Faktor-Faktor Perubah Hukum
D. Faktor-Faktor Perubah Hukum
46 Said al-Asymawi, Ushul as-Syarî’ah, Terj. Nalar Kritis Syari’ah, Penerj. Luthfi Tomafi, Yogyakarta: LKiS, 2004, hlm. 43-46
47 Ibnu Qayim sebagaimana dikutip Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an, Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam al-Qur’an, Jakarta: Penamadani, 2005, hlm. 272.
Karena memabukkan dan bisa merusak akal, maka arak diharamkan untuk diminum. Yang demikian ini diperkuat oleh hadits Nabi Kullu musykirin harâm. “Segala yang memabukkan, haram hukumnya.” Di sini, keharaman arak dikaitkan dengan illat memabukkan dan merusak akal.
Pada suatu waktu, arak tersebut bisa berubah bentuk menjadi asam cuka. Pada kondisi ini, asam cuka tidaklah memabukkan dan merusak akal. Tampak jelas, kausa hukum (illat) yang mendorong pengharaman arak sudah tidak ditemukan. Maka, status hukumnya berubah dari haram menjadi halal.
Sama halnya dengan kulit bangkai. Ia haram dimakan dan dimanfaatkan, karena daging dan darah (najis) yang mengotorinya. Tapi, ketika daging dan darah sudah dibersihkan, kulit binatang bisa dimanfaatkan. Maimunah menceritakan, ketika Nabi saw berjalan dan melihat onta mati,
Nabi berujar, “Kenapa tidak kau manfaatkan kulitnya?” 48 Maksudnya, Nabi menyatakan bahwa status hukum najis bisa berubah,
ketika kotoran (sisa darah dan daging) yang melekat pada kulit binatang sudah dibersihkan dengan disamak. Dan kulit sudah bisa dimanfaatkan. Status hukum juga berubah, menjadi halal untuk dimanfaatkan, namun haram dimakan lantaran pada dasarnya ia adalah bangkai.
Berpijak pemahaman di atas, para juris kemudian menarik sebuah kesimpulan dalam sebuah kaedah:
48 Abu Qadhi Muhammad bn Ibnu Rushd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al- Muqtashid, Beirut: Dar al-Fikr tt, juz 1, hlm 57.
Hukum itu beredar pada eksistensi illatnya: ada atau tiada
Pergeseran hukum ini sesunggunya bermuara pada aspek manfaat atau maslahat. Ketika ada kemaslahatan yang hendak diperoleh, status hukum bisa bergeser. Dalam sebuah diskusi kecil, disebutkan bahwa Imam al-Ghazali rupanya mendukung adanya perubahan hukum, tatkala ada unsur maslahat. Namun, ia hanya membatasi pada kemaslahatan yang tidak tercantum dalam teks, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah. Tipe maslahat ini biasa disebut Maslahat Mulghoh atau Maslahat Mursalah.
Kemaslahatanlah yang sesungguhnya tercantum sebagai tujuan diadakannya syariat. Dalam al-Mustasyfa, al-Ghazali menuliskan, bahwa hadirnya syari’at demi tercapainya maslahat bagi hamba (limashâlihil ‘ibâd). Mafhûm mukhalafah-nya, ketika tidak membawa misi kemaslahatan, justru kemudharatan, maka entitas itu harus disingkirkan, sesuai dengan kaedah fiqh
ad-dharâr yuzâlu. 49 Demikian halnya, kadar kemaslahatan tidaklah kaku. Ia bisa bergeser
seiring pergeseran lokus, tempus, dan individu subjek hukum sebagaimana disebutkan Ustadz Mahmud Syaltut 50 . Penulis perlu menambahkan pergeseran
sosial atau budaya, serta pergeseran paradigma pemikiran masyarakat (‘aql al- mujtama’).
49 Lihat Tim Kakilima Lirboyo, Formulasi Nalar Fiqh, Telaah Kaedah Fiqh Konseptual jilid 1, Surabaya: Khalista, 2006, hlm. 209-220.
50 Lihat Abdus Salam Arif op.cit. hlm. 179
Hal ini karena ibarat pepatah, “Lain ladang, lain belalang; lain lubuk, lain juga ikannya”. Padahal, adatlah yang menjadi dasar bagi hukum (Islam). Disebutkan dalam kaedah fiqh, al-‘âdatu muhakkamah. Bahwa adat atau ‘urf yang baik dan sudah berlaku di masyarakatlah yang menjadi dasar keberlakuan hukum. Teks hanya memberikan semangat sinergitas kemaslahatan umat.
Lebih tegas, Khalil Abdul Karim menyatakan bahwa sebagian besar ritus Islam tak lebih dari tradisi dan ritus Arab pra-Islam yang dimodifikasi dan dikembangkan Islam, setelah dihilangkan nuansa madharat dan diisi dengan ruh maslahat. Termasuk dalam hal ibadah, dengan menghilangkan nuansa pagan dan meniupkan spirit pengabdian kepada Yang Maha Esa. Ia mencontohkan tradisi haji di kalangan Arab, dibakukan dalam Islam. Tradisi berkumpul setiap hari Jum’at dipermak menjadi shalat jumat. Dan
seterusnya. 51