Skrining Pendengaran Prajurit Batalyon Infantri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan

(1)

SKRINING PENDENGARAN PRAJURIT BATALYON INFANTRI 100 RAIDER KODAM I BUKIT BARISAN

TESIS

Oleh : RIKI MARKIAN

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr , Wb . .

Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, Saya sampaikan rasa puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karuniaNya , saya dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister di bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala Leher di Departemen THT – KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP H Adam Malik Medan. Saya menyadari bahwa tulisan ini mungkin jauh dari sempurna baik isi maupun bahasanya, namun demikian saya berharap tulisan ini dapat menambah wawasan kita mengenai skrining pendengaran prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan, Medan.

Dengan telah berakhir masa penelitian, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankan saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :

Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk megikuti Program Pendidikan Magister Dokter Spesialis di Departemen THT – KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya umtuk mengikuti Program Pendidikan Magister Dokter Spesialis di Fakultas ini


(3)

Yang terhormat Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan yang telah megizinkan saya balajar dan bekerja dilingkungan Rumah Sakit ini

Yang terhormat dr. Adlin Adnan Sp THT KL , sebagai Ketua pembimbing, dr. T. Siti Hajar Haryuna Sp THT KL, dr. Mangain Hasibuan Sp THT KL sebagai anggota pembimbing yang telah banyak memberi petunjuk, perhatian, motivasi, kemudahan serta bimbingan sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Saya ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setingi – tingginya atas waktu dan bimbingan tang telah diberikan selama dalam penelitian dan penulisan tesis ini.

Rasa terima kasih yang setinggi – tingginya saya ucapkan kepada Prof. Dr. Albiner Siagian MSi serta para staff Epi Treat unit USU , sebagai pembimbing ahli yang telah memberikan waktu, perhatian dan bimbingan sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Yang terhormat Prof. dr. H .Abdul Rachman Saragih Sp THT-KL (K), sebagai Ketua Departemen THT KL FK USU/RSUP H.Adam Malik medan yang telah banyak memberikan petunjuk, bimbingan, pengarahan, nasehat, motivasi dan dorongan semangat selama saya mengikuti pendidikan di Departemen THT KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.

Yang terhormat Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I di Departemen THT KL FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan.dr. T . Siti Hajar Haryuna Sp THT KL dan Ketua Program Studi Dokter Spesialis I di Departemen THT KL FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan periode sebelumnya, Prof,dr Askaroellah Aboet Sp THT KL (K) atas petunjuk, bimbingan dan nasehat selama saya mengikuti pendidikan di Departemen THT KL FKL USU/RSUP H. Adam Malik Medan.


(4)

Yang terhormat guru saya dijajaran THT-KL FK USU/ RSUP H.Adam Malik Medan, Prof, dr Ramsi Lutan Sp THT KL (K), Prof. dr Askaroellah Aboet Sp THT KL (K), dr Yuritna Haryono Sp THT KL(K), dr. Muzakkir Zamzam Sp THT KL (K), dr. Linda I Adnin Sp THT KL . Dr.dr. Delfitri Munir Sp THT KL (K) , ( Almh) dr. Hafni Sp THT KL (K), dr. Adlin Adnan Sp THT KL, dr. Rizalina A Asnir Sp THT KL (K), dr. Siti Nursiah Sp THT KL, dr. Andrina YM Rambe Sp THT KL, dr. Harry A. Asroel Sp THT KL, dr. Farhat Sp THT KL (K) , dr. Aliandri Sp THT KL. dr. Asri Yudishtira Sp THT KL. dr. Devira Zahara Sp THT KL. dr. R Yusa Herwanto Sp THT KL. dr. M.Pahala Hanafi HRP Sp THT KL. dr Ferryan Sofian Sp THT KL, yang telah banyak memberi bimbingan dalam ilmu pengetahuan di biadang THT KL. baik teori maupun keterampilan yang kiranya sangat bermanfaat bagi saya dikemudian hari.

Yang terhormat Komandan Batalyon Infanteri 100 Raider yang memberikan izin serta memfasilitasi penelitian ini, serta seluruh prajurit yang meluangkan waktu disela-sela latihan untuk mengikuti penelitian ini, dari hati yang paling dalam saya mengucapkan terima kasih.

Teristimewa untuk ayahanda tercinta (Alm) AKBP (purn) H.Nurman M. , dan ibunda tercinta Hj. Syamsiar serta Ir. H. Dirhamsyah dan ( Almh) Hj. Roslina, serta abang Letkol Inf. Cucu Zaenal Arifin dan kakak Wahyu Rahmawati SH yang selalu mendoakan dan memberikan dorongan, bantuan moril dan materil selama saya mengikuti pendidikan ini.

Terima kasih atas doa, pengertianya dan dukungannya selama penulis menyelesaikan pendidikan ini, semoga budi baik yang telah diberikan mendapatkan imbalan dari Allah SWT.


(5)

Ungkapan cinta kasih yang tulus kepada istriku tercinta drg. Kusmala Dewi yang selalu sabar dan selalu memberikan dukungan dan semangat selama saya menjalani pendidikan ini, serta putra putri tercinta M. Faiz Abdilillah dan Azalia Nurul Aini yang memberikan semangat selama saya menjalani pendidikan ini

Yang tercinta teman – teman sejawat peserta pendidikan keahlian Kesehatan THT Bedah Kepala Leher yang telah bersama – sama baik dalam suka maupun duka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat, dengan harapan teman- teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelasaikan studi ini. Semoga Allah selalu memberikan berkah kita semua

Kepada paramedis dan karyawan Departemen THT KL FK USU / RSUP H Adam Malik Medan. yang banyak membantu dan berkerjasama selama saya menjalani pendidikan ini saya ucapkan terima kasih. Ijinkan saya memohon maaf yang setulus – tulusnya atas segala kesalahan den kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, bimbingan, motivasi dan kerjasama kepada saya selama menjalani pendidikan.dan mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin Ya Robbal Alamin

Wassalamualaikum Wr. Wb

Medan. 2011


(6)

SKRINING PENDENGARAN PRAJURIT BATALYON INFANTERI 100 RAIDER KODAM I BUKIT BARISAN

Abstrak

Tujuan : Untuk mengetahui bagaimana gambaran gangguan pendengaran akibat bising

pada prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan.

Metode : Desain penelitian adalah penelitian deskriptif dengan rancangan potong lintang

(crossectional study).

Hasil : diketahui bahwa intensitas rata-rata bunyi senjata pistol FN US 45 adalah 92,52 dB

dan intensitas rata-rata bunyi senapan serbu (SS) 1 R5 adalah 107,66 dB. Jenis APD yang biasa digunakan adalah ear plug 12 ( 24% ) dan ear muff hanya 2 ( 4 % ) sedangkan selebihnya tidak memakai APD sebanyak 36 ( 72% ). Jenis gangguan pendengaran responden, pada telinga kanan tuli sensorineural 11 (22%) selebihnya normal (78%). Tidak ditemukan tuli konduktif ataupun tuli campuran. Pada telinga kiri, tuli sensorineural 6 orang (12%) dan normal 44 (88%) . Tidak ditemukan tuli konduktif ataupun tuli campuran. Kelompok umur < 30 tahun dijumpai 12 orang yang normal, 1 orang menderita derajat ketulian ringan dan 1 orang menderita derajat ketulian sedang. Pada kelompok umur >30 tahun yang normal 27 orang, menderita derajat ketulian ringan 9 orang dan tidak dijumpai adanya derajat ketulian sedang.

Kesimpulan : Walaupun secara klinis terjadi gangguan dengar ringan, penelitian ini

menggambarkan bahwa bunyi senjata organik ( FN US 45 dan SS1 R 5 ) tidak mengakibatkan penurunan fungsi pendengaran prajurit lebih besar dari 25 dB, dengan atau tanpa APD.


(7)

HEARING SCREENING OF THE BATALYON INFANTERI 100 RAIDER SOLDIER KODAM I BUKIT BARISAN

Abstract

Aim: To know the picture of hearing disorder due to noice of the batalyon infantri 100

Raider Kodam I Bukit Barisan

Methode: Study design that used is descriptive with crossectional study

Result: Known that the intensity of the gun FN US 45 is 92,52 dB and intensity noise SS

1R5 rifle is 107,66 dB. Hearing protector type used is ear plug 12 (24%) and ear muff only 2 (44%), mean while the rest who don’t use hearing protector is 36 (72%). The types of responden hearing disorder, on deaf right ear sensorineural 11 (22%), therest is normal (78%). It is not found conductive deafness or mixed deafness. On the left ear, sensorineural deafness 6 (12%) and normal 44 (88%). It is not found conductive deafness or mixed deafness. Group aged < 30 old years found 12 normal, 1 found with mild deafness and 1 moderatdeafness. Group aged > 30 old years normal 27, with mild deafness 9 and not found is moderate deafness.

Conclusion: Althought clinically found mild disorder, this reserch is showed that sound

from weapon does not cause reduction of the hearing of soldier more than 25 dB, with on without hearing protector


(8)

DAFTAR TABEL DAN GRAFIK Tabel 4.1 Gambaran Responden Penelitian.

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lama Dinas di Yonif 100 Raider. Tabel 4.3 Rata-rata Intensitas Bunyi Senjata.

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Pemakaian Alat Pelindung Diri ( APD ). Grafik 4.1 Rata–rata intensitas bunyi senjata.

Grafik 4.2 Distribusi frekuensi pemakaian alat pelindung diri ( APD ). Tabel 4.5 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis gangguan pendengaran. Tabel 4.6 Distribusi frekuensi derajat ketulian berdasarkan kelompok umur Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Lama Berdinas dengan Derajat Ketulian


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Telinga Gambar 2.2 Anatomi Telinga Dalam Gambar 2.3 Kohklea

Gambar 2.4 Organ Corti

Gambar 2.5 Skema Fisiologi Pendengaran Gambar 2.6 Gambaran audiometri normal

Gambar 2.7 Gambaran audiometri tuli sensorineural Gambar 2.8 Gambaran audiometri tuli konduktif Gambar 2.9 Gambaran audiometri tuli campuran Gambar 2.10 Gambaran audiometri tuli akibat bising

Gambar 2.11 Kerangka Konsep Kaitan antara Paparan Bising dan Gangguan Pendengaran Akibat Bising pada Prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan

Gambar 2.12 Kerangka Kerja Anamnesis dan Pemeriksaan Audiometri pada Parajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan

Gambar 4.1. Senjata FN US-45

Gambar 4.2. Senjata senapan serbu (SS) 1 R5

Gambar 4.3. Suasana Pemeriksaan THT Rutin dan Audiometri Gambar 5.1. Prajurit Yonif 100 Raider

Gambar 5.2. Treshold of hearing


(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... v

DAFTAR TABEL DAN GRAFIK ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR ISI ……….. ix

BAB 1. PENDAHULUAN ……… 1

1.1. Latar Belakang ………... 1

1.2. Perumusan Masalah ……….. 3

1.3. Tujuan Penelitian ………... 3

1.3.1 Tujuan Umum …... 3

1.3.2 Tujuan Khusus ………... 3

1.4. Manfaat Penelitian ………... 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ………... 5

2.1. Anatomi Telinga ………... 5

2.1.1. Vaskularisasi telinga dalam ... 11

2.1.2. Persarafan telinga dalam ... 12

2.2. Fisiologi Pendengaran ………...……... 12

2.3. Jenis Gangguan Pendengaran ……...……... 14

2.4. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap gangguan pendengaran ... 15


(11)

2.5.1. Sifat gelombang suara ... 19

2.5.2. Intensitas bunyi : Desibel (dB) ... 20

2.6. Audiometri nada murni ... 21

2.7. Perlindungan Fungsi Pendengaran ... 25

2.8. Jenis Senjata ……… 26

2.9. Kerangka Konsep ……….. 27

2.10. Kerangka Kerja ……… 2

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 28

3.1. Rancangan Penelitian ………. 28

3.2. Lokasi Penelitian ………...……. 28

3.3. Populasi, Sampel, Besar Sampel, Teknik Pengambilan Sampel ………... 28

3.3.1 Populasi ……… 28

3.3.2 Sampel Penelitian ………. 28

3.3.3 Besar Sampel ………... 29

3.4. Variabel Penelitian ……… 29

3.5. Definisi Operasional ……….. 30

3.6. Bahan dan Alat Penelitian ………. 32

3.7. Cara Kerja ……… 32


(12)

BAB 4. HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Responden Penelitian ……… 34 4.1.1. Distribusi frekuensi responden berdasarkan

lama dinas di Yonif 100 Raider ……… 35 4.2. Gambaran jenis senjata yang digunakan ………... 35 4.2.1. Spesifikasi pistol FN US 45 ……… 35 4.2.2. Spesifikasi senjata senapan serbu ( SS ) 1 R5 …. 36 4.3. Distribusi frekuensi pemakaian alat pelindung diri ( APD ) … 38 4.4. Distribusi frekuensi berdasarkan jenis gangguan pendengaran 38

4.5. Distribusi frekuensi derajat ketulian berdasarkan

kelompok umur ……… 40 4.6. Distribusi frekuensi lama berdinas dengan derajat ketulian .. 41

BAB 5. PEMBAHASAN

5.1. Gambaran Responden Penelitian ……….. 42 5.1.1. Distribusi frekuensi responden berdasarkan

lama dinas di Yonif 100 Raider ………. 43 5.2. . Rata –rata intensitas bunyi senjata ………. 43 5.3. Distribusi frekuensi pemakaian alat pelindung diri ( APD ).. 45 5.4. Distribusi frekuensi berdasarkan jenis gangguan

pendengaran ………. 46

5.5. Distribusi frekuensi derajat ketulian berdasarkan


(13)

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan ………... 49

6.2. Saran ………... 50

PERSONALIA PENELITIAN ……… 51

KEPUSTAKAAN ………... 53


(14)

SKRINING PENDENGARAN PRAJURIT BATALYON INFANTERI 100 RAIDER KODAM I BUKIT BARISAN

Abstrak

Tujuan : Untuk mengetahui bagaimana gambaran gangguan pendengaran akibat bising

pada prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan.

Metode : Desain penelitian adalah penelitian deskriptif dengan rancangan potong lintang

(crossectional study).

Hasil : diketahui bahwa intensitas rata-rata bunyi senjata pistol FN US 45 adalah 92,52 dB

dan intensitas rata-rata bunyi senapan serbu (SS) 1 R5 adalah 107,66 dB. Jenis APD yang biasa digunakan adalah ear plug 12 ( 24% ) dan ear muff hanya 2 ( 4 % ) sedangkan selebihnya tidak memakai APD sebanyak 36 ( 72% ). Jenis gangguan pendengaran responden, pada telinga kanan tuli sensorineural 11 (22%) selebihnya normal (78%). Tidak ditemukan tuli konduktif ataupun tuli campuran. Pada telinga kiri, tuli sensorineural 6 orang (12%) dan normal 44 (88%) . Tidak ditemukan tuli konduktif ataupun tuli campuran. Kelompok umur < 30 tahun dijumpai 12 orang yang normal, 1 orang menderita derajat ketulian ringan dan 1 orang menderita derajat ketulian sedang. Pada kelompok umur >30 tahun yang normal 27 orang, menderita derajat ketulian ringan 9 orang dan tidak dijumpai adanya derajat ketulian sedang.

Kesimpulan : Walaupun secara klinis terjadi gangguan dengar ringan, penelitian ini

menggambarkan bahwa bunyi senjata organik ( FN US 45 dan SS1 R 5 ) tidak mengakibatkan penurunan fungsi pendengaran prajurit lebih besar dari 25 dB, dengan atau tanpa APD.


(15)

HEARING SCREENING OF THE BATALYON INFANTERI 100 RAIDER SOLDIER KODAM I BUKIT BARISAN

Abstract

Aim: To know the picture of hearing disorder due to noice of the batalyon infantri 100

Raider Kodam I Bukit Barisan

Methode: Study design that used is descriptive with crossectional study

Result: Known that the intensity of the gun FN US 45 is 92,52 dB and intensity noise SS

1R5 rifle is 107,66 dB. Hearing protector type used is ear plug 12 (24%) and ear muff only 2 (44%), mean while the rest who don’t use hearing protector is 36 (72%). The types of responden hearing disorder, on deaf right ear sensorineural 11 (22%), therest is normal (78%). It is not found conductive deafness or mixed deafness. On the left ear, sensorineural deafness 6 (12%) and normal 44 (88%). It is not found conductive deafness or mixed deafness. Group aged < 30 old years found 12 normal, 1 found with mild deafness and 1 moderatdeafness. Group aged > 30 old years normal 27, with mild deafness 9 and not found is moderate deafness.

Conclusion: Althought clinically found mild disorder, this reserch is showed that sound

from weapon does not cause reduction of the hearing of soldier more than 25 dB, with on without hearing protector


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang Penelitian

Sebagai satuan pemukul Kodam, Yonif 100 Raider memiliki persenjataan yang khusus dibandingkan batalyon infanteri lain dan intensitas latihan yang lebih sering. Latihan menembak dilakukan baik secara perorangan maupun kelompok secara periodik, tetapi sering juga dilakukan dalam upaya antisipasi kegiatan di Kodam I/BB seperti HUT Kodam, kunjungan tamu very very important persons (VVIP), latihan bersama dengan tentara negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. (PENDAM, 2005)

Pada saat menembak, seorang prajurit dapat menghabiskan 30 butir peluru yang dibagi : sikap berdiri 10 butir, sikap duduk 10 butir dan sikap tiarap 10 butir, ini di habiskan hanya sekali latihan. Seorang prajurit dalam seminggu dapat melakukan 3-4 latihan menembak sehingga diperkirakan menghabiskan 90-120 butir peluru.

Pada saat menembak, prajurit petembak ataupun pelatih jarang yang memakai pelindung telinga, karena memang tidak ada keharusan memakai pelindung telinga seperti

ear plug atau ear muff.

Setiap prajurit infanteri, dalam melaksanakan tugas kemiliterannya harus secara profesional dengan ditunjang kemampuan fisik yang prima, termasuk di dalamnya kemampuan optimal dari panca inderanya. Setelah selesai melaksanakan seluruh tugas kemiliterannya (Purnawira), seorang mantan prajurit harus masih memiliki kemampuan fisik (termasuk kemampuan panca inderanya) yang masih baik, sehingga dalam kehidupan kembali ke masyarakat masih mempunyai kualitas hidup yang baik. Hal ini sesuai dengan


(17)

tujuan pembangunan kesehatan Bangsa Indonesia, Garis-garis Besar Haluan Negara 1998 dalam Pelita IV yang mengarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan usia harapan hidup (Rencana PJP VII Bidang Kesehatan 1999-2004) (Rustam, 2004).

Pada saat prajurit infanteri melakukan latihan menembak, baik pistol ataupun senapan, maka kebisingan yang ditimbulkan senjata tersebut diperkirakan telah melampaui tingkat kebisingan yang diijinkan di suatu lingkungan kerja yang mempunyai batas 85 dB (Sesuai petikan S.E. Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No. 01/MEN/1978 tanggal 7-2-1978) (Sasongko, 2003)

Analisis kurva audiogram nada murni pada 361 orang Finlandia yang mengalami trauma akustik dalam dinas militer mendapatkan hasil 75% telinga mengalami gangguan dengar nada tinggi, diatas frekuensi 2 kHz, dan 25% mengalami gangguan dengar pada frekuensi percakapan (Ylikoski J, 1987).

Penelitian pendengaran terhadap 134 anggota militer Kanada kecabangan infanteri , arteleri dan kavaleri secara prospektif pada saat mulai bekerja dan 3 tahun setelah bekerja, ditemukan 11% prajurit kecabangan infanteri mengalami peningkatan ambang dengar ringan sampai sedang pada telinga kiri lebih dari 25 dB, karena selalu menggunakan pistol kaliber kecil (Pelausa EO et al, 1995).

Di Indonesia ada beberapa penelitian yang menghubungkan masalah kebisingan terhadap prajurit. Penelitian Zuldidzaan (1995) pada awak pesawat helikopter TNI AU dan AD mendapatkan paparan bising antara 86-117 dB dengan prevalensi NIHL 27,16% dan


(18)

Sasongko S (2003) menemukan rata-rata tingkat tekanan suara meriam pada jarak 1 meter sebesar 173.4 dBA.

Sampai saat ini data-data maupun penelitian tentang bising yang ditimbulkan oleh senjata organik yang biasa digunakan prajurit TNI-AD, khususnya Yonif 100 Raider serta skrining pendengaran prajurit belum ada, karena hal itulah peneliti tertarik untuk melakukan penelitian skrining pendengaran terhadap prajurit Batlyon Infanteri 100 Raider, dimana peneliti pernah bertugas selama ± 4 tahun sebagai dokter batalyon.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran gangguan pendengaran akibat bising pada prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan”.

1.3Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran gangguan pendengaran akibat bising pada prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan.

1.3.2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui rerata intensitas bunyi senjata yang dipergunakan pada saat melakukan latihan menembak prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan.


(19)

b. Untuk mengetahui distribusi kelainan audiogram pada prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan.

c. Mengetahui lamanya paparan bising senjata pada prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini sebagai masukan untuk penyusunan kebijakan pimpinan TNI pada umumnya dan TNI-AD pada khususnya dalam program latihan menembak, dalam rangka upaya perlindungan pendengaran para prajurit TNI.

2. Sebagai bahan masukan bagi pencegahan gangguan pendengaran bagi pihak-pihak yang melakukan aktifitas sejenis (pihak yang menggunakan senjata api).


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga

Secara umum telinga terbagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar sendiri terbagi atas daun telinga, liang telinga dan bagian lateral dari membran timpani (Lee K.J,1995; Mills JH et al, 1997).

Daun telinga di bentuk oleh tulang rawan dan otot serta ditutupi oleh kulit. Ke arah liang telinga lapisan tulang rawan berbentuk corong menutupi hampir sepertiga lateral, dua pertiga lainnya liang telinga dibentuk oleh tulang yang ditutupi kulit yang melekat erat dan berhubungan dengan membran timpani. Bentuk daun telinga dengan berbagai tonjolan dan cekungan serta bentuk liang telinga yang lurus dengan panjang sekitar 2,5 cm, akan menyebabkan terjadinya resonansi bunyi sebesar 3500 Hz (Mills JH et al, 1997).

Telinga tengah berbentuk seperti kubah dengan enam sisi. Telinga tengah terbagi atas tiga bagian dari atas ke bawah, yaitu epitimpanum terletak di atas dari batas atas membran timpani, mesotimpanum disebut juga kavum timpani terletak medial dari membran timpani dan hipotimpanum terletak kaudal dari membran timpani (Liston SL et al,1989; Pickles JO,1991).

Organ konduksi di dalam telinga tengah ialah membran timpani, rangkaian tulang pendengaran, ligamentum penunjang, tingkap lonjong dan tingkap bundar (Liston SL et al,1989; Pickles JO,1991; Mills JH et al, 1997).

Kontraksi otot tensor timpani akan menarik manubrium maleus ke arah anteromedial, mengakibatkan membran timpani bergerak ke arah dalam, sehingga besar


(21)

energi suara yang masuk dibatasi (Liston SL et al,1989; Pickles JO,1991; Mills JH et al, 1997).

Fungsi dari telinga tengah akan meneruskan energi akustik yang berasal dari telinga luar kedalam koklea yang berisi cairan. Sebelum memasuki koklea bunyi akan diamplifikasi melalui perbedaan ukuran membran timpani dan tingkap lonjong, daya ungkit tulang pendengaran dan bentuk spesifik dari membran timpani. Meskipun bunyi yang diteruskan ke dalam koklea mengalami amplifikasi yang cukup besar, namun efisiensi energi dan kemurnian bunyi tidak mengalami distorsi walaupun intensitas bunyi yang diterima sampai 130 dB (Mills JH et al, 1997).

Aktifitas dari otot stapedius disebut juga reflek stapedius pada manusia akan muncul pada intensitas bunyi diatas 80 dB (SPL) dalam bentuk reflek bilateral dengan sisi homolateral lebih kuat. Reflek otot ini berfungsi melindungi koklea, efektif pada frekuensi kurang dari 2 khz dengan masa latensi 10 mdet dengan daya redam 5-10 dB. Dengan demikian dapat dikatakan telinga mempunyai filter terhadap bunyi tertentu, baik terhadap intensitas maupun frekuensi (Liston SL et al,1989; Pickles JO,1991; Mills JH et al, 1997; Wright A, 1997).


(22)

Gambar 2.1. Anatomi Telinga (Dhingra PL., 2007)

Telinga dalam terdiri dari organ kesimbangan dan organ pendengaran. Telinga dalam terletak di pars petrosus os temporalis dan disebut labirin karena bentuknya yang kompleks. Telinga dalam pada waktu lahir bentuknya sudah sempurna dan hanya mengalami pembesaran seiring dengan pertumbuhan tulang temporal. Telinga dalam terdiri dari dua bagian yaitu labirin tulang dan labirin membranosa. Labirin tulang merupakan susunan ruangan yang terdapat dalam pars petrosa os temporalis ( ruang perilimfatik) dan merupakan salah satu tulang terkeras. Labirin tulang terdiri dari vestibulum, kanalis semisirkularis dan kohlea (Santi PA, 1993; Lee KJ, 1995; Wright A, 1997; Mills JH et al, 1998).

Vestibulum merupakan bagian yang membesar dari labirin tulang dengan ukuran panjang 5 mm, tinggi 5 mm dan dalam 3 mm. Dinding medial menghadap ke meatus akustikus internus dan ditembus oleh saraf. Pada dinding medial terdapat dua cekungan yaitu spherical recess untuk sakulus dan eliptical recess untuk utrikulus. Di bawah eliptical recess terdapat lubang kecil akuaduktus vestibularis yang menyalurkan duktus endolimfatikus ke fossa kranii posterior diluar duramater (Santi PA, 1993; Lee KJ, 1995; Wright A, 1997; Mills JH et al, 1998).

Di belakang spherical recess terdapat alur yang disebut vestibular crest. Pada ujung bawah alur ini terpisah untuk mencakup recessus kohlearis yang membawa serabut saraf kohlea kebasis kohlea. Serabut saraf untuk utrikulus, kanalis semisirkularis superior dan lateral menembus dinding tulang pada daerah yang berhubungan dengan N. Vestibularis pada fundus meatus akustikus internus. Di dinding posterior vestibulum mengandung 5


(23)

lubang ke kanalis semisirkularis dan dinding anterior ada lubang berbentuk elips ke skala vestibuli kohlea (Mills JH et al, 1998; Santi PA, 1993).

Gambar 2.2 Anatomi Telinga Dalam (Dhingra PL., 2007)

Ada tiga buah semisirkularis yaitu kanalis semisirkularis superior, posterior dan lateral yang terletak di atas dan di belakang vestibulum. Bentuknya seperti dua pertiga lingkaran dengan panjang yang tidak sama tetapi dengan diameter yang hampir sama sekitar 0,8 mm. Pada salah satu ujungnya masing-masing kanalis ini melebar disebut ampulla yang berisi epitel sensoris vestibular dan terbuka ke vestibulum (Wright A., 1997).

Ampulla kanalis superior dan lateral letaknya bersebelahan pada masing-masing ujung anterolateralnya, sedangkan ampulla kanalis posterior terletak dibawah dekat lantai vestibulum. Ujung kanalis superior dan inferior yang tidak mempunyai ampulla bertemu dan bersatu membentuk crus communis yang masuk vestibulum pada dinding posterior bagian tengah. Ujung kanalis lateralis yang tidak memiliki ampulla masuk vestibulum sedikit dibawah cruss communis (Ballenger, 1996).

Kanalis lateralis kedua telinga terletak pada bidang yang hampir sama yaitu bidang miring ke bawah dan belakang dengan sudut 30 derajat terhadap bidang horizontal bila


(24)

orang berdiri. Kanalis lainnya letaknya tegak lurus terhadap kanal ini sehingga kanalis superior sisi telinga kiri letaknya hampir sejajar dengan posterior telinga kanan demikian pula dengan kanalis posterior telinga kiri sejajar dengan kanalis superior teling kanan (Mills JH, 1998).

Koklea membentuk tabung ulir yang dilindungi oleh tulang dengan panjang sekitar 35 mm dan terbagi atas skala vestibuli, skala media dan skala timpani. Skala timpani dan skala vestibuli berisi cairan perilimfa dengan konsentrasi K+ 4 mEq/l dan Na+ 139 mEq/l. Skala media berada dibagian tengah, dibatasi oleh membran reissner, membran basilaris, lamina spiralis dan dinding lateral, berisi cairan endolimfa dengan konsentrasi K+ 144 mEq/l dan Na+ 13 mEq/l. Skala media mempunyai potensial positif (+ 80 mv) pada saat istirahat dan berkurang secara perlahan dari basal ke apeks (Ballenger JJ, 1996).

Gambar 2.3 Kohklea (Dhingra PL., 2007)

Organ corti terletak di membran basilaris yang lebarnya 0.12 mm di bagian basal dan melebar sampai 0.5 mm di bagian apeks, berbentuk seperti spiral. Beberapa komponen penting pada organ corti adalah sel rambut dalam, sel rambut luar, sel penunjang Deiters,


(25)

Hensen’s, Claudiu’s, membran tektoria dan lamina retikularis (Santi PA, 1993; Wright A, 1997; Mills JH et al, 1998).

Sel-sel rambut tersusun dalam 4 baris, yang terdiri dari 3 baris sel rambut luar yang terletak lateral terhadap terowongan yang terbentuk oleh pilar-pilar Corti, dan sebaris sel rambut dalam yang terletak di medial terhadap terowongan. Sel rambut dalam yang berjumlah sekitar 3500 dan sel rambut luar dengan jumlah 12000 berperan dalam merubah hantaran bunyi dalam bentuk energi mekanik menjadi energi listrik (Ballenger JJ, 1996).

Gambar 2.4 Organ Corti (Dhingra PL., 2007)

2.1.1 Vaskularisasi telinga dalam

Vaskularisasi telinga dalam berasal dari A. Labirintin cabang A. Cerebelaris anteroinferior atau cabang dari A. Basilaris atau A. Verteberalis. Arteri ini masuk ke meatus akustikus internus dan terpisah menjadi A. Vestibularis anterior dan A. Kohlearis communis yang bercabang pula menjadi A. Kohlearis dan A. Vestibulokohlearis. A. Vestibularis anterior memperdarahi N. Vestibularis, urtikulus dan sebagian duktus semisirkularis. A.Vestibulokohlearis sampai di mediolus daerah putaran basal kohlea terpisah menjadi cabang terminal vestibularis dan cabang kohlear. Cabang vestibular


(26)

memperdarahi sakulus, sebagian besar kanalis semisirkularis dan ujung basal kohlea. Cabang kohlear memperdarahi ganglion spiralis, lamina spiralis ossea, limbus dan ligamen spiralis. A. Kohlearis berjalan mengitari N. Akustikus di kanalis akustikus internus dan didalam kohlea mengitari modiolus (Santi PA, 1993; Lee K.J, 1995).

Vena dialirkan ke V.Labirintin yang diteruskan ke sinus petrosus inferior atau sinus sigmoideus. Vena-vena kecil melewati akuaduktus vestibularis dan kohlearis ke sinus petrosus superior dan inferior (Santi PA, 1993 ; Lee K.J, 1995).

2.1.2 Persarafan telinga dalam

N.Vestibulokohlearis (N.akustikus) yang dibentuk oleh bagian kohlear dan vestibular, didalam meatus akustikus internus bersatu pada sisi lateral akar N.Fasialis dan masuk batang otak antara pons dan medula. Sel-sel sensoris vestibularis dipersarafi oleh N.Kohlearis dengan ganglion vestibularis (scarpa) terletak didasar dari meatus akustikus internus.

Sel-sel sensoris pendengaran dipersarafi N.Kohlearis dengan ganglion spiralis corti terletak di modiolus (Santi PA,1993; Wright A, 1997; Mills JH et al,1998).

2.2 Fisiologi Pendengaran

Beberapa organ yang berperan penting dalam proses pendengaran adalah membran tektoria, sterosilia dan membran basilaris. Interaksi ketiga struktur penting tersebut sangat berperan dalam proses mendengar. Pada bagian apikal sel rambut sangat kaku dan terdapat penahan yang kuat antara satu bundel dengan bundel lainnya, sehingga bila mendapat stimulus akustik akan terjadi gerakan yang kaku bersamaan. Pada bagian puncak stereosillia terdapat rantai pengikat yang menghubungkan stereosilia yang tinggi dengan


(27)

stereosilia yang lebih rendah, sehingga pada saat terjadi defleksi gabungan stereosilia akan mendorong gabungan-gabungan yang lain, sehingga akan menimbulkan regangan pada rantai yang menghubungkan stereosilia tersebut. Keadaan tersebut akan mengakibatkan terbukanya kanal ion pada membran sel, maka terjadilah depolarisasi. Gerakan yang berlawanan arah akan mengakibatkan regangan pada rantai tersebut berkurang dan kanal ion akan menutup. Terdapat perbedaan potensial antara intra sel, perilimfa dan endolimfa yang menunjang terjadinya proses tersebut. Potensial listrik koklea disebut koklea mikrofonik, berupa perubahan potensial listrik endolimfa yang berfungsi sebagai pembangkit pembesaran gelombang energi akustik dan sepenuhnya diproduksi oleh sel rambut luar (May, Budelis, & Niparko, 2004).

Pola pergeseran membran basilaris membentuk gelombang berjalan dengan amplitudo maksimum yang berbeda sesuai dengan besar frekuensi stimulus yang diterima. Gerak gelombang membran basilaris yang timbul oleh bunyi berfrekuensi tinggi (10 kHz) mempunyai pergeseran maksimum pada bagian basal koklea, sedangkan stimulus berfrekuensi rendah (125 kHz) mempunyai pergeseran maksimum lebih kearah apeks. Gelombang yang timbul oleh bunyi berfrekuensi sangat tinggi tidak dapat mencapai bagian apeks, sedangkan bunyi berfrekuensi sangat rendah dapat melalui bagian basal maupun bagian apeks membran basilaris. Sel rambut luar dapat meningkatkan atau mempertajam puncak gelombang berjalan dengan meningkatkan gerakan membran basilaris pada frekuensi tertentu. Keadaan ini disebut sebagai cochlear amplifier.


(28)

Gambar 2.5. Skema Fisiologi Pendengaran (Hall, J. 1998)

Skema proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh telinga luar, lalu menggetarkan membran timpani dan diteruskan ketelinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran tersebut melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasikan akan diteruskan ke telinga dalam dan di proyeksikan pada membran basilaris, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran. (Keith, 1989


(29)

2.3 Jenis Gangguan Pendengaran

Ada tiga jenis gangguan pendengaran yang dapat dikenali dengan uji pendengaran yakni : gangguanuan konduktif, gangguan sensorineural dan gabungan keduanya atau tipe campuran.

Tuli konduktif terjadi akibat tidak sempurnanya fungsi organ yang berperan menghantarkan bunyi dari luar ke telinga dalam. Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat menyebabkan tuli konduktif.

Tuli sensorineural disebabkan oleh kerusakan pada koklea atupun retrokoklea. Tuli sensorineural dapat bersifat akut (acute sensorineural deafness) yakni tuli sensorineural yang terjadi tiba-tiba dimana penyebab tidak diketahui dengan pasti dan chronic

sensorineural deafness tuli sensorineural yang terjadi secara perlahan (Cody, 1992).

2.4 Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Gangguan Pendengaran

Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan penurunan ambang dengar akibat bising, yakni lama paparan bising, frekuensi paparan bising, tingkatan/besaran paparan, usia dan jenis kelamin dari penderita (Dobie RA, 1998).

Lama paparan bising lebih dari 10 tahun akan menyebabkan peningkatan NIPTS (Noise Induce Permanen Treshold Shift) terutama pada frekuensi 4 KHz. Tingkatan/besaran paparan bising diatas 85 dBA pada frekuensi tinggi lebih cepat menyebabkan gangguan dengar dibandingkan pada frekuensi rendah (Dobie RA, 1998).

Gangguan dengar yang terjadi pada frekuensi percakapan 500, 1000, 2000, dan 3000 Hz (berdasarkan AMA hearing handicap scale) tergantung dari lama paparan


(30)

bising maupun tingkatan/besar paparan bising. Semakin lama dan semakin tinggi tingkatan/besar paparan bising akan menimbulkan peningkatan NIPTS pada frekuensi percakapan (Dobie RA, 1998).

Derajat gangguan pendengaran berdasarkan International Standard Organization

(ISO) adalah normal (0 – 25 dB), tuli ringan (26 – 40 dB), tuli sedang (41 – 60 dB), tuli

berat (61 – 90 dB), dan tuli sangat berat (>90 dB) (Bashiruddin, 2002).

Penelitian oleh Karl D. Kryter pada tahun 1965 menunjukkan bahwa perbedaan jenis bising yang diterima oleh pekerja juga mempengaruhi besarnya pergeseran ambang dengar.

Penelitian Coles (1963), menyatakan bahwa tingkat tekanan suara dari senjata otomatis sebesar 174 dB. Glorig dan Wheeler (1955) menyatakan bahwa bising yang di timbulkan senjata genggam sebesar 180 dB. Yarington (1968) menemukan tekanan suara akibat ledakan meriam Howitzer 105 sebesar 190 dB dan anti tank sebesar 185,6 dB (Alberti P.W, 1997).

Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.51 tahun 1999 tentang nilai ambang batas faktor bising dalam lingkungan kerja adalah sebagia berikut.

Tabel 2.1 Paparan Bising yang Diperkenankan

Sound Level dBA Lama Paparan (jam per hari)

85 16

90 8

92 6

95 4

100 2

105 1

110 0,5


(31)

Pfander (1975) menyebutkan bahwa tekanan suara sebesar 165 dB hanya diijinkan paparan selama 0.23 detik per hari dan untuk 145 dB hanya 0.3 detik per hari. Sebuah penelitian terhadap 1073 prajurit arteleri Kroasia, menunjukkan hasil bahwa 907 (84.25%) orang mengalami peningkatan ambang dengar (fatique) pada tingkatan yang berbeda segera setelah melakukan tembakan (Spirov A,1982).

2.5 Bunyi

Bunyi adalah gelombang yang timbul dari getaran moleku-molekul benda yang saling beradu sama lain dan terkoordinasi. Gelombang tersebut akan meneruskan energi dan sebagian dipantulkan kembali. Dalam perambatannya bunyi memerlukan media. Media tempat gelombang bunyi merambat harus mempunyai massa dan elastisitas. Pada umumnya medianya adalah udara. Gelombang bunyi tidak di rambatkan di ruang hampa. Kecepatan rambatan bunyi melalui udara sebesar ±340 meter/detik. Pada medium yang berbeda, kecepatan bunyi dapat meningkat. Melalui air kecepatan bunyi dapat meningkat ±4 kali, dan melalui besi menjadi ±14 kali lebih besar (Bashiruddin J, 2002).

Gelombang bunyi disebarkan ke berbagai arah di udara. Apabila suatu benda bergetar, maka getaran tersebut akan diteruskan ke lapisan udara disekitarnya dan selanjutnya dirambatkan terus ke lapisan udara yang lebih jauh, begitu seterusnya. Di udara, getaran melakukan pemampatan (compression) dan perenggangan (rarefaction) yang timbul bersamaan dengan getaran sumber bunyi. Di daerah pemampatan, tekanan udara lebih tinggi dari normal. Bila sumber bunyi berhenti bergetar, maka udara akan kembali ke keadaan awal (status istirahat) dan penyebaran tekanan yang cepat akan


(32)

berhenti. Jenis getaran bunyi dapat di bedakan menjadi getaran selaras dan getaran tak selaras (Bashiruddin J, 2002).

Getaran selaras adalah getaran harmonik sederhana atau di kenal juga dengan getaran sinusoidal. Contohnya adalah garpu tala yang bergetar. Sedangkan contoh getaran tidak selaras dikenal sebagai bunyi bising, desis, gemeretak, desir atau detakan. Bunyi yang dapat didengar memiliki periode 1/20 sampai 1/15.000 detik, tergantung dari frekuensi getarannya (Dobie R , 1998).

Frekuensi adalah jumlah getaran per detik. Jika suatu periode berakhir selama 1/100 detik, maka berarti terdapat 100 getaran (cycle/siklus). Di Eropa, satuan ini di sebut Hertz dan di singkat Hz, untuk menghormati ahli fisika Jerman yang bernama Heinrich Hertz. Selanjutnya terminologi ini di berlakukan oleh Badan Standar Internasional (International

Standard Association) untuk dibakukan. Frekuensi merupakan suatu besaran fisik yang

dapat diukur dengan pasti (Ballenger, 1996).

Bila dua garpu tala mempunyai frekuensi yang sama kita bunyikan dengan kekuatan yang berbeda, maka akan terdengar bahwa salah satu akan berbunyi lebih keras. Garpu tala yang dipukul lebih keras akan terjadi gerakan maksimum yang berkaitan dengan perubahan tekanan udara yang lebih tinggi. Secara sederhana keadaan ini disebut Amplitudo-nya lebih besar. Perbedaan tekanan udara inipun dapat diukur secara tepat karena juga merupakan besaran fisik. Satuan tekanan udara = 1 dyne/cm2

Bunyi dapat dibedakan dalam 3 rentang frekuensi yaitu 0-20 Hz (infrasonik), 20-18.000 Hz (sonik), dan >20-18.000 Hz (ultrasonik). Infrasonik tidak dapat dideteksi oleh telinga manusia, biasanya ditimbulkan oleh getaran tanah, bangunan maupun truk


(33)

dan kendaraan besar. Bila getaran dengan frekuensi infra mengenai tubuh akan menyebabkan resonansi dan akan terasa nyeri pada beberapa bagian tubuh. Frekuensi dari 20-18.000 Hz merupakan frekuensi yang dapat dideteksi telinga manusia. Frekuensi di atas 20.000 Hz, dalam bidang kedokteran digunakan dalam 3 hal yaitu pengobatan, penghancuran dan diagnosis (P.W.Alberti, 1997).

Untuk membuat udara bergetar dibutuhkan energi. Energi sebanding dengan tekanan per satuan luas. Daya yang di butuhkan untuk menghasilkan bunyi yang mulai terdengar adalah 10-16 watt/cm2 (Wright A., 1997).

2.5.1 Sifat gelombang suara

Bila gelombang suara membentur suatu rintangan atau dinding maka kemungkinan yang terjadi adalah gelombang tersebut dipantulkan, dilenturkan, dibiaskan, diabsorpsi atau diteruskan. Fenomena ini tergantung pada hubungan antara panjang gelombang suara, ukuran rintang beberapa jenis dinding dan sudut datang. Permukaan gelombang didefinisikan sebagai suatu prmukaan di mana seluruh partikelnya bergetar satu fase. Sebagai contoh, bila suatu titik sumber memancar, gelombang akan menyebar secara seragam ke segala arah dan permukaan gelombang berbentuk lengkung. Tetapi bila seseorang yang berada cukup jauh, maka permukaan gelombang yang ditangkapnya akan berbentuk relatif lebih datar. Apabila tidak terdapat permukaan yang memantul, maka gelombang akan merambat secara bebas.

Apabila gelombang bunyi menabrak suatu dinding padat, sebagian dari energinya akan di pantulkan dan sebagian lagi akan dirambatkan serta sebagian lain akan diserap melalui massa dinding tersebut. Tetapi apabila dindingnya tipis, energi bunyinya akan


(34)

dirambatkan. Oleh karena telinga kita memiliki respon yang kurang lebih logaritmis terhadap energi bunyi, maka bila menginginkan suatu sekat suara yang baik, penting sekali untuk menurunkan energi ke tingkat di bawah 1/1000 kali (Wright A., 1997).

2.5.2 Intensitas bunyi: Desibel (dB)

Cakupan tekanan suara yang dapat diterima oleh telinga normal sangat luas sehingga sulit untuk mengetahui angkanya. Dekat ambang dengar, bunyi mempunyai tekanan sebesar kira-kira 2/10.000 dyne/cm2

Tidak akan ada artinya membicarakan desibel bila titik awalnya tidak ditentukan. Suatu bunyi dengan tekanan tertentu dapat mempunyai beberapa nilai desibel, tergantung dari tekanan mana yang dipilih sebagai angka nol untuk titik awal pada skala. Pada prakteknya, ada 3 titik awal yang sering dipakai pada skala desibel. Pertama yakni 0.0002 dyne/cm

. Tekanan ini harus dikalikan 10 juta kali untuk dapat menyebabkan rasa nyeri di telinga. Skala desibel (dB) dipakai agar angka-angka dalam cakupan frekuensi itu dapat diikuti. Hal ini dilakukan dengan memilih satu titik tertentu pada skala penekanan sebagai dasar, dan menyatakan titik-titik lain pada skala sebagai rasio dari dasar ini, mengambil angka logaritma dari rasio ini, kemudian angka logaritma tersebut dikalikan 20 (Bashiruddin, 2002).

2

, yang dipilih karena dulu angka ini dianggap sebagai tekanan suara yang sesuai dengan pendengaran yang terbaik manusia. Titik awal lain adalah ambang rata-rata pendengaran normal. Yang terakhir, 1 dyne/cm2

Skala dengan titik awal 0.0002 dyne/cm

(1 mikrobar) sering dipakai sebagai tekanan pembanding, terutama untuk kalibrasi mikrofon.

2

disebut skala tingkat tekanan suara (Sound

Pressure Level = SPL). Jadi 60 dB SPL berarti tekanan 60 dB diatas 0.0002 dyne/cm2. Skala berdasarkan ambang pendengaran rata-rata normal disebut skala tingkat ambang


(35)

dengar (Hearing Treshold Level) atau skala ambang dengar (Hearing Level= HL). Jadi 60 dBHL berarti tekanan 60 desibel diatas ambang tekanan standar pembanding yang sesuai dengan pendengaran normal rata-rata frekuensi ini (Keith, 1989).

Perbedaan penting antara kedua skala ini adalah skala SPL berdasarkan suatu titik awal fisika (0.0002 dyne/cm2

Tanda desibel pada angka gangguan pendengaran suatu audiometer mengikuti skala ambang dengar (HL). Titik nol pada angka gangguan frekuensi tertentu adalah sebenarnya, tingkat suara yang sesuai dengan rata-rata ambang dengar tersebut, seperti yang ditetapkan oleh American National Standard Institute (ANSI) (Dobie R. A., 2009)

), sedangkan skala HL berdasarkan titik awal ukuran psikologik atau perilaku, yakni pendengaran normal rata-rata.

2.6. Audiometri Nada Murni

Audiometri nada murni adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengukur sensivitas pendengaran dengan alat audiometer yang menggunakan nada murni (pure tone). Ambang nada murni diukur dengan intensitas minimum yang dapat didengar selama satu atau dua detik melalui antaran udara ataupun hantaran tulang. Frekwensi yang dipakai berkisar antara 125 – 8000 Hz dan diberikan secara bertingkat (Feldman dan Grimes, 1997).

Audiometri harus memenuhi 3 persyaratan untuk mendapatkan keabsahan pemeriksaan yaitu (1) audiometri yang telah dikalibrasi, (2) suasana/ruangan sekitar pemeriksa harus tenang, dan (3) pemeriksa yang terlatih.

Komponen yang ada pada audiometri yaitu:

1. Oscilator: untuk menghasilkan bermacam nada murni


(36)

3. Interuptor/pemutus : alat pemutus nada

4. Atteneurator: alat mengukurintensitas suara

5. Earphone: alat merubah sinyal listrik yang ditimbulkan audiometer menjadi

sinyal suara yang dapat didengar

6. Masking noise generator: untuk penulian telinga yang tidak diperiksa

Cara pemeriksaan audiometri adalah headphone dipasang pada telinga untuk mengukur ambang nada melalui konduksi udara. Tempat pemeriksaan harus kedap udara. Pasien diberitahu supaya menekan tombol bila mendengar suara walaupun kecil. Suara diberi interval 2 detik, biasanya dimulai dengan frekwensi 1000 Hz sampai suara tidak terdengar. Kemudian dinaikkan 5 dB sampai suara terdengar. Ini dicatat sebagai audiometri nada murni (pure tone audiometry) (Keith, 1989).

Biasanya yang diperiksa terlebih dahulu adalah telinga yang dianggap normal (tidak sakit) pendengarannya melalui hantaran udara, kemudian diperiksa melalui hantara tulang. Kalau perbedaan kekurangan pendengaran yang diperiksa 50 dB atau lebih dari telinga lainnya, maka telinga yang tidak diperiksa harus ditulikan (masking). Ketika memeriksa satu telinga pada intensitas tertentu, suara akan terdengar pada telinga yang satu lagi. Hal ini disebut “cross over” yang dapat membuat salah interpretasi pada pemeriksaan audiometer.

Ada beberapa ketentuan yang praktis bila masking diperlukan yakni:

1. Masking untuk hantaran udara (AC) diperlukan bila terdapat perbedaan kehilangan pendengaran sebesar 45 dB atau lebih pada waktu percobaan.


(37)

a. Apabila treshold hantaran tulang (BC) pada telinga yang dites lebih sensitif dari treshold hantaran tulang yang tidak diperiksa.

b. Apabila tidak ada respon pada hantaran tulang setelah mempengaruhi maksimum output dari audiometer (Keith, 1989)

Gambar 2.6. Gambaran audiometri normal

Gambar 2.7. Gambaran audiometri tuli sensorineural


(38)

Gambar 2.9. Gambaran audiometri tuli campuran

Gambar 2.10. Gambaran audiometri tuli akibat bising

2.7 Perlindungan Fungsi Pendengaran

Perlindungan fungsi pendengaran dapat dilakukan dengan rekayasa lingkungan

(enviromental engineering) dan proteksi perorangan pada individu-individu yang terpapar

trauma akustik. Tujuan program konservasi pendengaran yang ideal adalah mengurangi efek paparan trauma akustik.

Terdapat 2 macam pelindung telinga, yakni:

1. Bentuk sumbat (plug), yang dimasukkan ke dalam liang telinga secara tepat sesuai ukuran masing-masing.

2. Bentuk bantalan (muff), yang dipegang dengan tali kepala dan melingkari telinga, dimana berguna menutupi telinga luar.


(39)

Brenda L (1993) pada penelitiannya mendapati bahwa ear plug dapat menurunkan efek bising di telinga tengah sebesar 15 sampai 30 dB. Sedangkan ear muff merupakan protektif yang lebih baik, khususnya pada frekuensi 500 Hz dan 1 KHz. Pada tingkat kebisingan yang tinggi pengguanaan ear plug saja tidak begitu baik dan disarankan menggunakan kombinasi ear plug dan ear muff .

Penting juga diketahui bahwa tekanan suara (sound energy) berhubungan dengan tingkatan bising yang tinggi (high noise level) yang dapat mencapai telinga dalam melalui pergetaran tulang serta struktur-struktur disekitarnya. Sehingga konduksi melalui tulang dan jaringan disekitarnya dapat dibatasi dengan pemakaian alat pelindung pendengaran. Suatu pelindung pendengaran yang ideal (infinite protector) seharusnya dapat menurunkan efek bising sebesar 20 -30 dB (Bashiruddin J, 2002).

2.8 Jenis Senjata

Senjata yang biasa digunakan oleh prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan ada 2 macam, yaitu Pistol FN US 45 dan Senapan Serbu (SS) 1 R5.

1. Pistol FN US 45

Senjata pistol ini diproduksi oleh pabrikan Amscor dari Amerika Serikat pada tahun 1958. Kaliber dari senjata ini adalah 11 mm dengan panjang pistol 219 mm. Jarak tembak efektif dari pistol ini adalah 50 meter dengan jarak tembak maksimal 1500 meter. 2. Senapan Serbu (SS) 1 R5

Senjata jenis ini diproduksi oleh PT. PINDAD Indonesia tahun 2003. Kaliber dari senjata ini adalah 5,56 mm X 45 mm dengan panjang senjata apabila dilipat 546 mm


(40)

dan apabila popor direntangkan 771 mm. Jarak tembak efektif senjata ini 375 meter dan jarak tembak maksimal 5000 meter.

2.9 Kerangka Konsep

Kerangka konsep kaitan antara paparan bising dan gangguan pendengaran akibat bising pada prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan dapat dilihat pada gambar 2.11 berikut.

Gambar 2.11. Kerangka Konsep Kaitan antara Paparan Bising dan Gangguan Pendengaran Akibat Bising pada Prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan

Gangguan Pendengaran Paparan

Bising

Kerusakan pada sel-sel rambut


(41)

2.10 Kerangka Kerja

Gambar 2.12. Kerangka Kerja Anamnesis dan Pemeriksaan Audiometri pada Parajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan

Anamnesis

THT Rutin

Normal Abnormal

Pemeriksaan Audiometri

Eksklusi Eksklusi


(42)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan rancangan potong lintang (crossectional study).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan, Namu Sira-sira, Langkat, Sumatera Utara. Penelitian dilakukan mulai bulan Mei 2011 sampai Juli 2011.

3.3. Populasi, Sampel Penelitian, Besar Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider yang masih aktif.

3.3.2. Sampel penelitian

Anggota populasi penelitian yang diperiksa oleh peneliti secara acak, bersedia ikut dalam penelitian serta memenuhi kriteria penelitian.

• Kriteria inklusi:

1. Tidak ada riwayat trauma kepala, sakit telinga yang dapat mempengaruhi fungsi pendengaran


(43)

2. Tidak menderita penyakit sistemik : DM, Malaria, dan penyakit lain yang dapat mempengaruhi fungsi pendengaran

3. Pada pemeriksaan THT rutin tidak dijumpai kelainan yang mempengaruhi fungsi pendengaran

• Kriteria eksklusi:

1. Sedang mengkonsumsi obat-obatan yang bersifat ototoksik.

3.3.3. Besar Sampel

Penentuan besar sampel pada penelitian ini dihitung berdasarkan penelitian sebelumnya (Spirov A, 1982). Dengan rumus:

Zα2 p (1-p) (1.96)2

n = --- = --- = 50.09 ≈50 (0.8425) (1 – 0.8425)

d2 (0.1)

2

dimana:

n = Jumlah subjek penelitian

Z = Kepercayaan 95%, nilainya 1.96 P = Proporsi/prevalensi (84,25%) d = Ketetapan pengukuran (0.1)

3.4. Variabel Penelitian

Variabel penelitian terdiri dari variabel dependen yaitu gangguan pendengaran dan variable independen yaitu: prajurit Yonif 100 Raider, intensitas bunyi senjata organik, lama paparan, lama kerja dan penggunaan alat pelindung diri (APD).


(44)

3.5. Defenisi Operasional

1. Prajurit Yonif 100 raider adalah prajurit TNI yang masih bertugas dikesatuan batalyon infanteri 100 Raider KODAM I Bukit Barisan.

2. Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari suatu kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia.

3. Sound level meter adalah alat untuk mengukur tingkat intensitas bunyi

4. Intensitas bunyi senjata organik adalah besarnya bunyi senjata organik yakni senapan serbu jenis SS1 R5 buatan Pindad, yang dinyatakan dalam decibel (dB). 5. Frekuensi adalah jumlah getaran perdetik.

6. Decibel adalah logaritma dari rasio dua daya atau tekanan.

7. Tuli akibat bising (TAB) adalah tuli jenis sensorineural akibat kelainan pada koklea, terjadi akibat paparan bising dengan intensitas di atas nilai ambang batas normal.

8. Tuli sensorineural adalah tuli yang disebabkan kelainan pada kokhlea ataupun retrokokhlea. Pada audiogram tampak ambang hantaran tulang sama dengan ambang hantaran udara dan keduanya tidak normal.

9. Tuli konduktif adalah tuli yang disebabkan oleh kelainan yang terdapat di telinga luar atau telinga tengah. Pada audiogram tampak ambang hantaran tulang lebih baik dari ambang hantaran udara sebesar 10 dB atau lebih dan normal.


(45)

10.Tuli campuran adalah tuli konduktif dan tuli sensorineural. Pada audiogram tampak ambang hantaran tulang berkurang namun masih lebih baik dari ambang hantaran udara sebesar 10 dB atau lebih.

11.Lama paparan adalah satuan waktu yang menunjukan masa terpapar bunyi, yang dinyatakan dalam jam/hari.

12.Lama kerja adalah sejak mulai berdinas di batalyon infanteri 100 Raider sampai dilakukan pemeriksaan audiometri, yang dinyatakan dalam tahun.

13.Alat pelindung diri (APD) adalah alat yang digunakan untuk melindungi diri seperti helm, pelindung telinga, masker dan lain-lain.

14.Pemeriksaan audiometri adalah pemeriksaan pendengaran yang menggunakan alat audiometer yang merupakan suatu cara pemeriksaan untuk mengukur sensitivitas pendengaran yang menggunakan nada murni (pure tone).

15.Derajat ketulian dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher yaitu : Ambang dengar (AD) = AD 500 Hz + AD 1000 HZ + AD 2000 HZ

3 ( Soetirto I., Hendarmin H., Bashiruddin J., 2007 )

16. Derajat ketulian ISO :

Normal (0 – 25 dB), Tuli ringan (26 – 40 dB), Tuli sedang (41 -60 dB), Tuli berat (61 – 90 dB), Tuli sangat berat ( > 90 dB) ( Bhasiruddin J, 2002)

3.6 Bahan dan Alat Penelitian

a. Kuisioner penelitian


(46)

c. Spekulum telinga merek Hartmann d. Otoskop merk Riester

e. Larutan peroksida 3% (H2O2

f. Alat penghisap (suction) merk Thomas Medipump tipe 1132 GL 3%)

g. Kanul penghisap nomor 6 dan 8 tipe Fergusson h. Spekulum hidung merk Renz

i. Spatel lidah

j. Kaca laringoskopi dan kaca rinoskopi k. Pengait serumen

l. Audiometer merk Rexton tipe D67 dan telah dikalibrasi.

m. Sound level meter merk Larson Davis 720 SLM serial 0553 dan telah dikalibrasi.

3.7 Cara Kerja

Dicari rata-rata intensitas bunyi senjata organik yang biasa digunakan yakni dan senapan SS1 R5. Pengukuran intensitas bunyi dilakukan dengan sound level meter. Kepada semua prajurit dilakukan pemeriksaan kesehatan telinganya. Telinga yang kotor dibersihkan dan yang sakit dikeluarkan dari penelitian. Kepada subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi terlebih dahulu dibagikan kuisioner penelitian. Selanjutnya, pendengaran pasien diperiksa dengan menggunakan audiometri nada murni.


(47)

3.8 Analisis Data

Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik untuk menilai rata-rata intensitas bunyi senjata organik, lama kerja, lama paparan bising, pemakaian APD, dan kelainan audiogram.


(48)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan design

crossectional study, dimana pengambilan data dilakukan di batalyon infanteri 100 Raider.

Penelitian dilakukan pada 50 orang prajurit batalyon infanteri 100 Raider yang telah dipilih secara acak dan memenuhi kriteria sebagai sampel penelitian.

4.1. Gambaran Responden Penelitian

Berikut ini disajikan gambaran responden pada penelitian Skrining Pendengaran Prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider.

Tabel 4.1. Gambaran Responden Penelitian

Umur (Tahun) N (%)

18 - 23 2 4

24 - 29 12 24

30 - 35 27 54

36 - 41 7 14

42 - 47 2 4

Total 50 100

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa distribusi tertinggi sampel penelitian menurut umur adalah kelompok umur 30 – 35 tahun sebanyak 27 orang (54%) dan distribusi terendah sampel penelitian adalah kelompok umur 18 – 23 tahun dan 42 – 47 tahun masing-masing 2 orang (4%).


(49)

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Prajurit Berdasarkan Lama Dinas di Yonif 100 Raider

Lama Dinas (Tahun ) N %

1 - 5 13 26

6 - 10 33 66

11 - 15 1 2

> 15 3 6

Total 50 100

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa distribusi prajurit berdasarkan lama dinas di Yonif 100 Raider yang terbanyak adalah 6 – 10 tahun sebanyak 33 orang ( 66% ) dan yang terendah adalah 11 – 15 tahun hanya 1 orang ( 2% ).

4.2. Gambaran Jenis Senjata Yang Digunakan

Senjata yang digunakan pada penelitian ini adalah senjata standar organik prajurit Yonif 100 Raider, yakni senjata pistol FN US 45 dan senapan serbu (SS) 1 R5.

4.2.1. Spesifikasi senjata senapan serbu ( SS ) 1 R5

Gambar 4.2. Senjata senapan serbu (SS) 1 R5 1. Negara Asal : Indonesia

2. Nama Pabrik : PT. Pindad (Persero)

3. Tahun Pembuatan : 2003

4. Kaliber : 5,56 mm X 45 mm

5. Berat Senjata

a. Magazen Kosong : 3,59 Kg b. Magazen Penuh : 3,95 Kg 6. Panjang Senjata

a. Popor Lipat : 546 mm b. Popor Terentang : 771 mm

7. Jumlah Alur & Arah Putaran : 6 Buah/Ke Kanan 8. Kisar/Twis Alur : 177,8 mm ( 7 ”)


(50)

9. Panjang Laras : 252 mm

10. Alat Bidik : Mechanical Sight a. Angka 100 : 0 – 150 M b. Angka 200 : 150 – 250 M 11. Kecepatan Tembak

a. Tunggal : 60 Pel/Mnt b. Outomatic : 120 – 200 Pel/Mnt 12. Kecepatan Awal (VO) : 751 M/dtk

13. Jarak Tembak Efektif : 375 M

14. Sistem Kerja : Gas Operated 15. Sistem Penguncian : Putar

16. Isi Magazen : 30 Btr

Tabel 4.3. Rata-rata Intensitas Bunyi Senjata

Jenis Senjata Rata-rata bunyi (dB) Senapan serbu (SS) 1 R5 107,66

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa intensitas rata-rata bunyi senjata senapan serbu (SS) 1 R5 adalah 107,66 dB.

Grafik 4.1. Rata–rata intensitas bunyi senjata

4.3. Distribusi Frekuensi Pemakaian Alat Pelindung Diri ( APD )

Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Pemakaian Alat Pelindung Diri ( APD )

Jenis APD N %

Ear Muff 2 4

Ear plug 12 24

Tidak pakai APD 36 72


(51)

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui jenis APD yang biasa digunakan adalah

ear plug 12 ( 24% ) dan ear muff hanya 2 ( 4 % ) sedangkan selebihnya tidak memakai

APD sebanyak 36 ( 72% ).

Grafik 4.2. Distribusi frekuensi pemakaian alat pelindung diri ( APD )

4.4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Gangguan Pendengaran Tabel 4.5. Distribusi frekuensi berdasarkan jenis gangguan pendengaran

Jenis Gangguan

Pendengaran Telinga Kanan Telinga Kiri

N % N %

Tuli Konduktif 0 0 0 0

Tuli Sensorineural 11 22 6 12

Tuli Campuran 0 0 0 0

Normal 39 78 44 88

Total 50 100 50 100

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui jenis gangguan pendengaran responden, pada telinga kanan tuli sensorineural 11 (22%) selebihnya normal (78%). Tidak ditemukan tuli konduktif ataupun tuli campuran. Pada telinga kiri, tuli sensorineural 6 orang (12%) dan normal 44 (88%) . Tidak ditemukan tuli konduktif ataupun tuli campuran.


(52)

Gambar 4.3. Suasana Pemeriksaan THT Rutin dan Audiometri

4.5. Distribusi Frekuensi Derajat Ketulian Berdasarkan Kelompok umur Tabel 4.6. Distribusi frekuensi derajat ketulian berdasarkan kelompok umur

Derajat Ketulian Umur

Total ,<30 tahun ≥30 tahun

n % n % N %

Normal 12 30.77 27 69,23 39 100,00

SNHL Ringan 1 10,00 9 90,00 10 100,00

SNHL Sedang 1 100,00 0 0,00 1 100,00

Total 14 28 50 100,00

Derajat kebebasan (df) = 2; p=0,115


(53)

Berdasarkan tabel 4.6. dapat dilihat bahwa pada kelompok umur < 30 tahun dijumpai 12 orang ( 30.77% ) normal, 1 orang ( 10% ) menderita derajat ketulian ringan dan 1 orang( 100% ) menderita derajat ketulian sedang. Pada kelompok umur >30 tahun yang normal 27 orang ( 69,23%), menderita derajat ketulian ringan 9 orang ( 90%) dan tidak dijumpai adanya derajat ketulian sedang.

Hasil statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh p=0.115. Hal ini berarti secara statistik tidak ada hubungan antara derajat ketulian dengan kelompok umur peserta penelitian. Tetapi secara klinis, kami temukan prajurit yang mengalami gangguan pendengaran.

4.6. Distribusi Frekuensi Lama Berdinas Dengan Derajat Ketulian Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Lama Berdinas dengan Derajat Ketulian

Lama Berdinas

(tahun)

Derajat Ketulian

Total

Normal Ringan Sedang

n % n % n % N %

1 - 5 12 92.30 0 0,00 1 7,70 13 100,00

6 - 10 25 75,75 8 24,25 0 0,00 33 100,00

11 - 15 1 100,00 0 0,00 0 0,00 1 100,00

>15 1 33,33 2 66,67 0 0,00 3 100,00

Total 39 10 1 50 100,00

Dari tabel distribusi frekuensi lama berdinas dengan derajat ketulian, dijumpai lama berdinas 1 – 5 tahun, 12 orang ( 92.30%) normal dan 1 orang ( 7,70% ) derajat ketulian sedang. Lama berdinas 6 – 10 tahun, 25 orang ( 75,75% ) normal dan 8 orang ( 24,25% )


(54)

derajat ketulian ringan. Lama berdinas 11 – 15 tahun, 1 orang ( 100% ) normal. Lama berdinas diatas 15 tahun, 1 orang ( 33,33% ) normal dan 2 orang ( 66,67% ) derajat ketulian ringan.


(55)

BAB 5 PEMBAHASAN

Pada penelitian yang dilakukan terhadap 50 orang prajurit batalyon infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan didapatkan data yang akan dijabarkan dibawah ini.

5.1. Gambaran Responden Penelitian

Responden penelitian adalah seluruh prajurit Yonif 100 raider yang dipilih secara acak, dengan cara memanggil prajurit dari tiap-tiap kompi ( batalyon mempunyai 5 kompi ). Seluruh prajurit yang terpilih adalah prajurit yang sudah melaksanakan pemeriksaan kesehatan reguler ( setiap 6 bulan sekali prajurit diperiksa kesehatannya oleh Kesdam I Bukit Barisan ).

Dari gambaran responden diatas, distribusi tertinggi responden menurut umur adalah kelompok umur 30 – 35 tahun sebanyak 27 orang ( 54% ) dan terendah kelompok umur 18 – 23 tahun dan 42 – 47 tahun sebanyak 2 orang ( 4% ). Pada penelitian di Finlandia dan Korea rata – rata responden berumur antara 20 – 40 tahun, dan terbanyak pada kisaran umur 30 -35 tahun (33%) Coles (1963), Millitary of South Korean, (2007).

Di Indonesia komposisi umur prajurit yang aktif di batalyon yang paling dominan adalah pada umur 30 s/d 35 tahun. Rata – rata umur personil Batalyon di seluruh Indonesia adalah 19 s/d 45 tahun. ( PENDAM, 2005).


(56)

Gambar 5.1. Prajurit Yonif 100 Raider

5.1.1. Distribusi Frekuensi Prajurit Berdasarkan Lama Dinas di Yonif 100 Raider Distribusi tertinggi prajurit berdasarkan lama dinas di Yonif 100 Raider adalah 6 – 10 tahun sebanyak 33 orang ( 66% ) dan yang terendah dan 11 – 15 tahun hanya 1 orang ( 2% ). Hal ini karena struktur organisasi, jabatan dan kepangkatan di batalyon tidak memungkinkan bagi prajurit untuk berlama-lama dalam satu batalyon.

Kebijaksanaan pimpinan dalam melaksanakan rotasi jabatan mempertimbangkan berbagai aspek, salah satunya adalah lama berdinas. Batalyon adalah satuan tempur yang mempunyai mobilitas tinggi, baik dalam latihan maupun tugas operasi. Prajurit yang berdinas di batalyon biasanya tidak lebih dari 15 tahun, walaupun ada yang lebih lama dari 15 tahun, kemungkinan mempertimbangkan aspek asal daerah maupun keluarga.

5.2. . Rata –rata Intensitas Bunyi Senjata

Penghitungan rata-rata intensitas bunyi senjata dengan melakukan 10 (sepuluh) tembakan. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa seorang petembak melakukan 10 kali tembakan dalam posisi berdiri. Penulis juga mempertimbangkan amunisi yang terbatas untuk melakukan latihan.


(57)

Senjata SS1 R5 dengan bunyi rata-rata 107,66 dB. Pada penelitian Paakkonen et.al

(2000), ditemukan intensitas bunyi senjata laras panjang dan pistol yang digunakan pada latihan menembak militer di Finlandia adalah berkisar antara 155 – 168 dB. Sedangkan NATO (1987) mengatakan bahwa bunyi senjata militer dapat mencapai diatas 180 dB. Menurut Occupational Safety and Health Administration (OSHA) intensitas bunyi senjata api antara 140 – 170 dB.

Hasil hasil penelitian militer Korea Selatan yang menggunakan pistol K-5 revolver ( 9 mm, Daewoo Precision Industries co., Ltd.) dan juga senjata K-2 ( 5.56 mm, Daewoo Precision Industries co., Ltd.), intensitas bunyi pistol K-5 ± 143.6 dB dan senjata K-2 ± 161.2 dB.

\

Gambar 5.2. Treshold of hearing (S. Everton, 2006)

Penelitian Coles (1963), menyatakan bahwa tingkat tekanan suara dari senjata otomatis sebesar 174 dB. Glorig dan Wheeler (1955) menyatakan bahwa bising yang di timbulkan senjata genggam sebesar 180 dB. Yarington, 1968 menemukan tekanan suara


(58)

akibat ledakan meriam Howitzer 105 sebesar 190 dB dan anti tank sebesar 185,6 dB

(Alberti P.W, 1997).

Walaupun hasil intensitas bunyi yang ditimbulkan senjata organik Yonif 100 Raider masih lebih rendah daripada intensitas bunyi senjata lainnya, tetapi hasilnya lebih tinggi dari nilai ambang batas yang diperbolehkan yakni 85 dB.

5.3. Distribusi Frekuensi Pemakaian Alat Pelindung Diri ( APD )

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui jenis APD yang biasa digunakan adalah ear

plug 12 ( 24% ) dan ear muff hanya 2 ( 4 % ) sedangkan selebihnya tidak memakai APD

sebanyak 36 ( 72% ).

Penelitian Sasongko S. (2003), personil Pusdik ARMED KODIKLAT TNI AD pada setiap latihan menembak yang menggunakan APD dalam bentuk ear plug hanya 26 orang (35,14%) sedangkan tanpa APD sebanyak 38 orang (51,35%).

Prajurit yang bertugas dibatalyon di Indonesia, pada saat latihan menembak tidak ada keharusan memakai ear muff ataupun ear plug. Khususnya di batalyon infanteri 100 Raider, pada saat melakukan latihan menembak, ear plug disediakan oleh petembak sendiri, sedangkan ear muff hanya disediakan kurang dari 5 buah.

Penelitian Teo K J (2008), pelatihan menembak tentara di Singapura hampir 90% menggunakan ear plug dan 10% ear muff.


(59)

(a) (b) Gambar 5.3. a ). Ear muff b) ear plug

5.4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Gangguan Pendengaran

Jenis gangguan pendengaran prajurit, pada telinga kanan SNHL 11 orang (22%) selebihnya normal (78%). Tidak ditemukan tuli konduktif ataupun tuli campuran. Pada telinga kiri, SNHL 6 orang ( 12% ) dan normal 44 ( 88% ). Banyaknya prajurit yang mengalami gangguan pendengaran pada telinga kanan dibandingkan pada telinga kiri, kemungkinan karena pemakaian senjata pada saat menembak cenderung menggunakan tangan kanan. Tetapi hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui penyebab yang sebenarnya.

Hasil ini menunjukan bahwa prajurit terpapapar bising senjata dan mempengaruhi pendengaran, walaupun secara statistik tidak bermakna.

Hasil ini hampir sama dengan penelitian Sasongko S (2003), pada telinga kanan dan kiri dijumpai SNHL ringan (7,8%), SNHL sedang (7,8%) dan SNHL berat (1,6%).

Tentara Korea Selatan yang melaksanakan latihan menembak ditemukan 13% mengalami tuli sensorineural pada telinga kanan dan 10% tuli sensorineural pada telinga kiri.


(60)

Di Finlandia Paakonen (2003) menemukan 14% tentara mengalami tuli sensorineural pada telinga kanannya dan 11% tuli sensorineural pada telinga kiri.

Penelitian pendengaran terhadap 134 anggota militer Kanada kecabangan infanteri , arteleri dan kavaleri ditemukan 11% prajurit kecabangan infanteri mengalami peningkatan ambang dengar ringan sampai sedang pada telinga kiri lebih dari 25 dB, karena selalu menggunakan pistol kaliber kecil (Pelausa EO et al, 1998).

Penelitian pada prajurit arteleri Kroasia, menunjukkan hasil bahwa 907 (84.25%) orang mengalami peningkatan ambang dengar (fatique) pada tingkatan yang berbeda segera setelah melakukan tembakan (Spirov A,1982).

Derajat ketulian dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher yaitu : Ambang dengar (AD) = AD 500 Hz + AD 1000 HZ + AD 2000 HZ

3 ( Soetirto I., Hendarmin H., Bashiruddin J., 2007 )

Pembagian derajat ketulian menurut ISO adalah : Normal (0 – 25 dB), Tuli ringan (26 – 40 dB), Tuli sedang (41 -60 dB), Tuli berat (61 – 90 dB), Tuli sangat berat ( > 90 dB) ( Bhasiruddin J, 2002)

5.5. Distribusi Frekuensi Derajat Ketulian Berdasarkan Kelompok Umur

Pada kelompok umur < 30 tahun dijumpai 12 orang ( 30,77%) normal, 1 orang (10%) menderita derajat ketulian ringan dan 1 orang (10%) menderita derajat ketulian


(61)

sedang. Pada kelompok umur > 30 tahun, normal 27 orang (69,23%) , menderita derajat ketulian ringan 9 orang (90%) dan tidak dijumpai adanya derajat ketulian sedang.

Hasil statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh p= 0.115 berarti secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna antara derajat ketulian dengan kelompok umur peserta penelitian.

Walaupun secara statistik tidak bermakna, tetapi secara klinis peneliti menemukan bahwa prajurit diatas 30 tahun dijumpai gangguan pendengaran lebih banyak dibandingkan prajurit dibawah 30 tahun. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui penyebab pasti dari hal tersebut diatas.

Pada penelitian Sasongko S. (2003) pada kelompok umur 15 – 24 tahun dijumpai (36,7%) menderita gangguan dengar, kelompok umur 25 -34 tahun dijumpai (60%) menderita gangguan dengar dan > 35 tahun (80%) menderita gangguan dengar.

5.6. Distribusi Frekuensi Lama Berdinas Dengan Derajat Ketulian

Dijumpai lama berdinas 1 – 5 tahun, 12 orang ( 92.30%) normal dan 1 orang ( 7,70% ) derajat ketulian sedang. Lama berdinas 6 – 10 tahun, 25 orang ( 75,75% ) normal dan 8 orang ( 24,25% ) derajat ketulian ringan. Lama berdinas 11 – 15 tahun, 1 orang ( 100% ) normal. Lama berdinas diatas 15 tahun, 1 orang ( 33,33% ) normal dan 2 orang ( 66,67% ) derajat ketulian ringan.

Anggota militer Kanada kecabangan infanteri , arteleri dan kavaleri secara prospektif pada saat mulai bekerja dan 3 tahun setelah bekerja, ditemukan 11% prajurit kecabangan infanteri mengalami peningkatan ambang dengar ringan sampai sedang pada telinga kiri lebih dari 25 dB (Pelausa EO et al, 1998)


(62)

Pada penelitian Sasongko, responden yang berdinas diatas 3 tahun cenderung mengalami gangguan pendengaran 3 kali lebih besar. Penelitian J Woo (2001), tentara Taiwan yang melakukan latihan menembak 1% mengalami gangguan pendengaran.


(63)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

6.1.1. Prajurit terbanyak menurut umur adalah kelompok umur 30 – 35 tahun sebanyak 27 orang ( 54% ) dan yang terendah adalah 42 - 47 tahun sebanyak 2 orang ( 4% ).

6.1.2. Prajurit terbanyak berdasarkan lama dinas di Yonif 100 Raider adalah 6 – 10 tahun sebanyak 33 orang ( 66% ) dan yang terendah adalah 11 – 15 tahun hanya 1 orang ( 2% ).

6.1.3. Senjata SS1 R5 dengan bunyi rata-rata 107,66 dB. Walaupun hasil intensitas bunyi yang ditimbulkan senjata organik Yonif 100 Raider masih lebih rendah daripada intensitas bunyi senjata lainnya, tetapi hasilnya lebih tinggi dari nilai ambang batas yang diperbolehkan yakni 85 dB.

6.1.4. Jenis APD yang biasa digunakan adalah ear plug 12 ( 24% ) dan ear muff hanya 2 ( 4 % ) sedangkan selebihnya tidak memakai APD sebanyak 36 ( 72% ).

6.1.5. Jenis gangguan pendengaran prajurit, pada telinga kanan tuli sensorineural 11 ( 22%) selebihnya normal (78% ). Tidak ditemukan tuli konduktif ataupun tuli campuran. Pada telinga kiri, tuli sensorineural 6 orang ( 12% ) dan normal 44 ( 88% ).

6.1.6. Pada kelompok umur < 30 tahun dijumpai 12 orang ( 30,77%) normal, 1 orang (10%) menderita derajat ketulian ringan dan 1 orang (10%) menderita


(64)

derajat ketulian sedang. Pada kelompok umur > 30 tahun, normal 27 orang (69,23%) , menderita derajat ketulian ringan 9 orang (90%) dan tidak dijumpai adanya derajat ketulian sedang.

Hasil statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh p= 0.115 berarti secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna antara derajat ketulian dengan kelompok umur peserta penelitian.

6.1.7. Dijumpai lama berdinas 1 – 5 tahun, 12 orang ( 92.30%) normal dan 1 orang ( 7,70% ) derajat ketulian sedang. Lama berdinas 6 – 10 tahun, 25 orang ( 75,75% ) normal dan 8 orang ( 24,25% ) derajat ketulian ringan. Lama berdinas 11 – 15 tahun, 1 orang ( 100% ) normal. Lama berdinas diatas 15 tahun, 1 orang ( 33,33% ) normal dan 2 orang ( 66,67% ) derajat ketulian ringan.

6.2. Saran

6.2.1. Prajurit dalam latihan menembak, sebaiknya menggunakan APD, berupa ear

plug maupun ear muff. Resiko terjadinya gangguan pendengaran sangat

besar mengingat intensitas rata-rata senjata yang dipakai diatas ambang normal.

6.2.2. Perlu adanya pemeriksaan audiometri pada prajurit secara berkala.

6.2.3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, untuk mengetahui adanya hubungan bunyi senjata dengan gangguan pendengaran.


(65)

KEPUSTAKAAN

Ballenger, J. 1996. Audiology. In Disease of The Nose, Throat, Ear, Head and Neck 13 ed.,. London: Lea and Fabiger. 274

Bashiruddin, J. 2002. Pengaruh Bising dan Getaran pada Fungsi Keseimbangan dan

Pendengaran. Jakarta, Indonesia: Universitas Indonesia.

Clark W.W., Bohne B.A., 2011. Effects of Noise on Hearing. JAMA. Central Institute for the Deaf, St. Louis, 281(17): 1658-59

Celli A., Ribas A., Zannin P.H.T., 2008. Effect of impulsive noise on military personnel - A case study. Journal of Scientific & Industrial Research. (67) : 605-8

Dhingra PL., 2007. Anatomy of Ear. In Diseases of Ear, Nose and Throat. 4th

Dobie, R.A. 2009, September 30. Occupational Noise Exposure and Age Correction:

The Problem of Selection Bias., from

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2800330/?tool=pubmed> Retrieved November 29, 2009

Edition. Elsevier. 1-14

Dobie, R. 1998. Noise Induce Hearing Loss. In J. B. Byron, Head and Neck Surgery

Laryngology Second ed., Philadelphia: Lippincott-Raven Publisher. 2155-56.

Hall, J. 1998. Assesment of Pheriphenol and Central Auditory Function. In J. Bailey, Head

and Neck Surgery Otolaryngology 2nd Edition,. Lippincott-Raven Publisher.


(66)

Jaana Jokituppo, et all. 2008. Millitary and Leisure-Time Noise Exposure and Hearing Thresholds of Finnish Conscripts. Millitary Medicine . Association of Millitary Surgeons of the United States

Keith, R. 1989. Audiotory testing and remediation. In Lee. K.J, Text book of

otolaryngology and head and neck surgery. Amsterdam: Elsevier NY. 40-52

Keppler, H., et all. 2010. Noise-Induced Hearing Loss From MP3 Players—Reply. Arch

Otolaryngol Head Neck Surgery , 136: 1280.

Korean Military (Anonymous). 2007. Noise-Induce Hearing Loss Caused by Gunshot in South Korean Millitery Service. Millitary Medicine; Association of Millitary Surgeons of the United States

Larry E. Humes, et all. Noise and Military Service: Implications for Hearing Loss and Tinnitus. Committee on Noise-Induced Hearing Loss and Tinnitus Associated with Military Service from World War II to the Present. http:/www.nap.edu/catalog/11443.html

Lee, K.J 1995. Audiology. In Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery Connecticut: Appleton & Lange Publisher. 28-41.

May, B. J., et all. 2004. Behavioral Studies of the Olivocochlear Efferent System: Learning to Listen in Noise. Arch Otolaryngol Head Neck Surgery , 130: 660-664.

Mills J.H. 1998. Anatomy and Physiology of hearing. In H. a. Otolaryngology, Byron J


(67)

Niebuhr D.W, Li Y., Powers T.E., Krauss M.R. et all. 2006. Attrition of U.S. Military Enlistees with Waivers for Hearing Deficiency, 1995-2004. Millitary Medicine . Association of Millitary Surgeons of the United States.

Nandi, S. S. 2008. Occupational noise-induced hearing loss in India. Indian Journal of

Occupational and Environmental Medicine , XII (2).

P.W.Alberti. 1997. Noise and the ear. in Alan G.Kerr, Scott Brown's Otolaryngology Sixth Edition ., London: Butterworth-Heinemann. 2/11/7-18.

PENDAM. 2005. Sejarah Satuan Yonif 100 Raider. Bundel Sejarah Satuan Jajaran

KODAM I BB Medan .

Paakkonen R., Lehtomaki K., 2005. Protection efficiency of hearing protectors against military noise from handheld weapons and vehicles. Noise & Health A Quaterly Inter-disciplinary International Journal, 26(7): 11-20

Rustam, A. W. 2004. Program Konservasi Pendengaran di Tempat Kerja. Cermin Dunia

Kedokteran , XIV, 29.

Sasongko, S. 2003. Trauma Akustik yang Disebabkan Ledakan meriam pada Prajurit di

Pusat pendidikan Artileri Medan KODIKLAT TNI-AD Cimahi Jawa Barat. Bandung:

Universitas Padjadjaran.

Spirov, A. 1982. Noise hearing loss in military. Military Journal . Association of Millitary Surgeons of the United States

Teo K.J, 2008. Effect of Basic military training on hearing in the Singapore Armed Forces.


(68)

Tufts JB, W. P. 2009. Estimation of equivalent noise exposure level using hearing threshold levels of a population. Ear Hear. , 287-90.

Vinocur, R. 2004. Acoustic Noise as a Non-Lethal Weapon. Sound an Vibration ,Wieland Associates, California, 19-23.

William W. Clark, P. B. 1999. Effects of Noise on Hearing. JAMA , 281 (17).

Wright A. 1997. Anatomy and ultrastructure of the human ear. In KerAG, Scott Brown's

Otolaryngology, Vol. 1. 6th ed., London: Butterworth-Heinemann., 1/1/28-48.

Ylikoski, M.E . 1987. Audiometric configurations in acute acoustic trauma caused by firearms. PMID : 3432989 , 16 (3), 115-20.

Ylikoski, M.E.a. 1994. Prolonged exposure to gunfire noise among professional soldier. Scand J Work Environ Health; 20:87-92


(69)

PERSONALIA PENELITIAN

1. Peneliti Utama

Nama : dr. Riki Markian

NRP : 11030001110374

Gol/Pangkat : Kapten CKM.

Jabatan : PPDS THT FK-USU (Asisten Ahli) Fakultas : Kedokteran

Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara

Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan THT, Bedah Kepala dan Leher Waktu Disediakan : 12 jam/minggu

2. Anggota Peneliti / Pembimbing

A. Nama : dr. Adlin Adnan, SpTHT-KL NIP : 140 202 219

Gol/Pangkat : IV/a, Pembina

Jabatan : Kepala Divisi Neuro Otologi/Staf Divisi Otologi/ Staf Divisi Komunitas Dept./SMF THT-KL FK

USU/RSUP H. Adam Malik-Medan

Fakultas : Kedokteran

Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara

Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan THT, Bedah Kepala dan Leher


(70)

B. Nama : dr.T. Siti Hajar Haryuna, SpTHT-KL NIP : 197906202002122003

Gol/Pangkat : III/d, Penata Tingkat I

Jabatan : Ketua Program Studi (KPS)/ Staf Divisi Neuro Otologi/ Staf Divisi Komunitas Dept/SMF THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik-Medan

Fakultas : Kedokteran

Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara

Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan THT, Bedah Kepala dan Leher

Waktu Disediakan : 5 jam/minggu

C. Nama : dr.Mangain Hasibuan, SpTHT-KL NIP : 195401121982021002

Gol/Pangkat : IV/c, Pembina Utama Muda

Jabatan : Staf Divisi Rinologi Dept/SMF THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik-Medan

Fakultas : Kedokteran

Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara

Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan THT, Bedah Kepala dan Leher


(1)

Tufts JB, W. P. 2009. Estimation of equivalent noise exposure level using hearing threshold levels of a population. Ear Hear. , 287-90.

Vinocur, R. 2004. Acoustic Noise as a Non-Lethal Weapon. Sound an Vibration ,Wieland Associates, California, 19-23.

William W. Clark, P. B. 1999. Effects of Noise on Hearing. JAMA , 281 (17).

Wright A. 1997. Anatomy and ultrastructure of the human ear. In KerAG, Scott Brown's Otolaryngology, Vol. 1. 6th ed., London: Butterworth-Heinemann., 1/1/28-48.

Ylikoski, M.E . 1987. Audiometric configurations in acute acoustic trauma caused by firearms. PMID : 3432989 , 16 (3), 115-20.

Ylikoski, M.E.a. 1994. Prolonged exposure to gunfire noise among professional soldier. Scand J Work Environ Health; 20:87-92


(2)

PERSONALIA PENELITIAN

1. Peneliti Utama

Nama : dr. Riki Markian

NRP : 11030001110374

Gol/Pangkat : Kapten CKM.

Jabatan : PPDS THT FK-USU (Asisten Ahli) Fakultas : Kedokteran

Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara

Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan THT, Bedah Kepala dan Leher Waktu Disediakan : 12 jam/minggu

2. Anggota Peneliti / Pembimbing

A. Nama : dr. Adlin Adnan, SpTHT-KL NIP : 140 202 219

Gol/Pangkat : IV/a, Pembina

Jabatan : Kepala Divisi Neuro Otologi/Staf Divisi Otologi/ Staf Divisi Komunitas Dept./SMF THT-KL FK

USU/RSUP H. Adam Malik-Medan

Fakultas : Kedokteran

Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara

Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan THT, Bedah Kepala dan Leher


(3)

B. Nama : dr.T. Siti Hajar Haryuna, SpTHT-KL NIP : 197906202002122003

Gol/Pangkat : III/d, Penata Tingkat I

Jabatan : Ketua Program Studi (KPS)/ Staf Divisi Neuro Otologi/ Staf Divisi Komunitas Dept/SMF THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik-Medan

Fakultas : Kedokteran

Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara

Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan THT, Bedah Kepala dan Leher

Waktu Disediakan : 5 jam/minggu

C. Nama : dr.Mangain Hasibuan, SpTHT-KL NIP : 195401121982021002

Gol/Pangkat : IV/c, Pembina Utama Muda

Jabatan : Staf Divisi Rinologi Dept/SMF THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik-Medan

Fakultas : Kedokteran

Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara

Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan THT, Bedah Kepala dan Leher


(4)

LAMPIRAN

KUISIONER

SKRINING PENDENGARAN PRAJURIT BATALYON INFANTERI 100 RAIDER KODAM I BUKIT BARISAN

I.

Nama : ………..

Keterangan umum.

Pangkat/NRP : ……….

Usia : ………..tahun

Jabatan : ………

Masa dinas : ……….tahun sebagai prajurit Yonif 100/Raider

II. Keluhan subyektif.

1. Apakah pernah menderita sakit darah tinggi ? a. ya b. tidak

2. Apakah pernah menderita sakit kencing manis dengan gejala banyak makan, banyak minum dan banyak kencing ?

a. ya b. tidak

3. Apakah pernah menderita sakit keluar cairan dari telinga ? a. ya b. tidak

4. Apakah pernah mengalami kecelakaan lalu lintas / tamparan ditelinga / terbentur dan luka di kepala yang mengakibatkan keluar darah dari telinga ? a. ya b. tidak

5. Apakah pernah mengalami operasi telinga tengah ( ada bekas operasi ) ? a. ya b. tidak


(5)

6. Apakah pernah menjalani pengobatan TBC atau malaria? a. ya b. tidak

III.Paparan Bising Senjata.

1. Sekali latihan menembak berapa lama? …… hari Berturut – turut atau berselang hari ? ……….

2. Berapa kali latihan menembak dalam sebulan ? ……… kali per bulan

3. Berapa kali latihan menembak dalam setahun ? ……… kali per tahun

4. Berapa lama latihan menembak dalam 1 hari ? …………... jam

5. Dalam latihan menembak berapa kali tembakan dilakukan? ………….. butir peluru

6. Apakah selama latihan menembak memakai pelindung telinga ? a. ya b. tidak

Bila “ya” , apa jenisnya ?

a. ear muff b. ear plug c. ………

( apabila kurang mengerti tentang a dan b, tanyakan ke peneliti)

7. Bila di sediakan pelindung telinga apakah dipakai saat menembak? a. ya b. tidak

8. Apakah senang memakai pelindung telinga ? a. ya b. tidak


(6)

9. Apakah setelah latihan menembak telinga merasa mendenging ? a. ya b. tidak

Bila “ ya” , berapa lama?

…………..jam, selama ………hari

10. Apakah setelah latihan menembak pendengaran merasa berkurang ? a. ya b. tidak

Bila “ya”, berapa lama waktunya ? …………. jam, selama ………hari

IV.

1. Telinga

Pemeriksaan THT Rutin.

Liang telinga : kanan : kiri : Membran timpani : kanan :

kiri :

2. Hidung :

3. Tenggorok :

Kesan THT : Normal / Ada kelainan ………..

Catatan : ………...

V. Pemeriksaan audiometri nada murni.

Namu Sira-sira, ……….. 2011