Permasalahan Pembatasan Masalah Tujuan Penulisan Manfaat Tinjauan Pendidikan

2 perlu diperhatikan. Salah satu alternatif solusi berdasarkan kompetensinya adalah dengan melakukan pemetaan guru di setiap kabupaten atau kota. Departemen Pendidikan Nasional telah melakukan studi tentang pemetaan guru dengan menggunakan program School Mapping. Dalam lingkup propinsi program ini menampilkan peta wilayah yang menampilkan kabupaten atau kota. Kekurangan dari program ini adalah belum bisa menggambarkan keragaman guru mata pelajaran di suatu daerah atau propinsi. Keragaman guru cukup penting karena menerangkan penyebaran guru mata pelajaran antar kabupaten atau kota. Oleh karena itu pada skripsi ini berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis membuat skripsi dengan judul ANALISIS KEBUTUHAN GURU MENGGUNAKAN BIPLOT.

1.2. Permasalahan

Seorang guru harus sesuai dengan kompetensinya, dengan Biplot kita dapat melihat variabel dan objek yang berdekatan dan beragam. Sesuai dengan uraian di atas, maka permasalahan dalam skripsi ini adalah 1. Bagaimana aplikasi metode biplot pada pemetaan guru di kabupaten atau kota di DKI Jakarta berdasarkan rasio guru? 2. Bagaimana analisa hasil pemetaan guru Kabupaten atau Kota dari hasil biplot? 3

1.3. Pembatasan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini menggunakan data SMK negeri dan swasta di Provinsi DKI Jakarta, data SMK yang dapat kita teliti adalah data guru adaptif, data guru normatif, dengan menggunakan metode biplot dapat dilihat pemetaannya.

1.4. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengaplikasikan biplot pada pemetaan guru di kabupaten atau kota di DKI Jakarta berdasarkan rasio guru. 2. Menganalisa hasil pemetaan guru Kabupaten atau Kota berdasarkan hasil biplot.

1.5. Manfaat

Adapun manfaat yang dapat diambil dalam skripsi ini yaitu memberikan informasi kebutuhan guru di DKI Jakarta sesuai dengan bidang keahliannya masing- masing dengan harapan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam melakukan pendataan, pengangkatan dan penyaluran guru dimasa datang di wilayah Propinsi DKI Jakarta. 4 BAB II LANDASAN TEORI

2.1. Tinjauan Pendidikan

Menurut [10] guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan menengah kejuruan. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Pasal 35 ayat 2 disebutkan bahwa seorang guru berkewajiban melaksanakan tugasnya sekurang- kurangnya 24 jam tatap muka dalam sepekan. Berarti seorang guru harus mengajar beberapa kelas untuk mata pelajaran yang sama dalam sepekan dengan alokasi waktu minimal 24 jam. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Kabupaten atau Kota yang memiliki rasio jumlah guru mata pelajaran dengan jumlah jam mengajar suatu mata pelajaran adalah 1:24 tidak mengalami kelebihan atau kekurangan guru. Sebaliknya jika tidak memenuhi rasio tersebut maka Kabupaten atau Kota dapat dinyatakan relative kelebihan atau kekurangan guru. Kebutuhan guru adalah guru yang harus ada di sebuah SMK baik jumlah maupun spesialisasinya agar pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dapat berjalan secara efektif dan efesien. Dalam penentuan kebutuhan guru di sekolah lebih sering digunakan rasio jumlah jam mengajar per jumlah jam mengajar wajib guru, sebagai contoh jika jumlah rombongan belajar disuatu SMK adalah 12 dan jam mengajar 5 Bahasa Inggris adalah 4 jam dalam sepekan, maka kebutuhan guru Bahasa Inggris adalah 12 × 424 = 2, yaitu 2 orang. Informasi ini belum lengkap karena tidak diketahui apakah sekolah tersebut kekurangan guru atau tidak. Informasi ini akan bermakna jika diketahui berapa jumlah guru Bahasa Inggris yang tersedia di sekolah tersebut. Menurut [4] dalam perhitungan rasio guru SMK setiap Kabupaten atau Kota maka yang dijadikan dasar perhitungan adalah jumlah rombongan belajar, jam mengajar masing-masing pelajaran per pekan dan jumlah guru mata pelajaran. Pada penelitian ini rasio guru yang diteliti adalah rasio guru adaptif dan rasio guru normatif. Perhitungan rasio guru untuk ketersediaan guru SMK dapat dituliskan sebagai berikut: Ketersediaan Rasio Guru = � × � � 2.1 dengan : TJG = Total Jumlah Guru orang TR = Total Rombongan Belajar kelas JMP = Jam Mengajar per pekan Perhitungan rasio diatas didasarkan pada rasio 1:24 sebagai acuan kecukupan guru. Seorang guru minimal mengajar 24 jam dalam sepekan, 2 orang guru minimal mengajar 48 jam dalam sepekan. Sehingga jika total jumlah guru adalah 2 dan diketahui total jam mengajar kedua guru tersebut dalam sepekan 30 jam, maka bisa 6 dikatakan mata pelajaran tersebut kelebihan guru, karena perbandingan rasio guru adalah 1:15. Jumlah jam mengajar suatu mata pelajaran di SMK adalah sama, baik di kelas 1, 2 dan 3. Dari kesamaan tersebut, maka perhitungan jumlah rombongan belajar adalah dengan menjumlahkan banyaknya kelas 1, 2 dan 3 di suatu sekolah, kemudian total jumlah rombongan belajar diperoleh dengan menjumlah keseluruhan banyaknya rombongan belajar dari sekolah-sekolah yang ada di Kabupaten atau Kota. Perhitungan rasio guru untuk kebutuhan guru SMK dapat dituliskan sebagai berikut: rasio guru untuk kebutuhan guru = � � � 2.2 Menurut [10] kelas adalah rombongan belajar klasikal setiap tingkat sedangkan Jumlah kelas adalah banyaknya kelas rombongan belajar yang mengikuti mata pelajaran tertentu. Beban mengajar yang merupakan jam wajib mengajar guru adalah jumlah jam pelajaran tatap muka yang wajib dilaksanakan oleh seorang guru per minggu, yaitu 24 jam. Program belajar terdiri dari normatif dan adaptif. Program normatif terdiri atas mata pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, dan Seni Budaya. Program Adaptif terdiri atas mata pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, IPA, IPS, Keterampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi KKPI, Kewirausahaan, dan beberapa mata diklat lain sesuiam dengan kelompok dan program keahlian masing-masing, yaitu mata pelajaran Fisika, Kimia, dan Biologi, namun pada penelitian ini program keahlian ini tidak 7

2.2. Principal Component Analysis PCA