A B AB AB

A B AB AB

Salah satu lingkaran AB selanjutnya dipotong menjadi 12 bagian yang sama dan disusun sebagai berikut.

Siswa diminta menentukan ukuran “panjang” dan “lebar” bentuk di atas. Pada tahap

1 ini kelompok dengan mudah menyatakan bahwa “panjang”nya adalah Keliling dan

“lebarnya” adalah jari-jari atau Diameter. Meskipun demikian, ada kelompok yang

mengukur dengan penggaris untuk memastikan bahwa “lebar”nya sama dengan jari- jari lingkaran yang mereka buat pertama kali.

Selanjutnya siswa diminta membagi lingkaran AB kedua menjadi bagian-bagian yang sama sebanyak mungkin dan menyusun kembali seperti pada lingkaran AB pertama. Dalam kegiatan tersebut siswa bekerja secara fisik dengan memanipulasi alat peraga dan bekerja secara mental yaitu berpikir untuk menemukan rumus luas lingkaran. Hal ini sangat baik karena didukung oleh pendapat Hudojo (1998:7) bahwa siswa perlu dilibatkan secara fisik dan mental dalam belajar serta melibatkan pengalaman konkret.

Pada tahap ini, kelas menjadi ramai. Siswa dalam kelompok nampak bekerja dengan aktif dan senang. Ada yang memotong, ada yang mengelem, dan ada yang menempel. Kegiatan saling bekerjasama dan berbagi tugas dalam menyelesaikan tugas kelompok merupakan hal penting. Sesuai pendapat Eggen dan Kauchak (1996:281), keterampilan sosial tersebut merupakan aspek yang sangat penting dalam belajar kooperatif.

LKS II ini mengarahkan siswa untuk menyadari bahwa potongan tadi setelah

1 disusun kembali akan membentuk “persegipanjang” dengan panjang K dan lebar r,

sehingga luasnya adalah ( K × r). Karena persegipanjang tersebut diperoleh dari

lingkaran dengan jari-jari r, maka luas lingkaran sama dengan luas persegipanjang. Melalui alur LKS II dan bimbingan guru, siswa akhirnya melakukan manipulasi symbol sebagai berikut.

L Lingkaran =L Persegipanjang =p × l

(2 π r) × r,

K=2 π r

2 = r 2 π Lebih lanjut, dengan bimbingan guru, kelompok diminta mengganti simbol r dengan d

melalui hubungan d = 2r atau r =

d. Akhirnya, siswa dapat memperoleh

L Lingkaran = π ( d) = π d .

2 4 Untuk sampai pada kesimpulan ini, guru melakukan bimbingan pada masing-masing kelompok. Hampir semua kelompok mengalami kesulitan dalam manipulasi simbol aljabar menemukan rumus akhir luas lingkaran. Guru memberikan bimbingan tetapi tetap berusaha agar siswa sendiri yang membentuk pengetahuan mereka melalui kegiatan penyelidikan dan diskusi. Hal ini sesuai dengan prinsip konstruktivisme bahwa guru berperan sebagai mediator dan fasilitator untuk membantu siswa membangun pengetahuan (Suparno, 1997:67). Pada kegiatan LKS II ini, komponen REACT yang muncul adalah mengaitkan (relating), mengalami (experiencing), mengaplikasikan (applying), dan bekerjasama (cooperating).

Perolehan luas lingkaran dengan cara membentuk persegipanjang terlebih dahulu memberikan gambaran pada siswa tentang aplikasi luas persegipanjang dan keterkaitan antara luas persegi panjang dan luas lingkaran. Keterkaitan ini akan memberikan pemahaman yang kuat pada benak siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Hudojo (1998:7) bahwa informasi baru harus dikaitkan dengan informasi sebelumnya sehingga menyatu dalam skemata yang dimiliki siswa.

Selanjutnya guru mempersilahkan kelompok untuk mengerjakan LKS III yang memuat 2 soal, yaitu soal aplikasi dan soal transfer. Berdasarkan pengamatan, semua kelompok dapat menjawab soal aplikasi dengan benar. Ketika mengerjakan soal-soal transfer, yaitu soal yang berkiatan dengan situasi baru, semua kelompok mengalami Selanjutnya guru mempersilahkan kelompok untuk mengerjakan LKS III yang memuat 2 soal, yaitu soal aplikasi dan soal transfer. Berdasarkan pengamatan, semua kelompok dapat menjawab soal aplikasi dengan benar. Ketika mengerjakan soal-soal transfer, yaitu soal yang berkiatan dengan situasi baru, semua kelompok mengalami

Ketika waktu pelajaran tinggal 10 menit (tahap inti sudah berlangsung selama

55 menit), guru meminta siswa menghentikan pekerjaannya dan mengumpulkan LKS seadanya. Guru menjelaskan bahwa pembelajaran akan dilanjutkan pada hari Sabtu, tanggal 31 Januari 2009. Guru menjelaskan bahwa pertemuan berikutnya adalah penyajian laporan. Guru menjelaskan bahwa tidak semua kelompok akan melaporkan hasil LKS. Guru akan menyeleksi kelompok pelapor tetapi tetap meminta masing- masing kelompok bersiap-siap. Kegiatan jam pelajaran habis, guru menutup pelajaran.

Pada hari Sabtu, 31 Januari 2009 merupakan pertemuan kedua untuk pembelajaran keliling dan luas lingkaran. Setelah membuka pelajaran, guru meminta ketua kelompok terpilih menyiapkan diri untuk melaporkan LKS pertemuan sebelumnya. Berdasarkan pemeriksaan hasil LKS dan pertimbangan waktu, peneliti dan guru memutuskan untuk memanggil satu kelompok yang akan melaporkan hasil diskusi. Hal ini dilakukan karena hasil LKS semua kelompok adalah sama meskipun ada redaksi yang berbeda. Kelompok yang terpilih untuk menyajikan laporan adalah kelompok VI. Pemilihan kelompok VI berdasarkan pertimbangan karena hasil LKSnya paling bagus dibanding kelompok yang lain. Selain itu, kelompok VI dapat menjawab semua soal pada LKS III dengan benar.

Setelah ketua kelompok VI selesai menyajikan LKSnya, guru meminta siswa memberikan tepuk tangan dan sekaligus memuji pelaksanaan diskusi kelompok yang telah berlangsung dengan baik. Selanjutnya guru memberikan penekanan lagi mengenai bilangan π , rumus keliling, dan luas lingkaran yang telah dipelajari siswa. Guru melakukan tanya jawab untuk mengetahui pemahaman siswa dengan kembali menanyakan rumus keliling dan luas lingkaran. Selain itu, guru juga meminta siswa untuk membuat simpulan. Pada akhir pembelajaran, guru sempat menanyakan respon siswa mengenai pembelajaran yang telah dilaksanakan sejak pertemuan sebelumnya. Siswa menyatakan senang, bersemangat, mengerti, dan meminta pembelajaran selanjutnya tetap berkelompok. Hasil wawancara menunjukkan bahwa subyek Setelah ketua kelompok VI selesai menyajikan LKSnya, guru meminta siswa memberikan tepuk tangan dan sekaligus memuji pelaksanaan diskusi kelompok yang telah berlangsung dengan baik. Selanjutnya guru memberikan penekanan lagi mengenai bilangan π , rumus keliling, dan luas lingkaran yang telah dipelajari siswa. Guru melakukan tanya jawab untuk mengetahui pemahaman siswa dengan kembali menanyakan rumus keliling dan luas lingkaran. Selain itu, guru juga meminta siswa untuk membuat simpulan. Pada akhir pembelajaran, guru sempat menanyakan respon siswa mengenai pembelajaran yang telah dilaksanakan sejak pertemuan sebelumnya. Siswa menyatakan senang, bersemangat, mengerti, dan meminta pembelajaran selanjutnya tetap berkelompok. Hasil wawancara menunjukkan bahwa subyek

Berdasarkan hasil tes akhir pada 5 Pebruari 2009, diperoleh bahwa 34 siswa memperoleh skor di atas 70 dan hanya 2 siswa memperoleh skor di bawah 70. Hasil ini menunjukkan bahwa pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran dalam penelitian ini sangat baik. Pemahaman siswa ini dapat disebabkan oleh banyak hal, misalnya perasaan senang saat belajar, situasi belajar kelompok, penggunaan LKS dan alat peraga serta manipulasi alat peraga, serta mereka sendiri yang menemukan rumus keliling dan luas lingkaran.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Berdasarkan paparan data dan pembahasan maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan strategi REACT dapat membantu siswa kelas

VIII SMP Negeri 6 Kota Mojokerto untuk membangun pemahaman pada materi keliling dan luas lingkaran. Meskipun demikian, waktu yang diperlukan adalah dua kali pertemuan. Jika dibanding pembelajaran dengan metode ekspositori, maka strategi REACT lebih banyak memakan waktu.

Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, beberapa saran yang dapat disampaikan

adalah sebagai berikut.

1. Guru matematika kelas VIII SMP disarankan untuk mempertimbangkan penerapan strategi REACT pada pembelajaran materi keliling dan luas lingkaran.

2. Guru matematika kelas VIII SMP yang menerapkan pembelajaran dengan strategi REACT hendaknya mengatur penggunaan waktu seefektif mungkin mengingat penelitian ini ternyata membutuhkan banyak waktu.

3. Kepada peneliti yang lain disarankan untuk mengadakan penelitian mengenai penerapan strategi REACT pada materi yang lain baik di sekolah yang sama maupun sekolah yang lain.

DAFTAR RUJUKAN Bell, F.H.. 1978. Teching Learning Mathematics: In Secondary Shooles. Iowa: Wn. C.

Brown Company Publishers.

Bobango, J.C. 1993. Geometry for All Student: Phase-Based Instruction. Dalam Cueves (Eds). Reaching All Students With mathematics, reston, VA. Virginia: National Council of Teachers of Mathematics.

Clements, D.H. & Battista, M.T.. 2001. Constructivist Learning and Teaching. (Http://www.terc.edu/investigation/relevant/html/constructivistlearning.html, diakses tanggal 02 Pebruari 2002).

Crawford, M. L., 2001. Teaching and Contextually. Research, Rationale, and Techniques

for Improving Student Motivation and Achievement in Mathematics and Science. Waco, Texas. CCI Publishing, Inc.

Dahar, R.W. 1988. Teori-teori Belajar. Jakarta: Depdikbud

Eggen, P.D & Kauchak, P.P.. 1996. Strategies for Teacher: Teaching Content and Thingking Skill. Boston: Alyn & Bacon.

Hill, Susan & Hill, Tim. 1993. The Collaborative Classroom: A Guide to Co-operative Learning. Victoria: Eleanor Curtin Publishing.

Hudojo, H.. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: P2LPTK.

Hudojo, H.. 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivis. Makalah disajikan pada Seminar Nasional “Upaya-upaya Meningkatkan Peran Pendidikan Matematika dalam Era Globalisasi”. PPS IKIP MALANG. Malang: 4 April.

Miles, M.B. & Huberman, A.M.. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Orton, A.. 1992. Learning Mathematics: Issues, Theory, and Practice. Great Britain: Redwood Books.

Purnomo, A.. 1999. Penguasaan Konsep Geometri dalam Hubungannya dengan Teori

Perkembangan Berpikir van Hiele pada Siswa Kelas II SLTP Negeri 6 Kodya Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS IKIP MALANG.

Skemp, R.R.. 1987. The Psychology of Learning Mathematics. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher

Sudarman. 2000. Pengembangan Paket Pembelajaran Berbantuan Komputer Materi Luas dan Keliling Segitiga untuk Kelas V Sekolah Dasar. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS UM.

Suparno, P.. 1997. Filsafat Konstuktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Van de Walle, J.A..1990. Elementary School Mathematics: Teaching Developmentally.

New York: Longman.

P-25

KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS MAHASISWA CALON GURU MATEMATIKA: APA dan BAGAIMANA MENGEMBANGKANNYA

Oleh Djamilah Bondan Widjajanti Jurusan Pendidikan Matematika, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta E-mail: dj_bondan@yahoo.com

Abstrak

Suatu soal atau pertanyaan merupakan suatu masalah apabila soal atau pertanyaan tersebut menantang untuk diselesaikan atau dijawab, dan prosedur untuk menyelesaikannya atau menjawabannya tidak dapat dilakukan secara rutin. Pemecahan masalah adalah proses yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Selain empat langkah pemecahan masalah matematika yang terkenal yang dikemukakan oleh G. Polya, dalam bukunya ”How to Solve It”, terdapat juga model pemecahan masalah yang disebut dengan Bransford’s IDEAL model dan Gick model.

Mahasiswa calon guru matematika harus cukup mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya dalam pemecahan masalah, mengingat termasuk di dalam tugasnya nanti ketika menjadi guru adalah membimbing siswa belajar memecahkan masalah matematika. Mengajarkan bagaimana menyelesaikan masalah merupakan kegiatan guru untuk memberikan tantangan atau motivasi kepada para siswa agar mereka mampu memahami masalah tersebut, tertarik untuk memecahkannya, mampu menggunakan semua pengetahuannya untuk merumuskan strategi dalam memecahkan masalah tersebut, melaksanakan strategi itu, dan menilai apakah jawabannya benar.

Melalui perkuliahan berbasis masalah (PBL), mahasiswa calon guru matematika dapat dikembangkan kemampuannya dalam pemecahan masalah. Ada banyak mata kuliah di Program Studi Pendidikan Matematika yang cocok diberikan menggunakan pendekatan PBL. Salah satu diantaranya adalah Matematika Diskret. Di dalam makalah ini diberikan contoh implementasi PBL dalam mata kuliah Matematika Diskret. Untuk dapat menjadi wahana pengembangan kemampuan pemecahan masalah, maka bahan ajar untuk mata kuliah Matematika Diskret dirancang secara khusus sedemikian hingga mahasiswa dapat belajar konsep tertentu melalui masalah yang diselesaikannya, sekaligus akan menjadi trampil menyelesaikan masalah matematis yang beragam.

Kata Kunci: pemecahan masalah, mahasiswa

Pendahuluan

Salah satu tujuan belajar matematika bagi siswa/mahasiswa adalah agar ia mempunyai kemampuan atau ketrampilan dalam memecahkan masalah atau soal-soal matematika, sebagai sarana baginya untuk mengasah penalaran yang cermat, logis, kritis, dan kreatif. Oleh karena itu, kemampuan pemecahan masalah menjadi fokus pembelajaran matematika di semua jenjang. Lebih-lebih bagi seorang mahasiswa calon guru matematika, tentu tidaklah cukup jika ia hanya mempunyai kemampuan tersebut untuk dirinya sendiri, sebab kelak jika ia telah menjadi guru, ia akan mempunyai tugas yang berat yaitu menjadikan siswanya memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah matematika.

Memperhatikan pentingnya seorang mahasiswa calon guru matematika mempunyai kemampuan pemecahan masalah, maka perkuliahan di Program Studi Pendidikan Matematika sudah seyogyanya difungsikan sebagai wahana bagi mahasiswa untuk meningkatkan kemampuannya. Makalah ini akan membahas apa dan bagaimana mengembangkan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa calon guru matematika. Pembahasan

a. Masalah Dalam belajar matematika, pada umumnya yang dianggap masalah bukanlah soal yang biasa dijumpai siswa. Hudoyo (1988) menyatakan bahwa soal/pertanyaan disebut masalah tergantung kepada pengetahuan yang dimiliki penjawab. Dapat terjadi bagi seseorang, pertanyaan itu dapat dijawab dengan menggunakan prosedur rutin baginya, namun bagi orang lain untuk menjawab pertanyaan tersebut memerlukan pengorganisasian pengetahuan yang telah dimiliki secara tidak rutin.

Senada dengan pendapat Hudoyo, Suherman, dkk. (2003) menyatakan bahwa suatu masalah biasanya memuat suatu situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya. Jika suatu masalah diberikan kepada seorang anak dan anak tersebut langsung mengetahui cara menyelesaikannya dengan benar, maka soal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai masalah bagi anak tersebut.

Memperhatikan pendapat-pendapat tentang masalah seperti tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa suatu soal atau pertanyaan merupakan suatu masalah apabila soal atau pertanyaan tersebut menantang untuk diselesaikan atau dijawab, dan prosedur untuk menyelesaikannya atau menjawabannya tidak dapat dilakukan secara rutin, sebagaimana Bell (1978) menyatakan bahwa “a situation is a problem for

a person if he or she is aware of its existence, recognizes that it requires action, wants or needs to act and does so, and is not immediately able to resolve the situation”.

b. Pemecahan Masalah Pemecahan masalah adalah proses yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Pada tahun 1983, Mayer mendefinisikan pemecahan masalah sebagai suatu proses banyak langkah dengan si pemecah masalah harus menemukan hubungan antara pengalaman (skema) masa lalunya dengan masalah yang sekarang dihadapinya dan kemudian bertindak untuk menyelesaikannya (Kirkley, 2003).

Pentingnya belajar pemecahan masalah dalam matematika, banyak ahli yang mengatakannya. Menurut Bell (1978) hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi-strategi pemecahan masalah yang umumnya dipelajari dalam pelajaran matematika, dalam hal-hal tertentu, dapat ditransfer dan diaplikasikan dalam situasi pemecahan masalah yang lain. Penyelesaian masalah secara matematis dapat membantu para siswa meningkatkan daya analitis mereka dan dapat menolong mereka dalam menerapkan daya tersebut pada bermacam-macam situasi.

Conney (dikutip Hudoyo, 1988) juga menyatakan bahwa mengajarkan penyelesaian masalah kepada peserta didik, memungkinkan peserta didik itu menjadi lebih analitis di dalam mengambil keputusan di dalam hidupnya. Dengan perkataan lain, bila peserta didik dilatih menyelesaikan masalah, maka peserta didik itu akan mampu mengambil keputusan, sebab peserta didik itu telah menjadi trampil tentang bagaimana mengumpulkan informasi yang relevan, menganalisis informasi, dan menyadari betapa perlunya meneliti kembali hasil yang telah diperolehnya.

Memperhatikan apa yang akan diperoleh siswa dengan belajar memecahkan masalah, maka wajarlah jika pemecahan masalah adalah bagian yang sangat penting, bahkan paling penting dalam belajar matematika. Hal ini karena pada dasarnya salah Memperhatikan apa yang akan diperoleh siswa dengan belajar memecahkan masalah, maka wajarlah jika pemecahan masalah adalah bagian yang sangat penting, bahkan paling penting dalam belajar matematika. Hal ini karena pada dasarnya salah

NCTM (2000) menyebutkan bahwa memecahkan masalah bukan saja merupakan suatu sasaran belajar matematika, tetapi sekaligus merupakan alat utama untuk melakukan belajar itu. Oleh karena itu, kemampuan pemecahan masalah menjadi fokus pembelajaran matematika di semua jenjang, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dengan mempelajari pemecahan masalah di dalam matematika, para siswa akan mendapatkan cara-cara berfikir, kebiasaan tekun, dan keingintahuan, serta kepercayaan diri di dalam situasi-situasi tidak biasa, sebagaimana situasi yang akan mereka hadapi di luar ruang kelas matematika. Di kehidupan sehari-hari dan dunia kerja, menjadi seorang pemecah masalah yang baik bisa membawa manfaat-manfaat besar.

Karena menyelesaikan masalah bagi siswa itu dapat bermakna proses untuk menerima tantangan, sebagaimana dikatakan Hudoyo (1988), maka mengajarkan bagaimana menyelesaikan masalah merupakan kegiatan guru untuk memberikan tantangan atau motivasi kepada para siswa agar mereka mampu memahami masalah tersebut, tertarik untuk memecahkannya, mampu menggunakan semua pengetahuannya untuk merumuskan strategi dalam memecahkan masalah tersebut, melaksanakan strategi itu, dan menilai apakah jawabannya benar. Untuk dapat memotivasi para siswa secara demikian, maka setiap guru matematika harus mengetahui dan memahami langkah-langkah dan strategi dalam penyelesaian masalah matematika.

Langkah pemecahan masalah matematika yang terkenal dikemukakan oleh G. Polya, dalam bukunya ”How to Solve It”. Empat langkah pemecahan masalah matematika menurut G. Polya tersebut adalah: ” (1) Understanding the problem, (2)

Devising plan, (3) Carrying out the plan, (4) Looking Back” (Alfeld, 1996). Hall (2000) juga membuat iktisar dari buku G Polya tersebut, dan merinci bahwa: (1) Memahami masalah, meliputi memberi label atau _able_ dan mengidentifikasi apa yang ditanyakan, syarat-syarat, apa yang diketahui (datanya), dan menentukan solubility masalahnya, (2) Membuat sebuah rencana, yang berarti menggambarkan pengetahuan sebelumnya untuk kerangka teknik penyelesaian yang sesuai, dan menuliskannya kembali masalahnya jika perlu, (3) Menyelesaikan masalah tersebut, menggunakan teknik penyelesaian yang sudah dipilih, dan (4) Mengecek kebenaran dari penyelesaiannya yang diperoleh dan memasukkan masalah dan penyelesaian tersebut kedalam memori untuk kelak digunakan dalam menyelesaikan masalah dikemudian hari.

Hampir sama dengan Polya, Dominowski (2002) menyatakan ada 3 tahapan umum untuk menyelesaikan suatu masalah, yaitu: interpretasi, produksi, dan evaluasi. Interpretasi merujuk pada bagaimana seorang pemecah masalah memahami atau menyajikan secara mental suatu masalah. Produksi menyangkut pemilihan jawaban atau langkah yang mungkin untuk membuat penyelesaian. Evaluasi adalah proses dari penilaian kecukupan dari jawaban yang mungkin, atau langkah lanjutan yang telah dilakukan selama mencoba atau berusaha menyelesaikan suatu masalah.

Kirkley (2003) menyebutkan bahwa model pemecahan masalah yang umum pada tahun 60-an, adalah Bransford’s IDEAL model, yaitu: (1) Identify the problem, (2) Define the problem through thinking about it and sorting out the relevant information, (3) Explore solutions through looking at alternatives, brainstorming, and checking out different points of view, (4) Act on the strategies, and (5) Look back and evaluate the effects of your activity.

Sedangkan model pemecahan masalah yang lain, yang akhir-akhir sering digunakan adalah model dari Gick (Kirkley, 2003). Dalam model ini urutan dasar dari tiga kegiatan kognitif dalam pemecahan masalah, yaitu: (1) Menyajikan masalah, termasuk memanggil kembali konteks pengetahuan yang sesuai, dan mengidentifikasi tujuan dan kondisi awal yang relevan dari masalah tersebut, (2) Mencari penyelesaian, termasuk memperhalus tujuan dan mengembangkan suatu rencana untuk bertindak Sedangkan model pemecahan masalah yang lain, yang akhir-akhir sering digunakan adalah model dari Gick (Kirkley, 2003). Dalam model ini urutan dasar dari tiga kegiatan kognitif dalam pemecahan masalah, yaitu: (1) Menyajikan masalah, termasuk memanggil kembali konteks pengetahuan yang sesuai, dan mengidentifikasi tujuan dan kondisi awal yang relevan dari masalah tersebut, (2) Mencari penyelesaian, termasuk memperhalus tujuan dan mengembangkan suatu rencana untuk bertindak

Menyangkut strategi untuk menyelesaikan masalah, Suherman, dkk. (2003) antara lain menyebutkan beberapa strategi pemecahan masalah, yaitu: (1) Act it Out (menggunakan gerakan fisik atau menggerakkan benda kongkrit), (2) Membuat gambar dan diagram, (3) Menemukan pola, (4) Membuat tabel, (5) Memperhatikan semua kemungkinan secara sistematis, (6) Tebak dan periksa, (7) Kerja mundur, (8) Menentukan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, dan informasi yang diperlukan, (9) Menggunakan kalimat terbuka, (10) Menyelesaikan masalah yang mirip atau yang lebih mudah, dan (11) Mengubah sudut pandang.

Para guru dapat memberikan masalah yang beragam cara penyelesaiannya, sehingga para siswa berkesempatan untuk mencoba beberapa strategi untuk mendapatkan berbagai pengalaman belajar. Jika ditinjau dari jenis masalah yang diselesaikannya, Kirkley (2003) menyebutkan ada 3 jenis masalah, yaitu: (1) Masalah- masalah yang terstruktur dengan baik (well structured problems), (2) Masalah-masalah yang terstruktur secara cukup (moderately structured problems), dan (3) Masalah- masalah yang strukturnya jelek (ill structured problems). Masalah yang terstuktur dengan baik, strategi untuk menyelesaikannya biasanya dapat diduga, mempunyai satu jawaban yang benar, dan semua informasi awal biasanya bagian dari pernyataan masalahnya. Masalah yang terstruktur secara cukup, sering mempunyai lebih dari satu strategi penyelesaian yang cocok, mempunyai satu jawaban yang benar, dan masih memerlukan informasi tambahan untuk menyelesaikannya. Masalah-masalah yang strukturnya jelek, penyelesaiannya tidak terdefinisi dengan baik dan tidak terduga, mempunyai banyak perspekif, banyak tujuan, dan banyak penyelesaian, serta masih memerlukan informasi tambahan untuk menyelesaikannya.

Berbagai jenis masalah perlu diberikan kepada siswa secara bertahap. Adalah penting bagi seorang guru matematika untuk memahami bahwasanya orientasi di dalam pendidikan adalah peserta didik. Menurut Hudoyo (1988) peserta didik harus dibekali bagaimana belajar itu sebenarnya. Karena itu peserta didik harus dilatih menyelesaikan berbagai jenis masalah.

Demikian pentingnya aspek pemecahan masalah ini dalam belajar matematika, sehingga NCTM (2000) menyebutkan bahwa program-program pembelajaran dari pra TK hingga kelas 12 seharusnya memungkinkan semua siswa untuk mampu: (1) Membangun pengetahuan matematis yang baru melalui pemecahan masalah, (2) Memecahkan permasalahan yang muncul di dalam matematika dan di dalam konteks- konteks lain, (3) Menerapkan dan mengadaptasi beragam strategi yang sesuai untuk memecahkan permasalahan, dan (4) Memonitor dan merefleksi pada proses pemecahan masalah matematis.

c. Kemampuan Pemecahan Masalah Memperhatikan pengertian masalah, pentingnya siswa belajar pemecahan masalah, langkah-langkah dan strategi pemecahan masalah, seperti tersebut di atas, maka memiliki kemampuan pemecahan masalah tidak hanya penting untuk siswa, tetapi juga penting untuk mahasiswa, khususnya mahasiswa calon guru matematika.

Pentingnya kemampuan pemecahan masalah bagi seorang calon guru matematika, seperti halnya kemampuan yang lain, yaitu penalaran dan pembuktian, komunikasi, koneksi, maupun representasi matematik, terbukti dari ditentukannya standar untuk kemampuan-kemampuan tersebut dalam NCTM (National Council of Teachers of Mathematics, 2003). Seorang calon guru matematika haruslah mengetahui, memahami, dan dapat menerapkan proses dari pemecahan masalah matematika. Lebih-lebih bagi seorang calon guru matematika, tidaklah cukup hanya mempunyai kemampuan pemecahan masalah untuk dirinya sendiri, sebab kelak jika ia telah menjadi guru, ia akan mempunyai tugas yang berat, yaitu membimbing siswanya agar memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah matematika.

Indikator yang dapat menunjukkan apakah seorang calon guru matematika telah mempunyai kemampuan pemecahan masalah, menurut NCTM (2003) adalah: (1) Menerapkan dan mengadaptasi berbagai pendekatan dan strategi untuk menyelesaikan masalah, (2) Menyelesaikan masalah yang muncul di dalam matematika atau di dalam konteks lain yang melibatkan matematika, (3) Membangun Indikator yang dapat menunjukkan apakah seorang calon guru matematika telah mempunyai kemampuan pemecahan masalah, menurut NCTM (2003) adalah: (1) Menerapkan dan mengadaptasi berbagai pendekatan dan strategi untuk menyelesaikan masalah, (2) Menyelesaikan masalah yang muncul di dalam matematika atau di dalam konteks lain yang melibatkan matematika, (3) Membangun

Terkait dengan indikator pertama, yaitu mampu menerapkan dan mengadaptasi berbagai pendekatan dan strategi untuk menyelesaikan masalah ini sangat penting bagi seorang calon guru terkait dengan tugasnya nanti dalam membimbing siswa menyelesaikan masalah.

Kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang muncul di dalam matematika atau di dalam konteks lain yang melibatkan matematika, penting bagi seorang calon guru matematika agar ia mempunyai cukup ketrampilan yang akan digunakannya untuk membimbing siswa belajar matematika nantinya, apalagi jika dikaitkan dengan perlunya siswa belajar matematika dalam konteks yang beragam, sebagaimana disarankan dalam pendekatan kontekstual.

Indikator ketiga, yaitu mampu membangun pengetahuan matematis yang baru lewat pemecahan masalah, terutama terkait dengan perlunya seorang calon guru matematika mampu memilih dan mengembangkan masalah dan penyelesaiannya, agar nanti iapun kelak jika telah menjadi guru akan dapat mengarahkan para siswanya belajar berbagai ketrampilan matematis, dan membangun gagasan-gagasan matematis yang penting.

Memonitor dan merefleksi pada proses pemecahan masalah matematis, bermakna bahwa untuk menjadi seorang pemecah masalah yang baik, seorang calon guru matematika haruslah mampu secara kritis meninjau sendiri apa strategi penyelesaian yang sudah dipilihnya. Bransford (dalam NCTM, 2000) menyatakan bahwa para pemecah masalah yang baik menyadari apa yang sedang mereka lakukan dan seringkali memonitor, atau meninjau sendiri, kemajuan diri mereka sendiri, atau menyesuaikan strategi-strategi mereka saat menghadapi dan memecahkan permasalahan.

Memperhatikan uraian standar dan indikator kemampuan pemecahan masalah seperti tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa seorang calon guru matematika dikatakan telah mempunyai kemampuan pemecahan masalah matematis yang baik jika ia telah mampu: (1) Memahami masalah, (2) Memilih strategi yang tepat untuk Memperhatikan uraian standar dan indikator kemampuan pemecahan masalah seperti tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa seorang calon guru matematika dikatakan telah mempunyai kemampuan pemecahan masalah matematis yang baik jika ia telah mampu: (1) Memahami masalah, (2) Memilih strategi yang tepat untuk

Meskipun sudah terdapat panduan yang menyangkut langkah-langkah dan strategi-strategi umum untuk menyelesaikan suatu masalah seperti tersebut di atas, namun tidak berarti seseorang tidak menemui kendala dalam mempraktekkannya. Beberapa kendala yang mungkin ditemui seseorang dalam menyelesaikan masalah antara lain menyangkut salah interpretasi, ukuran masalah, dan motivasi (Dominowski, 2002).

Terkait dengan kendala salah interpretasi, besar kemungkinan hal ini dikarenakan ketidakjelasan deskripsi masalahnya, kerancuan bahasa yang digunakan, atau kekurangtepatan penggunaan istilah, notasi, gambar, tabel atau grafik yang digunakan untuk merepresentasikan masalah tersebut. Dengan demikian, kemampuan untuk memecahkan masalah juga terkait erat dengan kemampuan komunikasi matematis.

d. Mengembangkan Kemampuan Pemecahan Masalah: sebuah contoh Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa calon guru matematika dapat dilakukan melalui perkuliahan dengan pendekatan berbasis masalah (Problem Based Learning, PBL). Pendekatan perkuliahan berbasis masalah yang mempunyai karakteristik: (1) Pembelajaran dipandu oleh masalah yang menantang, (2) Para mahasiswa bekerja dalam kelompok kecil, dan (3) Dosen mengambil peran sebagai ”fasilitator” dalam perkuliahan; diyakini cukup menjanjikan kemungkinan untuk dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa.

PBL menampilkan perkuliahan sebagai kegiatan pemecahan masalah bagi mahasiswa. Dalam rangka untuk menyelesaikan masalah tersebut para mahasiswa akan belajar dalam kelompok kecil, saling mengajukan ide kreatif mereka, berdiskusi, dan berfikir secara kritis (Roh, 2003). Juga, mahasiswa-mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan pendekatan PBL mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk belajar proses matematika yang berkaitan dengan komunikasi, representasi, pemodelan, dan penalaran. Dibandingkan pendekatan pembelajaran tradisional, PBL PBL menampilkan perkuliahan sebagai kegiatan pemecahan masalah bagi mahasiswa. Dalam rangka untuk menyelesaikan masalah tersebut para mahasiswa akan belajar dalam kelompok kecil, saling mengajukan ide kreatif mereka, berdiskusi, dan berfikir secara kritis (Roh, 2003). Juga, mahasiswa-mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan pendekatan PBL mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk belajar proses matematika yang berkaitan dengan komunikasi, representasi, pemodelan, dan penalaran. Dibandingkan pendekatan pembelajaran tradisional, PBL

Untuk memberi gambaran bagaimana cara mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa melalui PBL, berikut ini diberikan sebuah contoh implementasi PBL dalam perkuliahan Matematika Diskret untuk mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika di FMIPA UNY. Perkuliahan Matematika Diskret,

3 sks, untuk mahasiswa semester V, secara khusus dirancang untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa calon guru matematika.. Pada prinsipnya, mata kuliah Matematika Diskret berisi bahasan konsep- konsep, prinsip-prinsip, prosedur atau algoritma tentang dasar-dasar kaidah pencacahan, permutasi, kombinasi, relasi rekurensi, fungsi pembangkit, dan graf, serta penerapannya dalam berbagai bidang. Menguasai dengan baik mata kuliah ini akan sangat membantu mahasiswa calon guru matematika dalam mempelajari penerapan matematika dalam berbagai bidang, seperti dalam teori peluang, hitung keuangan, masalah transpotasi, riset operasi, dan ilmu komputer.

Mata kuliah Matematika Diskret dipandang tepat disampaikan menggunakan pendekatan berbasis masalah mengingat karakteristik topik-topik yang dibahas memuat banyak terapan dalam berbagai bidang. Buku Discrete Mathematics and Its Applications karangan Rosen, H. K terbitan McGraw-Hill tahun 1999 menyajikan banyak sekali contoh-contoh dan soal-soal Matematika Diskret yang beragam. Oleh karena itu, selalu tersedia banyak dan beragam pilihan masalah yang dapat digunakan dosen untuk memandu perkuliahan. Meskipun buku teks Matematika Diskret banyak yang menyajikan contoh dan soal yang beragam, namun masih diperlukan handout atau bahan ajar yang harus dirancang secara khusus, disesuaikan dengan pendekatan perkulihan yang dipilih, yaitu PBL.

Dimulai dengan pemberian masalah, dengan tingkat kesulitan yang beragam, mulai dari yang lebih mudah ke yang lebih sukar, mahasiswa belajar memahami masalah, memilih strategi penyelesaian, menyelesaikan masalahnya, dan mengecek penyelesaian yang diperolehnya. Pada menit-menit awal perkuliahan mahasiswa diberi kesempatan untuk memahami masalah dan memikirkan strategi penyelesaiannya Dimulai dengan pemberian masalah, dengan tingkat kesulitan yang beragam, mulai dari yang lebih mudah ke yang lebih sukar, mahasiswa belajar memahami masalah, memilih strategi penyelesaian, menyelesaikan masalahnya, dan mengecek penyelesaian yang diperolehnya. Pada menit-menit awal perkuliahan mahasiswa diberi kesempatan untuk memahami masalah dan memikirkan strategi penyelesaiannya

Penutup Kendala yang dihadapi seorang dosen dalam mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa calon guru matematika antara lain adalah dalam pemilihan masalah yang dimaksudkan untuk memandu perkuliahan. Kendala ini muncul mengingat keragamam mahasiswa dalam satu kelas pada umumnya. Pertanyaan atau soal yang menjadi masalah bagi seseorang atau sekelompok mahasiswa, belum tentu merupakan masalah bagi mahasiswa atau kelompok lain. Sharing pengetahuan, wawasan, dan pengalaman antar dosen mata kuliah yang sama dapat menjadi solusi untuk kendala ini.

Daftar Pustaka Alfeld,

Mathemathics.[online]. Tersedia: http://www.math. utah.edu/~pa/math/polya.html. [ 10 Juli 2007].

Peter. (1996).

Understanding

Bell, F. H. (1978). Teaching and Learning Mathematics. USA: Wm.C. Brown Company Publishers.

Dominowski, R.L. (2002). Teaching Undergraduates. New Jersey: Lawrence Erlbaum Assosiates Publishers.

Hall, A. (2000) Math Forum: Learning and Mathematics: Common –Sense Questions – Polya. [Online]. Tersedia: http://mathforum.org/~sarah/discussion.Sessions/ Polya.html . [15 Juli 2007].

Hudoyo, Herman. (1988). Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kirkley, Jamie. (2003). Principles for Teaching Problem Solving. Plato Learning, Inc.

National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Prinsiples and Standards for School Mathematics. Reston: NCTM.

National Council of Teachers of Mathematics. (2003). NCTM Program Standards. Programs for Initial Preparation of Mathematics Teachers. Standards for Secondary Mathematics Teachers. [Online]. Tersedia: http://www.nctm.org/ uploadedFiles/Math_Standards/ [ 10 Maret 2008].

Roh, Kyeong Ha. (2003). Problem-Based Learning in Mathematics. Dalam ERIC Digest. ERIC Identifier: EDO-SE-03-07. [Online]. Tersedia: http://www.ericdigest.org/ . [4 Desember 2007].

Rosen, H. K. (1999). Discrete Mathematics and Its Applications. Singapore: McGraw- Hill.

Schoenfeld, H.A. (1994). Mathematical Thinking and Problem Solving. New Jersey: Lawrence Erlbaum Assosiates Publishers.

Suherman, Erman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI dan IMSTEP JICA. Tan, Oon-Seng. (2004). Cognition, Metacognition, and Problem-Based Learning, in Enhancing Thinking through Problem-based Learning Approaches. Singapore: Thomson Learning.

P-26

PANDANGAN MATEMATIKA SEBAGAI AKTIVITAS INSANI BESERTA DAMPAK PEMBELAJARANNYA Oleh: Sugiman

Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta

Abstrak

Perbedaan pandangan terhadap matematika mempengaruhi perbedaaan pembelajarannya. Trend sekarang memandang bahwa matematika sebagai aktivitas insani dengan menerapkan paradigma belajar. Melalui belajar matematika sekolah, siswa tidak hanya belajar matematika namun juga kegunaan matematika dalam kehidupan sehingga mereka tumbuh menjadi warga negara yang mempunyai kemampuan literasi matematis. Pembelajaran matematika di kelas bersifat kolaboratif dan bermula dengan pemberian soal pemecahan masalah yang konstekstual dan kemudian melalui tahapan enaktif, ikonik, dan simbolik siswa mengalami proses matematisasi horisontal dan vertikal.

Kata kunci: aktivitas insani, literasi matematis, kolaboratif, matematisasi.

A. Pendahuluan

Perbedaan pandangan terhadap matematika muncul sejak zaman dahulu sampai sekarang. Perbedaan pandangan ini dipengaruhi oleh filsafat yang dianutnya. Sedikitnya ada tiga aliran besar dalam filsafat matematika, yaitu Platonisme, Formalisme, dan Intuisionisme. Para penganut Platonisme menganggap bilangan adalah abstrak, memerlukan eksistensi objek, dan bebas dari akal budi manusia. Menurut aliran Formalisme, matematika adalah tidak lebih dan tidak kurang dari bahasa matematika (mathematical language). Sedangkan menurut paham Intuisionisme, matematika adalah suatu kreasi dari akal budi manusia (Anglin, 1994: p. 218-219). Aliran keempat yang sering tidak disebut adalah Eklektisisme yakni faham yang memadukan ketiga filosofi di atas. Perbedaan sudut pandang terhadap matematika mengakibatkan perbedaan dalam mengembangkan dan mengajarkan Perbedaan pandangan terhadap matematika muncul sejak zaman dahulu sampai sekarang. Perbedaan pandangan ini dipengaruhi oleh filsafat yang dianutnya. Sedikitnya ada tiga aliran besar dalam filsafat matematika, yaitu Platonisme, Formalisme, dan Intuisionisme. Para penganut Platonisme menganggap bilangan adalah abstrak, memerlukan eksistensi objek, dan bebas dari akal budi manusia. Menurut aliran Formalisme, matematika adalah tidak lebih dan tidak kurang dari bahasa matematika (mathematical language). Sedangkan menurut paham Intuisionisme, matematika adalah suatu kreasi dari akal budi manusia (Anglin, 1994: p. 218-219). Aliran keempat yang sering tidak disebut adalah Eklektisisme yakni faham yang memadukan ketiga filosofi di atas. Perbedaan sudut pandang terhadap matematika mengakibatkan perbedaan dalam mengembangkan dan mengajarkan

Sampai saat ini terdapat banyak ahli pendidikan yang mengembangkan teori belajar dan mengajar. Tokoh-tokoh tersebut misalnya Jean Piaget dengan teori perkembangan mental, Vygotsky dengan teori ZPD, Jerome S. Bruner dengan metode penemuan dan teori scaffolding, Zoltan P. Dienes mengenai pengajaran matematika, Van Hiele dalam pengajaran geometri, Albert Baruda dengan belajar menirunya, Ausubel dengan belajar bermakna, Robert M. Gagne dan B.F. Skinner dalam paham tingkah laku, dan Freudenthal dengan Matematika Realistik (Vygotsky, 1978; Hudojo, 1988; Dahar, 1996; Gravemeijer, 1994; Oakly, 2004; Ruseffendi, 2006).

Secara umum terjadi perubahan trend strategi dalam pembelajaran matematika dari masa ke masa. Trend ini terjadi di seluruh dunia walaupun tidak dalam waktu yang bersamaan. Di masa lalu pada permulaan abad ke-20, otak dianggap tersusun atas fakulti-fakulti yang perlu dilatih sehinga pembelajaran matematika dianggap sebagai latihan mental (Ruseffendi, 2006: h. 129). Akibatnya materi yang diberikan adalah yang sulit, semakin sulit semakin bagus. Pada saat ini paradigma tersebut bergeser menuju pada paradigma belajar yang mana pelaksanaan pembelajaran lebih mengedepankan pada kepentingan siswa. Terkait dengan hal ini, Canfied dan Hansen (2004: hal. 3) mengutip ungkapan Meladee McCarty bahwa “Anak- anak di dalam kelas kita mutlak lebih penting daripada pelajaran yang kita ajarkan kepada mereka. “

Penempatan anak yang merupakan sasaran pertama dalam sistem pendidikan sudah menjadi program UNESCO. UNESCO menetapkan arah dari pendidikan berupa learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Namun demikian dalam rembug nasional yang yang selenggarakan oleh Balitbang-Depdiknas (2007) menyebutkan bahwa empat konsep UNESCO harus ditambah dengan learning to learn agar pembelajaran dapat berlangsung sepanjang hayat, sehingga pendidikan yang diberikan dalam dunia pendidikan formal seyogyanya dapat memberikan pembelajaran untuk belajar sepanjang hayat. Konsep learning to learn telah lama dikemukakan oleh dikemukakan oleh Jerome Bruner (dalam Bell, 1981, p. 69).

Lange (1992) memandang bahwa pembelajaran matematika yang baik adalah yang memperhatikan pada tiga dimensi tujuan, terlihat pada Gambar 1, yakni dimensi menjadikan warga yang cerdas melalui literasi matematis, dimensi penyiapan ke dunia kerja dan ke sekolah lanjutan, dan dimensi matematika sebagai suatu disiplin.

Di tingkat nasional, Kurikulum 2006 menyebutkan bahwa melalui pembelajaran matematika siswa dibekali dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kemampuan ini berguna dalam memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.

Dunia kerja dan sekolah lanjutan

Warga yang literasi matematik

Matematika sebagai disiplin ilmu

Gambar 1. Dimensi Tujuan Pembelajaran Matematika (Lange, 1992)

Dalam kenyataannya tidak mudah agar perubahan paradigma berjalan di sekolah-sekolah. Dalam sebuah seminar, secara jujur, seorang guru mengungkapkan mengenai kekurangsiapannya dalam menerapkan paradigma belajar. Ia menyebutkan bahwa para guru banyak yang takut apabila tidak bisa menjawab pertanyaan siswa, itulah sebabnya mengapa siswa tidak dirangsang guru agar bertanya dan bertanya- tanya (Panca, 2003). Perubahan paradigma tersebut tidak mungkin berlangsung secara serta merta, namun melalui proses yang panjang dan harus diupayakan secara terus menerus. Ungkapan Panca (2003) di atas didukung dengan penemuan dari Sato (2007) yang berdasarkan pengalamannya dalam kegiatan IMSTEP-JICA di Indonesia, ia mengemukakan bahwa sebagian besar guru di Indonesia masih menerapkan metode konvensional dengan ciri-ciri:

1. Guru memberikan perintah pada sekelompok siswa dengan metode ceramah.

2. Pertanyaan yang diajukan guru kepada siswa masih berupa pertanyaan sederhana, seperti “apakah ini?“ dan “apakah ini benar?”

3. Apabila siswa dikategorikan dalam kelom pok “atas, “menengah”, dan “bawah”; materi buku teks yang digunakan lebih cocok bagi tingkat menengah dari kelompok atas siswa.

4. Guru cenderung mengelola pelajaran bagi tingkat menengah dari kelompok atas siswa.

5. Siswa yang mampu memetik ilmu hanyalah mereka yang dalam kelompok menengah.

Dari uraian di atas tampak bahwa problematika pembelajaran matematika di Indonesia masih terjadi, walaupun secara formal Indonesia telah meratifikasi program UNESCO. Problematika ini muncul akibat dari pandangan guru terhadap matematika yang masih dipengaruhi oleh faham matematika sebagai ilmu berhitung dan aliran matematika modern dan pandangan guru terhadap pembelajaran matematika yang masih dipengaruhi pembejajaran tradisional ataupun konvensional. Secara umum, guru belum memberdayakan siswa selama pembelajaran matematika, yang baru dilaksanakan guru masih berkisar pada pelaksanaan langkah-langkah ‘pengajaran.’

B. Matematika sebagai Aktivitas Insani Pandangan terhadap tentang apa itu matematika akan berpengaruh pada cara

pembelajaran matematika itu sendiri. Oleh karena itu akan diulas sekilas tentang apa itu matematika sebagai penopang pembelajaran matematika. Sejak zaman dahulu terjadi perbedaan dalam memandang apa itu matematika. Padahal sebagaimana kita tahu, matematika itu sendiri adalah tunggal, hanya saja matematika dapat dilihat dari berbagai sudut berbeda yang sebenarnya satu sama lain saling melengkapi bukan saling kontradiksi. Plato bersama penganutnya yang disebut platonisme memandang bahwa matematika berasal dari kerajaan Tuhan yang turun ke bumi (Matematics descends from a divine realm) sedangkan Aristotheles beserta penganutnya yang pembelajaran matematika itu sendiri. Oleh karena itu akan diulas sekilas tentang apa itu matematika sebagai penopang pembelajaran matematika. Sejak zaman dahulu terjadi perbedaan dalam memandang apa itu matematika. Padahal sebagaimana kita tahu, matematika itu sendiri adalah tunggal, hanya saja matematika dapat dilihat dari berbagai sudut berbeda yang sebenarnya satu sama lain saling melengkapi bukan saling kontradiksi. Plato bersama penganutnya yang disebut platonisme memandang bahwa matematika berasal dari kerajaan Tuhan yang turun ke bumi (Matematics descends from a divine realm) sedangkan Aristotheles beserta penganutnya yang

Apabila ditilik dari prosesnya maka matematika pada permulaannya bermula dari masalah situasional kehidupan insani. Kemudian melalui proses idealisasi, abstraksi, dan generalisasi berkembang menuju kepada ilmu matematika formal. Pada akhirnya, dalam pembuktian matematika formal yang berlaku adalah cara berfikir yang deduktif dan menolak cara berfikir induktif. Oleh karenanya bukti dengan induksi matematikapun juga memakai cara berfikir deduktif (Ruseffendi, 2006).

Dari tingkatan masalah situasional menuju tingkatan matematika formal terdapat dua tingkatan antara, yakni tingkatan referensial dan tingkatan general sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 2 (Gravemeijer, 1994: p. 102).

Mathematics formal

General

Referensial Situational

Gambar 2. Tingkatan Matematisasi

Proses yang dimulai dari masalah-masalah situasional insani berpindah menuju pada matematika formal dialami oleh setiap orang. Secara mudah dikatakan bahwa setiap aktivitas insani selalu melibatkan matematika baik secara langsung maupun tidak langsung. Olah karenanya Hans Freudenthal, seorang matematikawan dari Belanda, mengemukakan gagasan bahwa matematika dianggap sebagai akvititas insani (mathematics as human activity) (Lange, 2000; Hadi, 2005). Kiranya pandangan Freudenthal tentang matematika sesuai bila diterapkan dalam pembelajaran matematika di sekolah.

C. Matematika Sekolah Tidak semua siswa, bahkan mungkin hanya sedikit siswa, yang belajar matematika

akan menjadi matematikawan di kelak kemudian hari. Oleh karena alasan itulah akan menjadi matematikawan di kelak kemudian hari. Oleh karena alasan itulah

Pendefinisian matematika sekolah di atas baru terbatas pada yang berhubungan dengan objek dalam pembelajaran matematika yang bersifat langsung. Terdapat dua macam objek dalam matematika, yakni objek langsung dan tak langsung. Objek belajar matematika yang langsung meliputi konsep, fakta, prinsip, dan keterampilan. Sedangkan objek taklangsung meliputi pembuktian teorema, pemecahan masalah, belajar bagaimana belajar, pengembangan intelektual, bekerja secara individu, bekerja dalam kelompok, dan sikap positif terhadap matematika (Bell, 1981; Ruseffendi, 2006). Dengan demikian sasaran pembelajaran matematika sekolah tidak hanya pada objek langsung matematika saja, bilamana demikian maka pembelajaran matematika dapat berubah menjadi kering dari konteks, kurang bermakma (meaningless), dan sulit tersimpan dalam long-term memory siswa (Matlin, 2003). Objek tak langsung matematika tidak boleh diabaikan karena hal itu akan menghilangkan ruh yang terkandung dalam matematika. Bagaimana dengan pembelajaran matematika di Indonesia?

Pada dasarnya, secara nasional, telah ditetapkan berbagai kompetensi yang harus dikuasai siswa terhadap mata pelajaran matematika. Sebagai contoh, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 22 dan No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Standar Kelulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Pada kedua instrumen hukum tersebut telah dijelaskan bahwa pembelajaran matematika di sekolah harus meliputi objek langsung dan objek tak langsung. Siswa diharapkan menjadi literasi (melek) matematika. Peraturan Menteri di atas dalam meningkatkan kemampuan literasi matematika siswa sejalan dengan program pembelajaran Pada dasarnya, secara nasional, telah ditetapkan berbagai kompetensi yang harus dikuasai siswa terhadap mata pelajaran matematika. Sebagai contoh, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 22 dan No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Standar Kelulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Pada kedua instrumen hukum tersebut telah dijelaskan bahwa pembelajaran matematika di sekolah harus meliputi objek langsung dan objek tak langsung. Siswa diharapkan menjadi literasi (melek) matematika. Peraturan Menteri di atas dalam meningkatkan kemampuan literasi matematika siswa sejalan dengan program pembelajaran

“Mathematical literacy is an individual’s capacity to identify and understand the role that mathematics plays in the world, to make well founded judgments and to use and engage with mathematics in ways that meet the needs of that individual’s life as a constructive, concerned and reflective citizen” (PISA, 2003).

Lebih lanjut PISA (2003) membagi dimensi literasi matematika menjadi berikut.

1. Dimensi isi yang meliputi: (a) ruang dan bentuk, (b) perubahan dan relasi, (c) kuantitas, dan (d) ketidakpastian (uncertainty).

2. Dimensi proses meliputi: (a) reproduksi definisi dan komputasi, (b) koneksi dan terintegrasi untuk pemecahan masalah, dan (c) refleksi terhadap berfikir matematis, generalisasi, dan pengertian.

3. Dimensi situasi/konteks meliputi: (a) personal, (b) pendidikan dan pekerjaan, (d) masyarakat, dan (e) sains atau intra-matematika. Dari penjelasan di atas tampak bahwa literasi matematika terkait dengan

kemampuan siswa dalam menggunakan matematika untuk menghadapi masalah- masalah yang ada pada kehidupannya sehingga literasi matematika cocok sebagai materi matematika sekolah. Bahkan, lebih dari itu, Jacobs (2007) berpendapat bahwa literasi matematika mendidik siswa dalam memasuki budaya demokrasi.

D. Pembelajaran Matematika Berbasis Aktivitas Insani Lange (2006) menyatakan bahwa banyak negara mempunyai tiga tujuan utama

dalam pendidikan matematika dalam kerangka agar warga negaranya menjadi insan yang melek (literasi) matematika, yaitu:

1. Menyiapkan siswa untuk bermasyarakat;

2. Menyiapkan siswa untuk melanjutkan sekolah dan bekerja; dan

3. Memperlihatkan kepada siswa tentang indahnya disiplin (the beauty of discipline).

Pertanyaannya kemudian adalah pembelajaran yang bagaimana yang dapat meningkatkan literasi matematika sehingga siswa menjadi insan yang berdaya guna bagi masyarakatnya? Dalam bukunya yang berjudul Cognition, Matlin (2003) menekankan agar konsep-konsep (matematika) bermanfaat dan tersimpan lama dalam Long-Term Memory siswa, tidak sekedar tersimpan dalam short-term memory, maka pembelajaran yang dilakukan hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip berikut.

1. Pelajaran harus bermakna (meaningfull) bagi siswa.

2. Siswa didorong untuk mengembangkan apa yang dipelajari secara kaya.

3. Siswa melakukan encoding ketika mempelajari matematika dalam bentuk elaborasi.

4. Siswa mengaitkan materi pelajaran dengan pengalaman diri sebagai bentuk dari self-reference effect.

Pembelajaran bermakna (meaningfull) merupakan kata kunci dalam memberdayakan siswa. Gagasan pembelajaran bermakna pertamakali dikemukakan oleh David Ausubel (Budiningsing, 2005; Ruseffendi, 2006). Ems dkk (2005) memberi nama belajar bermakna dengan Natural Learning. Ciri-ciri belajar natural menurutnya adalah: (1) Belajar akan menjadi natural bila bermakna, (2) Siswa mempelajari bagaimana menerapkan apa yang dipelajari bagi kehidupan profesionalnya, dan (3) Siswa mengembangkan kualitas diri untuk mampu menyelesaikan masalah realitas yang kompleks.

Kembali ke pengertian bahwa siswa yang berdaya guna harus mempunyai kemampuan literasi matematika. Lange (2006) menyebutkan bahwa kata literasi terkait dengan masalah “nyata” yang berarti bahwa masalah tersebut bukan “murni” matematika. Pada dasarnya, siswa mempunyai kemampuan menyelesaikan masalah nyata dengan menggunakan apa yang dipelajarinya di sekolah dan berdasarkan pengalaman di luar sekolah. Proses yang mendasari hal itu adalah proses matematisasi. Gagasan proses matematisasi dari Lange (2006) sejalan dengan proses penyelesaian masalah dari Polya. Ciri-ciri proses matematisasi tersebut adalah (1) bermula dari masalah realitas, (2) pengidentifikasian konsep matematika yang relevan dengan masalah tersebut, (3) secara bertahap membawa masalah realitas ke dalam Kembali ke pengertian bahwa siswa yang berdaya guna harus mempunyai kemampuan literasi matematika. Lange (2006) menyebutkan bahwa kata literasi terkait dengan masalah “nyata” yang berarti bahwa masalah tersebut bukan “murni” matematika. Pada dasarnya, siswa mempunyai kemampuan menyelesaikan masalah nyata dengan menggunakan apa yang dipelajarinya di sekolah dan berdasarkan pengalaman di luar sekolah. Proses yang mendasari hal itu adalah proses matematisasi. Gagasan proses matematisasi dari Lange (2006) sejalan dengan proses penyelesaian masalah dari Polya. Ciri-ciri proses matematisasi tersebut adalah (1) bermula dari masalah realitas, (2) pengidentifikasian konsep matematika yang relevan dengan masalah tersebut, (3) secara bertahap membawa masalah realitas ke dalam

Melalui proses matematisasi ini sebenarnya siswa melakukan belajar bermakna dengan starting point pembelajaran pada masalah-masalah kontekstual. Sebagai contoh, penulis memberikan masalah kepada para siswa kelas 3 SD Muhammadiyah Bodon Yogyakarta dengan menggunakan model dari Hudojo (2003) seperti pada Gambar 3.

Pengetahuan Objektif Matematika

Pengetahuan baru (Konsepsi siswa setelah belajar)

Rekonstruksi Matematika

(Individu) Rekonstruksi Matematika

(Kolaborasi-Scaffolding)

Mengkaji/Menyelidiki

Siswa A Siswa B

Mengevaluasi

Menjelaskan

Perangkat

belajar

Memperluas

Gambar 3. Proses Konstruksi Matematika Siswa secara Kolaboratif

Problem kontekstual yang diberikan kepada siswa adalah mereka diminta menentukan banyaknya kubus maksimal yang dapat termuat dalam kotak makanan. Para siswa membawa berbagai ukuran kardus tempat makanan seperti tempat snack, tempat roti, dan tempat kue. Sedangkan kubus-kubus disediakan namun dengan jumlah yang dibatasi yakni paling banyak hanya cukup untuk menutupi alas. Dalam menyelesaikan problem, siswa bekerja secara berkelompok. Tiap kelompok terdiri dari 3-4 siswa. Dari hasil observasi, para siswa ternyata menyelesaikan masalah tersebut melalui tahapan-tahapan dalam teori Bruner yakni melalui aktivitas enaktif , ikonik, dan kemudian simbolik (Ruseffendi, 2006: h. 151). Dokumentasi aktivitas siswa tampak pada Gambar 4.

a.Enaktif

b. Reprensentasi Ikonik

c. Representasi Ikonik

d. Representasi Simbolik

Gambar 4. Tiga Ragam Aktivitas Menurut Bruner

Dari sudut pandang RME (Realistic Mathematics Education), Gambar 4 menggambarkan aktivitas matematisasi dimana melalui materi non-matematis para siswa menggunakan bahasa simbol yang informal kemudian membawanya menjadi lebih matematis (Suryanto, 2000: h. 111). Secara lebih khusus Gambar 4. a dan b merupakan aktivitas matematisasi horizontal dimana siswa masih menggunakan alat peraga dan bahasa informal matematika sedang pada Gambar 4.b siswa menunjukkan sudah berada dalam matematisasi vertikal dimana mereka telah bekerja dalam simbol- simbol matematika dalam menyelesaikan masalah (Armanto, 2003: p. 36; Hadi, 2005:

h. 21-22). Permasalahan di atas dikerjakan siswa di dalam kelas secara kolaboratif dalam kelompok kecil 3-5 orang tiap kelompok. Secara teoritis, melalui kegiatan kolaborasi memungkinkan apa yang dipelajari siswa melebihi batas yang dituntut guru dan terjadinya loncotan belajar (Sato, 2007). Dalam contoh pembelajaran di atas, loncatan belajar terjadi dalam bentuk siswa mulai menggagas rumus menghitung volum kubus. Loncatan belajar ini merupakan scaffolding yang efektif ketika nanti siswa belajar volum.

Contoh di atas merupakan pembelajaran yang berbasis aktivitas insani. Pembelajaran diawali dengan masalah-masalah kontekstual kemudian dilanjutkan dengan melakukan kegiatan doing math dimana dalam menyelesaikannya dengan menggunakan cara informal maupun formal matematika. Kemampuan menyelesaikan masalah tersebut merupakan ujud dari literasi matematika.

E. Penutup Di Indonesia, pencanangan menciptakan generasi yang handal sudah dimulai

sejak lama dengan program wajib belajarnya. Wajib belajar (wajar) 9 tahun tersebut dimulai tahun 1993. Masalah yang belum tuntas adalah dalam menentukan matematika mana yang sebaiknya diajarkan dalam wajar tersebut dan pembelajaran yang seperti apa yang cocok. Berdasarkan kajian singkat di atas, pandangan matematika sebagai aktivitas insani rupanya merupakan pilihan yang tepat dalam sejak lama dengan program wajib belajarnya. Wajib belajar (wajar) 9 tahun tersebut dimulai tahun 1993. Masalah yang belum tuntas adalah dalam menentukan matematika mana yang sebaiknya diajarkan dalam wajar tersebut dan pembelajaran yang seperti apa yang cocok. Berdasarkan kajian singkat di atas, pandangan matematika sebagai aktivitas insani rupanya merupakan pilihan yang tepat dalam

Perlu diyakini bahwa secara teori kita mampu memberdayakan siswa agar menjadi insan yang berguna bagi masyarakat di sekitarnya dan sekaligus siap untuk melanjutkan studi melalui cara menerapkan pembelajaran yang bermakna. Melalui pembelajaran bermakna maka siswa akan menjadi mahir matematika karena ia tidak hanya belajar objek langsung matematika namun juga belajar objek tak langsung matematika. Masalah yang merupakan tantangan adalah bagaimana agar teori tersebut dapat diimplementasikan di sekolah. Untuk itu perlu kesadaran dan usaha bersama agar dalam mengajar matematika guru tidak menyampaikan matematika secara kering tanpa konteks, namun pembelajaran matematika harus disertai dengan ruh matematika itu sendiri.

F. Referensi Anglin, W.S. (1994). Mathematics: A Concise History and Pholosophy. New York:

Springer Verlag. Anonim (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Anonim (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kemampuan Lulusan. Armanto, Dian (2002). Teaching Multiplication and Division Realistically in Indonesian Primary School: A Prototype of Local Instructional Theory. Disertasi. Enschede: PrintPartner Ipskamp.

Balitbang-Depdiknas . 2007. Rembug Nasional Pendidikan Tahun 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional. Bell, Frederick H. (1981). Teaching and Learning Mathematics: In Secondary Schools. Second Printing. Dubuque, Iowa: Wm. C. Brown. Company. Budiningsih, C. Asri (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Canfied, Jack dan Hansen, Mark Vivtor (2004). Chicken Soup for The Teacher’s Soul. Alih

Bahasa: Rina Buntaran. Jakarta: Gramedia.

Dahar, Ratna Wilis (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta: Penerbit Erlangga. Ems, Alex van dkk. (2005). Natural Leaning dalam Twenty Two Theories. Utrecht: APS

International Ltd. Gravemeijer, Koeno (1994). Developing Realistics Mathematics Education. Utrecht: CD

β Press. Hadi, Sutarto (2005). Pendidikan Matematika Realistik. Banjarmasin: Penerbit Tulip.

Hudojo, Herman (1998). Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan. Hudojo, Herman (2003). Guru Matematika Konstruktivis. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika di Pusat Studi Pembelajaran Matematika Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 27-28 Maret 2003.

Jacobs, Mark (2007). Mathematical Literacy for South Africa. Download tanggal 19 November 2007. Artikel tersedia di flightline.highline.edu/waccmath/ LinksFromConference.

Lange, Jan de. 1992. No Change without Problems. Tersedia dalam CD-Rom of Freundenthal Institute for ICME9 in Japan, July 2000.

Lange, Jan de. 2000. Freudenthal Institute. CD-Rom in Brochure for the 9 th

International Congress on Mathematical Education (ICME9) in Japan, July 2000. Lange, Jan de (2006). Mathematical Literacy for Living From OECD-PISA Perspective. Proceeding Seminar. Download 5 Oktober 2007. Tersedia di www.criced.tsukuba. ac.jp/math/apec 2006/pdf/

Matlin, Margaret W. (2003). Cognition. Fifth Edition. Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Oakly, Lisa (2004). Cognitive Development.London: Routledge-Taylor & Francis Group. Panca, Hellena R. (2003). Perubahan Paradigma Pembelajaran Matematika dari

Paradigma Mengajar ke Paradigma Belajar. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika di Pusat Studi Pembelajaran Matematika Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 27-28 Maret 2003.

PISA (2003). The PISA 2003 Assessment Framework- Mathematics, Reading, Science and Problem solving Knowledge and Skill. Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA: Perkembangan Kompetensi Guru. Edisi Revisi. Bandung: Penerbit Tarsito.

Sato, Manabu. (2007). Tantangan yang Harus Dihadapi Guru. Dalam Bacaan Rujukan untuk Lesson Study: Sisttems (Strengthening In-service Training of Mathematics and Science Education at Junior Secondary Level). Dirjen PMPTK-Depdiknas dan JICA.

Soedjadi (1999). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia: Konstatasi Keadaan Masa Kini menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Suryanto (2000). Pendekatan Realistik: Suatu Inovasi Pembelajaran Matematika. Cakrawala Pendidikan, Juni 2000 Th. XIX No. 3.

Vygotsky, L.S. (1978). Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes. Editor Michael Cole dkk. Cambridge: Harvara University Press.

P-28

Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMP melalui Penerapan Pembelajaran Kontekstual Pesisir 1)

Kadir 2)

Abstrak: Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa SMP melalui penerapan pembelajaran kontekstual pesisir. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian dan pengembangan serta eksperimen. Subyek sampel penelitian dipilih secara acak dari dua kelas VIII pada SMP Negeri 1 Kapontori (sekolah sedang) dan dua kelas VIII pada SMP Negeri 1 Batauga (sekolah rendah) dan membaginya ke dalam kelas eksperimen yang mendapat pembelajaran kontekstual pesisir (PKP) dan kelas kontrol mendapat pembelajaran konvensional (PKV). Instrumen penelitian ini adalah pretes dan postes kemampuan pemecahan masalah matematik, lembar observasi aktivitas siswa dan guru, dan pedoman wawancara siswa, guru, dan tokoh masyarakat. Analisis data yang digunakan adalah uji beda rata-rata U atau uji t, ANAVA satu jalan, dan ANAVA dua jalan dilanjutkan dengan uji LSD. Hasil analisis data menyimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran kontekstual pesisir lebih efektif digunakan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa SMP di daerah pesisir daripada pendekatan pembelajaran konvensional baik ditinjau dari peringkat sekolah maupun pengetahuan awal matematika siswa.

Kata kunci: pendekatan pembelajaran kontekstual pesisir (PKP), kemampuan pemecahan masalah matematik

PENDAHULUAN Pemecahan masalah matematik merupakan salah satu dari lima standar proses

dalam NCTM, selain komunikasi, penalaran dan bukti, koneksi, dan representasi matematik. Pemecahan masalah merupakan tipe belajar yang paling kompleks (Gagne dalam Ruseffendi, 2006: 166) dan merupakan fokus sentral dari kurikulum matematika (NCTM, 1989 dalam Kirkley, 2003: 1). Pengembangan kemampuan pemecahan masalah matematik ini dapat membekali siswa berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif. Sayangnya, proses pembelajaran matematika yang dilaksanakan pada jenjang pendidikan formal di daerah pesisir belum mengupayakan terbentuknya kemampuan ini. Hal ini berakibat pada rendahnya kemampuan pemecahan masalah

1) Hasil Penelitian Hibah Doktor 2009 2) Jurusan Pendidikan MIPA FKIP Unhalu Kendari; email: kadir168@yahoo.com 1) Hasil Penelitian Hibah Doktor 2009 2) Jurusan Pendidikan MIPA FKIP Unhalu Kendari; email: kadir168@yahoo.com

Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematik siswa juga disebabkan oleh proses pembelajaran matematika di kelas kurang meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) dan kurang terkait langsung dengan kehidupan nyata sehari-hari (Shadiq, 2007: 2). Pembelajaran seperti ini tidak sejalan dengan tujuan pemberian matematika pada siswa SMP, yaitu agar siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah, dan tidak sejalan pula dengan prinsip pengembangan KTSP, yaitu berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya serta relevan dengan kebutuhan kehidupan. Kondisi ini mendorong perlunya suatu inovasi pembelajaran matematika yang memanfaatkan berbagai konteks sumberdaya pesisir Indonesia.

Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir secara garis besar terdiri dari tiga kelompok: (1) sumberdaya dapat pulih (renewable resources), (2) sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable resources), dan (3) jasa-jasa lingkungan (environmental services) (Dahuri et al., 2001). Sumberdaya pesisir tersebut belum dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan hidup masyarakat pesisir. Bahkan, perilaku destruktif masyarakat seperti pemanfaatan perluasan daratan untuk reklamasi pantai, penebangan pohon bakau (mangrove), pencemaran perairan oleh lumpur, penambatan jangkar perahu, pencemaran limbah, tumpahan minyak, dan lain-lain (Majalah Demersial, April 2007) telah mempercepat laju kerusakan sumberdaya pesisir tersebut. Kondisi tersebut menarik untuk dijadikan masalah kontekstual dalam pembelajaran matematika. Di samping karena dibutuhkan, dan terkait dengan kehidupan sehari-hari, masalah kerusakan potensi pesisir tersebut juga perlu diperkenalkan kepada siswa agar mereka memiliki pengetahuan, kesadaran, keinginan untuk memecahkannya, dan berupaya untuk melestarikan sumberdaya pesisir yang masih ada.

SDM pesisir mestinya memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik. Kemampuan ini dapat dilatihkan dalam pembelajaran matematika dengan merancang suatu pembelajaran yang memanfaatkan potensi pesisir sebagai masalah kontekstual.

Melalui pembelajaran kontekstual yang memanfaatkan potensi pesisir sebagai titik awal pembelajaran matematika atau dalam bentuk soal-soal cerita matematika atau disajikan dalam lembar kerja siswa (LKS) matematika di SMP, siswa dapat mengenal, memahami, menyadari, dan menjadi seorang good problem solver terkait potensi pesisir. Dalam tulisan ini dibahas tentang pemecahan masalah matematik, potensi pesisir dan permasalahannya serta hasil analisis terhadap data ujicoba LKS dan tes pemecahan masalah matematik. Hasil analisis tersebut berguna untuk mengetahui kualitas perangkat dan instrumen penelitian untuk mengungkap kemampuan pemecahan masalah matematik siswa SMP di wilayah pesisir.