Keniscayaan Ijtihad dan Tajdid
3. Pijakan Teks Suci
Beberapa teks yang dijadikan landasan bagi ijtihad adalah beberapa ayat di bawah ini:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat (QS An-Nisa’: 105)
Imam al-Bazdawi (ahli Ushul Fiqh mazhab Hanafi), Imam al- ‘Amidi, dan Imam as-Syathibi menyatakan bahwa teks di atas memberikan legitimasi ijtihad dengan meminjam metodologi qiyas (analogi silogisme). Yakni, menganalogikan segala persoalan (bayna an- nâs) dengan kitab yang sudah diturunkan kepada manusia (bimâ arâka
llâh). 22
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS an-Nisa’ [4]: 59)
22 Lihat Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi..., op. cit, hlm. 669.
Bagi Ali Hasaballah, seorang ahli ushul fiqh dari Mesir, klausula “maka kembalikanlah ia (pertentangan pendapat) kepada Allah (Al- Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)” selayaknya diterapkan dalam bentuk penerapan kaedah umum yang diinduksi dari nash secara analogis, atau upaya-upaya lain dalam kerangka menuju tercapainya tujuan syara’. Inilah
kerja ijtihad. 23 Sebuah hadits lain menyatakan, “Apabila seorang hakim (akan)
menerapkan hukum lalu ia berijtihad, dan ijtihadnya benar 24 , maka ia mendapat dua pahala. Sedang apabila seorang hakim akan menerapkan
hukum dan berijtihad lalu ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala.” Hadits ini diriwayatkan secara berjamaah oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad, Imam an-Nasai, Imam Abu Dawud, Ibnu
Majah, dan Amr bn Ash. 25 Hadist lain yang juga tak kalah populer adalah hadits mengenai
Muadz bin Jabal yang diutus Nabi untuk menjadi kadi atau hakim di Yaman, seperti disebut di muka. Keempat teks inilah yang menjadi dasar
23 Ibid, hlm. 669-670. 24 Ahmad ad-Dimyâthi menyatakan bahwa ijtihad seorang hakim itu “benar” tatkala
hasil ijtihadnya sesuai dengan hukum yang seharusnya ia dijatuhkan. Ad-Dimyâthi hendak menyatakan, ijtihad dikatakan benar tatkala ia selaras dengan nilai-nilai keadilan. Baca Ahmad bn Muhammad ad-Dimyâthi, Hâsyiyah ala Syarh al-Waraqât, Surabaya: Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhân wa Awlâduh, tt, hlm. 23-24.
25 ad-Dimyâthi menyatakan bahwa ijtihad menjadi keniscayaan, tapi hanya bisa dilaksanakan dalam bidang furu’ saja. Karena, kalau berijtihad di wilayah ushûl, maka yang
terjadi hanyalah kekeliruan, seperti yang terjadi pada kaum Nasrani dengan Trinitasnya, atau Yahudi dengan Teologi Kemenduaannya. Lihat Enskiklopedi Hukum Islam hlm. 670. Lihat juga ad-Dimyâthi, op. cit, hlm. 23 terjadi hanyalah kekeliruan, seperti yang terjadi pada kaum Nasrani dengan Trinitasnya, atau Yahudi dengan Teologi Kemenduaannya. Lihat Enskiklopedi Hukum Islam hlm. 670. Lihat juga ad-Dimyâthi, op. cit, hlm. 23
Berkait soal mujaddid, ada sebuah hadits yang cukup populer. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
ﺎ ﻬ د ﱢﺪ ﺠ ْ ﻨﺔ ﺔ ﺋﺎ ﱢ آ س ْأ رﻰ ﻋ ﺔ ﻷا ﺬﻬ ﺚ ْﻌ ﷲا نإ ( دواد ﻮﺑأ اور ) ﺎ ﻬﻨ دْ
Sungguh! Tuhan bakal mengutus bagi umat ini, setiap pembuka seratus tahun, seseorang yang bakal memperbaharui agamanya. 26
Hadits ini menerangkan bahwa pembaharuan dalam agama menjadi keniscayaan. Dan Tuhan sudah menyiapkan seorang mujadid di setiap pembuka abad. Boleh jadi, pergeseran yang terjadi sepanjang satu abad telah sebegitu jauh, utamanya tatkala diukur dari permulaan abad sebelumnya. Inilah yang melatarbelakangi diperlukannya seorang mujaddid.