Latar Belakang Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Reformasi tahun 1998 yang diiringi dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945selanjutnya ditulis UUD 1945 pada tahun 1999-2002 diperoleh sebagai implikasi yang besar oleh karena perubahan kondisi sosial, politik, dan hukum di Indonesia. Perubahan tersebut memang sebuah keniscayaan, sebabsebagaimanakita pahami bahwa keberadaan Undang-Undang Dasar atau konstitusi adalah merupakandokumen yang mencerminkan kondisi masyarakat pada suatu masa tertentu , sehingga perubahan kondisi masyarakat akan memberipengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan konstitusi. 1 Keterkaitan konstitusi dan masyarakat tersebut sebagaimana juga dikatakan oleh James Bryce yang mendefinisikan konstitusi sebagai suatu kerangka masyarakat politik negara yang terorganisir dengan dan melalui hukum. 2 1 K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern Modern Constitution, Nusamedia, Bandung, 1996, hlm. 104. 2 James Byrce dalam C.F.Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Nusamedia, Bandung, 2008, hlm. 15. Keberadaan konstitusi yang demikian itulah yang membawa dampak pengaruh besar terhadap kondisi sosial, politik, dan hukum ketika dilakukan perubahan terhadapnya. Sebagai wujud perjanjian sosial tertinggi, Universitas Sumatera Utara 2 konstitusi bangsa Indonesia merupakan dokumen hukum dan dokumen politik yang memuat cita-cita, dasar-dasar, dan prinsip-prinsip penyelenggaraan kehidupan nasional. Salah satu pengaturan yang dirumuskan dalam UUD 1945 setelah perubahan adalah mengenai pelaksanaan pemilihan umum selanjutnya ditulis pemilu. Pemilu sendiri sesungguhnya sudah dikenal bahkan sebelum terjadinya perubahan terhadap UUD 1945 pada tahun 1999-2002.Rumusan pengaturan tentang pemilu dalam UUD 1945 tersebutmenghendaki adanya perubahan pada mekanisme pelaksanaan pemilu yang telah dilakukan sebelumnya, baik itu secara formil maupun materil. Salah satu semangat reformasi adalah mewujudkan pelaksanaan pemilu yang lebih demokratissehingga pemilu tidak sekedar sebuah ritual politik lima tahunan. Pemilu pada era orde baru pemilu 1971, pemilu 1977, pemilu 1982, pemilu 1987, pemilu 1992 dan pemilu 1997 dinilai penuh rekayasa politik otoritarian yang dikonstruksikan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilu electoral laws dan dalam proses pelaksanaan pemilu electoralprocess. Sehingga yang terjadi sesungguhnya bukan pemilu dalam arti sebenarnya, melainkan “seolah-olah pemilu” yang hasilnya sudah bisa ditebak, yakni sekedar untuk melanggengkan kekuasaan. 3 3 A. Mukthie Fadjar,Pemilu yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesaian Hukum, Pelanggaran Pemilu dan PHPU, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 1, April 2009. Universitas Sumatera Utara 3 Walaupun sejak awal kemerdekaan bangsa Indonesia telah memilih demokrasi sebagai dasar penyelenggaraan negara, namun belum ada dasar konstitusional yang mengharuskan pelaksanaan pemilu, termasuk keharusanpemilihan kepala daerah secara berkala. Sila “Kerakyatan yangdipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalampermusyawaratan perwakilan”belum diterjemahkan menjadi ketentuan pemilu dalam pasal-pasal hingga dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945. Konsekuensinya pelaksanaan pemilu untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat dilakukan dengan cara pengangkatan atau penunjukan atau yang sering disebut dengan sistem pemilihan organis 4 Pemilu adalah wujud nyata demokrasi prosedural, meskipun demokrasi tidak sama dengan pemilu, namun pemilu merupakan salah satu aspek demokrasi yang sangat penting diselenggarakan secara demokratis. Oleh karena itu, lazimnya di negara-negara yang menamakan diri sebagai negara demokrasi mentradisikan pemilu adalah untuk memilih pejabat-pejabat publik di bidang legislatif dan eksekutif baik di pusat maupun daerah. Demokrasi dan pemilu yang demokratis merupakan “qonditio sine qua non”, the one can not exist without the others. 5 Di Indonesia, salah satu perubahan yang signifikan sebagai akibat perubahan UUD 1945 1999-2002 adalah bahwa cara pengisian jabatan dalam lembaga legislatif dan eksekutif, baik di tataran nasional maupun lokal harus dilakukan dengan cara pemilihan, tidak boleh dengan cara penunjukan, pengangkatan, atau pewarisan. Pengaturan yang demikian dapat diasumsikan 4 Bewa Rawagino, Hukum Tata Negara, Universitas Padjajaran, Bandung, 2007, hal 70. 5 A. Mukhtie Fajar, Op cit, pemilu yang demokratis......,Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 1, April 2009. Universitas Sumatera Utara 4 sebagai aturan yang lebih demokratis dan sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yaitu bahwa “Kedaulatan beradadi tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Selain itu, Indonesia telah menganut bentuk pemerintahan republik vide pasal 1 ayat 1 UUD 1945 sehingga perlu penguatan demokrasi yang prinsipnya kedaulatan rakyat yang bertujuan untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama. 6 Ukuran bahwa suatu pemilu demokratis atau tidak, harus memenuhi tiga syarat, 7 yaitu a ada tidaknya pengakuan, perlindungan, dan pemupukan HAM; b terbangunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemilu yang menghasilkan pemerintahan yang legitimate, dan c terdapat persaingan yang adil dari para peserta pemilu. Melalui Perubahan UUD 1945 Indonesia sebenarnya telah meletakkan dasar-dasar pemerintahan yang demokratis dan mengamanatkan pemilu berkala yang demokratis pula, yakni menganut asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 dan diselenggarakan oleh mandiri Pasal 22E ayat 5 UUD 1945. Pemilu sebelum amandemen hanya berdasarkan azas langsung,umum, bebas, dan rahasia atau LUBER , yaitupemilu- pemilu yang dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto sehinggapemilu-pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu Orde Baru 8 6 H. M Thallah, Teori demokrasi dalam wacana ketatanegaraan persepektif pemikiran hans kelsen, Jurnal hukum no. 3 vol 16, Bandung, 2009, hlm 421. 7 A. Mukhtie fadjar, op cit, pemilu yang demokratis......, Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 1, April 2009. 8 Tri Karyanti, Sistem Ketatanegaraan Indonesia sebelum dan sesudah amandemen, Majalah Informatika Vol 3: Universitas Aki, 2012, hal 205. Universitas Sumatera Utara 5 Pemilu yang sebelumnya hanya dikenal sebagai instrumen untuk memilih sebagian anggota DPR dan DPRD karena yang sebagian lagi diangkat, misalnya Pemilu pada era Orde Baru dan Pemilu 1999 melalui pengaidahan dalam Pasal 22E UUD 1945 berubah menjadi instrumen untuk memilih seluruh anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan bahkan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. 9 • Pasal 6A ayat 1: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”; Hal ini ditunjukkan dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 sebagai berikut: • Pasal 18 ayat 3: “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”; • Pasal 19 ayat 1: “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum”; • Pasal 22C ayat 1: “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum”; • Pasal 22E ayat 2: “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Menjadi perhatian khusus dalam pembahasan skripsi ini adalah keberadaan pemilihan umum kepala daerah selanjutnya ditulis pemilukada 9 A. Mukhtie fadjar, op cit, pemilu yang demokratis......, Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 1, April 2009. Universitas Sumatera Utara 6 sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Keberadaan pasal yang merupakan hasil dari perubahan kedua Undang-Undang Dasar ini merupakan suatu terobosan dalam alam demokrasi di Indonesia. Pemilihan kepala daerah selanjutnya ditulis pilkada, baik provinsi maupun kabupatenkota, diatur pada pasal 18 ayat 4 UUD 1945 yang menentukan: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masingsebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilihsecara demokratis.” Rumusan ini telah menimbulkan penafsiran bahwa pilkada dapat dilakukan secara langsung seperti halnya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, disingkat pilpres atau secara tidak langsung oleh DPRD seperti yang dipraktekkan sebelumnya dan diatur dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pembentuk undang-undang, melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya ditulis UU 322004 yang menggantikan UU No. 22 Tahun 1999 rupanya menafsirkan “kepala daerah dipilih secara demokratis” adalah : “dipilih secara langsung oleh rakyat”, sehingga pilkada kemudian dikategorikan juga termasuk rezim hukum pemilu, terlebih lagi setelah terbitnya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum selanjutnya ditulis UU 222007. 10 Pelaksanakan Pemilihan secara langsung terhadap kepala daerah baik pada tingkat provinsi maupun tingkat kabupatenkota memperoleh lgitimasi 10 Ibid. Universitas Sumatera Utara 7 konstitusional melalui amandemen UUD 1945 yang kedua.Perubahan ini boleh disebut sebagai sebuah revolusi administrasi pemerintahan khususnya untuk memilih pemimpin formal di daerah. UUD 1945 telah menambah satu ayat dalam Pasal 18 UUD 1945 yang kemudian dituangkan dalam Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 sebagai akomodasi dari revolusi dimaksud. Ketentuan di dalamnya menyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis. 11 Dalam proses penyelenggaraanpemilukada tentu sangat mungkin juga diwarnai berbagai kecurangan, misalkan terjadi praktik politik uang money politics, intimidasi, konflik kekerasan, daftar pemilih tetap DPT bermasalah, mobilisasi Pegawai Negeri Sipil PNS, penyalahgunaan jabatan, fasilitas dan anggaran negara abuse of power, penggelembungan dan pengurangan suara dan praktik-praktik curang lainnya. Hal ini menggambarkan bahwa penegakan hukum atas pelanggaran pemilukada masih diwarnai kelemahan dan belum menyentuh pemilu yang bermakna lebih luas. 12 Mahkamah Konstitusi selanjutnya ditulis MK sejak tahun 2008 diberikan kewenangan mengadili perselisihanhasil pemilukada yang semula dilakukan oleh 11 Samsul Wahidin, Hukum Pemerintahan Daerah Mengawasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, Pustaka Pelajar, Yoyakarta, 2008, hlm. 25. 12 Miftakhul Huda, Pola Pelanggaran Pemilukada dan Perluasan Keadilan Substantif, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi Volume 8, Nomor 2, April 2010. Universitas Sumatera Utara 8 Mahkamah Agung selanjutnya ditulis MA. 13 Kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilukada ini memiliki arti penting bagi perkembangan hukum dan ketatanegaraan kita, yang disebabkan putusan MK adalah final dan mengikat final and binding. Selain itu, sejak awal MK juga memiliki kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilu. Keberadaan lembaga MK merupakan bagian parameter menilai derajat demokrasi dalam proses penyelenggaraan pemilu maupun penyelesaian perselisihan hasil pemilu dengan prosedur dan keputusan yang adil dan cepat. 14 Dengan berlakunya UU 322004tentang Pemerintahan Daerah maka sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi pemilihan secara langsung oleh rakyat dan bukan lagi dipilih DPRD, sehingga dengan diberlakukannya sistem pemilihan langsung tersebut telah dapat disimpulkan bahwa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah telah tergolong rezim pemilu. 15 Sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalamUU No. 322004adalah pemilihan langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah. Disebutkan pula dalam pasal 29UU 322004tentang Pemerintahan Daerah yang 13 Pasal 106 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menentukan keberatan penetapan hasil Pemilukada berkenaan ”hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon” diadili MA. Dalam perkembangannya kemudian ditangani MK berdasarkan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Berdasarkan UU ini penanganan sengketa hasil pemilu oleh MA dialihkan ke MK paling lama 18 bulan sejak ditetapkan undang-undang tersebut. 14 Empat parameter menilai derajat demokrasi dalam proses penyelenggaraan pemilu, lihat Ramlan Surbakti dkk, Perekayasaan Sistem Pemilu Untuk Pembangunan Tata Politik Demokratis, Jakarta: Partnership, 2008, 28-29. 15 Ibid. Universitas Sumatera Utara 9 mengatur tentang kewenangan MA dalam kaitan dengan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pengaturan lebih lanjut tentang pemilihan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah ini, pada tanggal 11 Februari 2005 telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang pemilihan, Pengesahan dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 16 Kewenangan memeriksa keberatan menurut undang-undang adalah kewenangan dariMA. Dalam melaksanakannyaMA mendelegasikan wewenangnya kepada Pengadilan Tinggi yang wilayah hukumnya meliputi kabupaten kota yang bersangkutan. Dengan demikian kewenangan untuk memeriksa keberatan yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi didasarkan atas pelimpahan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dan ditegaskan kembali melalui Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2005. 17 Bab VII B Pasal 22E ayat 1 perubahan ketiga UUD 1945 menyatakan bahwa pemiludilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil selanjutnya ditulis luber jurdil setiap lima tahun sekali. Kemudian dijelaskan lebih lanjut di dalam Pasal 22E ayat 2 untuk apa saja pemilu dilaksanakanyaitu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Namun pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung sebagai 16 Ibid. 17 Hendra Sudrajat, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Mengadili Perselisihan Hasil Pemilukada, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi Volume 7, Nomor , Agustus 2010. Universitas Sumatera Utara 10 instrumen demokrasi untuk menjaring kepemimpinan nasional tingkat daerah tidak dilaksanakan secara serentak seperti pemilu legislatif ataupun pilpres sehingga diperlukan unifikasi pelaksanaanregulasi untuk mampu menjamin pelaksanaan pemilu secara luber dan jurdil. Dengan kata lain pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan suatu proses politik bangsa Indonesia menuju kehidupan politik yang lebih demokratis, transparan, dan bertanggungjawab. Oleh karena itu, untuk menjamin pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepaladaerah yang berkualitas dan memenuhi derajat kompetisi yang sehat, maka harus mampu mengakomodasi azas-azas pemilihan umum. 18 Asas pemilihan kepala daerah dan wakil kepaladaerah secara eksplisit tidak dirumuskan dalam UUD 1945 sebagaimana azas pemilihan umum, tetapi terdapat dalam pasal 56 ayat 1 UU 322004 yang menyatakan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil Luber dan Jurdil. 19 Penggunaan azas luber dan jurdil sebagai asas pemilihan kepala daerah dan wakil kepaladaerah merupakan konsekuensi logis dari pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara demokratis. Hal ini tercantum dalam Pasal 18 ayat 4 UUD1945”gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala daerah 18 Ibid 19 Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Universitas Sumatera Utara 11 provinsi, kabupaten dan kota, dipilih secarah demokratis” 20 . Penggunaan kata “demokratis” mengandung konsekuensi, kerangka sistem pilkada harus segera ditata ulang, yang semula menggunakan sistem perwakilan menjadi sistem pemilihan langsung oleh rakyat. Agar ada keselarasan dengan pasal yang terkait dengan proses pemilihan presiden secara langsung. 21 Dengan demikian jelaslah bahwa azas luber dan jurdil dalam pemilu dipergunakan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepaladaerahdan dilakukan secara demokratis yaitu yang oleh UU 322004 tentang Pemerintahan Daerah ditafsirkan lewat mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat. Berdasarkan hal tersebut MK lewat putusannya dalam perkara pengujian undang-undang memutuskan bahwa pemilukada, 22 adalah termasuk dalam rezim pemilu sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal Pasal 22E UUD 1945. 23 Hal yang menjadi latar belakang dimasukkannya pemilukada dalam rezim pemilu tersebut serta pemindahan kewenangan penyelesaian perselisihanhasil pemilukada dari MA ke MK tersebut sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut lagi dalam pembahasan yang lebih panjang sehingga dapat didapatkan pemahaman yang jelas mengenai hal tersebut. Selain itu dapat juga dilihat 20 Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 21 Samsul Wahidin,op cit,Hukum Pemerintahan Daerah Mengawasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, hal 126. 22 Sebelum keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut lazim didengar sebuatan Pilkada sebagai akronim dari Pemilihan Kepala daerah namun dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa rejim Pilkada adalah termasuk rejim Pemilu sebagaimana dimasksud dalam Pasal 22E -Undang Dasar NRI Tahun 1945 maka sebutan untuk Pemilihan Kepala daerah Pilkada diganti menjadi Pemilihan Umum Kepala Daerah Pemilukada. 23 Perkara No.3PUU-VII2009. Universitas Sumatera Utara 12 bagaimanakah efektifitas dari pelaksanaan kewenangan tersebut ketika dilaksanakan oleh MA maupun oleh MK. Oleh sebab itu dalam penelitian ini dipilih judul “EFEKTIFITAS PENYELESAIAN PERSELISIHANHASIL PEMILUKADA OLEH MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAH KONSTITUSI”

B. Rumusan Masalah