Budaya Organisasi Pemerintah

1. Budaya Organisasi Pemerintah

Berdasarkan competing values framework (kerangka pembandingan nilai-nilai) organisasi pemerintah di Indonesia dianggap memiliki budaya dengan tipe hirarki (kuadran III) karena lebih menekankan pada ketaatan pada aturan, keselarasan, dan perhatian pada masalah teknis. Organisasi pemerintah yang ada di Indonesia memiliki karakter budaya yang mengikuti model birokratis yang teoretis yang bergantung pada aturan formal dan prosedur sebagai mekanisme kendali.

Dalam Modul Budaya Kerja Organisasi Pemerintah: Bahan Ajar Diklat Prajabatan Golongan II (2009) disebutkan bahwa selama ini diyakini masih terdapat beberapa aspek budaya yang berpengaruh terhadap kelancaran pelaksanaan tugas bagi aparatur pemerintah, sehingga kurang dapat berjalan secara efektif dan efisien, yaitu antara lain:

1) Budaya paternalisme yaitu sikap yang terlalu berorientasi ke atas, akibatnya bawahan bekerja lebih menyenangi menunggu perintah dari atasan, sedangkan kreativitas, inisiatif berkurang bahkan cenderung dimatikan. Budaya ini perlu dikurangi agar tidak berkelebihan, yaitu dengan cara sebagai berikut:

o Pemimpin perlu mengembangkan pola proses pengambilan keputusan bersama (group decision process) tanpa mengurangi wewenangnya dalam

mengambil keputusan.

o Bila perlu pengarahan dikurangi dan diganti dengan pola pemecahan masalah (problem solving oriented) sehingga setiap petugas merasa ikut

bertanggung jawab pada setiap masalah organisasi/unit kerjanya.

2) Budaya manajemen tertutup yang artinya bahwa pemimpin merasa sebagai penguasa yang tidak perlu mengikutsertakan bawahannya sehingga timbul sikap saling curiga-mencurigai, tidak percaya, dan prasangka yang kurang menguntungkan dan lain-lain.

3) Budaya kurang mampu membedakan jam kerja dan jam dinas, urusan pribadi dan urusan kedinasan. Untuk itu disiplin kerja dan disiplin waktu perlu dibina dan ditingkatkan dengan mengurangi kebiasaan yang tidak tepat pada jam kerja.

4) Budaya atau kebiasaan memberikan terlalu banyak pekerjaan dan tanggung jawab kepada seseorang yang aktif dan berprestasi dan kurang percaya terhadap personil yang belum memperoleh kesempatan untuk aktif dan berprestasi.

5) Budaya sistem famili dan koneksi yang di lingkungan aparatur pemerintah mengakibatkan pengangkatan pegawai dan pembinaan karier kurang memperhatikan profesionalisme dan prestasi. Ada persepsi bahwa untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil harus siap menyetorkan sejumlah uang agar si calon pegawai bisa melenggang bebas masuk seleksi. Atau ada pula yang menggunakan nama besar seseorang yang berpengaruh sebagai jaminan di departemen atau instansi pemerintahan. Budaya ini ditunjang lagi oleh kebiasaan berupa kecenderungan pilih kasih (like and dislike) dalam pembinaan dan pengembangan karier dan penempatan seorang pegawai. Kondisi ini harus segera ditiadakan mengingat semakin pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi yang memerlukan personil yang berkualitas di lingkungan aparatur pemerintah.

6) Budaya Asal Bapak Senang (ABS) yaitu budaya yang dilakukan dengan cara memberikan informasi/laporan kepada pimpinan dengan penuh rekayasa. Hal demikian dilakukan biasanya untuk menutupi kekurangan/kelemahan atau kegagalan dalam bekerja, tetapi dapat juga terjadi karena rasa takut pada

pimpinan dan sifat senang dipuji atau rasa kurang senang dikoreksi oleh atasannya. Budaya ini akan berakibat mempersulit pelaksanaan pengawasan, pembinaan, dan bimbingan dalam upaya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja.

7) Budaya tidak senang diperiksa karena pemeriksaan cenderung bersifat mencari-cari kesalahan. Pemeriksaan dan pengawasan

hendaknya hendaknya

lembaga, dan lain-lain yang ternyata sangat besar pengaruhnya terhadap pelaksanaan kegiatan setiap unsur manajemen pemerintahan. Seperti misalnya, budaya paranoid solidarity atau solidaritas korps yang kalap, yaitu membela kepentingan kelompok/individu tertentu yang sedang berkuasa dengan dalih demi kepentingan korps atau institusi walaupun sesungguhnya mereka yang dibela adalah para pelaku kejahatan.

Cara kerja tradisional yang selama ini mewarnai kehidupan organisasi pemerintah dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan di masa sekarang ini. Dengan bergulirnya reformasi, diperlukan paradigma budaya baru yang mengganti praktik lama yang sudah tidak lagi sesuai, seperti dalam hal penentuan tujuan harus fleksibel, komunikasi harus terbuka, kebijaksanaan harus rasional dan bersifat partisipatif yang dapat diterapkan dalam segala aktivitas organisasi pemerintah. Perubahan manajemen mutlak diperlukan untuk menanggapi tuntutan perubahan yang berkembang di masyarakat. Bilamana perubahan ini dapat dikelola dengan baik, maka akan dipetik keuntungan berupa tumbuhnya banyak prakarsa, aneka ragam kreativitas, dan dorongan partisipasi yang makin besar. Pertumbuhan semacam itu akan mendorong terwujudnya kemandirian yang harus menjadi ciri utama pembangunan dalam rangka menghadapi kehidupan di masa depan.

Dalam suatu organisasi, budaya dan etika adalah dua konsep yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Pola sikap dan perlaku yang diharapkan dari setiap individu dan kelompok anggota organisasi secara keseluruhan yang biasa kita sebut dengan istilah etika akan membentuk budaya organisasi (organizational culture) yang sejalan dengan tujuan maupun filosofi organisasi yang bersangkutan.

Refleksi b udaya organisasi pemerintah saat ini telah semakin nyata diwujudkan melalui aturan kode etik Pegawai Negeri Sipil yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil.

Sebagaimana tercantum pada pasal 13 PP Nomor 42 tahun 2004, kode etik Pegawai Negeri Sipil adalah pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan Pegawai Negeri Sipil di dalam melaksanakan tugasnya dan dalam pergaulan sehari-hari.

Pegawai Negeri Sipil dalam bersikap, bertingkah laku, dan melakukan perbuatannya diharapkan selalu mengacu pada kode etik Pegawai Negeri Sipil, karena kode etik tersebut mengarahkan kepada implementasi nilai-nilai etika yang baik yang mendorong kelancaran dalam pencapaian tujuan pemerintah. Agar etika bisa terwujud dengan baik, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya. Franz Magnis-Suseno SJ menyatakan bahwa ada empat unsur utama yang mempengaruhi keberhasilan perwujudan etika dalam organisasi pemerintah, yaitu: (1) adanya etos kerja yang kuat, (2) yang ditunjang oleh moralitas pribadi pegawai bersangkutan, (3) yang diarahkan oleh kepemimpinan yang bermutu, dan (4) didukung oleh syarat-syarat sistemik.