BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejahatan akan senantiasa selalu ada selama masih ada manusia yang hidup di muka bumi ini. Kehendak untuk melakukan tindakan kejahatan
merupakan sebab internal dalam kehidupan manusia, padahal pada sisi lain manusia menginginkan kehidupan yang damai, tentram, dan berkeadilan, dengan
kata lain kehidupan manusia tidak ingin diganggu oleh perbuatan-perbuatan kriminal atau kejahatan. Upaya-upaya untuk menekan tingkat kuantitas dan
kualitas kejahatan melanggar hukum telah lama dilakukan oleh manusia, baik yang berifat preventif, represif, dan edukatif.
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan belaka, sebagaimana disebutkan dalam
penjelasan Undang-undang Dasar 1945. Maksud negara berdasarkan atas hukum adalah bahwa negara dalam tata kehidupan masyarakat berdasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan yang dibuat dan ditetapkan dengan maksud untuk melindungi dan menyelesaikan
perkara yang terjadi dalam kehidupan mayarakat, karena baik disadari maupaun
tidak disadari, manusia sebagai anggota masyarakat selalu melakukan perbuatan melanggar hukum dan hubungan hukum.
Sebagai negara berdasarkan hukum, Indonesia sangat menghormati dan menjunjung tinggi eksistensi hak asasi manusia. Dalam sila kedua Pancasila,
dijelaskan bahwa negara Indonesia mengakui dan menghormati sikap “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Dengan demikian secara nyata dan
filosofis, Indonesia memiliki cita-cita kuat untuk menegakkan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan hukum baik hak asasi individu maupun kelompok.
1
Islam sangat menjamin seluruh hak-hak asasi manusia dan menghormati hak-hak tersebut, baik yang menyangkut hak-hak yang beragama, hak-hak sipil,
maupun hak-hak politik yang menyangkut hak hidup, hak menjaga harta, hak menjaga keselamatan dan harga diri, serta hak mendapatkan perlindungan dan
kemerdekaan yang kesemuanya itu sering dikenal dengan istilah hak-hak asasi manusia.
Hak yang paling utama dan paling perlu mendapat perhatian adalah hak hidup, karena hak hidup ini merupakan hak yang paling suci dan Ilahiyah, serta
tidak dibenarkan secara hukum dilanggar kemulyaannya dan tidak boleh dianggap remeh eksistensinya.
2
Oleh karena itu, segala macam yang melanggar hak hidup
seseorang seperti membunuh, menganiaya dan melukai orang lain sangat dilarang
1
http:blog.kenz.or.id2006060145-butir-pengamalan-pancasila.html diakses pada tanggal
13 Maret 2008 pukul 15:30 WIB
2
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Beirut; Daar al-Tsakofah al-Islamiyyah, 1998, h.14
oleh hukum Islam, sebagaimana Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur`an Surat Al-Isyra` ayat 33:
+ ,
- . 0 12ی4
5 627
8 9:
; =
Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya, melainkan dengan sesuatu alasan yang benar.
Dan barang siapa yang dibunuh secara dzalim, maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli
waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesunguhnya ia adalah yang mendapat pertolongan”.
Q.S. Al-Isra’ 17 : 33 Ayat ini memberikan petunjuk tentang makna kehidupan bagi manusia
sebagai hak yang diberikan Allah, perbuatan membunuh jiwa manusia sangat diharamkan, demikian juga dengan pembunuhan tidak boleh dilakukan dengan
semena-mena terhadap jiwa manusia yang boleh dibunuh. Ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar dalam proses pembunuhan, antara lain dalam hukuman
mati untuk pelaku tindak pidana pembunuhan. Perbuatan menghilangkan nyawa orang lain, karena alasan dendam atau
untuk menebarkan kerusakan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan yang berwenang. Selama berlangsung peperangan, dimuka pengadilan perbuatan itu
hanya dapat diadili oleh pemerintah yang sah. Dalam setiap peristiwa itu, tidak ada satu individupun yang memiliki hak untuk mengadili secara main hakim
sendiri. Dengan demikian, pembunuhan boleh saja dilaksanakan kepada manusia asalkan dengan alasan demi menegakkan keadilan seperti penjatuhan hukuman
mati kepada seorang residivis.
Dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah yang populer dengan sebutan euthanasia dan telah menjadi topik pembicaraan yang diperdebatkan,
tidak saja bagi kalangan ahli medis, tetapi juga para pakar hukum Islam. Euthanasia menurut pemikir Islam Yusuf Al-Qardawi adalah tindakan ahli medis
untuk mengakhiri hidup seseorang dan mempercepat kematiannya melalui injeks kematian, kejutan listrik, senjata tajam dan cara yang lainnya.
3
Istilah euthanasia memang masih asing di Indonesia, karena peristiwa tersebut sangat jarang terjadi. Akan tetapi di negara-negara maju, seperti
Amerika, Austria, Belanda dan negara Eropa lainnya, masalah euthanasia telah lama dikenal dan bahkan telah ada undang-undang yang melegalisasikannya.
Undang-undang ini memberikan landasan hukum bagi para dokter atau pihak lain untuk melakukan euthanasia.
Dalam prakteknya, euthanasia dilakukan apabila seseorang pasien yang menderita penyakit itu belum diketemukan obatnya, serta membuat si pasien
menderita karena penyakit yang di deritanya secara fisik. Sebab lainnya, apabila keluarga si pasien membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk perawatan
dirinya, sedangkan keadaan keluarganya sudah tidak sanggup membiayai pengobatan si penderita secara materi, maka si pasien meminta dengan sungguh-
sungguh kepada pihak rumah sakit untuk mengakhiri hidupnya dan keluarga si pasien mengijinkannya menyetujuinya. Pihak rumah sakit kemudian melakukan
3
Ismail, Tinjauan Islam terhadap Euthanasia, Jakarta; PBB UIN dan KAS, 2003, h. 22
euthanasia mengakhiri hidup si pasien baik dilakukan dengan euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.
Masalah euthanasia menjadi bahan pembahasan cendekiawan, terutama apabila ditinjau dari segi hukum dan dihubungkan dengan hak seseorang untuk
menentukan keadaan dirinya sendiri. Asas legalitas hukum yang menerangkan tentang praktek euthanasia dapat dilihat dalam pasal 344 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana KUHP, Yaitu: “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
4
Menurut S.R. Sianturi ia menjelaskan bahwa pasl 344 KUHP mewajibkan setiap orang untuk menghormati jiwa orang lain, inti pasal 344 KUHP adalah
permintaan yang sungguh-sungguh dan meyakinkan, tidak hanya sekedar permintaan saja perbuatan ini sering disebut dengan euthanasia.
5
Kematian dalam pasal tersebut adalah kematian belas kasih yaitu dengan permintaan pasien yang
dalam keadaan sekarat bukan membiarkan seorang mati dan pembunuhan
sengaja.
Cendekiawan muslim
atau ulama
melakukan peninjauan
atas permasalahan euthanasia ini dalam perspektif hukum Islam, Masjfuk Zuhdi
4
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, Jakarta; Rineka Cipta, 2005, h. 135
5
S.R Sianturi,., S.H., Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta; Alumni AHAEM-PATEHAEN, 1989, h. 496
mengatakan bahwa Islam tetap tidak memperbolehkan si penderita menghabisi nyawanya, baik dengan tenaganya sendiri bunuh diri dengan minum racun atau
menggantung dirinya dan sebagainya, maupun dengan bantuan orang lain, sekalipun itu dokter dengan cara memberikan suntikan mematikan atau obat yang
dapat mempercepat kematian euthanasia aktif atau dengan cara menghentikan segala macam pertolongan bagi si penderita, termasuk kelanjutan proses
pengobatannya euthanasia pasif.
6
Melihat dari pendapat di atas tentang boleh tidaknya euthanasia, dalam kasus ini terjadi kontroversi pendapat. Tidak sedikit masyarakat pada beberapa
negara, seperti Amerika maupun negara-negara maju lain yang membenarkan dan telah mempraktekan secara terang-terangan. Mereka sangat menghargai pilihan
bagi diri si pasien dan keluarganya untuk memilih dan menentukan jalan kematiannya sendiri.
Para pendukung euthanasia beranggapan bahwa memaksa seseorang untuk melanjutkan kehidupannya yang penuh dengan penderitaan dan siksaan penyakit,
baik fisik maupun materi adalah merupakan tindakan irasional dan tidak menghargai hak asasi manusia, di mana seseorang memiliki hak terhadap dirinya
sendiri untuk menentukan sikap dan keputusan atas kelanjutan hidupnya. Hal ini perlu dihormati dan dihargai.
7
6
Prof. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta; PT Gunung Agung, 1996, h. 157
7
Lutfi As-Syaukani, Politik, HAM, dan Isu-isu Tekhnologi dalam Fikih Kontemporer, Bandung; Pustaka Hidayah, 1998 h. 179
Akan tetapi bagi golongan yang kontra terhadap praktek euthanasia mereka menggunakan argumentasi yuridis dan sikap dokter yang terlalu pasrah
dan menyerah. Secara agama, hidup dan matinya seseorang itu berada di tangan Allah SWT dan tugas dokter hanya berusaha semaksimal mungkin serta
mengerahkan segala kemampuannya untuk dapat memberikan pertolongan kepada si pasien.
Terlepas dari tanggapan yang setuju dan yang tidak setuju terhadap permasalahan euthanasia ini, perlu ditelusuri bagaimana pandangan hukum Islam
terhadap euthanasia dan dihubungkan dengan hak asasi manusia, karena euthanasia adalah masalah pembunuhan atas kerelaan si korban sedangkan nota
bene si korban adalah manusia yang memiliki hak hidup atas dirinya. Dari uraian latar belakang di atas, permasalahan euthanasia menarik
sebagai bahan penelitian penulis dan akan dijadikan bahan penyusunan karya ilmiah berupa skripsi. Untuk itu, penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini
berjudul:
“EUTHANASIA DALAM PANDANGAN HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah