Trauma Akustik Yang Disebabkan Letusan Senjata SS1 R5 Pada Prajurit Yonif 100 Raider Kodam I Bukit Barisan

(1)

TRAUMA AKUSTIK YANG DISEBABKAN LETUSAN SENJATA SS1 R5 PADA PRAJURIT YONIF 100 RAIDER KODAM I BUKIT BARISAN

Tesis

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Spesialis dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah

Kepala Leher

Oleh: Riki Markian

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA EHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(2)

(3)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr , Wb .

Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, Saya sampaikan rasa puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karuniaNya , saya dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar spesialisasi di bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala Leher di Departemen THT – KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP H Adam Malik Medan.

Saya menyadari bahwa tulisan ini mungkin jauh dari sempurna baik isi maupun bahasanya, namun demikian saya berharap tulisan ini dapat menambah wawasan kita mengenai Trauma Akustik Yang Disebabkan Letusan Senjata SS1 R5 pada Prajurit Yonif 100 Raider Kodam I Bukit Barisan. Dengan telah berakhir masa penelitian, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankan saya menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang sebesar – besarnya kepada :

Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk megikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Departemen THT – KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya umtuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Fakultas ini.

Yang terhormat Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan yang telah megizinkan saya balajar dan bekerja dilingkungan Rumah Sakit ini.

Yang terhormat dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL , sebagai Ketua pembimbing, dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Mangain Hasibuan Sp.THT-KL sebagai anggota pembimbing yang telah banyak memberi petunjuk, perhatian,


(4)

motivasi, kemudahan serta bimbingan sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Saya ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setingi – tingginya atas waktu dan bimbingan tang telah diberikan selama dalam penelitian dan penulisan tesis ini.

Rasa terima kasih yang setinggi – tingginya saya ucapkan kepada Prof. Dr. Albiner Siagian, MSi serta para staff Epi Treat unit USU , sebagai pembimbing ahli yang telah memberikan waktu, perhatian dan bimbingan sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini.

Yang terhormat Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL (K), sebagai Ketua Departemen THT KL FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan yang telah banyak memberikan petunjuk, bimbingan, pengarahan, nasehat, motivasi dan dorongan semangat selama saya mengikuti pendidikan di Departemen THT KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.

Yang terhormat Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I di Departemen THT KL FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan, dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL atas petunjuk, bimbingan dan nasehat selama saya mengikuti pendidikan di Departemen THT KL FKL USU/RSUP H. Adam Malik Medan.

Yang terhormat guru-guru saya dijajaran THT-KL FK USU/ RSUP H.Adam Malik Medan, Prof. dr. Ramsi Lutan, Sp.THT-KL (K), Prof. dr Askaroellah Aboet Sp.THT-KL (K), dr. Yuritna Haryono Sp.THT-KL (K), Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL (K), dr. Muzakkir Zamzam, Sp.THT-KL (K), dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL (K), dr. Linda I. Adnin, Sp.THT-KL, , dr. Mangain Hasibuan Sp.THT-KL, Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL (K) , (Almh) dr. Hafni Sp. THT-KL (K), dr. Adlin Adnan Sp.THT-KL, dr. Rizalina A Asnir KL (K), dr. Siti Nursiah KL, dr. Andrina YM Rambe Sp.THT-KL, dr. Ida Sjailandrawati Hrhp., Sp. THT-Sp.THT-KL, dr. Harry A. Asroel, M.Ked. (ORL-HNS) Sp.THT-KL, dr. Farhat, M.Ked. (ORL-HNS) Sp.THT-KL (K), dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri Sp.THT-KL, dr. Asri Yudishtira, M.Ked. (ORL-HNS) Sp.THT-KL, dr. Devira Zahara, M.Ked. (ORL-HNS)


(5)

Sp.THT-KL, dr. R. Yusa Herwanto, M.Ked. (ORL-HNS) Sp.THT-KL, dr. M.Pahala Hanafi HRP Sp.THT-KL, dr Ferryan Sofian, M.Kes. Sp. THT-KL, yang telah banyak memberi bimbingan dalam ilmu pengetahuan di bidang THT KL. baik teori maupun keterampilan yang kiranya sangat bermanfaat bagi saya dikemudian hari.

Yang terhormat, Kepala Kesehatan Kodam I Bukit Barisan, Kolonel Ckm. Dr. H. Dubel Meriyenes, Sp. B dan Kepala RST Putri Hijau, Kolonel Ckm. dr. Munif beserta seluruh jajaran yang mendukung secara moril disaat saya melaksanakan pendidikan spesilisasi ini.

Yang terhormat, para Komandan Batalyon Infanteri 100 Raider selama saya bertugas dan saat melakukan penelitian ini : Kolonel Inf. Irmansyah, Letkol Inf. Togar PR.L. Pangaribuan, S. IP., Letkol. Inf. Handoko Nurseta, Letkol. Inf. Hariyanto dan terima kasih yang tak terhingga kepada Komandan Batalyon Infanteri 100 Raider pada saat penelitian dilakukan, Letkol. Inf. Hery Rustandi yang memberikan izin serta memfasilitasi penelitian ini, serta seluruh prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider yang meluangkan waktu disela-sela latihan untuk mengikuti penelitian ini, dari hati yang paling dalam saya mengucapkan terima kasih.

Teristimewa untuk ayahanda tercinta (Alm) AKBP (purn) H.Nurman M. , dan ibunda tercinta Hj. Syamsiar serta Ir. H. Dirhamsyah dan (Almh) Hj. Roslina, serta abang Letkol Inf. Cucu Zaenal Arifin dan kakak Wahyu Rahmawati SH yang selalu mendoakan dan memberikan dorongan, bantuan moril dan materil selama saya mengikuti pendidikan ini. Terima kasih atas doa, pengertian dan dukungannya selama penulis menyelesaikan pendidikan ini, semoga budi baik yang telah diberikan mendapatkan imbalan dari Allah SWT.

Ungkapan cinta kasih yang tulus kepada istriku tercinta drg. Kusmala Dewi yang selalu sabar dan selalu memberikan dukungan dan semangat selama saya menjalani pendidikan ini, serta putra putri tercinta M. Faiz Abdilillah dan Azalia Nurul Aini yang memberikan semangat selama saya menjalani pendidikan ini


(6)

Yang tercinta teman – teman sejawat peserta pendidikan keahlian Kesehatan THT Bedah Kepala Leher yang telah bersama – sama baik dalam suka maupun duka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat, dengan harapan teman- teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelasaikan studi ini. Semoga Allah selalu memberikan berkah kita semua Kepada paramedis dan karyawan Departemen THT KL FK USU / RSUP H Adam Malik Medan. yang banyak membantu dan berkerjasama selama saya menjalani pendidikan ini saya ucapkan terima kasih. Tak lupa terima kasih saya ucapkan kepada percetakan Harum , Meltra Hearing Aid, Kasoem Hearing Aid yang banyak membantu sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Ijinkan saya memohon maaf yang setulus – tulusnya atas segala kesalahan den kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, bimbingan, motivasi dan kerjasama kepada saya selama menjalani pendidikan.dan mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin Ya Robbal Alamin

Wassalamualaikum Wr. Wb Medan. September 2012


(7)

Trauma Akustik Yang Disebabkan Letusan Senjata SS1 R5 Pada Prajurit Yonif 100 Raider Kodam I BB

Abstrak

Pendahuluan: Trauma akustik merupakan gangguan dengar yang disebabkan oleh paparan gelombang suara tunggal dengan waktu singkat yang dapat menimbulkan penurunan pendengaran permanen tanpa didahului oleh perubahan ambang dengar sementara.

Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh trauma akustik akibat letusan senjata SS1 R5 pada fungsi pendengaran prajurit Yonif 100 Raider KODAM I Bukit Barisan.

Metode : Jenis penelitian ini adalah studi prospektif (cohort study), terhadap kelompok paparan (exposed) dan kelompok kontrol (non paparan/ non exposed). Trauma akustik ditentukan dengan pemeriksaan audiometri. Analisis hasil dengan uji Chi-square dan perhitungan risiko relatif (RR).

Hasil : diketahui bahwa intensitas rata-rata bunyi intensitas senapan serbu (SS) 1 R5 adalah 107,66 dB. Peningkatan ambang dengar pada kelompok paparan terjadi < dari 25 dB (33,3%) (p<0.001). Gangguan dengar pada kelompok paparan, terjadi pada frekuensi tinggi (>2 KHz). Setelah hari ke-21, 23,3% kelompok gangguan dengar, ambang dengarnya normal kembali, sedangkan 10 % menetap. Risiko gangguan dengar frekuensi tinggi kelompok paparan dibandingkan kelompok non paparan setelah dilakukan perhitungan risiko relatif adalah 6.09 kali lebih besar

Kesimpulan : Walaupun secara klinis terjadi gangguan, trauma akustik yang disebabkan letusan senjata SS1 R5 tidak mengakibatkan penurunan fungsi pendengaran lebih besar dari 25 dB pada frekuensi tinggi yang bersifat sementara pada salah satu telinga prajurit Yonif 100 Raider KODAM I Bukit Barisan.

Saran : Prajurit dalam latihan menembak, sebaiknya menggunakan ear plug

maupun ear muff. Resiko terjadinya gangguan pendengaran sangat besar mengingat intensitas rata-rata senjata yang dipakai diatas ambang normal. Perlu adanya pemeriksaan audiometri pada prajurit secara berkala


(8)

Acoustic Trauma Caused Explosion In Weapons SS1 R5 100 Raider Battalion Soldiers Kodam I BB

Abstract

Introduction: Acoustic Trauma is a hearing disorder caused by exposure to a single sound wave with a short time can cause permanent hearing loss without preceded by a temporary change in hearing threshold.

Objective: To determine the effect of acoustic trauma caused by gunshot on auditory function SS1 R5 100 Raider Battalion soldiers KODAM I Bukit Barisan.

Methods: The study was a prospective study (cohort study), the exposure group (exposed) and control group (non-exposure / non-exposed). Acoustic trauma is determined by audiometric examination. Analysis of the results of the Chi-square test and calculation of the relative risk (RR).

Result: it is known that the average intensity of sound intensity assault rifle (SS) 1 R5 is 107.66 dB. The increase in the threshold of hearing at the exposure occurred <25 dB (33.3%) (p <0.001). Impaired hearing on the exposure, occurs at high frequencies (> 2 kHz). After day 21, 23.3% hearing impaired group, the threshold of normal listeners, while 10% live. The risk of high-frequency hearing impaired exposure group compared to the non-exposure after calculating the relative risk is 6.09 times greater

Conclusions: Although the clinical disturbances, acoustic trauma caused by gunshot SS1 R5 does not result in hearing impairment greater than 25 dB at high frequencies that are temporary in one ear 100 Raider Battalion soldiers KODAM I Bukit Barisan.

Suggestion: Soldier in shooting practice, you should use ear plug and ear muff. The risk of hearing loss is very large considering the average intensity of the weapon above the normal threshold. Need for audiometric examination at regular soldiers


(9)

DAFTAR TABEL DAN GRAFIK

Tabel 2.1 Paparan Bising yang Diperkenankan Tabel 4.1 Rata-rata Intensitas Bunyi Senjata.

Tabel 4.2 Fungsi Pendengaran Sebelum Paparan Pada Kedua Kelompok Penelitian

Tabel 4.3 Fungsi Pendengaran Setelah Paparan

Tabel 4.4 Fungsi Pendengaran Setelah Paparan pada Telinga Kelompok Paparan

Tabel 4.5 Persentase Sifat Peningkatan Ambang Dengar Kelompok Penelitian Berdasarkan Kelompok Umur

Tabel 4.6 Persentase Frekuensi Gangguan Dengar Kelompok Penelitian Berdasarkan Pemakaian Alat Pelindung Diri

Grafik 4.1 Data Subyek Penelitian Berdasarkan Usia

Grafik 4.2 Data Subyek Penelitian Berdasarkan Masa Kerja Grafik 4.3 Data Subyek Penelitian Berdasarkan Pangkat


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Telinga

Gambar 2.2 Anatomi Telinga Dalam Gambar 2.3 Kohklea

Gambar 2.4 Organ Corti

Gambar 2.5 Skema Fisiologi Pendengaran Gambar 2.6. a) Gambaran audiometri normal

b) Gambaran audiometri tuli sensorineural c) Gambaran audiometri tuli konduktif d) Gambaran audiometri tuli campuran e) Gambaran audiometri tuli akibat bising

Gambar 2.7 Kerangka Konsep Kaitan antara Paparan Bising dan Gangguan Pendengaran Akibat Bising pada Prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan

Gambar 3.1 Kerangka Kerja Anamnesis dan Pemeriksaan Audiometri pada Parajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan Gambar 4.1 Prajurit Yonif 100 Raider yang Melakukan Latihan Menembak


(11)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

ABSTRAK ... vi

DAFTAR TABEL DAN GRAFIK ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR ISI ……….. x

BAB 1. PENDAHULUAN ……… 1

1.1. Latar Belakang ………... 1

1.2. Perumusan Masalah ……….. 2

1.3. Tujuan Penelitian ………... 2

1.3.1 Tujuan Umum …... 2

1.3.2 Tujuan Khusus ………... 2

1.4. Manfaat Penelitian ………... 3

1.5 Kerangka Pemikiran ……… 3

1.6 Hipotesis ……… 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ………... 5

2.1. Anatomi Telinga ………... 5

2.1.1. Vaskularisasi telinga dalam ... 9

2.1.2. Persarafan telinga dalam ... 10

2.2. Fisiologi Pendengaran ………...……... 10

2.3. Patofisiologi Trauma Akustik ……… 12

2.4. Jenis Gangguan Pendengaran ……...……... 13

2.5. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap gangguan pendengaran ... 14

2.6. Bunyi ... 15


(12)

2.6.2. Intensitas bunyi : Desibel (dB) ... 18

2.7. Audiometri nada murni ... 19

2.8. Perlindungan Fungsi Pendengaran ... 21

2.9. Jenis Senjata ……… 22

2.10. Kerangka Konsep ……….. 23

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 24

3.1. Rancangan Penelitian ………. 24

3.2. Lokasi Penelitian ………...……. 24

3.3. Populasi, Sampel, Besar Sampel, Teknik Pengambilan Sampel ………... 24

3.3.1 Populasi ……… 24

3.3.2 Subyek Penelitian ………. 24

3.3.3 Kriteria Inklusi ………... 24

3.3.4 Kriteria eksklusi ……….. 25

3.3.5 Besar sampel ……… 25

3.4. Variabel Penelitian ……… 25

3.5. Definisi Operasional ……….. 25

3.6. Bahan dan Alat Penelitian………. 27

3.7. Cara Kerja ……… 28

3.7.1 Penjelasan dan Pengisian Kuisioner ……. 28

3.7.2 Pemeriksaan THT ……….. 28

3.7.3 Pemeriksaan Audiologi ………. 28

3.8. Analisis Data ……….. 29


(13)

BAB 4. HASIL PENELITIAN

4.1. Karakteristik Subyek Penelitian ……… 32 4.2 Intensitas Bunyi Senjata ………. 33

4.3 Penilaian Fungsi Pendengaran ………. 34 4.3.1 Fungsi Pendengaran Sebelum Paparan

Pada Kedua Kelompok Penelitian ….. 34 4.3.2 Fungsi Pendengaran Setelah Paparan … 35 4.4 Persentase Sifat Peningkatan Ambang Dengar

Kelompok Penelitian Berdasarkan Kelompok Umur 38 4.5 Persentase Frekuensi Gangguan Dengar Kelompok

Penelitian Berdasarkan Pemakaian Alat ………… 39 Pelindung Diri

BAB 5. PEMBAHASAN

5.1 Hasil penelitian berdasarkan kartakteristik subyek

penelitian ………. 40 5.2. Rata –rata intensitas bunyi senjata ………. 41

5.3 Penilaian Fungsi Pendengaran ……… 42 5.4. Fungsi Pendengaran Setelah Paparan ………… 43

5.5 Persentase Sifat Peningkatan Ambang Dengar Kelompok Penelitian Berdasarkan Kelompok Umur ………. 45

5.6. Persentase Frekuensi Gangguan Dengar Kelompok Penelitian Berdasarkan Pemakaian APD ………… 46 5.7. Keterbatasan Penelitian ……….. 47


(14)

5.8 Pengujian Hipotesa ………. 47

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ………... 48

6.1.1 Kesimpulan Umum ………. 48

6.1.2 Kesimpulan Khusus ………. 48

6.2. Saran ………... 48

KEPUSTAKAAN ………... 49

PERSONALIA PENELITIAN ………. 54


(15)

Trauma Akustik Yang Disebabkan Letusan Senjata SS1 R5 Pada Prajurit Yonif 100 Raider Kodam I BB

Abstrak

Pendahuluan: Trauma akustik merupakan gangguan dengar yang disebabkan oleh paparan gelombang suara tunggal dengan waktu singkat yang dapat menimbulkan penurunan pendengaran permanen tanpa didahului oleh perubahan ambang dengar sementara.

Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh trauma akustik akibat letusan senjata SS1 R5 pada fungsi pendengaran prajurit Yonif 100 Raider KODAM I Bukit Barisan.

Metode : Jenis penelitian ini adalah studi prospektif (cohort study), terhadap kelompok paparan (exposed) dan kelompok kontrol (non paparan/ non exposed). Trauma akustik ditentukan dengan pemeriksaan audiometri. Analisis hasil dengan uji Chi-square dan perhitungan risiko relatif (RR).

Hasil : diketahui bahwa intensitas rata-rata bunyi intensitas senapan serbu (SS) 1 R5 adalah 107,66 dB. Peningkatan ambang dengar pada kelompok paparan terjadi < dari 25 dB (33,3%) (p<0.001). Gangguan dengar pada kelompok paparan, terjadi pada frekuensi tinggi (>2 KHz). Setelah hari ke-21, 23,3% kelompok gangguan dengar, ambang dengarnya normal kembali, sedangkan 10 % menetap. Risiko gangguan dengar frekuensi tinggi kelompok paparan dibandingkan kelompok non paparan setelah dilakukan perhitungan risiko relatif adalah 6.09 kali lebih besar

Kesimpulan : Walaupun secara klinis terjadi gangguan, trauma akustik yang disebabkan letusan senjata SS1 R5 tidak mengakibatkan penurunan fungsi pendengaran lebih besar dari 25 dB pada frekuensi tinggi yang bersifat sementara pada salah satu telinga prajurit Yonif 100 Raider KODAM I Bukit Barisan.

Saran : Prajurit dalam latihan menembak, sebaiknya menggunakan ear plug

maupun ear muff. Resiko terjadinya gangguan pendengaran sangat besar mengingat intensitas rata-rata senjata yang dipakai diatas ambang normal. Perlu adanya pemeriksaan audiometri pada prajurit secara berkala


(16)

Acoustic Trauma Caused Explosion In Weapons SS1 R5 100 Raider Battalion Soldiers Kodam I BB

Abstract

Introduction: Acoustic Trauma is a hearing disorder caused by exposure to a single sound wave with a short time can cause permanent hearing loss without preceded by a temporary change in hearing threshold.

Objective: To determine the effect of acoustic trauma caused by gunshot on auditory function SS1 R5 100 Raider Battalion soldiers KODAM I Bukit Barisan.

Methods: The study was a prospective study (cohort study), the exposure group (exposed) and control group (non-exposure / non-exposed). Acoustic trauma is determined by audiometric examination. Analysis of the results of the Chi-square test and calculation of the relative risk (RR).

Result: it is known that the average intensity of sound intensity assault rifle (SS) 1 R5 is 107.66 dB. The increase in the threshold of hearing at the exposure occurred <25 dB (33.3%) (p <0.001). Impaired hearing on the exposure, occurs at high frequencies (> 2 kHz). After day 21, 23.3% hearing impaired group, the threshold of normal listeners, while 10% live. The risk of high-frequency hearing impaired exposure group compared to the non-exposure after calculating the relative risk is 6.09 times greater

Conclusions: Although the clinical disturbances, acoustic trauma caused by gunshot SS1 R5 does not result in hearing impairment greater than 25 dB at high frequencies that are temporary in one ear 100 Raider Battalion soldiers KODAM I Bukit Barisan.

Suggestion: Soldier in shooting practice, you should use ear plug and ear muff. The risk of hearing loss is very large considering the average intensity of the weapon above the normal threshold. Need for audiometric examination at regular soldiers


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang Penelitian

Personil militer dan wajib militer mempunyai resiko yang sangat tinggi menderita gangguan pendengaran yang disebabkan kebisingan akibat dari paparan

Sebagai satuan pemukul Kodam, Yonif 100 Raider memiliki persenjataan yang khusus dan intensitas latihan yang lebih. Latihan menembak dilakukan baik secara perorangan maupun kelompok secara periodik (PENDAM, 2005).

bising tembakan dan ledakan (Ylikoski, 1994).

Salah satu persenjataan prajurit batalyon infanteri 100 Raider yang selalu dipakai adalah senapan serbu 1 R5 (SS1 R5). Pada saat menembak, seorang prajurit dapat menghabiskan 30 butir peluru yang dibagi : sikap berdiri 10 butir, sikap duduk 10 butir dan sikap tiarap 10 butir, ini dihabiskan hanya sekali latihan (PENDAM, 2005).

Pada saat prajurit infanteri melakukan latihan menembak, kebisingan yang ditimbulkan senjata tersebut diperkirakan telah melampaui tingkat kebisingan yang diijinkan di suatu lingkungan kerja yang mempunyai batas 85 dB (Sesuai petikan S.E. Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No. 01/MEN/1978 tanggal 7-2-1978) (Sasongko, 2003).

Penelitian pendengaran terhadap 134 anggota militer Kanada kecabangan infanteri, artileri dan kavaleri secara prospektif pada saat mulai bekerja dan 3 tahun setelah bekerja, ditemukan 11% prajurit kecabangan infanteri mengalami peningkatan ambang dengar ringan sampai sedang pada telinga lebih dari 25 dB, karena selalu menggunakan pistol kaliber kecil (Pelausa EO et al, 1995). Di Indonesia ada beberapa penelitian yang menghubungkan masalah bisinga terhadap prajurit. Penelitian Markian (2011) menyatakan bahwa bising senjata SS1 R5 yang dipergunakan prajurit batalyon infanteri 100 Raider rata-rata adalah 107,66 dB.


(18)

Penelitian Zuldidzaan (1995) pada awak pesawat helikopter TNI AU dan AD mendapatkan paparan bising antara 86-117 dB dengan prevalensi NIHL 27,16%. Sasongko S (2003) menemukan rata-rata tingkat tekanan suara meriam pada jarak 1 meter sebesar 173.4 dBA. Penelitian Budiyanto A. (2003) kejadian trauma akustik pada taruna Akpol Semarang sebanyak 80 orang (12,4%) dari 643 anggota.

Sampai saat ini data maupun penelitian tentang trauma akustik, khususnya Yonif 100 Raider belum ada, dengan pertimbangan hal tersebut diatas, maka dilakukan penelitian terhadap pengaruh trauma akustik yang disebabkan senapan serbu (SS)1 R5 pada fungsi pendengaran prajurit.

1.2 Perumusan Masalah

Apakah trauma akustik yang disebabkan letusan senjata SS1 R5 menyebabkan penurunan fungsi pendengaran yang bersifat sementara pada salah satu sisi telinga prajurit Yonif 100 Raider KODAM I Bukit Barisan.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui pengaruh trauma akustik akibat letusan senjata SS1 R5 pada fungsi pendengaran prajurit Yonif 100 Raider KODAM I Bukit Barisan.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Dapat mengetahui Karakteristik Subyek Penelitian 2. Dapat mengetahui intensitas bunyi senjata SS1 R5.

3. Dapat menilai fungsi pendengaran prajurit Yonif 100 Raider KODAM I Bukit Barisan.

4. Dapat mengetahui besar resiko gangguan pendengaran para prajurit akibat letusan senjata SS1 R5.


(19)

5. Dapat mengetahui persentase sifat peningkatan ambang dengar prajurit Yonif 100 Raider KODAM I Bukit Barisan berdasarkan kelompok umur. 6. Dapat mengetahui persentase frekuensi gangguan dengar prajurit Yonif

100 Raider KODAM I Bukit Barisan berdasarkan pemakaian alat pelindung diri.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini sebagai masukan untuk penyusunan kebijakan pimpinan TNI pada umumnya dan TNI-AD pada khususnya dalam program latihan menembak, dalam rangka upaya perlindungan pendengaran para prajurit TNI.

2. Sebagai bahan masukan bagi pencegahan gangguan pendengaran bagi pihak-pihak yang melakukan aktifitas sejenis (pihak yang menggunakan senjata api).

1.5 Kerangka Pemikiran

Trauma akustik merupakan gangguan dengar yang disebabkan oleh paparan gelombang suara tunggal dengan waktu singkat yang dapat menimbulkan penurunan pendengaran permanen tanpa didahului oleh perubahan ambang dengar sementara (temporary treshold shift / TTS). (Dobie R.A, 2006; Kujawa S.G., 2008).

Gelombang suara ini dapat merusak organ Corti, menimbulkan kebocoran membran, merusak sel serta menyebabkan bercampurnya cairan perilimf dan endolimf. Tekanan suara tinggi akibat ledakan dapat merusak membran timpani maupun tulang-tulang pendengaran yang dapat menimbulkan tuli konduktif maupun tuli campur (Dobie R.A, 2006).

Trauma akustik berulang dalam jangka waktu lama (10 – 15 tahun) dapat menimbulkan kelainan organ auditorik maupun non auditorik (Finke, 1990; Alberti PW, 1997).


(20)

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya gangguan dengar akibat paparan bising adalah usia, jenis kelamin, tinggi rendahnya frekuensi paparan, lama paparan serta tingkat / besar paparan bising (Dobie R.A, 2006). Penurunan pendengaran mendadak yang disebabkan paparan senjata umumnya akan membaik selama 48-60 jam kemudian dan umumnya akan normal kembali setelah 20 hari. Penurunan pendengaran asimetris tergantung kedekatan senjata pada sisi telinga, dan umumnya akan meningkatkan ambang dengar lebih dari 25 dB (Alberti PW, 1997).

1.6 Hipotesis

Trauma akustik yang disebabkan letusan senjata SS1 R5 mengakibatkan penurunan fungsi pendengaran lebih besar dari 25 dB pada frekuensi tinggi yang bersifat sementara pada salah satu telinga prajurit Yonif 100 Raider KODAM I Bukit Barisan.


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga

Secara umum telinga terbagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar sendiri terbagi atas daun telinga, liang telinga dan bagian lateral dari membran timpani (Lee K.J,1995; Mills JH et al, 1997).

Daun telinga di bentuk oleh tulang rawan dan otot serta ditutupi oleh kulit. Kearah liang telinga lapisan tulang rawan berbentuk corong menutupi hampir sepertiga lateral, dua pertiga lainnya liang telinga dibentuk oleh tulang yang ditutupi kulit yang melekat erat dan berhubungan dengan membran timpani. Bentuk daun telinga dengan berbagai tonjolan dan cekungan serta bentuk liang telinga yang lurus dengan panjang sekitar 2,5 cm, akan menyebabkan terjadinya resonansi bunyi sebesar 3500 Hz (Mills JH et al, 1997).

Telinga tengah berbentuk seperti kubah dengan enam sisi. Telinga tengah terbagi atas tiga bagian dari atas ke bawah, yaitu epitimpanum terletak di atas dari batas atas membran timpani, mesotimpanum disebut juga kavum timpani terletak medial dari membran timpani dan hipotimpanum terletak kaudal dari membran timpani (Liston SL et al,1989; Pickles JO,1991; Gacek, R.R, 2009). Organ konduksi di dalam telinga tengah ialah membran timpani, rangkaian tulang pendengaran, ligamentum penunjang, tingkap lonjong dan tingkap bundar (Liston SL et al,1989; Pickles JO,1991; Mills JH et al, 1997).

Kontraksi otot tensor timpani akan menarik manubrium maleus ke arah anteromedial, mengakibatkan membran timpani bergerak ke arah dalam, sehingga besar energi suara yang masuk dibatasi (Liston SL et al,1989; Pickles JO,1991; Mills JH et al, 1997).

Fungsi dari telinga tengah akan meneruskan energi akustik yang berasal dari telinga luar kedalam koklea yang berisi cairan. Sebelum memasuki koklea bunyi akan diamplifikasi melalui perbedaan ukuran membran timpani dan tingkap lonjong, daya ungkit tulang pendengaran dan bentuk spesifik dari


(22)

membran timpani. Meskipun bunyi yang diteruskan ke dalam koklea mengalami amplifikasi yang cukup besar, namun efisiensi energi dan kemurnian bunyi tidak mengalami distorsi walaupun intensitas bunyi yang diterima sampai 130 dB (Mills JH et al, 1997).

Aktifitas dari otot stapedius disebut juga reflek stapedius pada manusia akan muncul pada intensitas bunyi diatas 80 dB (SPL)dalam bentuk reflek bilateral dengan sisi homolateral lebih kuat. Reflek otot ini berfungsi melindungi koklea, efektif pada frekuensi kurang dari 2 khz dengan masa latensi 10 mdet dengan daya redam 5-10 dB.Dengan demikian dapat dikatakan telinga mempunyai filter terhadap bunyi tertentu, baik terhadap intensitas maupun frekuensi (Liston SL

et al,1989; Pickles JO,1991; Mills JH et al, 1997; Wright A, 1997).

Gambar 2.1. Anatomi Telinga (Dhingra PL., 2007)

Telinga dalam terdiri dari organ kesimbangan dan organ pendengaran. Telinga dalam terletak di pars petrosus os temporalis dan disebut labirin karena bentuknya yang kompleks. Telinga dalam pada waktu lahir bentuknya sudah sempurna dan hanya mengalami pembesaran seiring dengan pertumbuhan tulang temporal. Telinga dalam terdiri dari dua bagian yaitu labirin tulang dan labirin membranosa.Labirin tulang merupakan susunan ruangan yang terdapat dalam pars petrosa os temporalis (ruang perilimfatik) dan merupakan salah satu tulang terkeras. Labirin tulang terdiri dari vestibulum, kanalis semisirkularis dan kohlea (Santi PA,1993; Lee KJ, 1995; Wright A, 1997; Mills JH et al, 1998).


(23)

Vestibulum merupakan bagian yang membesar dari labirin tulang dengan ukuran panjang 5 mm, tinggi 5 mm dan dalam 3 mm. Dinding medial menghadap ke meatus akustikus internus dan ditembus oleh saraf. Pada dinding medial terdapat dua cekungan yaitu spherical recess untuk sakulus dan

eliptical recess untuk utrikulus. Dibawah eliptical recess terdapat lubang kecil akuaduktus vestibularis yang menyalurkan duktus endolimfatikus ke fossa kranii posterior diluar duramater (Santi PA,1993; Lee KJ, 1995; Wright A, 1997; Mills JH et al, 1998).

Dibelakang spherical recess terdapat alur yang disebut vestibular crest. Pada ujung bawah alur ini terpisah untuk mencakup recessus kohlearis yang membawa serabut saraf kohlea kebasis kohlea. Serabut saraf untuk utrikulus, kanalis semisirkularis superior dan lateral menembus dinding tulang pada daerah yang berhubungan dengan N. Vestibularis pada fundus meatus akustikus internus. Di dinding posterior vestibulum mengandung 5 lubang ke kanalis semisirkularis dan dinding anterior ada lubang berbentuk elips ke skala vestibuli kohlea (Mills JH et al, 1998; Santi PA, 1993, Gacek, R.R, 2009).

Gambar 2.2 Anatomi Telinga Dalam (Dhingra PL., 2007)

Ada tiga buah semisirkularis yaitu kanalis semisirkularis superior, posterior dan lateral yang terletak di atas dan di belakang vestibulum. Bentuknya seperti dua pertiga lingkaran dengan panjang yang tidak sama tetapi dengan diameter yang hampir sama sekitar 0,8 mm. Pada salah satu ujungnya masing-masing kanalis ini melebar disebut ampulla yang berisi epitel sensoris vestibular dan terbuka ke vestibulum (Wright A., 1997).


(24)

Ampulla kanalis superior dan lateral letaknya bersebelahan pada masing-masing ujung anterolateralnya, sedangkan ampulla kanalis posterior terletak dibawah dekat lantai vestibulum. Ujung kanalis superior dan inferior yang tidak mempunyai ampulla bertemu dan bersatu membentuk crus communis yang masuk vestibulum pada dinding posterior bagian tengah. Ujung kanalis lateralis yang tidak memiliki ampulla masuk vestibulum sedikit dibawah cruss communis (Gacek, R.R, 2009).

Kanalis lateralis kedua telinga terletak pada bidang yang hampir sama yaitu bidang miring kebawah dan belakang dengan sudut 30 derajat terhadap bidang horizontal bila orang berdiri. Kanalis lainnya letaknya tegak lurus terhadap kanal ini sehingga kanalis superior sisi telinga kiri letaknya hampir sejajar dengan posterior telinga kanan demikian pula dengan kanalis posterior telinga kiri sejajar dengan kanalis superior teling kanan (Mills JH, 1998).

Kohklea membentuk tabung ulir yang dilindungi oleh tulang dengan panjang sekitar 35 mm dan terbagi atas skala vestibuli, skala media dan skala timpani. Skala timpani dan skala vestibuli berisi cairan perilimfa dengan konsentrasi K+ 4 mEq/l dan Na+ 139 mEq/l. Skala media berada dibagian tengah, dibatasi oleh membran reissner, membran basilaris, lamina spiralis dan dinding lateral, berisi cairan endolimfa dengan konsentrasi K+ 144 mEq/l dan Na+ 13 mEq/l. Skala media mempunyai potensial positif (+ 80 mv) pada saat istirahat dan berkurang secara perlahan dari basal ke apeks.


(25)

Organ corti terletak di membran basilaris yang lebarnya 0.12 mm di bagian basal dan melebar sampai 0.5 mm di bagian apeks, berbentuk seperti spiral. Beberapa komponen penting pada organ corti adalah sel rambut dalam, sel rambut luar, sel penunjang Deiters, Hensen’s, Claudiu’s, membran tektoria dan lamina retikularis (Santi PA, 1993; Wright A, 1997; Mills JH et al, 1998).

Sel-sel rambut tersusun dalam 4 baris, yang terdiri dari 3 baris sel rambut luar yang terletak lateral terhadap terowongan yang terbentuk oleh pilar-pilar Corti, dan sebaris sel rambut dalam yang terletak di medial terhadap terowongan. Sel rambut dalam yang berjumlah sekitar 3500 dan sel rambut luar dengan jumlah 12000 berperan dalam merubah hantaran bunyi dalam bentuk energi mekanik menjadi energi listrik (Gacek, R.R, 2009).

Gambar 2.4 Organ Corti (Dhingra PL., 2007)

2.1.1 Vaskularisasi telinga dalam

Vaskularisasi telinga dalam berasal dari A.Labirintin cabang A.Cerebelaris anteroinferior atau cabang dari A. Basilaris atau A.Verteberalis. Arteri ini masuk ke meatus akustikus internus dan terpisah menjadi A.Vestibularis anterior dan A.Kohlearis communis yang bercabang pula menjadi A.Kohlearis dan A.Vestibulokohlearis. A.Vestibularis anterior memperdarahi N. Vestibularis, urtikulus dan sebagian duktus semisirkularis. A.Vestibulokohlearis sampai di mediolus daerah putaran basal kohlea terpisah menjadi cabang terminal vestibularis dan cabang kohlear. Cabang vestibular memperdarahi sakulus, sebagian besar kanalis semisirkularis dan ujung basal kohlea. Cabang kohlear memperdarahi ganglion spiralis, lamina spiralis ossea, limbus dan ligamen


(26)

spiralis. A.Kohlearis berjalan mengitari N.Akustikus di kanalis akustikus internus dan didalam kohlea mengitari modiolus (Santi PA,1993; Lee K.J,1995).

Vena dialirkan ke V.Labirintin yang diteruskan ke sinus petrosus inferior atau sinus sigmoideus. Vena-vena kecil melewati akuaduktus vestibularis dan kohlearis ke sinus petrosus superior dan inferior (Santi PA,1993 ; Lee K.J,1995).

2.1.2 Persarafan telinga dalam

N.Vestibulokohlearis (N.akustikus) yang dibentuk oleh bagian kohlear dan vestibular, didalam meatus akustikus internus bersatu pada sisi lateral akar N.Fasialis dan masuk batang otak antara pons dan medula. Sel-sel sensoris vestibularis dipersarafi oleh N.Kohlearis dengan ganglion vestibularis (scarpa) terletak didasar dari meatus akustikus internus.

Sel-sel sensoris pendengaran dipersarafi N.Kohlearis dengan ganglion spiralis corti terletak di modiolus (Santi PA,1993; Wright A, 1997; Mills JH et al,1998).

2.2 Fisiologi Pendengaran

Beberapa organ yang berperan penting dalam proses pendengaran adalah membran tektoria, sterosilia dan membran basilaris. Interaksi ketiga struktur penting tersebut sangat berperan dalam proses mendengar. Pada bagian apikal sel rambut sangat kaku dan terdapat penahan yang kuat antara satu bundel dengan bundel lainnya, sehingga bila mendapat stimulus akustik akan terjadi gerakan yang kaku bersamaan. Pada bagian puncak stereosillia terdapat rantai pengikat yang menghubungkan stereosilia yang tinggi dengan stereosilia yang lebih rendah, sehingga pada saat terjadi defleksi gabungan stereosilia akan mendorong gabungan-gabungan yang lain, sehingga akan menimbulkan regangan pada rantai yang menghubungkan stereosilia tersebut. Keadaan tersebut akan mengakibatkan terbukanya kanal ion pada membran sel, maka terjadilah depolarisasi. Gerakan yang berlawanan arah akan mengakibatkan


(27)

regangan pada rantai tersebut berkurang dan kanal ion akan menutup. Terdapat perbedaan potensial antara intra sel, perilimfa dan endolimfa yang menunjang terjadinya proses tersebut. Potensial listrik koklea disebut koklea mikrofonik, berupa perubahan potensial listrik endolimfa yang berfungsi sebagai pembangkit pembesaran gelombang energi akustik dan sepenuhnya diproduksi oleh sel rambut luar (May et al, 2004).

Pola pergeseran membran basilaris membentuk gelombang berjalan dengan amplitudo maksimum yang berbeda sesuai dengan besar frekuensi stimulus yang diterima. Gerak gelombang membran basilaris yang timbul oleh bunyi berfrekuensi tinggi (10 kHz) mempunyai pergeseran maksimum pada bagian basal koklea, sedangkan stimulus berfrekuensi rendah (125 kHz) mempunyai pergeseran maksimum lebih kearah apeks. Gelombang yang timbul oleh bunyi berfrekuensi sangat tinggi tidak dapat mencapai bagian apeks, sedangkan bunyi berfrekuensi sangat rendah dapat melalui bagian basal maupun bagian apeks membran basilaris. Sel rambut luar dapat meningkatkan atau mempertajam puncak gelombang berjalan dengan meningkatkan gerakan membran basilaris pada frekuensi tertentu. Keadaan ini disebut sebagai

cochlear amplifier.

Gambar 2.5. Skema Fisiologi Pendengaran (Hall, J. 1998)

Skema proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh telinga luar, lalu menggetarkan membran timpani dan diteruskan ketelinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran tersebut melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian


(28)

perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasikan akan diteruskan ke telinga dalam dan di proyeksikan pada membran basilaris, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (Keith, 1989).

2.3 Patofisiologi Trauma Akustik

Trauma akustik merupakan gangguan dengar yang disebabkan oleh paparan gelombang suara tunggal dengan waktu singkat yang dapat menimbulkan penurunan pendengaran permanen tanpa didahului oleh perubahan ambang dengar sementara (temporary treshold shift / TTS) (Dobie R.A, 2006; Kujawa S.G., 2008).

Pada banyak kasus, gangguan dengar yang disebabkan oleh trauma akustik bersifat sementara, hanya beberapa jam sampai beberapa hari dan kemudian kembali ke normal lagi. Sehingga secara umum para penderita trauma akustik tidak mengeluh/berobat ke dokter THT, dan seringkali kelainan tersebut terdeteksi pada saat pemeriksaan audiometri.

Gangguan dengar yang disebabkan oleh trauma akustik dan trauma kepala umumnya menyebabkan 2 tipe gejala, yakni gangguan dengar sementara dan gangguan dengar permanen (Sataloff, 1993).

Apabila penurunan ambang dengar terjadi dalam beberapa minggu, maka gangguan dengar tersebut bersifat permanen, dan bila penurunan ambang dengar mencapai 70 dB serta mencakup pula frekuensi percakapan, maka dipastikan telah terjadi kerusakan pada serabut saraf pendengaran dan telinga dalam sehingga mengakibatkan ketulian permanen (Sataloff, 1993).


(29)

Penelitian Covel dan kawan-kawan (Davis et al, 1953; Eldrege et al, 1958) menetapkan skala derajat kerusakan didalam telinga dalam, yakni :

1. Nilai 1 : Normal

2. Nilai 2 : Masih dalam batas normal

3. Nilai 3 dan 4 : Edema ringan dan piknosit sel rambut, pergeseran ringan nukleus sel rambut, pembentukan vakuola pada sel-sel penyangga, pergeseran mesotelial dengan pembentukan lapisan tipis sel di atas membran basalis

4. Nilai 5 dan 6 : Edema makin hebat, hilangnya sebagian sel mesotelial, pembentukangiant cilia

5. Nilai 7 : Sebagian sel rambut hancur/hilang, sel mesotelial hilang, sel-sel penyangga terlepas dari membran basalis

6. Nilai 8 : Seluruh sel rambut dalam hilang, ruptur membran Reissner

7. Nilai 9 : Seluruh organ corti kolaps, sehingga terpisah dari membran basalis

2.4 Jenis Gangguan Pendengaran

Ada tiga jenis gangguan pendengaran yang dapat dikenali dengan uji pendengaran yakni : gangguan konduktif, gangguan sensorineural dan gabungan keduanya atau tipe campuran.

Tuli konduktif terjadi akibat tidak sempurnanya fungsi organ yang berperan menghantarkan bunyi dari luar ke telinga dalam. Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat menyebabkan tuli konduktif.

Tuli sensorineural disebabkan oleh kerusakan pada koklea atupun retrokoklea. Tuli sensorineuraldapat bersifat akut (acute sensorineural deafness) yakni tuli sensorineural yang terjadi tiba-tiba dimana penyebab tidak diketahui dengan pasti dan chronic sensorineural deafness tuli sensorineural yang terjadi secara perlahan (Cody, 1992).


(30)

2.5 Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Gangguan Pendengaran

Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan penurunan ambang dengar akibat bising, yakni lama paparan bising, frekuensi paparan bising, tingkatan/besaran paparan, usia dan jenis kelamin dari penderita (Dobie RA, 2006).

Lama paparan bising lebih dari 10 tahun akan menyebabkan peningkatan NIPTS (Noise Induce Permanen Treshold Shift) terutama pada frekuensi 4 KHz. Tingkatan/besaran paparan bising diatas 85 dBA pada frekuensi tinggi lebih cepat menyebabkan gangguan dengar dibandingkan pada frekuensi rendah (Dobie RA, 2006).

Derajat gangguan pendengaran berdasarkan International Standard Organization (ISO) adalah normal (0 – 25 dB), tuli ringan (26 – 40 dB), tuli sedang (41 – 60 dB), tuli berat (61 – 90 dB), dan tuli sangat berat (>90 dB) (Bashiruddin, 2002).

Penelitian Coles (1963), menyatakan bahwa tingkat tekanan suara dari senjata otomatis sebesar 174 dB. Glorig dan Wheeler (1955) menyatakan bahwa bising yang di timbulkan senjata genggam sebesar 180 dB. Yarington (1968) menemukan tekanan suara akibat ledakan meriam Howitzer 105 sebesar 190 dB dan anti tank sebesar 185,6 dB (Alberti P.W, 1997).


(31)

Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.51 tahun 1999 tentang nilai ambang batas faktor bising dalam lingkungan kerja adalah sebagia berikut.

Tabel 2.1 Paparan Bising yang Diperkenankan

Waktu Pemajanan per

Hari

Intensitas Kebisingan dalam dB

8 jam 85

4 jam 88

2 jam 91

1 jam 94

30 menit 97

15 menit 100

7,5 menit 103

3,75 menit 106

1,88 menit 109

0,94 menit 112

28,12 detk 115

14,06 detik 118

7,03 detik 121

3,52 detik 124

1,76 detik 127

0,88 detik 130

0,44 detik 133

0,22 detik 136

0,11 detik 139

Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dB walaupun sesaat.

Sebuah penelitian terhadap 1073 prajurit arteleri Kroasia, menunjukkan hasil bahwa 907 (84.25%) orang mengalami peningkatan ambang dengar (fatique) pada tingkatan yang berbeda segera setelah melakukan tembakan (Spirov A,1982).

2.6 Bunyi

Bunyi adalah gelombang yang timbul dari getaran moleku-molekul benda yang saling beradu sama lain dan terkoordinasi. Gelombang tersebut akan


(32)

bunyi memerlukan media. Media tempat gelombang bunyi merambat harus mempunyai massa dan elastisitas. Pada umumnya medianya adalah udara. Gelombang bunyi tidak di rambatkan di ruang hampa. Kecepatan rambatan bunyi melalui udara sebesar ±340 meter/detik. Pada medium yang berbeda, kecepatan bunyi dapat meningkat. Melalui air kecepatan bunyi dapat meningkat ±4 kali, dan melalui besi menjadi ±14 kali lebih besar (Bashiruddin J, 2002).

Gelombang bunyi disebarkan ke berbagai arah di udara. Apabila suatu benda bergetar, maka getaran tersebut akan diteruskan ke lapisan udara disekitarnya dan selanjutnya dirambatkan terus ke lapisan udara yang lebih jauh, begitu seterusnya. Di udara, getaran melakukan pemampatan (compression) dan perenggangan (rarefaction) yang timbul bersamaan dengan getaran sumber bunyi. Di daerah pemampatan, tekanan udara lebih tinggi dari normal. Bila sumber bunyi berhenti bergetar, maka udara akan kembali ke keadaan awal (status istirahat) dan penyebaran tekanan yang cepat akan berhenti. Jenis getaran bunyi dapat di bedakan menjadi getaran selaras dan getaran tak selaras (Bashiruddin J, 2002).

Getaran selaras adalah getaran harmonik sederhana atau di kenal juga dengan getaran sinusoidal. Contohnya adalah garpu tala yang bergetar. Sedangkan contoh getaran tidak selaras dikenal sebagai bunyi bising, desis, gemeretak, desir atau detakan. Bunyi yang dapat didengar memiliki periode 1/20 sampai 1/15.000 detik, tergantung dari frekuensi getarannya (Dobie R , 2006).

Frekuensi adalah jumlah getaran per detik. Jika suatu periode berakhir selama 1/100 detik, maka berarti terdapat 100 getaran (cycle/siklus). Di Eropa, satuan ini di sebut Hertz dan di singkat Hz, untuk menghormati ahli fisika Jerman yang bernama Heinrich Hertz. Selanjutnya terminologi ini di berlakukan oleh Badan Standar Internasional (International Standard Association) untuk dibakukan. Frekuensi merupakan suatu besaran fisik yang dapat diukur dengan pasti.


(33)

Bila dua garpu tala mempunyai frekuensi yang sama kita bunyikan dengan kekuatan yang berbeda, maka akan terdengar bahwa salah satu akan berbunyi lebih keras. Garpu tala yang dipukul lebih keras akan terjadi gerakan maksimum yang berkaitan dengan perubahan tekanan udara yang lebih tinggi. Secara sederhana keadaan ini disebut Amplitudo-nya lebih besar. Perbedaan tekanan udara inipun dapat diukur secara tepat karena juga merupakan besaran fisik. Satuan tekanan udara = 1 dyne/cm2

Bunyi dapat dibedakan dalam 3 rentang frekuensi yaitu 0-20 Hz (infrasonik), 20-18.000 Hz (sonik), dan >18.000 Hz (ultrasonik). Infrasonik tidak dapat dideteksi oleh telinga manusia, biasanya ditimbulkan oleh getaran tanah, bangunan maupun truk dan kendaraan besar. Bila getaran dengan frekuensi infra mengenai tubuh akan menyebabkan resonansi dan akan terasa nyeri pada beberapa bagian tubuh. Frekuensi dari 20-18.000 Hz merupakan frekuensi yang dapat dideteksi telinga manusia. Frekuensi di atas 20.000 Hz, dalam bidang kedokteran digunakan dalam 3 hal yaitu pengobatan, penghancuran dan diagnosis (P.W.Alberti, 1997).

= mikrobar (Mills JH, 1998).

Untuk membuat udara bergetar dibutuhkan energi. Energi sebanding dengan tekanan per satuan luas. Daya yang di butuhkan untuk menghasilkan bunyi yang mulai terdengar adalah 10-16 watt/cm2 (Wright A., 1997).

2.6.1 Sifat gelombang suara

Bila gelombang suara membentur suatu rintangan atau dinding maka kemungkinan yang terjadi adalah gelombang tersebut dipantulkan, dilenturkan, dibiaskan, diabsorpsi atau diteruskan. Fenomena ini tergantung pada hubungan antara panjang gelombang suara, ukuran rintang beberapa jenis dinding dan sudut datang. Permukaan gelombang didefinisikan sebagai suatu prmukaan di mana seluruh partikelnya bergetar satu fase. Sebagai contoh, bila suatu titik sumber memancar, gelombang akan menyebar secara seragam ke segala arah dan permukaan gelombang berbentuk lengkung. Tetapi bila seseorang yang berada cukup jauh, maka permukaan gelombang yang ditangkapnya akan


(34)

berbentuk relatif lebih datar. Apabila tidak terdapat permukaan yang memantul, maka gelombang akan merambat secara bebas.

Apabila gelombang bunyi menabrak suatu dinding padat, sebagian dari energinya akan di pantulkan dan sebagian lagi akan dirambatkan serta sebagian lain akan diserap melalui massa dinding tersebut. Tetapi apabila dindingnya tipis, energi bunyinya akan dirambatkan. Oleh karena telinga kita memiliki respon yang kurang lebih logaritmis terhadap energi bunyi, maka bila menginginkan suatu sekat suara yang baik, penting sekali untuk menurunkan energi ke tingkat di bawah 1/1000 kali (Wright A., 1997).

2.6.2 Intensitas bunyi: Desibel (dB)

Cakupan tekanan suara yang dapat diterima oleh telinga normal sangat luas sehingga sulit untuk mengetahui angkanya. Dekat ambang dengar, bunyi mempunyai tekanan sebesar kira-kira 2/10.000 dyne/cm2

Tidak akan ada artinya membicarakan desibel bila titik awalnya tidak ditentukan. Suatu bunyi dengan tekanan tertentu dapat mempunyai beberapa nilai desibel, tergantung dari tekanan mana yang dipilih sebagai angka nol untuk titik awal pada skala. Pada prakteknya, ada 3 titik awal yang sering dipakai pada skala desibel. Pertama yakni 0.0002 dyne/cm

. Tekanan ini harus dikalikan 10 juta kali untuk dapat menyebabkan rasa nyeri di telinga. Skala desibel (dB) dipakai agar angka-angka dalam cakupan frekuensi itu dapat diikuti. Hal ini dilakukan dengan memilih satu titik tertentu pada skala penekanan sebagai dasar, dan menyatakan titik-titik lain pada skala sebagai rasio dari dasar ini, mengambil angka logaritma dari rasio ini, kemudian angka logaritma tersebut dikalikan 20 (Bashiruddin, 2002).

2

, yang dipilih karena dulu angka ini dianggap sebagai tekanan suara yang sesuai dengan pendengaran yang terbaik manusia. Titik awal lain adalah ambang rata-rata pendengaran normal. Yang terakhir, 1 dyne/cm2 (1 mikrobar) sering dipakai sebagai tekanan pembanding, terutama untuk kalibrasi mikrofon.


(35)

Skala dengan titik awal 0.0002 dyne/cm2 disebut skala tingkat tekanan suara (Sound Pressure Level = SPL). Jadi 60 dB SPL berarti tekanan 60 dB diatas 0.0002 dyne/cm2

Perbedaan penting antara kedua skala ini adalah skala SPL berdasarkan suatu titik awal fisika (0.0002 dyne/cm

. Skala berdasarkan ambang pendengaran rata-rata normal disebut skala tingkat ambang dengar (Hearing Treshold Level) atau skala ambang dengar (Hearing Level= HL). Jadi 60 dBHL berarti tekanan 60 desibel diatas ambang tekanan standar pembanding yang sesuai dengan pendengaran normal rata-rata frekuensi ini (Keith, 1989).

2

Tanda desibel pada angka gangguan pendengaran suatu audiometer mengikuti skala ambang dengar (HL). Titik nol pada angka gangguan frekuensi tertentu adalah sebenarnya, tingkat suara yang sesuai dengan rata-rata ambang dengar tersebut, seperti yang ditetapkan oleh American National Standard Institute(ANSI) (Dobie R. A., 2009)

), sedangkan skala HL berdasarkan titik awal ukuran psikologik atau perilaku, yakni pendengaran normal rata-rata.

2.7 Audiometri Nada Murni

Audiometri nada murni adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengukur sensivitas pendengaran dengan alat audiometer yang menggunakan nada murni (pure tone). Ambang nada murni diukur dengan intensitas minimum yang dapat didengar selama satu atau dua detik melalui antaran udara ataupun hantaran tulang. Frekwensi yang dipakai berkisar antara 125 – 8000 Hz dan diberikan secara bertingkat (Feldman & Grimes, 1997).

Audiometri harus memenuhi 3 persyaratan untuk mendapatkan keabsahan pemeriksaan yaitu (1) audiometri yang telah dikalibrasi, (2) suasana/ruangan sekitar pemeriksa harus tenang, dan (3) pemeriksa yang terlatih.

Komponen yang ada pada audiometri yaitu:

1. Oscilator: untuk menghasilkan bermacam nada murni

2. Amplifier: alat untuk menambah intensitas nada 3. Interuptor/pemutus : alat pemutus nada


(36)

4. Atteneurator: alat mengukurintensitas suara

5. Earphone: alat merubah sinyal listrik yang ditimbulkan audiometer menjadi sinyal suara yang dapat didengar

6. Masking noise generator: untuk penulian telinga yang tidak diperiksa

Cara pemeriksaan audiometri adalah headphone dipasang pada telinga untuk mengukur ambang nada melalui konduksi udara. Tempat pemeriksaan harus kedap udara. Pasien diberitahu supaya menekan tombol bila mendengar suara walaupun kecil. Suara diberi interval 2 detik, biasanya dimulai dengan frekwensi 1000 Hz sampai suara tidak terdengar. Kemudian dinaikkan 5 dB sampai suara terdengar. Ini dicatat sebagai audiometri nada murni (pure tone audiometry)(Keith, 1989).

Biasanya yang diperiksa terlebih dahulu adalah telinga yang dianggap normal (tidak sakit) pendengarannya melalui hantaran udara, kemudian diperiksa melalui hantara tulang. Kalau perbedaan kekurangan pendengaran yang diperiksa 50 dB atau lebih dari telinga lainnya, maka telinga yang tidak diperiksa harus ditulikan (masking). Ketika memeriksa satu telinga pada intensitas tertentu, suara akan terdengar pada telinga yang satu lagi. Hal ini disebut “cross over” yang dapat membuat salah interpretasi pada pemeriksaan audiometer (Keith, 1989)

Gambar 2.6. a) b)

a. Gambaran audiometri normal, pada audiogram tampak hantaran udara dan tulang dalam batas normal.

b. Gambaran audiometri tuli sensorineural, pada audiogram tampak ambang hantaran tulang sama dengan ambang hantaran udara dan keduanya tidak normal.


(37)

c) d)

c. Gambaran audiometri tuli konduktif, pada audiogram tampak ambang hantaran tulang lebih baik dari ambang hantaran udara sebesar 10 dB atau lebih dan normal.

d. Gambaran audiometri tuli campuran, pada audiogram tampak ambang hantaran tulang berkurang namun masih lebih baik dari ambang hantaran udara sebesar 10 dB atau lebih.

e)

e. Gambaran audiometri tuli akibat bising, pada audiogram tampak sebagai “notch” yang curam pada frekuensi 4000 Hz.

2.8 Perlindungan Fungsi Pendengaran

Perlindungan fungsi pendengaran dapat dilakukan dengan rekayasa lingkungan (enviromental engineering) dan proteksi perorangan pada individu-individu yang terpapar trauma akustik. Tujuan program konservasi pendengaran yang ideal adalah mengurangi efek paparan trauma akustik.

Terdapat 2 macam pelindung telinga, yakni:

1. Bentuk sumbat (plug), yang dimasukkan ke dalam liang telinga secara tepat sesuai ukuran masing-masing.

2. Bentuk bantalan (muff), yang dipegang dengan tali kepala dan melingkari telinga, dimana berguna menutupi telinga luar.


(38)

Brenda L (1993) pada penelitiannya mendapati bahwa ear plug dapat menurunkan efek bising di telinga tengah sebesar 15 sampai 30 dB. Sedangkan ear muff merupakan protektif yang lebih baik, khususnya pada frekuensi 500 Hz dan 1 KHz. Pada tingkat kebisingan yang tinggi pengguanaan

ear plug saja tidak begitu baik dan disarankan menggunakan kombinasi ear plug dan ear muff .

Penting juga diketahui bahwa tekanan suara (sound energy) berhubungan dengan tingkatan bising yang tinggi (high noise level) yang dapat mencapai telinga dalam melalui pergetaran tulang serta struktur-struktur disekitarnya. Sehingga konduksi melalui tulang dan jaringan disekitarnya dapat dibatasi dengan pemakaian alat pelindung pendengaran. Suatu pelindung pendengaran yang ideal (infinite protector) seharusnya dapat menurunkan efek bising sebesar 20 -30 dB. (Bashiruddin J, 2002).

2.9 Jenis Senjata

Jenis senjata Senapan Serbu (SS) 1 R5 diproduksi oleh PT. PINDAD Indonesia tahun 2003. Kaliber dari senjata ini adalah 5,56 mm X 45 mm dengan panjang senjata apabila dilipat 546 mm dan apabila popor direntangkan 771 mm. Jarak tembak efektif senjata ini 375 meter dan jarak tembak maksimal 5000 meter.


(39)

2.10 Kerangka Konsep

Kerangka konsep kaitan antara paparan bising dan gangguan pendengaran akibat bising pada prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan dapat dilihat pada gambar 2.11 berikut.

Gambar 2.7. Kerangka Konsep Kaitan antara Paparan Bising dan Gangguan Pendengaran Akibat Bising pada Prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan

Gangguan Pendengaran Paparan

Bising

Kerusakan pada sel-sel rambut


(40)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah studi prospektif (cohort study), terhadap kelompok paparan (exposed) dan kelompok kontrol (non paparan/ non exposed).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I BukitBarisan, Namu Sira-sira, Langkat, Sumatera Utara. Penelitian dilakukan mulai bulan Februari 2012 sampai Agustus 2012.

3.3 Populasi, Sampel Penelitian, Besar Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah prajurit dan PNS Batalyon Infanteri 100 Raider yang masih aktif.

3.3.2 Subyek penelitian

Subyek penelitian ini adalah prajurit Yonif 100 Raider yang satu gelombang pendidikan TNI AD tahun 2008 yang telah dilakukan pemeriksaan audiometri dengan hasil normal, serta staf dan PNS yang bertempat tinggal dengan radius lebih dari 5 km.

3.3.3 Kriteria inklusi:

a. Prajurit yang satu gelombang pendidikan TNI AD tahun 2008 dan sama masuk Yonif 100 Raider yang telah dilakukan pemeriksaan audiometri dengan hasil normal

b. Laki-laki dan wanita (khusus PNS) c. Usia berkisar 18 – 45 tahun


(41)

d. Masih dalam dinas aktif

e. Selama penelitian tidak terpapar oleh bunyi keras lain / ledakan sesaat maupun kontinyu ( selain paparan letusan senjata SS1 R5)

3.3.4 Kriteria eksklusi

a. Prajurit atau PNS yang mempunyai riwayat trauma kepala, sakit telinga yang dapat mempengaruhi fungsi pendengaran

b. Prajurit atau PNS yang menderita penyakit sistemik : DM, Malaria, dan penyakit lain yang dapat mempengaruhi fungsi pendengaran

c.. Sedang mengkonsumsi obat-obatan yang bersifat ototoksik.

3.3.5 Besar sampel

Penentuan besar sampel pada penelitian ini dihitung berdasarkan jumlah prajurit yang satu gelombang pendidikan TNI AD dan sama masuk Yonif 100 Raider. Dalam hal ini terkumpul 30 orang prajurit yang memenuhi syarat penelitian.

3.4 Variabel Penelitian

Variabel penelitian terdiri dari variabel dependen yaitu gangguan pendengaran dan variable independen yaitu: subyek penelitian, intensitas bunyi senjata SS1 R5, penilaian fungsi pendengaran, lama paparan, lama kerja dan penggunaan alat pelindung diri (APD).

3.5 Defenisi Operasional

1. Prajurit Yonif 100 raider adalah prajurit TNI yang masih bertugas dikesatuan batalyon infanteri 100 Raider KODAM I Bukit Barisan. 2. Trauma akustik : gangguan dengar akibat paparan letusan senjata

SS1 R5 yang menyebabkan penurunan fungsi pendengaran yang bersifat sementara pada salah satu sisi telinga prajurit Yonif 100 Raider KODAM I Bukit Barisan.


(42)

3. Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari suatu kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia.

4. Sound level meter adalah alat untuk mengukur tingkat intensitas bunyi

5. Intensitas bunyi senjata organik adalah besarnya bunyi senjata organik yakni senapan serbu jenis SS1 R5 buatan Pindad, yang dinyatakan dalam decibel (dB).

6. Frekuensi adalah jumlah getaran perdetik.

7. Decibel adalah logaritma dari rasio dua daya atau tekanan.

8. Tuli akibat bising (TAB) adalah tuli jenis sensorineural akibat kelainan pada koklea, terjadi akibat paparan bising dengan intensitas diatas nilai ambang batas normal.

9. Tuli sensorineural adalah tuli yang disebabkan kelainan pada kokhlea ataupun retrokokhlea. Pada audiogram tampak ambang hantaran tulang sama dengan ambang hantaran udara dan keduanya tidak normal.

10. Tuli konduktif adalah tuli yang disebabkan oleh kelainan yang terdapat di telinga luar atau telinga tengah. Pada audiogram tampak ambang hantaran tulang lebih baik dari ambang hantaran udara sebesar 10 dB atau lebih dan normal.

11. Tuli campuran adalah tuli konduktif dan tuli sensorineural. Pada audiogram tampak ambang hantaran tulang berkurang namun masih lebih baik dari ambang hantaran udara sebesar 10 dB atau lebih. 12. Gangguan dengar frekuensi tinggi : gangguan dengar pada frekuensi

di atas 2 KHz.

13. Gangguan dengar yang bersifat sementara : penurunan fungsi pendengaran ( akibat paparan ) yang akan membaik setelah 48 jam dan akan normal kembali setelah 20 hari.


(43)

14. Lama paparan adalah satuan waktu yang menunjukan masa terpapar bunyi, yang dinyatakan dalam jam/hari.

15. Lama kerja adalah sejak mulai berdinas di batalyon infanteri 100 Raider sampai dilakukan pemeriksaan audiometri, yang dinyatakan dalam tahun.

16. Alat pelindung diri (APD) adalah alat yang digunakan untuk melindungi diri seperti helm, pelindung telinga, masker dan lain-lain. 17. Pemeriksaan audiometri adalah pemeriksaan pendengaran yang

menggunakan alat audiometer yang merupakan suatu cara pemeriksaan untuk mengukur sensitivitas pendengaran yang menggunakan nada murni (pure tone).

18. Derajat ketulian dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher yaitu:

Ambang dengar (AD) = AD 500 Hz + AD 1000 HZ + AD 2000 HZ

3 ( Soetirto I., Hendarmin H., Bashiruddin J., 2007 )

19. Derajat ketulian ISO :

Normal (0 – 25 dB), Tuli ringan (26 – 40 dB), Tuli sedang (41 -60 dB), Tuli berat (61 – 90 dB), Tuli sangat berat ( > 90 dB) ( Bhasiruddin J, 2002)

3.6 Bahan dan Alat Penelitian

a. Kuisioner penelitian

b. Lampu kepala merek Riester c. Spekulum telinga merek Hartmann d. Otoskop merk Riester

e. Larutan peroksida 3% (H2O2

f. Alat penghisap (suction) merek Thomas Medipump tipe 1132 GL 3%)

g. Kanul penghisap nomor 6 dan 8 tipe Fergusson h. Spekulum hidung merek Renz


(44)

i. Spatel lidah

j. Kaca laringoskopi dan kaca rinoskopi k. Pengait serumen

l. Audiometer merek Rexton tipe D67 dan telah dikalibrasi.

m. Sound level meter merek Larson Davis 720 SLM serial 0553 dan telah dikalibrasi.

3.7 Cara Kerja

3.7.1 Penjelasan dan pengisian kuisioner

Setiap subyek yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diberikan penjelasan tentang maksud, tujuan dan cara penelitian kemudian menandatangani persetujuan penelitian (informed consent). Setelah itu subyek penelitian terpilih mengisi kuisioner tertulis yang telah disiapkan (terlampir). Pelaksanaan kegiatan ini dilaksanakan di aula kesehatan Yonif 100 Raider.

3.7.2 Pemeriksaan THT

Pemeriksaan THT dilakukan 2 tahap, yakni pemeriksaan THT rutin (termasuk otoskopi) ke 1 yang dilakukan pada kelompok paparan maupun kontrol (non paparan) yang dilaksanakan di aula kesehatan Yonif 100 Raider. Sedangkan pemeriksaan otoskopi ulang ke 2 dan ke 3 hanya dilakukan pada kelompok paparan dan dilaksanakan di aula kesehatan Yonif 100 Raider bersamaan dengan pemeriksaan audiometri nada murni ulang ke 2 dan ke 3 pada hari H+ 1 dan H+ 21.

3.7.3 Pemeriksaan audiologi

Pemeriksaan audiometri nada murni dilakukan 3 kali. Untuk pemeriksaan pertama dilakukan pada kelompok paparan maupun non paparan pada hari H -1 (pada kelompok paparan dicari hasil audiometri yang normal), sedangkan pemeriksaan audiometri nada murni ke 2 pada hari H+ 1 dan audiometri nada murni ke 3 pada hari H+ 21 hanya dilakukan pada kelompok paparan.


(45)

Audiometer yang dipergunakan adalah jenis/tipe merek Rexton tipe D67 yang telah dilakukan kalibrasi. Alat ini berguna untuk mengukur fungsi pendengaran dengan menilai berapa besar intensitas suara melalui hantaran udara dan hantaran tulang pada frekuensi 250, 500, 1000, 2000, 3000, 4000, 6000, dan 8000 Hz. Pemeriksaan audiogram dilakukan didalam ruang kedap udara, dalam hal ini kami melakukan di ruang komandan yang kebetulan kedap udara.

3.8Analisis Data

Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Data yang diperoleh dianalisis menghitung gangguan fungsi pendengaran prajurit, yakni dengan memakai uji “x2

Untuk menghitung besarnya risiko dipergunakan perhitungan risiko relatif (RR)

”.

Analisis risiko (Risiko Relatif, RR):

a b

c d

a/(a+b) Maka: RR = --- c/(c+d)

Paparan

Non-paparan

Terganggu pendengaran

Tidak Terganggu pendengaran


(46)

3.9 Kerangka Kerja

Prajurit Yonif 100 Raider yang

1. Informed consent

2. Pengisian kuisioner tertulis 3. Pemeriksaan otoskopi 4. Pemeriksaan audiometri

1. Intensitas bunyi senjata SS1 R5 (dB)

1. Pengisian kuisioner tertulis 2. Pemeriksaan otoskopi 3. Pemeriksaan audiometri

Gambar 3.1. Kerangka Kerja Anamnesis dan Pemeriksaan Audiometri pada Parajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan

Prajurit dan PNS Yonif 100 Raider

Kelompok paparan Kelompok kontrol (non paparan)

Pemeriksaan sebelum paparan pada kedua kelompok penelitian

Pengukuran paparan letusan senjata SS1 R5

Pemeriksaan setelah paparan, hanya pada kelompok paparan (H+1 dan H +21)

Analisa data Prajurit yg satu gel pendidikan TNI AD

tahun 2008 dan sama masuk Yonif 100 Raider yang hasil audiometri norml

Prajurit dan PNS yang berdinas dibagian staf dan bertempat tinggal dengan radius lebih dari 5 km


(47)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan selama 7 bulan (Februari sampai dengan Agustus 2012) pada prajurit batalyon infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan. Subyek yang diambil adalah prajurit Yonif 100 Raider yang satu gelombang pendidikan TNI AD tahun 2008 yang telah dilakukan pemeriksaan audiometri dengan hasil normal. Tiga orang prajurit tidak dimasukkan dalam penelitian oleh karena pada pemeriksaan didapatkan perforasi membran timpani.


(48)

4.1 Karakteristik Subyek Penelitian

Penelitian dilakukan pada 30 orang kelompok paparan serta 30 orang kelompok kontrol (non paparan) yang telah memenuhi kriteria inklusi maupun ekslusi, dengan data sebagai berikut :

Grafik 4.1 Data Subyek Penelitian Berdasarkan Usia

Grafik diatas menunjukkan subyek penelitian dengan usia 18-24 tahun sebanyak 27 orang kelompok paparan dan 1 orang kelompok kontrol (non paparan). Usia 25-34 tahun terdiri dari 3 orang kelompok paparan dan 15 orang kelompok kontrol (non paparan). Sedangkan usia > 35 tahun hanya ada

kelompok kontrol (non paparan) sebanyak 14 orang.

Grafik 4.2 Data Subyek Penelitian Berdasarkan Masa Kerja

0 10 20 30

18-24 25-34 >35

Ju

m

la

h

Usia

Data Subyek Penelitian (Usia)

Kelompok terpapar Kelompok non terpapar 0 10 20 30 40

1-5 6-10 >10

Ju

m

lah

Masa Kerja (tahun)

Data Subyek Penelitian (Masa

Kerja)

Kelompok terpapar Kelompok non paparan


(49)

Grafik diatas menunjukan subyek penelitian dengan masa kerja 1-5 tahun sebanyak 2 orang hanya pada kelompok non paparan. Subyek dengan masa kerja 6-10 tahun, kelompok paparan sebanyak 30 orang dan kelompok non paparan sebanyak 14 orang. Sedangkan > 10 tahun hanya kelompok non paparan sebanyak 14 orang

Grafik 4.3 Data Subyek Penelitian Berdasarkan Pangkat

Grafik diatas menunjukkan 2 orang dengan pangkat perwira masuk ke dalam kelompok kontrol (non paparan). Pada kelompok kontrol juga terdapat 2 orang bintara. Pada pangkat tamtama ditemukan 30 orang kelompok paparan dan 16 orang kelompok kontrol (non paparan). Sedangkan PNS ditemukan 10 orang pada kelompok kontrol (non paparan). Tidak ada perwira, bintara maupun PNS pada kelompok paparan.

4.2 Intensitas Bunyi Senjata

Tabel 4.1 Rerata Intensitas Bunyi Senjata

Jenis Senjata Rata-rata bunyi (dB) Senapan serbu (SS) 1 R5 107,66

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa intensitas rata-rata bunyi senjata senapan serbu (SS) 1 R5 adalah 107,66 dB.

0 10 20 30 40

J

um

la

h

Pangkat

Data Subyek Penelitian (Pangkat)

Kelompok terpapar Kelompok non terpapar


(50)

4.3 Penilaian Fungsi Pendengaran

Hasil fungsi pendengaran pada kelompok paparan dan kelompok kontrol (non paparan) akan diulas di bawah ini :

4.3.1 Fungsi Pendengaran Sebelum Paparan Pada Kedua Kelompok Penelitian

Tabel 4.2 Fungsi Pendengaran Sebelum Paparan Pada Kedua Kelompok Penelitian

Fungsi Pendengaran Telinga Kanan Telinga Kiri 1. Kelompok Paparan (n=30)

• Normal

• SNHL ringan (25-40 dB)

• SNHL sedang (41-60 dB)

• SNHL berat (61-80 dB) 2. Kelompok Kontrol (non paparan)

(n=30)

• Normal

• SNHL ringan (25-40 dB)

• SNHL sedang (41-60 dB)

• SNHL berat (61-80 dB)

• CHL ringan (25-40 dB)

• CHL sedang (41-60 dB)

30 (100%) - - - 23 (76,67%) 2 (6,67%) 2 (6,67%) 1 (3,33%) 1 (3,33%) 1 (3,33%) 30 (100%) - - - 25 (83,33%) 2 (6,67%) 2 (6,67%) - 1 (3,33%) - Keterangan : SNHL : Sensori Neural Hearing Loss/ tuli saraf

CHL : Conductive Hearing Loss/ tuli konduktif

Dari tabel di atas menunjukan bahwa pada kelompok paparan, sebelum dilakukan paparan, tidak dijumpai kelainan pada ambang dengarnya.

Pada kelompok non paparan dijumpai adanya tuli saraf pada telinga kanan, ringan 2 (6,67%), sedang 2 (6,67%), berat 1 (3,33%) dan tuli konduktif telinga kanan, ringan 1 (3,33%), sedang 1 (3,33%) . Pada telinga kiri, tuli saraf ringan 2 (6,67%), sedang 2 (6,67%) tidak dijumpai tuli saraf berat, sedang tuli konduktif telinga kiri ringan 1 (3,33%) tidak ditemukan tuli konduktif sedang ataupun berat.


(51)

4.3.2 Fungsi Pendengaran Setelah Paparan

Hasil penilaian fungsi pendengaran pada kelompok paparan dan non paparan adalah :

Tabel 4.3 Fungsi Pendengaran Setelah Paparan Gangguan Fungsi Pendengaran Kelompok paparan (n=30) Kelompok non paparan (n=30) Kemaknaan 1. 2. 3. Peningkatan ambang dengar (dB)

• Tidak terjadi

• 0 – 25

• 26 – 40

• 41 – 60 Frekuensi gangguan dengar (KHz)

• Tidak terjadi

• Rendah (0.5-1)

• Sedang (1-2)

• Tinggi (2-8) Sifat peningkatan ambang dengar

• Sementara

• Menetap

• Tidak ada peningkatan 20 (66,7%) 10 (33,3%) 0 0 20 (66,7%) 0 0 10 (33,3%) 7 (23,3%) 3 (10%) 20 (66,7%) 30 (100%) 0 0 0 21 (70%) 0 2 (6,7%) 7 (23,3%) 0 0 30 (100%) x2 p<0.001 = 27.13 x2 p< 0.137 = 2.05 RR= 6,09 (1,95-18.97) x2 p<0.001 = 27.13

Keterangan : p dihitung berdasarkan uji x2

Dari tabel diatas terlihat bahwa peningkatan ambang dengar <25 dB yang terjadi pada kelompok paparan, sebanyak 10 orang (33,3%) dan tidak terjadi peningkatan sebanyak 20 orang (66,7%), secara statistik bermakna (p<0,001). Setelah hari ke dua puluh satu, 7 orang (23,3%) dari kelompok yang terjadi peningkatan ambang dengar menjadi normal kembali, sedangkan 3 orang (10%) menetap.

.

Adapun gangguan dengar pada kelompok paparan, seluruhnya terjadi pada frekuensi tinggi, sedangkan pada kelompok non paparan 7 orang (23,3%) terjadi pada frekuensi tinggi dan 2 orang (6,7%) pada frekuensi sedang.


(52)

Risiko gangguan dengar frekuensi tinggi kelompok paparan dibandingkan kelompok non paparan setelah dilakukan perhitungan risiko relatif adalah 6.09 kali lebih besar.

Tabel 4.4 Fungsi Pendengaran Setelah Paparan pada Telinga Kelompok Paparan

Gangguan Fungsi Pendengaran

Telinga Kanan Telinga Kiri Bilateral 1.

2.

3.

Peningkatan ambang dengar (dB)

• Tidak terjadi

• 0 – 25

• 26 – 40

• 41 – 60 Frekuensi gangguan dengar (KHz)

• Tidak terjadi

• Rendah (0.5-1)

• Sedang (1-2)

• Tinggi (2-8) Sifat peningkatan ambang dengar

• Sementara

• Menetap

• Tidak ada peningkatan 22 (73,3%) 8 (26,7%) 0 0 22 (73,3%) 0 0 8 (26,7%) 7 (23,3%) 3 (10%) 20 (66,7%) 23 (76,7%) 7 (23,3%) 0 0 23 (76,7%) 0 0 7 (23,3%) 5 (16,7%) 2 (6,7%) 23 (76,6%) 55 (91,7%) 5 (8,3%) 55 (91,7%) 0 0 5 (8,3%) 2 (3,3%) 3 (5%) 55 (91,7%)

Dari tabel diatas didapat peningkatan ambang dengar kelompok paparan, pada telinga kanan < 25 dB sebanyak 8 (26,7%) sedangkan tidak terjadi 22 (73,3%), pada telinga kiri < 25 dB sebanyak 7 (23,3%) sedangkan tidak terjadi 23 (76,7%), pada kedua telinga atau bilateral < 25 dB sebanyak 5 (8,3%) dan tidak terjadi 55 (91,7%).

Frekuensi gangguan dengar kelompok paparan pada telinga kanan frekuensi tinggi 8 (26,7%) dan tidak terjadi 22 (73,3%), pada telinga kiri frekuensi tinggi 7 (23,3%) dan tidak terjadi 23 (76,7%) sedangkan bilateral frekuensi tinggi 5 (8,3%) dan tidak terjadi 55 (91,7%).


(53)

Sifat peningkatan ambang dengar kelompok paparan pada telinga kanan, sementara 7 (23,3%), menetap 3 (10%) dan tidak ada peningkatan 20 (66,7%) pada telinga kiri, sementara 5 (16,7%), menetap 2 (6,7%) dan tidak ada peningkatan 23 (76,6%) sedangkan bilateral, sementara 2 (3,3%), menetap 3 (5%) dan tidak ada peningkatan 55 (91,7%).

4.4 Persentase Sifat Peningkatan Ambang Dengar Kelompok Penelitian Berdasarkan Kelompok Umur

Tabel 4.5 Persentase Sifat Peningkatan Ambang Dengar Kelompok Penelitian Berdasarkan Kelompok Umur

Kelompok Umur

Sifat Peningkatan Ambang Dengar

Sementara Menetap Tidak ada peningkatan

n (%) n (%) n (%)

≤ 24 6 (85,7) 3 (100,0) 18 (90,0)

> 25 1 (14,3) 0 (0,0) 2 (10,0)

Total 7 (100,0) 3 (100,0) 20 (100,0)

df = 2 X2= 0,144 p = 0,788

Dari tabel diatas persentase sifat pendengaran ambang dengar kelompok penelitian berdasarkan kelompok umur, kelompok umur ≤ 24 tahun (kelompok I) dibandingkan dengan kelompok umur > 25 tahun (kelompok II) , pada kelompok I sifat peningkatan ambang dengar sementara 6 orang (84,7%) sedangkan kelompok II 1 orang (14,3%). Sifat peningkatan ambang dengar menetap kelompok I 3 orang (100%) sedangkan kelompok II tidak dijumpai (0%). Tidak ada peningkatan ambang dengar kelompok I 18 orang (90%) sedangkan kelompok II 2 orang (10%).

Sifat peningkatan ambang dengar dibandingkan dengan kelompok umur secara statistik tidak menunjukkan hasil yang signifikan. (p>0.05).


(54)

4.5 Persentase Frekuensi Gangguan Dengar Kelompok Penelitian Berdasarkan Pemakaian Alat Pelindung Diri

Tabel 4.6. Persentase Frekuensi Gangguan Dengar Kelompok Penelitian Berdasarkan Pemakaian Alat Pelindung Diri

Jenis Pelindung Telinga

Frekuensi Gangguan Dengar Tidak

terjadi Rendah Sedang Tinggi n (%) n (%) n (%) n (%)

Tanpa pelindung 10 (50,0) 0 (0,0) 0 (0,0) 9 (90,0) Dengan pelindung 10 (50,0 0 (0,0) 0 (0,0) 1 (10,0)

Total 20 (100,0)

0 (0,0) 0 (0,0)

10 (100,0)

df = 1 X2 = 0,144 p =0,037

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa ada 19 orang yang tidak memakai APD dan 9 orang (90%) mengalami gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi, sedangkan 11 orang yang menggunakan APD, hanya 1 orang (10%) yang mengalami gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi.

Persentase frekuensi gangguan dengar kelompok penelitian berdasarkan pemakaian alat pelindung diri secara statistik tidak menunjukkan hasil yang signifikan. (p>0.05).


(55)

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Hasil penelitian berdasarkan kartakteristik subyek penelitian

Hasil penelitian berdasarkan kartakteristik subyek penelitian menunjukkan, subyek penelitian dengan usia 18-24 tahun sebanyak 27 orang kelompok paparan dan 1 orang kelompok kontrol (non paparan). Usia 25-34 tahun terdiri dari 3 orang kelompok paparan dan 15 orang kelompok kontrol (non paparan). Sedangkan usia > 35 tahun hanya ada kelompok kontrol (non paparan) sebanyak 14 orang.

Pada penelitian di Finlandia dan Korea rata – rata responden berumur antara 20 – 40 tahun, dan terbanyak pada kisaran umur 30 - 35 tahun (33%)

Coles (1963), Millitary of South Korean, (2007).

Di Indonesia komposisi umur prajurit yang aktif di batalyon yang paling dominan adalah pada umur 30 s/d 35 tahun. Rata – rata umur personil Batalyon di seluruh Indonesia adalah 19 s/d 45 tahun. ( PENDAM, 2005).

Subyek penelitian dengan masa kerja 1-5 tahun sebanyak 2 orang hanya pada kelompok non paparan. Subyek dengan masa kerja 6-10 tahun, kelompok paparan sebanyak 30 orang dan kelompok non paparan sebanyak 14 orang. Sedangkan > 10 tahun hanya kelompok non paparan sebanyak 14 orang.

Pada penelitian ini kelompok paparan diambil dengan mempertimbangkan awal masuk ke dalam dunia militer, sehingga jumlah sampel sama dalam masa dinasnya, sedangkan kelompok kontrol lebih bervariasi.

Kebijaksanaan pimpinan dalam melaksanakan rotasi jabatan mempertimbangkan berbagai aspek, salah satunya adalah lama berdinas. Batalyon adalah satuan tempur yang mempunyai mobilitas tinggi, baik dalam latihan maupun tugas operasi. Prajurit yang berdinas di batalyon biasanya tidak


(56)

lebih dari 15 tahun, walaupun ada yang lebih lama dari 15 tahun, kemungkinan mempertimbangkan aspek asal daerah maupun keluarga.

Subyek penelitian berdasarkan pangkat menunjukkan 2 orang dengan pangkat perwira masuk ke dalam kelompok kontrol (non paparan). Pada kelompok kontrol juga terdapat 2 orang bintara. Pada pangkat tamtama ditemukan 30 orang kelompok paparan dan 16 orang kelompok kontrol (non paparan). Sedangkan PNS ditemukan 10 orang pada kelompok kontrol (non paparan). Tidak ada perwira, bintara maupun PNS pada kelompok paparan.

5.2 Rata –rata Intensitas Bunyi Senjata

Penghitungan intensitas rata-rata bunyi senjata senapan serbu (SS) 1 R5 adalah 107,66 dB dengan melakukan 30 ( tiga puluh) tembakan

Pada penelitian Paakkonen et.al (2000), ditemukan intensitas bunyi senjata laras panjang dan pistol yang digunakan pada latihan menembak militer di Finlandia adalah berkisar antara 155 – 168 dB. Sedangkan NATO (1987) mengatakan bahwa bunyi senjata militer dapat mencapai diatas 180 dB. Menurut Occupational Safety and Health Administration (OSHA) intensitas bunyi senjata api antara 140 – 170 dB.

Hasil penelitian militer Korea Selatan yang menggunakan pistol K-5 revolver ( 9 mm, Daewoo Precision Industries co., Ltd.) dan juga senjata K-2 ( 5.56 mm, Daewoo Precision Industries co., Ltd.), intensitas bunyi pistol K-5 ± 143.6 dB dan senjata K-2 ± 161.2 dB.

Penelitian Coles (1963), menyatakan bahwa tingkat tekanan suara dari senjata otomatis sebesar 174 dB.

Budiyanto. A (2003) mencatat intensitas bunyi senjata berdasarkan jenisnya antara lain :

- 22 LR Rimfire Rifle : 134 dB


(57)

- 243 Rifle : 156 dB - 30.30 Rifle : 156 dB

- 308 Rifle : 156 dB

- 30.06 Rifle : 159 dB

Pada penelitian ini intensitas bunyi senjata SS1 R5 masih dibawah dari intensitas bunyi senjata sejenis yang sudah di publikasikan, hal ini kemungkinan karena peneliti hanya melakukan uji pada satu pucuk senjata saja dan hanya melakukan 30 (tiga puluh) kali tembakan, karena keterbatasan amunisi. Perbedaan intensitas bunyi senjata juga dimungkinkan karena perbedaan tahun pembuatan ataupun merek senjata itu sendiri.

Walaupun hasil intensitas bunyi yang ditimbulkan senjata organik Yonif 100 Raider masih lebih rendah daripada intensitas bunyi senjata lainnya, tetapi hasilnya lebih tinggi dari nilai ambang batas yang diperbolehkan yakni 85 dB.

5.3 Penilaian Fungsi Pendengaran

Dari tabel 4.2 menunjukan bahwa pada kelompok paparan, sebelum dilakukan penelitian, tidak dijumpai kelainan pada ambang dengarnya. Hal ini karena peneliti hanya mencari subyek (paparan) yang memang tidak ada gangguan pada pendengarannya, yang didasari dari hasil pemeriksaan THT rutin dan audiometri nada murni. Pada awalnya peneliti menjumpai 33 orang yang memenuhi syarat satu angkatan masuk tentara dan Yonif 100 Raider, tetapi 3 orang di ekslusi karena ada gangguan pada hasil audiometrinya.

Pada kelompok non paparan dijumpai adanya tuli saraf pada telinga kanan, ringan 2 (6,67%), sedang 2 (6,67%), berat 1 (3,33%) dan tuli konduktif telinga kanan, ringan 1 (3,33%), sedang 1 (3,33%) . Pada telinga kiri, tuli saraf ringan 2 (6,67%), sedang 2 (6,67%) tidak dijumpai tuli saraf berat, sedang tuli konduktif telinga kiri ringan 1 (3,33%) tidak ditemukan tuli konduktif sedang ataupun berat.


(58)

Kelainan pada kelompok non paparan kemungkinan disebabkan berbagai faktor (antara lain infeksi, autoimun, vascular dsb.) yang tidak terdeteksi dalam kuisioner.

Tetapi pada penelitian ini yang dinilai adalah peningkatan ambang dengar

setelah dilakukan paparan letusan senjata.

5.4. Fungsi Pendengaran Setelah Paparan

Fungsi pendengaran setelah paparan terlihat bahwa peningkatan ambang dengar <25 dB yang terjadi pada kelompok paparan, secara statistik bermakna (p<0,001). Setelah hari ke dua puluh satu, 7 orang (23,3%) dari kelompok yang terjadi peningkatan ambang dengar menjadi normal kembali, sedangkan 3 orang (10%) menetap.

Adapun gangguan dengar pada kelompok paparan, seluruhnya terjadi pada frekuensi tinggi, sedangkan pada kelompok non paparan 7 orang (23,3%) terjadi pada frekuensi tinggi dan 2 orang (6,7%) pada frekuensi sedang.

Tingkat “recovery” dari peningkatan ambang dengar pada penelitian ini hanya dievaluasi 21 hari setelah paparan. Ada kemungkinan “recovery” fungsi pendengaran tersebut setelah 21 hari, tergantung dari kondisi fisik serta daya tahan tubuh individual prajurit.

Dari hasil perhitungan risiko relatif didapatkan bahwa risiko gangguan dengar frekuensi tinggi kelompok paparan dibandingkan kelompok non paparan setelah dilakukan perhitungan risiko relatif adalah 6.09 kali lebih besar.

Data yang didapat dari membandingkan telinga kanan dan kiri kelompok paparan adalah didapat peningkatan ambang dengar kelompok paparan, pada telinga kanan < 25 dB sebanyak 8 (26,7%) dan pada telinga kiri < 25 dB sebanyak 7 (23,3%), pada kedua telinga atau bilateral < 25 dB sebanyak 5 (8,3%) dan tidak terjadi 55 (91,7%).


(1)

Total Count 30 % within Kelompok Penelitian 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 13.469a 1 .000

Continuity Correctionb 11.132 1 .001

Likelihood Ratio 17.740 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association

13.245 1 .000

N of Valid Cases 60

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,50. b. Computed only for a 2x2 table

Kelompok Umur * Sifat Peningkatan Ambang Dengar

Crosstab

Sifat Peningkatan Ambang Dengar

Sementara Menetap

Kelompok Umur <= 24 Count 6 3

% within Sifat Peningkatan Ambang Dengar

85.7% 100.0%

> 25 Count 1 0

% within Sifat Peningkatan Ambang Dengar

14.3% .0%

Total Count 7 3

% within Sifat Peningkatan Ambang Dengar


(2)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square .476a 2 .788

Likelihood Ratio .760 2 .684

Linear-by-Linear Association .045 1 .832 N of Valid Cases 30

a. 4 cells (66,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,30.

Kelompok Umur * Frekuensi Gangguan Dengar

Crosstab

Frekuensi Gangguan Dengar

Tidak terjadi Tinggi Total

Kelompok Umur <= 24 Count 18 9 27

% within Frekuensi Gangguan Dengar

90.0% 90.0% 90.0%

> 25 Count 2 1 3

% within Frekuensi Gangguan Dengar

10.0% 10.0% 10.0%

Total Count 20 10 30

% within Frekuensi Gangguan Dengar

100.0% 100.0% 100.0%


(3)

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square .000a 1 1.000

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .000 1 1.000

Fisher's Exact Test 1.000 .749

Linear-by-Linear Association .000 1 1.000

N of Valid Cases 30

a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,00. b. Computed only for a 2x2 table

Jenis Pelindung Telinga * Sifat Peningkatan Ambang Dengar

Crosstab

Sifat Peningkatan Ambang Dengar

Sementara Menetap Jenis Pelindung Telinga Tanpa pelindung Count 6 3

% within Sifat Peningkatan Ambang Dengar

85.7% 100.0%

Dengan pelindung Count 1 0

% within Sifat Peningkatan Ambang Dengar

14.3% .0%

Total Count 7 3

% within Sifat Peningkatan Ambang Dengar


(4)

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 4.778a 2 .092

Likelihood Ratio 5.962 2 .051

Linear-by-Linear Association 3.491 1 .062

N of Valid Cases 30

a. 4 cells (66,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,10.

Jenis Pelindung Telinga * Frekuensi Gangguan Dengar

Crosstab

Frekuensi Gangguan Dengar

Tidak terjadi Jenis Pelindung Telinga Tanpa pelindung Count 10

% within Frekuensi Gangguan Dengar

50.0%

Dengan pelindung Count 10

% within Frekuensi Gangguan Dengar

50.0%

Total Count 20

% within Frekuensi Gangguan Dengar


(5)

Crosstab

Frekuensi Gangguan Dengar

Tinggi Total Jenis Pelindung Telinga Tanpa pelindung Count 9 19

% within Frekuensi Gangguan Dengar

90.0% 63.3%

Dengan pelindung Count 1 11

% within Frekuensi Gangguan Dengar

10.0% 36.7%

Total Count 10 30

% within Frekuensi Gangguan Dengar

100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 4.593a 1 .032

Continuity Correctionb 3.032 1 .082

Likelihood Ratio 5.202 1 .023

Fisher's Exact Test .049 .037

Linear-by-Linear Association 4.440 1 .035


(6)

CURICULUM VITAE

I. IDENTITAS

1. Nama

: dr. Riki Markian

2. Tempat/ Tanggal lahir : Medan / 28 Maret 1974

3. Alamat : Jl.Gaperta IX H-63 Komplek Pamen

KODAM I/BB Medan

4. No Telp/ HP

: 061 77703304 / 081370124100

II. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. 1980- 1986

: SDN 060903/43 Medan

2. 1986-1989

: SLTPN 2 Medan

3. 1989-1992

: SMUN 2 Medan

4. 2008- Sekarang

: PPDS I. Kes THT-KL FK USU Medan

II. RIWAYAT PEKERJAAN

Tahun 2003

: Pama Ditkesad

Tahun 2003 - 2007 : Dokter Batalyon infanteri 100 Raider

Kodam I Bukit Barisan SUMUT

Tahun 2007 - 2008

: Dokter pribadi Pangdam I Bukit Barisan

Tahun 2008 – Sekarang

: Pama Ditkesad (Dik Spes)

III. KEANGGOTAAN PROFESI

1. 2001- 2007

: Anggota IDI Cabang Binjai, SUMUT

2. 2008

: Anggota IDI Cabang Medan, SUMUT

2. 2008- sekarang

: Anggota Muda PERHATI-KL Cabang SUMUT

(dr. Riki Markian)