BENTUK KONSEP PILIHAN SISWA GARIS SINGGUNG PERSEKUTUAN DALAM DUA LINGKARAN

BENTUK KONSEP PILIHAN SISWA GARIS SINGGUNG PERSEKUTUAN DALAM DUA LINGKARAN

BENTUK RUMUS BENTUK SANDI

Gs r

kecil Gs )

2 GS = 2

besar + r )

0 Siswa yang memilih

80 Siswa yang memilih

Dari hasil pembahasan di atas, nampak jelas bahwa kriteria ketuntasan yang diharapkan dalam penelitian ini dapat dicapai dalam satu siklus. Bahkan jika dibandingkan dengan Kriteria Ketuntasan Minimal 65% yang distandardkan oleh sekolah serta dari Kriteria Ketuntasan Klasikal 80% telah terlampaui dalam proses penelitian ini. Sehingga tidak ada alasan rasional yang mengharuskan penelitian ini Dari hasil pembahasan di atas, nampak jelas bahwa kriteria ketuntasan yang diharapkan dalam penelitian ini dapat dicapai dalam satu siklus. Bahkan jika dibandingkan dengan Kriteria Ketuntasan Minimal 65% yang distandardkan oleh sekolah serta dari Kriteria Ketuntasan Klasikal 80% telah terlampaui dalam proses penelitian ini. Sehingga tidak ada alasan rasional yang mengharuskan penelitian ini

PENUTUP Kesimpulan

Tidak dapat dipungkiri, dengan dasar kajian teori perkembangan kognitif dan fakta yang ada, pada akhirnya matematika dapat disajikan sebagai hal yang mudah. Prinsip penemuan fakta ( dalam hal ini Contextual Teaching Learning ), pengulangan dan multi indrawi dilanjutkan dengan penyandian telah mengoptimalkan fungsi otak kiri dan otak kanan secara sinergis.

Dengan demikian kita sebagai guru telah memperlakukan siswa kita dengan benar sebagai layaknya insan yang utuh. Semua potensi dan kecerdasan mereka digunakan dengan optimal. Matematika disajikan dan disimpan secara unik dan harmonis sebagai bagian dari memori jangka panjang serta dikuasai secara utuh, sehingga segala persoalan yang berkaitan dengan garis singgung persekutuan dua lingkaran dapat dipahami secara utuh dan diselesaikan dengan mudah dan cepat

Saran Guru sebagai pengendali dalam proses belajar mengajar sangat diharapkan mampu menyelesaikan masalah yang dialami oleh siswanya. Oleh karena itu kompetensi pedagogis guru tentang perkembangan psikologi kognitif serta pandangan guru tentang konsepsi siswa merupakan bagian terpenting dalam konteks ini. Proses berpikir serta berbagai kecerdasan yang dimiliki oleh siswa, sebagai modalitas dan gaya belajar, semaksimal mungkin dapat dikelola menjadi sebuah strategi pembelajaran yang efektif dan harmonis.

Oleh karena itu guru adalah satu-satunya tokoh penting dalam pengelolaan pembelajaran. Laksana seorang “chef”, guru matematika diharapkan mampu menyajikan matematika menjadi sebuah sajian menu yang mudah dinikmati, rasanya berkesan, penyajiannya menarik , bermanfaat serta dicari kembali oleh penikmatnya.

Jika pada setiap desain pembelajaran guru juga memfungsikan otak kanan, suka tidak suka, guru dan siswa secara bersama-sama telah membangun kreatifitas. Oleh karena itu, guru dipacu untuk menjelajah beberapa bentuk konsep yang disimbulkan, sehingga simbul-simbul itu memudahkan siswa menyimpan konsep matematika yang telah mereka peroleh.

Bagi lembaga sekolah, sebaiknya membudayakan pola belajar di atas sebagai bagian dari program MOS dan menjadi bagian dalam program “character building” di sekolah. Sehingga Rencana Pembelajaran yang dirancang guru terintegrasi dengan budaya belajar di sekolah, serta terpadu dengan pola belajar mata pelajaran yang lain.

Bagi pengambil kebijakan Pendidikan Nasional, sebagai bagian dari upaya peningkatan profesionalisme guru, hendaknya konsep belajar ini juga diintegrasikan sebagai materi pelatihan pada setiap kegiatan pelatihan guru. Di satu sisi ini sebagai bagian dari domain guru, di sisi lain guru memiliki banyak pilihan yang terbaik untuk siswanya.

DAFTAR PUSTAKA Rose,Colin. 1999. Kuasai Lebih Cepat , Buku Pintar Accelerated Learning, Bandung :

KAIFA

Atkinson, Rita L, Richard C. Atkinson, Edward E Smith, Daryl J Bem, 1953, Introduction to Psycology, 11th.ed. ( Pengantar Psikologi, Edisi Kesebelas,Jilid 1), Batam : Interaksara.

Dryden, Gordon & Dr. Jennette Vos. 2003. The Learning Revolution ( Revolusi Cara Belajar ), Bandung : Kaifa.

Rakhmat, Jalaluddin. 1992. Psikologi Komunikasi, Edisi Revisi, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Wycoff, Joyce. 2003. Menjadi Super Kreatif Melalui Metode Pemetaan Pikiran. Bandung: Kaifa.

DePorter, Bobbi.2002. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. Bandung: Kaifa.

Nurhadi & Senduk,A.G. 2003. Pembalajaran Kontekstual Dan Penerapannya Dalam KBK . Malang: Universitas Negeri Malang.

Widdiharto, Rachmadi. 2008. Diagnosa Kesulitan Belajar Matematika SMP dan Alternatif Proses Remidinya. Yogyakarta: P4TKMatematika.

P-22

PERANAN REPRESENTASI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Kartini

(Dosen Pendidikan Matematika FKIP UNRI) Email: tin_baa@yahoo.com

Abstrak

Dalam pembelajaran matematika selama ini siswa tidak pernah atau jarang diberikan kesempatan untuk menghadirkan representasinya sendiri. Siswa cendrung meniru cara guru dalam menyelesaikan masalah. Akibatnya, kemampuan representasi matematis siswa tidak berkembang. Padahal, representasi matematis sangat diperlukan dalam pemahaman konsep maupun penyelesaian masalah matematik. Selain itu, representasi matematis juga dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis. Secara umum representasi sangat berperan dalam peningkatan kompetensi matematika. Tulisan ini akan membahas secara teoritis tentang representasi matematis dan peranannya dalam pembelajaran matematika. Keyword: representasi matematis, pemahaman konsep, komunikasi matematis,

pemecahan masalah.

A. Pendahuluan Pengajaran matematika tidak sekedar menyampaikan berbagai informasi seperti aturan, definisi, dan prosedur untuk dihafal oleh siswa tetapi guru harus melibatkan siswa secara aktif dalam proses belajar mengajar. Keikutsertaan siswa secara aktif akan memperkuat pemahamannya terhadap konsep-konsep matematika. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip kontruktivisme yakni pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial, pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali melalui keaktifan siswa sendiri untuk menalar, siswa aktif untuk mengkontruksi terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju kearah yang lebih kompleks, guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan.

Setiap siswa mempunyai cara yang berbeda untuk mengkontruksikan pengetahuannya. Dalam hal ini, sangat memungkinkan bagi siswa untuk mencoba berbagai macam representasi dalam memahami suatu konsep. Selain itu representasi juga berperan dalam proses penyelesaian masalah matematis. Sebagaimana Setiap siswa mempunyai cara yang berbeda untuk mengkontruksikan pengetahuannya. Dalam hal ini, sangat memungkinkan bagi siswa untuk mencoba berbagai macam representasi dalam memahami suatu konsep. Selain itu representasi juga berperan dalam proses penyelesaian masalah matematis. Sebagaimana

Namun demikian dalam pembelajaran matematika selama ini siswa tidak pernah atau jarang diberikan kesempatan untuk menghadirkan representasinya sendiri. Siswa cendrung meniru langkah guru dalam menyelesaikan masalah. Akibatnya, kemampuan representasi matematis siswa tidak berkembang. Padahal representasi matematis sangat diperlukan dalam pembelajaran matematika, baik bagi siswa maupun bagi guru. Mungkin ini disebabkan karena keterbatasan pengetahuan guru tentang representasi matematis dan peranannya dalam pembelajaran matematika. Makalah ini akan mengkaji secara teoritis tentang representasi matematis dan peranannya dalam pembelajaran matematika.

B. Pembahasan Konsep tentang representasi merupakan salah satu konsep psikologi yang digunakan dalam pendidikan matematika untuk menjelaskan beberapa phenomena penting tentang cara berfikir anak-anak (Janvier dalam Radford, 2001). Namun sebelumnya Davis, dkk (dalam Janvier, 1987) menyatakan bahwa sebuah representasi dapat berupa kombinasi dari sesuatu yang tertulis diatas kertas, sesuatu yang eksis dalam bentuk obyek fisik dan susunan ide-ide yang terkontruksi didalam pikiran seseorang. Sebuah representasi dapat dianggap sebagai sebuah kombinasi dari tiga komponen: simbol (tertulis), obyek nyata, dan gambaran mental. Kalathil dan Sherin (2000) lebih sederhana menyatakan bahwa segala sesuatu yang dibuat siswa untuk mengekternalisasikan dan memperlihatkan kerjanya disebut representasi. Dalam pengertian yang paling umum, representasi adalah suatu konfigurasi yang dapat menggambarkan sesuatu yang lain dalam beberapa cara (Goldin, 2002).

Selanjutnya dalam psikologi matematika, representasi bermakna deskripsi hubungan antara objek dengan simbol (Hwang, et al., 2007). Representasi adalah sesuatu yang melambangkan objek atau proses. Misalnya kata-kata, diagram, grafik, Selanjutnya dalam psikologi matematika, representasi bermakna deskripsi hubungan antara objek dengan simbol (Hwang, et al., 2007). Representasi adalah sesuatu yang melambangkan objek atau proses. Misalnya kata-kata, diagram, grafik,

Sejalan dengan itu repsentasi dipandang sebagai yang digunakan seseorang untuk memikirkan dan mengkomunikasikan ide-ide matematik dengan cara tertentu sebagaimana yang dikemukakan Ostad ( http://www.idp-europe.org / indonesia/buku- inklusi/pdf/13-Memahami_dan_Menangani Bilangan. pdf ) Untuk memikirkan dan mengkomunikasikan ide-ide matematika, maka kita perlu merepresentasikannya dengan cara tertentu. Komunikasi memerlukan representasi fisik, yaitu representasi eksternal, dalam bentuk bahasa lisan, simbol tertulis, gambar atau objek fisik. Sebuah ide matematika tertentu sering dapat direpresentasikan dengan salah satu dari bentuk representasi itu atau dengan kesemua bentuk representasi itu. Namun, dalam belajar matematika representasi tidak terbatas hanya pada representasi fisik saja. Untuk berfikir tentang ide matematika kita perlu merepresentasikannya secara internal, sedemikian rupa sehingga memungkinkan pikiran kita beroperasi. Oleh karena itu, istilah representasi dapat juga dipergunakan bila menggambarkan proses kognitif untuk sampai pada pemahaman tentang suatu ide dalam matematika. Anak dapat diekspos pada sejumlah perwujudan fisik, misalnya ”lima”, dan kemudian mulai mengabtraksikan konsep lima tersebut. Dalam proses ini, anak tersebut dapat membangun sebuah representasi internal (representasi mental, representasi kognitif, gambaran mental, skema).

Dalam kasus-kasus tertentu, representasi mempunyai kaitan erat dengan konsep matematika, seperti grafik dengan fungsi, yang sulit untuk memahami dan memperoleh konsep tanpa menggunakan representasi tertentu. Namun, setiap representasi tidak dapat menggambarkan secara seksama konsep matematika, karena memberikan informasi hanya untuk bagian aspeknya saja. Representasi-representasi berbeda yang mengacu pada konsep yang sama akan saling melengkapi dan semuanya bersama-sama berkontribusi untuk pemahaman global darinya (Gagatsis & Shiakalli dalam Gagatsis & Elia, 2005). Oleh karena itu, tiga anggapan untuk penguasaan Dalam kasus-kasus tertentu, representasi mempunyai kaitan erat dengan konsep matematika, seperti grafik dengan fungsi, yang sulit untuk memahami dan memperoleh konsep tanpa menggunakan representasi tertentu. Namun, setiap representasi tidak dapat menggambarkan secara seksama konsep matematika, karena memberikan informasi hanya untuk bagian aspeknya saja. Representasi-representasi berbeda yang mengacu pada konsep yang sama akan saling melengkapi dan semuanya bersama-sama berkontribusi untuk pemahaman global darinya (Gagatsis & Shiakalli dalam Gagatsis & Elia, 2005). Oleh karena itu, tiga anggapan untuk penguasaan

Representasi yang dimunculkan oleh siswa merupakan ungkapan-ungkapan dari gagasan-gagasan atau ide-ide matematika yang ditampilkan siswa dalam upayanya untuk mencari suatu solusi dari masalah yang sedang dihadapinya. Adapun standar representasi yang ditetapkan National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) untuk program pembelajaran dari pra-taman kanak-kanak sampai kelas 12 adalah bahwa harus memungkinkan siswa untuk:

1. membuat dan menggunakan representasi untuk mengatur, mencatat, dan mengkomunikasikan ide-ide matematika,

2. memilih, menerapkan, dan menterjemahkan antar representasi matematika untuk memecahkan masalah,

3. menggunakan representasi untuk memodelkan dan menginterpretasikan fenomena fisik, sosial, dan matematika.

(NCTM, 2000). Representasi yang dihadirkan oleh siswa tidak mesti yang konvensional atau yang sudah biasa kita kenal tapi dapat merupakan representasi yang tidak konvensional yang dapat mereka mengerti. Sebagaimana yang dijelaskan dalam NCTM. Penting bagi kita mendorong para siswa untuk merepresentasikan berbagai gagasan mereka di dalam cara-cara yang mereka mengerti, bahkan jika representasi- representasi pertama mereka tidak konvensional. Penting juga bahwa mereka mempelajari bentuk-bentuk representasi yang konvensional untuk mempermudah belajar matematika dan komunikasi mereka dengan orang lain tentang gagasan- gagasan matematis. (NCTM, 2000)

Dari beberapa defenisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa representasi matematis adalah ungkapan-ungkapan dari ide-ide matematika (masalah, pernyataan, definisi, dan lain-lain) yang digunakan untuk memperlihatkan (mengkomunikasikan) Dari beberapa defenisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa representasi matematis adalah ungkapan-ungkapan dari ide-ide matematika (masalah, pernyataan, definisi, dan lain-lain) yang digunakan untuk memperlihatkan (mengkomunikasikan)

Sejumlah pakar (Goldin; 2002, Ostad, http://www.idp-europe.org / indonesia/buku-inklusi/pdf/13-Memahami_dan_Menangani Bilangan. pdf , Hiebert dan Carpenter dalam Harries dan Barmby, 2006) membagi representasi menjadi dua bagian yakni representasi eksternal dan internal. Representasi eksternal, dalam bentuk bahasa lisan, simbol tertulis, gambar atau objek fisik. Sementara untuk berfikir tentang gagasan matematika maka mengharuskan representasi internal. Representasi internal (representasi mental) tidak bisa secara langsung diamati karena merupakan aktivitas mental dalam otaknya.

Schnotz (dalam Gagatsis, 2004) membagi representasi eksternal dalam dua kelas yang berbeda yaitu representasi descriptive dan depictive. Representasi descriptive terdiri atas simbol yang mempunyai struktur sembarang dan dihubungkan dengan isi yang dinyatakan secara sederhana dengan makna dari suatu konvensi, yakni teks, sedangkan representasi depictive termasuk tanda-tanda ikonic yang dihubungkan dengan isi yang dinyatakan melalui fitur struktural yang umum secara konkret atau pada tingkat yang lebih abstrak, yaitu, display visual.

Lebih lanjut Gagatsis dan Elia (2004) mengatakan bahwa untuk siswa kelas 1, 2 dan 3 sekolah dasar, representasi dapat digolongkan menjadi empat tipe, yaitu representasi verbal (tergolong representasi descriptive), gambar informational, gambar decorative, dan garis bilangan (tergolong representasi depictive). Perbedaan antara gambar informational dan gambar decorative adalah pada gambar decorative, gambar yang diberikan dalam soal tidak menyediakan setiap informasi pada siswa untuk menemukan solusi masalah, tetapi hanya sebagai penunjang atau tidak ada hubungan langsung kepada konteks masalah. Gambar informational menyediakan informasi penting untuk penyelesaian masalah atau masalah itu didasarkan pada gambar.

Shield & Galbraith (dalam Neria & Amit, 2004) menyatakan bahwa siswa dapat mengkomunikasikan penjelasan-penjelasan mereka tentang strategi matematika atau Shield & Galbraith (dalam Neria & Amit, 2004) menyatakan bahwa siswa dapat mengkomunikasikan penjelasan-penjelasan mereka tentang strategi matematika atau

Lesh, Post dan Behr (dalam Hwang, et. al., 2007) membagi representasi yang digunakan dalam pendidikan matematika dalam lima jenis, meliputi representasi objek dunia nyata, representasi konkret, representasi simbol aritmatika, representasi bahasa lisan atau verbal dan representasi gambar atau grafik. Di antara kelima representasi tersebut, tiga yang terakhir lebih abstrak dan merupakan tingkat representasi yang lebih tinggi dalam memecahkan masalah matematika. Kemampuan representasi bahasa atau verbal adalah kemampuan menerjemahkan sifat-sifat yang diselidiki dan hubungannya dalam masalah matematika ke dalam representasi verbal atau bahasa. Kemampuan representasi gambar atau grafik adalah kemampuan menerjemahkan masalah matematik ke dalam gambar atau grafik. Sedangkan kemampuan representasi simbol aritmatika adalah kemampuan menerjemahkan masalah matematika ke dalam representasi rumus aritmatika.

Dari beberapa penggolongan representasi tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya representasi dapat digolongkan menjadi (1) representasi visual (gambar, diagram grafik, atau tabel), (2) representasi simbolik (pernyataan matematik/notasi matematik, numerik/simbol aljabar) dan (3) representasi verbal (teks tertulis/kata-kata). Penggunaan semua jenis representasi tersebut dapat dibuat secara lengkap dan terpadu dalam pengujian suatu masalah yang sama atau dengan kata lain representasi matematik dapat dibuat secara beragam (multiple representasi).

Penggunaan beragam representasi akan memperkaya pengalaman belajar siswa. McCoy, et al (1996) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika di kelas, representasi tidak harus terikat pada perubahan satu bentuk ke bentuk lainnya dalam satu cara, tetapi bisa dua cara atau bahkan dalam multi cara. Misalnya disajikan representasi berupa grafik, guru dapat meminta siswa membuat representasi lainnya seperti menyajikannya dalam tabel, persamaan/model matematika atau menuliskannya dengan kata-kata. Jadi dalam pembelajaran matematika tidaklah selalu harus guru memberikan suatu masalah verbal atau suatu situasi masalah yang Penggunaan beragam representasi akan memperkaya pengalaman belajar siswa. McCoy, et al (1996) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika di kelas, representasi tidak harus terikat pada perubahan satu bentuk ke bentuk lainnya dalam satu cara, tetapi bisa dua cara atau bahkan dalam multi cara. Misalnya disajikan representasi berupa grafik, guru dapat meminta siswa membuat representasi lainnya seperti menyajikannya dalam tabel, persamaan/model matematika atau menuliskannya dengan kata-kata. Jadi dalam pembelajaran matematika tidaklah selalu harus guru memberikan suatu masalah verbal atau suatu situasi masalah yang

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan representasi matematis adalah kemampuan mengungkapkan ide-ide matematika (masalah, pernyataan, solusi, definisi, dan lain-lain) kedalam salah satu bentuk: (1) Gambar, diagram grafik, atau tabel; (2) Notasi matematik, numerik/simbol aljabar; dan (3) Teks tertulis/kata-kata, sebagai interpretasi dari pikirannya.

Pentingnya representasi dalam pembelajaran matematika telah banyak diteliti seperti penelitian Kalathil & Sherin (2000), Neria & Amit (2004), Gagatsis & Elia (2004), Elia (2004), Michaelidou, N, et al. (2004), Amit dan Fried (2005), Harries & Barmby (2006), Hwang, dkk (2007), dan lain-lain.

Kalathil & Sherin (2000) dalam studinya melaporkan bahwa ada tiga fungsi representasi eksternal yang dihasilkan siswa dalam belajar matematika. 1) Representasi digunakan untuk memberikan informasi kepada guru mengenai bagaimana siswa berpikir mengenai suatu konteks atau ide matematika. 2) Representasi digunakan untuk memberikan informasi tentang pola dan kecenderungan (trend) diantara siswa. 3) Representasi digunakan oleh guru dan siswa sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran.

Michaelidou, et. al. (2004) dan Harries & Barmby (2006) melaporkan tentang peran representasi dalam memahami konsep matematika di kelas. Kedua penelitian ini representasi ditafsirkan sebagai alat dalam merepresentasikan gagasan-gagasan matematika. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh Kalathil & Sherin (2000) dan Confrey & Smith (dalam Michaelidou, et. al, 2004). Hal yang serupa juga dinyatakan Hiebert dan Carpenter (dalam Harries dan Barmby, 2006) bahwa matematika dipahami jika representasi mentalnya adalah bagian dari jaringan representasi. Dengan kata lain, pembuatan dan pertukaran antar representasi penting untuk memahami matematika.

Gagatsis & Elia (2004) melaporkan bahwa empat representasi, yaitu repersentasi verbal, gambar informasional, gambar dekoratif, dan garis bilangan memberikan

pengaruh yang signifikan pada kemampuan pemecahan soal matematika siswa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Brenner, et. al (dalam Neria dan Amit, 2004) bahwa proses pemecahan masalah yang sukses tergantung pada keterampilan-keterampilan representasi masalah termasuk membuat dan menggunakan representasi matematika dalam kata, grafik, tabel, persamaan, manipulasi penyelesaian dan simbol. Selanjutnya Gagatsis & Elia (2004) melaporkan disamping model pembelajaran yang menggunakan keempat representasi dan faktor kemampuan umum siswa dalam memecahkan masalah lebih baik dari pada model belajar yang hanya menggunakan salah satu kemampuan representasi dalam memecahkan masalah. Hal ini sesuai dengan Proses pemecahan masalah yang sukses tergantung pada keterampilan-keterampilan representasi masalah termasuk membuat dan menggunakan representasi matematika dalam kata, grafik, tabel, persamaan, manipulasi penyelesaian dan simbol (Brenner, et. al dalam Neria dan Amit, 2004).

Hwang, et. al (2007), meneliti tentang pengaruh kemampuan multiple representasi dan kreativitas terhadap pemecahan masalah matematika dengan menggunakan sistem multimedia whiteboard. Dari studi ini, diperoleh hasil bahwa skor siswa yang menggunakan representasi rumus lebih baik dari siswa yang menggunakan representasi verbal dan gambar (grafik atau simbol). Kemampuan elaborasi (kemampuan memecahkan masalah menggunakan berbagai ilustrasi dan penjelasan) adalah faktor paling penting yang mempengaruhi keterampilan multiple representasi dalam pemecahan masalah matematis.

Elia (2004) melaporkan bahwa model representasi memberikan pengaruh yang signifikan dalam cara memecahkan masalah (soal). Namun demikian, representasi (gambar informasional atau garis bilangan) tidak selalu membuat cara menyelesaikan masalah menjadi lebih mudah, tetapi justru lebih sulit. Hal ini disebabkan oleh proses mentalnya lebih rumit dibandingkan model-model representasi lainnya.

Siswa dapat mengkomunikasikan penjelasan-penjelasan mereka mengenai strategi atau solusi matematika dalam berbagai cara: simbolis (angka dan simbol aljabar), secara verbal, secara diagram, secara grafik, atau dengan tabel data (Shield dan Galbraith dalam Neria dan Amit, 2004). Sehubungan dengan hal itu Neria dan Amit

( 2004) meneliti model-model model representasi yang dipilih siswa kelas sembilan dalam mengkomunikasikan langkah-langkah pemecahan masalah dan justifikasi mereka, serta untuk menyelidiki hubungan antara model-model representasi dan tingkat prestasi siswa. Studi ini melaporkan bahwa bahwa mayoritas siswa lebih menyukai representasi numerik dan verbal, dan minoritas siswa menyukai representasi aljabar. Hasil ini mungkin berhubungan dengan kesulitan siswa pada abstraknya aljabar dan cara aljabar yang diajarkan di sekolah. Hal ini sesuai temuan (Hembree, 1992, Shield & Galbraith, 1998, dalam Neria dan Amit, 2004) bahwa siswa mengalami kesulitan dalam abstraksi aljabar dan hanya siswa yang berbakat dan berani yang melakukannya. Hal yang sama juga dikemukakan (Herscovics & Lichevski, 1994, Lee & Wheeler, 1989, dalam Neria dan Amit, 2004) untuk dapat menggunakan bahasa aljabar, siswa perlu terbiasa pada model berfikir yang lebih berbeda dan lebih abstrak dibanding terbiasa dalam aritmatika, dan siswa cendrung untuk mundur pada dasar yang solid seperti bilangan atau kata.

C. PENUTUP Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa representasi matematis adalah ungkapan-ungkapan dari ide-ide matematika (masalah, pernyataan, definisi, dan lain-lain) yang digunakan untuk memperlihatkan (mengkomunikasikan) hasil kerjanya dengan cara tertentu (cara konvensional atau tidak konvensional) sebagai hasil interpretasi dari pikirannya. Sedangkan kemampuan representasi matematis adalah kemampuan mengungkapkan ide-ide matematika (masalah, pernyataan, solusi, definisi, dan lain-lain) kedalam salah satu bentuk: (1) Gambar, diagram grafik, atau tabel; (2) Notasi matematik, numerik/simbol aljabar; dan (3) Teks tertulis/kata-kata, sebagai interpretasi dari pikirannya.

Representasi sangat berperan dalam membantu peningkatan pemahaman siswa terhadap konsep matematika. Kemudian representasi juga dapat meningkatkan kemampuan komunikasi, dan pemecahan masalah matematis siswa. Secara umum representasi sangat berperan dalam peningkatan kompetensi matematika siswa. Selain Representasi sangat berperan dalam membantu peningkatan pemahaman siswa terhadap konsep matematika. Kemudian representasi juga dapat meningkatkan kemampuan komunikasi, dan pemecahan masalah matematis siswa. Secara umum representasi sangat berperan dalam peningkatan kompetensi matematika siswa. Selain

Daftar Pustaka

Amit, M & Fried, M,N. (2005). Multiple Representations In 8th Grade Algebra Lessons: Are Learners Really Getting It . In Chick, H. L. & Vincent, J. L. (Eds.). Proceedings of the 29th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, Vol. 2, pp. 57-64.

Elia, I. (2004). Multiple representations in mathematical problem solving : Exploring sex differences.[Online].Tersedia: http://prema.iacm.forth.gr/does/ws1/papers/iliada%20 Elia.pdf.

Gagatsis, A. & Elia, I. (2004). The Effects Of Different Modes Of Representation On Mathematical Problem Solving. Proceedings of the 28 th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, Vol. 2, pp. 447–454.

Gagatsis, A. (2004). The Role of Representasi in Secondary Mathematics Education. Proceedings of 10 th International Congress on Mathematical Education. 141- 146.

Gagatsis, A. & Elia, I. (2005). A Review Of Some Recent Studies On The Role Of Representations In Mathematics Education In Cyprus And Greece. [Online].Tersedia: http://cerme4.crm.es/Papers%20definitius/1/gagatsis.pdf .

Goldin, G. A. (2002). Representation in Mathematical Learning and Problem Solving. In L.D English (Ed). International Research in Mathematical Education IRME, 197- 218. New Jersey: Lawrence Erbaum Associates.

Hwang, et al. (2007). Multiple Representation Skills and Creativity Effects on Mathematical Problem Solving using a Multimedia Whiteboard System. Educational Technology & Society, Vol 10 No 2, pp. 191-212.

Harries, T. & Barmby, P. (2006). Representing Multiplication. Proceeding of the British Society for Research into Learning Mathematics. 26(3), 25 – 30.

Janvier, C. (1987). Problem of Representation in the Teaching and Learning of Mathematics. Hillsdale. New Jersey/London: Lawrence Erlbaum.

Kalathil, R.R., & Sherin, M.G. (2000). Role of Students' Representations in the Mathematics Classroom. In B. Fishman & S. O'Connor-Divelbiss (Eds.), Fourth International Conference of the Learning Sciences (pp. 27-28). Mahwah, NJ: Erlbaum.

McCoy,L.P., et. al (1996). Using Multiple Representation to Communicate: an Algebra Challenge. In P.C. Elliot & M.J. Kenney (Ed). Yearbook Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Reston. VA: NCTM.

Michaelidou, N, et al. (2004). The Number Line as a Representasion Decimal Number. Journal for Research in Mathematics Education. 38, 173 – 192.

National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics.

Neria, D. & Amit, M. (2004). Students Preference of Non-Algebraic Representations in Mathematical Communication. Proceedings of the 28 th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematical Education, 2004. Vol. 3 pp 409 – 416.

Ostad, S.A. Memahami dan Menangani Bilangan. [Online].Tersedia : http://www.idp-europe.org/indonesia/buku-inklusi/pdf/13- Memahami_dan_Menangan_Bilangan.pdf

Radford, L. (2001). Rethinking Representations. [Online].Tersedia: http://www.matedu.cinvestav.mx/Radford.pdf

Rosengrant, D, et.al (2005). An Overview of Recent Research on Multiple Representations. [Online]. Tersedia: http://paer.rutgers.edu/ScientificAbilities/Downloads/Papers/DavidRosperc2006. pdf

P-23

Hypothetical Learning Trajectory dan Peningkatan Pemahaman Konsep Pengukuran Panjang

Ariyadi Wijaya Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA – Universitas Negeri Yogyakarta

Abstrak

Suatu kegiatan pembelajaran tidak terlepas dari proses perencanaan dan desain. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran atau lesson plan merupakan salah satu bentuk nyata proses perencanaan pembelajaran. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran sangat bermanfaat sebagai panduan guru dalam melaksanaan kegiatan pembelajaran. Pendidikan Matematika Realistik memberikan perhatian pada perumusan hypothetical learning trajectory sebagai pedoman pelaksanaan pembelajaran sekaligus sebagai suatu tindakan antisipatif terhadap kemungkinan masalah yang dihadapi siswa dalam proses pembelajaran. Artikel ini menyajikan contoh perumusan hypothetical learning trajectory untuk pembelajaran pengukuran panjang.

Kata kunci: hypothetical learning trajectory, pengukuran panjang

I. Pendahuluan Suatu proses pembelajaran yang ideal tidak bisa dipisahkan dengan proses perencanaan dan desain pembelajaran. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran atau lesson plan merupakan salah satu bentuk nyata proses perencanaan dan desain pembelajaran. Akan tetapi, pada kenyataannya suatu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran hanya memuat hal-hal yang bersifat formalitas dalam bentuk “paket standar” pembelajaran, yaitu gambaran singkat tentang kegiatan pembukaan, kegiatan inti dan kegiatan penutup. Informasi selain ketiga tahap pembelajaran tersebut hanyalah sekedar ringkasan materi yang akan disampaikan. Sangat jarang guru menyiapkan hipotesis alternatif strategi pemecahan masalah yang digunakan siswa sehingga proses pembelajaran cenderung kurang bersifat open ended. Adanya hipotesis alternatif strategi pemecahan masalah yang digunakan siswa I. Pendahuluan Suatu proses pembelajaran yang ideal tidak bisa dipisahkan dengan proses perencanaan dan desain pembelajaran. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran atau lesson plan merupakan salah satu bentuk nyata proses perencanaan dan desain pembelajaran. Akan tetapi, pada kenyataannya suatu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran hanya memuat hal-hal yang bersifat formalitas dalam bentuk “paket standar” pembelajaran, yaitu gambaran singkat tentang kegiatan pembukaan, kegiatan inti dan kegiatan penutup. Informasi selain ketiga tahap pembelajaran tersebut hanyalah sekedar ringkasan materi yang akan disampaikan. Sangat jarang guru menyiapkan hipotesis alternatif strategi pemecahan masalah yang digunakan siswa sehingga proses pembelajaran cenderung kurang bersifat open ended. Adanya hipotesis alternatif strategi pemecahan masalah yang digunakan siswa

Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik menekankan pada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pembelajaran, yaitu hypothetical learning trajectory (rute belajar) siswa dan pengembangan model. Pentingnya hypothetical learning trajectory bisa dianalogikan dengan perencanaan rute perjalanan. Jika kita memahami rute-rute yang mungkin untuk menuju tujuan kita maka kita bisa memilih rute yang baik. Selain itu, kita juga bisa menyelesaikan permasalahan yang kita hadapi dalam perjalanan jika kita paham rute tersebut. Sebagai contoh adalah kita bisa mengantisipasi kehabisan bahan bakar jika kita tahu posisi pom bensin. Sedangkan pengembangan model sangat penting untuk membawa pengetahuan informal siswa (modal awal siswa yang terbentuk melalui kegiatan berbasis pengalaman) menuju konsep matematika formal (sebagai tujuan akhir pembelajaran matematika). Namun, dalam artikel ini hanya akan dibahas peran perumusan hypothetical learning trajectory dalam peningkatan pemahaman konsep pengukuran panjang.

Pada umumnya, pembelajaran tentang Pengukuran dilakukan secara langsung pada tahap formal (Castle & Needham, 2007; Kamii & Clark, 1997 and Van de Walle & Folk, 2005). Pembelajaran tentang Pengukuran langsung terpusat pada penggunaan penggaris sebagai suatu bentuk prosedur yang instrumental. Salah satu akibat dari pendekatan tersebut adalah siswa kurang memahami konsep pengukuran dan mereka akan cenderung melakukan pengukuran sebagai suatu bentuk prosedur instrumental. Kurangnya pemahaman konsep pengukuran menjadi salah satu penyebab ketidakmampuan siswa dalam mengukur panjang suatu benda yang tidak diletakkan pada posisi “0” di penggaris (Kamii & Clark, 1997; Kenney & Kouba in Van de Walle, 2005 and Lehrer et al, 2003). Sebagai contoh, lihat ilustrasi berikut:

Siswa yang kurang memahami konsep pengukuran akan menjawab bahwa panjang pensil adalah 9 (cm) karena pangkal pensil terletak pada posisi “9”.

Buys & de Moor (2005) dan Castle & Needham (2007) berpendapat bahwa pembelajaran tentang pengukuran bagi siswa sekolah dasar sebaiknya diawali dengan kegiatan mengukur yang bermakna. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya penggunaan kegiatan berbasis pengalaman (experience-based activities) yang memuat konsep dasar pengukuran. Dalam kegiatan berbasis pengalaman, pengetahuan informal tentang pengukuran digunakan sebagai jembatan untuk penggunaan penggaris sebagaai alat ukur baku. Prinsip dasar pembelajaran berbasis pengalaman sejalan dengan prinsip Pendidikan Matematika Realistik yang menekankan matematika bukanlah suatu obyek yang harus ditransfer kepada siswa, melainkan matematika merupakan suatu bentuk kegiatan manusia (Freudenthal, 1991). Oleh karena itu, Freudenthal menekankan pada pentingnya koneksi antara matematika dengan realitas melalui situasi permasalahan yang berkontribusi pada pembentukan konsep matematika.

II. Hypothetical Learning Trajectory Menurut Simon (1995), ada tiga komponen utama dari learning trajectory, yaitu: tujuan pembelajaran (learning goals), kegiatan pembelajaran (learning activities) dan hipotesis proses belajar siswa (hypothetical learning process). Tujuan pembelajaran sebagai komponen pertama mengindikasikan perlunya perumusan tujuan pembelajaran sebagai bentuk hasil yang akan kita tuju atau capai setelah proses pembelajaran. Penentuan tujuan pembelajaran sangat bermanfaat dalam penentuan arah dan strategi pembelajaran yang akan digunakan. Berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan maka kegiatan pembelajaran (learning activities) sebagai “jalan” untuk mencapai tujuan pembelajaran bisa dirancang. Kegiatan pembelajaran disusun menjadi beberapa sub-sub kegiatan dengan sub-sub tujuan pembelajaran. Komponen terakhir adalah hipotesis proses belajar siswa yang berguna untuk merancang tindakan ataupun strategi alternatif untuk mengatasi berbagai masalah yang mungkin dihadapi siswa dalam proses pembelajaran.

Artikel ini akan menyajikan contoh Hypothetical Learning Trajectory untuk pembelajaran pengukuran panjang, yaitu:

A. Tujuan pembelajaran Jika mengacu pada kurikulum, maka tujuan pembelajaran pengukuran panjang adalah:

− Mengenal panjang suatu benda melalui kalimat sehari-hari (pendek, panjang) dan membandingkannya − Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan waktu dan panjang

− Menggunakan alat ukur panjang tidak baku dan baku yang sering digunakan − Menggunakan satuan panjang tidak baku dan baku yang sering digunakan − Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan panjang benda

B. Kegiatan pembelajaran Berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan maka kegiatan pembelajaran bisa dirancang. Namun, hal yang harus dilakukan sebelum merancang kegiatan pembelajaran adalah memahami kesatuan konsep pengukuran panjang secara utuh sehingga urutan atau tahapan kegiatan pembelajaran sesuai dengan konsep dasar pengukuran panjang.

Van De Walle dan Folk (2005) mendefinisikan pengukuran sebagai suatu proses pembandingan atribut suatu benda dengan atribut yang sama dari suatu alat ukur. Ada beberapa tahapan untuk mencapai kegiatan pengukuran, yaitu tahap perbandingan, tahap estimasi atau perkiraan dan tahap pengukuran. Prosedur berikut menggambarkan tahapan dari pengukuran panjang:

a. Perbandingan panjang (comparing length) Perbandingan merupakan suatu bentuk paling sederhana dari pengukuran yang dapat dilakukan dengan cara “covering” (memadukan/menempelkan benda-benda yang akan dibandingkan) ataupun “matching” (memadankan benda-benda yang

akan dibandingkan). Cara sederhana untuk mengekspresikan hasil akan dibandingkan). Cara sederhana untuk mengekspresikan hasil

− Perbandingan langsung Perbandingan langsung dilakukan jika benda-benda yang akan

dibandingkan bisa diletakkan berdekatan sehingga bisa dibandingkaan secara langsung.

− Perbandingan tidak langsung Ketika benda yang akan dibandingkan tidak bisa diletakkan secara

berdampingan maka kita membutuhkan “pihak ketiga” untuk membandingkan benda tersebut. Pada perbandingan tidak langsung, “pihak ketiga” digunakan sebagai referensi atau acuan. Pada perkembangan tahap pengukuran maka “pihak ketiga” tersebut akan dikembangkan sebagai unit pengukuran.

b. Perkiraan panjang (estimating length) Perkiraan panjang merupakan bentuk perbandingan panjang yang dilakukan secara mental. Mental benchmarks sangat dibuthkan untuk melakukan estimasi panjang.

c. Pengukuran panjang (measuring length) Perbandingan tidak langsung merupakan awal munculnya pengukuran. “Pihak ketiga” yang digunakan pada perbandingan tidak langsung dikembangkan menjadi unit pengukuran.

Prosedur atau tahapan pengukuran tersebut dapat digambarkan dalam skema alur belajar siswa sebagai berikut:

Prosedur atau tahapan pengukuran tersebut dibentuk berdasarkan konsep dasar pengukuran. Lehrer (2003) membagi konsep dasar pengukuran panjang menjadi dua ide utaama, yaitu: konsepsi unit (conceptions of unit) dan konsepsi skala (conceptions of scale).

Kedua konsep utama tersebut digambarkan dalam table berikut:

Konsep Dasar

Deskripsi

• Iterasi unit

Unit pengukuran perlu diulang untuk mendapatkan hasil

• pengukuran

Unit yang identik

Suatu panjang bisa dibagi

menjadi sub-sub yang identik Konsepsi Unit Unit pengukuran harus

• Tiling

• Partisi

“memenuhi” benda yang diukur

Suatu unit bisa dibuat menjadi unit yang lebih kecil

• Titik NOL

Setiap titik atau posisi (pada alat ukur) bisa digunakan

sebagai titik awal pengukuran

• Presisi

Pemilihan unit pengukuran sangat berpengaruh pada tingkat presisi pengukuran. Semakin kecil unit pengukuran maka akan menghasilkan pengukuran yang lebih presisi

Konsepsi Skala

Kombinasi antara prosedur dan konsep dasar pengukuran panjang menghasilkan rumusan kegiatan instruksional untuk pembelajaran pengukuran panjang. Tabel berikut menggaambarkan satu set kegiatan instruksional untuk pembelajaran pengukuran yang dirumuskan oleh Van de Walle dan Folk (2005):

Pengetahuan Jenis aktivitas yang digunakan konseptual yang harus dikembangkan

1. Memahami jenis atribut 1. Kegiatan perbandingan berdasarkan atribut

(misal:

membandingkan panjang, membandingkan panjang,

2. Memahami bagaimana 2. Penggunaan model unit pengukuran cara

berbentuk fisik (jengkal, kaki, langkah, dll) covering

melakukan

(cover) atau matching

memadankan (match)

membandingkan atribut benda yang akan diukur

3. Memahami cara kerja 3. Memadukan alat ukur baku (misal penggaris) alat ukur

dengan alat ukur yang tidak baku (misal rangkaian manik-manik) untuk memahami bagaimana cara kerja alat ukur baku.

Skema berikut menggambarkan contoh rangkaian kegiatan pembelajaran pengukuran panjang yang disusun berdasarkan alur belajar siswa.

Perbandingan tidak langsung

d Bermain

se kelereng a

-b s it ie

ce n Kekekalan panjang

Unit pengukuran yang tidak baku

iv

Patil Lele atau

ie ct er Benthik p A x

E Unit pengukuran yang baku Unit yang identik

Mengukur dengan manik-

manik

it ie

Iterasi unit

Catatan:

• Penggaris buta : penggaris yang hanya terdiri dari garis-garis tanpa bilangan

ukuran • Penggaris normal: penggaris biasa yang dimulai dari angka NOL • Penggaris patah: penggaris yang tidak dimulai dari NOL, melainkan sebarang

bilangan

C. Hipotesis proses belajar siswa Salah satu unsure yang sangat penting dari Hypothetical Learning Trajectory adalah hipotesis proses belajar siswa. Ketika mendesain kegiatan pembelajaran, guru sebaiknya menyusun hipotesis tindakan atau reaksi siswa pada setiap tahap pembelajaran. Pada tahap awal perencanaan pembelajaran, hipotesis tersebut didasarkan pada perkiraan pengetahuan awal (pre knowledge) yang sudah dimiliki siswa serta berdasarkan pengalaman atau praktik pembelajaran topik tersebut pada tahun sebelumnya. Pada tahap selanjutnya, hipotesis dielaborasikan pada C. Hipotesis proses belajar siswa Salah satu unsure yang sangat penting dari Hypothetical Learning Trajectory adalah hipotesis proses belajar siswa. Ketika mendesain kegiatan pembelajaran, guru sebaiknya menyusun hipotesis tindakan atau reaksi siswa pada setiap tahap pembelajaran. Pada tahap awal perencanaan pembelajaran, hipotesis tersebut didasarkan pada perkiraan pengetahuan awal (pre knowledge) yang sudah dimiliki siswa serta berdasarkan pengalaman atau praktik pembelajaran topik tersebut pada tahun sebelumnya. Pada tahap selanjutnya, hipotesis dielaborasikan pada

Contoh hipotesis proses belajar siswa dalam pembelajaran tentang pengukuran panjang adalah sebagai berikut:

1. Dalam kegiatan mengukur panjang benda dengan jengkal Ketika siswa mengukur panjang suatu benda yang panjang seharusnya adalah dua setengah jengkal, maka siswa menekuk jengkal terakhir supaya mendapatkan bilangan bulat untuk banyak jengkal (yaitu: mereka mendapatkan hasil tiga jengkal). Untuk lebih jelasnya lihat gambar berikut:

Panjang seharusnya adalah tiga setengah jengkal

Siswa menekuk jengkal terakhir sehingga diperoleh tiga jengkal

Pada kejadian ini siswa masih belum memahami konsep pecahan dan siswa juga belum memahami konsep identical unit atau unit yang identik, yaitu bahwa panjang unit ukuran adalah tetap. Untuk mengatasi hal ini, guru bisa mengajak siswa untuk mengukur benda tersebut dengan menggunakan unit ukuran yang tidak fleksibel, misalkan pensil.

2. Dalam kegiatan mengukur panjang benda dengan kalung manik-manik Karakteristik kalung manik-manik adalah konkret dan mudah dioperasikan sehingga siswa tidak mengalami masalah berarti dalam mengukur benda dengan 2. Dalam kegiatan mengukur panjang benda dengan kalung manik-manik Karakteristik kalung manik-manik adalah konkret dan mudah dioperasikan sehingga siswa tidak mengalami masalah berarti dalam mengukur benda dengan

Kejadian tersebut menunjukkan kalau siswa masih bingung membedakan unit ukuran apa yang digunakan untuk mengukur, yaitu antara panjang satu utas kalung atau banyak manik-manik dalam satu kalung. “Lima puluh” menunjukkan kalau siswa menggunakan manik-manik pada kalung sebagai unit ukuran. Tetapi ketika siswa menjawab ½, hal ini menunjukkan kalau siswa menggunakan panjang satu utas kalung sebagai unit ukuran. Untuk mengatasi hal ini, guru bisa mengajukan pertanyaan: “Apa yang kamu gunakan untuk mengukur sehingga kamu peroleh hasil 50? Bagaimana kamu bisa mendapatkan hasil ½ ?” Selanjutnya guru bisa mengajak siswa untuk mengukur panjang benda yang lebih pendek dari satu utas kalung.

3. Dalam keegiatan membuat penggaris berdasarkan panjang kalung manik-manik Gambar berikut menunjukkan contoh kemungkinan bentuk penggaris buatan siswa:

Gambar 1. Siswa menuliskan bilangan “1” pada strip pertama

Gambar 3. Siswa menuliskan bilangan “0” pada strip pertama

− Gambar 1 menunjukkan kalau siswa masih belum memahami konsep menguku sebagai covering space. Siswa mengukur dengan menghitung banyaknya strip/garis pada penggaris.

Untuk mengatasi hal ini, siswa bisa meminta siswa mengukur suatu benda dengan kalung manik-manik dan penggaris buatan mereka. Ketika siswa menemukan kalau hasil pengukuran dengan penggaris selalu satu lebih banyak dari hasil mengukur dengan kalung, maka siswa diminta mendiskusikan hal tersebut dengan teman mereka.

− Gambar 2 menunjukkan kalau siswa sudah memahami kalau mengukur sebagai covering space, yaitu mengukur adalah banyaknya ruas (daerah antara dua garis) yang sesuai dengan panjang benda. Namun, siswa tersebut

belum memahami penulisan bilangan pada penggaris sebagai upaya memudahkan pembacaan hasil pengukuran.

− Gambar 3 menunjukkan kalau siswa sudah memahami konsep mengukur

sebagai covering space dan juga tujuan penulisan bilangan ukuran.

4. Dalam kegiatan mengukur dengan penggaris “buta” Beberapa kemungkinan aktivitas atau jawaban siswa ketika mengukur dengan penggaris “buta” adalah sebagai berikut:

− Siswa menghitung banyaknya strip/garis pada penggaris. Siswa yang menggunakan strategi ini belum memahami konsep mengukur

sebagai covering space karena mereka tidak menghitung banyaknya ruas.

− Siswa menghitung banyaknya ruas Siswa yang menggunakan strategi ini sudah memahami bahwa mengukur

adalah covering space. Untuk siswa yang belum memahami bahwa mengukur adalah covering space, maka guru dapat melakukan kegiatan berikut: Guru dapat kembali menggunakan kalung manik-manik untuk memberikan pemahaman tentang konsep mengukur sebagai covering space. Guru meminta siswa mengukur panjang suatu benda dengan penggaris buta dan kalung manik-manik. Ketika siswa mengukur dengan manik-manik, siswa menghitung banyaknya manik-manik. Guru mengajak siswa untuk membandingkan kalung dengan penggaris untuk mengamati diwakili oleh apakah manik-manik pada penggaris (lebih jelas lihat ilustrasi berikut).

Dua manik-manik sama panjang dengan dua ruas

1 ruas merupakan representasi 1 manik

1 ruas sama panjang dengan 1 manik-manik

5. Dalam kegiatan mengukur dengan penggaris “patah” Pada kegiatan mengukur dengan penggaris patah, siswa diminta untuk mengukur panjang benda dengan menggunakan penggaris yang tidak dimulai dari “0”.

10 atau 8?

Kemungkinan strategi siswa adalah sebagai berikut:. − Siswa akan menjawab kalau panjang pensil adalah 10 karena pangkal pensil terletak pada garis dengan nomor “10”.

Siswa yang melakukan strategi ini belum memahami konsep zero point, yaitu bahwa sembarang bilangan/posisi bisa digunakan sebagai titik awal pengukuran. Siswa tersebut hanya membaca (read out) penggaris. Strategi yang bisa dilakukan oleh guru adalah dengan memberikan penggaris patah yang “ekstrim”, misal yang diawali pada posisi/nomor “25”. Jika siswa masih menggunakan strategi read out maka siswa akan memperoleh hasil bahwa panjang pensil adalah 33. Diharapkan siswa memiliki kepekaan panjang (ssense of length) bahwa pensil yang pendek tidak mungkin memiliki panjang 33 sehingga siswa bisa diajak untuk memberi perhatian pada titik awal pengukuran (yaitu 25).

− Siswa tidak mempedulikan bilangan-bilangan pada penggaris dan langsung menghitung banyak garis.

Guru dapat melakukan kegiatan atau strategi yang sama dengan strategi yang digunakan pada kegiatan mengukur dengan penggaris “buta”.

− Siswa tidak mempedulikan bilangan-bilangan pada penggaris dan mereka menghitung banyak ruas.

Untuk membantu siswa memahami cara menggunakan penggaris, maka guru dapat memberi tugas untuk mengukur panjang benda secepat mungkin. Dengan diminta supaya cepat dalam mengukur maka siswa diharapkan tidak lagi melakukan penghitungan ruas tetapi mulai memperhatikan bilangan-bilangan pada penggaris.

III. Kesimpulan Berdasarkan uraian contoh penerapan hypothetical learning trajectory, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Hypothetical learning trajectory memberikan pemahaman pada guru tentang betapa pentingnya memperhatikan pengetahuan awal siswa dan juga perbedaan kemampuan siswa dalam menyusun desain pembelajaran.

2. Hypothetical learning trajectory dapat digunakan sebagai petunjuk guru dalam membagi tahapan pembelajaran, yaitu dengan membuat beberapa sub tujuan pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang utama.

3. Hypothetical learning trajectory bermanfaat sebagai panduan pelaksanaan pembelajaran sekaligus memberikan berbagai alternatif strategi ataupun scaffolding untuk membantu siswa mengatasi kesulitan dalam memahami konsep yang dipelajari.

Daftar Pustaka: Castle, K. & Needham, J. (2007). First Graders’ Understanding of Measurement. Early

Childhood Education Journal 35, 215 – 221. Freudenthal, H. (1991). Revisiting Mathematics Education: China Lectures. Dordrecht,

The Netherlands: Kluwer Academics Publisher. Gravemeijer, K. (2004). “Local Instruction Theories as Means of Support for Teachers in

Reform Mathematics Education”. Mathematical Thinking and Learning, 6(2), 105- 128.

Henshaw, J.M. (2006). Does Measurement Measure up? How Numbers Reveal & Conceal the Truth. Baltimore: The Johns Hopkins University Press.

Kamii, C., & Clark, F. B. (1997). Measurement of length: The need for a better approach to teaching. School Science and Mathematics, 97(3), 116–121.

Lehrer, R.; Jaslow, L. & Curtis, C. (2003). “Developing an Understanding of

Measurement in the Elementary Grades”. In Clement, H.D. & Bright, G. (Eds.), Learning and Teaching Measurement (pp. 57 – 67). Reston: NCTM.

Simon, M. A. & Tzur, Ron. (2004). Explicating the Role of Mathematical Tasks in Conceptual Learning: An Elaboration of the Hypothetical Learning Trajectory. Mathematical Thinking & Learning 6 (2), 91-104.

Stephen, M & Clements, H. D. (2003). Linear and Area Measurement in Prekindergarten to Grade 2. In Clement, H.D. & Bright, G. (Eds.), Learning and Teaching Measurement (pp. 100 – 121). Reston: NCTM.

Van de Wall, J. & Folk, S. (2005). Elementary and Middle School Mathematics. Teaching Developmentally. Toronto: Pearson Education Canada Inc

Zack, V. & Graves, B. (2001). Making mathematical meaning through dialogues: “Once you think of it the Z minus three seems pretty weird”. Educational studies in mathematics 46, 229-271.

P-24