BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dunia politik di Indonesia telah mengalami perubahan yang signifikan setelah era reformasi. Semangat untuk menenggelamkan praktik-praktik berpolitik
yang dianggap penuh dengan rekayasa, manipulatif, tidak adil dan represif memberikan energi besar kepada semua komponen bangsa untuk menciptakan
suasana politik yang lebih terbuka, transaparan, jujur dan adil. Persaingan politik baik horizontal maupun vertikal kini telah terbuka lebar, sehingga akses politik
untuk memasuki ranah kekuasaan baik dalam tingkatan legislatif maupun eksekutif relatif lebih mudah apabila dibandingkan dengan masa Orde Baru yang
hanya melahirkan Demokrasi prosedural dan tidak pernah menyentuh sistem demokrasi yang bercorak subtantif.
Era transisi politik menuju pemerintahan yang demokratis di Indonesia telah terjadi pada pertengahan tahun 1998. Akumulasi kekecewaan terhadap
pemerintahan rezim Orde Baru yang berwatak otoriter di tambah
ketidakmampuan Pemerintah dalam mengatasi gejolak sosial politik dan krisis ekonomi, telah menyebabkan munculnya tuntutan perubahan di segala bidang
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Gelombang reformasi ini ditandai dengan penggulingan rezim Orde Baru yang berdampak
pada jatuhnya Presiden Soeharto dari tampuk kepemimpinan nasional pada 21 Mei 1998. Gelombang reformasi ini didorong oleh perjuangan kelas menengah
1
Indonesia yang dimotori oleh mahasiswa dan kaum intelektual yang kemudian disokong oleh kekuatan massa yang sudah lama muak dengan rezim Orde Baru.
1
Transisi politik ke arah yang lebih demokratis yang terjadi pasca runtuhnya rezim Orde Baru salah satunya nampak dalam konteks kepartaian. Di
negara Indonesia yang pada dasarnya mengenal sistem multi-partai. Akan tetapi, sekalipun pada masa Orde Baru menggunakan sistem ini, sistem kepartaian pada
masa Orde Baru dapat dikategorikan sebagai sistem multi-partai dengan dominasi satu partai yakni didominasi oleh Partai Golkar. Adapun Transisi demokrasi yang
terjadi dalam konteks kepartaian yakni dengan adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik.
Dewasa ini, sulit membayangkan adanya negara modern tanpa eksistensi partai politik. Tidak hanya di negara-negara yang menganut demokrasi sebagai
sistem politiknya yang menempatkan partai politik sebagai instrumen penting dalam pelembagaan politik. Tetapi, di negara-negara yang tidak menerapkan
sistem politik demokrasi pun partai politik memegang peranan penting dalam proses-proses politik yang terjadi.
2
Partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern yang demokratis. Sebagai suatu organisasi, partai politik secara ideal dimaksudkan
untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberi jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan
sarana suksesi kepemimpinan politik secara absah legitimate dan damai.
1
Harun, A. 2005. Angkasa Reformasi Terus Bergerak: Dimanakah Sang Pelopor Mengorbit?. Jakarta:PT. Pustaka Cidesindo. Halaman: xvi
2
Budiardjo, Miriam. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka. Halaman: 159-160
Dikeluarkannya UU No. 2 Tahun 1999 yang merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan
Karya, mengawali lahirnya beberapa ketentuan-ketentuan seperti UU No. 31 Tahun 2002 tentang partai politik, UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dinamika politik di Indonesia mengalami perubahan yang
sangat pesat. Kini perjalanan Indonesia menuju ke arah yang lebih demokratis masih berlangsung. Di masa Reformasi, penataan partai politik terus berlanjut.
Salah satunya adalah dengan upaya merevisi tatanan kepartaian sebagaimana ditunjukkan melalui UU No. 2 Tahun 2008 sebagai pengganti atas UU No. 31
Tahun 2002. Hal ini memperlihatkan desakan masyarakat sekaligus keinginan di kalangan partai sendiri untuk membangun relevansi dengan perkembangan
masyarakat. Dari beberapa perubahan Undang-Undang Tentang Partai Politik ini,
terlihat adanya suatu transisi ke arah yang lebih demokratis di negara Indonesia. Sistem demokrasi yang mengedepankan pengakuan terhadap hak asasi manusia,
terutama mengenai hak berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat dapat dilihat disini. Kesempatan warga negara baik dari kaum pria maupun kaum wanita
untuk berpartisipasi dalam bidang politik yang pada masa Orde Baru sangat terbatas kini telah terbuka lebar. Kini, masyarakat dapat berpartisipasi untuk ikut
serta secara aktif dalam kehidupan politik di Indonesia. Adapun bentuk partisipasi politik dari masyarakat Indonesia terlihat pada
Pemilu 2009. KPU mengumumkan daftar partai politik yang dinyatakan lolos
verifikasi faktual untuk mengikuti Pemilu 2009. 18 di antara 38 partai politik nasional yang diumumkan adalah partai politik baru yang pertama kali mengikuti
pemilu. Di samping 38 partai politik Nasional peserta Pemilu 2009, Pemilu 2009 juga ditambah 6 partai politik lokal di Provinsi NAD yang berhak mengikuti
Pemilu Anggota DPR untuk daerah pemilihan Aceh dan Pemilu anggota DPRD di Provinsi NAD.
Dengan bertambahnya partai politik samapi 30 persen, sementara jumlah pemilih tidak banyak berubah sekitar 174 juta pemilih, maka persaingan
memperebutkan suara akan semakin ketat. Akan tetapi di penghujung tahun 2008, konstalasi politik nasional dikejutkan oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi MK
No. 22-24PUU-VI2008 pada Selasa 23 Desember 2008 menghapuskan ketentuan minimal 30 persen dan nomor urut dalam penetapan Caleg terpilih
sebagaimana tertera dalam Pasal 214 UU No. 102008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD yang berbunyi:
“Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupatenkota dari Partai Politik didasarkan pada perolehan kursi Partai
Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan: a. Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupatenkota
ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang- kurangnya 30 tiga puluh perseratus dari BPP;
b. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta
pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-
kurangnya 30 tiga puluh perseratus dari BPP;
c. Dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih
diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30 tiga puluh
perseratus dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100 seratus perseratus dari BPP;
d. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka
kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut; e. dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-
kurangnya 30 tiga puluh perseratus dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.
3
MK menyatakan bahwa Pasal 214 UU No 10 Tahun 2008 itu bertentangan dengan makna substantif prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam
Pasal 28 d ayat 1 UUD 1945. MK akhirnya menetapkan suara terbanyak sebagai mekanisme tunggal dalam penentuan caleg terpilih.
Itu artinya, penetapan calon anggota legislatif caleg pada Pemilu 2009 tidak lagi memakai sistem nomor urut dan telah digantikan dengan sistem suara
terbanyak. Hal itu berlaku bagi semua partai politik. Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa MK tidak menggantikan sistem pemilu legislatif yang ada,
yaitu sistem proporsional terbuka Pasal 5 ayat 1 UU No. 102008. Dengan demikian, pasca Keputusan MK tersebut, Pemilu Legislatif 2009 masih tetap
mempergunakan sistem proporsional terbuka, hanya saja lebih mengutamakan stelsel daftar terbuka, dalam arti penetapan Caleg terpilih berdasarkan suara
terbanyak.
4
Disadari atau tidak, maka Keputusan Mahkamah Konstitusi MK No. 22-24PUU-VI2008 tentang penghapusan ketentuan minimal 30 persen dan
nomor urut dalam penetapan Caleg terpilih berimbas pada perekrutan calon anggota legislatif yang diusung oleh partai-partai politik. Dimana pada Pemilu
3
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
4
Seran, G
Goris. 2009.
Penentuan Kursi
Caleg melalui
Suara Terbanyak.
http:www.pelita.or.idbaca.php?id=63032 diakses pada 4 Maret 2009.
sebelumnya caleg terpilih berdasarkan nomor urut dan pada Pemilu 2009 penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak.
Oleh sebab itu, guna mengkaji lebih mendalam mengenai permasalahan
di atas peneliti mengambil judul : “Mekanisme Pencalonan Anggota Legeslatif Pasca Keputusan MK No. 22-24PUU-VI2008 Tentang Penetapan Caleg
Terpilih Berdasarkan Suara Terbanyak”. Studi pada DPD Partai Golkar dan
DPD PKS Kota Malang.
1.2 Rumusan Masalah