Budaya Baru Organisasi Pemerintah melalui Reformasi Birokrasi

2. Budaya Baru Organisasi Pemerintah melalui Reformasi Birokrasi

Birokrasi sesungguhnya dapat memicu pemberdayaan masyarakat dan mengutamakan pelayanan kepada masyarakat tanpa diskriminasi. Birokrasi seperti ini dapat terwujud apabila terbentuk suatu sistem di mana terjadi mekanisme pemimpin (superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada aspek “disiplin.” Birokrasi sebagai sistem legal-rasional tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun juga. Selain itu birokrasi merupakan proses yang dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab- akibatnya.

Reformasi birokrasi, adalah salah satu cara untuk membangun kepercayaan rakyat. Pengertian reformasi birokrasi sendiri ialah suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem yang tujuannya mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang sudah lama. Reformasi birokrasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap serta tingkah laku. Hal ini berhubungan dengan dengan permasalahan yang bersinggungan dengan authority atau formal power (kekuasaan).

Selain memerlukan strategi-strategi, diperlukan pula tahapan-tahapan reformasi birokrasi, yaitu meningkatkan pelayanan publik guna mendapatkan kembali kepercayaan rakyat, pelayanan publik yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, serta perbaikan tingkat kesejahteraan pegawai.

Reformasi birokrasi menjadi usaha mendesak mengingat implikasinya yang begitu luas bagi masyarakat dan negara. Secara nyata, perlu usaha-usaha serius agar Reformasi birokrasi menjadi usaha mendesak mengingat implikasinya yang begitu luas bagi masyarakat dan negara. Secara nyata, perlu usaha-usaha serius agar

1) Langkah internal

a) Meluruskan orientasi Reformasi birokrasi harus berorientasi pada demokratisasi dan bukan pada kekuasaan. Perubahan birokrasi harus mengarah pada amanah rakyat karena reformasi birokrasi harus bermuara pada pelayanan masyarakat.

b) Memperkuat komitmen Tekad birokrat untuk berubah harus ditumbuhkan. Ini prasyarat penting, karena tanpa disertai tekad yang kuat dari birokrat untuk berubah maka reformasi birokrasi akan menghadapi banyak kendala. Untuk memperkuat tekad perubahan di kalangan birokrat perlu ada stimulus, seperti peningkatan kesejahteraan melalui remunerasi namun harus disertai juga dengan ketaatan pada aturan yang berlaku. Para pegawai harus memiliki komitmen untuk disiplin dengan waktu dan sumber daya yang digunakannya di tempat tugas.

c) Membangun budaya baru • Budaya Disiplin

Seorang ahli manajemen terkemuka, Jim Collins (2001) menemukan pentingnya budaya disiplin untuk meraih keunggulan dalam bersaing. Sebuah organisasi yang baik tidak cuma sekedar membutuhkan disiplin melainkan budaya disiplin. Disiplin disini bukanlah berarti kepatuhan sikap secara kaku terhadap sebuah peraturan, sebagaimana pendataan presensi melalui fingerprint telah membuat pegawai terbebani untuk tiba di kantor tepat waktu dan berangkat dari rumah lebih pagi. Disiplin bukanlah suatu ketakutan terhadap aturan atau pemotongan gaji saja, melainkan suatu konsep budaya kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan organisasi yang seharusnya dijaga. Ada tiga pilar utama yang membentuk budaya disiplin, yaitu:

 Discipline People : Manusia yang diseleksi ditempatkan dengan baik  Discipline Action

: Strategi yang diimplementasikan dengan benar  Discipline Thought : Mengikat pekerja bukan hanya dengan disiplin, melainkan budaya disiplin. Kasali (2007) menyatakan bahawa organisasi yang hebat menemukan bahwa eksistensi mereka ditentukan oleh berhasil tidaknya mereka mendapatkan dan mempertahankan SDM terbaik. Orang-orang cerdas ada dimana-mana, tetapi orang yang terbaik sangat terbatas. Mereka bukan hanya pintar secara : Strategi yang diimplementasikan dengan benar  Discipline Thought : Mengikat pekerja bukan hanya dengan disiplin, melainkan budaya disiplin. Kasali (2007) menyatakan bahawa organisasi yang hebat menemukan bahwa eksistensi mereka ditentukan oleh berhasil tidaknya mereka mendapatkan dan mempertahankan SDM terbaik. Orang-orang cerdas ada dimana-mana, tetapi orang yang terbaik sangat terbatas. Mereka bukan hanya pintar secara

Discipline people tidak secara otomatis diperoleh melalui rekrutmen yang bagus. Sejak hari pertama bekerja, mereka harus diberikan standar sejak awal misalnya melalui proses orientasi (on-the-job training) dan diklat prajabatan, sebagai diklat awal yang bersifat off-the-job training, yang diperkenalkan kepadanya dasar-dasar struktur kerja organisasi. Ia tidak hanya diperkenalkan kepada atasan dan rekan-rekan kerjanya saja, melainkan juga hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan di tempat kerja.

• Budaya Belajar Wahidin (2009) menyatakan bahwa budaya belajar dipandang sebagai model pengetahuan manusia mengenai belajar yang digunakan oleh individu atau kelompok sosial untuk menafsirkan benda, tindakan dan emosi dalam lingkungannya. Cara pandang budaya belajar sebagai pengetahuan menyiratkan, bahwa budaya belajar dapat berfungsi sebagai “pola bagi kelakuan manusia” yang menjadikan pola tersebut berfungsi sebagai blueprint atau pedoman hidup yang dianut secara bersamaan. Budaya belajar dapat juga dipandang sebagai adaptasi manusia dengan lingkungannya, baik lingkungan berupa lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Adaptasi adalah upaya menyesuaikan dalam arti ganda, yakni manusia belajar menyesuaikan kehidupan dengan lingkungnya; atau sebaliknya manusia juga belajar agar lingkungan yang dihadapi dapat sesuai dengan keinginan dan tujuan hidupnya. Kenyataan lain menunjukan, bahwa lingkungan dengan segala sumber daya memiliki keterbatasan- keterbatasan, namun pada pihak lain kebutuhan manusia dalam rangka memenuhi syarat dasar hidupnya setiap saat senantiasa mengalami peningkatan. Implikasinya pada setiap pembelajaran baik individu maupun kelompok akan memiliki pilihan strategi yang satu sama lain saling berbeda. Individu atau kelompok pembelajar dengan pengetahuan belajarnya akan melihat permasalahan adanya keterbatasan tersebut dengan cara merespon secara aktif. Permasalahan yang berlangsung di lingkungannya itu akan berusahan untuk diatasi dengan pembelajaran. Kemampuan keadaptifan budaya belajar individu atau kelompok sosial ditujukan untuk memecahkan berbagai persoalan yang timbul di lingkungannya.

d) Rasionalisasi Struktur kelembagaan birokrasi cenderung gemuk dan tidak efisien. Rasionalisasi kelembagaan dan personil menjadi penting dilakukan agar birokrasi menjadi ramping dan lincah dalam menyelesaikan permasalahan serta dalam menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk kemajuan teknologi informasi.

e) Memperkuat payung hukum Upaya reformasi birokrasi perlu dilandasi dengan aturan hukum yang jelas. Aturan hukum yang jelas bisa menjadi koridor dalam menjalankan perubahan- perubahan.

f) Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia Semua upaya reformasi birokrasi tidak akan memberikan hasil yang optimal tanpa disertai sumber daya manusia yang handal dan profesional. Oleh karena itu untuk mendapatkan sumber daya manusia (SDM) yang memadai diperlukan penataan dan sistem rekrutmen kepegawaian, sistem penggajian, pelaksanaan pelatihan, dan peningkatan kesejahteraan.

2) Langkah eksternal

a) Komitmen dan keteladanan elit politik Reformasi birokrasi merupakan pekerjaan besar karena menyangkut sistem besar negara yang mengalami tradisi buruk untuk kurun yang cukup lama. Untuk memutus tradisi lama dan menciptakan tatanan dan tradisi baru, perlu kepemimpinan yang kuat dan yang patut diteladani. Kepemimpinan yang kuat berarti hadirnya pemimpin-pemimpin yang berani dan tegas dalam membuat keputusan. Sedangkan keteladanan adalah keberanian memberikan contoh kepada bawahan dan masyarakat.

b) Pengawasan masyarakat Reformasi birokrasi akan berdampak langsung pada masyarakat, karena peran birokrasi yang utama adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada tataran ini masyarakat dapat dilibatkan untuk mengawasi kinerja birokrasi.