Tinjauan Hukum Terhadap Perlindungan Dana Nasabah Dalam Koperasi Simpan Pinjam Syariah (Studi pada KSU Syariah Mitra Amaliyah)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Anshori, Abdul Ghofur, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, Citra Media, Yogyakarta, 2006.

Asyhadie, Zaeni, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, 2005.

Badrulzaman, Mariam Darus, KUH Perdata Buku III Hukum perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 2006.

_______________________, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal.247

Baros, Wan Sadjaruddin, Beberapa Studi Hukum Perikatan, FH USU, Medan, 1994.

Basyir, Ahmad Azhar, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), UII Press, Yogyakarta, 2000.

Djamil, Fathurahman, Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal.248

Edilius, dan Sudarsono, Koperasi dalam Teori dan Praktik, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1993.

Firdaus, M. dan Agus Edhi Susanto, Perkoperasian: Sejarah, Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 38-39.

Gunadi, Tom, Sistem Perekonomian Menurut Pancasila dan UUD 1945, Angkasa, bandung, 1981.

Harahap, M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung; 1986.

Janwari, Yadi, Lembaga-lembaga Perekonomian Syariah, Pustaka Mulia dan Fakultas Syariah IAIN SGD Bandung, Bandung, 2000.

____________, Aplikasi Fikih Muamalah dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, dalam BMT dan Bank IslamL Instrument Lembaga Keuangan Syariah, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004.


(2)

BAB IV

PERLINDUNGAN DANA NASABAH DALAM KOPERASI SIMPAN PINJAM SYARIAH

A. Gambaran Umum Koperasi Syariah Mitra Amaliyah dan Dasar Hukumnya

1. Tentang Perusahaan

LKMS-KSU SYARIAH BMT MITRA AMALIYAH dirintis pertama kali pada awal tahun 2007 oleh dua orang, yaitu: M. Nizar Lubis dan Aidillah. Kedua orang pendiri tersebut pada waktu itu masih berstatus sebagai mahasiswa aktif Jurusan Syariah IAIN Sumatera Utara.20

LKMS-KSU SYARIAH BMT MITRA AMALIYAH badan usaha menghimpun dana masyarakat dengan akad investasi mudhorobah yang kemudian disalurkan untuk membiayai kebutuhan masyarakat baik yang bersifat produktif maupun konsumtif dengan tujuan untuk mendapatkan profit atas jasa dan usaha yang dijalankan. LKMS-KSU SYARIAH BMT MITRA AMALIYAH berfungsi sebagai lembaga intermediary (fasilitator dan mediator) antara masyarakat/ nasabah yang menabung (investasi) dengan masyarakat/ nasabah pengguna modal. Sehingga nasabah pengguna modal/ unit usaha yang membutuhkan modal dapat terpenuhi kebutuhannya, sedangkan investor/ nasabah penabung mendapatkan keuntungan atas kerjasama dan investasi yang diamanahkan pada LKMS-KSU SYARIAH BMT MITRA AMALIYAH.21

Wawancara dengan Manajer LKMS-KSU Syariah BMT Mitra Amaliyah Kec. Patumbak.20

21


(3)

Visi dan Misi lembaga Visi :

“ Memberdayakan Ekonomi Umat “

Misi :

“Membantu peningkatan dan pengembangan ekonomi umat terutama ekonomi kecil dan menengah dengan pemberdayaan permodalan, pemeberdayaan manajemen dan pemeberdayaan sumberdaya manusia”

Maksud dan Tujuan

1. Memperkokoh ketahanan aqidah dari serbuan budaya dan ideologi yang tidak Islami dan mempererat serta meningkatkan ukhuwah Islamiyah. 2. Membantu peningkatan dan pengembangan ekonomi umat terutama

ekonomi kecil dan menengah

3. Membantu masyarakat dalam menunaikan kewajiban agama secara materi (Zakat, Infak dan Shodaqoh)

4. Membentuk Jaringan ekonomi Islam yang menjadikan rahmatan lil alamin

(kemakmuran bagi seluruh masyarakat )

5. Meraih kesuksesan dan keberkahan usaha berdasarkan prinsip mu’amalah


(4)

2. Struktur Perusahaan Dewan Pendiri22

1. Ir. Imasda Tanjung 2. Syarifuddin

3. Syafaruddin 4. Kana’ati, S.Pd.I 5. M. Nizar Lubis, SHI 6. Yeni Efrianti, S.Pd.I 7. Abdul Razak

8. Perhimpunan Lubis 9. Nurjainah

10.Mutiara Sembiring 11.M. Zainun S. Meliala, SH 12.Yusnizar Barus

13.Zainal Arifin Marpaung, M. Ag 14.Ade Irma Suryani

15.Asnuan 16.Amiruddin

17.H. Yaroh Mustafa 18.Agung Muanah 19.Indrawan Harefa 20.Selima Azizah

22


(5)

Pengawas Syariah

Awaluddin

Dewan Manajemen

1. Manajer Umum

M. Nizar Lubis, SHI 2. Sekretaris

Yeni Efrianti, S.Pd.I 3. Bendahara

Kana’ati, S.Pd.I

3. Produk – Produk23 a. Funding

Funding adalah kegiatan penghimpunan dana masyarakat baik berupa titipan amanah (wadiah) ataupun Investasi mudhorobah yang akan digunakan sebagai dana pembiayaan bagi masyarakat sesuai akad kebutuhan masing-masing.

1. Wadiah

Adalah dana titipan masyarakat yang dapat di ambil sewaktu-waktu yang bersifat amanah yang mana pihak penitip harus memberikan ujroh kepada pihak yang dititipi, sedangkan pihak yang dititipi berkewajiban menjaga amanah dengan sebaik-baiknya tanpa memberikan imbalan kepada orang yang titip. Adapun imbalan atas manfaat barang titipan hanyalah sebatas bonus semata.

23


(6)

2. Mudharabah

Adalah dana yang diamanahkan oleh masyarakat untuk diinvestasikan kepada pembiayaan yang produktif, syar’i dan aman dengan kesepakatan bagi hasil atas keuntungan dan kerugian yang ada, akan tetapi apabila kerugian diakibatkan kelalaian pengelola maka yang menanggung risiko dan yang bertanggung jawab adalah pihak pengelola. Untuk menjamin keamanan dan produktivitas dana investasi, maka pihak pengelola harus dapat menunjukkan prinsip profesionalisme, prudensial, dan amanah. Untuk produk ini LKMS-KSU SYARIAH BMT MITRA AMALIYAH menerbitkan produk simpanan

mudhorobah berjangka, yaitu investasi mudhorobah yang dapat diambil pada jangka waktu tertentu dengan perhitungan bagi hasil keuntungan setiap bulan. Jangka waktu simpanan tersebut adalah :

Simpanan Berjangka 1 bulan Simpanan Berjangka 3 Bulan Simpanan Berjangka 6 Bulan Simpanan Berjangka 12 Bulan Simpanan Berjangka 24 Bulan 3. Simpanan Qurban

Simpanan yang prioritas kegunaan dan hasil diperuntukkan untuk pembelian hewan korban dengan jangka waktu tertentu. Dengan spesifikasi harga hewan korban sesuai standar harga kambing. Contoh :

Kelas A. Rp.850.000,- Kelas B. Rp.700.000,-


(7)

Kelas C. Rp.600.000,-

Apabila setoran perbulan sudah memenuhi spesifikasi harga di atas maka pihak BMT akan membelikan kambing yang digunakan sebagai ibadah korban nasabah.

4. Simpanan Haji

Simpanan investasi yang prioritas kegunaan dan hasil diperuntukkan untuk biaya perjalanan ibadah haji. Dengan setoran awal yang telah ditentukan, contohnya Rp.5.000.000,-. Apabila saldo investasi nasabah sudah memenuhi biaya yang diperlukan, maka pihak BMT akan mendaftarkan pihak nasabah ke biro perjalanan haji guna mendapatkan quota keberangkatan

5. Simpanan Wisata

Adalah simpanan investasi yang prioritas kegunaannya diperuntukkan untuk kegiatan perjalanan tertentu .(Karya Wisata, Ziarah, Tour, dll). Setelah dana simpanan perbulan memenuhi target biaya wisata yang direncanakan maka pihak Koperasi akan menjadi Event Organizer pelaksanaan kegiatan.

6. Simpanan Pendidikan

Adalah simpanan investasi yang prioritas kegunaannya diperuntukkan untuk perencanaan biaya pendidikan anak dengan jenjang pendidikan tertentu.

7. Simpanan Masa Depan

Adalah jenis simpanan yang berorientasi hari esok. Jenis simpanan ini bisa diambil setelah jatuh tempo masa simpanan (3 tahunan atau 5 tahunan). Nominal simpanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selanjutnya nasabah akan


(8)

mendapatkan bagi hasil atas simpanan, contohnya dengan memperoleh nisbah 60% dari keuntungan per bulan lembaga.

b. Lending

Adalah kegiatan pendistribusian dana Investasi masyarakat untuk pembiayaan masyarakat yang membutuhkan dengan prinsip Syar’i, produktif dan aman melalui beberapa akad.

1. Murobahah

Yaitu pembiayaan berupa pembelian barang yang dibutuhkan masyarakat yang kemudian dijual kepada nasabah dengan kesepakatan harga baru dengan system pembayaran sesuai kesepakatan pula baik secara cash, tempo, ataupun angsur dengan rincian sebagai berikut:

a. Nasabah mengajukan pembiayaan dengan spesifikasi barang tertentu. b. Lembaga mencari dan membeli barang yang dikehendaki Nasabah pada

merchan yang menyediakan barang. c. Merchan mengantar barang ke Lembaga

d. Lembaga menyerahkan barang kepada nasabah dengan akad jual beli dan dengan kesepakatan harga yang telah ditentukan.

Apabila Lembaga tidak dapat menyediakan barang sendiri maka, pembelian dapat diwakilkan kepada nasabah secara langsung, dengan dengan rincian:

a. Nasabah mengajukan pembiayaan pembelian barang

b. Karena lembaga tidak dapat menyediakan barang sendiri maka lembaga mewakilkan pembelian barang kepada nasabah dengan akad Wakalah.


(9)

c. Nasabah beli barang yang dikehendaki dan atas persetujuan lembaga d. Nasabah menyerahkan barang obyek pembiayaan/ bukti pembelian kepada

lembaga

e. Lembaga melaksanakan akad Murobahah kepada Nasabah dengan kesepakatan harga baru dengan pembayaran sesuai kesepakatan.

2. Mudhorobah / Musyarokah

Adalah akad pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi masyarakat yang membutuhkan modal usaha maupun modal kerja dengan kesepakatan bagi hasil atas usaha yang dijalankan dan dengan kesepakatan waktu tertentu. Diakadkan mudhorobah apabila 100% modal kerja atau modal usaha yang dibutuhkan disediakan oleh lembaga dengan konskuensi risiko juga 100% ditanggung lembaga sedangkan diakadkan musyarokah apabila lembaga hanya membiayai sebagian modal yang dibutuhkan dalam menjalankan usaha

Adapun nisbah bagi hasil keuntungan ditentukan sesuai kesepakatan untuk akad mudhorobah, akan tetapi untuk akad musyarokah nisbah berdasarkan prosentase modal penyertaan masing-masing. Rinciannya adalah sebagai berikut:

a. Nasabah mengajukan pembiayaan modal kerja atau modal usaha dengan jangka waktu tertentu

b. Lembaga memberikan modal yang dibutuhkan c. Modal yang diusahakan menghasilkan keuntungan d. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan nisbah bagi hasil

e. nasabah mengembalikan modal dan memberikan bagi hasil atas uasaha yang dijalankan


(10)

Untuk Kegiatan Usaha yang permanen, rinciannya adalah sebagai berikut: a. Nasabah mengajukan pembiayaan modal kerja atau modal usaha dengan

jangka waktu tertentu

b. Lembaga memberikan modal yang dibutuhkan c. Modal yang diusahakan menghasilkan keuntungan

d. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan nisbah bagi hasil baik secara harian, mingguan ataupun bulanan atau per jangka waktu tertentu

e. Nasabah menyisihkan sebagian keuntungannya sebagai tabungan angsuran f. Setelah tabungan angsuran sama atau lebih dari modal yang diberikan

lembaga, maka akan dipindahbukukan sebagai pengembalian modal penyertaan dan hubungan penyertaan putus.

3. Ijaroh

Adalah akad pembiayaan yang diperuntukkan bagi masyarakat yang membutuhkan hak guna atas amanfaat yang dibutuhkan dengan jangka waktu tertentu. Misalnya sewa kios, kontrakan rumah, dll. Rinciannya adalah sebagai berikut:

a. Nasabah mengajukan pembiayaan sewa. b. Lembaga membayar objek sewaan.

c. Pemilik objeksewaan memberikan hak guna kepada lembaga.

d. Lembaga meyewakan kembali kepada nasabah dan nasabah menbayar biayasewa sesuai kesepakatan.


(11)

Adalah akad pembiayaan yang diberikan kepada nasabah yang berfungsi sebagai pinjaman dengan tujuan menolong, akan tetapi dengan penyerahan jaminan sebagai bukti penguat akad.

5. Qordhul Hasan

Adalah pembiayaan yang bersifat sosial tanpa ada nilai produktifitas apapun, sepertihalnya membantu untuk biaya kesehatan, kematian, dll

4. Prosedur Simpanan dan Pembiayaan24 a. Simpanan / Funding:

1. Isi Form Pendaftaran 2. Serahkan Foto Copy ID 3. Penanda tanganan akad

4. Bayar setoran awal dan biaya administrasi 5. Diterbitkan buku atau bukti simpanan

b. Pembiayaan/ Out Lending:

1. Sudah terdaftar sebagai anggota funding dan masih aktif 2. Isi Form pengajuan pembiayaan

3. Bersedia disurvey dan di wawancara 4. penandatanganan akad pembiayaan 5. Bayar biaya administrasi

6. Pencairan pembiayaan

24


(12)

5. Nasabah LKMS-KSU Syariah BMT Mitra Amaliyah

Nasabah LKMS-KSU SYARIAH BMT MITRA AMALIYAH berasal dari kalangan pedagang pasar, akademisi, pelajar, mahasiswa maupun masyarakat umum. Sejak pertama berdiri sampai dilaksanakannya penelitian ini tercatat ada 623 orang nasabah.

B. Aspek Hukum Perikatan dalam Pendirian Koperasi Simpan Pinjam Syariah

1. Pengertian perjanjian

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, mengatakan:

Perikatan adalah perhubungan hukum yang terjadi antara dua orang atau lebih yang terletak dalam harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lainnya wajib memenuhi prestasi.25

Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau kedua orang itu berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.26

Perjanjian mengandung pengertian suatu hubungan kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.

M. Yahya Harahap, memberikan defenisi bahwa:

27

Jika diperhatikan defenisi di atas maka di dalamnya terdapat unsur yang memberikan wujud pengertian perjanjian antara lain hubungan hukum yang

25

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 2006 Hal. 1

26

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta,1990, hal.1 27


(13)

menyangkut kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberikan hak kepada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.

Perhubungan dua pihak ini dijamin oleh undang-undang. Dari penjelasan di atas dapat dinyatakan bahwa hubungan hukum yang terdapat dalam perjanjian, bukan merupakan suatu hubungan yang timbul dengan sendirinya, hubungan ini tercipta karena adanya tindakan hukum.

2. Jenis-jenis perjanjian

Jenis-jenis dari perjanjian ini dapat dibedakan menurut berbagai cara yaitu adalah:28

a. Perjanjian Timbal-Balik

Perjanjian timbal-balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak.

b. Perjanjian Kebendaan

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian hak atas benda dialihkan atau diserahkan kepada pihak lain.

c. Perjanjian campuran

Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian.

d. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama

Perjanjian bernama (khususnya) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama

28


(14)

oleh pembuat undang-undang, berdasarkan tipe yang paling sering banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian bernama ini dapat kita jumpai dalam bab V sampai dengan bab XVIII KUH Perdata. Di luar perjanjian bernama tumbuh perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang diatur di dalam KUH Perdata tetapi terdapat di masyarakat.

e. Perjanjian Obligatoir

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan).

f. Perjanjian Cuma-cuma dan Perjanjian Atas Beban

Perjanjian dengan Cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. perjanjian atas beban adalah perjanjian terhadap prestasi dari pihak yang satu terhadap kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

g. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya. 1) Perjanjian Liberatoir

Perjanjian liberatoir yaitu perjanjian antara pihak yang membebaskan diri dari perjanjian yang ada.

2) Perjanjian Publik

Perjanjian publik adalah perjanjian yang sebahagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah).


(15)

3) Perjanjian Pembuktian

Perjanjian pembuktian adalah perjanjian diantara pihak yang menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.

4) Perjanjian Untung-untungan

Perjanjian untung-untungan adalah perjanjian asuransi sebagai contohnya.

3. Syarat syahnya suatu perjanjian

Setelah membicarakan pengertian dan jenis-jenis perjanjian, setidaknya kita mempunyai suatu batasan yang jelas tentang perjanjian. Hal-hal yang pokok agar perjanjian mempunyai kekuatan yang mengikat maka perjanjian itu harus mempunyai syarat-syarat kontrak atau perjanjian.

Untuk syahnya suatu persetujuan diperlukan empat syarat, yaitu:29

Syarat ini disebut dengan persetujuan kehendak, yakni “kesepakatan” seia sekata antara pihak-pihak mengenai poko-pokok perjanjian yang dibuat itu.

a. Sepakat untuk mengikatkan dirinya

30

Dengan demikian para pembuat perjanjian haruslah benar-benar rela, jadi para pihak harus ada kemauan bebas. Kemauan bebas dianggap tidak ada jika kesepakatan itu lahir atau dibuat berdasarkan karena adanya kehilafan, penipuan atau paksaan. Apabila dalam perjanjian terdapat kesalahan pengertian, penipuan atau paksaan maka ini disebut kesepakatan yang cacat. Hal ini didasarkan pada Pasal 1321 KUH Perdata yang memuat ketentua “Tiada kesepakatan yang syah

29

Pada Pasal 1320 KUH Perdata. 30


(16)

apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.

Jika terjadi kesepakatan yang lahir karena suatu kehilafan (dwaling), paksaan (dwang) atau karena penipuan (bedrog) maka para pihak dapat membatalkan atau meminta pembatalan perjanjian tersebut. Namun tidak semua perjanjian yang lahir dari kehilafan dapat diminta pembatalannya, yang dapat hanya jika mengenai inti yang dikehendaki. Apabila kehilafan itu pada subjeknya, berarti perjanjian yang dibuat tidak batal.

Kekeliruan yang menyebabkan batalnya perjanjian haruslah yang menyangkut ; 1) Prestasi yang dikehendaki (objek perjanjian)

2) Hak para pihak yang bersangkutan

3) Kedudukan para pihak yang membuat perjanjian

Paksaan yang dapat menyebabkan perjanjian dalam persetujuan adalah paksaan fisik yang bersifat vis absolita sedemikian rupanya paksaan kekerasan yang diancamkan sehingga orang yang bersangkutan tidak mempunyai pilihan lain selain melakukan pilihan yang dipaksakan.31

Menurut Pasal 1325 KUH Perdata persetujuan juga batal jika paksaan atau ancaman itu ditujukan terhadap istri atau sanak keluarga garis keturunan keatas Dalam hal ini maka perjanjian yang dibuat dianggap tidak pernah ada. Paksaan yang membuat cacatnya perjanjian adalah paksaan kekerasan jasmani atau ancaman, misalnya akan disiksa atau dibongkar rahasianya sehingga menimbulkan rasa takut bagi pihak yang dipaksa ancaman.

31


(17)

atau kebawah. Penipuan juga terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar disertai dengan kelicikan-kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberikan persetujuan.32

Dari syarat inilah disimpulkan asas konsensualisme hukum perjanjian

yang artinya hukum perjanjian cukup dengan sepakat saja bahwa perjanjian itu dengan demikian perikatan yang ditimbulkan karenanya sudah dilahirkan pada atau saat detik tercapainya konsensus sebagaimana yang dimaksud di atas.

Penipuan yang telah direncanakan dan tersusun rapi juga memperhatikan tingkat pengetahuan atau pendidikan pihak yang tertipu.

33

b. Kecakapan untuk membuat perikatan

Orang yang dapat menjadi subjek dalam perjanjian ialah orang yang cakap bertindak dalam hukum. Menurut Pasal 1330 KUH perdata, orang-orang yang tidak cakap membuat persetujuan adalah :

1) Orang-orang yang belum dewasa

2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan

3) Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang pada siapa undang-undang-undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu.

Kriteria orang yang belum dewasa menurut Pasal 330 KUH Perdata adalah belum genap berumur 21 tahun dan belum kawin. Apabila umur belum genap 21

32

Subekti, Op.cit, hal.24 33


(18)

tahun tetapi sudah kawin tetap dianggap cakap, demikian juga pada orang yang telah bercerai walaupun belum genap 21 tahun.

Menurut Pasal 433 KUH Perdata orang yang ditaruh dibawah pengampuan adalah orang yang dari segi umur sudah dewasa (berumur 21 tahun), namun orang tersebut selalu dalam keadaan dungu, gelap mata atau boros.

Pembuat Undang-undang memandang mereka menyadari tanggung jawabnya, karenanya tetap dianggap tidak cakap. Dan ini merupakan antisipasi dini jika terjadi wanprestasi, maka orang itu haruslah dapat dimintai pertanggung jawabannya secara hukum.

c. Suatu hal tertentu

Artinya perjanjian itu dibuat harus mengenai pokok atau objek tertentu. Pasal 1332 dan Pasal 1333 KUH Perdata, menentukan ;

1) Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat dijadikan pokok-pokok persetujuan.

2) Suatu barang yang menjadi pokok perjanjian haruslah ditentukan jenisnya. Tidak menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.

Dalam Pasal 1334 KUH Perdata, diisyaratkan bahwa yang menjadi pokok perjanjian bukan harus sudah ada pada saat perjanjian itu dibuat, karena boleh saja barang-barang itu baru akan ada, misalnya padi yang belum dipanen, pengecualian adalah warisan yang belum terbuka, barang yang digunakan untuk umum, jembatan umum, pelabuhan, jalan umum dan sebagainya.


(19)

Syarat ini penting karena menyangkut penetapan kewajiban debitur dan hak kreditur, ini gunanya bagi pihak-pihak jika terjadi perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perjanjian harus jelas jenis dan bentuknya. Dalam perjanjian yang dibuat para pihak dimana apa yang menjadi pokok perjanjian yang dibuat tidak ada atau sesuatu yang tidak mungkin ada konsekwensinya, perjanjian tersebut batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada.34

Menurut Pasal 1335 KUH Perdata, bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal ataupun jika ada suatu sebab yang lain daripada yang dinyatakan persetujuannya, namun demikian adalah tetap sah, sebab atau causa tidaklah sama artinya dengan motif. Motif adalah factor-faktor atau alasan yang mendorong manusia untuk berbuat. Dalam hal perbuatan perjanjian, motif tidak dipersoalkan oleh hukum. d. Suatu sebab yang halal

Kata sebab pada syarat ini tidaklah sama pengertiannya dalam ilmu alam dan pada teori causalitas. Dalam ajaran causalitas sebab diartikan sebagai suatu yang menimbulkan akibat, tanpa adanya suatu sebab tidak mungkin timbul akibat. Berbeda halnya dengan pengertian sebab disini diartikan sebagai isi atau tujuan dari perjanjian.

34

Wan Sadjaruddin Baros, Beberapa Studi Hukum Perikatan, FH USU, Medan, 1994, hal. 15


(20)

Causa yang halal dimaksudkan adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, misalnya perjanjian untuk kejahatan.

Pasal 1320 KUH Perdata inilah yang dijadikan syarat sahnya perjanjian. Kontrak sah dan mengikat secara hukum manakala sudah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh UU sehingga diakui oleh hukum.

4. Akibat hukum dari suatu perjanjian

Setiap perjanjian yang merupakan peristiwa hukum akan melahirkan akibat hukum, yaitu akibat-akibat dalam hal mana diatur dan ditentukan oleh hukum. Tetapi akibat itu haruslah timbul dari perjanjian yang dibuat para pihak. Akibat hukum itu adalah lahirnya hak dan atau kewajiban yang berkaitan langsung pada pembuat perjanjian tersebut.

Perlu diingat bahwa suatu perjanjian satu pihak hanya mempunyai hak tanpa kewajiban, dan sebaliknya pihak lain hanya mempunyai kewajiban tanpa hak. Hal ini terjadi pada perjanjian yang bukan perjanjian timbal-balik.

Dalam pasal 1338 KUH Perdata ditentukan ;

a. Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya.

b. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

c. Persetujuan-persetujuan yang harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal ini menentukan bagaimana akibat hukum yang lahir dari perjanjian bagi pembuatnya. Dengan istilah semua maka pembuat undang-undang


(21)

menunjukkan bahwa perjanjian yang dimaksud bukanlah semata-mata perjanjian bernama, tetapi meliputi perjanjian yang tidak dikenal dalam undang-undang.35

Dalam ayat (3) dari Pasal 1338 KUH Perdata menegaskan pentingnya itikad baik, yang bermaksud memperjelas perjanjian harus sesuai dengan keadilan Jadi pasal 1338 KUH Perdata ini juga berlaku pada perjanjian yang dikenal dalam undang-undang maupun yang tidak dikenal dalam undang-undang.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban para pihak untuk menaati perjanjian sama dengan mentaati undang-undang. Pelanggaran isi dari perjanjian sama nilainya dengan melanggar undang-undang. Pelanggaran terhadap perjanjian yang lazim disebut dengan istilah wanprestasi akan menerima sanksi hukum yang biasanya berupa ganti rugi.

Akibat hukum dari perjanjian terhadap para pihak adalah mempunyai kekuatan hukum mengikat dan memaksa bagi para pihak pembuat perjanjian. Inilah yang dimaksud bahwa dalam perjanjian ditemukan adanya suatu asas yakni asas kepastian hukum.

Akibat lain dari perjanjian itu adalah tidak diperbolehkannya oleh hukum untuk menarik kembali atau dibatalkan secara sepihak saja. Kecuali isi perjanjian itu sendiri memperbolehkannya, ini sering dijumpai pada perjanjian kredit bank. Apabila suatu pihak ingin membatalkan haruslah ada izin atau sepakat dari pihak lain pembuat perjanjian.

35


(22)

dan kepatutan. Berarti perjanjian itu haruslah mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.36

5. Pengertian Hukum Perjanjian Islam

Secara etimologis perjanjian dalam Bahasa Arab diistilahkan dengan

Mu’ahadah Ittifa’, atau akad. Dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan kontrak, perjanjian atau persetujuan yang artinya adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih.37

Dalam Al-Qur’an sendiri setidaknya ada 2 (dua ) istilah yang berkaitan dengan perjanjian38

Dengan demikian istilah akad dapat disamakan dengan istilah perikatan atau verbintenis, sedangkan kata Al-‘ahdu dapat dikatakan sama dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yang dapat diartikan sebagai suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan pihak yang lain. Janji hanya mengikat bagi orang yang bersangkutan, sebagaimana yang telah diisyaratkan di dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 76.

, yaitu kata akad (al-‘aqadu) dan kata ‘ahd (al-‘ahdu), Al-Qur’an memakai kata pertama dalam arti perikatan atau perjanjian, sedangkan kata yang kedua dalam Al-Qur’an berarti masa, pesan dan janji atau perjanjian.

39

36

Abdul Kadir Muhammad, Op.cit, hal. 99 37

Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K.Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 1

38

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal.247

39

Fathurahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal.248


(23)

Rumusan akad di atas mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus setelah akad secara efektif mulai diberlakukan. Dengan demikian akad diwujudkan dalam ijab

dan qabul yang menunjukkan adanya kesukarelaan secara timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang harus sesuai dengan kehendak syariat. Artinya, bahwa seluruh perikatan yang telah diperjanjikan oleh kedua belah pihak atau lebih baru dianggap sah apabila secara keseluruhan tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Dengan adanya ijab qabul yang didasarkan pada ketentuan syariat, maka suatu akad akan menimbulkan akibat hukum pada objek perikatan, yaitu terjadinya pemindahan kepemilikan atau pengalihan pemenfaatan dan seterusnya.

Dalam Islam ada pengertian yang memberi gambaran lebih luas cakupannya dari pengertian yang tersebut di atas, yakni memasukan akad sebagai tindakan seseorang yang berkehendak kuat dalam hati, meskipun dilakukan secara sepihak, seperti hibah, wasiat, wakaf dan sebagainya.

Sementara itu Ahmad Azhar Basyir, memberikan defenisi akad sebagai berikut, akad adalah suatu perikatan antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syarak yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada objeknya. Ijab adalah pernyataan sepihak pertama mengenai isi perjanjian yang dinginkan, sedangkan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.40

40

Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), UII Press, Yogyakarta, 2000, hal. 65


(24)

Pengertian akad dapat dijumpai dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) dikemukakan akad adalah perjanjian yang tertulis yang memuat ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) antara bank dengan pihak lain yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa akad adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban prestasi pada salah satu pihak, dan hak bagi pihak lain atas prestasi tersebut, dengan atau tanpa melakukan kontra prestasi.

6. Keabsahan Perjanjian menurut Hukum Islam

Dalam ajaran Islam untuk sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi rukun dan syarat dari suatu akad. Rukun adalah unsur yang mutlak harus dipenuhi dalam sesuatu hal, peristiwa dan tindakan. Sedangkan syarat adalah unsur yang harus ada untuk sesuatu hal, peristiwa dan tindakan tersebut.41

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi agar ijab dan qabul mempunyai akibat hukum :

Rukun akad yang utama adalah ijab dan qabul. Syarat yang harus ada dalam rukun bisa menyangkut subjek dan objek dari suatu perjanjian.

42

a. Ijab dan qabul harus dinyatakan sekurang-kurangnya telah mencapai umur tamyiz yang menyadari dan mengetahui isi perkataan yang diucapkan

41

Fathurrahman Djamil, Op cit, hal.252 42


(25)

hingga ucapannya itu benar-benar menyatakan keinginan hatinya. Dengan kata lain dilakukan oleh orang yang cakap melakukan tindakan hukum. b. Ijab dan qabul harus berhubungan langsung dengan suatu majelis apabila

dua belah pihak sama-sama hadir.

Jumhur ulama mengatakan bahwa ijab dan qabul merupakan salah satu unsur yang penting dalam suatu perjanjian/akad, disamping unsur-unsur lain yang juga termasuk rukun akad. Unsur-unsur tersebut terdiri dari:

a. Shighat al-aqad (pernyataan untuk mengikatkan diri)

Adalah cara bagaimana pengikatan diri itu dilakukan, maksudnya dalam hal pembuatan akad, maka para pihak harus menyampaikan secara lisan/tertulis

term and condition dari akad tersebut. Sehingga dapat menimbulkan akibat hukum, sebab maksud yang belum disampaikan kepada pihak lain tidak mempunyai akibat hukum sama sekali.

b. Al-ma’qud alaih/mahal al-‘aqad (objek akad)

Objek akad sangat tergantung dengan akad yang dibuat. Dalam akad jual-beli objeknya bisa berupa barang atau jasa dan harga, dalam sewa-menyewa objeknya adalah manfaat dari barang yang disewakan dan uang sewa, begitu seterusnya. Terkait dengan objek perjanjian ini harus memenuhi persyaratan-persyaratan berupa telah ada pada waktu akad diadakan, dibenarkan oleh syara’ atau nash, dapat ditentukan dan diketahui, dan dapat diserahkan pada waktu akad terjadi.


(26)

Pihak-pihak yang berakad harus sama-sama mempunyai kecakapan melakukan tindakan hukum dalam artian sudah dewasa dan sehat akalnya. Sedangkan jika perjanjian dibuat oleh orang yang tidak mempunyai kecakapan, misalnya melibatkan anak-anak maka ia harus diwakilkan oleh walinya. Dan untuk menjadi wali harus memenuhi persyaratan dalam hal kecakapan untuk menjalankan tugas secara sempurna, persamaan pandangan (agama) antara wali dan yang diwakilinya, adil, amanah dan mampu menjaga kepentingan orang yang berada dalam perwaliannya.

d.Maudhu’ al’aqd (tujuan akad)

Menurut ulama fiqh, tujuan suatu akad harus sejalan dengan kehendak syarak, sehingga apabila tujuannya adalah bertentangan dengan syarak maka berakibat pada ketidakabsahan dari perjanjian yang dibuat. Tujuan harus ada pada saat akad diadakan, dapat berlangsung hingga berakhirnya akad, dan harus dibenarkan oleh syarak.

Dengan demikian sighat merupakan salah satu rukun akad yang penting, karena tanpanya akad tidak dapat terjadi. Dalam buku Asas-Asas Hukum Muamalat, Ahmad Azhar Basyir mengemukakan, bahwa sighat akad dapat dilakukan secara lisan, tulisan atau isyarat yang memberi pengertian dengan jelas tentang adanya ijab dan qabul. Adapun penjelasan beliau adalah sebagai berikut:43 1) Sighat Akad secara Lisan

43


(27)

Akad dipandang telah terjadi apabila telah disampaikan secara lisan oleh pihak-pihak. Dengan catatan bahwa ucapan yang disampaikan mudah dipahami oleh para pihak atau orang yang dituju.

2) Sighat Akad dengan Tulisan

Ijab dianggap telah terjadi setelah pihak kedua menerima dan membaca surat dimaksud. Jika dalam ijab tersebut tidak disertai dengan pemberian tenggang waktu, kabul harus segara dilakukan dalam bentuk tulisan atau surat yang dikirim via pos. Bila disertai dengan tenggang waktu, kabul supaya dilakukan sesuai dengan tenggang waktu tersebut.

3) Sighat Akad dengan Isyarat

Dengan syarat orang tersebut tidak bisa berbicara dan tidak bisa menulis, akan tetapi jika ia bisa menulis dan melakukan akad secara isyarat maka akadnya tidak sah.

4) Sighat Akad dengan Perbuatan

Ini sering terjadi dalam dunia modern sekarang, yang terpenting adalah dalam akad itu jangan sampai terjadi tipuan, kecohan dan segala sesuatunya harus dapat diketahui dengan jelas.

Akad dipandang telah terjadi jika memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun akad adalah ijab dan qabul. Adapun syaratnya ada yang menyangkut objeknya dan ada pula yang menyangkut subjeknya, yaitu ;44

44

Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, Citra Media, Yogyakarta, 2006, hal. 23


(28)

(1) Telah ada pada waktu akad diadakan (2) Dapat menerima hukum akad

(3) Dapat ditentukan dan diketahui

(4) Dapat diserahkan pada waktu akad terjadi b) Syarat subjek Akad

Hal ini berkaitan dengan kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum.

Sedangakan syarat sahnya suatu perjanjian secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut: 45

45

Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K.Lubis, Op cit, hal. 2

a) Tidak menyalahi hukum syari’ah yang disepakati adanya.

Bahwa pada prinsipnya setiap orang bebas untuk membuat perjanjian akan tetapi kebebasan itu ada batasnya yaitu tidak boleh bertentangan dengan syari’ah Islam baik yang ada di dalam Al-Qur’an maupun di dalam Al-Hadist. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum. Dasar hukum mengenai suatu perjanjian yang melawan hukum ini terdapat dalam Hadist Rasullullah SAW, yang artinya : “segala bentuk persyaratan yang tidak ada dikitab Allah adalah batil, sekalipun seribu syarat.

b) Harus sama ridha dan ada pilihan

Hal ini dapat diartikan bahwa sebuah perjanjian harus didasari pada kesepakatan para pihak secara bebas dan sukarela, dan di dalamnya tidak boleh mengandung unsur paksaan, kekhilafan, maupun penipuan.


(29)

Konsekuensi yuridis jika syarat ini tidak terpenuhi, perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Dengan demikian perjanjian yang dibuat tetap sah, apabila tindakan pembatalan belum dilakukan.

c) Harus jelas dan gamblang

Dalam sebuah perjanjian harus jelas apa saja yang menjadi objeknya, hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Konsekuensi yuridis jika syarat ini tidak terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak bersifat batal demi huku m.

Dengan demikian mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian menurut hukum Islam, agak berbeda dengan syarat sahnya perjanjian menurut hukum adat dan menurut KUH Perdata. Perbedaan sebenarnya ada pada peristilahan saja, sedangkan secara subtantif hampir sama.

Syarat tidak menyalahi hukum syari’ah yang disepakati adanya, dalam konteks hukum adat dikenal dengan asas terang, dan dalam hukum perdata barat dikenal dengan kausa yang halal. Syarat harus ada kesepakatan (konsensualisme) dalam hukum barat, dikenal dalam hukum perjanjian Islam dengan harus sama ridha dan ada pilihan, dan terakhir syarat harus jelas dan gamblang tercakup dalam asas terang dan tunai dalam Hukum adat dan adanya objek tertentu dalam Hukum Perdata Barat (KUH Perdata).

7. Jenis-jenis Perjanjian/Akad dalam Islam

Layaknya hukum perjanjian menurut KUH Perdata yang terdiri dari berbagai macam klasifikasi, maka dalam Hukum Islam pun terkait dengan


(30)

akad/perjanjian dapat digolongkan menjadi beberapa klasifikasi. Adapun klasifikasi huku m perjanjian Islam adalah sebagai berikut :46

a. Akad dilihat dari segi keabshannya, terdiri dari ;

1) akad shahih, yaitu akad yang memenuhi rukun dan syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu berlaku mengikat bagi pihak-pihak yang berakad.

2) Akad tidak shahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun dan syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum dari akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad.

b. Akad dilihat dari sifat mengikatnya, terdiri dari ;

1) akad yang mengikat secara pasti, artinya tidak boleh difasakh (dibatalkan secara sepihak).

2) Akad yang tidak mengikat secara pasti, yaitu akad yang tidak di fasakh oleh dua belah pihak atau oleh satu pihak.

c. Akad dilihat dari bentuknya, terdiri dari :

1) akad tidak tertulis, yaitu akad yang dibuat secara lisan saja dan biasanya terjadi pada akad yang sederhana, misalnya : jual-beli kebutuhan konsumsi sehari-hari.

2) akad tertulis, yaitu akad yang dituangkan dalam bentuk tulisan/akta baik akta otentik maupun akta dibawah tangan. Akad yang dibuat secara tertulis biasanya untuk akad-akad yang kompleks atau menyangkut kepentingan

46


(31)

umum/publik, misalnya akad wakaf, akad jual-beli ekspor-impor dan sebagainya.

d. Akad dalam sektor ekonomi, dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : 1) akad tabarru, yaitu akad yang berkaitan dengan transaksi non-profit. Yang

termasuk kedalam akad tabarru ini adalah al-Qard, ar-Rahman, Hiwalah, Wakalah, Kafalah, Wadi’ah, Hadiah, Hibah, Waqaf dan shodaqah.

akad mu’awadah, yaitu akad yang bertujuan untuk mendapatkan imbalan tertentu. Atau dengan kata lain akad ini berkaitan dengan transaksi bisnis dengan motif untuk memperoleh laba (profit oriented). Yang termasuk akad mu’awadah ini adalah yang berdasarkan prinsip jual-beli (al-Bay Al-Murabahah dengan mark up, akad salam dan akad isthisna), akad yang berdasarkan prinsip bagi hasil (Al-Mudharabah dan Al-Musyarakah), akad yang berdasarkan prinsip sewa-menyewa (Ijarah dan Ijarah wa Isthisna).

C. Prinsip-prinsip Dasar Produk Koperasi Syariah

Produk koperasi syariah adalah produk simpan pinjam syariah. Pinjaman dalam koperasi syariah lebih popular dengan sebutan pembiayaan.

Pembiayaan yang sering disebut perkreditan adalah suatu fasilitas yang diberikan lembaga kepada anggotanya untuk menggunakan dana yang telah lebih dahulu dikumpulkan dari anggota.

Orientasi dari pembiayaan tersebut adalah untuk mengembangkan dan atau meningkatkan pendapatan kecil. Sasaran pembiayaan ini adalah semua sektor ekonomi yang memungkinakn untuk dibiayai seperti pertanian, industri rumah


(32)

tangga, perdagangan, dan jasa. Pada prinsipnya semua jenis pembiayaan merupakan suatu upaya pemanfaatan dana untuk suatu usaha komersial secara efektif. Namun agar lebih efektif pembiayaan tersebut, maka jenis pembiayaan yang digunakan harus sesuai dengan rangkaian pemanfaatan dana tersebut nantinya.47

a. Perjanjian pembiayaan Bai’u Bithaman Adjil

Adapun jenis-jenis perjanjian pembiayaan di koperasi syariah adalah sebagai berikut:

Yaitu suatu perjanjian pembiayaan yang disepakati antara lembaga dengan anggotanya, dimana lembaga menyediakan dananya untuk sebuah investasi dan atau pembelian barang modal dari usaha anggotanya yang kemudian proses pembayarannya dilakukan secara mencicil. Jumlah kewajiban yang harus dibayarkan oleh peminjam adalah jumlah atas harga barang modal yang disepakati.48

Prioritas pembiayaan ditujukan pada usaha yang memerlukan perluasan dengan menambah barang modalnya seperti mesin dan lain-lain. Pemilihan jenis, bentuk, warna serta karakteristik fisik lainnya pada barang modal tersebut bukan wewenang dari lembaga tetapi merupakan kebebasan peminjam. Dalam hal ini lembaga hanya memberikan sejumlah dana yang dibutuhkan kepada peminjam secara tunai sebesar harga barang modal yang dibutuhkan. Barang modal yang

47

Deni K. Yusuf, Mekanisme Pemberian Kredit dan Pembiayaan di Koperasi Syariah/ BMT dalam BMT dan Bank IslamL Instrument Lembaga Keuangan Syariah, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004, hal. 136.

48

Yadi Janwari, Aplikasi Fikih Muamalah dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, dalam BMT dan Bank IslamL Instrument Lembaga Keuangan Syariah, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004, hal. 17.


(33)

dimaksud jika sudah dibeli oleh lembaga atau peminjam dapat langsung digunakan oleh peminjam. Jaminan pembiayaan dan surat tandatangan bukti kepemilikan barang disimpan oleh lembaga sampai angsuran berakhir.

b. Pembiayaan Murabahah

Perjanjian pembiayaan murabahah pada dasarnya merupakan kesepakatan antara lembaga sebagai pemberi modal dan anggota sebagai peminjam. Prinsip yang digunakan adalah sama seperti pembiayaan Bai’u Bithaman Adjil, hanya saja proses pengembalian pada saat jatuh tempo pengembalian.49

c. Perjanjian Pembiayaan Mudharabah

Adalah suatu pernyataan yang mengandung pengertian bahwa seseorang memberi modal niaga kepada orang lain agar modal itu diniagakan dengan perjanjian keuntungannya dibagi antara dua belah pihak sesuai perjanjian, sedang kerugian ditanggung oleh pemilik modal.50

Yang perlu diperhatikan dari perjanjian pembiayaan ini adalah:

51

1) Besarnya bagi hasil antara lembaga dan peminjam ditentukan atas dasar tawar menawar, dimana lembaga dan peminjam secara bersama menghitung besarnya porsi keuntungan masing-masing. Besarnya bagi hasil harus lebih besar daripada pembiayaan administrasi cicilan pembiayaan.

2) Besarnya bagi hasil ditulis dalam perjanjian pembiayaan.

3) Batasan bagi lembaga adalah hanya sebatas pemberi modal sedangkan bagi peminjam adalah profesionalisme pengelolaan dana secara efektif.

49

Ibid, hal. 16. 50

Abdurrahman al Jaziri, Op. Cit. hal. 34. 51

Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga; Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer tentang Riba dan Bunga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, Cet. ke-1. hal. 100.


(34)

d. Perjanjian Pembiayaan Musyarakah

Yaitu pembiayaan penyertaan lembaga sebagai pemilik modal dalam suatu usaha yang antara risiko dan keuntungan ditanggung bersama secara seimbang. Yang perlu diperhatikan pada pembiayaan ini adalah bahwa lembaga dalam hal ini ikut serta dalam manajemen, dan batasan antara kedua belah pihak harus diperjelas dengan sebuah pernyataan.

e. Perjanjian Pembiayaan Qardhul Hasan

Pembiayaan Al-Qardhul Hasan, yaitu perjanjian pembiayaan antara bank dengan nasabah yang dianggap layak menerima yang diprioritaskan bagi pengusaha kecil pemula yang potensial, akan tetapi tidak mempunyai modal apapun selain kemampuan berusaha, serat perorangan lainnya yang berada dalam keadaan terdesak. Penerima kredit hanya diwajibkan mengembalikan pokok pinjaman pada waktu jatuh tempo dan bak hanya mengenakan biaya administrasi yang benar-benar untuk keperluan proses.52

Sebagai contoh, Andi seorang yang berekonomi lemah, namun berkeinginan untuk membuka suau usaha, bank syariah dapat memberikan pembiayaan Al-Qardhul Hasan kepada Andi, dimana Andi hanya diwajibkan untuk mengembalikan sebesar jumlah pembiayaan yang diberikan tanpa ada perhitungan profit nisbah,

Pembiayaan Al-Qardhul Hasan ini sering juga disebut dengan kredit kebajikan, yaitu diberikan untuk menolong orang-orang tertentu yang sedang mengalami kesulitan untuk sekedar dapat berusaha dan biasanya hanya merupakan kredit-kredit kecil, dengan syarat-syarat yang ringan.

52

Warkum Sumitro, Warkum Soemitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga Terkait (BAMUI & Takaful) di Indonesia, Cetakan Kedua, PT. RajaGrafindo, Jakarta, 1997, hal. 115.


(35)

kecuali biaya-biaya administrasi yang harus dibayar oleh Andi, seperti biaya materai, biaya notaris, dan lain-lain.

1. Syarat-syarat Perjanjian di Koperasi Syariah/BMT

Pembiayaan adalah istilah yang digunakan Koperasi Syariah/BMT yang maksud dan tujuan disamakan dengan kata kredit, dalam istilah lembaga keuangan nasional. Dengan demikian arti istilah pembiayaan berdasarkan prinsip syariah menurut Undang-undang Perbankan No.10 tahun 1998, yaitu:

”Pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”.

Dari defenisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembiayaan itu adalah upaya-upaya yang dilakukan pihak penyedia dana (lembaga) dalam mengadakan transaksi dengan pihak pengguna dana (anggota) melalui persetujuan yang adil satu sama lain. Pihak lembaga mengadakan pemeriksaan dan penelitian seperlunya atas semua persetujuan tersebut, baik sebelum maupun sesudahnya, dengan maksud dari pemeriksaan tersebut dapat senantiasa dievaluasi hasil-hasilnya.

Pada Koperasi Syariah, proses dan persyaratan pengajuan pembiayaan dapat dilalui dengan cara sebagai berikut:


(36)

b. Calon peminjam mengisi formulir melalui ketua kelompok pengajian atau pengurus mesjid dengan melampirkan fotocopy KTP dan rekomendasi dari pengurus mesjid/majelis ta’lim atau ketua kelompok pengajian

c. Calon peminjam menyerahkan formulir tersebut kepada ketua kelompok pengajian, dan ketua kelompok pengajian yang menyerahkan kepada petugas d. Calon peminjam juga dapat langsung berhubungan dengan petugas dengan

membawa rekomendasi dari ketua kelompok pengajian atau pengurus mesjid atau majelis ta’lim

e. Ketua kelompok pengajian setelah menerima pencairan dana dari petugas, segera menyerahkan kepada peminjam dengan disaksikan oleh pengurus mesjid/pengurus majelis ta’lim, atau pengurus kepada calon peminjam dengan disaksikan oleh peminjam lainnya

f. Pencairan dana kepada calon peminjam diberikan kira-kira satu minggu dari pengajuan pinjaman

D. Perlindungan Dana Nasabah dalam Koperasi Syariah Mitra Amaliyah

Berdasarkan peraturan perudang-undangan yang ada yang mengatur perkoperasian, lebih khususnya lagi mengenai Koperasi Simpan Pinjam, yaitu Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi Jo. Keputusan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah RI Nomor 351/Kep/M/XII/1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi, belum terdapat adanya pengaturan


(37)

secara khusus mengenai perlindungan maupun jaminan penyelesaian bila terjadi penyimpangan terhadap dana nasabah yang berakibat kerugian bagi nasabah. Mengingat KSP tergolong bisnis pengelolaan uang yang penuh dengan risiko, maka untuk perkembangannya diperlukan aturan/kebijakan dari Pemerintah yang dapat memberikan perlindungan bagi dana nasabah. Karena yang terjadi atas beberapa kasus penyimpangan yang dilakukan oleh KSP, akhirnya para nasabahlah yang tetap sangat dirugikan, dana miliknya tetap saja tidak dapat kembali. Sedangkan asset koperasi sangat minim, bahkan jauh bila dibanding dengan akumulasi simpanan para nasabah.

Namun demikian, LKMS-KSU Syariah BMT Mitra Amaliyah dengan moto “professional, ikhlas, dan terpercaya hingga saat ini telah menjadi salah satu koperasi syariah yang dipercaya di lingkungan masyarakat dan lebih spesifik lagi di kalangan para nasabahnya, terlebih-lebih para anggota. Hal ini dapat dilihat dari asset yang dimiliki oleh lembaga ini dari tahun ke tahun terus menunjukkan peningkatan yang signifikan.

Hingga saat ini, layaknya sebagai sebuah lembaga keuangan yang professional, setiap nasabah yang memerlukan dana yang telah mereka tempatkan di LKMS-KSU Syariah BMT Mitra Amaliyah tidak pernah mengalami penunggakan ataupun penundaan yang dapat membuat para nasabah merasa ragu untuk kembali menyimpan uangnya di lembaga keuangan ini. Pihak pengelola, pengurus dan pengelola sebagai pihak yang paling aktif menangani jalannya operasional lembaga terus melakukan koordinasi terkait dengan penggunaan dan peruntukan dana para nasabah. Artinya kebijakan yang dikeluarkan instansi yang


(38)

berwenang dalam lembaga diambil melalui mekanisme dan jalur yang benar, yang minim risiko serta dapat dipertanggungjawabkan oleh seluruh pelaksananya.53

E. Akibat Hukum dalam Hal Terjadinya Wanprestasi Terhadap Dana Nasabah Pada Koperasi Syariah Mitra Amaliyah

Hingga saat terakhir penelitian penulis, belum terdapat kasus maupun indikasi kasus wanprestasi yang melibatkan pengurus maupun pengelola LKMS-KSU Syariah BMT Mitra Amaliyah, oleh karenanya ditinjau dari prakteknya, belum ada akibat hukum yang timbul dalam hal terjadinya wanprestasi terhadap dana nasabah pada Koperasi Syariah LKMS-KSU Syariah BMT Mitra Amaliyah.

Namun demikian, jika terjadi wanprestasi, maka hal yang pertama dilakukan adalah dengan melakukan jalan musyawarah mufakat dengan nasabah yang menjadi korban wanprestasi dengan mengutamakan kepentingan nasabah. Sedapat mungkin musyawarah mufakat menjadi pilihan utama para pihak. Hal ini dikarenakan untuk menjaga kredibilitas lembaga agar terhindar dari opini atau pendapat negatif sehingga mengancam kelangsungan lembaga. Namun apabila ternyata dalam pelaksanaannya mengalami hambatan dan tidak tercapai kata mufakat, maka yang akan ditempuh adalah jalur lembaga penyelesaian alternatif di luar pengadilan yaitu lembaga arbitrase baik di lingkungan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atau Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).54

53

Wawancara dengan Manajer LKMS-KSU Syariah BMT Mitra Amaliyah. 54

Wawancara dengan Manajer LKMS-KSU Syariah BMT Mitra Amaliyah.


(39)

Dasar hukum mengenai arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah Pasal 1338 KUHPerdata, yang intinya mengatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku mengikat seperti undang-undang bagi pihak-pihak yang mengadakannya. Kemudian perjanjian tersebut tidak dapat dibatalkan secara sepihak dan harus dilaksanakan dengan iktikad baik oleh para pihak. Dengan demikian dasar legitimasi penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya dan dianutnya sistem terbuka dalam hukum perjanjian, sehingga terdapat kebebasan bagi para pihak dalam menentukan materi/isi perjanjian, pelaksanaan perjanjian dan cara penyelesaian sengketa yang terjadi.

Berdasarkan pada ketentuan ini dan demi kelancaran dalam penyelesaian sengketa di kemudian hari, maka para pihak biasanya mencantumkan klausula arbitrase di dalamnya. Dalam hal sengketa yang terjadi menyangkut masalah ekonomi Islam, maka BASYARNAS yang biasanya dipilih oleh para pihak, dengan tidak menutup kemungkinan bagi para pihak untuk memilih BANI ataupun melalui Arbitrase ad hoc. Hal demikian dibenarkan karena mengingat ketentuan Pasal 2 Peraturan Prosedur Arbitrase di BANI menyatakan bahwa dengan menunjuk BANI dan/atau memilih Peraturan Prosedur BANI untuk penyelesaian sengketa, para pihak dalam perjanjian atau sengketa tersebut dianggap sepakat untuk meniadakan proses pemeriksaan perkara melalui Pengadilan Negeri sehubungan dengan perjanjian atau sengketa tersebut, dan akan melaksanakan setiap putusan yang diambil oleh Majelis Arbitrase berdasarkan Peraturan Prosedur BANI.


(40)

Dalam arbitrase penyelesaian suatu sengketa tidak melalui hukum yang mengatur an sich, tetapi juga berdasarkan pada ketentuan-ketentuan kontrak, praktek, dan kebiasaan yang relevan, dan berdasarkan kewenangan yang bersifat

amicable compositeur dan/atau memutuskan secara ex aequo et bono, apabila para pihak telah menyatakan kesepakatan mengenai hal itu.

Dengan demikian penyelesaian sengketa melalui arbitrase mempunyai keunggulan bahwa penyelesaiannya relatif cepat dan biaya murah, kerahasiaan para pihak yang bersengketa tetap terjaga mengingat sidang arbitrase adalah tertutup untuk umum, putusan lebih bersifat win-win solution, sehingga lebih lanjut akan tercapai suatu restutio in integrum bagi para pihak dan masing-masing pihak tetap dapat menjalankan kegiatan bisnisnya tanpa adanya hambatan yang berarti.

Selain BANI, juga masih terdapat lembaga arbitrase lain yang ditujukan kepada orang-orang atau kasus-kasus tertentu. Dalam konteks pasar modal ada Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), sedangkan bagi penyelesaian sengketa muamalah Islam ada BASYARNAS.

BASYARNAS baru mempunyai kompetensi absolut untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dibidang ekonomi syari’ah, apabila para pihak mencantumkan dalam perjanjian yang dibuat berupa klausula arbitrase yang menjadi satu dengan perjanjian pokok ataupun dengan perjanjian pokok ataupun dengan perjanjian khusus yang terpisah dari perjanjian pokok yang menyangkut pilihan hukum (choice of law) dan pilihan forum (choice of forum).


(41)

Penyelesaian secara Arbitrase ini dapat dilakukan sebelum terjadinya sengketa atau sesudah terjadinya sengketa. Dalam hal belum terjadinya sengketa para pihak dapat mencantumkan klausula Arbitrase dalam suatu perjanjian pokok yang dibuat atau dalam naskah perjanjian sendiri yang ini dikenal dengan istilah

pactum de compromitendo. Sedangkan dalam hal terjadinya sengketa para pihak dapat membuat perjanjian arbitrase tersendiri terpisah dari perjanjian pokok, dan ini dikenal dengan istilah akta kompromis.

Adanya pactum de compromitendo dan atau akta kompromis yang dibuat oleh para pihak menjadikan lembaga Arbitrase secara absolut berwenang menyelesaikan sengketa antara para pihak tersebut.55

Dalam hal para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa yangterjadi dalam transaksi syariah ke BASYARNAS, maka secara yuridis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat atas suatu perjanjian ke Pengadilan Agama.

55

Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis : Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, 2005, hal. 208.


(42)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa:

1. Koperasi Syariah di Indonesia didirikan didasarkan pada kebijakan pemerintah berdasarkan UU No. 25/1992 tentang Koperasi, UU No. 7/ 1992 (kini UU No. 10/ 1998) tentang perbankan, yang diikuti dengan keluarnya PP No. 72/ 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.

2. Permodalan dalam koperasi biasa maupun koperasi syariah tidak jauh berbeda, terutama jika dilihat dari sumbernya. Namun dalam penggunaan dan pengelolaannya jelas berbeda. Koperasi syariah menggunakan modal yang nota bene berasal dari para nasabah untuk dikelola dengan menggunakan prinsip-prinsip syariah, seperti pembiayaan mudharabah, musyarakah, wadi’ah, ijarah dan sebagainya.

3. Perlindungan dana nasabah dilakukan dengan melakukan pengelolaan secara profesional sehingga segala bentuk penggunaan dan peruntukan dana nasabah diambil melalui mekanisme yang benar, minim risiko dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun jika terjadi wanprestasi dalam pengembalian dana nasabah, maka jalan musyawarah mufakat menjadi pilihan utama untuk menyelesaikan permasalahan. Hal ini ditujukan untuk menjaga hubungan yang baik antara BMT dengan nasabah dan menjaga eksistensi lembaga di mata masyarakat (nasabah lainnya).


(43)

B. Saran

1. Diperlukan kontrol dan pengawasan yang ketat, serta intensif terhadap pelaksanaan koperasi simpan pinjam, selain juga perlunya pembinaan secara terpadu oleh instansi terkait.

2. Instansi yang berwenang harus mengmbil tindakan tegas dan menjatuhkan sanksi pencabutan ijin kegiatan usaha bagi koperasi yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangan yang berlaku, serta telah melakukan penyimpangan yang merugikan masyarakat luas.

3. Perlu adanya produk aturan hukum yang jelas dan/atau kebijakan dari instansi yang berwenang yang pemberian perlindungan bagi dana para nasabah koperasi.


(44)

BAB II

TINJAUAN HUKUM TENTANG KOPERASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 1992

A. Pengaturan tentang Koperasi dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

Terdapat bermacam-macam definisi koperasi dan jika diteliti secara seksama, maka tampak bahwa definisi itu berkembang sejalan dengan perkembangan jaman. Defenisi awal apda umumnya menekankan bahwa koperasi itu merupakan wadah bagi golongan ekonomi lemah, seperti defenisi yang diberikan Dr. Fray, yang menyatakan bahwa koperasi adalah suatu perserikatan dengan persetujuan berusaha bersama yang terdiri atas mereka yang lemah dan diusahakan selalu dengan semangat tidak memikirkan diri sendiri sedemikian rupa, sehingga masing-masing sanggup menjalankan kewajibannya sebagai anggota dan mendapat imbalan sebanding dengan pemanfaatan mereka terhadap organisasi.4

4

M. Firdaus dan Agus Edhi Susanto, Perkoperasian: Sejarah, Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 38-39.

Salah satu faktor penting untuk mewujudkan kinerja koperasi yang baik adalah adanya peran Pemerintah dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang diatur dan dikeluarkan sedemikian rupa hingga sistem dapat berjalan dengan baik. Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang koperasi adalah sebagai berikut:


(45)

1. Peraturan Pemerintah (PP) No.9 tahun 95 tentang Pengembangan Usaha Kecil Menengah dan Koperasi

2. Peraturan Pemerintah (PP) No.4 tahun 1994 tentang Kelembagaan

3. Instruksi Presiden (Inpres) No.18 Tahun 1998, tentang Pengembangan Kelembagaan Koperasi

4. Undang-undang No. 25 tahun 1992 tentang Koperasi.

Berdasarkan kajian secara makro dari beberapa Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan yang ada dapat disimpulkan bahwa secara umum perangkat perundang-undangan yang mendukung sudah cukup memadai, namun masih memiliki kekurangan. Kekurangan yang muncul dalam bagian-bagian dari uraian Undang-Undang atau Peraturan-Peraturan yang ada antara lain menyangkut:5

1. Belum adanya penjelasan yang lebih mendalam dari azas “Kekeluargaan” sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan umum koperasi, misalnya pada Undang-Undang No. 25 tahun 1992 tentang Koperasi. Hal ini penting mengingat dalam era keterbukaan sekarang ini perlu adanya klarifikasi makna tersebut agar jangan disalah artikan dengan pengertian Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN)

2. Belum adanya ketentuan sangsi hukum yang jelas berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan usaha koperasi terutama bila dihubungkan dengan upaya penegakan hukum yang tegas tanpa memandang siapapun. Mengingat hingga saat ini pelanggaran atas Undang-Undang dan

5

Edilius, dan Sudarsono, Koperasi dalam Teori dan Praktik, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal. 32-33.


(46)

Peraturan-Peraturan yang berkaitan dengan penyalahgunaan koperasi tidak diproses secara hukum dengan tegas.

3. Belum adanya sinergisme diantara lembaga-lembaga terkait dengan pemberdayaan, pembinaan dan pengembangan koperasi, baik dikalangan instansi pemerintah maupun swasta. Hal ini tercermin dari belum adanya kesatuan yang utuh (terpadu) mengenai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam rangka implementasi Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan yang ada. Sehingga masing-masing lembaga terkesan berjalan sendiri-sendiri dengan misi dan visinya masing-masing.

4. Adanya anggapan bahwa penyusunan produk Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan jauh lebih mudah daripada melaksanakannya.

5. Kendala-kendala umum yang dihadapi dalam pengembangan perkoperasian terutama yang menyangkut Sumber Daya Manusia (SDM), penguasaan teknologi permodalan, antisipasi peluang dan kemitraan, belum dapat dijabarkan secara komprehensif, baik dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan-Peraturan maupun Petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk teknisnya (Juknis). Sehingga pemahaman tentang manajemen dan pengorganisasian koperasi masih memerlukan pendalaman dan sosialisasi lebih lanjut.

B. Mekanisme Pendirian Koperasi

Mekanisme pendirian koperasi dapat dijelaskan sebagai berikut:6

6

R.T. Sutantya Rahardja Hadhikusuma, Hukum Koperasi Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 66-69.


(47)

1. Fase pembentukan/pendirian

Koperasi sebagai suatu badan usaha, adalah merupakan suatu bentuk perhimpunan orang-orang dan/atau badan hukum koperasi dengan kepentingan yang sama.

Oleh karena koperasi ini biasanya didirikan oleh orang-orang yang mempunyai alat dan kemampuan yang terbatas, yang mempunyai keinginan untuk memperbaiki taraf hidup dengan cara bergotong royong, maka prosedur atau persyaratan pendiriannyapun diusahakan sesederhana mungkin, tidak berbelit-belit, dengan persyaratan modal yang relatif kecil, dan tanpa dipungut biaya yang tinggi.

Persyaratan untuk mendirikan koperasi yang biasanya telah tertuang dalam undang-undang ataupun peraturan koperasi antara lain adalah sebagai berikut:

a. Orang-orang yang akan mendirikan koperasi harus mempunyai kepentingan ekonomi yang sama

b. Orang-orang yang mendirikan koperasi harus mempunyai tujuan yang sama

c. Harus memenuhi syarat jumlah mínimum anggota, seperti telah ditentukan oleh pemerintah.

d. Harus memenuhi persyaratan wilayah tertentu, seperti telah ditentukan oleh pemerintah


(48)

Jika persyaratan tersebut telah ada, maka orang-orang yang memprakarsai pembentukan koperasi tersebut mengundang untuk rapat pertama, sebagai rapat pendirian koperasi. Konsep anggaran dasar koperasi seharusnya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh panitia pendiri, yang nantinya dibahas dan disahkan dalam rapat pendirian. Dalam rapat pendirian ini selain disahkan anggaran dasar koperasi, juga dibentuk pengurus dan pengawas. Setelah perangkat organisasi koperasi terbentuk dalam rapat pendirian tersebut, maka untuk selanjutnya pengurus koperasi (yang juga pendiri) mempunyai kewjaiban mengajukan permohonan pengesahan kepada pejabat yang berwenang secara tertulis disertai Akta Pendirian Koperasi dan Berita Acara Rapat Pendirian. Dalam akta pendirian koperasi ini tertuang Anggaran Dasar Koperasi yang telah disahkan dalam rapat pendirian, serta tertuang pula nama-nama anggota pengurus (yang pertama) yang diberikan kewenangan untuk melakukan kepengurusan dan mengajukan permohonan pengesahan kepada pejabat yang berwenang.

2. Fase pengesahan

Atas dasar permohonan pengesahan yang disampaikan oleh pengurus koperasi (juga merupakan pendiri) secara tertulis tersebut, maka dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak diterimanya permohonan pengesahan, pejabat yang bersangkutan harus memberikan putusan apakah permohonan tersebut diterima atau tidak.

Jika permohonan pengesahan ini ditolak, alasan-alasan penolakan diberitahukan secara tertulis kepada para pendiri dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak diterimanya permohonan pengesahan, para pendiri/


(49)

pengurus dapat mengajukan permohonan ulang paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya penolakan permohonan tersebut. Keputusan terhadap pengajuan permohonan ulang ini, diberikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya pengajuan permohonan ulang tersebut.

Namun jika permohonan pengesahan tersebut diterima, maka sejak saat itu koperasi berstatus sebagai badan hukum. Pengesahan ini ditandai dengan diumumkannya akta pendirian koperasi tersebut (yang di dalamnya termuat pula anggaran dasarnya), ke dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Dengan diperolehnya status sebagai badan hukum, maka secara hukum, koperasi tersebut telah diakui keberadaannya seperti orang (person) yang mempunyai kecakapan untuk bertindak, memiliki wewenang untuk mempunyai harta kekayaan, melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti: membuat perjanjian, menggugat dan digugat di muka pengadilan, dan sebagainya, sehingga dengan demikian, sebagai suatu badan hukum maka koperasi adalah juga merupakan subjek hukum.

Namun demikian, sebagai suatu subjek hukum, koperasi adalah meruakan subjek hukum abstrak, yang keberadaannya atas rekayasa manusia untuk memenuhi kebutuhan ekonomisnya. Karena merupakan subjek hukum abstrak, maka di dalam menjalankan/ melakukan perbuatan-perbuatan hukum, koperasi diwakili oleh perangkat organisasi yang ada padanya dalam hal ini adalah pengurus.


(50)

C. Bentuk Usaha dan Jenis Koperasi

Dalam ketentuan pasal 16 Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 dinyatakan bahwa jenis koperasi didasarkan pada kesamaan kegiatan dan kepentingan ekonomi anggotanya. Sedangkan dalam penjelasan pasal tersebut, mengenai jenis koperasi ini diuraikan seperti antara lain: koperasi simpan pinjam, koperasi konsumen, koperasi produsen, koperasi pemasaran, dan koperasi jasa. Untuk koperasi-koperasi yang dibentuk oleh golongan fungsional seperti pegawai negeri, anggota ABRI/TNI, karyawan, dan sebagainya, bukanlah merupakan suatu jenis koperasi tersendiri.

Mengenai penjenisan koperasi ini, jika ditinjau dari berbagai sudut pendekatan, maka dapat diuraikan seperti berikut:7

1. Berdasar pendekatan sejarah timbulnya gerakan koperasi, maka dikenal jenis-jenis koperasi seperti berikut:

a. Koperasi konsumsi b. Koperasi kredit; dan c. Koperasi produksi

2. Berdasar pendekatan menurut lapangan usaha dan/atau tempat tinggal para anggotanya, maka dikenal beberapa jenis koperasi antara lain:

a. Koperasi desa

Adalah koperasi yang anggota-anggotanya terdiri dari penduduk desa yang mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dalam koperasi

7

Nindyo Pramono, Beberapa Aspek Koperasi Pada Umumnya dan Koperasi Indonesia di dalam Perkembangan, TPK Gunung Mulia, Yogyakarta, 1986, hal. 118.


(51)

dan menjalankan aneka usaha dalam suatu lingkungan tertentu. Untuk satu daerah kerja tingkat desa, sebaiknya hanya ada satu koperasi desa yang tidak hanya menjalankan kegiatan usaha bersifat single purpose, tetapi juga kegiatan usaha yang bersifat multi purpose (serba usaha) untuk mencukupi segala kebutuhan para anggotanya dalam satu lingkungan tertentu, misalnya:

1. Usaha pembelian alat-alat pertanian 2. Usaha pembelian dan penyaluran pupuk

3. Usaha pembelian dan penjualan kebutuhan hidup sehari-hari 4. Dan sebagainya

b. Koperasi unit desa (KUD)

Koperasi unit desa ini berdasar Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 4 Tahun 1973 adalah merupakan bentuk antara dari Badan Usaha Unit Desa (BUUD) sebagai suatu lembaga ekonomi berbentuk koperasi, yang pada tahap awalnya dapat merupakan gabungan dari koperasi-koperasi pertanian atau koperasi desa dalam wilayah Unit Desa, yang dalam perkembangannya kemudian dilebur atau disatukan menjadi satu KUD. Dengan keluarnya Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 2 Tahun 1978, KUD bukan lagi merupakan bentuk antara BUUD telah menjadi organisasi ekonomi yang merupakan wadah bagi pengembangan berbagai kegiatan ekonomi masyarakat pedesaan yang diselenggarakan oleh dan untuk masyarakat pedesaan


(52)

itu sendiri serta memberikan pelayanan kepada anggotanya dan masyarakat pedesaan.

c. Koperasi konsumsi

Koperasi konsumsi adalah koperasi yang anggota-anggotanya terdiri dari tiap-tiap orang yang mempunyai kepentingan langsung dalam lapangan konsumsi. Koperasi jenis ini biasanya menjalankan usaha untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari para anggotanya dan masyarakat sekitarnya.

d. Koperasi pertanian (Koperta)

Koperta adalah koperasi yang anggota-anggotanya terdiri dari para petani pemilik tanah, penggadoh atau buruh tani, dan orang-orang yang berkepentingan serta bermata pencaharian yang berhubungan dengan usaha-usaha pertanian.

e. Koperasi peternakan

Adalah koperasi yang anggotanya terdiri dari peternak, pengusaha peternakan yang berkepentingan dan mata pencahariannya langsung berhubugan dengan soal-soal peternakan.

f. Koperasi perikanan

Adalah koperasi yang anggotanya terdiri dari para peternak ikan, pengusaha perikanan, pemilik kolam ikan, pemilik alat perikanan, nelayan, dan sebagainya yang kepentingan serta mata pencahariannya langsung berhubungan dengan soal-soal perikanan


(53)

Koperasi kerajinan atau koperasi industria adalah koperasi yang anggota-anggotanya terdiri dari para pengusaha kerajinan/industria dan buruh yang kepentingan serta mata pencahariannya langsung berhubungan dengan kerajinan atau industri.

h. Koperasi simpan pinjam atau koperasi kredit

Adalah koperasi yang anggota-anggotanya terdiri dari orang-orang yang mempunyai kepentingan langsung dalam soal-soal perkreditan atau simpan pinjam.

3. Berdasar pendekatan menurut golongan fungsional, maka dikenal jenis-jenis koperasi seperti antara lain:

a. Koperasi Pegawai Negeri (KPN) b. Koperasi angkatan darat (KOPAD) c. Koperasi angkatan laut (KOPAL) d. Koperasi angkatan udara (KOPAU) e. Koperasi angkatan kepolisian (KOPAK) f. Koperasi pensiunan angkatan darat g. Koperasi pensiunan pegawai negeri h. Koperasi karyawan

i. Dan lain-lain

4. Berdasar pendekatan khusus dari aktivitas dan kepentingan ekonominya, maka dikenal jenis-jenis koperasinya seperti antara lain:

a. Koperasi batik b. Bank koperasi


(54)

c. Koperasi asuransi d. Dan sebagainya.

D. Kegiatan-kegiatan Koperasi

Sebagai suatu perusahaan, koperasi harus menjalankan sesuatu usaha yang mendatangkan keuntungan ekonomis, meskipun koperasi bukan merupakan bentuk akumulasi modal. Untuk mencapai tujuan mendatangkan keuntungan ekonomis tersebut, maka koperasi harus menjalankan usahanya secara terus menerus (kontinyu), terang-terangan, berhubungan dengan pihak ketiga, dan memperhitungkan rugi laba serta mencatat semua kegiatan usahanya tersebut ke dalam suatu pembukuan.8

Mengenai lapangan usaha koperasi ind ini di dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 diatur dalam ketentuan pasal 43 dan pasal 44 beserta penjelasannya. Dari ketentuan tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa koperasi indonesia dapat bergerak di segala kehidupan ekonomi dan berperan utama dalam kehidupak ekonomi rakyat. Yang dimaksud dengan kehidupan ekonomi rakyat adalah semua kegiatan ekonomi yang dilaksanakan dan menyangkut kepentingan orang banyak (rakyat), seperti yang diamanatkan oleh pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya. Namun demikian, dalam menjalankan usaha koperasi ini harus lebih mengutamakan arah pada bidang-bidang usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggotanya, untuk menunjang usahanya maupun kesejahteraannya.

8


(55)

Oleh karena itu, pengelolaan koperasi harus dilaksanakan secara produktif, efektif dan efisien. Dalam arti koperasi harus memiliki kemampuan dalam mewujudkan pelayanan usaha, yang dapat meningkatkan nilai tambah dan manfaat yang sebesar-besarnya pada anggota, dengan tetap mempertimbangkan untuk memperoleh sisa hasil usaha yang wajar. Untuk mencapai kemampuan usaha seperti itu, maka koperasi harus dapat berusaha secar luwes, baik yang menyangkut industri/produk hulu dan/atau hilir tersebut. Ini berarti koperasi mempunyai kesempatan dan peluang yang sama dengan pelaku ekonomi lainnya dalam melakukan kegiatan usahanya.

Oleh karena itu, koperasi dan para pelakunya (pengurus, manajer/ pengelola, dan anggotanya) harus mampu bekerja secara efisien, untuk dapat bersaing dengan pelaku ekonomi lainnya (Badan Usaha Milik Swasta dan Badan Usaha Milik Negara) dalam menjalankan kegiatan usaha di segala bidang kehidupan ekonomi, sehingga mampu untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya.

Oleh sebab itu, koperasi sebagai suatu badan usaha haruslah bekerja dengan prinsip dan hukum ekonomi perusahaan, menjalankan asas bussiness efficiency, yaitu mengupayakan keuntungan finansial untuk menghidupi dirinya.9

9

Bahri Nurdin, Partisipasi Anggota dan Pemantapan Skala Usaha Sebagai Alat Penunjang Pelaksanaan Koperasi Mandiri, dalam “Ekonomi Indonesia Masalah dan Prospek 1989/1990”, UII Press, Jakarta, 1989, hal. 379.

Koperasi harus pula menjalankan asas efisiensi ekonomi (melaksanakan alokasi sumber daya) sebaik mungkin guna menunjang program kesejahteraan anggota dan pembangunan ekonomi untuk golongan ekonomi lemah pada umumnya.


(56)

Dengan koperasi bekerja efisien baik secara ekonomis maupun bisnis, koperasi akan dapat melayani kepentingan anggotanya, sekaligus koperasi dapat melayani masyarakat sekitar dengan baik. Sehingga pada akhirnya koperasi akan sangat menunjang peningkatan kesejahteraan ekonomi golongan ekonomi lemah di suatu daerah (pedesaan) pada khususnya dan suatu wilayah perekonomian daerah (pedesaan) pada umumnya.

Dalam menjalankan kegiatan usahanya, koperasi dalam menjalankan kegiatan usaha simpan pinjam sebagai salah satu ataupun satu-satunya kegiatan usaha yang dilakukannya. Kegiatan usaha simpan pinjam ini dilakukan dengan menghimpun dana dari anggota koperasi, kemudian menyalurkan kembali dana yang dihimpun tersebut kepada anggota koperasi bersangkutan. Atau menghimpun dana dari koperasi lain dan/atau anggotanya, kemudian menyalurkannya kembali kepada koperasi lainnya tersebut dan/atau anggotanya. Pengertian koperasi di sini adalah termasuk juga calon anggota yang memenuhi syarat. Sedangkan yang menyangkut koperasi lain dan/atau anggotanya, ketentuan yang berlaku dilandasi oleh perjanjian kerja sama yang dilakukan oleh antar koperasi bersangkutan. Artinya antar koperasi dapat melakukan kerja sama usaha dalam usaha simpan pinjam, dengan jalan menghimpun dana dan menyalurkannya kembali dari dan untuk mereka dan/atau anggotanya. Namun demikian, sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang yang mengatur tentang perbankan, usaha simpan pinjam ini diatur secara khusus dalam undang-undang tersebut.10

10


(57)

BAB III

MODAL-MODAL DAN PRINSIP KEUANGAN PADA KOPERASI SYARIAH DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR

10 TAHUN 1998 TENTANG PERBANKAN

A. Karakteristik Koperasi Syariah

Koperasi merupakan sebuah perkumpulan dari orang-orang yang mempunyai tujuan bersama untuk bekerja sama dalam memperbaiki dan meningkatkan taraf kemampuan mereka di bidang ekonomi dan perekonomian. Unsur-unsur penting dari kalimat tersebut adalah adanya orang-orang, yang berkumpul dalam sebuah perkumpulan, mempunyai tujuan yang sama dengan bekerja sama, di dalam bidang kesejahteraan ekonomi. Jadi sejak awal sebuah koperasi termasuk koperasi syariah menjalankan usahanya, para pengurus dan anggota koperasi secara sadar dan wajib memanfaatkan jasa atau produk yang dihasilkan oleh koperasi mereka sendiri, sebagai cara utama untuk ikut memajukan koperasi dalam memupuk modal.

Sedikit berbeda dengan koperasi pada umumnya, koperasi syariah dalam menjalankan produk simpan pinjam (pembiayaan) menggunakan prinsip-prinsip syariah.

Koperasi syariah memiliki karakteristik sebagai berikut:11

1. Staf dan karyawan koperasi syariah bertindak aktif dan dinamis, berpandangan positif dan produktif dalam menarik dan mengelola dana masyarakat.

11

Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Syariah, Pustaka Mulia dan Fakultas Syariah IAIN SGD Bandung, Bandung, 2000, hal. 108.


(58)

2. Kantor koperasi syariah dibuka pada waktu tertentu dan ditunggui oleh sejumlah staf dan karyawan untuk memberikan pelayanan kepada nasabah. Sebagian lainnya terjun langsung ke lapangan mencari nasabah, menarik dan menyalurkan dana kepada nasabah, menyetor dana ke kas, memonitor dan melakukan supervisi

3. Koperasi syariah memiliki komitmen melakuan pertemuan dengan semua komponen masyarakat di lapisan bawah melalui fórum-forum pengajian, dakwah, pendidikan dan kegiatan sosial ekonomi, yang berimplikasi kepada kegiatan produktif di bidang ekonomi.

4. Manajemen dan operasional koperasi syariah dilakukan menurut pendekatan profesional dengan cara-cara Islami.

B. Sumber Modal Koperasi Syariah

Pengertian modal dalam sebuah organisasi perusahaan termasuk badan koperasi adalah sama, yaitu modal yang digunakan untuk menjalankan usaha. Mengutip pendapat dari Adam Smith penulis the wealth of nations (1776), modal (capital) diartikan sebagai bagian dari nilai kekayaan yang dapat mendatangkan penghasilan.12

12

Tom Gunadi, Sistem Perekonomian Menurut Pancasila dan UUD 1945, Angkasa, bandung, 1981, hal. 250.

Koperasi merupakan kumpulan dari orang-orang yang mengumpulkan modal untu modal usaha dan setiap orang mempunyai hak yang sama.


(59)

Ada dua sumber modal yang dapat dijadikan modal usaha koperasi yaitu:13 a. Secara Langsung

Dalam mendapatkan modal secara langsung ini ada tiga cara klasik yang dapat dilakukan oleh para pengurus koperasi, yaitu :

1. Mengaktifkan simpanan wajib anggota sesuai dengan besar kecil penggunaan volume penggunaan jasa pelayanan koperasi yang dimanfaatkan oleh anggota tersebut;

2. Mengaktifkan pengumpulan tabungan para anggota;

3. Mencari pinjaman dari pihak bank atau non-bank dalam menunjang elancaran operasional koperasi.

b. Secara Tidak Langsung

Modal yang didapat dari cara ini bukan merupakan modal yang langsung digunakan oleh koperasi tetapi mengambil manfaat dari kemampuan operasi itu sendiri dalam rangka menekan biaya, caranya antara lain:

1. Menunda pembayaran yang seharusnya dikeluarkan; 2. Memupuk dana cadangan;

3. Melakukan kerja sama usaha; 4. Mendirikan badan usaha bersubsidi

13

Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, Nadia Maulisa Benemay, Hukum Koperasi Indonesia: Pemahaman, Regulasi, Pendidian dan Modal Usaha, Kencana, Jakarta, 2005, hal. 107-114.


(60)

Modal dalam koperasi terdiri atas:14 1. Modal Sendiri

a. Simpanan Pokok

Simpanan poko adalah sejumlah uang yang wajib disetorkan ke dalam kas koperasi oleh para pendiri atau anggota koperasi pada saat masuk menjadi anggota. Simpanan pokok tidak dapat ditarik kembali oleh anggota koperasi tersebut selama yang bersangkutan masih tercatat menjadi anggota koperasi.

b. Simpanan Wajib

Konsekwensi dari simpanan ini adalah harus dilakukan oleh semua anggota koperasi yang dapat disesuaikan besar kecilnya dengan tujuan usaha koperasi dan kebutuhan dana yang hendak dikumpulkan, arena itu akumulasi simpanan wajib para anggota harus diarahkan mencapai jumlah tertentu agar dapat menunjang kebutuhan dana yang akan digunakan menjalankan usaha koperasi.

c. Dana Cadangan

Dana cadangan ialah sejumlah uang yang diperoleh dari sebagian hasil usaha yang tidak dibagikan kepad anggoya; tujuannya adalah untuk memupuk modal sendiri yang dapat digunakan sewaktu-waktu apabila koperasi membutuhkan dana secara mendadak atau menutup kerugian dalam usaha.

d. Hibah

14


(61)

Hibah adalah bantuan, sumbangan atau pemberian cuma-cuma yang tida mengharapkan pengembalian atau pembalasan dalam bentuk apapun. Siapa pun dapat memberikan hibah kepada koperasi dalam bentuk apapun sepanjang memiliki pengertian seperti itu; untuk menghindarkan koperasi menjadi tergantung dengan pemberi hibah sehingga dapat mengganggu prinsip-prisnsip dan asas koperasi.

2. Modal Pinjaman a. Pinjaman dari Anggota

Pinjaman yang diperoleh dari anggota koperasi dapat disamakan dengan simpanan sukarela anggota. Kalau dalam simpanan sukarela, maka besar kecil dari nilai yang disimpan tergantung dari kerelaan anggota. sebaliknya dalam pinjaman, koperasi meminjam senilai uang atau yang dapat dinilai dengan uang yang berasal dari anggota.

b. Pinjaman dari Koperasi Lain

Pada dasarnya diawali dengan adanya kerja sama yang dibuat oleh sesama badan usaha koperasi untuk saling membantu dalam bidang kebutuhan modal. Bentuk dan lingkup kerja sama yang dibuat bisa dalam lingkup yang luas atau dalam lingkup yang sempit; tergantung dari kebutuhan modal yang diperlukan.

c. Pinjaman dari Lembaga Keuangan

Pinjaman komersial dari lembaga keuangan untuk badan usaha koperasi mendapat prioritas dalam persyaratan. Prioritas tersebut diberikan kepada koperasi sebetulnya merupakan komitmen pemerintah dari negara-negara


(1)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan yang tiada henti-hentinya akan kehadhirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kesempatan penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat dan salam tak lupa penulis panjatkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan jalan dan menuntun umatnya dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang yang disinari oleh nur iman dan Islam.

Skripsi ini berjudul: Perlindungan Dana Nasabah dalam Koperasi Simpan Pinjam Syariah (Studi Kasus pada KSU Syariah Mitra Amaliyah).

Penulis menyadari bahwa di dalam pelaksanaan pendidikan ini banyak mengalami kesulitan-kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan adanya suatu masukan serta saran yang bersifat konstruktif di masa yang akan datang.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:


(2)

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp. A(K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU.

4. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU.

5. Bapak Muhammad Husni, SH, M. Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU.

6. Bapak Armansyah, SH, M. Hum sebagai Ketua Jurusan Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA sebagai Dosen Pembimbing I, terima kasih atas bimbingan dan dukungan Bapak selama ini kepada penulis.

8. Bapak Ibu Rabiatul Syahriah, SH, M. Hum, sebagai Dosen Pembimbing II, terima kasih atas perhatian dan bimbingan Ibu kepada penulis selama penulisan skripsi.


(3)

ananda hingga ananda dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi, serta seluruh keluarga besar yang memberikan dorongan semangat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan hingga selesai skripsi ini.

12.Buat isteriku, Nisa dan anakku tersayang, Alif, skripsi ini ku persembahkan buat kalian. Semoga kita terus menjadi keluarga yang bahagia dan diridhoa oleh Allah SWT.

13.Buat dan Adik-adikku semoga kalian dilindungi-Nya selalu.

14.Juga teman-teman lain yang tidak bisa di sebutkan satu persatu, kalian akan selalu dihatiku.

15.Buat semua pihak yang telah berpartisipasi atas penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Demikianlah yang penulis dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, 18 Juni 2009


(4)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II Tinjauan Hukum Tentang Koperasi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 ... 16

A. Pengaturan tentang Koperasi dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia ... 16

B. Mekanisme Pendirian Koperasi ... 18

C. Bentuk Usaha dan Jenis Koperasi ... 22

D. Kegiatan-kegiatan Koperasi ... 26 BAB III Modal-modal dan Prinsip Keuangan pada Koperasi Syariah


(5)

D. Modal Penyertaan ... 35

BAB IV Perlindungan Dana Nasabah Dalam Koperasi Simpan Pinjam Syariah 38 A. Gambaran Umum Koperasi Syariah Mitra Amaliyah dan Dasar Hukumnya ... 38

B. Aspek Hukum Perikatan dalam Pendirian Koperasi Simpan Pinjam Syariah... 48

C. Prinsip-prinsip Dasar Produk Koperasi Syariah ... 67

D. Perlindungan Dana Nasabah dalam Koperasi Syariah Mitra Amaliyah ... 72

E. Akibat Hukum dalam Hal Terjadinya Wanprestasi Terhadap Dana Nasabah Pada Koperasi Syariah Mitra Amaliyah ... 74

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

A. Kesimpulan... 78

B. Saran ... 79


(6)

ABSTRAKSI

Koperasi syariah sebagai suatu badan usaha yang berbadan hukum dapat melaksanakan kegiatan usaha simpan pinjam sebagai salah satu usaha atau satu-satunya kegiatan usaha koperasi secara umum. Koperasi Simpan Pinjam syariah secara khusus dalam kegiatan usahanya menerima tabungan (penghimpunan dana) dan menyalurkannya, yang berasal dari dan untuk para anggotanya atau koperasi lain dan/atau anggotanya. Seiring dengan perkembangan koperasi syariah yang pesat dan secara umum dapat disimpulkan perkembangannya juga sehat, akan tetapi di dalam praktek pelaksanaannya koperasi syariah tidak terlepas dari berbagai masalah, khususnya masalah kepercayaan dari para nasabah.

Skripsi ini membahas tentang Tinjauan Hukum Terhadap Perlindungan Dana Nasabah dalam Koperasi Simpan Pinjam Syariah (studi kasus pada KSU Syariah BMT Mitra Amaliyah dengan pokok bahasan mengenai Landasan Hukum Tentang Koperasi Syariah, penerapan prinsip syariah pada permodalan koperasi syariah di Koperasi Simpan Pinjam Syariah Mitra Amaliyah, dan bentuk perlindungan terhadap dana nasabah dalam Koperasi Simpan Pinjam Syariah Mitra Amaliyah.

Metode penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini adalah metode normatif yuridis, yakni Yaitu mengumpulkan bahan penulisan melalui bacaan, peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah-majalah, hasil seminar, surat kabar dan lain-lain, dan metode penelitian lapangan, yakni dengan pengumpulan data mengenai objek yang diteliti dalam hal ini dilakukan melalui wawancara dengan pengurus LKMS-KSU Syariah BMT Mitra Amaliyah Kec. Patumbak Kabupaten Deli Serdang.

Koperasi Syariah di Indonesia didirikan didasarkan pada kebijakan pemerintah berdasarkan UU No. 25/1992 tentang Koperasi, UU No. 7/ 1992 (kini UU No. 10/ 1998) tentang perbankan, yang diikuti dengan keluarnya PP No. 72/ 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Koperasi syariah menggunakan modal yang nota bene berasal dari para nasabah untuk dikelola dengan menggunakan prinsip-prinsip syariah, seperti pembiayaan mudharabah, musyarakah, wadi’ah, ijarah dan sebagainya. Perlindungan dana nasabah dilakukan dengan melakukan pengelolaan secara profesional sehingga