Pemodelan Kontrol Malaria Melalui Pengelolaan Terintegrasi Di Kemukiman Lamteuba, Nanggroe Aceh Darussalam

(1)

PEMODELAN KONTROL MALARIA

MELALUI PENGELOLAAN TERINTEGRASI

DI KEMUKIMAN LAMTEUBA,

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Disusun Oleh :

RINIDAR

NIM : 068106009

SEKOLAH PASCASARJANA

PROGRAM DOKTOR

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2010


(2)

ABSTRAK

Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium, hingga saat ini masih menjadi problema utama kesehatan dunia termasuk Indonesia. Untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) masih menjadi fokus malaria di Indonesia bagian barat. Langkah program kontrol malaria haruslah mengenali dan menguasai secara menyeluruh informasi tentang nyamuk sasaran dan keadaan setempat, bersifat jangka panjang dan disertai model untuk menjelaskan dinamika penularan malaria di daerah endemik dan epidemi. Penelitian ini dilaksanakan di Kemukiman Lamteuba kecamatan Seulimeum, kabupaten Aceh Besar provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, bertujuan untuk mendapatkan pemodelan kontrol malaria yang tepat guna berdasarkan fakta dinamika transmisi setempat. Diharapkan model dapat dipakai sebagai acuan dalam kebijakan kontrol malaria. Data primer berdasarkan observasi lapangan antara lain wawancara menggunakan instrumen kuesioner, mengidentifikasi vektor malaria, jentik, menemukan penderita malaria, tempat perindukan vektor (TPV), pemetaan dengan System Informasi Geografis (GIS) serta pembentukan model. Hasil penelitian diperoleh sebagai vektor malaria adalah Anopheles aconitus yang terbukti adanya sporozoit dengan uji ELISA serta ditemukan Pemodelan kontrol vektor dalam ekosistem (PKVE) dengan sistem persamaan differensial terkendala (delay). Pemodelan ini dapat memprediksi tentang dinamika malaria dalam populasi dan mengajukan intervensi untuk kontrol vektor malaria di Kemukiman Lamteuba melalui perlindungan individu dan pengelolan terintegrasi.


(3)

ABSTRACT

Malaria is an infectious disease caused by Plasmodium parasites. It is still a public health problem in the world. The focus of malaria control programs has been developed from short-term to long-term direction . Developing a model to explain the transmission of malaria, in endemic regions, is of high priority in developing health system interventions. The use of the model is the main priority in developing the health system-based interventions. This study was conducted in the Kemukiman Lamteuba, Nanggroe Aceh Darussalam province. The aim of our study is to use mathematical modelling to gain some insights into the fact of local transmission dynamics of malaria in the population and to explore the impact of the aforementioned intervention strategies. It is expected that the model can be used as a references in the policy vector control of infectious vector diseases. Primary data was collected based on field observations such as interview using a questionnaire instrument, identifying the malaria vector, larvae, data on the incidence of malaria cases, breeding places, the establishment of models and mapping with Geographic Information System (GIS). Six species were found. species Anopheles aconitus, Anopheles sinensis, Anopheles vagus, Anpheles tesselatus, Anopheles hyrcanus group and Anopheles kochi . Using ELISA test sprozoit was found positively in Anopheles aconitus, there for this species would be regard as a vector. Acquired Modeling the control of malaria in ecosystem (PKVE) with delayed differential equation system based on observations of the dynamics of interaction between human and mosquito population from which dynamics of malaria in the population can be predicted in such a way that personal protection and integrated management of intervention can be proposed to control the malaria vector.


(4)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK....

ABSTRACT... RIWAYAT HIDUP... PRAKATA... DAFTAR ISI ...

ii iii iv v viii DAFTAR TABEL ... xii DAFTAR GAMBAR ... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

SINGKATAN ...

xiv xvi BAB 1

BAB 2

PENDAHULUAN ... 1.1. Latar Belakang Penelitian ... 1.2. Perumusan Masalah ... 1.3. Tujuan ... 1.4. Hipotesis... 1.4. Manfaat... 1.5. Kerangka Pemikiran... TINJAUAN PUSTAKA ... 2.1. Penyakit Malaria ... 2.2 Vektor Malaria... 2.3. Situasi Malaria di Kabupaten Aceh Besar... 2.4. Siklus Hidup Nyamuk ... 2.5. Siklus Hidup Parasit Malaria... 2.6. Tempat Perindukan Vektor (TPV)... 2.7. Lingkungan... 2.7.1. Lingkungan Fisik... 2.7.1.1. Suhu... 2.7.1.2. Kelembaban... 2.7.1.3. Curah hujan...

1 1 4 4 5 5 5 7 7 8 13 15 16 19 22 22 23 24 25


(5)

2.7.1.4. Ketinggian... 2.7.1.5. Angin... 2.7.2. Lingkungan Kimia... 2. 7.3.Lingkungan Biologi... 2.8. Diagnosis Malaria... 2.8.1. Manifestasi Klinis... 2.8.2.Spelenomegali... 2.8.3. Anemia... 2.8.4. Pemeriksaan Penunjang:Mikroskopis... 2.9. Kontrol Malaria... 2.9.1. Kontrol Malaria dalam Konteks Pengelolaan Lingkungan... 2.9.2. Intervensi Pengelolaan Terintegrasi

Berdasarkan Rekomendasi WHO... 2.9.2.1. Kebijakan, Strategi dan Target Kontrol Malaria... 2.9.2.2. Kegiatan Intervensi... 2.9.2.2.1. Diagnosis dan Pengobatan.... 2.9.2.2.2. Pencegahan Malaria Melalui Kontrol Vektor. ... 2.9.2.2.2.1. Pencegahan Individual...

2.9.2.2.2.2. Reduksi Longevity Vektor... 2.9.2.2.2.3. Modifikasi dan Manipulasi Lingkungan... 2.9.2.2.2.4. Larvaciding... 2.10. Pemodelan Kontrol Malaria...

26 26 26 27 28 30 30 31 32 33 33 36 36 36 38 39 39 40 40 41 42


(6)

BAB 3

BAB 4

METODOLOGI... 3.1. Tempat dan Waktu penelitian... 3.2. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 3.3. Bahan dan Cara Penelitian... 3.3.1.Penelitian Vektor Malaria...

3.3.1.1.Penangkapan Nyamuk Anopheles... 3.3.1.2.Menghitung Kepadatan Nyamuk... 3.3.1.3. Deteksi Sporozoit... 3.3.2. Lingkungan... 3.3.2.1. Tempat Perindukan Vektor (TPV), Jentik nyamuk Lingkungan fisik, Biologi dan kimia...

3.3.2.1. 1 . Survei TPV dan Jentik Nyamuk...

3.3.2.1.2. Pengamatan Faktor Lingkungan Fisik,

Kimia dan Biologi... 3.3.3. Penemuan Penderita Malaria...

3.3.3.1. Metoda Pengambilan Sampel... 3.3.3.2. Teknik Pengambilan Sampel... 3.3.3.3. Menemukan Penderita Malaria... 3.3.4. Pemetaan Distribusi Malaria... 3.3.5. Formulasi Model Kontrol Malaria...

HASIL DAN PEMBAHASAN... 4.1. HASIL PENELITIAN... 4.1.1. Kemukiman Lamteuba. ... 4.1.2. Survei entomologi malaria... 4.1.2.1. Fauna spesies nyamuk Anopheles

4.1.2.2. Verifikasi vektor malaria... 4.1.3. Tempat perindukan nyamuk Anopheles....

44 44 44 46 46 46 48 48 50 50 50 51 52 52 53 53 54 55 56 56 56 60 60 62 64


(7)

BAB 5

4.1.3.1. Tempat Perindukan Vektor... 4.1.3.2. Jarak Terbang Nyamuk... 4.1.4. Penemuan Penderita... 4.1.5. Formulasi Model... 4.2. PEMBAHASAN... 4.2.1. Vektor Malaria... 4.2.2. Kasus Malaria... 4.2.3. Lingkungan... 4.2.3.1. Faktor Abiotik dan Biotik ... 4.2.3.2. Jarak Terbang Nyamuk... 4.2.3. Persepsi Masyarakat Terhadap Malaria... 4.2.4. Diskripsi Pemodelan Kontrol Malaria Melalui Pengelolaan Terintegrasi... KESIMPULAN DAN REKOMENDASI... 5.1. Kesimpulan... 5.2. Saran dan Rekomendasi...

DAFTAR PUSTAKA...

64 69 69 72 78 78 84 86 86 90 91

92 99 99 99


(8)

DAFTAR TABEL

No Tabel Halaman

1. 2.

3. 4

5.

Prinsip dasar intervensi kontrol malaria... Fauna Nyamuk Anopheles, sp. Hasil Penangkapan di kemukiman Lamteuba ... Deteksi nyamuk sebagai vektor malaria di kemukiman Lamteuba Karakteristik tempat perindukan vektor (TPV) dikemukiman Lamteuba... Hasil Pemeriksaan darah hapus di kemukiman Lamteuba...

37

61 62

68 70


(9)

DAFTAR GAMBAR

No Gambar Halaman

1. 2. 3. 4 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.

Kerangka pemikiran pemodelan kontrol malaria melalui intervensi pengelolaan terintegrasi...

Peta Annual Parasite Incidence (API) Kabupaten Aceh Besar tahun 2008... Data malaria klinis dan positif berdasarkan temuan kasus malaria di Lamteuba tahun 2008... Siklus hidup nyamuk Anopheles,... Peta lokasi penelitian... Alur penelitian kontrol vektor malaria...

Peta luas dan kepadatan penduduk kemukiman Lamteuba... Peta rasio laki laki dan perempuan di kemukiman lamteuba... Tingkat kesejahteraan keluarga di kemukiman Lamteuba... Fauna nyamuk Anopheles di kemukiman Lamteuba... Distribusi tempat perindukan vektor di kemukiman Lamteuba... Peta analisis buffer zones kasus malaria terhadap tempat

Perindukan dan jarak terbang nyamuk... Jumlah kasus malaria pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2009...

Digaram alur model kontrol malaria... Kurva nyamuk yang terinfeksi di desa Lambada Kemukiman Lamteuba... Dinamika nyamuk... Pemodelan Kontrol malaria dalam ekosistem (PKVE)...

6 14 15 19 45 46 56 57 59 63 65 71 72 75 78 93 96


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No Tabel halaman

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.

Peta Lokasi Penangkapan nyamuk desa Blangtingkeum kemukiman Lamteuba... Peta Lokasi Penangkapan nyamuk desa Lampante kemukiman lamteuba...

Peta Lokasi Penangkapan nyamuk desa Glee dua kemukiman lamteuba... Peta Lokasi Penangkapan nyamuk desa Ateuk kemukiman lamteuba...

Peta Lokasi Penangkapan nyamuk desa Lambada kemukiman lamteuba...

Peta Lokasi Penangkapan nyamuk desa Pulo kemukiman lamteuba... Peta Lokasi Penangkapan nyamuk desa Meurah kemukiman lamteuba... Peta koordinat tempat perindukan vektor desa lambada di kemukiman Lamteuba... Peta Areal tempat perindukan vektor desa lambada di kemukiman Lamteuba... Peta koordinat tempat perindukan vektor desa Lampante di kemukiman Lamteuba... Peta Areal tempat perindukan vektor desa Lampante di kemukiman Lamteuba...

Peta koordinat tempat perindukan vektor desa Lamapeng di kemukiman Lamteuba... ... Peta Areal tempat perindukan vektor desa Lamapeng di kemukiman Lamteuba... Peta koordinat tempat perindukan vektor desa Lamteuba Dro di kemukiman Lamteuba... Peta Areal tempat perindukan vektor desa Lamteuba Dro di kemukiman Lamteuba... 113 114 115 116 117 118 119 120 120 121 121 122 122 123 123


(11)

16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.

Peta koordinat tempat perindukan vektor desa Pulo di kemukiman Lamteuba...

Peta Areal tempat perindukan vektor desa Pulo di kemukiman Lamteuba... Peta koordinat tempat perindukan vektor desa Blangtingkeum di kemukiman Lamteuba... Peta Areal tempat perindukan vektor desa Blangtingkeum di kemukiman Lamteuba... Peta koordinat tempat perindukan vektor desa Meurah di kemukiman Lamteuba... Peta Areal tempat perindukan vektor desa Meurah di kemukiman Lamteuba... Peta koordinat tempat perindukan vektor desa Ateuk di kemukiman Lamteuba... Peta Areal tempat perindukan vektor desa Ateuk di kemukiman Lamteuba... Peta koordinat tempat perindukan vektor desa Glee dua di kemukiman Lamteuba... Peta Areal tempat perindukan vektor desa Glee dua di kemukiman Lamteuba... Peta sebaran penderita malaria di kemukiman Lamteuba...

Formulir Informed Consent: pernyataan bersedia berpartisipasi sebagai penangkap nyamuk... Lembar Persetujuan menjadi responden Penelitian... Formulir Informed Consent : (Pernyataan bersedia berpartisipasi)... Kuesioner Penelitian Persepsi Masyarakat terhadap Malaria di Kemukiman Lamteuba... 124 124 125 125 126 126 127 127 128 128 129 130 132 133 134


(12)

ABSTRAK

Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium, hingga saat ini masih menjadi problema utama kesehatan dunia termasuk Indonesia. Untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) masih menjadi fokus malaria di Indonesia bagian barat. Langkah program kontrol malaria haruslah mengenali dan menguasai secara menyeluruh informasi tentang nyamuk sasaran dan keadaan setempat, bersifat jangka panjang dan disertai model untuk menjelaskan dinamika penularan malaria di daerah endemik dan epidemi. Penelitian ini dilaksanakan di Kemukiman Lamteuba kecamatan Seulimeum, kabupaten Aceh Besar provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, bertujuan untuk mendapatkan pemodelan kontrol malaria yang tepat guna berdasarkan fakta dinamika transmisi setempat. Diharapkan model dapat dipakai sebagai acuan dalam kebijakan kontrol malaria. Data primer berdasarkan observasi lapangan antara lain wawancara menggunakan instrumen kuesioner, mengidentifikasi vektor malaria, jentik, menemukan penderita malaria, tempat perindukan vektor (TPV), pemetaan dengan System Informasi Geografis (GIS) serta pembentukan model. Hasil penelitian diperoleh sebagai vektor malaria adalah Anopheles aconitus yang terbukti adanya sporozoit dengan uji ELISA serta ditemukan Pemodelan kontrol vektor dalam ekosistem (PKVE) dengan sistem persamaan differensial terkendala (delay). Pemodelan ini dapat memprediksi tentang dinamika malaria dalam populasi dan mengajukan intervensi untuk kontrol vektor malaria di Kemukiman Lamteuba melalui perlindungan individu dan pengelolan terintegrasi.


(13)

ABSTRACT

Malaria is an infectious disease caused by Plasmodium parasites. It is still a public health problem in the world. The focus of malaria control programs has been developed from short-term to long-term direction . Developing a model to explain the transmission of malaria, in endemic regions, is of high priority in developing health system interventions. The use of the model is the main priority in developing the health system-based interventions. This study was conducted in the Kemukiman Lamteuba, Nanggroe Aceh Darussalam province. The aim of our study is to use mathematical modelling to gain some insights into the fact of local transmission dynamics of malaria in the population and to explore the impact of the aforementioned intervention strategies. It is expected that the model can be used as a references in the policy vector control of infectious vector diseases. Primary data was collected based on field observations such as interview using a questionnaire instrument, identifying the malaria vector, larvae, data on the incidence of malaria cases, breeding places, the establishment of models and mapping with Geographic Information System (GIS). Six species were found. species Anopheles aconitus, Anopheles sinensis, Anopheles vagus, Anpheles tesselatus, Anopheles hyrcanus group and Anopheles kochi . Using ELISA test sprozoit was found positively in Anopheles aconitus, there for this species would be regard as a vector. Acquired Modeling the control of malaria in ecosystem (PKVE) with delayed differential equation system based on observations of the dynamics of interaction between human and mosquito population from which dynamics of malaria in the population can be predicted in such a way that personal protection and integrated management of intervention can be proposed to control the malaria vector.


(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium. Penyakit ini disebarkan oleh nyamuk Anopheles betina dan perkembang-biakannya sangat tergantung pada faktor lingkungan setempat, kedekatan antara lokasi perkembang-biakan nyamuk dengan manusia dan jenis nyamuk di wilayah tersebut (Clive, 2002, Gilles dan Peter, 2002).

Pada tahun 2008 terdapat sekitar 243 juta kasus malaria di seluruh dunia. Sebagian besar kasus terjadi di daerah Afrika (85%), diikuti oleh Asia Tenggara (10%) dan kawasan Mediterania Timur (4%). Selain itu sekitar 863.000 terjadi kasus kematian akibat malaria, sebanyak 89% berada di wilayah Afrika, diikuti oleh Mediterania Timur (6%) dan di kawasan Asia Tenggara (5% ) (WHO, 2009).

Hingga saat ini malaria masih menjadi problema utama kesehatan dunia termasuk Indonesia. Untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) masih menjadi fokus malaria di Indonesia bagian barat (Acang, 2002). Pada tahun 2005 lebih dari 25.000 kasus malaria ditemukan di NAD, antara lain terdapat di Kabupaten Aceh Besar (Gillespie, 2006).

Berdasarkan laporan tahun 2008, dari 23 kecamatan di kabupaten ini, terdapat 15 kecamatan yang merupakan daerah endemis malaria dengan Annual Parasite Incidence (API) > 5 0/00 dan 50% angka kejadian malaria didominasi oleh kemukiman Lamteuba

kecamatan Siuleumum. Kasus malaria di kemukiman ini sejak tahun 2006 sampai dengan sekarang sebanyak 3286 malaria klinis dan 1275 malaria positif, terdiri dari


(15)

16% malaria Tropika, 82% malaria Tertiana dan 2% malaria campuran (Christanto,2008; Dinkes NAD, 2008).

Selain itu, malaria menyebabkan beban yang berat baik dari segi dimensi sosial serta ekonomi. Dampak ekonomi akibat penyakit malaria sangat tinggi, di negara endemik malaria menyebabkan terjadi pengurangan pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 1,3 persen dan dalam jangka panjang mengakibatkan penurunan Gross National Product (GNP) lebih dari separuh (Sach, 2002).

Malaria juga sangat merugikan perekonomian Indonesia dan menurunkan pendapatan daerah. Kerugian ekonomi bagi individu itu karena biaya pengobatan serta hilangnya kesempatan memperoleh penghasilan karena sakit belum termasuk kehilangan pendapatan akibat hilangnya investasi bisnis dan pariwisata di daerah endemik malaria. Selain itu malaria dapat menurunkan kecerdasan anak-anak usia sekolah dan daya intelektual karena menderita anemia (Depkes, 2004).

World Health Organization (WHO) telah merekomendasikan kebijakan, strategi serta target untuk kontrol malaria. Rekomendasi ini mencakup diagnosis dan pengobatan malaria, melakukan pencegahan dengan kontrol vektor serta menetapkan target, sasaran dan indikator. Target rencana WHO tertuang dalam aksi global malaria (GMAP) yaitu mengendalikan malaria secara terus menerus tanpa batas di seluruh dunia, pencegahan dan pengurangan jumlah kasus kematian mendekati nol pada tahun 2015 (WHO, 2009).

Rekomendasi ini didasarkan atas kenyataan bahwa, penyakit malaria mempunyai cakupan geografis yang sangat luas dengan tingkat penularan yang berbeda-beda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, sehingga untuk strategi kontrol malaria perlu


(16)

Program kontrol harus dirancang serta diatur sedemikan rupa dengan menggunakan berbagai intervensi. Langkah program kontrol malaria haruslah mengenali dan menguasai secara menyeluruh informasi tentang nyamuk sasaran dan keadaan setempat, bersifat jangka panjang dan disertai model untuk menjelaskan dinamika penularan malaria di daerah endemik dan epidemi, apabila hasil maksimal ingin dicapai (Gilles dan Peter, 2002; Sigit, 2006; Yazoumé, et al., 2009 dan WHO, 2009). Oleh karena itu, tindakan terhadap kontrol malaria tetap perlu dicermati bagi para peneliti dan pembuat kebijakan.

Model merupakan suatu alat yang tangguh untuk merancang program kontrol malaria dan menganalisis berbagai kesulitan pada sistem ekologis yang dinamis (McKenzie, 2000). Model ini juga telah menjadi alat pengambilan keputusan yang berharga di dalam program kesehatan masyarakat (Bailey, 1982; Anderson, 1991dan Maire, 2009). Selain itu juga dipakai sebagai landasan dasar untuk mencari, memahami, menganalisis serta memprediksi keterkaitan antara vektor, lingkungan dan penyakit malaria (Gilles dan Peter, 2002; Yazoumé, et al., 2009 ; WHO, 2009).

Adanya pemodelan ini memudahkan kita untuk meneliti prilaku nyamuk di dalam ekosistem dan populasi manusia yang dinamis serta interaksinya antara satu dengan yang lain secara sistematis dan terukur, serta dapat memprediksi kejadian- kejadian saat ini dan yang akan datang. Sehingga dapat memastikan perilaku struktur sistem dan diambil suatu kebijakan, kapan harus melakukan intervensi untuk mendukung serta meningkatkan strategi penanggulangan malaria yang berkelanjutan (Sustainable). (Bloom, 2007; Mckenzie dan Samba, 2004)


(17)

Berdasarkan uraian di atas, mendorong penulis untuk meneliti dan membuat disertasi dengan judul “Pemodelan kontrol malaria melalui pengelolaan terintegrasi” yang dilakukan di Kemukiman Lamteuba kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

1.2. Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari uraian yang dikemukakan pada latar belakang maka permasalahan dapat di rumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah prilaku vektor malaria, sebaran tempat perindukan vektor (TPV) dan faktor lingkungan yang mendukung di dalam perkembangan vektor malaria dan angka kejadian malaria di Kemukiman Lamteuba kabupaten Aceh Besar ?.

2. Bentuk pemodelan kontrol vektor malaria bagaimanakah yang tepat untuk intervensi berdasarkan situasi dan kondisi lingkungan daerah setempat ?.

1.3. Tujuan 1. Tujuan Umum

Menemukan metode pengendalian malaria di daerah Kemukiman Lamteuba Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar secara efektif dan efesien.

2. Tujuan khusus

a. Menemukan masalah malaria di daerah Kemukiman Lamteuba b. Mendapatkan data tentang malaria sesuai dengan situasi dan kondisi setempat untuk mendukung program pengendalian malaria


(18)

1.4. Hipotesis

Berdasarkan uraian diatas maka menghasilkan hipotesis antara lain:

1. Pemodelan dapat menganalisis permasalahan yang kompleks antara dinamika populasi vektor dan lingkungan.

2. Kontrol vektor malaria dengan pemodelan yang tepat dapat mencegah transmisi penyakit dan memprediksikan kejadian penyakit malaria .

1.5. Manfaat

1. Pemodelan kontrol malaria bermanfaat untuk memahami,mempelajari dan memprediksi dinamika vektor di kemukiman Lamteuba.

2. Pemodelan kontrol vektor malaria melalui pengelolaan terintegrasi mewujudkan keharmonisan manusia dengan lingkungan hidup.

3. Pengelolaan lingkungan kontrol malaria terintegrasi sesuai dengan kondisi dan situasi setempat lebih efesien, efektif dan dan sustainable

1.6. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran pemodelan kontrol vektor malaria melalui pengelolaan terintegrasi digambarkan dalam gambar 1.


(19)

EKOSISTEM

Malaria FAKTOR

INTERVENSI

PEMODELAN

PENGELOLAAN TERINTEGRASI

MANUSIA VEKTOR

LINGKUNGAN

Dinamika

Pengobatan

Pengelolaan lingkungan

Nyamuk Manusia

Perencanaan Monitoring

Evaluasi

Pencegahan

Sustainable -Adanya sumber

Penularan -Daya dukung

lingkungan -API > 5 0/

00

Kondisi saat ini

Kondisi yang diharapkan

Bebas Malaria

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pemodelan kontrol malaria melalui intervensi pengelolaan terintegrasi


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Penyakit Malaria

Terdapat empat jenis parasit malaria yang menginfeksi manusia yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale . Dua spesies yang pertama merupakan penyebab lebih dari 95% kasus malaria di dunia (Snow dan Gilles, 2002).

Plasmodium vivax memiliki jangkauan geografis yang luas, dapat dijumpai di daerah beriklim sedang, subtropis dan tropis, sedangkan Plasmodium falsiparum adalah spesies yang paling umum di seluruh daerah tropis dan Subtropis. Plasmodium malariae ditemukan bersama dengan Plasmodium falsiparum, tetapi jarang terjadi sedangkan Plasmodium ovale ditemukan terutama di daerah tropis Afrika, tetapi terkadang juga di jumpai di Pasifik Barat (Snow dan Gilles, 2002).

Penyakit malaria memiliki hubungan yang erat, baik yang berelasi dengan kehadiran vektor, iklim, kegiatan kemanusiaan dan lingkungan setempat. Adanya kerusakan dan eksplorasi lingkungan menyebabkan bertambahnya jumlah dan luas tempat perindukan. Lingkungan akan mempengaruhi kapasitas vektor di dalam menularkan Plasmodium dan menyebarkan malaria dari satu orang ke orang lain melalui gigitan nyamuk Anopheles. Oleh karena itu malaria dianggap sebagai penyakit ekologis (WHO, 1993; Ault, 1994, Clive, 2002 dan Shulman,1992).

Manusia merupakan sumber utama dari penyebaran parasit malaria. Manifestasi klinis penderita malaria ini sangat beragam, tergantung dari spesies dan


(21)

strain parasit, umur, ras, imunitas, riwayat penyakit sebelumnya, status gizi, jenis kelamin serta obat kemoprofilaksis atau kemoterapi yang telah digunakan. Gambaran karakteristik dari malaria ialah demam periodik, anemia, trombositopeni, dan splenomegali ( Warell, 2002).

Penyebaran ini juga berkaitan dengan pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan tindakan (Practice) (Notoatmojo, 2003). Selain melalui nyamuk, penularan dapat pula melalui transfusi darah secara intrauterin kepada janin yang dikandung oleh ibu yang menderita malaria ( Snow dan Gilles, 2002).

2 .2. Vektor malaria

Vektor adalah anthropoda yang secara aktif memindahkan mikroorganisma penyebab penyakit dari penderita kepada orang lain yang sehat. Arthropoda adalah metazoa yang mempunyai tubuh bersegmen-segmen. Hewan ini memiliki tonjolan tubuh (appendagis) yang berpasangan seperti antena, kaki dan sayap sehingga tubuhnya simetris (CDC, 2004 dan Soedarto, 2008).

Vektor utama malaria adalah nyamuk betina, termasuk Phylum Artropoda, Class Insecta, Ordo Diphtera, Family Culicidae, Genus Anopheles (Harbach, 1998). Genus Anopheles terdiri dari 430 spesies dan hanya 70 yang dikenal sebagai vektor, namun 40 di antaranya dianggap sangat penting di dalam menularkan malaria. Anopheles terdistribusi hampir di seluruh dunia, secara umum terdapat di daerah tropis dan subtropis, dan tidak terdapat di daerah Pasifik Timur Vanuatu termasuk Polinesia. Pada ketinggian di atas 2500 meter biasanya tidak ditemukan nyamuk Anopheles (Service dan Townson, 2002).


(22)

Jenis Anopheles tersebut meliputi Anopheles aconitus, Anopheles sundaicus, Anopheles balabasensis, Anopheles minimus, Anopheles barbirostris, Anopheles punctulatus, Anopheles maculatus dan Anopheles karwari (Kirnowardoyo, 1991; Sukowati, 2008), sedangkan jenis Anopheles yang dominan adalah jenis Anopheles aconitus, Anopheles farauti, dan Anophelessundaicus, (Lindsay, 2004).

Prilaku nyamuk Anopheles dalam kehidupannya memerlukan tempat perindukan vektor (breeding places), tempat untuk mendapatkan umpan/darah (feeding places) dan tempat untuk beristirahat (reesting places). Nyamuk Anopheles betina yang telah kawin, akan beristirahat 1-2 hari kemudian baru mencari makan kembali.

Nyamuk Anopheles untuk mencari makan dengan cara menggigit manusia. Dikarenakan sebagian besar nyamuk Anopheles bersifat krepuskular (aktif pada senja atau fajar) atau nokturnal (aktif pada malam hari) (WHO,1975 dan CDC, 2008), maka kegiatan menggigit nyamuk selalu aktif sepanjang malam, dimulai pukul 18.00 sampai dengan 06.00 dan mencapai puncaknya pada pukul 24.00 - 01.00, tetapi terdapat juga nyamuk Anopheles yang aktif di tengah malam sampai menjelang pagi hari (Depkes, 1995).

Kerentanan terhadap infeksi malaria pada spesies nyamuk tertentu, tergantung pada faktor intrinsik berbagai proses fisiologis dan biokimia yang belum banyak dipahami. Namun faktor-faktor ekologis seperti frekuensi menggigit orang, panjang umur nyamuk (longevity) betina dewasa, kepadatan vektor dan penduduk merupakan determinan yang penting dalam menentukan potensinya di dalam menyebarkan malaria (Service and Townson, 2002).


(23)

Keanekaragaman spesies Anopheles di Asia Tenggara dalam lingkungan domestik sangat tinggi. Hanya sedikit spesies yang dianggap vektor utama di seluruh daerah, sedangkan status vektor bervariasi antar daerah. Di daerah-daerah dengan kasus malaria rendah sering sekali sulit untuk mengidentifikasi spesies Anopheles sebagai vektor. Oleh sebab itu perilaku spesies Anopheles vektor yang berbeda-beda sangat menentukan status mereka. Hal ini menjadi bagian penting untuk mengevaluasi kelayakan kontrol vektor (Trung, 2005 dan CDC, 2008).

Pada beberapa nyamuk Anopheles berprilaku menggigit di dalam rumah (endophagic) sementara yang lain menggigit di luar rumah (exophagic). Setelah menggigit, beberapa nyamuk Anopheles lebih memilih untuk beristirahat di dalam rumah (endophylic) sementara yang lain lebih suka untuk beristirahat di luar rumah (exophylic) (WHO, 1975 dan CDC, 2008).

Anopheles dirus sangat anthropophylic di semua tempat kejadian, sebaliknya, tingkat anthropophylic ditunjukkan oleh Anopheles minimus tergantung pada ketersediaan ternak. Anopheles campestris, Anopheles nimpe, Anopheles sinensis, Anopheles maculatus, Anopheles aconitus menunjukkan anthropophylic yang tinggi pada desa-desa tertentu di Asia Tenggara (Trung, 2005 dan CDC, 2008).

Nyamuk Anopheles seperti Anopheles maculatus bertelur di genangan air yang terbuka atau tidak terlindung dan mendapat sinar matahari secara langsung, di kolam-kolam yang mengering, di perbukitan dan pegunungan dan sebagian ada di kolam-kolam dan sungai kecil dengan aliran air yang lambat.


(24)

sawah, rawa, tambak, genangan air pada batu sungai, genangan luapan air sungai (Atasti,1995). Selain itu Anopheles vagus lebih banyak menggigit orang di luar rumah daripada didalam rumah. Boewono, (1999) menemukan bahwa Anopheles vagus dewasa ditemukan dikandang kerbau dan sapi pada malam hari.

Menurut Boewono dan Nalim (1988), untuk Anopheles aconitus dominan menggigit di luar rumah, akan tetapi bila pada malam hari tidak ada orang di luar rumah, maka nyamuk akan masuk ke dalam rumah untuk mencari makan. Anopheles aconitus dalam mencari makan lebih bersifat heterogen dan sangat adaptif mencari makan pengganti bila hospes favorit tidak dijumpai.

Anopheles sinensis merupakan vektor skunder di daerah Sumatera, menyukai tempat sawah, sumur dan kolam yang ditepinya terdapat rumput dengan paparan sinar matahari secara langsung. Anopheles barbirostris menyukai tempat perindukan dengan air statis atau sedikit mengalir sebaliknya Anopheles minimus menyukai tempat perindukan yang aliran airnya cukup deras, di tepi sungai dan bebatuan kerikil sedangkan Anopheles letifer di tempat air yang tergenang (Depkes, 2001, Lindsai, et al, 2004).

Anopheles sundaicus lebih menyukai tempat teduh, air payau yang tergenang dan parit, sebaliknya Anopheles. hyrcanus group lebih menyukai tempat yang terbuka dan Anopheles barbirostris dapat hidup baik di tempat yang teduh maupun terang. Anopheles kochi tersebar di seluruh Indonesia kecuali Irian Jaya, jentiknya terdapat di genangan air, jernih maupun keruh pada tempat terbuka dan areal persawahan (Depkes, 2001, Lindsai, et al, 2004).

Nyamuk Anopheles dapat dinyatakan sebagai vektor bila ditemukan sporozoit di dalam kelenjar air ludah nyamuk (Garcia,2006), kebiasaan nyamuk yang menghisap


(25)

darah manusia ((antropophylic), frekwensi menghisap darah, lamanya sprogoni, kepadatan populasi (densitas) dan daya daya hidup nyamuk (Golenda, 1990; Kirnowardoyo, 1985, Harijanto, 2000). Keberadaan sporozoit dapat diperiksa dengan cara membedah kelenjar ludah nyamuk atau dengan cara Enzyme linked Immunosorbent Assay (ELISA) ( Wirtz, 1987).

Vektor tersangka di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) meliputi Anopheles sundaicus dan Anopheles subpictus, sedangkan vektor yang dominan terdapat di kota Banda Aceh adalah Anopheles sundaicus, Anopheles barbirostris, Anopheles

hyrcanus group. Di Kabupaten Aceh Besar, Anopheles sundaicus dan Anopheles

hyrcanus group (Dinkes NAD, 2008).

Di daerah Aceh Selatan vektor tersangkanya adalah Anopheles barbirostris,

Anopheles maculatus, Anopheles aconitus. Di daerah Aceh Utara, Anopheles

barbirostris, Anopheles maculatus, Anopheles sinensis sedangkan di daerah Aceh Tengah dan di Aceh Barat terdapat Anopheles sundaicus, Anopheles barbirostris, Anopheles maculatus, Anopheles sinensis (Dinkes NAD, 2008).

Di daerah Sabang beberapa vektor utamanya antara lain Anopheles sundaicus di wilayah pantai, Anopheles dirus dan Anopheles maculatus (Fahmi, 2005.) sedangkan di daerah Kabupaten Simeulue Anopheles yang paling banyak terdapat di daerah rawa dan lagun adalah Anopheles sundaicus, Anopheles maculates, Anopheles barbirostris, Anopheles vagus dan Anopheles subpictus (Maulana, 2003).

Menurut Takken (2008), Kompetensi spesies Anopheles sebagai vektor malaria sangat ditentukan oleh 4 faktor utama:


(26)

1. Lama hidup (longevity): apabila umur nyamuk cukup panjang akan lebih banyak memberi kesempatan parasit malaria untuk menyelesaikan masa inkubasi intrinsik dari gametosit sampai menjadi sprozoit.

2. Kepadatan vektor: apabila cukup tinggi akan menyebabkan jumlah atau frekuensi kontak antara nyamuk dengan manusia cukup tinggi sehingga memperbesar resiko penularan.

3. Pilihan inang atau kesukaan menggigit: nyamuk yang lebih suka menggigit manusia (antropophylic) akan menyebabkan peluang yang lebih besar terjadinya penularan parasit malaria antar manusia.

4. Kerentanan vektor terhadap infeksi parasit malaria: adanya kecocokan fisiologi antara nyamuk sebagai inang dan parasit yang menumpanginya.

2.3. Situasi Malaria di kabupaten Aceh Besar

Kabupaten Aceh Besar, adalah salah satu wilayah kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), dan merupakan titik awal dari Banda Aceh menuju daerah Aceh dan Sumatera lainnya. Kabupaten ini terletak di 5,20 – 5,80 Lintang Utara dan 95,0 – 95,80 Bujur Timur. Berbatasan langsung dengan selat Malaka dan Kotamadya Banda Aceh di sebelah Utara, Kabupaten Aceh Jaya di sebelah Selatan, kabupaten Pidie di sebelah Timur dan Samudra Hindia di sebelah Barat (BPS, 2009).

Kabupaten ini memiliki 23 kecamatan, 68 kemukiman, 5 kelurahan dan 599 desa/gampong serta mempunyai wilayah kepulauan yaitu kecamatan Pulo Aceh. Berdasarkan laporan Dinas kesehatan kabupaten Aceh Besar, beberapa daerahnya merupakan daerah endemis malaria dengan Annual Parasite Incidence (API) > 5 0/00


(27)

terdapat di 12 kecamatan dan satu kemukiman, API < 5 0/00 di 7 kecamatan dan < 1 0/00

di 1 kecamatan (Dinkes NAD, 2008).

Angka kejadian malaria pada umumnya banyak terdapat di kemukiman Lamteuba yaitu hampir 50% dari seluruh kasus malaria di Kabupaten Aceh Besar Jenis malaria yang dapat ditemukan di daerah ini adalah malaria Tertiana (Plasmodium vivax), malaria Tropika (Plasmodium falciparum) dan malaria campuran ( Plasmodium falciparum dan vivax) (Dinkes NAD, 2008 dan Christanto, 2008).

PETA API MALARIA TAHUN 2008

SELAT MALAKA

PULO ACE

PETA API MALARIA TAHUN 2008

SELAT MALAKA PULO ACE BANDA ACEH PEUKAN BADA LHOKNGA LEUPUNG BAITUSSALAM MESJID RAYA LAMTEUBA LEUMBAH SEULAWAH PIDIE SEULIMUM KOTA JANTHO KT.COTGLIE INDRAPURI DARUSSALAM LHOONG D. IMARAH

KRG. BRNA JAYA MONTASIK INGIN JAYA D. KAMAL SUKAMAKMUR SP. TIGA KT MALAKA KUTA BARO

ACEH JAYA KET :

HCI > 5 ‰ =

MCI 1 – 5 ‰= LCI < 1 ‰ =

Gambar 2. Peta Annual Parasite Incidence (API) Kabupaten Aceh Besar tahun 2008 (Sumber: Dinkes NAD, 2008).

Data malaria klinis dan dan temuan kasus malaria di Kemukiman Lamteuba, tercantum pada Gambar 3 .


(28)

37

Gambar 3. Data malaria klinis , sediaan darah diperiksa , positif malaria berdasarkan temuan kasus di wilayah Kemukiman Lamteuba tahun 2008 (Christanto, 2008)

2.4. Siklus Hidup Nyamuk

Siklus hidup nyamuk pada umumnya mengalami metamorfosis sempurna (holometabola) yaitu stadium telur, larva, pupa dan dewasa serta menyelesaikan daur hidupnya selama 7-14 hari. Tahapan ini dibagi ke dalam 2 (dua) perbedaan habitatnya yaitu lingkungan air (aquatic) dan di daratan ( terrestrial) ( Foster and Walker 2002).

Nyamuk dewasa muncul dari lingkungan aquatic ke lingkungan terresterial setelah menyelesaikan daur hidupnya secara komplit di lingkungan aquatic. Oleh sebab itu, keberadaan air sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup nyamuk, terutama masa jentik dan pupa. Tempat perindukan vektor (TPV) merupakan tempat yang dipergunakan oleh nyamuk Anopheles untuk berkembang biak untuk memulai proses siklus hidupnya hingga menjadi nyamuk ( Foster and Walker 2002).

Telur nyamuk Anopheles betina dewasa meletakkan 50-200 telur satu persatu di dalam air atau bergerombolan tetapi saling melepas. Telur Anopheles mempunyai alat


(29)

pengapung dan untuk menjadi jentik dibutuhkan waktu selama 2 sampai 3 hari, atau 2 sampai 3 minggu pada iklim-iklim lebih dingin. Pertumbuhan jentik dipengaruhi faktor suhu, nutrien, ada tidaknya binatang predator yang berlangsung sekitar 7 sampai 20 hari tergantung suhu (Service and Thowson, 2002).

Kepompong (pupa) merupakan stadium terakhir di lingkungan aquatic dan tidak memerlukan makanan. Pada stadium ini terjadi proses pembentukan alat-alat tubuh nyamuk seperti alat kelamin, sayap dan kaki. Lama stadium pupa pada nyamuk jantan antara 1 sampai 2 jam lebih pendek dari pupa nyamuk betina, karenanya nyamuk jantan akan muncul kira-kira satu hari lebih awal daripada nyamuk betina yang berasal dari satu kelompok telur. Suhu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ini berkisar 250C - 270C. Pada stadium pupa ini memakan waktu lebih kurang 2 sampai dengan 4 hari, (O’Connor & Soepanto 1979 dan Fradin, 2002).

2. 5. Siklus Hidup Parasit Malaria

Siklus hidup Plasmodium membutuhkan dua hospes yaitu vertebra (manusia) dan avertebrata (nyamuk Anopheles). Siklus hidupnya dimulai secara aseksual pada tubuh vertebrata serta siklus seksualnya pada tubuh nyamuk. Secara aseksual Plasmodium melalui 3 stadium yaitu eksoeritrositik skizogoni, stadium eritrositik skizogoni dan sporogoni yang menghasilkan bentuk invasif merozoit dan sporozoit.

Seperti pada spesies apikompleksa pada umumnya, semua stadium invasif Plasmodium mempunyai karakteristik pada organela apeknya. Secara keseluruhan, siklus hidup Plasmodium dimulai dari stadium intrasel hati, stadium intrasel eritrosit, stadium seksual dan sporogoni (Wiser, 2004).


(30)

Bila seekor nyamuk Anopheles betina menghisap darah penderita malaria, dikeluarkanlah zat antikoagulan, antihistamin, vasodilator, platelet agregasi inhibitor dan immunomodulator ( Sidjanski, 1997; Kariu, 2002 dan Baldacci, 2004). Bersamaan dengan zat tersebut keluarlah sporozoit-sporozoit dari mulut nyamuk dan masuk ke dalam luka gigitan di tubuh manusia. Sporozoit kemudian bersembunyi di dalam sel-sel parenkim hati.

Di dalam jaringan hati, sporozoit bermigrasi melalui beberapa sel-sel hepatosit dan akhirnya membentuk suatu vakuola di sekitar sporozoit (Wakelin, 1988). Keadaan ini disebut fase eksoeritrositer ( Fritsche, 2001). Pemasukan sporozoit ke dalam hepatosit diperantarai oleh ikatan antara circumsporozoit protein (CSP) pada membran sporozoit dengan protein membran hepatosit yaitu heparin sulfat proteoglikan (Sinnis and Sim, 1997).

Selama berada dalam hepatosit (stadium intrasel), sporozoit mengalami skizogoni (replikasi secara aseksual), yaitu pembelahan inti sporozoit tanpa diikuti sitogenesis. Proses skizogoni menghasilkan skizon (disebut skizon eksoeritrositik/preeritrositik) yang mengandung ribuan merozoit. Merozoit-merozoit dalam skizon eksoeritrositik selanjutnya keluar dari hepatosit menuju sistem sirkulasi (Wakelin, 1988 dan Wiser, 2004).

Selama stadium intrasel hati, Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale mengalami stadium dorman dengan membentuk hipnozoit. Hipnozoit tersebut akan reaktif setelah beberapa minggu, bulan atau tahun dan akan mengalami replikasi aseksual (Wiser, 2004).


(31)

Merozoit selanjutnya menyerbu dan masuk ke sel-sel eritrosit, dan merozoit di dalam sel darah merah menjadi tropozoit. Dari satu tropozoit akan membelah (skizogoni)) menjadi merozoit. Sel-sel darah merah pecah, merozoit keluar dan mencari sel-sel darah merah yang baru. Bersama dengan pecahnya sel-sel darah merah itu penderita merasa demam . Setelah beberapa waktu mengalami skizogoni, beberapa merozoit berubah menjadi gametosit yaitu persiapan untuk menjadi gamet jantan dan gamet betina ( Ceuser, 2009).

Apabila pada saat tersebut, darah manusia ini diisap oleh nyamuk Anopheles betina maka di dalam tubuh nyamuk, gametosit akan berubah menjadi gamet jantan (mikrogamet) dan gamet betina (makrogamet). Pembuahan terjadi karena masuknya mikrogamet ke dalam makrogamet untuk membentuk zigot, yang selanjutnya zigot berubah bentuk seperti cacing pendek disebut ookinetdan dapat menembus lapisan epitel serta membran basal dinding usus. Ditempat ini ookinet membesar disebut ookista. Di dalam ookista dibentuk ribuan sporozoit menembus dan masuk ke kelenjar ludah nyamuk. Apbaila nyamuk menggigit/ menusuk manusia maka sporozoitmasuk ke dalam darah dan dimulailah terjadinya siklus eksoeeritrositer (Soedarto, 2008; Ceuser, 2009)


(32)

Gambar 4. Siklus hidup nyamuk Anopheles 2.6. Tempat Perindukan Vektor (TPV)

Jenis air yang dimanfaatkan untuk perkembang-biakan Anopheles berbeda-beda. Beberapa habitat larva dapat hidup di kolam kecil, kolam besar dan genangan air, yang bersifat sementara atau di rawa-rawa yang permanen. Walaupun sebagian besar Anopheles hidup di habitat perairan tawar, tetapi ada beberapa spesies Anopheles berkembang biak di air asin. Anopheles tidak akan dijumpai pada air yang tercemar bahan organik seperti kotoran manusia dan hewan atau tumbuh-tumbuhan yang membusuk (Services and Towson, 2002)


(33)

Kebanyakan spesies Anopheles memiliki habitat dengan rentang relatif terbatas, seperti beberapa spesies Anopheles membutuhkan intensitas matahari yang tinggi, sementara spesies lain pada tempat yang teduh. Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan jentik nyamuk berbeda beda. Anopheles sundaicus lebih suka tempat yang teduh, sebaliknya Anopheles hyrcanus group lebih menyukai tempat yang terbuka. Anopheles barbitoris dapat hidup baik di tempat yang teduh maupun di tempat yang terang (Harijanto, 2000). Anopheles gambie di Afrika menyukai kolam air tawar atau genangan air yang kurang vegetasinya. Anopheles stephensi di India menyukai kolam besar atau rawa rawa dengan vegetasi (Services and Towson, 2002).

Aktivitas manusia banyak menyediakan terjadinya tempat perindukan yang cocok untuk pertumbuhan vektor malaria, seperti genangan air, selokan, cekungan-cekungan yang terisi air hujan, sawah dengan aliran air irigasi. Jenis perindukan ini merupakan tempat koloni vektor malaria seperti Anopheles gambie, Anopheles arabiens di Africa, Anopheles culicifacies dan. Anopheles subpictus di India, Anopheles sinensis di Cina, serta Anopheles aconitus di banyak negara Asia Tenggara ( Services and Towson, 2002)

Menurut Taken et al., (2008), tempat perindukan vektor dibagi menjadi 2 tipe yaitu:

A. Tipe Permanen a. Rawa-rawa

b. Sawah non tehnis dengan aliran air gunung c. Mata air


(34)

a. Muara sungai tertutup pasir di pantai b. Genangan air payau di pantai

c. Genangan air di dasar sungai waktu musim kemarau d. Genangan air hujan dan sawah tadah hujan

Faktor faktor yang berhubungan dengan perindukan jentik Anopheles adalah sebagai berikut:

1. Vegetasi (tumbuh-tumbuhan): Jentik Anopheles sering ditemukan pada tempat perindukan ditumbuhi tumbuhan air atau lumut/ganggang

2. Ukuran tempat perindukan: Jentik sering ditemukan pada kumpulan air yang dangkal.

3. Keadaan air: Pada umumnya Anopheles menghindari air yang tercemar polusi, hal ini berhubungan langsung dengan kandungan oksigen dalam air.

4. Predator: Terdapat hubungan antara kepadatan jentik dengan predator, seperti ikan pemakan jentik dan lain lain.

5. Sinar Matahari: Jentik Anopheles ada yang senang sinar matahari (heliofilik), tidak senang matahari (heliofobik) dan suka hidup di habitat yang terlindung dari cahaya matahari (shaded)

6. Pergerakan air: Jentik Anopheles lebih menyukai pada air yang mengalir tenang ataupun tergenang.

7. Suhu : Peningkatan suhu akan mempengaruhi tingkat perkembangan dan distribusi jentik.


(35)

8. Tegangan permukaan air: Kebanyakan jentik berada dipermukaan air supaya bisa bernafas melalui siphon atau spirakel.

9. Konstanta Hidrogen : Derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan organisma yang berkembang biak di akuatik. pH air tergantung kepada temperatur air, oksigen terlarut dan adanya berbagai anion dan kation serta jenis stadiaum organisme

10. Garam mineral: Banyak spesies Anopheles hidup di air payau atau air dengan kadar garam tinggi.

11. Makanan jentik: Ketersediaan makanan pada habitat jentik sangat dipengaruhi jenis vegetasi di tempat perindukan.

2.7. Lingkungan

2.7.1. Lingkungan Fisik

Plasmodium dan Anopheles sensitif terhadap perubahan iklim (Bush, 2003). Variasi iklim lingkungan memberikan efek bagi kehidupan vektor dan perkembangan parasit malaria (Bruce-Chwat, 1985) dan memberikan kontribusi terhadap penyebaran penyakit malaria (Lieshout et al., 2004).

Perkembangan parasit malaria dipicu adanya curah hujan di atas normal dan pergantian cuaca yang kurang stabil, seperti hujan lebat yang diselingi oleh cuaca panas. Demikian juga dengan arus air, angin, ketinggian dan sinar matahari serta lamanya waktu terang (day ligh duration) (Reiter, 2001), semuanya ini mendorong perkembang-biakan nyamuk dengan cepat (Witowelar, 2008).


(36)

2.7.1.1. Suhu

Suhu mempengaruhi tingkat multifikasi dalam tubuh nyamuk ( Reiter, 2001), demikian juga dengan perubahan iklim yang akan mempengaruhi pola penularan malaria. Kecepatan perkembangan nyamuk tergantung dari kecepatan proses metabolisma yang diatur oleh suhu. Oleh karenanya kejadian biologis tertentu seperti lamanya masa pradewasa, kecepatan pencernaan darah yang dihisap dan pematangan indung telur, frekuensi mengambil makanan atau menggigit, berbeda-beda menurut suhu (Busnia, 2006).

Peningkatan suhu akan mempengaruhi perubahan bionomik atau perilaku menggigit dari populasi nyamuk, angka gigitan rata-rata yang meningkat (biting rate), kegiatan reproduksi nyamuk berubah yang ditandai dengan perkembang-biakan nyamuk semakin cepat, masa kematangan parasit dalam nyamuk akan semakin pendek. Secara teori suhu yang tinggi menyebabkan transmisi nyamuk meningkat, kemungkinan ini dikarenakan berkurangnya masa inkubasi (Mouchet, 1998).

Sebagian besar serangga, seperti nyamuk bersifat poikilotermik. Perbedaan suhu tubuh serangga tergantung pada suhu lingkungan. Pada suhu yang panas cenderung mendorong laju pertumbuhan dan perkembangan nyamuk. Pada kisaran menguntungkan jika suhu meningkat maka akan mempercepat metabolisma nyamuk, sehingga meningkatkan laju pertumbuhan dan perkembangannya (Jepson , 1947 dalam Jean-Marc, 2004) .

Serangga memiliki waktu fisiologis yaitu jumlah panas yang dibutuhkan bagi nyamuk untuk menyelesaikan perkembangannya, karena itu masalah pemberantasan


(37)

malaria di daerah daerah tropik lebih banyak mengalami tantangan dibandingkan dengan di daerah daerah yang bersuhu lebih dingin (Kiszewski, et al., 2003).

Pada dasarnya semua spesies Anopheles, memerlukan suhu antara 210 C- 32oC, tetapi suhu yang optimum adalah 280 C untuk perkembangannya. Pada jenis Plasmodium falciparum terjadinya transmisinya pada suhu 200 C atau dalam kisaran 25 0 C – 300C, itu sebabnya Plasmodium falciparum sangat menyukai didaerah tropik. Di daerah Eropa lebih dominan jenis Plasmodium vivax pada suhu 160C ( Hoshen and Andrew, 2004). Suhu 18°C merupakan suhu yang paling rendah dibutuhkan jentik nyamuk di daerah tropis. Pada suhu dibawah 180 C atau di atas 340 C, tidak dijumpai adanya pertumbuhan nyamuk (Bayoh, 2003 dan Carnevale, 2004).

2.7.1.2. Kelembaban

Kelembaban mempengaruhi kecepatan berkembang biak, kebisaan mengggigit dan istirahat nyamuk (Harijanto, 2000). Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan penyakit malaria. Kelembaban yang optimum yang diperlukan untuk perkembang-biakan nyamuk di atas 60%. (Chwatt-Bruce, 1985).

Pada kelembaban yang rendah akan menyebabkan umur nyamuk menjadi pendek. Hal ini didasarkan pada fisiologis sistem pernapasan nyamuk yang menggunakan pipa udara yang disebut trachea dengan lubang pada dinding tubuh disebut Spirakel. Spirakel ini terbuka lebar tanpa ada pengaturan, saat kelembaban rendah akan menyebabkan penguapan air dari dalam tubuh nyamuk akibatnya cairan tubuh nyamuk menjadi kering ( Busnia, 2006).


(38)

2.7.1.3. Curah hujan

Data curah hujan diperlukan karena berkaitan dengan timbulnya perindukan nyamuk dan berpengaruh terhadap habitat, fluktuasi kepadatan vektor dan kesakitan malaria serta merupakan faktor penentu penyebaran malaria (Bates, 1970). Setiap turun hujan, akan terjadi genangan air dan ini memberikan keadaaan yang menguntungkan bagi nyamuk dengan memberinya tempat perindukan. Tinggi rendahnya curah hujan akan mempengaruhi keberadaan habitat vektor malaria (Mouchet, 1998).

Hujan bersama-sama dengan suhu dan kelembaban mendorong kelimpahan populasi vektor (Depinay, 2004 and Yazoumé, 2009). Perubahan suhu, kelembaban dan curah hujan mengakibatkan nyamuk lebih sering bertelur sehingga populasi vektor bertambah (Cook, 1996; Zell, 2004; Preston, et al., 2006). Curah hujan tidak mempengaruhi populasi vektor dewasa pada bulan yang sama, tetapi baru akan berpengaruh pada bulan berikutnya sesuai dengan siklus hidup nyamuk yang terdapat di alam.

Penularan malaria akan terjadi setelah melewati masa inkubasi ekstrinsik dan intrinsik yang keseluruhannya selama 4 minggu, maka dari pengamatan curah hujan serta didukung data kesakitan malaria, dapat diperkirakan munculnya kesakitan baru malaria (Anonimus, 1998; Paijmans, 2007). Oleh karenanya curah hujan bisa dijadikan

indikator dalam penularan malaria sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam perencanaan pengendalian malaria maupun kegiatan antisipasi kejadian luar biasa (KLB) malaria (Bates, 1970).


(39)

2.7.1.4. Ketinggian

Ketinggian dan suhu sangat berkorelasi dengan kejadian malaria. Diperkirakan apabila kenaikan ketinggian setiap 100-meter kenaikan ketinggian maka menyebabkan suhu turun sebesar 0,5 0 C. Parasit sangat peka terhadap penurunan suhu karena sporogoni tidak dapat berlangsung. Hal ini terlihat pada spesies Anopheles gambie yang menghilang ketika suhu turun mencapai 5 0 C. Sehingga ketinggian dapat digunakan sebagai penanda (marker) endemisitas atau kompleksitas risiko penyakit (Snow and Gilles, 2002)

2.7.1.5. Angin

Angin akan mempengaruhi jarak terbang nyamuk. Jarak terbang nyamuk (flight range) dapat diperpendek atau diperpanjang tergantung kepada arah angin. Anopheles betina dewasa tidak ditemukan lebih dari 2-3 km dari lokasi tempat perindukan vektor (TPV) dan mempunyai sedikit kemampuan untuk terbang jauh, namun angin kencang dapat membawa Anopheles terbang sejauh 30 km atau lebih ( Service dan Thowson, 2002).

Jarak terbang merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam upaya nyamuk vektor malaria mencari tempat untuk istirahat, mencari makanan dan berkembang biak. Jarak terbang harus diperhatikan apabila pemberantasan penyakit malaria dilaksanakan. 2.7.2. Lingkungan Kimia

Lingkungan kimia yang paling mendukung terhadap kelanjutan perkembang-biakan vektor malaria adalah pH, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologi (BOD), CO2, dan kedalaman air. pH mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan


(40)

terlarut dan adanya berbagai anion dan kation serta jenis stadium organisme (Takken dan Knols 2008).

Kebutuhan oksigen biologi (BOD) merupakan parameter kualitas air yang penting. BOD adalah banyaknya oksigen yang digunakan bila bahan organik dalam suatu volume air tertentu yang di rombak secara biologis. Air dengan BOD tinggi dan tidak mempunyai kemampuan menambah oksigennya, jelas tidak dapat mendukung kehidupan organisme yang membutuhkan oksigen (Salmin, 2005).

Kandungan oksigen terlarut erat kaitannya dengan CO2, sehingga apablila

kandungan oksigen yang terlarut sangat rendah akan mengurangi jumlah jenis invertebrata yang berukuran besar, sedangkan cacing dan jentik nyamuk di dapatkan dalam jumlah berlimpah. ( Barus, 2004).

Kesadahan menggambarkan garam alkali tanah. Anopheles sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya berkisar antara 12 0/00 – 180/00 dan tidak

dapat berkembang biak pada garam lebih dari 40 0/00 (Prabowo, 2004).

2.7.3. Lingkungan Biologi (Flora dan Fauna)

Berbagai jenis tumbuh-tumbuhan dapat mempengaruhi kehidupan larva nyamuk karena dapat menghalangi sinar matahari yang masuk atau melindungi dari serangan mahluk hidup lain. Beberapa jenis tanaman air merupakan indikator bagi jenis nyamuk tertentu. Tanaman air seperti lumut perut ayam (Heteromorpha, sp) dan lumut sutera (Enteromorpha, sp) kemungkinan di Lagun tersebut ada larva Anopheles sundaicus. Beberapa jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah


(41)

(Gambusia affinis), ikan Guppi (Pocillie reticulate), Nila (Oreochomis niloticus) dan lain lain akan mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah ( Peter dan Gilles , 2002). 2. 8. Diagnosis Malaria

Diagnosis malaria pada umumnya didasarkan pada manifestasi klinis, uji imunoserologis dan ditemukannya parasit Plasmodium di dalam penderita malaria. Dikarenakan manifestasi klinis malaria tidak khas dan menyerupai penyakit infeksi lain seperti demam dengue dan demam tifoid, sehingga menyulitkan para klinisi untuk mendiagnosis malaria dengan hanya mengandalkan pengamatan manifestasi klinis saja, untuk itu diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis malaria sedini mungkin. Hal ini penting mengingat infeksi oleh Plasmodium, terutama Plasmodium .falsiparum dapat berkembang dengan cepat (Purwaningsih, 2000)

Diagnosis demam malaria secara garis besar digolongkan menjadi 2 kelompok yaitu pemeriksaan mikroskopis, termasuk menggunakan Quantitative Buffy Coat (QBC) dan uji imunoserologis untuk menditeksi antigen spesifik atau antibodi spesifik terhadap Plasmodium dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR).

Penelitian terbaru telah mengembangkan metode diagnostik yang dapat diperbandingkan dengan metode yang lazim (konvensional). WHO bersama para ilmuwan, ahli laboratorik, serta peklinik mengembangkan alat uji diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test/RDTs) yang mudah dilakukan, tepat, sensitif, dan sesuai biaya ( cost-effective). Rapid test merupakan cara mendeteksi antigen malaria dengan dipstick. Hasil rapid test dapat diketahui dalam waktu 10 menit dan tidak memerlukan mikroskop.


(42)

Plasmodium falciparum dan pLDH (parasite Lactate Dehydrogenase) sebagai indikator infeksi dari Plasmodium vivax (Makler 1998 dan Mason, 2002).

Beberapa kit antigen yang sudah tersedia saat ini antara lain antigen histidine rich protein-2 (HRP-2), enzim parasite lactate dehidrogenase (p-LDH) dan antigen pan-malarial. Antigen HRP2 (histidine rich protein 2) dihasilkan oleh trofozoit dan gametosit muda P. falsiparum. Jenis pemeriksaannya antara lain PF test, ICT test dan paracheck.

Penelitian di berbagai negara memperlihatkan sensitivitas rapid test untuk antigen HRP2 antara 84-100% dan spesifisitas 82,5-97%. Salah satu kekurangan tes antigen HRP2 adalah hasil positif palsu dari orang yang sudah berhasil diobati walaupun parasitnya tidak ditemukan lagi secara mikroskopik dalam darah. Penyebabnya antara lain faktor rheumatoid, sisa antigen HRP2 yang diproduksi stadium gametosit muda atau mungkin stadium aseksual P. falsiparum tidak seluruhnya tereliminasi oleh obat yang diberikan (Sutanto, 2005).

Enzim parasite Lactate Dehidrogenase (p-LDH) diproduksi oleh bentuk aseksual dan seksual keempat spesies Plasmodium. Kelemahan pemeriksaan ini adalah kurang sensitif bila jumlah parasit <100/ul darah dan tidak dapat mendeteksi infeksi campur (Sutanto, 2005).

2.8.1. Manifestasi klinis

Pada saat melakukan anamnesa perlu ditanyakan terlebih dahulu tentang gejala penyakit dan riwayat bepergian ke daerah endemik malaria. Ditemukannya demam periodik dimulai dari perode dingin, periode panas dan periode berkeringat. Trias malaria ini secara keseluruhan dapat berlangsung 6-10 jam, lebih sering terjadi pada infeksi


(43)

Plasmodium vivax, pada Plasmodium falsiparum, demam menggigil dapat berlangsung berat ataupun tidak ada. Periode tidak panas berlangsung 12 jam pada Plasmodium

falsiparum, 36 jam pada Plasmodium vivax dan Plasmodium Ovale, sedangkan

Plasmodium Malariae berlangsung sampai 60 jam (Harimasuta, 1988 dan Cook, 1988). Pada anak anak dengan usia kurang dari 5 tahun yang ter infeksi Plasmodium falsiparum bersifat atypical dan lebih ganas, suhu badan dapat mencapai 37,50 – 41 0 C, kejang sampai dengan koma dan dapat menyebabkan kematian (Lubis, 2009).

2.8.2. Splenomegali

Dijumpainya riwayat demam dengan anemia dan spelenomegali merupakan petunjuk untuk diagnosa infeksi malaria khusus di daerah endemik. Splenomegali merupakan gejala khas malaria kronik. Limpa mengalami kongesti, menghitam, dan menjadi keras karena timbunan pigmen eritrosit parasit dan jaringan ikat yang bertambah ( Baird, et al., 1973 dan Sandjaya, 2007).

Pemeriksaan indeks limpa (spleen index, SI) untuk melihat prosentase penduduk yang memiliki pembesaran limpa dalam suatu masyarakat. Bila disuatu daerah terdapat spleen rate pada anak anak dan orang dewasa kurang dari 10%, maka daerah tersebut dinamakan hipoendemik ( Baird, et al., 1973 dan Sandjaya, 2007).

Daerah mesoendemik ditentukan bila spleen rate pada anak dan orang dewasa antara 11-50% yang berarti bahwa daerah tersebut memiliki transmisi yang agak tinggi dan imunitas penduduknya terhadap malaria tidak terlalu tinggi.

Pada daerah yang termasuk hipoendemik dan mesoendemik, wabah malaria sering terjadi sebagai epidemi musiman. Sedangkan suatu daerah yang dikatakan hiperendemik


(44)

penduduknya tidak cukup untuk melindungi diri mereka terhadap infeksi malaria (Baird, et al., 1973 dan Sandjaya, 2007).

Katagori daerah holoendemik dinyatakan sebagai daerah dengan spleen rate pada anak anak di atas 75% dan pada orang dewasa rendah, ini menandakan bahwa daerah yang baru terserang malaria dan imunitas penduduk dewasanya masih rendah ( Baird, et al., 1973 dan Sandjaya, 2007).

2.8.3. Anemia

Anemia lebih sering dijumpai di daerah endemik pada anak anak kurang dari 2 tahun (Imbert, 1997). Anemia juga terjadi pada ibu hamil (Bardaji, et al., 2008). Derajat anemia tergantung pada spesies penyebab, yang paling berat adalah anemia karena Plasmodium falciparum. Anemia pada malaria terjadi karena lisis sel darah

merah. Hal ini disebabkan parasit yang merusak eritrosit, hambatan eritropoesis yang sementara, hemolisis karena pross complement mediated immune complex, eritrofagositosis dan penghambatan pengeluaran retikulosit (Warell, 2002).

2.8.4. Pemeriksaan Penunjang : Mikroskopis

Pemeriksaan laboratorium demam malaria pada penderita dengan melakulan pemeriksaan darah tepi secara mikroskopis merupakan standar emas (gold standard). Pemeriksaan mikroskop dilakukan dengan membuat tetes tebal (thick-smear) atau dengan hapusan darah tipis (thin-smear). Tetes tebal dilakukan untuk menentukan diagnosis malaria secara cepat, tetapi belum dapat ditentukan spesies parasit Plasmodium. Hapusan darah tipis dapat digunakan untuk menentukan spesies parasit penyebab malaria.

Asal sediaan darah dapat berasal dari kegiatan Active Case Detection (ACD) yaitu pencarian penderita seacara aktif oleh petugas-petugas kesehatan; sediaan darah yang


(45)

berasal dari kegiatan Passive Case Detection (PCD) yang merupakan pencarian penderita secara pasif (menunggu datangnya penderita) oleh petugas kesehatan di rumah sakit dan Puskesmas; sediaan darah yang berasal dari kegiatan Contact survey dan follow up dan sediaan darah yang berasal dari kegiatan survei malaria seperti malariometric survey dan mass blood survey (Depkes, 2006).

Diagnosis defenitif malaria ditegakkan dengan ditemukannya parasit Plasmodium dalam darah penderita. Pemeriksaan mikroskopis yang dilakukan satu kali dan memberikan hasil negatif, tidak menyingkirkan diagnosis demam malaria. Untuk itu diperlukan pemeriksaan serial dengan interval antar pemeriksaan satu hari.

Sediaan darah tebal terdiri dari tumpukan sediaan darah merah , volume darah yang diambil yaitu darah kapiler (finger prick) sebanyak 1,0 mikroliter untuk sediaan darah tipis dan 3,0-5,0 mikroliter untuk sediaan darah tebal. Mikroskopis sediaan darah tebal dan tipis merupakan pemeriksaan yang terpenting. Interpretasi pemeriksaan miroskopis yang terbaik adalah berdasarkan perhitungan dengan identifikasi parasit yang tepat (Warrell, 2002)

2. 9. Kontrol malaria

2.9.1. Kontrol malaria dalam konteks Pengelolaan lingkungan

Pengelolaan adalah upaya mengorganisasi, merencanakan, melaksanakan, memantau, mengevaluasi dan pengendalian/kontrol atau sebagai upaya sadar dan terpadu untuk mencapai suatu tujuan yang disepakati bersama (Terry, 1997 dan Soemarwoto, 1985).


(46)

perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain sedangkan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pemgembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. (Bab I Pasal 1 butir 1 dan 2 UU tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UUPLH).

Pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan dan asas manfaat, bertujuan untuk mewujudkan

pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Bab II Pasal 3 UU tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UUPLH).

Salah satu sasaran Undang Undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup. Ketidakseimbangan ini akan mengganggu suatu ekosistem, antara lain timbulnya penyakit menular yang dapat mengganggu kesehatan masyarakat. Kesehatan merupakan modal dasar pembangunan manusia seutuhnya dan sebagai tonggak awal pembangunan di segala bidang, karena itu mutu lingkungan dan hakekat pembangunan adalah determinan utama kesehatan (Widiati, 2001).

Diantara penyakit menular yang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan antara lain adalah malaria. Penyakit ini ditularkan melalui vektor (media perantara) melalui gigitan nyamuk Annopheles. Penanggulangan problem penyakit ini tidak saja berupa pendekatan kuratif tetapi juga menerapkan pengelolaan berbasis lingkungan baik di dalam pencegahan maupun pengendaliannya dengan menekankan kegiatan


(47)

pemberantasan pada media transmisi dari plasmodium yaitu nyamuk Anopheles dan mencegah timbulnya habitat nyamuk (Anies, 2006).

World Health Organization, (WHO), menyatakan kegiatan ini mencakup

perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, perawatan dan pengawasan terhadap kegiatan dengan memodifikasi dan atau memanipulasi faktor lingkungan atau hubungannya dengan manusia dengan cara mencegah atau mengurangi perindukan vektor serta menurunkan kontak manusia dan vektor (WHO, 2008).

Modifikasi lingkungan dilakukan dengan pengelolaan lingkungan yang meliputi perubahan fisik secara permanen terhadap tanah, air dan tanaman yang ditujukan untuk mencegah, menghilangkan atau mengurangi habitat vektor tanpa menyebabkan dampak yang merugikan kualitas lingkungan. (WHO, 1984; Peter dan Gilles, 2002).

Manipulasi lingkungan merupakan bentuk pengelolaan lingkungan yang meliputi beberapa kegiatan berulang yang direncanakan, ditujukan dengan menghasilkan kondisi sementara yang tidak disukai untuk perkembang-biakan vektor pada habitatnya sedangkan modifikasi atau manipulasi kebiasaan dan prilaku manusia merupakan bentuk pengelolaan lingkungan yang bertujuan menurunkan kontak manusia dengan vektor. (Peter dan Gilles, 2002).

Melalui perencanaan, perawatan, disain dan tindakan yang tepat program pengelolan lingkungan dapat mencegah, mengurangi atau menghilangkan tempat perkembanganbiakan vektor. Adapun keunggulan menggunakan pengelolaan lingkungan dengan kontrol vektor antara lain:


(48)

2. Efisien dan dapat digabungkan dengan penyakit tular vektor yang berkaitan dengan air sebagai tempat berkembang biak.

3. Bersifat jangka panjang

4. Relatif berbiaya rendah dalam jangka panjang

5. Dapat diintegrasikan dengan program pengembangan infrastruktur 6. Mengurangi dampak lingkungan

7. Aplikasi pengelolaan lingkungan relatif aman bagi pekerja dibandingkan dengan pekerja yang menggunakan kontrol vektor dengan insektisida

2.9.2. Intervensi pengelolaan terintegrasi berdasarkan rekomendasi WHO 2.9.2.1. Kebijakan, strategi dan target kontrol malaria

Kontrol malaria tidak dapat hanya dikampanyekan saja, tetapi harus dijadikan suatu kebijakan program, dilakukan dengan mudah dan praktis serta dapat dipertahankan dalam waktu yang lama. Kebijakan dan Program kontrol malaria diintensifkan melalui pendekatan Roll Back Malaria (RBM) yang dioperasionalkan dalam Gerakan Berantas Kembali (Gebrak) Malaria sejak tahun 2000, yaitu (1) strategi deteksi dini dan pengobatan yang tepat, (2) peran serta aktif masyarakat dalam pencegahan malaria dan (3) perrbaikan kapasitas personil kesehatan yang terlibat.

Tujuan utama di dalam kebijakan strategi pengobatan malaria adalah untuk mengurangi morbiditas dan kematian dengan cara melakukan tindakan yang cepat dengan menggunakan pengobatan yang adekuat sehingga komplikasi akibat penyakit malaria dapat dicegah, mengantisipasi terjadinya anemia dan dampak negatif malaria selama kehamilan serta menghambat transmisi malaria dengan cara mengurangi reservoir dan infektivitas parasit malaria. (WHO, 2009).


(49)

2.9.2.2. Kegiatan intervensi

Sebagai panduan untuk melakukan intervensi, WHO telah merekomendasikan kebijakan, target dan sasaran untuk kontrol malaria meliputi melakukan diagnosa dan pengobatan yang tepat, mencegah gigitan nyamuk dengan melakukan kontrol vektor malaria dan pencapaian target dan sasaran (WHO, 2009). Kegiatan intervensi terintegrasi terangkum pada tabel 1.

Tabel . 1 Prinsip dasar intervensi kontrol malaria

No Jenis intervensi Efek

1. PERLINDUNGAN PRIBADI

Repelen (Mosquitoes repellent)

Kelambu berinsektisida ( Insecticide-treated mosquito nets)

Pakaian pelindung (Protective clothing)

Treated clothing House screening House siting

Memakai Aerosol Piretroid

Fumigasi antinyamuk (antimosquito fumigant)

Memakai pembatas hewan (deviation to animals)

Pengurangan kontak nyamuk dengan manusia

2 KONTROL VEKTOR

Modifikasi dan manipulasi Lingkungan Reduksi tempat perindukan vektor Larvasida kimia dan biologi Reduksi kepadatan vektor

Insecticide Outdoor Space spraying Reduksi kepadatan vektor

Indoor residual insecticide Spraying Reduksi longevity populasi vektor

3 ANTIPLASMODIUM

Penegakan Diagnosa Dini dan pengobatan kasus malaria akut

4 KEMOPROFILAKSIS DAN PENEKANAN INFEKSI MALARIA

Pengobatan radikal

Pengobatan massal (Epidemik)

Eliminasi parasit malaria dan pencegahan transmisi

5 PARTISIPASI SOSIAL

Penyuluhan kesehatan Motivasi untuk pribadi dan perlindungan keluarga Mobilisasi sosial Aksi Simulasi komunitas untuk kontrol dan

pencegahan

6 KOMUNIKASI,INFORMASI DAN EDUKASI


(50)

7. Intervensi seluruh program 1. Pengelolaan kasus malaria 2. Pengelolaan vektor terintegrasi 3. Pegumpulan informasi geografis 4. Hubungan masyarakat, pendidikan kesehatan dan

5. Koordinasi teknik operasional, termasuk kolaborasi intra dan intersektoral baik dalam negeri dan luar negeri

6. Monitoring dan evaluasi

7. Penilaian independen sebagai ukuran pencapaian

8. Mobilisasi sumberdaya 9. Penguatan sistem kesehatan.

2.9.2.2. 1. Diagnosis dan pengobatan.

WHO telah membuat beberapa modifikasi terhadap rekomendasi kebijakan kontrol malaria antara lain :

1. Melakukan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan ada tidaknya parasit malaria secara mikroskopis atau dengan cara diagnostik cepat (Rapid test: RDTs) sebelum menetapkan pengobatan

2. Apabila laboratorium untuk pemeriksaan parasit tidak dapat diakses, maka perlu dipertimbangkan pemberian pengobatan berdasarkan pengamatan klinis.

3. Dihydroartemisinin-piperaquine (ACT generasi kelima) telah ditambahkan sebagai pilihan pengobatan.

4. Pemberian primakuin dosis tunggal dianjurkan di samping ACT sebagai obat anti-gametosit terhadap Plasmodium falsiparum malaria, terutama sebagai komponen dari suatu pra-eliminasi atau program eliminasi, dengan mempertimbangkan risiko hemolisis pada penderita yang kekurangan glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD). Walau demikian WHO, tetap menganjurkan


(51)

dan mewaspadai untuk memonitor efikasi obat antimalaria dan menghentikan penggunaan monoterapi pada pengobatan malaria tanpa komplikasi.

2.9.2.2. 2. Pencegahan malaria melalui kontrol vektor

Kontrol vektor malaria ini dimaksudkan untuk melindungi individu terhadap gigitan nyamuk yang infektif, menurunkan populasi nyamuk, mencegah vektor menjadi infektif dan pada tingkat masyarakat berguna untuk mengurangi intensitas transmisi malaria secara lokal (Peter dan Gilles, 2002; WHO, 2009).

Untuk pencegahan terhadap vektor dengan melakukan kontrol terhadap nyamuk Anopheles. Kontrol malaria agar efefektif, efesien dan berkesinambungan dilakukan dengan pendekatan pengelolaan terintegrasi. WHO telah merekomendasikan untuk kontrol malaria terintegrasi seperti yang terangkum pada Tabel 1 ( Peter dan Gilles, 2002; WHO, 2009).

2.9.2.2. 2. 1. Pencegahan Individual (Protection individual)

Global Malaria Programme (GMP) merekomendasikan pemberian secara gratis ataupun disubsidi kelambu celup insektisida atau insecticide treated net (ITN) dan kelambu celup insektisida yang tahan lama ( Long-lasting insecticidal nets) (LLINs) pada semua orang-orang yang tinggal di daerah-daerah yang berisiko terjanya penularan malaria dan menjadi target dalam pencegahan malaria, termasuk anak-anak dan wanita hamil. (WHO, 2009)


(52)

dan puncak gigitan vektor setelah jam 22.00, penduduk tidak tidur sampai larut malam dan penduduk tidak berada di luar rumah pada malam hari serta masyarakat mau menggunakan kelambu (WHO,2009)

2.9.2.2. 2. 2. Reduksi longevity vektor

Tujuannya adalah mencegah nyamuk menjadi infektif sehingga tidak terjadi penularan. Kegiatan dilakukan dengan penyemprotan indoors residual spraying (IRS) terdiri dari aplikasi insektisida ke permukaan bagian dalam rumah di mana nyamuk

endophylic Anopheles sering beristirahat setelah mengggit manusia, dengan

menggunakan alat semprot yang terstandar untuk kontrol malaria.

Bukti ilmiah menunjukkan bahwa IRS efektif dalam mengendalikan transmisi malaria. Beberapa bukti pengamatan menunjukkan bahwa kombinasi dari IRS dan LLIN lebih efektif dibandingkan intervensi tunggal, terutama jika kombinasi ini untuk membantu meningkatkan keseluruhan cakupan kontrol vektor.

Penyemprotan akan efektif apabila penularan terjadi di dalam rumah, vektor istirahat (resting) di dinding, penduduk menerima penyemprotan dan tidak berada di luar rumah serta penyebaran rumah yang tidak terpencar sehingga tidak menyulitkan operasional penyemprotan.

2.9.2.2. 2. 3. Modifikasi dan manipulasi lingkungan

Bertujuan untuk mengurangi kepadatan vektor dengan melakukan modifikasi dan manipulasi lingkungan antara lain:

a. Penimbunan TPV: meniadakan meniadakan genangan air yang potensial sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Anopheles. Luas TPV terbatas dan mampu dikelola secara tekhnis maupun ekonomis dan letaknya dalam radius jarak terbang


(53)

nyamuk terhadap pemukiman penduduk (2 km). Untuk TPV yang luas dilaksanakan pada musim kemarau dan TPV yang sempit pada saat terbentuknya genangan air. b. Pengeringan TPV : merupakan kegiatan untuk menghilangkan TPV dengan cara

mengalirkan air hingga kering. Luasnya terbatas dan mampu dikelola secara teknis maupun ekonomis, letaknya dalam radius jarak terbang nyamuk terhadap pemukiman penduduk (2 Km).

c. Pembersihan TPV : kegiatan yang dilakukan untuk membersihkan lumut dan tanaman air dari TPV, luasnya terbatas dan bias dikelola. Letaknya dalam radius jarak terbang nyamuk terhadap pemukiman penduduk (2 Km).

d. Pengeringan sawah secara berkala: adalah kegiatan mengeringkan sawah secara berkala dan serempak di hamparan sawah sebagai TPV. Lokasi TPV pada hamparan sawah dalam radius jarak terbang nyamuk (2 km). Dilakukan pada waktu padi berumur 2 minggu sampai dengan menjelang panen.

2.9.2.2. 2. 3. Larvaciding

Bertujuan untuk menekan populasi larva nyamuk Anopheles. Dapat dilakukan secara kimia dan biologi. Bila larvaciding secara kimia dapat dilakukan pada TPV yang potensial , terukur dan terjangkau untuk diaplikasikan, tidak ada vegetasi yang menghalangi aplikasi larvasida, bukan tipe TPV yang kecil dan menyebar sehingga suulit diidentifikasi dan diintervensi, sedangkan secara biologi seperti Penebaran ikan pemakan jentik seperti ikan kepala timah ( Aplocheilus panchax) dan ikan nila merah (Oreochromis nilaticum) pada TPV yang potensial dan airnya permanen.


(1)

mikroskopis, Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 3, Juli: 118-122

Makler MT., RC piper and W. Milhous., Lactate Dehydrogenase and diagnosis of Malaria. Parasitol. Today 1998, 14:376–7. dalam Arum, et al., 2006. Uji Diagnostik Plasmodium Malaria Menggunakan metode Imunokromatografi diperbandingkan dengan pemeriksaan mikroskopis, Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 3, Juli 118-122

Maire,N. 2009. Estimating parameters for mathematical models of malaria epidemiology. BOINC workshop. Swiss Tropical Institute malaria control.net.

Mouchet J, Manguin S, Sircoulon J, Laventure S, Faye O,Onapa AW, Carnevale P, Julvez J, Fontenille D. Evolution of malaria in Africa for the past 40 years: impact of climatic and human factors. J Am Mosq Control Assoc 14:121–130 (1998). McKenzie, F.E 2000. Why Model Malaria. Reviews. Parasitology Today,Vo.16: no.12. McKenzie, F.E and Samba ,E.M. 2004. The Role of mathematical modeling in evidence

based malaria control. Am. J. Trop. Med. Hyg., 71(2 suppl), 2004, pp. 94-96

Marsaulina, I. 2002. Potensi persawahan sebagai habitat larva nyamuk vektor malaria (Anopheles spp.) Serta kemungkinan pengendaliannya melalui pola irigasi berkala suatu eksperimen di Desa Sihepeng Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara. Disertasi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, UI.Jakarta.

Maulana. T. 2003. Beberapa Aspek Lingkungan Yang Berhubungan Dengan Angka Kejadian Malaria di Desa Suka Jaya, Suka Karya, Suka Makmur dan Air Dingin, Kecamatan Simeulue, Kabupaten Simeulue, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tesis. Universitas Sumatera Utara.

Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan prilaku kesehatan. Cet.I. Rineka Cipta, Jakarta O’Connor, CT dan Soepanto, A. 1994. Kunci bergambar Anopheles betina. Ditjen PPM

& PLP, Depkes RI. Jakarta.

Pattanayak, S. 2003. Malaria,Deforestation and Poverty. A call for Interciplinary Policy. Science Research Triangle Institute.

Purwaningsih, S. 2000. Diagnosis malaria, dalam Harijanto, PN. 2000. Malaria:Epidemiologi, patogenesis, manifestasi klnis dan penanganan. Penerbit buku kedokteran, EGC.


(2)

Prabowo A. (2004). Hubungan Pekerja yang Menginap di Hutan dengan Kejadian Malaria di Kecamatan Cempaga, Kabupaten Kota Waringin Timur, Kalimantan Tengah .Thesis. Jakarta: Pascasarjana IKM Universitas Indonesia.

Preston, B. Suppiah, R. Macadam, I. and Bathols, J. (2006) Climate Change in the Asia/Pacific Region. CSIRO Marine and Atmospheric Research.

Rinidar dan Mawengkang, M. 2008. Modeling the dynamics of malaria-mosquito-human interactions as a way to control the outbreak. Proceeding. International Conference on Environmental research and technology (ICERT). Penang, Malaysia.

.Reiter, P. 1998. Global warming and vector-borne disease in temperate regions and at high altitude. Lancet 351:839–840 (1998

Rusmiarto, S. 2005. Bionomik Anopheles dan Pembuktian Vektor pada Daerah Endemik Malaria diJawa Tengah Indonesia. NAMRU-2; Dinas Kesehatan Purworejo Jawa Tengah; Badan Penelitian dan PengembanganKesehatan. Jakarta

Raharjo, M. Sutikno, S.J., mardihusodo. 2003. Karakteristik Wilayah Sebagai Determinan Sebaran Anopheles aconitus di Kabupaten Jepara. dalam First Congress of Indonesia Mosquito Control Association in the Commemoration of Mosquito day. Jogjakarta. Hal 56-64.

Salmin. 2005. Oksigen terlarut (DO) da kebutuhan oksigen biologi (BOD) sebagai salah satu indikator untuk menentukan kualitas perairan. Oseona, Volume xxx nomor 3, 21-26

Sawyer, C.N and McCarty,M.C. 1978. Chemistry for Environmental Engineering.3nd ed. Mc Graw Hill Kogakusha Ltd.

Soekirno, M. Bang J.H., Sudomo., Pamayun C. P., and G.A. Fleming. 1983. Bionomics of An.sundaicus and other Anophelines Assoiciated with Malaria Coastal Areas of Bali (Indonesia). Sirkuler WHO/VBC/83.885.

Snow, R.W and Gilles, HM 2002. The malaria Parasite: Essential Malariology. Arnold. Oxford University Press, New York.

Saefullah.1983. Studi kualitas air kali Sunter ditinjau dari sifat fisika, kimia dan keragaman jenis hewan bentosnya. Tesis. Fakultas Pascasarjana, IPB Bogor. Sanjaya, B. 2007. Parasitologi Kedokteran. Prestasi Publisher, Jakarta..

Sachs, J & Pia Malaney. 2002. The economic and social burden of malaria. Nature vol 415.7. (680-685)


(3)

Sidjanski, S. P., J. P. Vanderberg, and P. Sinnis. 1997. Anopheles stephensi salivary glands bear receptors for region I of the circumsporozoite protein of Plasmodium falciparum. Mol. Biochem. Parasitol. 90:33-41.

Sinnis, P., P. Clavijo, D. Fenyo, B. T. Chait, C. Cerami, and V. Nussenzweig. 1994. Structural and functional properties of region II-plus of the malaria

circumsporozoite protein. J. Exp. Med. 180:297-306.

Sinnis, P and Ejigiri, I. P.2009. lasmodium sporozoite-host interactions from the dermis to the hepatocyte. Curr Opin Microbiol. 12(4):401-7.

Sabatinelli, G., Romi, R., Ralamboranto. L and Majori, P. 1996. Laboratory of Parasitology, Istituto Superiore di Sanita, Rome, Italy; Centre Nationale de Recherche sur l'Environnnement, Antananarivo, Madagascar Am. J. Trop. Med. Hyg., 55(3), pp. 278-281

Sukowati, S ;Shinta dan Herri, A. 2005. Daur Hidup dan Habitat Pradewasa Anopheles. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan,Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta

Sukowati, S. 2008. Hubungan perubahan lingkungan dengan penyakit tular vektor.Puslitbang Ekologi Kesehatan Badan Litbang Kesehatan, Jakarta

Shulman T, Stanford, J.P. Phair, M.D. Sommers, M. Herbert. 1992. Dasar Biologi dan Klinis Penyakit Infeksi. Ed.4. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Sushanti, N. 1999. Fauna Anopheles di Daerah Bekas Pantai Mangrove Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Lampung Selatan. Buletin Penelitian Kesehatan 26 (1).

Soedarto. 2008. Parasitologi klinik. Cet.I. Airlangga University Press, Surabaya.

Service, M.W. 1976. Mosquito ecology: Field sampling methods. Applied Science Publisher LTD, London.

Snow, R.W and Gilles, H.M. 2002. The Epidemiology of malaria In Essential Malariology, Arnold Publisher, New York.

Service and Townson, 2002. The Anopheles Vector: Essential Malariology. Arnold Oxford University Press, New York

Seyoum, A. 2006. Mosquito Ecology & Research into Vector Control Methods. Centre for National Health Development in Ethiopia.

Toure, Y,T; Oduola, A.M.J and Morel, M.C. 2004. TRENDS in Parasitology. Vol.20 No.3.


(4)

Tarumengkeng, RC. 2001. Dinamika Populasi. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Trung, HF; Bortel WV; Sochantha, T: Keokenchanh, K: Briët OJ and Coosemans, M, 2005. Behavioural heterogeneity of Anopheles species in ecologically different localities in Southeast Asia: a challenge for vector control. Trop Med Int Health. 10(3):251-62.

Takken, W and Knols, B.G.J. 2008. Malaria vector control:Current and future strategies. Laboratory of Entomology, Wageningen University and Research centre. Netherland.

Terry, 1997 dan Soemarwoto, 1985 dalam Utama, I. 2008. Konsep institusi pengelolaan lingkungan hidup ekosistem kawasan Danau Toba. Disertasi. Sekolah Pascasarna Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Universitas Sumatera Utara. Warell, DA; Turner, G.DH and Francis, N. 2002. Pathology and pathophysiology of

human malaria. Essential Malariology. Fourth Edition.Oxford University Press. Wirtz, R. A., F. Zavala, Y. Charoenvit, G. H. Campbell,T. R. Burkot, I. Schneider, K. M.

Esser, R. L. Beaudoin,and R. G. Anders. 1987. Comparative testing of

monoclonal antibodies against Plasmodium falciparumsporozoites for ELISA development. Bull. World Health Org. 65: 39Ð45.

Wiser, M.F. 2004. Plasmodium life cycle. http://www.tulane.edu/˜wiser/malaria/ defs.html. 10 Oktober 2004.

 

Wakelin, D. 1988. Immunity to Parasites. How animal Control Parasitic Infection. Chapman and Hall. New York.

Widiati, S. 2001. Planet kita, Kesehatan Kita. Laporan Komisi WHO mengenai kesehatan dan Lingkungan. Penyunting. H. Kusnanto. Gajah Mada University Press,

Yogyakarta.

Wardoyo, S.T.H. 1978. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. Dalam: Prosiding Seminar Pengendalian Pencemaran Air ( eds Dirjen Pengairan Dep.PU).

WHO. 1975. Manual on practical entomology in malaria: Part I Vector Bionomics and organization of Anti-Malaria activities. Geneva.


(5)

WHO. 1984. Environmental Management for vector control in rice fields. Land and Water Development. Division. Food and Agriculture Organization of the United Nations .FAO-WHO. Roma.

WHO, 1996. Vector habitats Agricultural Development and Vector-borne Diseases Training and Information Materials on Vector Biology and Control, Slide Set SeriesPrepared by WHO in collaboration with FAO, UNEP, and UNCHS EEM Secretariat, WHO, Geneva

WHO, 2008. Malaria vector control options. Global Fund Round Malaria Rd.8. Johannesburg, South Africa.

WHO.2008. Global malaria control and elimination: report of a technical review. World Health Organization, Geneva.

WHO. 2009.World Report malaria. World Health Organization. Geneva. White NJ: Malaria. 1996. Mansons Tropical Diseases 12 th

Ed.. WB Saunders Company, London, 1996, 1087-.1165.

Yazoumé Yé, Moshe Hoshen, Catherine Kyobutungi, Valérie R. Louis, and Rainer Sauerborn . 2009. Local scale prediction of Plasmodium falciparum malaria transmission in an endemic region using temperature and rainfall VGlob Health Action. 2009 Nov 11;2. doi: 10.3402/gha.v2i0.1923.

Zell R. 2004. Global climate change and the emergence/re-emergence of infectious diseases. Int J Med Microbiol 293 Suppl 37:16-26.


(6)

LINGKUNGAN

FISIK KIMIA BIOLOGI

No Desa Jenis TPV

Suhu (00C)

Kelem baban (%)

Turbiditi pH DO BOD Salini tas

1. Lambada Kolam 29 80 Jernih 7 3,9 7,9 2 Rumput.

Irigasi 29 71 Jernih 6,5 1 Padi,rumput

Alur Irigasi 27 71 Jernih 6,5 4,9 4,55 0 rumput

2. Lampante Kubangan/ kolam 28 72 Jernih 6,5 4,8 6,18 0 Keladi, rumput, kangkung,Palem,poho Selokan 28 74 Jernih 5,8 3,1 16,22 1 rumput

3 Lam Apeng Alur/irigasi sawah 30 79 Jernih 7 6,8 2,76 0,5 rumput, padi

Kolam 31 79 Jernih 6,8 4,1 3,6 0 Rumput,rumbia, keladi Selokan 34 75 keruh 8,5 3,3 13,67 2 Rumput

4. Lamteuba Dro Kolam/genangan 34 71 Jernih 6,8 4,1 8,39 1,5 Keladi, rumput, kangkung

5. Pulo Kolam 28 71 Jernih 7,4 4,3 12,94 1 rumput

6. Blangtingkem Kolam I 27 71 Jernih 7 5,3 3,34 0,5 Kangkung,rumput, ikan kecil Kolam II 28 71 Jernih 7 6,2 3,12 0,5 Rumput,kangkung

Kolam III 27 71 Jernih 7 5,4 5,81 1 Rumput, kangkung, genjer

Kubangan 27 75 Keruh 6 4,3 8,21 2 -

Alur air 28 75 Jernih 7 6,2 2,86 0 Rumput,kangkung,keladi, genjer

7. Meurah Sumur 28 72 Jernih 7,2 - - 1 -

Bekas tambak 1 28 72 Jernih 6,8 4,5 6,22 0,1 Rumput, kangkung Bekas tambak II 27 75 Jernih 6,5 4,1 6,89 1 Algae, rumput

Kubangan I 29 80 Keruh 6,5 4,7 6,12 0,1 Rumput,kangkung,keladi, genjer Kubangan II 31 72 Jernih 6,5 3,1 16,22 2 Rumput-rumputan

Bekas sawah 28 72 Jernih 6,8 4,1 6,73 1 Rumput, keladi,kangkung Alur air 28 72 Jernih 6,8 6,2 2,86 0,1 Rumput-rumputan

8. Ateuk Selokan 28 55 Jernih 8 3,1 16,22 1 Rumput, kangkung

Bekas tambak 1 28 72 Jernih 6,8 5,1 6,83 0,1 rumput

Bekas tambak II 27 75 Jernih 6,5 5,5 5,89 1 Rumput,kangkung,keladi, genjer Kubangan I 29 80 Keruh 6,5 4,3 16,22 0,1 Rumput-rumputan

Kubangan II 31 72 Jernih 6,5 3,1 16,22 2 Rumput, keladi,kangkung Bekas sawah 28 72 Jernih 6,8 4,2 6,78 1 Rumput, padi, algae Alur air/payeun 28 72 Jernih 6,8 6,2 2,86 0,1 Rumput, keladi

9. Glee dua Waduk/kolam 7 27 Jernih 6,8 5,9 3,49 0,5 Rumput, anak ikan nila