Pengaruh Kebijakan Partai Politik Dalam Meningkatkan Keterwakilan Perempuan Di Pemerintahan (Studi Kasus pada DPW Partai Keadilan Sejahtera Provinsi Sumatera Utara)

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

PENGARUH KEBIJAKAN PARTAI POLITIK DALAM MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI PEMERINTAHAN

(Studi Kasus pada DPW Partai Keadilan Sejahtera Provinsi Sumatera Utara)

SKRIPSI

Diajukan Oleh :

YUSWANIATI RAMADHANI 050901069

SOSIOLOGI

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara


(2)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN SOSIOLOGI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan oleh : Nama : Yuswaniati Ramadhani

Nim : 050901069 Departemen : Sosiologi

Judul : PENGARUH KEBIJAKAN PARTAI POLITIK DALAM

MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI PEMERINTAHAN

(Studi Kasus pada DPW Partai Keadilan Sejahtera Provinsi Sumatera Utara)

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

(Drs. Muba Simanihuruk, M.Si) (Prof. Dr. Badaruddin, M.Si) NIP. 132 059 106 NIP. 131 996 175

a.n. Dekan Pembantu Dekan I

(Drs. Humaizi, M.A) NIP. 195908091986011002


(3)

ABSTRAK

Keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam kancah dunia politik adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari lagi. Akses dan partisipasi politik perempuan di setiap tingkatan pada lembaga pembuat atau pengambil kebijakan adalah merupakan hak asasi bagi setiap perempuan yang paling mendasar. Berdasarkan hak asasi tersebutlah, sesungguhnya sangat banyak alasan mengapa begitu pentingnya melibatkan perempuan dalam kancah dunia politik. Baik itu perempuan sebagai pelaku yang terjun langsung dan menduduki posisi/jabatan di partai politik, parlemen dan birokrasi atau hanya sekedar melibatkan kepentingan perempuan dalam ideologi dan program kerja partai politik saja, hal ini karena perempuan pada dasarnya adalah pelaku yang lebih memahami kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri dengan lebih baik. Jika keterwakilan perempuan sepenuhnya diserahkan kepada kaum laki-laki sebagai pembuat kebijakan, tentunya akan menghasilkan kondisi yang bias jender dan sangat kecil peluang laki-laki dalam memperjuangkan aspirasi kaum perempuan karena laki-laki tidak mengalami apa yang dialami perempuan kebanyakan. Hal tersebut mendorong perempuan untuk terlibat dalam keanggotan dari sebuah partai politik agar selanjutnya mampu melibatkan diri dalam parlemen. Sebagaimana yang akan dijelaskan dalam penelitian ini adalah salah satu jalan yang sangat penting untuk upaya peningkatan keterwakilan perempuan di pemerintahan adalah dengan cara melalui partai politik. Maka dari itu faktor masuknya perempuan menjadi calon legislatif banyak ditentukan dari basis mana mereka berasal dan bagaimana mereka dididik serta kebijakan-kebijakan yang mampu mendorong perempuan menjadi perwakilan perempuan lainnya di pemerintahan.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan studi kasus. Penelitian ini berlokasi di Jalan Kenanga Raya No. 51 Medan. Adapun yang menjadi informan kunci dalam penelitian ini adalah pengurus DPW PKS Provinsi Sumatera Utara Masa Bakti 2006-2010 dan yang menjadi informan biasa dalam penelitian ini adalah anggota dewan perempuan DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2009-2014. Selanjutnya, untuk mengumpulkan data digunakan interview guide

yang dilakukan oleh penulis dilapangan.

Hasil dari data dilapangan menunjukkan bahwa partai politik memiliki peranan yang sangat besar dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di pemerintahan khususnya di DPRD Provinsi Sumatera Utara, karena keberhasilan perempuan menduduki jabatan di parlemen selain ditentukan oleh kapasitasnya juga ditentukan oleh dari basis mana mereka berasal. Hal ini juga tidak terlepas dari adanya kebijakan atau Undang-Undang yang ada di partai politik tersebut maupun yang dikeluarkan pemerintah. Kebijakan yang ada di partai politik diantaranya adalah tidak adanya perbedaan kesempatan untuk menduduki jabatan strategis antara laki-laki dan perempuan, selain itu diberlakukannya UU kuota 30% keterwakilan perempuan di partai politik maupun pada proses pencalonan anggota legislatif telah memberikan peluang kepada perempuan untuk berapresiasi sesuai dengan kemampuan ataupun kapasitasnya. Selain itu, jika dilihat dari sisi perjuangan dari dan untuk kaum perempuan, keterwakilan perempuan di pemerintahan saat ini belumlah maksimal. Kehadiran perempuan di lembaga legislatif khususnya dalam hal ini adalah DPRD Provinsi Sumatera Utara didasari oleh adanya kerja sosial (charity) bukan political will.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kasih dan karuniaNya kepada penulis sehingga penulis akhirnya mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Penulisan skripsi ini merupakan sebuah karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, dengan judul Pengaruh Kebijakan Partai Politik dalam Meningkatkan Keterwakilan Perempuan di Pemerintahan (Studi pada DPW PKS Provinsi Sumatera Utara).

Skripsi penulis ini dipersembahkan kepada kedua orang tua penulis, Bapak Irwan dan Ibu Yuniarti atas kasih sayangnya, semangat dan pengorbanan yang telah diberikan.

Penulis menyadari sepenuhnya tanpa adanya dukungan dari semua pihak, penulis tidak akan dapat menyelesaikan skripsi ini. Dengan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. DR. Arif Nasution, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. DR. Badaruddin, M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara sekaligus selaku Dosen Wali penulis

3. Ibu Dra. Rosmiani, MA, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Drs. Muba Simanihuruk, M.Si, selaku Dosen Pembimbing penulis yang telah banyak meluangkan waktu dan pemikirannya dalam penulisan skripsi ini.


(5)

5. Seluruh dosen departemen Sosiologi yang telah memberikan bimbingannya kepada penulis.

6. Kak Fenni dan Kak Devi di Departemen Sosiologi serta Kak Betty di Bagian Departemen Sosiologi, Terimakasih atas bantuannya dalam hal pengurusan Administrasi surat menyurat untuk kelancaran skripsi ini.

7. Teristimewa kepada Ayahanda Irwan dan Ibunda Yuniarti, terimakasih atas kasih sayang, pengorbanan yang sebesar-besarnya dan dukungan semangat yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan proses perkuliahan.

8. Abangda Hendra Maulana (walaupun jauh berada di Padang namun tetap memberikan doa dan dukungannya buat penulis), serta Adinda Dewi Murniaty dan Fitri Ramadhani, yang telah mengorbankan waktunya serta telah mengalah dengan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Terspesial buat Risky Cahyadi yang selama ini selalu mendukung penulis untuk menyelesaikan skripsi ini serta selalu setia menemani kemana pun penulis pergi dalam rangka pemenuhan data-data untuk melengkapi skripsi ini.

10.Kakanda Andi Rusnadi, Kakanda Emilia Gusti, Kakanda Imam Syafganti dan Kakanda Adi Kurniawan yang telah mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11.Senior Sosiologi bang Jack 1999, bang Naldi 2000, bang Amek 2001, bang Wawan 2001 (makasih atas buku-bukunya bang)

12.Kakanda-Kakanda HMI Komisariat FISIP USU yang tidak bisa disebutkan satu persatu (semua proses yang saya dapatkan selama berkomisariat mudah-mudahan bisa menjadi bekal untuk di kehidupan nyata kelak)


(6)

13.Kawan-kawan Sosiologi stambuk 2005 Irdha, Tiara, Ita, Rani, Penggi, Yanti dan Siska (makasih ya sis, atas referensinya)

14.Buat kawan-kawan 2005 HMI Komisariat FISIP USU : Jean Ari “Ketum”, Suhendra “Pakde”, Dayat “Jenggot”, Anthie “bosar”, Lia “tantenya Kina” , Mi ndut “bakpao”, Ama “si cerewet”, bedol “tukang isu”, agung, Riri, Mimi “kecil”, tika, Jaka, Siska, Lia ndut, Fadli, Taslim, Andhin, Cun-cun, Wina, Liza, Roby, Abduh, Putra, Taufik, Mamet dan yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu (mudah-mudahan tali silahturahim kita tidak terputus)

15.Kawan-kawan satu extrainer LK 2 HMI Cabang Semarang yang ada di seluruh Indonesia (kangen dengan masa-masa training dulu)

16.Kawan-kawan satu extrainer LKK HMI Cabang Bogor yang ada di seluruh Indonesia (mudah-mudahan ilmu yang kita dapatkan bisa kita aplikasikan di masyarakat)

17.Kawan-Kawan Extrainer Senior Course HMI Cabang Medan (Mudah-mudahan kita punya visi yang sama)

18.Adek-adek asuhku : Afdal, Ara, Fahmi, Tia, Dwi, Andre, Dila, Sri, Muna, Reihana, Maya, Said Ismail (sesama sodara yang akur ya...)

19.Adinda-adinda Pengurus stambuk ’06 : Ryan Juskal, Ulfa, Ais, Amar, Roni, Yurial, Adel, Diah, Anol, Regar, Reza, Mustaqim, Ryan P (mulailah memilah-milih sesuai dengan ranahnya, dan berusahalah untuk jadi orang yang bertanggungjawab, jangan “lari” dari keadaan)

20.Adinda-adinda “batu kristal” : Ayak, Rolan, Akbar, Miftah, Edo, Ferdi, Dika, Amir, Acong, Firdha, Indra, Nenda, Ovi, Dina, Tri, Wirda, Kiki, Aing, Arif, Ika, Vira, Dedi, Budi, Ryan, Dayat, Tina, Rozi, Rini dan yang tidak bisa disebutkan


(7)

satu persatu (jangan pernah patah semangat, terus belajar, bertanggungjawab dan anggap konflik itu untuk mendewasakan kalian)

21.Adinda-adinda “balapan pesawat” : Ipin, Nora, Aling, Fitri, Ririn, Iskandar, Fajri, Taufik, Puri, Haris, Amin, Ica, Silvi, Doni, Dini, Randa, Faisal, Budi, Bania, Ulfa, Anas, Anggre, Satya, Nanda, Putra dan personel dari balapan pesawat yang tidak bisa disebutkan satu persatu (kalian sudah memasuki gerbang & sudah memegang “kunci”, maka jangan takut untuk melangkah)

22.Adinda-adinda ’09 : Mitha, Ezwin, Eka, Citra, Tini, Johan, Joan, Teguh, Moly, Kindy, Afgan, Said, Franky, Egi, Nanda dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu (selamat datang di FISIP USU)

23.Semua informan dalam penelitian ini, terimakasih atas kerja sama dan dukungannya

24.Semua pihak yang turut membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam penulisan skripsi ini, akan tetapi penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan untuk menambah kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstraksi………. i

Kata Pengantar……… ii

Daftar Isi………... vii

Daftar Tabel………... ix

Daftar Gambar……….... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah………... 1

1.2. Perumusan Masalah………... 11

1.3. Tujuan Penelitian………... 11

1.4. Manfaat Penelitian……… 12

1.5. Defenisi Konsep……… 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 . Partai Politik sebagai ”kendaraan” Politik...……….. 16

2.3 . Keterwakilan Perempuan di Pemerintahan………....………... 21

2.2. Jender dan Ranah Politik... 25

2.4 . Kuota 30% sebagai salah satu ”Affirmative Action”……… 31

2.5 . Kebijakan Negara Terhadap Perempuan... …………... 33

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian………... 37

3.2. Lokasi Penelitian………... 38

3.3. Unit Analisis dan Informan……..……….... 38

3.4. Teknik Pengumpulan Data………... 39

3.5. Interpretasi Data………... 40

3.6. Jadwal Kegiatan………... 41

3.7. Keterbatasan Penelitian………... 41

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1. Latar Belakang Lahirnya Partai Keadilan Sejahtera……… 43

4.1.1. Sejarah Lahirnya Partai Keadilan Sejahtera………. 43

4.1.2. Sejarah Lahirnya PKS di Sumatera Utara……… 48

4.2. Arah Kebijakan Umum Partai Keadilan Sejahtera………... 52

4.2.1. Visi Partai Keadilan Sejahtera... 52

4.2.2. Misi Partai Keadilan Sejahtera... 53

4.2.3 Syarat Keanggotaan Partai Keadilan Sejahtera... 56

4.2.4. Platform Partai Keadilan Sejahtera... 63

4.3. Prinsip Kebijakan Partai Keadilan Sejahtera... 68

4.3.1. Kebijakan Dasar Partai Keadilan Sejahtera... 73

4.3.2. Kebijakan Umum Partai Keadilan Sejahtera... 74

4.4. Strategi Umum Partai Keadilan Sejahtera... 81

4.5. Struktur Organisasi Partai Keadilan Sejahtera... 85

4.5.1. Dewan Syariah Wilayah PKS Provinsi Sumatera Utara... 86


(9)

4.5.3. DPW PKS Provinsi Sumatera Utara... 87

4.6. Kebijakan Rekrutmen Partai Keadilan Sejahtera Terhadap Perempuan.. 90

4.6.1. Rekrutmen dalam Kepengurusan Partai... 90

4.6.2. Rekrutmen Calon Legislatif... 92

4.7. Profil Informan………... 94

4.8. Analisa Keterwakilan Perempuan dalam Partai Politik... 113

4.9. Analisa Isu Jender pada Tingkat Keterwakilan Perempuan di Pemerintahan... 119

4.10.Analisa Tingkat Keterwakilan Perempuan di DPRD Provinsi Sumatera Utara... 122

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan... 128

5.2 Saran... 130 DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 1.1 Perbandingan Jumlah Laki-Laki dan Perempuan dalam

Lembaga Legislatif 1955-2005……… 2 Tabel 1.2 Perempuan dalam Dewan Perwakilan Daerah (DPRD)

Berdasarkan Hasil Pemilu 2004……….. 3 Tabel 4.1 Sejarah Lahirnya dan Segala Bentuk Aktivitas PKS………... 43 Tabel 4.2 Daftar Nama Pendiri Partai Keadilan Sejahtera……….. 47 Tabel 4.3 Komposisi Partai Politik di Parlemen Hasil Pemilu 1999………... 49 Tabel 4.4 Komposisi Partai Politik di Parlemen Hasil Pemilu 2004... 50 Tabel 4.5 Perolehan Suara 7 (tujuh) Partai Besar pada Pemilu 1999

di Kota Medan... 51 Tabel 4.6 Perolehan Suara 7 (tujuh) Partai Besar pada Pemilu 2004

di Kota Medan... 51 Tabel 4.7 Perempuan dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI

Berdasarkan Partai Politik pada Pemilu 2004……….. 117 Tabel 4.8 Perempuan dalam Institusi Politik Formal 2001... 121 Tabel 4.9 Daftar Nama Anggota DPRD Sumatera Utara

Hasil Pemilu 2009……… 124

Tabel 4.10 Daftar Nama Anggota DPRD Perempuan Provinsi Sumatera Utara Hasil Pemilu 2009... 126


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 4.1 Karakteristik Pembangunan PK-Sejahtera... 55 Gambar 4.2 Platform bagi Partai Politik dalam Pemilu………... 67 Gambar 4.3 Falsafah Dasar Perjuangan Partai Keadilan Sejahtera…………. 72


(12)

ABSTRAK

Keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam kancah dunia politik adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari lagi. Akses dan partisipasi politik perempuan di setiap tingkatan pada lembaga pembuat atau pengambil kebijakan adalah merupakan hak asasi bagi setiap perempuan yang paling mendasar. Berdasarkan hak asasi tersebutlah, sesungguhnya sangat banyak alasan mengapa begitu pentingnya melibatkan perempuan dalam kancah dunia politik. Baik itu perempuan sebagai pelaku yang terjun langsung dan menduduki posisi/jabatan di partai politik, parlemen dan birokrasi atau hanya sekedar melibatkan kepentingan perempuan dalam ideologi dan program kerja partai politik saja, hal ini karena perempuan pada dasarnya adalah pelaku yang lebih memahami kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri dengan lebih baik. Jika keterwakilan perempuan sepenuhnya diserahkan kepada kaum laki-laki sebagai pembuat kebijakan, tentunya akan menghasilkan kondisi yang bias jender dan sangat kecil peluang laki-laki dalam memperjuangkan aspirasi kaum perempuan karena laki-laki tidak mengalami apa yang dialami perempuan kebanyakan. Hal tersebut mendorong perempuan untuk terlibat dalam keanggotan dari sebuah partai politik agar selanjutnya mampu melibatkan diri dalam parlemen. Sebagaimana yang akan dijelaskan dalam penelitian ini adalah salah satu jalan yang sangat penting untuk upaya peningkatan keterwakilan perempuan di pemerintahan adalah dengan cara melalui partai politik. Maka dari itu faktor masuknya perempuan menjadi calon legislatif banyak ditentukan dari basis mana mereka berasal dan bagaimana mereka dididik serta kebijakan-kebijakan yang mampu mendorong perempuan menjadi perwakilan perempuan lainnya di pemerintahan.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan studi kasus. Penelitian ini berlokasi di Jalan Kenanga Raya No. 51 Medan. Adapun yang menjadi informan kunci dalam penelitian ini adalah pengurus DPW PKS Provinsi Sumatera Utara Masa Bakti 2006-2010 dan yang menjadi informan biasa dalam penelitian ini adalah anggota dewan perempuan DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2009-2014. Selanjutnya, untuk mengumpulkan data digunakan interview guide

yang dilakukan oleh penulis dilapangan.

Hasil dari data dilapangan menunjukkan bahwa partai politik memiliki peranan yang sangat besar dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di pemerintahan khususnya di DPRD Provinsi Sumatera Utara, karena keberhasilan perempuan menduduki jabatan di parlemen selain ditentukan oleh kapasitasnya juga ditentukan oleh dari basis mana mereka berasal. Hal ini juga tidak terlepas dari adanya kebijakan atau Undang-Undang yang ada di partai politik tersebut maupun yang dikeluarkan pemerintah. Kebijakan yang ada di partai politik diantaranya adalah tidak adanya perbedaan kesempatan untuk menduduki jabatan strategis antara laki-laki dan perempuan, selain itu diberlakukannya UU kuota 30% keterwakilan perempuan di partai politik maupun pada proses pencalonan anggota legislatif telah memberikan peluang kepada perempuan untuk berapresiasi sesuai dengan kemampuan ataupun kapasitasnya. Selain itu, jika dilihat dari sisi perjuangan dari dan untuk kaum perempuan, keterwakilan perempuan di pemerintahan saat ini belumlah maksimal. Kehadiran perempuan di lembaga legislatif khususnya dalam hal ini adalah DPRD Provinsi Sumatera Utara didasari oleh adanya kerja sosial (charity) bukan political will.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Memasuki abad ke XXI, keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam kancah dunia politik adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari lagi. Akses dan partisipasi politik perempuan di setiap tingkatan pada lembaga pembuat atau pengambil kebijakan adalah merupakan hak asasi bagi setiap perempuan yang paling mendasar. Berdasarkan hak asasi tersebutlah, sesungguhnya sangat banyak alasan mengapa begitu pentingnya melibatkan perempuan dalam dunia politik. Baik itu perempuan sebagai pelaku yang terjun langsung dan menduduki posisi/ jabatan di partai politik, parlemen dan birokrasi atau hanya sekedar melibatkan kepentingan perempuan dalam ideologi dan program kerja partai politik saja, hal ini karena perempuan pada dasarnya adalah pelaku yang lebih memahami kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri dengan lebih baik.

Selama ini umumnya segala keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan isu-isu ataupun persoalan perempuan selalu menjadi agenda politik kaum laki-laki. Jadi, keterwakilan perempuan dalam dunia politik bukanlah suatu kemewahan atau gagah-gagahan saja tetapi sudah selayaknyalah menjadi sebuah kebutuhan. Karena pada saat ini banyak sekali kebutuhan perempuan yang hanya memadai jika dibicarakan dan dipahami oleh perempuan itu sendiri. Sebut saja isu tentang kesehatan reproduksi perempuan seperti program keluarga berencana (KB) atau alat kontrasepsi yang aman, pendidikan anak, pekerja perempuan, penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, pemerkosaan, trafficking, pelecehan dan lain sebagainya.


(14)

Sedangkan jika kita melihat sisi lain dari peta perpolitikan yang ada di Indonesia, partai politik mempunyai peran yang sangat penting dalam memperluas tingkat keterwakilan politik perempuan di pemerintahan. Dalam hal ini partai politik dapat membantu dan mendorong perempuan mencapai kepentingan-kepentingannya demi memenuhi dan memberikan solusi terbaik bagi permasalahan dan persoalan perempuan yang selama ini terabaikan. Terlebih lagi partai politik dapat membantu perempuan yang akan dicalonkan untuk masuk dalam lembaga-lembaga politik formal. Yang nantinya perempuan tersebut juga dapat ikut terlibat dalam hal pembuat atau pengambil kebijakan terbaik bagi setiap persoalan yang menyangkut perempuan di Indonesia.

Jika melihat hasil pemilu legislatif 2004, keterwakilan perempuan dalam parlemen memang masih jauh dari bayangan, perempuan hanya memperoleh 61 kursi dari 550 kursi yang ada (yaitu 11,09 % kursi untuk perempuan di legislatif). Dari data persentasi Caleg (calon legislatif) perempuan yang terpilih dan memperoleh kursi dari partai politik dimana mereka berasal menggambarkan wakil perempuan dalam legislatif (parlemen) masih belum sesuai dengan yang diharapkan. (lihat tabel 1.1)

Tabel 1.1

Perbandingan Jumlah Laki-Laki dan Perempuan dalam Lembaga Legislatif 1955-2004

Periode Perempuan Laki-Laki

1955-1960 17 (6,3 %) 271 (93,7 %)

Konstituante 1956-1959 25 (5,1 %) 488 (94,9 %)

1971-1977 36 (7,8 %) 460 (92,2 %)

1977-1982 29 (6,3 %) 460 (93,7 %)

1982-1987 39 (8,5 %) 460 (91,5 %)

1987-1992 65 (13 %) 500 (87 %)

1992-1997 62 (12,5 %) 500 (87,5 %)

1997-1999 54 (10,8 %) 500 (89,2 %)

1999-2004 46 (9 %) 500 (91 %)

2004-2009 61 (11,09 %) 489 (88,9 %)


(15)

Demikian juga pada tingkatan daerah, jumlah keterwakilan perempuan yaitu DPRD Provinsi 6% dan DPRD Kabupaten/Kota 2%. Sedangkan keterwakilan perempuan dalam Badan Perwakilan Desa (BPD) yaitu sebanyak 2% dan hal ini juga masih menunjukkan angka yang cukup rendah.1

Selain itu berikut ini adalah tabel persentase perempuan dalam Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) berdasarkan hasil pemilu 2004, yaitu :

Kondisi tersebut tentu saja paradoks dengan jumlah perempuan yang cukup banyak yaitu separuh dari jumlah penduduk Indonesia, namun tetap saja perempuan tidak terwakili baik secara fisik maupun aspirasinya dalam pembuatan atau pun pengambilan kebijakan. Hal ini sangat ironis, terutama jika dilihat pada fakta pemilu tahun 1999 dimana jumlah pemilih perempuan sebesar 57% dibandingkan dengan pemilih laki-laki 43%. Dimana mayoritas jumlah perempuan di Indonesia menjadi kelompok minoritas dalam kehidupan publik.

2

No

(lihat tabel 1.2)

Tabel 1.2

Perempuan dalam Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Berdasarkan Hasil Pemilu 2004

Provinsi Perempuan

(%)

Laki-Laki (%)

Jumlah

1. Nanggroe Aceh Darussalam 4 (5%) 65 (95%) 69

2. Nusa Tenggara Barat 4(7%) 51 (93%) 55

3. BALI 4 (7%) 51 (93%) 55

4. Kalimantan Barat 3 (5%) 52 (95%) 55

5. Sumatera Barat 5 (9%) 50 (91%) 55

6. Sumatera Selatan 10 (15%) 55 (85%) 65

7. Jawa Timur 16 (16%) 84 (84%) 100

8. Jambi 6 (13%) 39 (87%) 45

9. Lampung 10 (15%) 55 (85%) 65

10. Sulawesi Utara 8 (17%) 37 (83%) 45

11. Sulawesi Selatan 5 (7%) 70 (93%) 75

12. Jawa Tengah 15 (15%) 85 (85%) 100

13. Banten 4 (5%) 71 (95%) 75

14. Yogyakarta 5 (9%) 50 (91%) 55

15. Nusa Tenggara Timur 5 (9%) 50 (91%) 55

16. Sumatera Utara 5 (6%) 80 (94%) 85

1

Indriyanti Suparno, dkk, Masih Dalam Posisi Pinggir2an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal. 351 2

Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Ger8hana, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005, hal. 269


(16)

17. Kalimantan Timur 7 (15%) 38 (75%) 45

18. Kalimantan Tengah 7 (15%) 38 (85%) 45

19. Riau 3 (5%) 52 (95%) 55

20. Maluku Utara 0 (0%) 35 (100%) 35

21. Gorontalo 5 (14%) 30 (86%) 35

22. Sulawesi Tenggara 3 (6%) 42 (94%) 45

23. Bengkulu 6 (13%) 39 (87%) 45

24. Kalimantan Selatan 2 (3%) 53 (97%) 55

25. Jawa Barat 9 (9%) 91 (91%) 100

26. Papua 8 (14%) 48 (86%) 56

27 Bangka Belitung 2 (5%) 33 (95%) 35

28. Kepulauan Riau 2 (5%) 33 (95%) 35

29. Sulawesi Tengah 8 (17%) 37 (83%) 45

30. Irian Jaya Barat 4 (6%) 41 (94%) 44

31. Maluku 2 (4%) 43 (96%) 45

32. DKI Jakarta 11 (14%) 64 (86%) 75

TOTAL 188 (10%) 1662 (90%) 1849

Sumber : Divisi Perempuan dan Pemilu CETRO, 2004

Dampak dari rendahnya representasi perempuan dalam struktur politik formal dan arena pembuat serta pengambil kebijakan ini adalah langkanya kebijakan-kebijakan pemerintah dalam segala level yang berpihak pada perempuan sehingga kepentingan-kepentingan perempuan tidak dapat diartikulasikan. Kebijakan-kebijakan yang ada selain diskriminatif terhadap perempuan juga tidak merepresentasikan kepentingan perempuan sebagai warga negara. Kebijakan negara yang bersifat bias jender selalu menyebabkan kepentingan perempuan terabaikan.

Sejak pemilu tahun 1955 hingga 2004, telah 9 kali perempuan mengikuti pemilu, tetapi keterwakilan perempuan di parlemen tidak pernah lebih dari 12%. Pada pemilu legislatif 2004 di Sumatera Utara, perolehan suara perempuan di parlemen belum signifikan, bahkan nyaris tidak ada bedanya dengan pemilu-pemilu sebelumnya.3

3

Maria Ulfah Anshor, Nalar Politik Perempuan Pesantren, Cirebon: Fahmina-Institute, 2005, hal. 49

Hal ini dapat dilihat dari jumlah anggota DPRD di Sumatera Utara, dimana pada Pemilu tahun 2004 sebanyak 85 orang, dan hanya 5 orang wakil yang berjenis kelamin perempuan.


(17)

Meskipun pemilu tahun 2004 selanjutnya telah memberikan “sedikit” peluang untuk meningkatkan partisipasi maupun representasi perempuan dalam aktifitas politik. Hal ini setidaknya bisa dilihat dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 12 tahun 2003, pasal 65 ayat 1 yang berbunyi :

“setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan parempuan sekurang-kurangnya 30%.”

Diberlakukannya pasal ini setidaknya telah memberikan insentif bagi kelompok perempuan untuk mendesakkan keterwakilan kaumnya dalam lembaga legislatif yang merupakan lembaga strategis untuk membawa perubahan bagi posisi perempuan. Meskipun sebenarnya jika dikaji lebih jauh lagi, tidak ada sanksi bagi partai politik yang tidak menerapkan kuota 30% bagi perempuan. Tentu saja aplikasi pasal 65 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 ini masih sangat lemah. Indikasinya menyebabkan rekrutmen calon pada partai politik belum optimal, banyak calon legislatif perempuan yang belum mendapat tempat maupun posisi strategis dan kebanyakan ditempatkan dalam nomor urut belakang atau yang sering disebut “nomor urut sepatu” dalam daftar penetapan nama calon legislatif tiap partai yang secara otomatis membuat keterwakilan perempuan kebanyakan hanya sampai pada proses daftar pencalegan nama tiap partai dalam pemilu legislatif.

Masalah keterwakilan politik (political representatineness) bagi perempuan adalah satu hal yang cukup penting, khususnya dalam peristiwa besar seperti pemilihan umum (pemilu). Alasan mendasar bagi tuntutan representase politik yang lebih adil ini dinyatakan, seperti “jender sebagai suatu kategori poltik yang penting yang harus terwakili secara penuh dalam institusi-institusi pemerintahan”. Apapun pilihan politiknya, kaum perempuan mempunyai hak untuk diwakili hanya oleh wakil perempuan. Keterwakilan perempuan hanya oleh perempuan adalah hal yang tidak bisa


(18)

ditawar-tawar, karena laki-laki kurang bisa memahami kepentingan dan nilai-nilai yang dipercaya oleh perempuan.

Alasan yang bisa dikemukakan adalah jumlah perempuan yang ikut memberikan suara dalam pemilu lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki, sehingga layak bagi perempuan menuntut jumlah perolehan kursi dalam legislatif/ parlemen. Meningkatnya representasi perempuan dalam legislatif di lain pihak diharapkan akan mampu meningkatkan proses akomodasi aspirasi perempuan dan kelompok marginal lainnya dalam kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkan.

Adapun menguatnya tuntutan partisipasi politik di tingkatan lokal dan nasional ini, tidak terlepas dari perubahan di tingkatan global tentang pentingnya partisipasi politik perempuan. Langkah-langkah yang telah dilakukan di tingkat internasional ini direspon oleh berbagai negara di dunia. Di tingkat kebijakan adanya aturan dalam konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW) tahun 1979 dalam pasal 4, menyatakan :4

Sementara itu di tingkat nasional pemerintah Indonesia telah meratifikasi

CEDAW yang diimplementasikan dalam bentuk Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita untuk menjamin partisipasi politik perempuan. Bagian II pasal 7 menyebutkan :

“Penggunaan langkah sementara yang dilakukan pemerintah umtuk memacu kesetaraan laki-laki dan perempuan secara de facto tidak dianggap sebagai diskriminasi, tetapi hal itu tidak boleh dilanggengkan karena sama dengan memelihara ketidaksetaraan dan standar yang berbeda; langkah itu harus segera dihentikan ketika tujuan dari kesetaraan kesempatan tindakan telah tercapai.”

5

4

Indriyati Suparno, op.cit., hal. 7 5


(19)

Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap wanita dalam kehidupan politik dan kehidupan kemasyarakatan negaranya, khususnya menjamin bagi wanita, atas dasar persamaan dengan pria, hak: (a) untuk memilih dan dipilih, (b) untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya, memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat dan (c) untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan non pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara.”

Untuk terjun langsung ke dunia politik adalah salah satu agenda politik perempuan karena merupakan wadah dan pijakan yang mampu mengaspirasikan kepentingan perempuan dalam upaya mewujudkan kesetaraan jender. Namun hubungan laki-laki dan perempuan di dalam politik terkadang tidak berjalan harmonis dan perempuan tetap ditempatkan sebagai “the second human being” dan tersubordinasi, maka dari itu perempuan banyak mengalami hambatan sekaligus tantangan.

Alif basuki menengarai bahwa ketertinggalan perempuan dari laki-laki yang berujung pada ketidakadilan terhadap perempuan, dapat berawal pada masalah kontruksi sosial masyarakat yang sudah membudaya, depolitisai kepentingan negara yang tidak adil terhadap kaum perempuan, interpretasi agama yang tidak benar, atau dapat juga karena kurangnya akses perempuan terhadap pengambilan kebijakan dan keputusan publik.6 Padahal jika dikaji lebih jauh, perpolitikan nasional yang banyak didominasi oleh pria tidaklah mampu menciptakan bangunan politik yang sehat (stabil). Sementara menanggapi hal ini, Sidney Verba menegaskan bahwa sumbangan terpenting perempuan di dunia politik adalah mereka lebih berminat mengerjakan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat dari pada memperluas ruang lingkup kekuasan mereka sendiri.7

6

A.B. Lapian, dkk (edt), Sejarah dan Dialog Peradaban Persembahan 70 tahun Prof. Dr. Taufik Abdullah, dikutip dari Sarkawi B. Husain dalam Posisi dan Peran Perempuan dalam Parlemen di Jawa Timur, Jakarta: LIPI Press, 2005, hal. 563

7

Siti Musdah Mulia dan Anik Farida, Perempuan dan Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, hal. 14


(20)

Menurut sensus Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2000, jumlah perempuan Indonesia adalah 101.525.816 atau 51% dari jumlah seluruh penduduk. Ini lebih banyak dari total jumlah penduduk di tiga negara; Malaysia, Singapura dan Filipina. Namun jumlah besar tersebut tidak tercermin dalam jumlah dan persentase keterwakilan perempuan di lembaga pengambilan keputusan politik di Indonesia (parlemen).8

Faktor masuknya perempuan menjadi calon anggota legislatif banyak ditentukan oleh basis dari mana mereka berasal, bagaimana mereka dididik dalam partai dan bagaimana prosedur pemilihan calon melalui partai politik. Sistem kepartaian yang terlembaga, struktur organisasi yang mempunyai peraturan yang jelas, transparan dan stabil, ideologi partai yang lebih progresif serta peran aktivis perempuan dalam partai, menurut penelitian berkorelasi dengan peningkatan keterwakilan perempuan.

Dalam kerangka perpolitikan demokrasi saat ini maka peningkatan jumlah representasi perempuan dalam lembaga perwakilan hanya dapat dilakukan melalui dua jalur, yakni partai politik ataupun utusan golongan. Dari dua kemungkinan jalur tersebut maka partai politik merupakan jalur paling efektif yang dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan secara signifikan karena partai politik merupakan satu-satunya organisasi politik yang secara sah dapat ikut dalam pemilihan umum, selain itu adalah jalur non partai politik atau independen yang dapat mengikuti pemilihan umum.

9

8

Ani Widyani Soecieptjo, “Affirmative Action Untuk Perempuan di Parlemen”, (dikutip dari Alida Alida Brill. A Rising Public Voice: Women in Politics World Wide. New York: The Feminist,1955,hal 188 190), dalam Julia I. Suryakusumah, Panduan Parlemen Indonesia, Jakarta: Yayasan API, 2001, hal. 231 9

Ani Widyani Soecieptjo, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005, hal. 75.


(21)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Pasal 7 ayat 5 tentang Partai Politik, dimana dalam salah satu pasalnya menyatakan bahwa :

“partai politik sebagai sarana rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan jender”.

Dan dalam Undang-Undang yang sama dalam Pasal 13 ayat 3 menyatakan bahwa :

“Kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui forum musyawarah partai politik sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan jender.”

Dalam kajian ini penulis sengaja memilih lokasi penelitian di kantor Dewan Perwakilan Wilayah Partai Keadilan Sejahtera Provinsi Sumatera Utara. Dan penulis merasa tertarik melihat bagaimana kebijakan dari partai politik mampu mempengaruhi tingkat keterwakilan perempuan di pemerintahan, terutama pada Partai Keadilan Sejahtera di Provinsi Sumatera Utara, karena Partai Keadilan Sejahtera merupakan salah satu partai besar dan telah 10 tahun lebih menunjukkan intensitas dan eksistensinya dalam kehidupan politik, dan juga sebagai salah satu partai yang ikut turut serta mendukung kuota keterwakilan perempuan sebesar 30% yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003, pasal 65 ayat 1 (yang mana pada saat sebelum pasal ini ditetapkan, terjadi pro dan kontra baik ditubuh parlemen maupun partai politik. Partai Keadilan Sejatera merupakan salah satu partai yang pada saat itu pro dan mendukung disahkannya pasal dalam UU tersebut).

Namun bila dilihat dari kenyataan yang ada, khususnya Di Sumatera Utara sendiri, keterwakilan perempuan pada pemilihan legislatif tahun 2004, diantara 19 orang anggota legislatif dari Partai Politik Keadilan Sejahtera yang berhasil lolos saat itu hanya 2 calon anggota legislatif perempuan dari Partai Keadilan Sejahtera yang masuk sebagai anggota legislatif di DPRD Provinsi Sumatera Utara. Ketimpangan yang begitu menonjol antara jumlah kuantitatif laki-laki dan perempuan, baik dalam proses pencalonan


(22)

legislatif di partai keadilan Sejahtera Provinsi Sumatera Utara. Dan untuk mengurangi ketimpangan gagasan Affirmative Action10

10

Affirmative action sering diartikan sebagai tindakan pro-aktif untuk menghapuskan diskriminasi yang berbasiskan Jender atau ras. Konsep ini juga merujuk pada tindakan positif. Adapun dalam praktek pelaksanaannya bisa dilakukan secara sukarela maupun diwajibkan (mandatory). Affirmative action

menurut Susan D. Clayton, diartikan sebagai langkah untuk mengupayakan kemajuan dalam hal kesetaraan kesempatan yang lebih bersifat substantive dan bukannya formalitas, bagi kelompok kelompok tertentu seperti kaum perempuan atau minoritas kesukuan, yang saat ini kurang terwakili pada posisi-posisi yang menentukan di masyarakat, dengan secara eksplisit mempertimbangkan karakter khusus jenis kelamin atau kesukuan yang selama ini menjadi dasar terjadinya diskriminasi.

sebagai tindakan khusus sementara, langkah strategis yang harus diterapkan di semua institusi politik tingkat nasional maupun daerah. Penerapan sistem kuota 30% terhadap perempuan sebagaimana yang tertulis dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 pada kenyataanya masih harus tetap diperjuangkan. Keterwakilan perempuan perlu lebih ditingkatkan terutama pada ukuran kualitas dan kuantitas jumlah populasi serta jumlah pemilih/ konsituen yang memilih wakil perempuan yang duduk di parlemen, sehingga tingkat keterwakilan perempuan dalam politik dapat ditingkatkan, tentunya hal ini juga tidak terlepas dari peran serta kebijakan dari partai politik.

Merujuk pada deskripsi di atas, maka penulis merasa tertarik untuk membuat suatu penelitian tentang bagaimana pengaruh kebijakan sebuah partai politik maupun meningkatkan keterwakilan perempuan di pemerintahan, khususnya di DPRD Provinsi Sumatera Utara. Adapun yang menjadi judul penelitian penulis adalah “PENGARUH

KEBIJAKAN PARTAI POLITIK DALAM MENINGKATKAN

KETERWAKILAN PEREMPUAN DI PEMERINTAHAN (Studi Kasus pada DPW Partai Keadilan Sejahtera Provinsi Sumatera Utara)”.


(23)

1.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan perlu untuk diteliti. Perumusan masalah merupakan suatu usaha yang menyatakan pertanyaan-pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau di cari jalan pemecahannnya atau dengan kata lain perumusan masalah merupakan pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup dan pembatasan masalah.11

1. Bagaimana deskripsi kebijakan yang diambil Partai Keadilan Sejahtera dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di pemerintahan ?

Berdasarkan penjelasan di atas, maka rumusan permasalahan yang dibangun penulis dalam penelitian ini adalah :

2. Bagaimana kebijakan Partai Keadilan Sejahtera terhadap keberadaan perempuan dalam partai politik ?

3. Bagaimana tingkat keterwakilan perempuan di lembaga legislatif Provinsi Sumatera Utara khususnya anggota dewan perempuan yang berasal dari Partai Keadilan Sejahtera ?

1.3. Tujuan Penelitian

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, pertama bersifat formal akademis dan yang kedua bersifat ilmiah. Adapun yang tujuan yang bersifat formal akademis adalah untuk menambah wawasan mahasiswa dalam bidang politik.

11


(24)

Sedangkan tujuan yang bersifat ilmiah adalah penulis ingin :

1. Mendeskripsikan kebijakan yang ada pada Partai Keadilan Sejahtera dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di pemerintahan

2. Menjelaskan kebijakan Partai Keadilan Sejahtera terhadap keberadaan perempuan dalam partai politik

3. Mengukur tingkat keterwakilan perempuan dalam politik di lembaga legislatif Provinsi Sumatera Utara khususnya anggota dewan perempuan yang berasal dari Partai Keadilan Sejahtera

1.4. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini ada tiga jenis manfaat penelitian yaitu : 1. Manfaat bagi penulis

Manfaat penelitian ini bagi penulis adalah dapat menambah wawasan dan pengalaman berharga dalam kapasitas kemampuan, dan kontribusi penulis untuk melihat bagaimana sebenarnya kebijakan sebuah partai politik mampu mempengaruhi tingkat keterwakilan perempuan di pemerintahan.

2. Manfaat Paraktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah agar hasil penelitian ini menjadi sebuah sumbangan bagi lembaga/institusi, yaitu : partai politik, LSM atau institusi lainnya yang berkaitan dengan pengembangan studi tentang pengaruh kebijakan partai politik dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di pemerintahan khususnya di DPRD Provinsi Sumatera Utara.


(25)

3. Manfaat Akademis

Manfaat akademis dari penelitian ini adalah sebagai suplemen baru dalam pengembangan studi bagaimana relevansi teori-teori dari sosiologi politik, khususnya tentang perempuan dengan kenyataan di lapangan (the real politics) bagi kalangan mahasiswa fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, khususnya mahasiswa departemen sosiologi yang tertarik dengan masalah tersebut.

1.5. Defenisi Konsep

Konsep merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian keadaan kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian (Singarimbun, 1989 : 33). Dalam sebuah penelitian ilmiah, defenisi konsep sangat diperlukan untuk mempermudah dan memfokuskan penelitian. Defenisi konsep dirancang untuk memberikan batasan-batasan makna dan arti tentang konsep yang disepakati, sehingga tidak menimbulkan interpretasi ganda dari variabel-variabel yang akan diteliti. Dalam penelitian ini peneliti akan melakukan penelitian mengenai pengaruh kebijakan partai politik dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di pemerintahan, oleh karena itu dalam rangka untuk memperjelas penelitian ini perlu dijelaskan kerangka konsep, yaitu :

1. Partai Politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga Negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partai politik itu pada pokoknya memiliki kedudukan dan peranan yang sentral dan penting dalam setiap sistem demokrasi.


(26)

2. Keterwakilan Politik (political representativeness) adalah terwakilinya kepentinganan anggota masyarakat oleh wakil-wakil mereka di dalam lembaga dan proses politik.12

5. Jender adalah konsep hubungan sosial yang membedakan (memilahkan atau memisahkan) fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan dari aspek sosial

3. Keterwakilan Perempuan adalah terwakilinya kepentingan kaum perempuan oleh wakil-wakil mereka di dalam lembaga dan proses politik yang merupakan salah satu cerminan dari adanya keadilan di dalam demokrasi yang sekarang sedang berusaha diwujudkan di masa transisi.

4. Kebijakan Politik merupakan aturan-aturan ataupun Undang-Undang yang dibuat dan lahir karena melihat adanya sebuah masalah dan menjadi sebuah kebutuhan. Kebijakan Politik ini juga lahir dari adanya kesepakatan diantara anggota suatu organisasi maupun lembaga.

13

6. Affirmative Action sering didefenisikan sebagai “langkah strategis untuk mengupayakan kemajuan dalam hal kesetaraan dan kesempatan yang lebih bersifat substantif dan bukannya formalitas, bagi kelompok-kelompok tertentu seperti kaum perempuan atau minoritas kesukuan yang saat ini kurang terwakili di posisi-posisi yang menentukan di masyarakat. Kesempatan dan kesetaraan ini secara eksplisit mempertimbangkan karakter khusus jenis kelamin atau kesukuan yang selama ini menjadi dasar terjadinya diskriminasi.14

12

Arbi Sanit, Perwakilan Politik Indonesia, Jakarta: CV Rajawali, 1985, hal.23 13

Bagong Suyanto dan J. Dwi Narwoko, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana, 2004, Hal. 314

14

Susan D Clayton dan Faye J Crosby, Justice, Gender and Affirmative Action, The University Of Michigan Press, 1994, hal 3 (dalam Ani Widyani Soetjipto, 2005 : 179)


(27)

7. Kuota adalah suatu sistem yang meletakkan suatu persentase minimal untuk representasi laki-laki maupun perempuan yng ditunjukkan untuk menjamin adanya keseimbangan jumlah, penterjemah antara laki-laki dan perempuan dalam jabatan politik dan pengambilan keputusan. Argumen dasar dalam penggunaan sistem kuota ini adalah untuk mengatasi ketidakseimbangan yang disebabkan oleh hukum dan budaya.


(28)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Partai Politik sebagai ”kendaraan” Politik

Sebagai salah satu pilar demokrasi, partai politik memainkan perannya dalam kehidupan demokrasi. Partai Politik lahir untuk pertama kali di negara Eropa Barat. Dengan timbul dan berkembangnya suatu gagasan bahwa rakyat merupakan suatu faktor yang harus diperhitungkan dan diikutsertakan dalam proses kegiatan politik, maka lahirlah partai politik sebagai wadah aspirasi dan kepentingan yang beredar di tengah-tengah masyarakat dan berkembang sebagai penghubung antara rakyat dan pemerintah. Bahwa keikutsertaan rakyat dalam proses kehidupan politik adalah penting di dalam suatu negara sehingga kehidupan demokrasi dapat terus berlanjut dan kedaulatan rakyat diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Upaya demokratisasi membutuhkan sarana saluran politik yang koheren dengan kepentingan masyarakat di suatu negara. Salah satu sarana yang dimaksud adalah partai politik, yang memiliki ragam fungsi, platform dan dasar pemikiran. Sejarah awal lahirnya partai politik bisa dipisah menjadi dua karakteristik umum, yaitu partai politik yang lahir dalam parlemen dan partai politik yang lahir ekstraparlemen. Lahirnya partai politik yang berembrio dari dalam parlemen seperti disebutkan di atas lebih bersifat

patronage party (partai perlindungan) serta cenderung tidak mempunyai disiplin administrasi yang rumit dan ketat.

Selanjutnya, perjalanan partai politik di Barat mengalami perubahan sedikit demi sedikit. Partai politik mulai dibentuk bukan atas permainan stereotipe para bangsawan, melainkan muncul dari luar parlemen. Ide dasar pembentukan partai politik sudah menunjukkan indikasinya pada era Renaissance dan aufklarung, manakala


(29)

kekuasaan para raja dikecam dan mulai dibatasi, sebenarnya keinginan untuk membentuk partai politik sudah mulai bermunculan, terlebih lagi hak pilih bagi rakyat sudah diberikan secara luas. Adapun keterlibatan rakyat dalam proses politik yang ada waktu itu sudah dianggap sebagai sesuatu yang urgen dan mendesak. Sebagai wujud interaksi antara pemerintah dan rakyat, diperlukan “kendaraan politik” yang diasumsikan mampu menjaga simbiosis diantara keduanya.

Partai politik artinya suatu organisasi yang berorientasi kepada pencapaian legitimasi kekuasaan atas pemerintahan melalui proses pemilu. Syabaini mendefenisikan partai politik sebagai kelompok anggota yang terorganisir secara rapi dan stabil yang mempersatukan dan di motivasi oleh ideologi tertentu serta berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilu.15 Pendapat lain yang dinyatakan Hagopian, bahwa partai politik adalah organisasi yang dibentuk untuk mempengaruhi bentuk dan karakter kebijaksanaan publik dalam kerangka prinsip-prinsip dan kepentingan ideologis tertentu melalui praktek kekuasaan secara langsung atau partisipasi rakyat dalam pemilihan.16

15

Sulistyowati, Perempuan dan Hukum, Dalam Teks Representase Dan Pandangan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hal 349

16

Sulistyowati, loc.cit.

Partai politik sebagai salah satu sarana untuk berpartisipasi secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah kelompok yang terorganisir yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai serta cita-cita yang sama dan mempunyai tujuan kekuasaan untuk menciptakan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.


(30)

2.1.1. Pengertian Partai Politik Menurut Beberapa Ahli

Adapun pengertian partai politik menurut beberapa ahli, diantaranya: 1. Miriam Budiardjo

Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama, tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan berebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.17

2. Austin Ranney

Sedangkan Austin Ranney tidak membuat satu batasan konseptual tentang partai politik dalam satu defenisi, tetapi melihatnya lebih luas melalui karakteristik-karakteristik fundamental, yang setidaknya dimiliki oleh organisasi bernama partai politik, yaitu :18

They are groups of people – whom labels, are generally applied by both themselves and others . (Berwujud kelompok-kelompok masyarakat yang beridentitas)

Some of people are organized, -- that is, tey deliberately act together to achieve party goals. (Terdiri dari beberapa orang yang terorganisasi, yang dengan sengaja bertindak bersama-sama untuk mencapai tujuan-tujuan partai)

The larger society recognizes as legitimate the right of parties to organize and promote their causes. (Masyarakat mengakui partai politik memiliki legitimasi berupa hak-hak untuk mengorganisasikan dan mengembangkan diri mereka)

In some of their goal – promoting activities, parties work through the mechanism of representative government. (Beberapa tujuannya diantaranya mengembangkan aktivitas-aktivitas, partai bekerja melalui mekanisme-mekanisme “pemerintahan yang mencerminkan pilihan rakyat”)

A key activity of parties is thus selecting candidates for elective public office. (Aktivitas inti partai politik adalah menyeleksi kandidat untuk jabatan publik)

17

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 1992, hal. 160 18


(31)

3. Roy C. Macridis

Menurutnya Partai politik semakin menjadi bagian penting dari sistem politik modern. Roy C. Macridis menambahkan, tidak ada sistem politik yang dapat berlangsung tanpa partai politik. Partai politik sebagai suatu asosiasi politik yang mengaktifkan, memobilisasi masyarakat, mewakili kepentingan tertentu, dan melakukan perkaderan yang kemudian melahirkan pemimpin telah menjadi suatu keharusan.

4. Benyamin Constans

Istilah partai politik bila ditelusuri dari kata asalnya berarti bagian atau pihak, di dalam masyarakat dimanapun secara alamiah terdapat pengelompokan-pengelompokan, salah satu pengelompokan masyarakat yang disadarkan atas persamaan paham dan ideologi dalam bentuk doktrin. Pendapat ini kemudian menjadi popular untuk memberikan batasan pengertian partai politik, Constans dalam hal ini mengatakan “A Party is a group of men professing the same political doktrine”19

Sigmun Neuman mengatakan partai politik adalah organisasi dari aktifitas-aktifitas politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintah dan merebut dukungan rakyat atas persaingan dengan suatu golongan lainnya yang mempunyai pandangan yang berbeda.

5. Sigmun Neuman

20

6. Carl J. Frederik

Mendefenisikan bahwa partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir serta stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan kekuasaan.

19

Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta: Yayasan Obor, 1998, hal.16 20

Widagdo, H.B, Managemen Pemasaran Partai Politik Era Reformasi, Jakarta: PT. Gramedia, 1999, hal. 6


(32)

7. Raymond Gartfied

Partai politik terdiri dari sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik.21

Adapun fungsi dari partai politik tersebut adalah :

2.1.2. Fungsi Partai Politik

22

2. Sebagai Rekruitmen Politik

1. Sebagai Sarana Komunikasi Politik

Yaitu berfungsi sebagai komunikator politik berkaitan dengan kapasitas dan kebijakan pemerintah dalam menyampaikan aspirasi dan kepentingan kelompok masyarakat.

Yaitu mencari anggota yang berkomitmen dalam menjalankan kegiatan partai. Fungsi merupakan kelanjutan dalam mencari dan mempertahankan kekuasaan. Rekrutmen politik menjamin kontiunitas dan kelestarian partai, sekaligus merupakan salah satu cara untuk mencari anggota.

3. Sebagai Pengatur Konflik

Dalam kehidupan yang demokratis tiap negara dan tiap kelompok masyarakat berhak menyampaikan aspirasi serta memperjuangkan kepentingan masing-masing. Akibat dari kehidupan yang demokratis tersebut dapat menimbulkan pergeseran, perbenturan, pertentangan antar kepentingan dalam masyarakat. Pengatur konflik juga bertujuan untuk mengakumulasikan berbagai aspirasi dan kepentingan melalui dialog antar kelompok untuk memusyawarahkan dan mencari keputusan politik yang mewakili kepentingan berbagai kelompok.

21

Ibid., hal. 206 22


(33)

4. Sebagai Sosialisasi Politik

Yaitu proses pembentukan dari orientasi politik para anggota masyarakat terhadap kehidupan politik yang berlangsung. Proses ini mencakup proses dimana masyarakat mewariskan norma-norma dan nilai-nilai dari suatu generasi ke generasi selanjutnya. Proses sosialisasi ini dapat dilakukan melalui pendidikan formal dan non formal.

Dengan demikian adanya sebuah partai politik dianggap sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja terutama dalam konteks nilai-nilai esensial sebuah demokrasi. Pada dasarnya mengatakan bahwa kedudukan partai politik dalam hubungan ini lebih condong mengarah kepada wacana sistem politik, dan sisi lain mengatakan bahwa kehadiran partai politik dilihat sebagai sarana untuk berpartisipasi. Sebagai sebuah organisasi, partai politik diharapkan mampu menjadi wadah yang mengartikulasikan kepentingan rakyat.

Partai politik sebagai wadah dalam menanamkan pendidikan politik, sudah sewajarnya para anggota partai politik dapat berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang telah menjadi program dari partai tersebut.

2.2. Keterwakilan Perempuan di Pemerintahan

Persoalan perempuan parlemen di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran perempuan dalam partai politik. Sebaliknya, sebuah diskusi mengenai partai politik tidak dapat dijalankan tanpa merujuk pada efektifitas partai-partai politik dalam parlemen. Dengan kata lain, pengaruh perempuan berasal dari kemanjuran lembaga-lembaga politik yang mewakilinya. Sedangkan proses politik di parlemen, banyak melibatkan proses negosiasi dimana berbagai kepentingan seharusnya bisa ditransformasikan dalam legislasi yang menguntungkan semua pihak. Dalam situasi tersebut, power relations sangat mengemuka, tidak saja diantara partai politik tetapi juga antar individu anggota parlemen.


(34)

Keterlibatan dan representasi perempuan dalam dunia politik dan kebijakan publik merupakan suatu keharusan, sebab akses, kontrol dan partisipasi politik perempuan dalam berbagai tingkatan pembuatan dan pengambilan keputusan merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak dapat dipungkiri perempuan secara demografis merupakan mayoritas, namun secara politis mereka menempati posisi minoritas.

Wacana tentang perempuan dan politik mestinya diletakkan dalam konteks penghormatan terhadap martabat kemanusiaan kaum perempuan. Itulah sebabnya dalam agenda gerakan perempuan politik adalah seluruh idiom yang berhubungan dengan kehidupan perempuan baik diwilayah domestik maupun publik. Jadi, dialektika perempuan dan politik mestinya tidak hanya berbasis pada material partisipasi dan representasi melainkan seluruh aspek.

Dalam tulisannya mengenai Teori Perwakilan Politik, Alfred de Grazio mengemukakan bahwa perwakilan diartikan sebagai hubungan diantara dua pihak, yaitu wakil dengan terwakili dimana wakil memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan terwakili.23 Perwakilan dalam pengertian bahwa seseorang ataupun sekelompok orang berwenang menyatakan sikap atau melakukan suatu tindakan baik yang diperuntukkan bagi, maupun yang mengatasnamakan pihak lain.24

23

Arbi Samit, op.,cit, Jakarta: CV. Rajawali, 1985, hal 1 24

Arbi Sanit, Ibid., hal. 23.

Keterwakilan politik (political representativeness) diartikan sebagai terwakilinya kepentingan anggota masyarakat oleh wakil-wakil mereka di dalam lembaga-lembaga dan proses politik. Kadar keterwakilan tersebut ditentukan oleh sistem perwakilan politik (political representation) yang berlaku di masyarakat.


(35)

Dalam sistem perwakilan politik, seorang warga negara mewakilkan dirinya sebagai yang berdaulat kepada seorang calon wakil rakyat atau partai politik yang dipercayai melalui pemilihan umum. Suatu keputusan dalam demokrasi ialah bagaimana menyelenggarakan pemilihan. Kajian akademis mengenai demokrasi mengenal dua kategorisasi pemaknaan besar, yaitu konsepsi minimalis dan maksimalis.25

Oleh karenanya, di dalam sebuah negara yang demokrasi diperlukan keterwakilan yang demokratis pula, yaitu keterwakilan tanpa membedakan ras, agama, suku dan terutama gender menurut jenis kelamin. Menurut Anthony Giddens, sosiolog dari Inggris menyatakan bahwa demokrasi yang sudah berlangsung di berbagai negara sampai kini ternyata belum demokrasi. Masih dapat ditemukan adanya golongan dan lapisan masyarakat yang belum terwakili di lembaga-lembaga perwakilan, seperti anak-anak, warga miskin, golongan minoritas dan tentunya juga kaum perempuan.

Demokrasi minimalis atau dalam wacana di Indonesia lebih dikenal dengan demokrasi prosedural dikenakan kepada sistem-sistem politik yang melaksanakan perubahan kepemimpinan secara regular melalui suatu mekanisme pemilihan yang berlangsung bebas, terbuka dan melibatkan massa pemilih yang universal (tanpa pembedaan ras, agama, suku dan gender). Bagi konsepsi maksimalis pelaksanaan Pemilihan Umum saja tidaklah cukup bagi suatu sitem politik untuk mendapatkan gelar demokrasi, karena konsepsi ini yang di Indonesia lebih dikenal dengan demokrasi substantif mengisyaratkan penghormatan terhadap hak-hak sipil yang lebih luas dan penghargaan terhadap kaidah-kaidah pluralisme mendasar.

26

Secara konsepsional, keterwakilan politik berawal dari pemilihan umum. Artinya, pemilihan umum yang diadakan merupakan proses seleksi pemimpin akan menumbuhkan rasa keterwakilan politik dikalangan masyarakat luas. Dan untuk

25

Muladi, dkk., “pemilu dan Demokrasi”, dalam Jurnal DEMOKRASI DAN HAM, Pemilu 2004: Semakin Terkonsolidasikah Demokrasi Kita, Vol. 4, No. 1, Surabaya: THC, 2004, hal. Editor.

26


(36)

menyalurkan aspirasi dan kepentingan warga negara/masyarakat maka dibentuk badan perwakilan rakyat yang berfungsi; membuat undang-undang, menyusun anggaran penerimaan dan belanja negara, mengawasi pelaksanaan undang-undang dan penerimaan serta penggunaan anggaran negara, memilih, menyetujui atau mengusulkan seorang atau lebih pejabat negara seperti yang dikehendaki oleh konstitusi/undang-undang. Partai politik juga turut ambil andil di dalam proses keterwakilan, dalam merekrut, mencalonkan dan berkampanye untuk memilih pejabat pemerintah, menyusun program kebijakan untuk pemerintah jika mereka menjadi mayoritas; menawarkan kritik dan kebijakan alternatif jika mereka menjadi oposisi; menggalang dukungan bagi kebijakan umum diantara berbagai kelompok kepentingan; menyediakan struktur dan aturan debat politik masyarakat.

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan suatu kegiatan yang tak terpisahkan dari lembaga perwakilan dan partai politik. Pemilu sebagai salah satu cara pelaksanaan demokrasi, walaupun tidak sepenuhnya pendapat demokrasi bakal terwujud di dalam suatu negara yang melaksanakan proses pemilu tersebut. Sebagaimana yang diketahui pada zaman yang modern ini dapat dikatakan tidak ada satu negara pun yang dapat melaksanakan demokrasinya secara langsung. Hal ini disebabkan karena terlalu luasnya wilayah dan begitu besarnya jumlah penduduk. Oleh karena itu, adapun demokrasi yang digunakan adalah demokrasi perwakilan, dimana hak-hak rakyat utnuk dapat ikut dalam menentukan haluan negara dilakukan oleh sebagian kecil dari selurruh rakyat menempati lembaga perwakilan yang disebut parlemen, yang dipilih melalui proses pemilihan umum.


(37)

Adapun pengertian pemilu itu sendiri menurut Ali Murtopo27

Pandangan bahwa politik bukan wilayah bagi perempuan adalah pandangan yang selalu muncul sejak beberapa dekade lalu. Dengan adanya pandangan tersebut maka keterlibatan perempuan dalam aspek politik di seluruh wilayah juga dibatasi. Terminology politik dan privat yang erat kaitannya dengan konsep jender, peran serta

, pemilihan umum (pemilu) adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya dan merupakan lembaga demokrasi. Pemilu menurut Manuel Kaisepo memang telah menjadi tradisi penting dalam berbagai sistem politik di dunia, penting karena berfungsi memberi legitimasi atas kekuasaan yang ada dan bagi rezim baru, dukungan dan legitimasi yang dicari.

2.3. Jender dan Ranah Politik

Perempuan dan politik adalah wacana yang sangat menarik untuk diperbincangkan bahkan untuk saat ini sudah menjadi suatu yang politis untuk diperdebatkan. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa fakta, dimana ketika politik ditempatkan di wilayah publik, defenisi, konsep dan nilai-nilai yang dikandungnya selalu menempatkan perempuan diluar area tersebut. Sedangkan politik itu sendiri didefenisikan sebagai sesuatu yang negative (politiking), yaitu afiliasi suatu partai politik dan dihubungkan hanya dengan mereka yang berkuasa, dimana laki-laki yang mendominasi.

Bahkan ketika politik didefenisikan dengan perspektif baru yaitu sebagai proses pembuatan keputusan yang transparan, kemampuan bernegosiasi, partisipasi dengan cakupan basis yang luas, keterbukaan terhadap perubahan, distribusi sumber daya (kekuasaan) yang adil dan ekonomi yang produktif, dikotomi antara dunia perempuan dan dunia politik tetap berlangsung.

27

Ali Murtopo, “Strategi Pembangunan Nasional”, CSIS, 1981, hal. 179-190, dalam Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1987, hal 167


(38)

jender dan stereotipe telah menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan diantara perempuan dan laki-laki, sehingga mengakibatkan marginalisasi dan pengucilan terhadap perempuan dari kehidupan politik formal.

Dengan demikian keberadaan perempuan dalam kehidupan politik formal di banyak tempat memperlihatkan gambaran yang tidak menggembirakan, akar dari persoalan tersebut adalah budaya patriarkhi28 yang telah menghampiri semua ruang gerak perempuan di semua bidang, termasuk bidang politik, menurut Bystydzienski (dalam Ani Widyani, 2005:26) menyatakan semua aktifitas politik punya dimensi politik yang penting dan semua aktivitas itu juga mempunyai ciri politik yaitu adanya power realition

yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Budaya Patriarkhi yang mengakar dan sistem politik yang didominasi oleh laki-laki memiliki dampak negatif yang besar bagi upaya perempuan untuk mendapatkan hak dalam partisipasi politiknya. Perempuan tidak didukung, dan bahkan dalam banyak hal malah dihambat, untuk mengambil peran aktif di ruang publik. Sebaliknya, mereka diharapkan untuk menggunakan kemampuannya di lingkungan rumah tangga yang dianggap sebagai ruang privat. Bahkan pada masa reformasi sekarang ini, dikotomi konsep ruang publik dan privat masih mendominasi masyarakat Indonesia yang mengakibatkan perempuan Indonesia harus mengatasi praktek diskriminasi dan ”buta jender” (gender blind) dalam proses pemilu, badan legislatif dan partai politik.29

28

Patriarkhi berasal dari Yunani/Latin, pater arinya bapak dan arche yang artinya kekuasaan. Patriarkhi merupakan kekuasaan bapak (kaum laki-laki) yang mendominasi, mensubordinasikan dan mendriskiminasikan kaum perempuan. Dominasi kekuasaan didukung oleh ideologi gender, yaitu pola relasi laki-laki dan perempuan sebagai hasil proses budaya yang kemudian dibakukan, misalnya : bahwa tugas perempuan adalah mengurus rumah tangga, bahwa wajar apabila kaum perempuan tidak ikut serta dalam proses pengambilan keputusan baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.

29

Francisia Seda, SSE, “Beyond Numbers: Strengthening Women’s Political Participation”, dalam International IDEA Conference Report, 2002, Strengthening Women’s Political Participation in Indonesia, hal 20 (dalam Ani Widyani Soetjipto, 2005 : 237)


(39)

Menurut Jary dan Jary dalam Dictionary of Sociology (1991), jender diartikan sebagai pembagian sosial laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminim) yang tidak didasarkan pada anatomi jenis kelamin melainkan perbedaan yang cenderung pada atribut-atribut sosial dan psikologis. Sedangkan disisi lain, Kate Millet (dalam Indriati Suparno, 2005:15) menyatakan bahwa politik sebagai hubungan kekuasaan yang terstruktur yang terbentuk ketika orang berada di bawah kontrol kelompok lain. Dalam tradisi patriarkhi pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya, dunia politik dikategorikan adalah dunianya laki-laki karenanya perempuan tersingkir dari dunia tersebut. Kaum laki-laki-lah yang menetapkan dan memutuskan berbagai kebijakan dan perundangan, dari dunia tersebut termasuk yang menyangkut hak-hak dan kepentingan perempuan (Maciano 1987, Susanto 1993,dalam Indriati, 2006:16).

Dalam konteks Indonesia, kita akan menemukan situasi dimana diskriminasi politik serta ketimpangan jender dalam representasi perempuan pada lembaga politik di Indonesia juga terjadi. Menurut data sensus yang dilaksanakan Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2000, jumlah perempuan Indonesia adalah 101.625.816 atau 51 % dari seluruh populasi pendusuk di Indonesia. Jumlah ini lebih banyak dari total jumlah penduduk di 3 Negara, yaitu Malaysia, Singapura, dan Filipina. Tetapi jumlah yang besar tersebut tidak tampak dalam jumlah keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga pembuat/pengambil keputusan politik di Indonesia.:

Dunia politik di Indonesia lebih sering diidentikkan dengan dunia laki-laki. Hal ini terjadi karena politik dianggap suatu kegiatan yang kekuasaan yang dianggap kotor, penuh dengan intrik dan tidak pantas dimasuki oleh kaum perempuan. Politik menjadi suatu kegiatan yang identik dengan kekuasaan yang bersifat negatif, kesewenangan, kekerasan, pengerahan masa dan kompetisi, dimana kondisi-kondisi itu tidak melekat dalam diri perempuan yang mengutamakan perdamaian. Padahal bila kita


(40)

berbicara kekuasaan sebenarnya kekuasaan itu bersifat netral, karena ia bisa digunakan untuk kebaikan atau keburukan. Dalam politik kekuasaan bisa bermakna positif karena dapat mewujudkan kepatuhan, perubahan dan pembaharuan.

Konkretnya, perempuan dan politik adalah dialektika terhadap seluruh aspek dalam hubungan dan dinamika sosial, mulai dari rumah tangga sampai ruang lingkup pemerintahan dan negara. Paradigma bahwa politik hanya milik kalangan pemegang kekuasaan formal (dan milik laki-laki) yang mengakibatkan terjadinya proses peminggiran terhadap rakyat dan terhadap perempuan, harus segera diubah. Karena persepsi ini membuat rakyat khususnya perempuan merasa tidak layak dan tidak mempunyai kemampuan untuk ikut melakukan perubahan dalam proses-proses politik.

Eksistensi setiap jenis makhluk untuk bertahan hidup dalam rentangan masa yang panjang sangat tergantung dengan kemampuan yang mereka miliki untuk beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah. Demikianlah bunyi diktum utama teori Charles Darwin.30 Seperti halnya yang berlangsung dalam pertarungan kompetitif setiap spesies makhluk hidup, real politik khususnya bertalian dengan fenomena politik yang berjalan dengan hukum alam yang ada. Adapun kata politik yang digunakan dalam penulisan ini dikutip dari Sugiarti, dkk, dimana politik adalah segala usaha, kegiatan, dan uapaya yang bertujuan mempengaruhi proses kebijakan dan perundangan yang berkaitan dengan persoalan perempuan.31

30

Airlangga Pribadi, “Darwinisme Partai Politik Dalam Pemilu 2004”, dalam Jurnal DEMOKRASI DAN HAM, Pemilu 2004: Semakin Terkonsolidasikah Demokrasi Kita, Vol.4, no.1, Suarabaya: Penerbit THC, 2004, hal 53

31

Indriyati Suparno, op.cit., bab. vii

Dalam tradisi budaya patriarkhi, “politik” diklaim sebagai dunianya laki-laki karena dianggap sebagai ranah publik yang penuh pertarungan yang berkaitan dengan isu perempuan. Istilah yang sangat populer misalnya politic is dirty.


(41)

Laki-laki dan perempuan adalah sama-sama makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki akal dan budi. Diciptakan sebagai mitra untuk dapat saling melengkapi. Seorang perempuan tidaklah lengkap tanpa seorang laki-laki, begitu pula sebaliknya. Sejarah manusia mencatat, bahwa pada suatu ketika perempuan mulai didefenisikan berdasarkan kodrat jasmaniah (nature), pikiran dan hidup sehari-hari mereka. Sementara untuk kaum laki-laki, mereka semakin menjauhkan diri dari nature dan mulai mendefenisikan diri (didukung oleh sebagian perempuan juga) dalam kaidah-kaidah budaya (culture). Selanjutnya perempuan didominasikan sejauh dalam lingkungan sebatas keluarga dan rumah tangga.32

Pada masa revolusi prancis, seorang perempuan bernama Olympe de Gouges, anak seorang tukang daging yang belajar secara autodidak, memimpin perempuan dari berbagai kelas, menyampaikan agenda reformasi perempuan di depan Majelis Nasional pada bulan Oktober 1789. Ia menyatakan bahwa Deklarasi Perancis atas Hak Laki-laki yang baru saja disahkan telah menghilangkan prinsip kesetaraan alami karena membagi warga negara berdasarkan gender dan ras. Kemudian Gouges menulis Deklarasi Hak-Hak perempuan, yang sebagian dari deklarasi itu berbunyi:33

Dari Inggris, Mary Wilistonecraft, seorang perempuan kelas menengah, tahun 1972 menyusun Vindication of the Rights of Women (Pembenaran Hak-hak perempuan), yang didalamnya mengusulkan supaya perempuan juga memiliki wakil dalam

“... Undang-Undang harus merupakan pengungkapan kehendak umum: semua warga negara, lelaki dan perempuan sama, harus berpartisipasi dalam membuatnya, baik langsung maupun melalui perwakilan. Undang-undang itu harus sama bagi semua. Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, karena keduanya sama di mata undang-undang, harus sama-sama berhak menjabat semua jabatan, kedudukan dan pekerjaan, menurut kemampuan dan kriteria apapun kecuali persyaratan kebaikan dan bakat mereka. Perempuan juga memiliki hak duduk di parlemen.”

32

Ishomuddin, Diskursus Politik dan Pembangunan, Malang: UMM Press, 2001, hal 157 33


(42)

pemerintahan dan lembaga-lembaga politik kenegaraan lainnya. Kekuasaan sebagai unsur yang paling penting dalam kepemimpinan tidak pernah dicirikan dengan sifat-sifat feminin, melainkan lebih diidentikkan kepada sifat maskulinitas.

Perempuan34

Namun dengan berjalannya waktu, defenisi baru kekuasaan merupakan gabungan ciri-ciri maskulin dan feminim yang bisa dicapai, baik oleh laki-laki maupun perempuan tanpa adanya diskriminasi. Feminisme kekuasaan menyertakan intisari prinsip-prinsip sebagai berikut:

akhirnya harus menjadi maskulin jika ingin berkuasa. Kondisi seperti ini menjadi isu gerakan feminisme pada era 1970-an. Kaum perempuan berupaya menganut kekuasaan model laki-laki dengan menyingkirkan ciri feminim yang dianggap kurang pantas.

35

Pengembangan suatu konsep mengenai kekuasaan perempuan (women power) yang berbeda dengan kekuasaan laki-laki yang selama ini menjadi acuan semua pihak. Kekuasaan adalah konsep feminisme, adalah kekuasaan yang penuh dilimpahi kasih sayang, dan tidak berpusat pada diri sendiri, melainkan lebih diarahkan untuk mencapai

1. Perempuan dan Laki-laki sama-sama menpunyai arti besar dalam kehidupan manusia.

2. Perempuan berhak menentukan nasib sendiri

3. Pengalaman-pengalaman perempuan punya makna, bukan sekedar omong kosong 4. Perempuan berhak mengungkapkan kebenaran tentang pengalaman-pengalaman

mereka

5. Perempuan layak menerima lebih banyak lagi segala sesuatu yang mereka tak punya hanya karena mereka perempuan: rasa hormat dari orang lain, rasa hormat terhadap diri sendiri, pendidikan, keselamatan, kesehatan, keterwakilan, keuangan.

34

Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, menyebutkan dalam satu bahsanya melihat perempuan, bahwa kaum perempuan adalah mitra kaum laki ayng diciptakan dengan kemampuan-kemampuan mental yang setara. Kaum perempuan memiliki hak penuh untuk berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas kaum laki-laki, dalam detail yang kecilnya kaum perempuan juga memiliki hak atas kemerdekaan dan kebebasan yang sama seperti yang dimiliki kaum laki-laki. Kaum perempuan berhak untuk memperoleh tempat tertinggi dalam ruang yang dia lakukan, sebagaimana kaum pria dalam ruang aktivitasnya.

35

Naomi Wolf, Gegar Gender (Kekuasaan Perempuan Menjelang abad 21), Yogyakarta: Pustaka Semesta Press, 1999, hal.201


(43)

suatu tujuan. Sidney Verba dari universitas harvard menegaskan sumbangan terpenting perempuan di dunia politik adalah mereka lebih berminat mengerjakan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat daripada memperluas lingkup kekuasaan mereka sendiri.36

Politik berkaitan erat dengan konsepsi demokrasi yang secara sederhana pengertian dari demokrasi itu sendiri adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Karena itu semua anggota masyarakat dari berbagai kelompok dan golongan perlu diikutsertakan dalam proses politik dan pengambilan keputusan di segala tingkatan kehidupan bangsa, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Kebebasan perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya merupakan suatu keharusan dan kepentingan dalam proses demokrasi yang terus menerus berusaha untuk diwujudkan. Demokrasi tanpa keterlibatan perempuan di dalamnya,bukanlah demokrasi yang sejati.

Perempuan akan lebih baik memahami persoalan perempuan dan lebih mengerti bagaimana memperjuangkan perempuan.

37

Hingga saat ini, perkembangan wacana perempuan dan politik masih terjebak dalam perdebatan tentang partisipasi dan representasi yang mengarah pada indikator normatif kuantitatif. Dan sudah sejak lama Indonesia mengupayakan pemberdayaan perempuan dalam peta perpolitikan. Undang-Undang Dasar 1945, secara formal telah menjamin partisipasi perempuan dalam bidang politik. Pada tahun 1952 misalnya, Indonesia meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Hak Perempuan (UN Convention on Political Right of Women) melalui UU No. 68 tahun

2.4. Kuota 30% sebagai salah satu “Affirmative Action

36

Siti Musdah Mulia dan Anik Farida, op.cit., hal 14 37

Ani Widyani Soectjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005, hal . 12


(44)

1958 dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno kala itu. Undang-Undang ini memberikan perempuan, hak untuk memilih dan dipilih dalam lembaga legislatif negara.

Sejak saat itu, pemerintah melakukan upaya serius memperbaiki kebijakan pemberdayaan perempuan, melalui strategi jender. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati, telah dikeluarkan UU No.31 tahun 2002 tentang Partai Politik dan pada bulan Februari 2003, kembali mengadopsi kebijakan kuota dalam UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, sebagai upaya memperluas partisipasi ataupun keterwakilan politik perempuan.

UU No.31 tahun 2002 mengatur fungsi dan kewajiban partai politik dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender serta meningkatkan keterwakilan dan peran perempuan di bidang politik. Sedangkan UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum menggarisbawahi setiap partai politik peserta pemilu mengajukan calon anggota legislatif untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kuangnya 30%. Dengan kuota 30% perempuan diharapkan dapat mengambil posisi strategis di lembaga legislatif dan dapat mewarnai kebijakan negara. Kuaota 30 % itu sendiri adalah merupakan salah satu affirmative action (tindakan khusus) untuk merepresentasikan perempuan di dunia politik. Berbicara mengenai Affirmative Action,

maka secara umum kita bisa mengartikannya sebagai tindakan pro-aktif untuk menghapuskan perlakuan diskriminasi yang berbasi jender atau ras. Konsep ini, juga merujuk pada tindakan positif yang dilakukan untuk mengobati dampak dari perlakuan diskriminatif terhadap kelompok tersebut yang telah berlangsung pada masa lalu.

Dalam praktik pelaksanaannya, Affirmative Action tidak selalu berkaitan dengan kuota, tetapi banyak kalangan sering mengasosiasikan denga kuota. Affirmative Action lebih memberikan tekanan pada Opportunity (kesempatan). Kuota seringkali diartikan sebagai memaksakan jumlah tertentu atau persentase tertentu bagi kelompok


(45)

tertentu (perempuan). Affirmative Action disini harus dipahami sebagai mementingkan kualifikasi tertentu sebagai dasar pertimbangan, bagi pemberian kesempatan bagi kelompok tertentu (perempuan).Kuota diperlukan agar terjadi keseimbangan dan untuk mencapai critical mass (angka strategis). Representasi yang dianggap signifikan adalah bila partisipasi perempuan mencapai angka persentase 30 %. Degan lebih banyak perempuan, maka lebih bisa diharapkan bahwa isu perempuan dan pandangan perempuan bisa diintegrasikan dalam berbagai ebijakan.

Kuota 30 % memang tidak boleh melupakan kualitas di representasi tersebut, tetapi harus disadari sungguh-sungguh, tuntutan kuota bersumber dari realitas sejarah panjang pendiskriminasian terhadap perempuan, melalui proses yang sistematik yang tidak akan berakhir hanya dengan ”menunggu waktu bergulir” tanpa tindakan khusus.

2.5. Kebijakan Negara Terhadap Perempuan

Dampak sesungguhnya dari perempuan sebagai anggota parlemen tergantung dari sejumlah variabel, termasuk konteks politik dimana majelis tersebut berfungi, jenis dan jumlah perempuan di parlemen dan aturan-aturan main dalam parlemen. Saat perempuan di berbagai belahan dunia yang berbeda berjuang untuk memperoleh hak pilih, mereka berharap bahwa hak ini tak akan terelakkan lagi akan mengarah pada representasi perempuan yang lebih besar. Harapan-harapan mereka tidak terpenuhi, malahan perempuan memulai perjuangan panjang yang lain dan sulit untuk benar-benar mendapatkan perempuan yang bersedia dipilih untuk duduk dalam parlemen. Sebagian dari upaya ini termasuk dalam meyakinkan para pemilih perempuan untuk mendukung perempuan sebagai wakil mereka. Dusebagian besar negara, banyak kegiatan terpusat pada partai-partai politik, yang merupakan ciri dari saluran masuk ke legislator nasional.


(46)

Sementara itu perempuan di dalam dan di luar partai-partai politik mengorganisasi dan memobilisasi diri mereka untuk mengubah cara-cara rekrutment politik partai yang sudah lama mapan. Pada saat perempuan memasuki parlemen, perjuangan mereka masih belum selesai. Ada beberapa masalah yang harus mereka pecahkan mengenai masalah rakyat terlebih lagi masalah perempuan itu sendiri. Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial penting yang perlu ditangani negara dan juga sangat membutuhkan partisipasi dari semua elemen masyarakat untuk terlibat menanganinya. Dalam arti yang lebih luas kemiskinan dapat meliputi ketidakcukupan yang lain, seperti rendahnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya kapasitas sember daya manusia, situasi rentan yang membuat seseorang jatuh miskin, lemahnya dukungna kelembagaan atau lemahnya akses untuk mengartikulasikan suara dan kepentingannya dalam proses-prose politik.38

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Rumah Tangga Berikut ini adalah kebijakan-kebijakan yang dihasilkan pemerintah untuk menanggapi permasalah perempuan yang ada saat ini, diantaranya :

1. Kebijakan tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Sudah banyak pandangan kritis terutama dimunculkan oleh gerakan perempuan. Kekerasan dalam KUHP dirumuskan sangat terbatas, sehingga kurang dapat mengakomodasi masalah kekerasan terhadap perempuan yang dimensinya sangat luas. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan langkah maju yang tidak terimplementasi dengan baik, seharusnya dapat melindungi perempuan dari perlakuan dan ancaman kekerasan yang dialaminya. Namun dalam praktiknya UU tersebut belum cukup terimplementasi dengan baik karena aparat penegak hukum

38

Muhadjir M. Darwin, Negara dan Perempuan, Reorientasi Kebijakan Publik, Yogyakarta: Grha Guru, 2005, hal.161


(47)

pada umumnya belum cukup sensitif jender dan banyak dari perempuan yang menjadi korban kekerasan di rumah tangga sangat sulit mendapat akses keadilan dan memilih untuk diam.39

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2. Kebijakan tentang Perkawinan/ Perceraian

Integrasi konsep pembakuan peran dalam kebijakan tentang perkawinan yaitu melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), terutama nampak dalam khususnya pasal 31, yang menyatakan bahwa :

“Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga”40

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang bias jender masih berlaku. Undang-Undang tersebut memperbolehkan poligami, selama ada izin dari istri. Poligami adalah wujud konkret dari hegemoni laki-laki dalam rumah tangga dan izin istri tidak meniadakan watak hegemonis sari sistem perkawinan seperti itu. Pengaturan mengenai poligami ini tidak hanya menunjukkan bahwa dalam institusi perkawinan posisi tawar perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki tetapi juga menunjukkan bahwa negara jelas-jelas telah melegitimasi nilai-nilai jender perempuan yang hidup dalam masyarakat.

Selain itu, UUP menganut asas monogami terbuka, maksudnya bahwa pada asasnya suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun, terdapat klausula yang menyatakan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang karenanya terbuka kemungkinan bagi laki-laki untuk melakukan poligami.

39

Muhadjir, Ibid., hal. 173 40


(48)

Dalam Undang-Undang yang sama yaitu yang terdapat pada pasal 31, yaitu : “Kedudukan suami dan istri adalah sama, akan tetapi dalam pasal lain ditegaskan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.”

Penegasan ini merupakan pengetatan fungsi-fungsi istri dan fungsi-fungsi suami secara tegas. Artinya, pasal ini melegitimasi secara eksplisit pembagian peran berdasarkan jenis kelamin. Juga, semakin dipertegas dalam pasal 34 yang menyatakan bahwa suami wajib melindungi istri dan istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya. Pasal tersebut merupakan pengejawantahan dari pola pikir masyarakat yang menganggap bahwa peran laki-laki dan perempuan sudah mutlak terbagi.

3. Kebijakan tentang Kekerasan terhadap Perempuan

• KUHP berkaitan dengan Penganiayaan Terhadap Istri • KUHP berkaitan dengan Perkosaan

• UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan • UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan


(49)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam melakukan pelaksanaan studi ini adalah metode deskriptif dengan studi kasus. Penelitian Kualitatif yang akan dilakukan adalah karena adanya beberapa pertimbangan, Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda, Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dengan informan, Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Maelong, 1993:5).

Bila kita melakukan penelitian yang lebih rinci, tentang seseorang (individu) atau suatu unit sosial selama kurun waktu tertentu, kita melakukan apa yang disebut dengan studi kasus. Metode ini akan melibatkan kita dalam penyelidikan yang lebih mendalam dan pemeriksaan yang menyeluruh terhadap perilaku seorang individu (Sevilla dkk, dalam Rina, 2009:26). Disamping itu, studi kasus juga dapat mengantarkan peneliti memasuki unit-unit sosial terkecil, kelompok, keluarga dan berbagai bentuk unit sosial lainnya.

Jadi, studi kasus dalam khasanah metodologi, dikenal sebagai studi yang bersifat komperhensif, intens, rinci dan mendalam serta lebih diarahkan sebagai upaya menelaah masalah-masalah atau fenomena yang bersifat kontemporer, kekinian. Penelitian ini menggambarkan secara mendalam tentang bagaimana pengaruh kebijakan dari partai politik dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di pemerintahan dengan studi kasus pada DPW PKS Provinsi Sumatera Utara.


(50)

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi tempat penelitian ini adalah di kantor DPW Partai Keadilan Sejatera Provinsi Sumatera Utara yang bertempat di Jalan Kenanga Raya No. 51 Medan. Alasan penulis memilih lokasi ini adalah karena penulis ingin mengetahui lebih detail apa-apa saja kebijakan yang dihasilkan oleh Partai Keadilan Sejahtera dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di pemerintahan.

3.3. Unit Analisis dan Informan

Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai objek penelitian (Arikunto, 1999:22). Adapun unit analisis dalam penelitian ini adalah Kebijakan-kebijakan Partai Keadilan Sejahtera yang mendukung tingkat keterwakilan perempuan di pemerintahan.

Adapun orang-orang yang menjadi sumber informasi dalam penelitian ini selanjutnya disebut sebagai informan. Informan tersebut selanjutnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu :

a. Informan Kunci

Informan kunci pada penelitian ini adalah Pengurus DPW Partai Keadilan Sejahtera yang dianggap mengetahui secara detail kebijakan-kebijakan yang dihasilkan PKS dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di pemerintahan. b. Informan Biasa

Informan biasa dalam penelitian ini adalah dua orang anggota dewan perempuan yang saat ini menduduki jabatan sebagai anggota dewan di DPRD Provinsi Sumatera Utara berasal dari Fraksi PKS.


(1)

III. PENGALAMAN ORGANISASI 1. Pengurus UKMI Fakultas Sastra USU 2. Senat Mahasiswa Fakultas Sastra USU

Bidang Kewanitaan

3. Ketua Bidang Dakwah YSPDI Nurul Muslimah 4. Ketua LDM Safiratunnisa

IV. PENGALAMAN ORGANISASI DI PKS

1. Ketua Bidang Kewanitaan DPD PKS Kota Medan Masa Bakti 2000-2004

2. Ketua Bidang Kewanitaan DPW PKS Provinsi Sumatera Utara Masa Bakti 2006-2009


(2)

PROFIL

ANGGOTA DPRD PROVINSI SUMATERA UTARA MASA BAKTI 2009-2014

I. DATA PRIBADI

1. Nama Lengkap : Siti Aminah Amp. SPdI 2. Nama Panggilan : Mimin

3. Tempat/Tgl Lahir : Tebing Tinggi/ 2 Juni 1969 4. Jenis Kelamin : Perempuan

5. Status : Menikah 6. Nama Suami : Basyir

7. Jumlah Anak : 1 (satu) Orang

8. Alamat Rumah : Jl. Sejati No. 31 Medan Polonia 9. No. Telp/ Hp : 08126417897

10. Pekerjaan : Anggota DPRD Sumut Jabatan di DPRD SU : Anggota Komisi E 11. Jabatan dalam Struktur

DPW PKS Provinsi Sumatera Utara : Ketua Deputi Pemberdayaan Wanita

II. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. SD/MI/Sederajat : SDN 163080 Tebing Tinggi Tamat Tahun : 1982

2. SLTP/MTS/Sederajat : SMPN 1 Tebing Tinggi Tamat Tahun : 1985

3. SLTA/MA/Sederajat : SMA Taman Siswa Tebing Tinggi Tamat Tahun : 1988


(3)

III. PENGALAMAN ORGANISASI 1. Senat Mahasiswa Tahun 1989 2. Pengurus Musholla

3. Pendidikan Alternatif

4. Lembaga Perempuan Cerdas 5. Yayasan Al-Furqon

IV. PENGALAMAN ORGANISASI DI PKS 1. Ketua Deputi Pendidikan dan Latiha

2. Ketua Deputi Dakwah

3. Ketua Deputi Pendidikan dan SDM 4. Ketua Deputi Pemberdayaan Perempuan

DPW PKS Sumut Masa Bakti 2006-2010

Dokumentasi Proses terjadinya Wawancara dengan Informan

1. Bapak Mustafa, SE

• Selaku Pjs. Ketua Umum DPW PKS Provinsi Sumatera Utara Masa Bakti 2006-2010.

• Proses wawancara terjadi pada tanggal 17 Desember 2009, Sekitar Pukul 15.15 WIB s/d 16.08 WIB Bertempat di Kantor DPW PKS Provinsi Sumatera Utara Jl. Kenanga Raya No. 51 Medan.

• Mohon maaf sebelumnya pak, dokumentasi tidak dapat dilampirkan dikarenakan penulis pada saat proses wawancara tidak membawa kamera.

2. Ibu Nur Azizah Tambunan, SS

• Selaku Ketua Bidang Kewanitaan DPW PKS Provinsi Sumatera Utara Masa Bakti 2006-2010.

• Anggota DPRD Sumatera Utara Periode 2009-2014 (Wakil Ketua Fraksi PKS Sumatera Utara)

• Proses wawancara terjadi pada tanggal 21 Desember 2009, Sekitar Pukul 14.06 WIB s/d 14.56 WIB Bertempat di DPRD Sumatera Utara.


(4)

Proses wawancara dengan Ibu Hj. Nur Azizah Tambunan, SS (Senin/21des09)


(5)

Selain menggunakan recorder, peneliti juga mencatat hasil-hasil wawancara yang terjadi pada saat itu.

2. Ibu Siti Aminah, Amp, SPdI

• Selaku Ketua Deputi Pemberdayaan Wanita DPW PKS Provinsi Sumatera Utara Masa Bakti 2006-2010.

• Anggota DPRD Sumatera Utara Periode 2009-2014 (Anggota Komisi E DPRD Provinsi Sumatera Utara)

• Proses wawancara terjadi pada tanggal 22 Desember 2009, Sekitar Pukul 13.04 WIB s/d 13.43 WIB Bertempat di DPRD Sumatera Utara.


(6)

Proses wawancara dengan Ibu Siti Aminah, Amp, SPdI (Selasa/22des09)