDERITA REMATIK

DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK

PERIODE JUNI – NOVEMBER 2011

Oleh :

REVATHI SUBRAMANIAM

080100258

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk menilai kondisi fungsi fisik pada penderita rematik yang berobat ke Poliklinik Rematologi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM).

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain cross-sectional. Sampel pada penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik consecutive sampling. Perkiraan jumlah sampel pada penelitian ini diambil berdasarkan rumus estimasi proporsi dan diperoleh jumlah sampel sebanyak 97 orang. Hasil penelitian ini dikategorikan menjadi tiga, yaitu fungsi fisik responden tidak terbatas, fungsi fisik responden sedikit terbatas dan fungsi fisik responden terbatas.

Pada akhir penelitian ini, hasil yang diperoleh adalah, lebih dari separuh dari total responden mengalami kesulitan dan keterbatasan ketika melakukan aktivitas seperti jongkok di kamar mandi (64 orang), menaiki 5 anak tangga (64 orang), bekerja di luar rumah (54 orang) dan menggerakkan benda yang berat (57 orang). Ketika melakukan aktivitas seperti berdiri antri selama 15 menit (50 orang), mengangkat benda yang berat (47 orang), dan membungkuk untuk mengambil kain dari lantai (45 orang), kejadian kesulitan atau adanya keterbatasan adalah hampir sama jumlahnya dengan kejadian tidak ada keterbatasan. Lebih dari satu per empat dari total responden mengalami kesulitan dan keterbatasan ketika melakukan aktivitas seperti membuka botol yang belum pernah dibuka (28 orang), berjalan di luar rumah pada tanah yang datar (36 orang), menukar sprai tempat tidur (28 orang), membuka baju/ mengikat tali sepatu (22 orang), dan naik dan turun dari tempat tidur (38 orang). Sementara, hampir semua responden tidak mengalami apa-apa kesulitan ketika melakukan aktivitas seperti menyapu rumah (80 orang), mencuci rambut (90 orang), dan mandi dan keringkan tubuh dengan handuk 87 orang).

Berdasarkan hasil penelitian, didapati bahwa kondisi fungsi fisik pada pasien RSUP HAM adalah sedang.

Kata Kunci: Penyakit Rematik, Fungsi Fisik, Osteoartritis, Rematoid Artritis, Spondiloartritis, Gout, Lupus Eritematosus Sistemik


(3)

ABSTRACT

This research was done to assess the condition of physical function in patients with rheumatic disease who takes treatment in Rheumatology Clinic of Haji Adam Malik Hospital (RSUP HAM).

This research is a descriptive research done with cross-sectional design. The sampel for this research is chosen using the consecutive sampling technique. Total number of samples was counted using the proportion estimation formula. Hence, the total sample needed for this research was 96 people. The results of this research were categorised to 3 categories, which were, respondants physical function is not limited, respondants physical function is slightly limited and respondants physical function is limited.

At the end of this research, the results obtained were, more than half of the total number of respondents had limitations when squatting in the toilet (64 people), climbing up 5 steps (64 people), doing outside work (54 people) and moving heavy object (57 people). The incident of having difficulties and being able to do without difficulty was equal in patients in doing activities such as waiting in a line for 15 minutes (50 people), lifting heavy objects (47 people), and bending down to pick up clothing from the ground (45 people). More than one quarter of total respondents had limitations opening a previously unopened jar (28 people), walking outdoors on flat ground (36 people), change the bedding (28 people), dressing themselves/tying shoelaces (22 people) and getting in and out of bed (38 people). Meanwhile, most respondents did not have any difficulties in doing activities such as sweeping the floor (80 people), shampooing their hair (90 people), and washing and drying their body (87 people).

Based on the research’s results, it is known that physical condition of patients with rheumatic disease in RSUP HAM is moderate.

Key Words: Rheumatic Disease, Physical Function, Osteoarthritis, Rheumatoid

Arthritis, Spondiloarthritis, Gout, Systemic Lupus Erythematosus


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK……….. i

ABSTRACT………... ii

DAFTAR ISI…..………. iii

BAB 1 PENDAHULUAN………. 1

1.1. Latar Belakang……… 1

1.2. Rumusan Masalah………... 2

1.3. Tujuan Penelitian……… 2

1.4. Manfaat Penelitian……….. 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA……… 4

2.1. Penyakit Rematik…………..……….. 4

2.1.1. Osteoartritis………... 4

2.1.2. Rheumatoid Artritis………... 7

2.1.3. Spondiloartritis……….. 9

2.1.4. Gout………... 11

2.1.5. Lupus Eritematosus Sistemik……… 14

2.1.6. Fibromialgia………... 17

2.1.7. Skleroderma………... 17

2.2. Fungsi Fisik………..………... 18

2.2.1. Keterbatasan Fungsi Fisik……….. 20

2.2.2. Keterbatasan Fungsi Fisik Pada Penderita Rematik….. 20

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL…... 21

3.1. Kerangka Konsep Penelitian………... 21

3.2. Definisi Operasional….………... 21

BAB 4 METODE PENELITIAN……… 22

4.1. Jenis Penelitian……… 22

4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian………... 22

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian………... 23

4.4. Teknik Pengumpulan Data………….………... 24

4.5. Pengolahan dan Analisa Data……….………... 25

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 26


(5)

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden……… 26

5.1.3. Hasil Analisa Data……….. 28

5.2. Pembahasan……….. 29

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN……….. 33

6.1. Kesimpulan……….... 33

6.2. Saran……….. 33

DAFTAR PUSTAKA………. 35


(6)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk menilai kondisi fungsi fisik pada penderita rematik yang berobat ke Poliklinik Rematologi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM).

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain cross-sectional. Sampel pada penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik consecutive sampling. Perkiraan jumlah sampel pada penelitian ini diambil berdasarkan rumus estimasi proporsi dan diperoleh jumlah sampel sebanyak 97 orang. Hasil penelitian ini dikategorikan menjadi tiga, yaitu fungsi fisik responden tidak terbatas, fungsi fisik responden sedikit terbatas dan fungsi fisik responden terbatas.

Pada akhir penelitian ini, hasil yang diperoleh adalah, lebih dari separuh dari total responden mengalami kesulitan dan keterbatasan ketika melakukan aktivitas seperti jongkok di kamar mandi (64 orang), menaiki 5 anak tangga (64 orang), bekerja di luar rumah (54 orang) dan menggerakkan benda yang berat (57 orang). Ketika melakukan aktivitas seperti berdiri antri selama 15 menit (50 orang), mengangkat benda yang berat (47 orang), dan membungkuk untuk mengambil kain dari lantai (45 orang), kejadian kesulitan atau adanya keterbatasan adalah hampir sama jumlahnya dengan kejadian tidak ada keterbatasan. Lebih dari satu per empat dari total responden mengalami kesulitan dan keterbatasan ketika melakukan aktivitas seperti membuka botol yang belum pernah dibuka (28 orang), berjalan di luar rumah pada tanah yang datar (36 orang), menukar sprai tempat tidur (28 orang), membuka baju/ mengikat tali sepatu (22 orang), dan naik dan turun dari tempat tidur (38 orang). Sementara, hampir semua responden tidak mengalami apa-apa kesulitan ketika melakukan aktivitas seperti menyapu rumah (80 orang), mencuci rambut (90 orang), dan mandi dan keringkan tubuh dengan handuk 87 orang).

Berdasarkan hasil penelitian, didapati bahwa kondisi fungsi fisik pada pasien RSUP HAM adalah sedang.

Kata Kunci: Penyakit Rematik, Fungsi Fisik, Osteoartritis, Rematoid Artritis, Spondiloartritis, Gout, Lupus Eritematosus Sistemik


(7)

ABSTRACT

This research was done to assess the condition of physical function in patients with rheumatic disease who takes treatment in Rheumatology Clinic of Haji Adam Malik Hospital (RSUP HAM).

This research is a descriptive research done with cross-sectional design. The sampel for this research is chosen using the consecutive sampling technique. Total number of samples was counted using the proportion estimation formula. Hence, the total sample needed for this research was 96 people. The results of this research were categorised to 3 categories, which were, respondants physical function is not limited, respondants physical function is slightly limited and respondants physical function is limited.

At the end of this research, the results obtained were, more than half of the total number of respondents had limitations when squatting in the toilet (64 people), climbing up 5 steps (64 people), doing outside work (54 people) and moving heavy object (57 people). The incident of having difficulties and being able to do without difficulty was equal in patients in doing activities such as waiting in a line for 15 minutes (50 people), lifting heavy objects (47 people), and bending down to pick up clothing from the ground (45 people). More than one quarter of total respondents had limitations opening a previously unopened jar (28 people), walking outdoors on flat ground (36 people), change the bedding (28 people), dressing themselves/tying shoelaces (22 people) and getting in and out of bed (38 people). Meanwhile, most respondents did not have any difficulties in doing activities such as sweeping the floor (80 people), shampooing their hair (90 people), and washing and drying their body (87 people).

Based on the research’s results, it is known that physical condition of patients with rheumatic disease in RSUP HAM is moderate.

Key Words: Rheumatic Disease, Physical Function, Osteoarthritis, Rheumatoid

Arthritis, Spondiloarthritis, Gout, Systemic Lupus Erythematosus


(8)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit rematik (rheumatism) merupakan suatu kondisi yang menyakitkan, yang mengefek berjutaan orang. Terdapat lebih dari 100 jenis penyakit rematik, antaranya adalah, osteoartritis, rheumatoid artritis, spondiloartritis, gout, lupus eritematosus sistemik, skleroderma, fibromialgia, dan lain-lain lagi. Penyakit ini menyebabkan inflamasi, kekakuan, pembengkakan, dan rasa sakit pada sendi, otot, tendon, ligamen, dan tulang. Berdasarkan penelitian oleh Centers for Disease Control and Prevention, menunjukkan bahwa 33% (69.9 juta) daripada populasi Amerika Serikat mengeluhkan penyakit artritis atau penyakit sendi (Cush, J.J. dan Lipsky, P.E., 2005).

Penyakit rematik ini merupakan suatu sebab sering terjadinya keterbatasan aktivitas jika dibandingkan dengan penyakit jantung, kanker atau diabetes. Menurut Eustice (2007), berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Centers for Disease Control and Prevention (2007), 38% (17 juta) penderita penyakit rematik di Amerika Serikat mengeluhkan keterbatasan fungsi fisik akibat daripada penyakitnya. Sementara, berdasarkan hasil penelitian terakhir dari Qing, Y.Z., (2008) prevalensi nyeri rematik di beberapa negara asean adalah, 26.3% Bangladesh, 18.2% India, 23.6-31.3% Indonesia, 16.3% Filipina, dan 14.9% Vietnam. Dari data yang didapati ini, bisa dikatakan bahwa, negara Indonesia mempunyai prevalensi nyeri rematik yang cukup tinggi dimana keadaan seperti ini dapat menurunkan produktivitas negara akibat daripada keterbatasan fungsi fisik penderita yang mengefek kualitas hidupnya.

Keterbatasan fungsi fisik adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak dapat atau mengalami kesukaran untuk melakukan aktivitas hariannya (AHRQ). Keterbatasan fungsi fisik yang sering terjadi pada penderita rematik adalah pada hal-hal seperti berjalan 1 atau 2 kilometer, menaik 1 atau 2 tangga, mandi &


(9)

antara istirahat dan olahraga menjadi sangat penting untuk mempertahankan kondisi fungsi fisik yang optimal. Kondisi fungsi fisik penderita rematik seharusnya dinilai dengan menghitung skor kuesioner yang diisi oleh pasien sebelum memasuki ruang pemeriksaan pada setiap kunjungan. Walau bagaimanapun, kebanyakkan ahli rematologi tidak melakukan hal ini akibat daripada kesibukkan praktek rematologi klinis. (Bruce, B., et al., 2009)

Menurut Pincus dan Tugwell (2007), pengamatan dalam perawatan klinis oleh seorang individu atau satu kelompok kecil dokter dalam permulaan penyakit rematik, dapat menunjukkan disabilitas kerja dan mortalitas prematur, ketiadaan remisi jangka panjang dan status pasien yang lebih baik. Laporan dari perawatan klinis standar adalah sangat tinggi oleh data kuantitatif, yang dikumpul oleh calon dan digunakan untuk analisis kemudiannya untuk memberikan bukti. Maka, pendekatan paling pragmatis untuk memperkenalkan penilaian kuantitatif dalam perawatan rematologi standard adalah dengan menyuruh setiap pasien untuk mengisi kuesioner pada setiap kunjungan.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimanakah keadaan atau kondisi fungsi fisik pada penderita rematik?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk menilai fungsi fisik pada penderita rematik yang berobat ke Poliklinik Rematologi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM).

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: 1. Mengetahui prevalensi penyakit rematik di RSUP HAM.


(10)

2. Mengidentifikasi karakteristik penyakit rematik (sendi-sendi yang terlibat, manifestasi klinis, kondisi yang memperburuk penyakit dan fungsi fisik pasien).

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

1. Dapat memberikan pengalaman, pengetahuan dan informasi yang lebih mendalam tentang penyakit rematik.

2. Diharapkan pihak responden dapat mengetahui keadaan atau kondisi fungsi fisik akibat penyakit yang diderita.

3. Diharapkan hasil penelitian dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya tentang penyakit rematik.

4. Diharapkan dapat membantu dalam penanganan dan peningkatan kondisi fisik pasien.


(11)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Rematik

Penyakit rematik meliputi cakupan luas dari penyakit yang dikarakteristikkan oleh kecenderungan untuk mengefek tulang, sendi, dan jaringan lunak (Soumya, 2011). Penyakit rematik dapat digolongkan kepada 2 bagian, yang pertama diuraikan sebagai penyakit jaringan ikat karena ia mengefek rangka pendukung (supporting framework) tubuh dan organ-organ internalnya. Antara penyakit yang dapat digolongkan dalam golongan ini adalah osteoartritis, gout, dan fibromialgia. Golongan yang kedua pula dikenali sebagai penyakit autoimun karena ia terjadi apabila sistem imun yang biasanya memproteksi tubuh dari infeksi dan penyakit, mulai merusakkan jaringan-jaringan tubuh yang sehat. Antara penyakit yang dapat digolongkan dalam golongan ini adalah rheumatoid artritis, spondiloartritis, lupus eritematosus sistemik dan skleroderma. (NIAMS, 2008)

2.1.1. Osteoartritis

Osteoartritis (OA) merupakan suatu penyakit yang berkembang dengan perlahan tetapi merupakan penyakit aktif degenerasi kartilago artikular yang berhubungan dengan simptom-simptom seperti nyeri sendi, kekakuan, dan keterbatasan pergerakkan (Dubey, S., & Adebajo, A., 2008). OA membutuhkan pertimbangan dari 3 area yang bertumpang tindih, yaitu, perubahan patologis, ciri-ciri radiologi dan konsekwensi klinis. Secara patologis, terjadi perubahan dalam struktur kartilago, secara radilogi, terdapat osteofit dan terjadi penyempitan ruang sendi, dan secara klinis pula terjadi ketidakmampuan dan nyeri. (Kumar, P., & Clark, M., 2005) OA dapat terjadi pada semua sendi dalam tubuh, tetapi paling sering terjadi di pinggul, lutut, dan sendi-sendi pada tangan, dan kaki.


(12)

Epidemiologi

OA merupakan penyakit dengan prevalensi yang tertinggi dalam kelompok masyarakat kita dan penyebab kedua tersering dalam ketidakmampuan pada orang tua di negara-negara barat. Prevalensi OA meningkat dengan usia karena kondisi yang tidak reversible. Pada usia kurang dari 45 tahun, laki-laki lebih rentan kena penyakit ini jika dibandingkan dengan wanita, tetapi wanita lebih rentan kena OA pada usia lebih dari 55 tahun. Pada dekad seterusnya, didapati kasus OA akan semakin meningkat akibat daripada peningkatan orang usia lanjut, obesitas, dan kurangnya kebiasaan berolahraga. (Dubey, S., Adebajo, A., 2008).

Etiologi

OA primer penyebabnya tidak diketahui. OA sekunder pula penyebabnya adalah karena kerusakan sendi yang ada sebelumnya (artritis rematik, gout, artritis sepsis, penyakit Paget, spondiloartropati seronegatif), penyakit metabolik (kondrokalsinosis, hemokromatosis bawaan, akromegali) dan penyakit sistemik (hemofilia, hemoglobinopati, neuropati). (Kumar, P., & Clark, M., 2005)

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang sering dapat dilihat adalah, nyeri sendi, kekakuan sendi selepas tidak bergerak (terutamanya pada waktu pagi), sendi yang tidak stabil, kehilangan fungsi, kelembutan pada sendi (joint tenderness), krepitus pada pergerakkan, pergerakkan terbatas, tahap inflamasi yang bervariasi, dan pembengkakan tulang. (Kumar, P., & Clark, M., 2005)

Diagnosis

Diagnosis OA biasanya berdasarkan tanda-tanda klinis dan radiogafi. Pada tahap awal, radiografinya bisa normal tetapi penyempitan ruang sendi tampak nyata apabila kartilago artikuler semakin menghilang. Selain itu, karakteristik yang dapat diketemui adalah sklerosis tulang subkondral, kista subkondral, dan osteofitosis.


(13)

Tetapi, biasanya dapat ditemukan perbedaan yang besar diantara tingkat keparahan radiografi, tingkat keparahan simptom, dan abilitas fungsional.

Pemeriksaan laboratorium biasanya tidak digunakan untuk mendiagnosa OA, tetapi pemeriksaan ini dapat membantu untuk menentukan penyebab OA sekunder. Oleh karena OA primer bukan sistemik, laju endap darah, serum kimia, dan urinalisis adalah normal. Analisa cairan sinovial dapat membantu menyingkirkan kemungkinan lain seperti gout atau artritis sepsis. Pemeriksaan MRI dan ultrasonografi tidak digunakan untuk mendiagnosa OA ataupun untuk pemantauan perkembangan penyakit. (Fauci, A.S., & Langford, C.A., 2006)

Penatalaksanaan

Tujuan utama dalam penatalaksanaan OA adalah untuk mengurangkan nyeri, memperbaiki mobilitas, dan meminimalkan disabilitas. Pada penderita dengan OA ringan, proteksi sendi dan pengambilan analgesik sekali-kali menjadi cukup; tetapi untuk pasien dengan OA berat, gabungan terapi non-farmakologi dan suplemen analgesik dan/atau obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) adalah lebih sesuai. Walau bagaimanapun, terapi non-farmakologis merupakan penatalaksanaan yang paling penting, malah lebih penting dari terapi dengan obat-obatan.

Non-farmakologi

Secara non-farmakologi, tatalaksana yang dapat dilakukan adalah dengan cara mengurangkan beban pada sendi (memperbaiki postur tubuh yang salah, beban berlebihan pada sendi yang terlibat harus dihindarkan, pasien OA pinggul/lutut harus hindarkan berdiri lama, berlutut dan jongkok, dan istirahat secukupnya tanpa imobilisasi total). Selain itu, dilakukan modalitas termis dengan aplikasi panas pada sendi OA atau mandi dengan air hangat. Pasien juga disuruh berolahraga. Untuk OA pada ekstremitas bawah, dilakukan olahraga sedang 3 hari per minggu. Seterunya diberikan edukasi pada pasien (edukasi tentang manejemen diri, motivasi, nasehat tentang olahraga, rekomendasi untuk mengurangkan beban pada


(14)

sendi yang terlibat). Operasi artroskopi pula dilakukan jika tidak ada manfaat daripada terapi farmakologi.

Farmakologi

Obat yang sering diresepkan untuk pasien OA adalah OAINS untuk mengurangkan nyeri dan memperbaiki mobilitas dalam OA, N-Acetyl-P-Aminophenol (APAP) sebagai anlagesik untuk nyeri OA ringan sampai sedang (efektivitas sama seperti OAINS), dan inhibitor selektif COX-2 jika terjadi efek samping gastrointestinal dengan penggunaan OAINS. Injeksi glukokortikoid diinjeksi intra/ periartikuler untuk kelegaan simptomatis untuk beberapa minggu hingga bulan. Opiod diberikan pada nyeri OA akut. Diberi opioid lemah (kodein peroral) jika APAP atau OAINS tidak memberikan manfaat dan dapat juga digunakan untuk nyeri OA kronis. Rubefacient/Capsaicin merupakan obat topical pada sendi dan otot yang nyeri yang memberikan bahang local. Operasi ortopedik yaitu operasi penggantian sendi dilakukan pada OA tahap lanjut dimana terapi agresif gagal. Selain itu, bisa juga dilakukan artoplasti sendi total atau osteotomi. Regenerasi kartilago adalah perbaikan kartilago dengan sel mesenchymal (efektivitas belum dibuktikan). (Fauci, A.S., & Langford, C.A., 2006)

2.1.2. Reumatoid Artritis

Reumatoid artritis (RA) merupakan suatu penyakit autoimun dimana etiologinya tidak diketahui dan biasanya mengefek sendi kecil dan besar. (Dubey, S., & Adebajo, A., 2008).

Epidemiologi

Kira-kira 20% dari pasien, onset RA adalah akut. Beberapa pasien akan rasa tidak enak untuk beberapa bulan, tetapi yang lain mengalami disabilitas yang parah. Remisi spontan bisa terjadi, tetapi jika penyakit berlanjutan lebih dari 2 tahun, maka remisi spontan tidak bisa terjadi. (Dubey, S., Adebajo, A., 2008).


(15)

Etiologi

RA mungkin merupakan suatu manifestasi dari respon terhadap suatu agen infeksi dalam individu yang rentan terkena secara genetik (genetically susceptible host). Agen-agen yang mungkin menjadi penyebab adalah Mycoplasma, virus Epstein-Barr (EBV), cytomegalovirus, parvovirus, dan rubella. (Fauci, A.S., & Langford, C.A., 2006)

Manifestasi Klinis

Tanda-tanda kardinal pada penyakit RA adalah nyeri, pembengkakan, kekakuan pagi (biasanya lebih dari satu jam), hangat, kemerahan, dan keterbatasan fungsi. Tanda-tanda tambahan pula adalah malaise, kelelahan, nodul rheumatoid, dan nyeri pada waktu malam. Apabila penyakit RA ini berlanjutan, tanda-tanda sinovitis kronis menjadi lebih dominan. Sinovitis kronis dengan proliferasi sinovial atenden dan efusi sendi dapat membawa kepada instabilitas sendi. Pada masa yang sama, pannus destruktif memusnahkan kartilago dan tulang subkondral yang menyebabkan terjadinya deformitas sendi. (Dubey, S., Adebajo, A., 2008).

Diagnosis

RA didiagnosis berdasarkan kombinasi dari penyajian sendi yang terlibat, karakteristik kekakuan sendi pada pagi hari, adanya faktor darah artritis, serta temuan nodul reumatoid dan perubahan radiografi (sinar-X). Dalam RA, sendi kecil tangan, pergelangan tangan, kaki, dan lutut biasanya meradang dalam distribusi simetris. Deteksi nodul reumatoid pula paling sering sekitar siku dan jari. Antibodi abnormal yang disebut “faktor rematik”, dapat ditemukan pada 80% pasien. Antibodi lain yang disebut “antibodi citrulline” dan “antibodi antinuklear” (ANA) juga sering ditemukan pada orang dengan RA. Biasanya tes darah yang dilakukan adalah laju sedimentasi (Tingkat sed). Tingkat sed biasanya lambat selama remisi. Tes darah lain yang digunakan adalah untuk mengukur tingkat hadir peradangan dalam tubuh dengan protein C-reaktif . Tes darah juga dapat mengungkapkan anemia, karena anemia adalah umum di RA, terutama karena


(16)

peradangan kronis. Apabila penyakit berlanjutan sinar-X dapat memperlihatkan erosi tulang yang khas dari RA pada sendi. (Shiel, W.C., 2010)

Penatalaksanaan

Pengobatan yang optimal adalah kombinasi obat, istirahat, latihan penguatan sendi, perlindungan sendi, dan edukasi pasien (dan keluarga). Obat yang digunakan untuk mengobati RA ada 2 jenis, yaitu obat lini pertama yang cepat bertindak seperti aspirin dan kortison (kortikosteroid) digunakan untuk mengurangi rasa sakit dan peradangan. Obat lini kedua yang lambat bertindak (juga disebut sebagai

disease-modifying antirheumatic drugs atau DMARDs) seperti emas, metotrexete, dan hidrokloroquine, dapat mempromosikan remisi penyakit dan mencegah terjadinya kerusakan sendi yang progresif. (Shiel, W.C., 2010)

2.1.3. Spondiloartritis

Spondiloartritis (atau spondiloartropati) adalah nama keseluruhan suatu penyakit rematik dengan peradangan yang dapat mempengaruhi tulang belakang dan sendi, ligamen dan tendon. Penyakit tersebut dapat menyebabkan kelelahan dan nyeri atau kekakuan di punggung, leher, tangan, lutut, dan pergelangan kaki serta peradangan mata, kulit, paru-paru, dan katup jantung. Penyakit yang termasuk dalam spondiloartritis dapat mencakup, ankilosing spondilitis, reaktif artritis, artritis psoriatis dan spondilitis psoriasis, dan artritis atau spondilitis yang berkaitan dengan penyakit inflamasi usus, kolitis ulseratif dan Crohn's disease. (Reveille, J.D., 2010)

Epidemiologi

Spondiloartritis cenderung berdampak mereka yang remaja dan 20-an, dan pria muda dua sampai tiga kali lebih sering daripada wanita muda. Anggota keluarga pasien dengan spondiloartritis mempunyai risiko tertinggi tertular penyakit ini, terutama mereka dengan gen HLA. (Reveille, J.D., 2010)


(17)

Etiologi

Penyebab pasti spondiloartritis tidak diketahui. Namun, para peneliti menunjukkan bahwa faktor keturunan memainkan peranan penting karena penyakit ini cenderung terjadi lebih sering pada anggota keluarga pasien yang mempunyai spondiloartritis. Orang yang biasanya terdampak penyakit ini mempunyai penanda genetik umum yang disebut HLA-B27, yang terjadi pada sekitar tujuh persen dari populasi. Infeksi seperti klamidia (yang dapat menyebabkan uretritis atau rasa terbakar saat buang air kecil) dan bakteri yang menyebabkan disentri usus (seperti salmonella, shigella, dll), bisa memicu beberapa jenis artritis reaktif yang merupakan bentuk spondiloartritis. (Reveille, J.D., 2010)

Manifestasi Klinis

Penyakit ini bermula dengan nyeri pinggul atau nyeri punggung bawah yang tidak menetap dan memburuk di malam hari, di pagi hari, atau setelah tidak aktif. Nyeri punggung tersebut mungkin mulai pada sendi sakroiliaka (antara panggul dan tulang belakang) dan melibatkan semua atau sebagian tulang belakang. Nyeri dapat hilang dengan membungkuk dan pasien mungkin tidak dapat mengembangkan dada sepenuhnya karena keterlibatan sendi antara tulang rusuk. Gejala spesifik termasuk, pembungkukkan yang kronis untuk meredakan gejala, peradangan mata, kelelahan, tumit kaki sakit, nyeri dan kekakuan pinggang, rasa sakit dan bengkak pada sendi bahu, lutut, dan pergelangan kaki, kehilangan nafsu makan, sakit leher, dan demam. (Reveille, J.D., 2010)

Diagnosis

Diagnosa dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada nyeri punggung yang terinflamasi atau artritis sendi kaki karena ia berbeda dari artritis jenis lain seperti RA. Pengujian tambahan seperti sinar-X dari sendi sakroiliaka dan tulang belakang dapat mengkonfirmasi kehadiran spondilitis. Jika gejala dan tanda-tanda menunjukkan spondiloartritis, dokter juga akan memeriksa keberadaan gen HLA-B27. (Reveille, J.D., 2010)


(18)

Penatalaksanaan

Seperti berbagai bentuk artritis, terapi fisik dan olahraga rekreasi minimal 30 menit per hari secara signifikan dapat memperbaiki rasa sakit dan kekakuan. Latihan tambahan untuk punggung setidaknya lima hari per minggu juga akan memperbaiki rasa sakit dan fungsi pada pasien dengan ankilosing spondilitis.

Ada banyak pilihan pengobatan untuk spondiloartropati, dimulai dengan OAINS seperti naproxen, diklofenak, ibuprofen atau indometasin yang diberikan pada gejala awal penyakit. DMARD seperti sulfasalazine dan methotrexate telah terbukti efektif dalam mengobati artritis di lengan atau kaki, tetapi tidak untuk artritis tulang belakang atau sendi sakroiliaka. Suntikan obat depo-steroid ke dalam sendi atau selubung tendon sering digunakan oleh dokter untuk mengurangi gejala-gejala flare lokal.

Antibiotika seperti siprofloksasin, diberikan selama tiga bulan saja, segera setelah bermulanya penyakit, mungkin memiliki efek yang menguntungkan pada prognosis artritis reaktif, terutama bila dipicu olehChlamydia trachomatis,tapi bukan untuk spondiloartritis jenis lain. TNF alfa bloker telah terbukti cukup efektif dalam mengobati kedua-dua gejala sendi perifer dan tulang belakang dari spondiloartritis, serta masalah lain seperti psoriasis dan peradangan usus. Ada tiga jenis yaitu, infliximab, etanercept, dan adalimumab. Oleh karena efek samping anti-TNF, OAINS dan terapi DMARD dicoba terlebih dahulu.

Bagi mereka dengan ankilosing spondilitis, penggantian panggul total adalah yang paling umum. Fusi bedah tulang belakang mungkin diperlukan jika fungsi tulang belakang atau fungsi saraf terganggu. Osteotomi pula adalah koreksi bedah dari deformitas tulang belakang yang dapat terjadi dengan ankilosing spondilitis. (Reveille, J.D., 2010)

2.1.4. Gout

Gout adalah penyakit yang berhasil dari kelebihan asam urat dalam tubuh. Kelebihan asam urat ini mengarah pada pembentukan kristal kecil asam urat yang


(19)

sendi, ia menyebabkan serangan berulang dari peradangan sendi (artritis). Biasanya endapan kristal asam urat terjadi dalam cairan sendi (cairan sinovial) dan lapisan sendi (lapisan sinovial). Gout dianggap sebagai penyakit kronis dan progresif. Gout kronis juga bisa menyebabkan endapan gumpalan keras asam urat dalam jaringan, khususnya di dan sekitar sendi dan dapat menyebabkan kerusakan sendi, penurunan fungsi ginjal, dan batu ginjal (nefrolisiasis).

Epidemiologi

Lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita. Hal ini terutama menyerang pria setelah pubertas, dengan usia puncak 75. Pada wanita, serangan gout biasanya terjadi setelah menopause. Banyak pasien dengan hyperuricemia tidak mengembangkan gout (hyperuricemia asimtomatik), sementara beberapa pasien dengan serangan gout berulang mempunyai kadar asam urat darah yang normal atau rendah. Di antara penduduk laki-laki di Amerika Serikat, sekitar 10% memiliki hyperuricemia. Namun, hanya sebagian kecil dari mereka yang benar-benar akan mengembangkan gout.

Etiologi

Penyakit gout sering berhubungan dengan kelainan yang diwarisi dalam kemampuan tubuh untuk memproses asam urat. Asam urat merupakan produk rincian purin yang merupakan bagian dari makanan yang kita makan. Kelainan dalam menangani asam urat dapat menyebabkan serangan artritis yang menyakitkan (serangan gout), batu ginjal, dan penyumbatan pada penyaringan tubulus ginjal dengan kristal asam urat, menyebabkan gagal ginjal.

Manifestasi klinis

Sendi kecil di pangkal jempol kaki adalah situs yang paling umum dari serangan artritis gout akut yang disebut sebagai podagra. Sendi lain yang umumnya terkena termasuk pergelangan kaki, lutut, pergelangan tangan, jari, dan siku. Serangan gout akut ditandai dengan onset yang cepat dengan nyeri di sendi yang


(20)

terkena diikuti oleh kehangatan, pembengkakan, perubahan warna kemerahan, dan kelembutan. Pasien dapat mengembangkan demam dengan serangan gout akut. Serangan-serangan yang menyakitkan biasanya mereda dalam beberapa jam ke hari, dengan atau tanpa pengobatan. Kebanyakan pasien dengan gout akan mengalami serangan berulang dari arthritis selama bertahun-tahun. Dalam kronis (tophaceous) gout, massa nodular kristal asam urat (tofi) mengendap di daerah jaringan lunak tubuh yang berbeda. Meskipun yang paling sering ditemukan sebagai nodul keras di sekitar jari-jari, di ujung siku, di telinga, dan sekitar jempol kaki, nodul tofi dapat muncul di mana saja di tubuh. Ketika tofi muncul di jaringan, kondisi gout mewakili kelebihan beban asam urat dalam tubuh.

Diagnosis

Gout dicurigai ketika pasien melaporkan riwayat serangan artritis yang menyakitkan, terutama di dasar jari-jari kaki. Gout biasanya menyerang satu sendi pada satu waktu, sementara kondisi artritis lainnya, seperti lupus sistemik dan reumatoid artritis, biasanya menyerang sendi secara bersamaan. Tes yang paling diandalkan untuk gout adalah penemuan kristal asam urat dalam sampel dari cairan sendi yang diperoleh melalui aspirasi sendi (arthrocentesis). Diagnosis gout juga dapat dibuat dengan menemukan kristal-kristal asam urat dari bahan diaspirasi dari nodular tofi. Sinar-X kadang-kadang bisa membantu dan bisa menunjukkan pengendapan tofi-kristal dan kerusakan tulang sebagai akibat serangan berulang dari peradangan. Sinar-X juga dapat membantu untuk memantau dampak gout kronis pada sendi.

Penatalaksanaan

Menjaga asupan cairan yang cukup membantu mencegah serangan gout akut dan menurunkan resiko pembentukan batu ginjal pada pasien dengan gout. Pengurangan konsumsi alkohol, penurunan berat badan, perubahan pola makan dapat menurunkan kadar asam urat dalam darah (mengurangi


(21)

yaitu dengan menghambat ekskresi asam urat dari ginjal serta dengan menyebabkan dehidrasi, yang keduanya memberikan kontribusi pada pengendapan kristal asam urat pada sendi dengan mengefek metabolisme asam urat.

Ada tiga aspek untuk pengobatan asam urat dengan obat-obatan. Pertama, penghilang rasa sakit seperti asetaminofen (Tylenol) atau analgesik lain yang lebih kuat digunakan untuk mengatasi rasa sakit. Kedua, agen anti-inflamasi seperti OAINS, colchicine , dan kortikosteroid digunakan untuk mengurangi peradangan sendi. Akhirnya, obat dipertimbangkan untuk mengelola kekacauan metabolisme kronis yang menyebabkan hiperurisemia dan asam urat. Probenesid (Benemid) dan sulfinpirazone (Anturane) adalah obat-obat yang biasa digunakan untuk mengurangi kadar asam urat darah dengan meningkatkan ekskresi asam urat ke dalam urin. Tetapi, obat penurun asam urat seperti alopurinol dan febuxostat umumnya tidak dimulai pada pasien yang mengalami serangan akut gout karena dapat memperburuk peradangan akut. Obat intravena baru yang digunakan untuk menurunkan kadar asam urat darah pada pasien tertentu dengan gout kronis adalah

pegylated uricase. Obat infus ini harus dipertimbangkan hanya untuk pasien-pasien dengan gout yang telah gagal pengobatan dengan obat-obat penurunan asam urat konvensional karena dapat menyebabkan reaksi anafilaksis dan reaksi infus. (Shiel, W.C., 2010)

2.1.5. Lupus Eritematosus Sistemik (LES)

Lupus adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan peradangan akut dan kronis dari berbagai jaringan tubuh. Orang dengan lupus memproduksi antibodi abnormal dalam darah mereka yang menargetkan jaringan dalam tubuh mereka sendiri daripada agen infeksi asing. Karena antibodi dan sel-sel yang menyertai peradangan dapat mempengaruhi jaringan di mana saja di tubuh, lupus memiliki potensi untuk mempengaruhi berbagai area. Lupus dapat menyebabkan penyakit hati, kulit, sistem paru-paru, ginjal, sendi, dan/atau sistem saraf. Ketika hanya kulit yang terlibat, kondisi ini disebut dermatitis lupus atau lupus eritematosus kulit. Suatu bentuk dermatitis lupus yang dapat diisolasi ke kulit, tanpa penyakit internal


(22)

disebut lupus discoid. Ketika organ-organ internal yang terlibat, kondisi ini disebut sebagai LES. (Shiel, W.C., 2010)

Epidemiologi

Baik lupus diskoid dan sistemik adalah lebih umum pada wanita dibanding pria (sekitar delapan kali lebih umum). Penyakit ini dapat mempengaruhi semua umur namun paling sering dimulai 20-45 tahun.Statistik menunjukkan bahwa lupus agak lebih sering pada Amerika Afrika dan orang-orang keturunan Cina dan Jepang. (Shiel, W.C., 2010)

Etiologi

Alasan yang tepat untuk autoimun yang abnormal yang menyebabkan lupus masih belum diketahui. Tetapi diduga gen yang diwariskan, virus, sinar ultraviolet, dan obat tertentu mungkin memainkan peran. Beberapa ilmuwan percaya bahwa sistem imun pada lupus lebih mudah distimulasi oleh faktor eksternal seperti virus atau sinar ultraviolet. Kadang-kadang, gejala lupus dapat dipercepat atau diperburuk hanya dengan periode singkat paparan sinar matahari. Hal ini juga diketahui bahwa beberapa wanita dengan LES dapat mengalami perburukan gejala sebelum mereka menstruasi. Fenomena ini, bersama dengan dominasi LES pada wanita, menyarankan bahwa hormon-hormon wanita memainkan peran penting dalam ekspresi dari LES. Baru-baru ini, penelitian telah menunjukkan bukti bahwa suatu kunci kegagalan enzim untuk membuang sel-sel mati dapat berkontribusi pada pengembangan LES. Enzim DNase1, umumnya mengeliminasi apa yang disebut “sampah DNA” dan puing-puing sel-sel lainnya dengan menjadikannya fragmen-fragmen kecil untuk memudahkan pembuangan. Jadi, mutasi genetik dalam gen yang dapat mengganggu pembuangan limbah selular tubuh mungkin terlibat dalam permulaan dari LES. (Shiel, W.C., 2010)


(23)

Manifestasi klinis

Hampir semua orang dengan LES mempunyai nyeri sendi dan bengkak. Beberapa pasien mengembangkan artritis. Sering sendi yang terkena adalah jari-jari, tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Gejala umum lainnya termasuk nyeri dada saat mengambil napas dalam, kelelahan, demam tanpa penyebab lain, ketidaknyamanan, kegelisahan, atau perasaan sakit (malaise), rambut rontok, sensitivitas terhadap sinar matahari, pembesaran kelenjar getah bening, dan ruam kulit yang tampak seperti "kupu-kupu" pada pipi dan jembatan hidung mempengaruhi sekitar setengah dari orang dengan LES. Ruam ini semakin memburuk di sinar matahari juga dapat meluas. Gejala lain tergantung pada bagian tubuh apa yang terkena. Jika otak dan sistem saraf yang terkena maka gejalanya adalah sakit kepala, kelainan kognitif, parastesia atau nyeri di lengan atau kaki, perubahan kepribadian, psikosis, risiko stroke, kejang, dan permasalahan penglihatan. Jika saluran pencernaan, nyeri perut, mual, dan muntah. Pada jantung, irama jantung akan menjadi abnormal (aritmia). LES pada ginjal meyebabkan darah dalam urin. Jika pada paru-paru, batuk darah dan kesulitan bernafas akan terjadi. Pada kulit, warna kulit merata dan jari-jari berubah warna saat dingin (fenomena Raynaud’s). (Borigini, M.J., 2010)

Diagnosis

Diagnosis LES adalah berdasarkan pada ciri khas dari penyakit. Pasien harus ada paling tidak 4 dari 11 ciri khas dari penyakit. Biasanya akan diauskultasi untuk mendengarkan suara heart friction rub atau pleural friction rub. Selain itu, ujian neurologis juga akan dilakukan. Tes yang digunakan untuk mendiagnosa LES dapat meliputi tes antibodi (ANA panel, Anti-double strand (ds) DNA, Antiphospholipid antibody, dan Anti-Smith antibody), dan CBC (complete blood count) untuk menunjukkan jumlah sel darah putih, hemoglobin, atau platelet. Selain itu, sinar-X dada untuk menunjukkan pleuritis atau perikarditis. Juga dilakukan biopsy ginjal dan pemeriksaan urin untuk menunjukkan darah atau protein dalam urin. (Borigini, M.J., 2010)


(24)

Penatalaksanaan

Tidak ada obat untuk LES tetapi pengobatan ditujukan untuk mengontrol gejala berdasarkan gejala individual. Penyakit ringan yang melibatkan ruam, sakit kepala, demam, artritis, pleuritis, dan perikarditis tidak memerlukan terapi banyak. Biasanya OAINS digunakan untuk mengobati rematik dan pleuritis. Krim kortikosteroid digunakan untuk mengobati ruam kulit. Obat antimalaria (hidroksiklorokuin) dan kortikosteroid dosis rendah kadang-kadang digunakan untuk gejala kulit dan artritis. Kortikosteroid atau obat untuk mengurangi respon sistem kekebalan tubuh mungkin diresepkan untuk mengontrol gejala lain. Obat sitotoksik (obat yang menghambat pertumbuhan sel) digunakan untuk mengobati orang yang tidak merespon dengan baik terhadap kortikosteroid, atau yang tidak dapat berhenti mengkonsumsi kortikosteroid tanpa gejala mereka semakin buruk. Secara non farmakologi, pasien disuruh memakai pakaian pelindung, kacamata hitam, dan tabir matahari ketika di bawah sinar matahari. (Borigini, M.J., 2010)

2.1.6. Fibromialgia

Fibromialgia dikarakteristikan dengan nyeri muskuloskeletal kronis, kekakuan, parastesia, gangguan tidur dan cepat lelah yang terdistribusi dengan luas dan simetris. Fibromialgia mengefek wanita dengan rasio 9 dibanding 1. Penyakit ini ditemukan pada kebanyakkan negara, kebanyakkan suku, dan di semua jenis iklim.

Penyakit ini didiagnosis dengan riwayat nyeri muskuloskeletal yang ada paling tidak selama 3 bulan dan mempunyai kelembutan atau nyeri pada 11 daripada 18 area kelembutan sewaktu palpasi digital dilakukan. Langkah awal dalam penatalaksanaan adalah untuk memperbaiki kualitas tidur pasien. Kemudian depresi dan anxietas diobati dengan serotonin/ norepinephrine reuptake inhibitor.

Terapi lain seperti hipnoterapi dan manegemen stress turut membantu pasien. (Fauci, A.S., & Langford, C.A., 2006)


(25)

2.1.7. Skleroderma

Skleroderma merupakan penyakit kronis multisistem dimana etiologinya masih belum diketahui. Secara klinis, dikarakteristikkan dengan penebalan kulit yang disebabkan oleh akumulasi jaringan ikat dan abnormalitas struktur dan fungsional pada organ viseral, termasuk saluran pencernaan, paru-paru, jantung, dan ginjal. Antara manifestasi klinis yang terdapat pada penyakit ini adalah fenomenon Raynaud, penebalan kulit, kalsinosis subkutan, artralgias, miopati, dismotilitas esofageal, fibrosis pulmonal, gagal jantung kongestif, dan krisis renal.

Penyakit skleroderma mempunyai distribusi di seluruh dunia dan mengefek semua suku kaum. Onset bagi penyakit ini biasanya pada masa anak-anak dan pria usia muda. Insidensi semakin meningkat pada usia lanjut, dimana puncak maksimumnya ada pada usia 30-50 tahun. Wanita, secara keseluruhan terkena penyakit ini 3 kali lebih sering jika dibanding dengan pria. Penyakit ini biasanya didiagnosis berdasarkan gejala-gejalanya. Pada beberapa pasien, monoklonal IgG dapat dideteksi. Selain itu, biopsi juga turut dilakukan untuk membedakan dengan penyakit rematik lain.

Walaupun penyakit ini tidak dapat disembuhkan, penanganan organ-organ yang terlibat dapat mengurangkan simptom-simptom dan memperbaiki fungsi. Efek terapi obat untuk penyakit ini, menjadi susah untuk dievaluasi karena penyebabnya yang bervariasi dan keparahan penyakit yang berbeda. Pasien dengan skleroderma kutan yang terbatas, mempunyai prognosis yang baik, tetapi prognosis pada pasien tahap awal menjadi susah untuk diprediksi. (Fauci, A.S., & Langford, C.A., 2006)

2.2. Fungsi Fisik

Fungsi fisik merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas sehari-hari dengan kewaspadaan dan semangat, tanpa kelelahan dan dengan cadangan energi yang cukup untuk memenuhi keadaan darurat. (Mosby, 2004) Manakala status fungsional mengacu pada tingkat kinerja pasien dalam aktivitas hidup sehari-hari. Meskipun status fungsional jelas sangat penting untuk pasien dan profesional kesehatan, ia tidak dinilai dengan tes laboratorium, radiografi, dan prosedur


(26)

pencitraan lain maka belum pernah diukur secara formal dalam pengaturan perawatan medis tradisional. Pada dekad terakhir ini, beberapa instrumen kuesioner telah dipelajari secara ekstensif untuk menilai status fungsional pasien dalam penelitian klinis, uji klinis, dan praktek klinis. Pengembangan kuesioner ini adalah berdasarkan pada metode ilmiah dan menyediakan pengetahuan baru tentang kondisi jangka panjang berbagai penyakit rematik. Persyaratan metodologi yang dibutuhkan dalam suatu kuesioner status fungsional meliputi evaluasi kuantitatif terhadap tingkat basis fungsi pasien untuk perbandingan dari waktu ke waktu dalam uji klinis atau praktek klinis, diskriminasi antara individu (atau kelompok) sesuai dengan komponen yang diberikan atau kriteria status fungsional, dan prediksi dari suatu tingkat fungsional berikutnya pada pasien berisiko untuk kompromi fungsional di masa depan. Kuesioner status fungsional berhubungan baik dengan titik akhir evaluasi tradisional dalam penyakit rematik, seperti menghitung sendi, temuan radiografi, dan hasil laboratorium. Selain itu, kuesioner dapat memberikan informasi yang berguna mengenai sejumlah gejala klinis yang penting yang telah sulit atau tidak mungkin untuk diukur dengan langkah-langkah tradisional. Ini meliputi:

a. Dokumentasi dan prediksi penurunan fungsional jangka panjang dan disabilitas kerja yang terkait dengan penyakit rematik.

b. Prediksi mortalitas pada pasien dengan reumatoid artritis, termasuk identifikasi pasien dengan proyeksi survival 5-tahun pada kisaran 50%, seperti pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler dan neoplastik.

c. Identifikasi pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pasien dengan penyakit rematik.

d. Deteksi perubahan status klinis pada pasien yang terdaftar dalam uji klinis, yang sama efektitivitasnya dengan pemeriksaan fisik atau laboratorium. Meskipun penggunaan kuesioner ini telah sebagian besar terbatas pada penelitian klinis, self-reported questionnaires menunjukkan manfaat dalam penilaian dan pemantauan pasien dalam evaluasi rutin


(27)

Beberapa kuesioner telah dikembangkan untuk mengukur berbagai aspek status fungsional pada pasien dengan penyakit rematik. Antaranya adalah, Health Assessment Questionnaire (HAQ), Modified Health Assessment Questionnaire (MHAQ), Arthritis Impact Measurement Scale (AIMS), MACTAR Patient Preference Disability Questionnaire,dan lain-lain lagi. (Pincus, T., & MacKenzie, R., 2000)

2.2.1. Keterbatasan Fungsi Fisik

Keterbatsan fungsi fisik adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak dapat atau mengalami kesukaran untuk melakukan aktivitas hariannya dengan kewaspadaan, tanpa kelelahan, dan energi yang secukupnya.

2.2.2. Keterbatasan Fungsi Fisik pada Penderita Rematik

Ahli rematologi mengklasifikasikan status fungsional pasien rematik sebagai berikut:

a. Kelas I: benar-benar mampu melakukan kegiatan biasa hidup sehari-hari b. Kelas II: mampu melakukan perawatan diri sendiri biasa dan kegiatan

kerja tapi terbatas pada kegiatan di luar pekerjaan (misalnya olahraga bermain, pekerjaan rumah tangga)

c. Kelas III: mampu melakukan kegiatan mandiri perawatan biasa tapi terbatas pada pekerjaan dan kegiatan lain

d. Kelas IV: terbatas dalam kemampuan untuk melakukan perawatan diri biasa, pekerjaan, dan kegiatan lainnya

Keterbatasan fungsi fisik yang biasanya terjadi pada penderita penyakit rematik adalah pada hal-hal seperti berjalan 1 atau 2 kilometer, menaik 1 atau 2 tangga, membuka penutup botol yang belum dibuka, membersihkan rumah, bekerja di kebun, mengangkat barang-barang yang berat, mencuci rambut, berdiri dari suatu kerusi yang tegak lurus, turun dari tempat tidur, mengangkat segelas air yang terisi penuh, mengeringkan badan selepas mandi dan lain-lain lagi. (Wolfe, F., Michaud, K., and Pincus, T., 2004)


(28)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

Penderita penyakit rematik Penilaian fungsi fisik Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Definisi Operasional

a) Penderita Penyakit Rematik

Semua pasien yang menderita penyakit rematik yang telah didiagnosa oleh dokter spesialis di Poliklinik Rematologi RSUP HAM.

b) Fungsi Fisik pada Penderita Rematik

Suatu kondisi dimana seseorang dapat melakukan aktivitas hariannya tanpa rasa sakit atau nyeri akibat dari penyakit mereka.

i) Cara Pengukuran

Pengukuran dilakukan dengan metode wawancara. ii) Alat Ukur

Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner. iii) Hasil Pengukuran

Hasil pengukuran dinyatakan dalam bentuk yang dikategorikan menjadi:

a. Fungsi fisik responden tidak terbatas bila jawapannya adalah bisa b. Fungsi fisik responden sedikit terbatas bila jawapannya adalah agak

sulit

c. Fungsi fisik responden terbatas bila jawapannya adalah tidak bisa iv) Skala Pengukuran


(29)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain cross-sectional. Dengan pengamatan yang dilakukan satu kali saja dalam satu waktu tertentu, dapat diperoleh tingkat keterbatasan fisik pada penderita rematik melalui data primer yang didapatkan melalui pengisian kuesioner yang diedarkan.

4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian 4.2.1. Waktu Penelitian

Penelitian ini mulai dirancang pada bulan Februari 2011 dengan penelusuran daftar pustaka yang meliputi sumber dari buku, jurnal serta artikel dari internet, pembuatan serta penyusunan proposal penelitian yang diikuti dengan konsultasi dengan dosen pembimbing. Pembentangan proposal di seminar proposal dilanjutkan kemudiannya pada bulan Mei 2011 serta diteruskan dengan penelitian lapangan yang dimulai dari pengumpulan data sehingga penulisan laporan tentang hasil yang telah mengambil masa selama 6 bulan, yaitu dari bulan Juni 2011 sehingga bulan November 2011.


(30)

Tabel 4.1 Gambaran Waktu Penelitian (Timeline) Materi F eb 201 1 M a c 2 0 11 A p r 2 0 1 1 M e i 2011 J u n 2 0 1 1 J u li 2 0 1 1 A u g 2 0 11 S ep t 2011 O k t 2011 N o v 2 0 1 1 D e c 201 1

Memilih judul proposal & uraian

Penelusuran daftar pustaka Penulisan proposal

Seminar Proposal Persiapan penelitian di lapangan

Penelitian lapangan

Pengumpulan & analisa data Penulisan laporan hasil Seminar Karya Tulis Ilmiah

4.2.2. Lokasi Penelitian

Lokasi yang dipilih untuk melakukan penelitian adalah di Poliklinik Rematologi RSUP HAM.

4.3. Populasi Dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi

Populasi target dalam penelitian ini merupakan pasien yang berobat ke Poliklinik Rematologi RSUP HAM periode Juni – November 2011.

Populasi terjangkau dalam penelitian ini merupakan penderita rematik yang berobat ke Poliklinik Rematologi RSUP HAM periode Juni– November 2011.


(31)

4.3.2. Sampel

Sampel pada penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik consecutive sampling dengan kriteria inklusi seluruh pasien yang menderita penyakit rematik yang telah didiagnosa oleh dokter spesialis di Poliklinik Rematologi RSUP HAM serta kriteria eksklusi, pasien dengan kelainan tulang bawaan dan non-rematik. Perkiraan jumlah sampel yang minimal pada penelitian ini diambil berdasarkan rumus estimasi proporsi pada populasi, dimana tingkat kepercayaan yang dikehendaki sebesar 95% dan tingkat ketepatan relatif 10% (Sastroasmoro dan Ismael, 2008). Maka diperoleh sampel sebesar 96.

n = Zα² PQ d² Keterangan rumus:

n : jumlah/ besar sampel

α : tingkat kemaknaan yang ditetapkan peneliti. Dalam penelitian ini, peneliti menentukan α = 0,05 sehingga Zα penelitian ini sebesar 1,96

P : proporsi keadaan yang akan dicari (ditetapkan peneliti) = 0,5 Q : 1-P = 0,5

d : tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki peneliti. Dalam penelitian ini, peneliti menetapkan = 0,1

Angka-angka di atas di masukkan kembali ke rumus besar sampel: n = (1,96)² x 0,5 x 0,5

(0,1)²

= 96,04 ≈ 96 orang

4.4. Teknik Pengumpulan Data. 4.4.1. Data Primer

Data yang digunakan untuk penelitian ini merupakan data primer yang diperoleh langsung dari respondan dengan cara mengisi kuesioner terstruktur yang


(32)

diadaptasi dari HAQ-II yang telah diuji validitas serta reliabilitas sebagai instrumen penelitian.

4.4.1.1. Uji Validitas Dan Reliabilitas

Kuesioner yang telah disusun, diuji validitas content dan reliabilitasnya oleh seorang expertisdalam bagian rematologi.

4.4.2. Instrumen Penelitian

Menurut Notoatmodjo (2005), instrumen adalah alat-alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data. Instrumen penelitian ini berupa kuesioner sebagai alat bantu dalam pengumpulan data yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan untuk mengumpulkan data mengenai keterbatasan fungsi fisik pada penderita rematik.

4.4.3. Teknik Skoring dan Skala

Dalam penelitian ini, kuesioner yang digunakan adalah kuesioner penelitian keterbatasan fungsi fisik pada penderita rematik. Pengukuran penggolongan keterbatasan fungsi fisik diperoleh dari hasil pengukuran jumlah kuesioner yang diberikan bagi mengetahui kondisi fisik responden dan dikategorikan pada tingkat sangat terbatas, sedikit terbatas dan tidak terbatas.

4.4.3.1. Kategori Penelitian Pengukuran

Sedangkan dalam penentuan kategori penelitian dinilai dengan menggunakan presentasi sebagai berikut:

a. Fungsi fisik responden tidak terbatas bila jawapannya adalah bisa. b. Fungsi fisik responden sedikit terbatas bila jawapannya adalah agak sulit. c. Fungsi fisik responden terbatas bila jawapannya adalah tidak bisa.


(33)

4.5. Pengolahan dan Analisis Data

Data dianalisa secara statistik deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Analisa statistik dilakukan dengan bantuan komputer yaitu dengan menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution).


(34)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

RSUP HAM yang umumnya dikenal dengan sebutan RSUP H Adam Malik merupakan Rumah Sakit Umum Kelas A yang berada di kota Medan. RSUP HAM juga digunakan sebagai rumah sakit pendidikan bagi calon dokter dan calon dokter spesialis dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Divisi Rematologi merupakan salah satu bagian dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam (IPD). Pelayanan bagi pasien rematologi diberikan di poliklinik divisi remotologi pada setiap hari Senin dan Rabu mulai jam 0900 hingga jam 1500. Pasien-pasien rematologi merupakan pasien rujukan antara departemen IPD dan juga rujukan dari departemen-departemen lain.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden

Dalam penelitian ini, karakteristik yang diamati pada responden meliputi jenis kelamin, umur, dan jenis penyakit rematik responden.

Tabel 5.1 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase(%)

Lelaki Perempuan

28 69

28.9 71.1

Total 97 100.0

Dari tabel 5.1, diketahui bahwa sebanyak 28 orang (28.9%) responden yang menderita penyakit rematik adalah laki-laki dan 69 orang (71.1%) responden yang menderita penyakit rematik adalah perempuan.


(35)

Tabel 5.2 Karakteristik responden berdasarkan umur

Umur Frekuensi Persentase (%)

11-20 2 2.1

21-30 1 1.0

31-40 2 2.1

41-50 14 14.4

51-60 26 26.8

61-70 32 33.0

71-80 20 20.6

Total 97 100.0

Dari tabel 5.2, diketahui bahwa frekuensi penyakit rematik adalah lebih tinggi pada responden yang berumur lebih dari 40 tahun, dimana responden dari kelompok umur 61-70 tahun mempunyai frekuensi yang paling tinggi yaitu sebanyak 32 orang (33.0%).

Tabel 5.3 Karakteristik responden berdasarkan jenis penyakit rematik Jenis Penyakit Rematik Frekuensi Persentase (%)

OA 50 51.5

RA 30 30.9

Spondiloartritis 15 15.5

Gout 1 1.0

LES 1 1.0

Total 97 100.0

Dari tabel 5.3, diketahui bahwa penyakit OA diderita paling banyak oleh responden-responden jika dibandingkan dengan jenis penyakit rematik yang lain. Berdasarkan tabel 5.3, frekuensi responden yang menderita penyakit OA ini adalah sebanyak 50 orang (51.5%).


(36)

5.1.3. Hasil Analisa Data

Tabel 5.4 Pertanyaan-pertanyaan kuesioner

Pertanyaan Bisa

(orang)

Agak Sulit (orang)

Tidak Bisa (orang)

Total (orang)

Jongkok di kamar mandi 33 46 18 97

Menaiki 5 anak tangga 33 55 9 97

Membuka botol yang belum pernah dibuka

69 13 15 97

Menyapu rumah 80 16 1 97

Jalan diluar rumah pada tanah datar 61 28 8 97

Berdiri antri 15 menit 47 42 8 97

Bekerja di luar rumah 43 37 17 97

Mengangkat benda berat 50 27 20 97

Gerakkan benda berat 40 29 28 97

Tukar sprai tempat tidur 69 25 3 97

Buka baju/ikat tali sepatu 75 20 2 97

Mencuci rambut 90 6 1 97

Naik & turun tempat tidur 59 36 2 97

Mandi & keringkan tubuh dengan handuk

87 8 2 97

Bungkuk untuk ambil kain dari lantai

52 43 2 97


(37)

kamar mandi, menaiki 5 anak tangga, bekerja di luar rumah dan menggerakkan benda yang berat. Ketika melakukan aktivitas seperti berdiri antri selama 15 menit, mengangkat benda yang berat, dan membungkuk untuk mengambil kain dari lantai, kejadian kesulitan atau adanya keterbatasan adalah hampir sama jumlahnya dengan kejadian tidak ada keterbatasan. Lebih dari satu per empat dari total responden mengalami kesulitan dan keterbatasan ketika melakukan aktivitas seperti membuka botol yang belum pernah dibuka, berjalan di luar rumah pada tanah yang datar, menukar sprai tempat tidur, membuka baju/ mengikat tali sepatu, dan naik dan turun dari tempat tidur. Sementara, hampir semua responden tidak mengalami apa-apa kesulitan ketika melakukan aktivitas seperti menyapu rumah, mencuci rambut, dan mandi dan keringkan tubuh dengan handuk.

5.2. Pembahasan

Berdasarkan tabel frekuensi jenis kelamin (Tabel 5.1), penyakit rematik lebih rentan diderita oleh wanita (69 orang) jika dibandingkan dengan lelaki (28 orang). Hal ini dudukung oleh teori-teori berdasarkan epidemiologi dimana wanita lebih rentan terkena kebanyakkan daripada penyakit rematik, contohnya seperti OA, RA, LES dan lain-lain lagi. Selain itu, hormon-hormon wanita juga dikatakan turut memainkan peranan dalam hal jenis kelamin sebagai salah satu faktor risiko (Dubey, 2008). Berdasarkan penelitian Salaffi (2009), didapati bahwa pasien yang mengikuti penelitian kebanyakkan adalah perempuan, sama seperti dalam penelitian ini. Secara umum perempuan mempunyai keadaan kesehatan yang lebih buruk dibandingkan dengan lelaki. Hal ini tidak hanya terjadi pada pasien rematik saja, tetapi juga terjadi pada kelompok control.

Dari hasil analisa tabel frekuensi umur (Tabel 5.2), didapati frekuensi penderita penyakit rematik semakin meningkat pada usia lebih dari 40 tahun. Berdasarkan teori, prevalensi penyakit rematik semakin meningkat dengan usia karena kondisinya yang tidak reversibel. Walaupun beberapa penyakit seperti RA, LES dan spondiloartritis bisa terjadi pada semua usia, tetapi prevalensi meningkat pada usia lebih dari 40 tahun (Dubey, 2008). Hal yang sama juga terjadi dalam penelitian yang dilakukan oleh Salaffi (2009), dimana pasien dalam penelitiannya


(38)

lebih banyak pada usia yang lebih tua. Turut dinyatakan bahwa keadaan kesehatan pasien semakin buruk dengan meningkatnya usia pasien dalam semua kategori penyakit rematik yang dinilai dalam penelitiannya.

Berdasarkan tabel frekuensi jenis penyakit rematik (Tabel 5.3), kejadian yang paling tinggi adalah OA jika dibandingkan dengan penyakit rematik lain. Hal ini didukung oleh teori yang dibahas dalam Bab 2, dimana penyakit OA merupakan penyakit dengan prevalensi yang tertinggi dalam kelompok masyarakat kita dan penyebab kedua tersering dalam ketidakmampuan pada orang tua di negara-negara barat (Dubey, 2008). Berdasarkan penelitian oleh Moskowitz (2009) juga dinyatakan bahwa OA merupakan penyakit arthritis yang paling umum terjadi dimana 27 juta orang dewasa Amerika Serikat menderita penyakit ini. Berdasarkan penelitian Salaffi (2009), dalam kategori penyakit rematik autoimun, penyakit RA mempunyai frekuensi paling tinggi. Hal ini sama seperti hasil penelitian peneliti dimana penyakit RA mempunyai frekuensi yang paling tinggi jika dibandingkan dengan penyakit rematik autoimun yang lain.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan, ternyata mayoritas responden yang menderita penyakit rematik mengalami keterbatasan fungsi fisik apabila melakukan aktivitas-aktivitas pada pertanyaan nomor 1, 2, 7 dan 9. Jelas terlihat bahwa pada kebanyakkan pasien rematik terjadi keterbatasan dalam melakukan aktivitas yang melibatkan tungkai bawah tubuh. Hal ini mungkin terjadi karena sendi-sendi yang terlibat pada kebanyakkan pasien adalah sendi pinggul, lutut dan kaki, maka ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas yang melibatkan sendi-sendi ini terjadi. Selain itu, juga didapati bahwa pada pasien OA, sendi-sendi yang sering terlibat adalah sendi-sendi pinggul, lutut dan kaki (Kumar,2005) dan berdasarkan tabel 5.3, didapati bahwa penyakit OA mempunyai total responden yang paling banyak yaitu sebanyak 50 orang.

Dari hasil analisa diketahui bahwa kejadian tidak ada keterbatasan dan kejadian adanya kesulitan dan keterbatasan pada responden, terjadi pada jumlah yang sama apabila melakukan aktivitas-aktivitas pada pertanyaan nomor 6, 8 dan


(39)

sendi punggung terlibat pada penyakit rematik seperti LES dan RA, tetapi paling sering pada spondiloartritis karena berdasarkan teori, pada penyakit spondiloartritis, bagian yang paling umum terefek adalah bagian punggung, tulang belakang, leher, tangan dan lutut (Reveille, 2010). Oleh karena total responden untuk penyakit spondiloartritis adalah sebanyak 15 orang, RA sebanyak 30 orang dan LES sebanyak 1 orang (berdasarkan tabel 5.3) maka kejadian tidak ada keterbatasan dan adanya keterbatasan adalah hampir sama.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa hampir semua responden tidak mengalami keterbatasan apabila melakukan aktivitas pada pertanyaan nomor 4, 12, dan 14. Didapati bahwa aktivitas-aktivitas ini membutuhkan penggunaan sendi-sendi kecil seperti sendi-sendi jari tangan dan pergelangan tangan. Pada kebanyakkan penyakit rematik seperti OA, RA dan spondiloartritis, sendi-sendi besar sering terlibat, maka kebanyakkan responden tidak mengalami kesulitan ketika melakukan aktivitas yang melibatkan sendi-sendi kecil. Tetapi berdasarkan teori, pada RA, sendi-sendi kecil seperti sendi tangan, kaki, pergelangan tangan dan/atau pergelangan kaki juga akan terefek (Dubey, 2008), ini menunjukkan mengapa hanya sebagian kecil responden mengalami kesulitan dan keterbatasan dalam melakukan aktivitas ini. Hal yang sama terjadi ketika melakukan aktivitas pada pertanyaan nomor 3, 5, 10, 11, dan 13 dimana lebih dari satu per empat dari total responden mengalami kesulitan dan keterbatasan dalam melakukan aktivitas-aktivitas pada pertanyaan ini. Jelas terlihat bahwa aktivitas-aktivitas-aktivitas-aktivitas ini membutuhkan penggunaan sendi kecil seperti jari kaki dan tangan, serta pergelangan kaki dan tangan.

Berdasarkan penelitian Rugine (2009), pasien RA dan LES mempunyai hampir sama halnya dalam mengalami nyeri dan keterbatasan aktivitas. Berdasarkan penelitian ini, dikatakan terjadinya hal ini karena adanya pengaruh emosional yang kuat bagi pasien dan penyakit rematik inflamasi. Dalam penelitian Salaffi (2009), yang menilai tentang kualitas hidup (quality of life, QOL) pasien RA dan spondiloartritis, menyatakan bahwa pasien RA mempunyai QOL yang paling buruk bila dilihat dari konteks fungsi fisik, keterbatasan yang terjadi akibat kondisi


(40)

fungsi fisik dan nyeri. Dalam penelitian ini juga dikatakan bahwa kesehatan emosional pasien sangat mempengaruhi kondisi fungsi fisik dan nyeri. Dalam penelitian juga dikatakan bahwa penyakit penyerta lain (comorbidity) juga menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi kondisi fisik pasien. Pada pasien spondiloartritis, terjadi progress yang lebih cepat dalam ketidakmampuan fungsional pada usia lebih tua dan perokok (Ward, 2011). Dari hasil penelitian-penelitian ini, pada pendapat peneliti, didapati bahwa penyakit RA, spondiloartritis, dan LES merupakan penyakit autoimun, maka lebih banyak jaringan tubuh yang akan mengalami kelainan. Hal ini mengakibatkan kondisi fisik pasien yang menderita penyakit-penyakit ini menjadi lebih buruk.

Berdasarkan hasil pembahasan didapati antara faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi fisik adalah hal-hal seperti umur, jenis kelamin, jenis penyakit rematik, psikososial (status mental pasien), body mass index, merokok, kebiasaan berolahraga, pola makan, sosioekonomi dan lain-lain lagi.


(41)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil penelitian, didapati bahwa kondisi fungsi fisik pada pasien rematik di RSUP HAM adalah sedang.

2. Kekuatan pada penelitian ini adalah, hasil penelitian dapat berguna kepada kedua-dua pihak dokter dan pasien dalam mengetahui kondisi fisik pasien karena di Poliklinik Rematolgi RSUP HAM tidak dilakukan penilaian kondisi fisik pasien dengan menggunakan kuesioner baku seperti yang dilakukan dalam penelitian ini.

3. Kelemahannya pula adalah tidak dapat mengakses diagnosa pasti jenis penyakit rematik pasien karena adanya hambatan untuk mengakses status pasien.

6.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa saran yang ingin saya berikan, diantaranya:

1. Diharapkan pasien yang menderita penyakit rematik dapat melakukan olahraga secara konsisten dan mengambil israhat yang secukupnya untuk memperbaiki kondisi fungsi fisik mereka.

2. Selain itu pasien rematik juga harus mengamalkan cara hidup yang sehat dengan mengkonsumsi makanan dengan diet yang benar.

3. Diharapkan bahwa dokter dapat mengedukasi pasien menghindari stress, dan menjelaskan hal-hal yang dapat memperburukan kondisi fungsi fisik pasien supaya QOL dapat ditingkatkan.

4. Penggunaan kuesioner penilaian ketidakmampuan fungsional dalam praktek harus dijadikan suatu kebiasaan karena pihak dokter dapat menggunakan alat ini sebagai bantuan dalam pengambilan keputusan secara klinis.

5. Pada penelitian selanjutnya, diharapkan supaya peneliti lain dapat menilai kondisi fisik pasien dengan memasukkan kriteria tingkat keparahan dan kondisi remisi pada pasien


(42)

DAFTAR PUSTAKA

Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ). Staying Healthy Through Education and Prevention (STEP). U.S. Department of Health & Human Services.

Borigini, M.J., 2010. Systemic Lupus Erythematosus. Available from: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000435.htm [Accessed 29 April 2011]

Bruce, B., Fries, J.F., Ambrosini, D., Lingala, B., Gandek, B., Rose, M., et al., 2009. Better Assessment of Physical Function: item improvement is neglected but essential. Arthritis Research & Therapy, 10.1186/ar2890

Cush, J.J., and Lipsky, P.E., 2005. Approach to Articular and Muskuloskeletal Disorders. In: Harrison, T.R., Principles of Internal Medicine. McGraw-Hill Medical Publishing Division.

Dubey, S. and Adebajo, A.O., 2008. Historical and Current Perspectives on Management of Osteoarthritis and Rheumatoid Arthritis. In: Reid, D.M. and Miller, C.G.,Clinical Trials in Rheumatoid Arthritis and Osteoarthritis. Springer Science + Business Media.

Eustice, C., 2007. Arthritis Affects Daily Living Activities. Available from: http://arthritis.about.com/od/inthehomedailyliving/ss/dailyactivities.htm

[Accessed 4 March 2011]

Fauci, A.S. and Langford, C.A., 2006. Harrison’s Rheumatology. McGraw-Hill Medical Publishing Division.


(43)

Kumar, P. and Clarke, M., 2005. Rheumatology and Bone Disease. In: Kumar, P. and Clark, M., Clinical Medicine. Elsevier Saunders.

Mosby, 2004. Physical Fitness. In: Mosby, Dental Dictionary. Reed Elsevier.

Moskowitz, R., 2009. The Burden of Osteoarthritis: Clinical and Quality of Life Issues. Am J Manag Care, 15: S223-S229

National Institute of Arthritis and Muskuloskeletal and Skin Disease (NIAMS), 2008. Questions and Answers about Arthritis and Rheumatic Disease. National Institute of Health, United States: 02-4999.

Notoatmojo, S., 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta.

Pincus, T., & MacKenzie, R., 2000. Measuring Functional Status in Rheumatic Disease. In: Paget, S.A., Gibofsky, A. & Beary, J.F., Manual of Rheumatology and Outpatient Orthopedic Disorders (LB Spiral Manuals).Lippincott Williams & Wilkins.

Pincus, T. and Tugwell, P., 2007. Shoudn’t Standard Rheumatology Clinical Care Be Evidence-Based Rather Than Eminence-Based or Elegance-Based? The Journal of Rheumatology, 319:1618

Qing, Y.Z., 2008. Rheumatic Disease in China. Arthritis Research & Therapy, 10.1186/ar2368

Reveille, J.D., 2010. Spondyloarthritis (Spondyloarthropathy). Available from: http://www.rheumatology.org/practice/patients/disease_and_conditions/spondylo arthritis.asp [Accessed 28 April 2011]


(44)

Rugiene, R., Dadoniene, J., Venalis, A., Stropuviene, S., 2005. Comparison of Health-Related Quality of Life Between Patients with Rheumatic Disease and a Control Group. Medicina (Kaunas),41 (7): 561-5. {Abstract}

Sastroasmoro, S. & Ismael, S., 2008. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Sagung Seto.

Salaffi, F., Carotti, M., Gasparinis, S., Intorcia, M., Grassi, W., 2009. The Health-Related Quality of Life in Rheumatoid Arthritis, Ankylosing Spondylitis, and Psoriatic Arthritis: a Comparison with a Selected Sample of Healthy People.

Health and Quality of Life Outcomes, 7: 25

Sheil, W. C., 2010. Gout and Hyperuricemia. Available from: http://www.medicinenet.com/gout/article.htm [Accessed 28 April 2011]

Sheil, W. C., 2010. Rheumatoid Arthritis (RA). Available from: http://www.medicinenet.com/rheumatoidarthritis/article.htm [Accessed 28 April 2011]

Sheil, W. C., 2010. Systemic Lupus Erythematosus (SLE or Lupus). Available from: http://www.medicinenet.com/systemic_lupus/article.htm [Accessed 28 April 2011]

Soumya Raychaudhuri, 2011. Approach to the Patient with Musculoskeletal Disease. In: Coblyn, J.S., Bermas, B., Weinblatt, M., and Helfgott, S., Brigham & Women’s Experts’ Approach to Rheumatology. Jones & Bartlett Learning.

Ward, M., 2011. Predictors of Progression of Functional Disability in Patients with Ankylosing Spondylitis. The Journal of Rheumatology, 29 (7): 1420-1425


(1)

sendi punggung terlibat pada penyakit rematik seperti LES dan RA, tetapi paling sering pada spondiloartritis karena berdasarkan teori, pada penyakit spondiloartritis, bagian yang paling umum terefek adalah bagian punggung, tulang belakang, leher, tangan dan lutut (Reveille, 2010). Oleh karena total responden untuk penyakit spondiloartritis adalah sebanyak 15 orang, RA sebanyak 30 orang dan LES sebanyak 1 orang (berdasarkan tabel 5.3) maka kejadian tidak ada keterbatasan dan adanya keterbatasan adalah hampir sama.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa hampir semua responden tidak mengalami keterbatasan apabila melakukan aktivitas pada pertanyaan nomor 4, 12, dan 14. Didapati bahwa aktivitas-aktivitas ini membutuhkan penggunaan sendi-sendi kecil seperti sendi-sendi jari tangan dan pergelangan tangan. Pada kebanyakkan penyakit rematik seperti OA, RA dan spondiloartritis, sendi-sendi besar sering terlibat, maka kebanyakkan responden tidak mengalami kesulitan ketika melakukan aktivitas yang melibatkan sendi-sendi kecil. Tetapi berdasarkan teori, pada RA, sendi-sendi kecil seperti sendi tangan, kaki, pergelangan tangan dan/atau pergelangan kaki juga akan terefek (Dubey, 2008), ini menunjukkan mengapa hanya sebagian kecil responden mengalami kesulitan dan keterbatasan dalam melakukan aktivitas ini. Hal yang sama terjadi ketika melakukan aktivitas pada pertanyaan nomor 3, 5, 10, 11, dan 13 dimana lebih dari satu per empat dari total responden mengalami kesulitan dan keterbatasan dalam melakukan aktivitas-aktivitas pada pertanyaan ini. Jelas terlihat bahwa aktivitas-aktivitas-aktivitas-aktivitas ini membutuhkan penggunaan sendi kecil seperti jari kaki dan tangan, serta pergelangan kaki dan tangan.

Berdasarkan penelitian Rugine (2009), pasien RA dan LES mempunyai hampir sama halnya dalam mengalami nyeri dan keterbatasan aktivitas. Berdasarkan penelitian ini, dikatakan terjadinya hal ini karena adanya pengaruh emosional yang kuat bagi pasien dan penyakit rematik inflamasi. Dalam penelitian Salaffi (2009), yang menilai tentang kualitas hidup (quality of life, QOL) pasien RA dan spondiloartritis, menyatakan bahwa pasien RA mempunyai QOL yang paling buruk bila dilihat dari konteks fungsi fisik, keterbatasan yang terjadi akibat kondisi


(2)

fungsi fisik dan nyeri. Dalam penelitian ini juga dikatakan bahwa kesehatan emosional pasien sangat mempengaruhi kondisi fungsi fisik dan nyeri. Dalam penelitian juga dikatakan bahwa penyakit penyerta lain (comorbidity) juga menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi kondisi fisik pasien. Pada pasien spondiloartritis, terjadi progress yang lebih cepat dalam ketidakmampuan fungsional pada usia lebih tua dan perokok (Ward, 2011). Dari hasil penelitian-penelitian ini, pada pendapat peneliti, didapati bahwa penyakit RA, spondiloartritis, dan LES merupakan penyakit autoimun, maka lebih banyak jaringan tubuh yang akan mengalami kelainan. Hal ini mengakibatkan kondisi fisik pasien yang menderita penyakit-penyakit ini menjadi lebih buruk.

Berdasarkan hasil pembahasan didapati antara faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi fisik adalah hal-hal seperti umur, jenis kelamin, jenis penyakit rematik, psikososial (status mental pasien), body mass index, merokok, kebiasaan berolahraga, pola makan, sosioekonomi dan lain-lain lagi.


(3)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil penelitian, didapati bahwa kondisi fungsi fisik pada pasien rematik di RSUP HAM adalah sedang.

2. Kekuatan pada penelitian ini adalah, hasil penelitian dapat berguna kepada kedua-dua pihak dokter dan pasien dalam mengetahui kondisi fisik pasien karena di Poliklinik Rematolgi RSUP HAM tidak dilakukan penilaian kondisi fisik pasien dengan menggunakan kuesioner baku seperti yang dilakukan dalam penelitian ini.

3. Kelemahannya pula adalah tidak dapat mengakses diagnosa pasti jenis penyakit rematik pasien karena adanya hambatan untuk mengakses status pasien.

6.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa saran yang ingin saya berikan, diantaranya:

1. Diharapkan pasien yang menderita penyakit rematik dapat melakukan olahraga secara konsisten dan mengambil israhat yang secukupnya untuk memperbaiki kondisi fungsi fisik mereka.

2. Selain itu pasien rematik juga harus mengamalkan cara hidup yang sehat dengan mengkonsumsi makanan dengan diet yang benar.

3. Diharapkan bahwa dokter dapat mengedukasi pasien menghindari stress, dan menjelaskan hal-hal yang dapat memperburukan kondisi fungsi fisik pasien supaya QOL dapat ditingkatkan.

4. Penggunaan kuesioner penilaian ketidakmampuan fungsional dalam praktek harus dijadikan suatu kebiasaan karena pihak dokter dapat menggunakan alat ini sebagai bantuan dalam pengambilan keputusan secara klinis.

5. Pada penelitian selanjutnya, diharapkan supaya peneliti lain dapat menilai kondisi fisik pasien dengan memasukkan kriteria tingkat keparahan dan kondisi remisi pada pasien


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ). Staying Healthy Through Education and Prevention (STEP). U.S. Department of Health & Human Services.

Borigini, M.J., 2010. Systemic Lupus Erythematosus. Available from: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000435.htm [Accessed 29 April 2011]

Bruce, B., Fries, J.F., Ambrosini, D., Lingala, B., Gandek, B., Rose, M., et al., 2009. Better Assessment of Physical Function: item improvement is neglected but essential. Arthritis Research & Therapy, 10.1186/ar2890

Cush, J.J., and Lipsky, P.E., 2005. Approach to Articular and Muskuloskeletal Disorders. In: Harrison, T.R., Principles of Internal Medicine. McGraw-Hill Medical Publishing Division.

Dubey, S. and Adebajo, A.O., 2008. Historical and Current Perspectives on Management of Osteoarthritis and Rheumatoid Arthritis. In: Reid, D.M. and Miller, C.G.,Clinical Trials in Rheumatoid Arthritis and Osteoarthritis. Springer Science + Business Media.

Eustice, C., 2007. Arthritis Affects Daily Living Activities. Available from: http://arthritis.about.com/od/inthehomedailyliving/ss/dailyactivities.htm

[Accessed 4 March 2011]

Fauci, A.S. and Langford, C.A., 2006. Harrison’s Rheumatology. McGraw-Hill Medical Publishing Division.


(5)

Kumar, P. and Clarke, M., 2005. Rheumatology and Bone Disease. In: Kumar, P. and Clark, M., Clinical Medicine. Elsevier Saunders.

Mosby, 2004. Physical Fitness. In: Mosby, Dental Dictionary. Reed Elsevier.

Moskowitz, R., 2009. The Burden of Osteoarthritis: Clinical and Quality of Life Issues. Am J Manag Care, 15: S223-S229

National Institute of Arthritis and Muskuloskeletal and Skin Disease (NIAMS), 2008. Questions and Answers about Arthritis and Rheumatic Disease. National Institute of Health, United States: 02-4999.

Notoatmojo, S., 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta.

Pincus, T., & MacKenzie, R., 2000. Measuring Functional Status in Rheumatic Disease. In: Paget, S.A., Gibofsky, A. & Beary, J.F., Manual of Rheumatology and Outpatient Orthopedic Disorders (LB Spiral Manuals).Lippincott Williams & Wilkins.

Pincus, T. and Tugwell, P., 2007. Shoudn’t Standard Rheumatology Clinical Care Be Evidence-Based Rather Than Eminence-Based or Elegance-Based? The Journal of Rheumatology, 319:1618

Qing, Y.Z., 2008. Rheumatic Disease in China. Arthritis Research & Therapy, 10.1186/ar2368

Reveille, J.D., 2010. Spondyloarthritis (Spondyloarthropathy). Available from: http://www.rheumatology.org/practice/patients/disease_and_conditions/spondylo arthritis.asp [Accessed 28 April 2011]


(6)

Rugiene, R., Dadoniene, J., Venalis, A., Stropuviene, S., 2005. Comparison of Health-Related Quality of Life Between Patients with Rheumatic Disease and a Control Group. Medicina (Kaunas),41 (7): 561-5. {Abstract}

Sastroasmoro, S. & Ismael, S., 2008. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Sagung Seto.

Salaffi, F., Carotti, M., Gasparinis, S., Intorcia, M., Grassi, W., 2009. The Health-Related Quality of Life in Rheumatoid Arthritis, Ankylosing Spondylitis, and Psoriatic Arthritis: a Comparison with a Selected Sample of Healthy People. Health and Quality of Life Outcomes, 7: 25

Sheil, W. C., 2010. Gout and Hyperuricemia. Available from: http://www.medicinenet.com/gout/article.htm [Accessed 28 April 2011]

Sheil, W. C., 2010. Rheumatoid Arthritis (RA). Available from: http://www.medicinenet.com/rheumatoidarthritis/article.htm [Accessed 28 April 2011]

Sheil, W. C., 2010. Systemic Lupus Erythematosus (SLE or Lupus). Available from: http://www.medicinenet.com/systemic_lupus/article.htm [Accessed 28 April 2011]

Soumya Raychaudhuri, 2011. Approach to the Patient with Musculoskeletal Disease. In: Coblyn, J.S., Bermas, B., Weinblatt, M., and Helfgott, S., Brigham & Women’s Experts’ Approach to Rheumatology. Jones & Bartlett Learning.

Ward, M., 2011. Predictors of Progression of Functional Disability in Patients with Ankylosing Spondylitis. The Journal of Rheumatology, 29 (7): 1420-1425 {Abstract}