Fatwa Ulama' Tentang Zikir Berjama'ah
4.3 Fatwa Ulama' Tentang Zikir Berjama'ah
1. "Saya berpendapat bahwa seorang imam dan makmumnya hendaknya mereka berzikir
kepada Allah seusai shalat, dan hendaknya mereka merendahkan (memelankan) zikirnya, kecuali bagi seorang imam yang ingin agar para makmumnya belajar (zikir) darinya, maka ia boleh mengeraskan zikirnya, hingga bila ia merasa bahwa mereka telah cukup belajar,
"Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya." (Al Isra': 110).
62 4.3 Fatwa Ulama' Tentang Zikir Berjama'ah Maksud kata -wallahu Ta'ala a'alam- ialah: doa. Laa Tajhar: jangan engkau mengangkat
ngarnya". 24
2. zikir-zikir Rasulullah shollallahu'alaihiwasallam, ia menyimpulkan:
"Riwayat perawi yang meriwayatkan bahwa beliau shollallahu'alaihiwasallam berdoa dan mengeraskan suaranya, ditafsiri bahwa beliau shollallahu'alaihiwasallam melakukan hal itu agar para sahabatnya belajar dari beliau. Dan riwayat perawi yang menyebutkan bahwa beliau (seusai shalat) diam sejenak kemudian berdiri dan pergi, ditafsiri bahwa beliau berdoa dengan merendahkan suaranya, sehingga beliau hanya memperdengarkan dirinya sendiri". 25
3. Imam An Nawawi berkata:
an untuk dilakukan dengan merendahkan suara, kecuali bila ia seorang imam dan hendak mengajari orang-orang (makmum), maka dibolehkan untuk mengeraskan suaranya, agar mereka belajar darinya, dan bila dirasa mereka telah cukup belajar dan sudah tahu, maka
hendaknya ia kembali merendahkannya". 26 Dari kedua penjelasan ini jelaslah bahwa zikir itu dilakukan sendiri-sendiri, sehingga yang sunnah
ialah dengan cara merendahkan suara, kecuali bila sang imam merasa bahwa jama'ahnya belum bisa berzikir, maka ia dianjurkan untuk mengajari mereka dengan cara mengeraskan suaranya. Dan bila dirasa mereka telah cukup belajar, ia kembali merendahkan suaranya. Ini menunjukkan dengan jelas bahwa berzikir dengan satu suara dan dikomando oleh satu orang, baik itu seorang imam atau lainnya tidak sesuai dengan sunnah.
Dan fatwa Imam An Nawawi ini sekaligus memperjelas maksud beliau dari perkataannya yang di- nukilkan oleh bapak Kyai Dimyathi. Bahwa pada dasarnya zikir dan doa itu dilakukan dengan cara merendahkan suara, terlebih-lebih tatkala ia melakukan zikir itu sedang berada di tengah-tengah majlis, atau di dalam barisan shaf. Sehingga perkataan beliau dalam kitabnya Al Majmu' menepis kesalah pahaman bapak Kyai Dimyathi. Dengan demikian yang dimaksud dari ucapan Imam An Nawawi berikut ini:
"Ketahuilah, sebagaimana zikir itu sunnah hukumnya, begitu juga duduk di majlis ahli zikir, karena telah banyak dalil-dalil yang menunjukkan akan itu" 27
bukan hanya sekedar majlis orang yang membaca zikir atau wiridan saja, akan tetapi, mencakup pengajian-pengajian, sekolahan-sekolahan agama dll.
25 Al Bayan, oleh Yahya bin Abil Khair Al 'Imrani, 2/250. 26 Al Majmu' Syarah Al Muhazzab, oleh Imam An Nawawi 3/469.
63 4.4 Konsekuensi Memvonis Bid'ah Kepada Amaliah Yang Sebenarnya Sunnah Kemudian pada perkataa Imam An Nawawi di atas tidak didapatkan sedikitpun isyarat yang me-
nunjukkan bahwa orang-orang yang menghadiri majlis zikir itu melakukan zikir, doa dan wiridannya dengan cara dikomando oleh satu orang, atau dengan membaca satu bacaan atau dengan satu suara.
Yang ada hanyalah anjuran menghadiri majlis zikir, apapun perwujudan majlis itu, baik majlis itu berupa sekolahan, pengajian, ceramah, seminar, belajar membaca Al Qur'an, mendengarkan orang yang sedang membaca Al Qur'an, atau berzikir dengan sendiri-sendiri, sebagaimanan yang dahulu dilakukan oleh sahabat nabi shollallahu'alaihiwasallam, atau yang lainnya.
Demikian pula halnya dengan fatwa ulama' lain yang telah dinukilkan ucapannya oleh bapak Kyai Dimya- thi.
Dan menurut hemat saya, yang menjadikan bapak Dimyathi salah paham terhadap ayat-ayat, hadits- hadits dan perkataan ulama' seputar masalah zikir dan tata-cara pelaksanaannya, ialah karena beliau mengambil dan memahami dalil-dalil dan keterangan ulama dengan separuh-paruh, tidak menyeluruh. Seandainya beliau mengumpulkan seluruh dalil dan berbagai keterangan ulama', kemudian semuanya dipahami secara bersamaan dan sebagian darinya dijadikan alat untuk memahami sebagian yang lain, niscaya -insya Allah- bapak Kyai akan terhindar dari kesalah pahaman.