Kedudukan Rekaman CCTV Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Korupsi Setelah Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016

(1)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku-Buku

Ali, Mahrus, Hukum Pidana Korupsi, (Yogyakarta: UII Press, 2016).

Chazawi, Adami, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia Edisi Revisi, (Jakarta:Rajawali Pers, 2016).

Fakhriah, Efa Laela, Bukti Elektronik dalam Pembuktian Perdata, (Bandung: ALUMNI, 2009).

Makarim, Edmon, Kompilasi Hukum Telematika, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004).

Hamzah, Andi, 1991, Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991). ---, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika,

2008)

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Kuhap:

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).

Himawan, Charles, Hukum sebagai Panglima, (Jakarta: Buku Kompas, 2003). Kristian dan Gunawan, Yopi, Sekelumit Tentang Penyadapan Dalam Hukum

Positif Di Indonesia, (Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2013).

Prodjohamidjojo, Martiman, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik

Korupsi, (Bandung: Mandar Maju, 2009).

Renggong, Ruslan, Hukum Pidana Khusus, Memahami Delik-Delik di luar

KUHP, (Jakarta: Kencana, 2016).

Rosadi, Sinta Dewi, Aspek Data Privasi Menurut Hukum Internasional,

Regional, dan Nasional, (Bandung: Refika Aditama, 2015).

Sitompul, Josua, Cyberspace Cybercrimes Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum

Pidana, (Ciputat: PT.Tatanusa, 2012).

Sofyan, Andi dan Asis, Abd, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta:Kencana, 2014).


(2)

Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997)

Suhariyanto, Budi, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime), (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013).

Surachmin dan Cahaya, Suhandi, Strategi & Teknik Korupsi, Mengetahui Untuk

Mencegah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011).

Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013). Wahid, Abdul dan Labib, Mohammad, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime),

(Bandung: Refika Aditama, 2005).

II. Kamus Hukum dan Jurnal Hukum

Hamdi Syaibatul, Suhaimi dan Mujibussalim, Bukti Elektronik Dalam Sistem

Pembuktian Pidana, Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah

Kuala, 2013.

Marbun, Rocky, dkk., Kamus Hukum Lengkap, (Jakarta: Visimedia, 2012).

III. Internet

Detik News, http://news.detik.com/berita/d-3306849/putusan-mk-repotkan-tugas-jaksa-dari-praperadilan-hingga-eksekusi-mati diakses pada tanggal 03 November 2016.

Fauzan Jauhari, http://fauzanjauhari.blogspot.co.id/2013/11/teori-pembuktian-alat-alat-bukti-dalam.html diakses pada tanggal 14 November 2016. http://instalasi-jaringan.com/jenis-jenis-kamera-cctv/ diakses tanggal 21

November 2016.

http://www.cctvpantura.com/2015/11/pengertian-cctv-dan-perangkat-perangkat.html diakses tanggal 21 November 2016 dan pada tanggal 10 Desember 2016.

diakses tangal 21 November 2016.

tanggal 21 November 2016.


(3)

diakses pada tanggal 14 November 2016.

http://soal-soalpkn.blogspot.co.id/2015/09/apa-yang-dimaksud-dengan-persetuju an. html diakses pada tanggal 07 Februari 2016.

https://mengertihukum.wordpress.com/2016/04/01/kewajiban-penyediaan-dan-pe masangan-cctv-pada-bangunan-gedung/ diakses pada tanggal 27 Desember 2016.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, http://kbbi.web.id/elektronik diakses pada tanggal 10 November 2016.

Kamus KBBI, http://www.kamuskbbi.id/kbbi/artikata.php?mod=view&Keduduk an&id=36295-arti-maksud-definisi-pengertian-Kedudukan.html diakses pada tanggal 15 November 2016.

Kompas,http://megapolitan.kompas.com/read/2016/10/07/10461931/kata.hotman. paris.jessica.harus.bebas.karena.bukti.rekaman.cctv.tidak.sah.html diakses pada tanggal 03 November 2016.

Masrigunardi, http://masrigunardi.blogspot.co.id/2012/09/kata-sepakat-dalam-per janjian.html diakses pada tanggal 07 Februari.

Sektieka Guntoro, https://sektiekaguntoro.wordpress.com/2014/05/17/informasi- elektronik-dan-dokumen-elektronik-sebagai-perluasan-alat-bukti-dalam-perkara-pidana/ diakses pada tanggal 07 Oktober 2016.

Solo Pos, http://www.solopos.com/2016/09/26/inilah-efek-setya-novanto-yang-menguntungkan-jessica-wongso-756019 diakses pada tanggal 03 November 2016.

Tribun News, http://www.tribunnews.com/nasional/2013/07/01/arya-abdi-effendy -dan-juard-effendi-divonis-2-tahun-3-bulan diakses pada tanggal 20 Desember 2016.

Viva News, http://nasional.news.viva.co.id/news/read/409487-jaksa-putar-rekaman-cctv-penyerahan-suap-impor-daging diakses pada tanggal 20 Desember 2016.

Zona Siswa, http://www.zonasiswa.com/2014/05/pengertian-globalisasi-lengkap. html diakses pada tanggal 07 Oktober 2016.


(4)

IV. Peraturan Perundang-Undangan

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UU No. 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

UU No. 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan.

UU No. 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.

UU No. 25 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

UU No. 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

UU. No. 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara.

UU. No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.


(5)

BAB III

KEKUATAN PEMBUKTIAN REKAMAN CCTV DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Rekaman CCTV sebagai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

Pada sub bab ini akan dibahas mengenai kedudukan rekaman CCTV sebagai alat bukti elektronik dalam UU ITE, apakah sebagai informasi elektronik atau sebagai dokumen elektronik.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 menggunakan istilah Informasi Elektronik dan Dokumen elektronik untuk menyatakan sebuah data atau informasi atau dokumen yang diolah menggunakan peralatan-peralatan elektronik. Tentu saja hal tersebut dapat diketahui dari pengertian Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik tersebut. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU ITE, pengertian Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data intercharge (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, symbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sedangkan pengertian Dokumen Elektronik berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU ITE adalah Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tapi tidak


(6)

terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, symbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Rekaman CCTV merupakan hasil dari perekaman yang dilakukan oleh perangkat Closed Circuit Television (CCTV). Perlu diketahui, CCTV tidak hanya terdiri dari kamera dan kabelnya saja, tetapi juga memiliki bagian-bagian lain. Berikut adalah alat-alat yang pada umumnya terdapat pada perangkat CCTV113

1. Camera. Kamera pada perangkat CCTV berfungsi sebagai alat pengambil gambar. Kamera CCTV terdiri dari beberapa tipe yang dibedakan dari segi fungsi, kualitas dan penggunaannya.

:

2. DVR (Digital Video Recorder). DVR kepanjangan dari Digital Video Recorder ialah salah satu perangkat yang digunakan kamera CCTV untuk merekam gambar atau yang dikirim oleh kamera ke dalam perangkat ini. Perangkat ini lah yang kemudian bertugas menyimpan data yang didapatkan.

3. Hard Disk Drive (HDD). HDD adalah singkatan dari Hard Disk Drive yang merupakan media penyimpanan data dari gambar video yang telah direkam. Hard Disk Drive dipasang di dalam DVR. Semakin besar kapasitas HDD maka semakin panjang pula proses perekaman yang dapat dilakukan oleh CCTV tersebut.

4. Coaxial Cable. Ini adalah kabel yang merupakan kabel pengantar sinyal video dari kamera CCTV ke DVR, atau sebaliknya dari DVR ke monitor.

5. Power Cable. Kabel ini diperlukan apabila kabel kamera CCTV yang disediakan tidak cukup panjang untuk menjangkau sumber listrik terdekat.

6. BNC Connector. Adalah konektor yang dipasang pada kabel coaxial.

113

diakses pada tanggal 10 Desember 2016.


(7)

Berdasarkan perangkat-perangkat tersebut, dapat diketahui bahwa perangkat CCTV tidak hanya menampilkan apa yang terlihat oleh kamera CCTV tersebut melalui monitor yang tersambung, tetapi juga merekam dan menyimpannya ke dalam media penyimpanan Hard Disk Drive. Data atau informasi yang direkam dan disimpan itulah yang kemudian dinamakan rekaman CCTV.

Agar dapat digunakan sebagai alat bukti dalam suatu kasus baik dalam tindak pidana atau kasus lainnya, maka rekaman CCTV yang disimpan dalam media penyimpanan hard disk harus diambil atau dipindahkan ke dalam media penyimpanan lain seperti Flashdisk114, kemudian biasanya disimpan dalam CD115 atau media penyimpanan lainnya yang dapat dengan mudah dibawa-bawa.

Berdasarkan analisa penulis diatas, maka rekaman CCTV yang digunakan menjadi alat bukti adalah berupa Dokumen Elektronik. Alasannnya adalah karena rekaman CCTV tersebut mengandung suatu informasi elektronik yang telah disimpan, diteruskan atau dipindahkan ke dalam media digital yang lain untuk kemudian ditampilkan kembali pada perangkat seperti komputer atau perangkat lain yang dapat membaca rekaman CCTV tersebut. hal ini sesuai dengan pengertian dokumen elektronik dalam Pasal 1 Angka 4 UU ITE.

114

Flashdisk adalah perangkat penyimpan data yang terdiri dari memori flash dan terintegrasi dengan antarmuka USB (Universal Serial Bus). Flashdisk memiliki sifat dapat dibaca dan ditulis oleh komputer dan akan mempertahankan informasi yang telah ditulis di dalamnya walaupun tanpa adanya arus listrik. Dengan demikian, data yang ada di dalam flashdisk akan tetap tersimpan di memori flash walaupun tanpa menggunakan baterai.

115

Compac Disk adalah media penyimpanan berbentuk piringan kecil yang hanya dapat dibaca melalui sebuah perangkat computer.


(8)

B. Kekuatan Pembuktian Rekaman CCTV dalam Tindak Pidana Korupsi

Yang menjadi permasalahan dalam suatu pembuktian tindak pidana adalah mengenai bagaimana kekuatan alat bukti atau kekuatan pembuktian dari suatu alat bukti. Kekuatan pembuktian maksudnya adalah nilai dari suatu informasi atau data yang ada dalam alat bukti yang dapat menunjukkan sesuatu yang dapat menerangkan suatu kejadian dan persesuaian dengan alat bukti lainnya. Singkatnya, kekuatan pembuktian adalah sejauh apa alat bukti dapat membuktikan terdakwa bersalah atau tidak.

Sistem pembuktian yang digunakan di Indonesia adalah pembuktian yang berdasarkan undang-undang secara negatif. Hal tersebut dapat dilihat dari pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana apabila memiliki sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah dan memiliki keyakinan bahwa benar-benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah. Keyakinan yang dimiliki oleh hakim haruslah berdasarkan ketentuan yang ada di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya dalam memutus perkara, hakim terbatas pada alat bukti yang diatur secara sah di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Sistem pembuktian ini yang nantinya akan mengarahkan proses pembuktian di dalam pengadilan, sehingga para praktisi hukum khususnya hakim dapat memutus perkara secara objektif.116

116

Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 430.

Berarti dalam hal ini, alat bukti memiliki peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi keyakinan atau penilaian hakim terhadap suatu kejadian. Alat-alat bukti yang memiliki kekuatan


(9)

pembuktian yang kuat, akan menghasilkan keyakinan yang kuat dan berdasar kepada hakim tentang kejadian sebenarnya. Hal tersebut menjadi penting, karena dalam prakteknya, keyakinan hakim dapat dikesampingkan apabila keyakinan hakim tersebut tidak dilandasi suatu pembuktian yang cukup, sehingga tidak mempunyai nilai.117

Dalam hukum acara pidana, macam-macam alat bukti serta cara penggunaan dan batas-batasnya telah ditentukan di dalam KUHAP. Penegakan hukum pidana materiil korupsi melalui hukum pidana formal secara umum termasuk ketentuan mengenai pembuktian tetap tunduk dan diatur dalam KUHAP. Namun, sebagai hukum pidana khusus terdapat pula ketentuan mengenai hukum acara yang sifatnya khusus atau dikenal dengan isilah lex specialis derogate lex generalis yang artinya ketentuan yang khusus mengenyampingkan ketentuan yang umum.118

Salah satu kekhususan sistem pembuktian dalam hukum acara pidana korupsi adalah tentang perluasan bahan yang dapat digunakan untuk membentuk alat bukti petunjuk yang terdapat dalam pasal 26A UU Tipikor. Pasal 26A menyatakan :

119

117

Ibid, hal. 431.

118

Adami Chazawi, Op.Cit., hal. 359.

119

Pasal 26A UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :


(10)

a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Dari isi pasal 26A diatas dapat dilihat bahwa hukum pidana formil korupsi atau hukum acara pidana korupsi mengatur alat bukti elektronik sebagai “alat bukti lain”. Artinya, alat bukti elektronik dapat dijadikan alat bukti dalam tindak pidana korupsi, yakni sebagai alat bukti lain. Dalam Pasal 26A tersebut, alat bukti lain merupakan alat bukti yang berdiri sendiri, seperti halnya alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP. Namun, bila diteliti lagi, alat bukti lain digunakan dalam rangka mencari alat bukti petunjuk atau sebagai sumber alat bukti petunjuk.

Pasal 188 ayat (1) KUHAP mendefinisikan alat bukti petunjuk sebagai “perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.” Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sifat bukti petunjuk ini berbeda dengan alat bukti lain yang berdiri sendiri. Petunjuk yang merupakane persesuaian antara perbuatan, keadaan, dan atau kejadian tidak berdiri sendiri, tetapi suatu konstruksi hakim yang didasarkan pada alat-alat bukti lain yang telah digunakan dalam memeriksa perkara itu. Oleh karena itu, alat bukti petunjuk ini tidak mungkin diperoleh dan


(11)

digunakan sebelum digunakannya alat bukti lain. Alat bukti petunjuk tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi bergantung pada alat alat bukti lain yang telah dipergunakan atau diajukan oleh jaksa penuntut umum, dan juga oleh penasihat hukum.120

Bila melihat kembali pada isi pasal 26A UU Tipikor, maka khusus dalam tindak pidana korupsi, alat bukti petunjuk tidak hanya dibangun berdasarkan keterangan saksi, surat-surat, dan keterangan terdakwa, tetapi juga dapat dibangun dari alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan dokumen, yaitu setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, atau disimpan secara elektronik, berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Singkatnya, alat Menurut pasal 188 ayat (2) KUHAP, alat-alat bukti yang dapat membangun alat bukti petunjuk adalah keterangan saksi, surat-surat, dan keterangan terdakwa. Dapat dilihat bahwa keterangan ahli tidak termasuk kedalam alat bukti yang dapat membangun alat bukti petunjuk. Mengapa demikian ? Menurut Adami Chazawi, alasannya adalah karena alat bukti yang dianggap sebagai petunjuk hanya bisa diperoleh dari alat-alat bukti yang membuktikan tentang kejadian sebernarnya, seperti saksi mengenai apa yang dilihat, apa yang didengar, dan apa yang dialaminya. Sementara keterangan ahli menerangkan segala sesuatu mengenai pendapat berdasarkan keahliannya saja, bukan menerangkan peristiwanya.

120


(12)

bukti petunjuk dalam tindak pidana korupsi, tidak hanya dapat dibangun berdasarkan alat bukti yang ada dalam KUHAP, tetapi juga dapat diperoleh dari alat bukt i lain yaitu alat bukti elektronik.

Demikian halnya dengan rekaman CCTV. Rekaman CCTV sebagai salah satu bentuk dari alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana korupsi merupakan alat bukti lain yang dapat membentuk alat bukti petunjuk. Informasi atau video yang ditunjukkan atau ditampilkan pada rekaman CCTV tersebut akan membangun persesuaian antara perbuatan atau kejadian atau keadaan dengan keadaan yang lainnya, atau mungkin dapat langsung menunjukkan terjadinya perbuatan tindak pidana korupsi. Kejadian kejadian yang tersimpan dalam rekaman CCTV, bila dihubungkan dengan alat bukti yang lain, seperti keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, maka akan membangun sebuah alur atau kerangka kejadian atau konstruksi tentang kejadian yang sebenarnya. Alur atau kerangka kejadian itulah yang kemudian dijadikan sebagai alat bukti petunjuk.

Dalam bidang peradilan, hak seseorang untuk memperoleh keadilan yang layak umumnya belum seberuntung haknya untuk jalan-jalan pada malam hari.121

121

Charles Himawan, Hukum sebagai Panglima, (Jakarta: Buku Kompas, 2003), hal. 164. Dengan adanya alat bukti lain yang dapat menjadi sumber alat bukti petunjuk, maka alat bukti lain tersebut juga dapat dimanfaatkan oleh pihak terdakwa. Mengingat bahwa korupsi adalah tindak pidana di kalangan pejabat dan/atau pimpinan perusahaan, sangat mungkin terdapat suatu rekayasa kejadian kejadian tertentu yang bertujuan untuk menjebak seseorang agar tersangkut kasus korupsi. Dengan adanya alat bukti lain ini mempermudah terdakwa untuk mendapatkan


(13)

keadilan dengan membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atau tidak melakukan tindak pidana korupsi. Misalnya, seorang pejabat dituduh menyalahgunakan kekuasaannya karena melakukan percakapan melalui telepon seluler dengan seorang pengusaha kaya raya. Namun, pejabat tersebut dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi dengan menunjukkan rekaman pembicaraannya dengan pengusaha tersebut, yang ternyata isi percakapan mereka adalah saling mengucapkan selamat hari raya.

Pada dasarnya, kekuatan pembuktian rekaman CCTV sebagai alat bukti dalam tindak pidana korupsi, sama dengan kekuatan pembuktian alat bukti yang lain yang terdapat dalam KUHAP. Namun, Rekaman CCTV dalam tindak pidana korupsi tidak dapat berdiri sendiri. Rekaman CCTV berperan dalam membangun alat bukti petunjuk. Rekaman CCTV harus memiliki keterkaitan dengan alat bukti seperti keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, sehingga menunjukkan persesuaian kejadian satu dengan lainnya. Oleh karena kuat lemahnya pembuktian, tergantung keterkaitan antara perbuatan yang dianggap sebagai suatu petunjuk dengan perbuatan yang dituduhkan,122

122

Edmon Makarim, Op.Cit., hal. 441.

Agar memiliki nilai pembuktian yang kuat, rekaman CCTV tersebut harus menunjukkan keterkaitan dengan tindak pidana korupsi yang ingin dibuktikan. Contohnya, kamera CCTV merekam seorang pejabat menerima tamu di kantornya. Tamu tersebut memberikan sebuah amplop kepada pejabat tersebut. Bukti rekaman CCTV yang memberikan amplop ini tidak dapat dijadikan dasar bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi. Namun, apabila dikaitkan dengan alat bukti lain, seperti pengakuan saksi A yang


(14)

menyatakan bahwa pada hari itu juga, tamu tersebut mengambil uang di Bank X dan memasukkan ke amplop yang sama persis dengan amplop yang ada dalam rekaman CCTV, maka akan timbul persesuaian. Dengan demikian, maka alat bukti rekaman CCTV tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang kuat.

Untuk menilai kekuatan suatu alat bukti, termasuk alat bukti elektronik maka yang menjadi kekuatan utamanya adalah informasi yang terkandung di dalam alat bukti tersebut. Semakin baik kualitas informasinya, maka semakin kuat kejadian-kejadian yang dapat dibuktikan. Informasi pada dasarnya mempunyai tingkat kualitas yang dapat ditentukan atau diukur oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain:123

a. Informasi harus bersifat tepat dan akurat, artinya informasi tersebut harus bersifat bebas dari kesalahan-kesalahan, sesuai dengan fakta, tidak menyesatkan dan harus memiliki makna yang jelas, tegas, dan tidak multitafsir;

b. Informasi harus tepat pada waktunya;

c. Informasi harus relevan, yaitu bahwa informasi harus mempunyai manfaat atau nilai bagi penerima atau pemakainya atau pihak yang akan menggunakannya;

d. Informasi harus bersifat lengkap dan utuh, maksudnya adalah informasi yang disampaikan harus berisi semua informasi yang dibutuhkan, informasi tidak bersifat setengah-setengah, rinci, utuh, dan menyeluruh.

e. Informasi harus jelas.

Oleh karena itu, informasi yang terdapat dalam alat bukti elektronik harus dapat dijamin keasliannya karena akan berdampak pada kualitas informasi yang didapatkan dari alat bukti elektronik tersebut. Bila alat bukti elektronik berisikan informasi yang tidak jelas atau setengah-setengah atau bahkan telah dimanipulasi,

123


(15)

maka akan berakibat fatal pada proses pembuktiannya karena tidak lagi berdasar pada fakta-fakta yang sebenarnya.

Hal tersebut berkaitan dengan bentuk dari rekaman CCTV yang ditampilkan di dalam persidangan. Bentuk asli dari alat bukti rekaman CCTV akan terjamin keaslian informasi yang terkandung di dalamnya, dan menunjukkan informasi yang lebih akurat dibandingkan dengan hasil cetaknya. Rekaman CCTV dalam bentuk aslinya atau bentuk originalnya yaitu bentuk video akan lebih memberikan pembuktian yang kuat daripada hasil cetaknya yang hanya berupa potongan-potongan gambar dari video rekaman CCTV tersebut.

Kekuatan pembuktian suatu rekaman CCTV juga dipengaruhi oleh sah tidaknya proses pengambilan atau cara memperoleh alat bukti rekaman CCTV tersebut. Rekaman CCTV yang diambil secara tidak sah akan menghilangkan kekuatan pembuktian dari alat bukti rekaman CCTV tersebut, karena pembuktian tidak dapat didasarkan dari alat bukti yang tidak sah.

Dalam UU ITE keabsahan suatu alat bukti elektronik diatur dalam Pasal 5 ayat (3) UU ITE yang menyatakan bahwa Informasi dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Pada ayat ini muncul suatu istilah Sistem Elektronik. Pengertian Sistem Elektronik itu sendiri adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan,


(16)

mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/ atau menyebarkan Informasi Elektronik.124

a. Dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

Mengenai persyaratan minimum sistem elektronik yang digunakan oleh penyelenggara sistem elektronik diatur dalam pasal 16 ayat (1) UU ITE, yaitu :

b. Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keontentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut.

c. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut.

d. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut. e. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan,

kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

Penyelenggara atau pelaku sistem elektronik tidak hanya Negara atau badan hukum tertentu saja melainkan setiap pihak-pihak yang melakukan penyelenggaraan sistem elektronik termasuk didalamnya orang, badan usaha, dan masyarakat.125

Sah tidaknya suatu alat bukti elektronik, tidak terlepas dari istilah intersepsi atau penyadapan. Pada hakikatnya, tindakan penyadapan merupakan

Jadi setiap subjek hukum yang melakukan persiapan, pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi elektronik dengan suatu sistem elektronik harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU ITE tersebut, termasuk persyaratan pasal 16 yang telah disebutkan diatas.

124

Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008.

125


(17)

suatu perbuatan yang berpotensi melanggar atau bahkan meniadakan hak pribadi atau hak privasi seseorang atau sekelompok orang yang disadap. Alasannya adalah karena suatu informasi yang disadap bukanlah informasi yang bersifat umum melainkan suatu informasi yang bersifat privasi atau rahasia.126 Pengertian privasi sendiri merupakan konsep yang abstrak sehingga cukup sulit untuk didefinisikan dan sangat dipengaruhi oleh faktor budaya yang berkembang di masyarakat.127

Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain. Jadi penyadapan dibenarkan untuk dilakukan dengan mengesampingkan hak privasi seseorang apabila dilakukan untuk melindungi hak dan kehormatan orang lain, atau dalam keadaan-keadaan tertentu yang bersifat khusus. Misalnya untuk membuat terang Mahkamah Konstitusi dalam putusannya nomor 5/PUU-VII/2010, tanggal 24 Februari dalam paragraf [3.21] menyatakan bahwa penyadapan merupakan bentuk pelanggaran terhadap rights of privacy yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Rights of privacy atau hak privasi adalah merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dapat dibatasi (derogable rights) yang dapat dilakukan dengan Undang-Undang, sebagaimana ketentuan pasal 28 J UUD 1945.

126

Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit., hal. 51.

127

Sinta Dewi Rosadi, Aspek Data Privasi Menurut Hukum Internasional, Regional, dan Nasional, (Bandung: Refika Aditama, 2015), hal. 2.


(18)

suatu perkara yang sulit pembuktiannya, untuk menemukan pelaku tindak pidana yang terorganisasi, untuk membuat terang tindak pidana yang dilakukan lintas batas Negara, untuk membongkar kejahatan atau tindak pidana yang terorganisir, untuk membongkar sindikat pelaku tindak pidana kerah putih, untuk menggagalkan rencana melakukan tindak pidana, untuk membuat terang tindak pidana yang menggunakan teknologi modern atau teknologi canggih, dan lain sebagainya.128

1. Informasi yang terkandung dalam rekaman CCTV harus memiliki keterkaitan atau kesesuaian dengan alat-alat bukti yang sah lainnya.

Pada dasarnya penyadapan adalah bentuk dari upaya perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang lain atau masyarakat umum. Alat bukti elektronik yang didapatkan dan yang digunakan sebagai hasil dari penyadapan didasarkan pada benar atau tidaknya pelaksanaan penyadapan tersebut. Alat bukti elektronik dikatakan sah sebagai alat bukti apabila penyadapan dilakukan sesuai dengan prosedur dan ketentuan tentang penyadapan yang telah ada dan berlaku.

Untuk menentukan kekuatan pembuktian dari alat bukti rekaman CCTV dalam tindak pidana korupsi, maka berdasarkan uraian diatas penulis menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:

2. Bentuk rekaman CCTV yang paling baik untuk ditampilkan adalah bentuk video aslinya, sehingga informasi di dalamnya terjamin keotentikannya. 3. Rekaman CCTV harus merupakan alat bukti yang sah. Sah tidaknya rekaman

CCTV ditentukan oleh:

128


(19)

a. Dalam memperoleh rekaman CCTV harus memenuhi persyaratan minimum sistem elektronik yang ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1), dan b. Bukan merupakan hasil tindakan intersepsi atau penyadapan. Kecuali

intersepsi tersebut dilakukan dengan tata cara yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

C. Beberapa Kasus Tindak Pidana Korupsi yang Menggunakan Rekaman CCTV sebagai Alat Bukti

Setelah lebih dari 15 tahun sejak berlakunya pasal 26A UU Tipikor, pengadilan tindak pidana korupsi sudah banyak menangani kasus-kasus korupsi dengan menggunakan alat bukti elektronik, termasuk rekaman kamera pengintai atau rekaman CCTV. Berikut adalah beberapa kasus korupsi yang menggunakan rekaman CCTV dalam proses pembuktiannya. Dalam kasus di bawah ini dapat dilihat bagaimana peranan rekaman CCTV dalam tindak pidana korupsi.

1. Kasus Tindak Pidana Korupsi Atas Nama Rahmat Syahputra

Perkara ini telah diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Pekanbaru dengan nomor putusan 29/Pid.Sus/2012/PN.PBR dengan nama terdakwa Rahmat Syahputra. Rahmat Syahputra adalah seorang karyawan PT. Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk cabang XI. Rahmat Syahputra berposisi sebagai Site Administrasi Manajer dalam Kerja Sama Operasional (KSO) antara PT. Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk (PT. PP) - PT. Adhi Karya (Persero) Tbk (PT. ADHI) – PT. Wijaya Karya (Persero) Tbk (PT. WIKA) yang bertugas mencatat biaya-biaya, penghitungan pajak dan melakukan penagihan termin.


(20)

Oleh pengadilan Tipikor PN Pekanbaru, Rahmat Syahputra dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi Secara Bersama-sama serta dijatuhi pidana penjara selama 2 tahun dan 6 bulan dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan.

Oleh Majelis Hakim, Rahmat dinyatakan melakukan perbuatan sesuai dakwaan alternatif pertama yaitu Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang bunyinya, Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah). “Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dengan maksud Penyelenggara Negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bersangkutan dengan kewajibannya.” Karena perbuatan tersebut dilakukan oleh beberapa orang, maka majelis hakim mengkaitkannya dengan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang bunyinya adalah, “dipidana sebagai pelaku tindak pidana mereka yang melakukan, yang meyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.”

Pembuktian dalam perkara korupsi ini menggunakan rekaman CCTV dalam pembuktiannya, yaitu BB No. 179 satu buah flashdisk bertuliskan “Lifestyle Scheoffel” warna silver dengan bungkus kulit warna hitam bertuliskan Mandiri Prioritas yang berisi rekaman CCTV kegiatan nasabah an. Satria Hendri


(21)

pada tanggal 3 April 2012. Rekaman tersebut menunjukkan 2 orang yang duduk di sofa yang diketahui orang pertama adalah terdakwa dan yang satunya lagi adalah Satria Hendri yang merupakan perwakilan dari PT Adhi Karya. Rekaman CCTV memperlihatkan bahwa Satria Hendri menyerahkan kantong plastik hitam yang diakui oleh Satria Hendri adalah uang senilai Rp. 319.000.000,-. Uang tersebut yang bila digabungkan dengan uang yang telah dipegang Rahmat Syahputra menjadi berjumlah Rp. 900.000.000,- yang diserahkan kepada Faisal Aswan, seorang anggota DPRD Provinsi Riau.

Rekaman CCTV tidak menunjukkan secara langsung tindakan korupsi yang dilakukan oleh para pelaku. Namun berdasarkan rekaman CCTV itu, hakim dapat membangun sebuah alur dengan melihat keterkaitannya dengan alat bukti lain yaitu keterangan saksi satria hendri yang mengakui isinya adalah uang. Rekaman CCTV tersebut menunjukkan salah satu orang yang memberikan aliran dana untuk kemudian diberikan kepada DPRD Provinsi Riau sebagai “uang lelah” dalam melakukan revisi peraturan daerah.

2. Kasus Tindak Pidana Korupsi Atas Nama Musandrian A.Md Bin Mustar

Perkara ini telah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Palembang dengan nomor putusan 51/Pid.Sus/2013/PN.Plg dengan nama terdakwa Musandrian, A. Md. Bin Mustar. Musandrian bekerja sebagai Karyawan Kontrak PT. Bank BRI (Persero) Tbk. Cabang Palembang Sriwijaya.

Musandrian bertugas sebagai E-Channel pada bank tersebut. dia diberi tugas untuk mengecek dan menambah kas atau saldo pada atm BRI yang telah


(22)

ditentukan. Setelah pintu lemari ATM terbuka, Musandrian bertugas mengganti box uang / kaset yang lama dengan yang baru, setelah itu pintu lemari ATM ditutup kembali dan box / kaset yang lama dibawa kembali ke Bank untuk dilakukan perhitungan guna pengisian register opname kas dan pada akhirnya register opname kas tersebut terdakwa serahkan kepada supervisor Asrana Dety dan saksi Yunarti, sedangkan sisa uang dari dalam box / kaset yang lama yang seharusnya disetorkan kepada supervisor kas untuk dilakukan pembukuan, akan tetapi dalam kenyataannya box / kaset isi ulang untuk mesin ATM yang digantikan tersebut telah ditukarkan dengan box / kaset yang berisi uang dengan box / kaset uang yang sudah tidak ada uangnya lagi dan uang yang berada dalam box / kaset ATM tersebut diambil oleh Musandrian tanpa seizin dari pihak Bank BRI. Untuk menutupi perbuatannya, Musandrian membuat laporan pembukuan yang seolah-olah box / kaset ATM yang dibawanya pulang tersebut telah ditukarkan dengan box / kaset kosong ATM yang telah ditarik nasabah melalui mesin ATM. Adapun uang yang telah diambilnya dari ke 6 unit ATM milik PT. Bank BRI Cabang Palembang Sriwijaya adalah sebesar Rp.1.100.000.000,-.

Oleh majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut, Musandrian dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang secara berlanjut dan berbarengan, karena uang yang diambilnya secara tidak sah tadi dipergunakan untuk membeli perabotan rumah tangga, membeli mobil Opel Blazer dan Eterna, membeli sepeda motor Suzuki Hayate, membayar angsuran kredit mobil Innova dan Xenia, ditransfer ke rekening istrinya dan ditransfer ke rekening Edi Wijaya.


(23)

Musandrian dijatuhi pidana penjara selama 6 tahun dan denda sebesar Rp 200.000.000,-, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan, serta diwajibkan untuk membayar Uang Pengganti sebesar Rp.640.000.000,- dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti dalam waktu 1 bulan sesudah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dan apabila tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan penjara selama 1 tahun;

Jaksa penuntut umum menggunakan rekaman CCTV dalam proses pembuktian kasus ini. 3 buah Rekaman CCTV ATM BRI JM Sukarami terminal ID ATM 94338, ATM BRI Hotel Anugrah terminal ID ATM 54535, ATM BRI Internasional Plaza (IP) terminal ID 54536 seperti yang terteta pada barang bukti nomor 20 pada putusan tersebut. Berdasarkan rekaman CCTV yang ada di lokasi ATM bisa diketahui bahwa Musandrian telah menukar kaset yang berisi uang yang seharusnya dimasukkan ke dalam mesin ATM dengan kaset yang kosong yang baru saja dikeluarkan dari mesin ATM. Rekaman CCTV tersebut telah menunjukkan bahwa Musandrian telah mengambil uang yang seharusnya dimasukkan ke ATM, namun belum cukup untuk membuktikan bahwa tindakannya tersebut adalah tindakan korupsi. Jadi rekaman CCTV ini perlu juga didukung oleh alat bukti lainnya sehingga hakim mendapat keyakinan bahwa Musandrian bersalah melakukan tindak pidana korupsi.


(24)

3. Kasus Tindak Pidana Korupsi Atas Nama Arya Abdi Effendy alias Dio dan H. Juard Effendi.

Arya Abdi Effendi alias Dio menjabat sebagai Direktur Operasional PT. Indoguna Utama dan Juard Effendi menjabat sebagai Direktur HRD dan GA PT. Indoguna Utama. Pengadilan Tipikor PN Jakarta menyatakan bahwa Dio dan Juard Effendi terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Keduanya terbukti melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal 5 ayat 1 huruf a menyatakan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- dan paling banyak Rp. 250.000.000,- “setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara Negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya”. Majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut menjatuhkan vonis 2 tahun 3 bulan penjara terhadap Arya Abdi Effendy dan Juard Effendi. Dua petinggi PT Indoguna Utama itu juga divonis hukuman denda masing-masing Rp 150.000.000,- subsider 3 bulan kurungan.

Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta melalui putusan nomor:31/PID/TPK/2013/PT.DKI menguatkan putusan nomor: 19/Pid.Sus/ TPK/2013/PN.JKT.PST tanggal 01 Juli 2013 menambah hukuman kedua orang tersebut menjadi pidana penjara selama 3 tahun, dan pidana denda sebesar Rp. 200.000.000,- subsidair 4 bulan.


(25)

Dio dan Juard Effendi melakukan suap uang Rp 1,3 miliar kepada Lutfhi Hasan Ishaaq selaku anggota DPR sekaligus presiden PKS saat itu dan Ahmad Fathanah. Uang Rp 1,3 miliar itu sebagai uang muka terkait upaya peningkatan kouta impor daging PT Indoguna Utama milik Maria Elizabeth Liman sebanyak 8000 ton. Dimana dari 8000 ton itu fee yang akan diterima Luthfi mencapai Rp40.000.000.000,- jika disetujui Kementrian Pertanian. Perhitungannya Rp5.000/Kg dari penambahan 8 ribu ton kuota.129

Dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum memutar rekaman CCTV sebagai salah satu bukti dalam kasus penambahan kuota impor daging sapi di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu 1 Mei 2013. Video tersebut memperlihatkan aktivitas di ruang kerja Juard Effendi, selaku Direktur PT Indoguna Utama pada 29 Januari 2013. Dalam rekaman tampak seorang laki-laki masuk ke dalam ruang kerja Juard. Menurut saksi Debby Inrawati, selaku Direktur PT Sinar Terang Utama, pria tersebut adalah Rudy Susanto. Rudy merupakan Komisaris PT Berkat Mandiri Prima. Debby membenarkan saat itu Rudy hendak bertemu dengan Juard. "Betul tanggal 29 Januari 2013 ada tamu, namanya Pak Rudy, dia importir juga, beli daging dari kami. Punya pabrik bakso yang beli dagingnya dari PT Indoguna," kata Debby. Dalam rekaman, Rudy tampak menyerahkan amplop kepada Juard Effendi di meja kerjanya.130

129

Dalam berkas dakwaan atas terdakwa Arya Abdi Effendi dan Juard Effendi, diketahui bahwa Arya menghubungi Rudy Susanto agar menyiapkan


(26)

uang tunai sebesar Rp 500.000.000,- dan mengantarkannya kepada PT Indoguna Utama. Sekitar pukul 16.00 WIB, Ahmad Fathanah mendatangi kantor PT Indoguna untuk mengambil uang itu.

Rekaman CCTV yang digunakan Jaksa Penuntut Umum tersebut bila berdiri sendiri tidak dapat dinilai sebagai suatu tindak pidana korupsi, namun bila dikaitkan dengan alat bukti lainnya seperti keterangan saksi diatas maka akan diketahui bahwa tindakan yang terekam dalam rekaman CCTV tersebut adalah merupakan salah satu tindakan dari rangkaian tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan kasus korupsi impor daging sapi yang dilakukan oleh Lufhfi Hasan Ishaaq.


(27)

Bab IV

Kedudukan Rekaman CCTV Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Korupsi Setelah Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-

XIV/2016

A. Analisis Perkara Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016

Pengujian Pasal 5 ayat (1) dan (2), Pasal 44 huruf b UU ITE dan pasal 26A UU Tipikor yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi berawal dari permohonan yang diajukan oleh Setya Novanto yang diwakili oleh kuasa hukumnya . Hal ini tidak terlepas dari permasalahan yang dialami oleh Setya Novanto sendiri. Setya Novanto diduga melakukan tindak pidana korupsi permufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia yang di media massa sering disebut kasus “papa minta saham”.

1. Kasus Posisi Perkara Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016

Munculnya dugaan terjadinya tindak pidana ini bermula dari beredarnya rekaman pembicaraan antara Setya Novanto dengan Ma’roef Sjamsudin (Direktur Utama PT. Freeport Indonesia) dan Muhammad Riza Chalid yang dilakukan dalam ruangan tertutup di salah satu ruangan hotel Ritz Carlton yang terletak di kawasan Pacific Place, Jakarta Pusat. Pembicaraan tersebut direkam oleh Ma’roef Syamsudin secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi tanpa persetujuan Setya Novanto, yang ada dalam rekaman tersebut, kemudian rekaman tersebut dilaporkan kepada Sudirman Said , Menteri ESDM.131

131

Lihat pada Bagian kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon, Angka 10 Huruf b, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September 2016.


(28)

Dalam permohonan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi, Setya Novanto menyatakan bahwa akibat beredarnya rekaman pembicaraan tersebut menimbulkan suasana politik yang memanas dan pemberitaan yang cenderung memojokkan harkat dan martabatnya selaku pribadi maupun selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada saat itu sehingga akhirnya untuk kepentingan yang lebih besar, Setya Novanto mengundurkan diri dari jabatannya, namun polemik tidak berhenti disitu. Kejaksaan Agung kemudian melakukan penyelidikan dengan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi permufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia berdasarkan rekaman pembicaraan tersebut. 132

Setya Novanto beranggapan bahwa rekaman yang diambil secara diam-diam dan tanpa persetujuan yang dilakukan oleh Ma’roef Sjamsudin adalah tidak sah karena melanggar hak privasinya. Lebih lanjut dinyatakan dalam surat permohonan tersebut, jelas melanggar prinsip due process of law yang merupakan refleksi dari prinsip negara hukum yang dianut oleh Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan juga melanggar prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) serta melanggar hak privasi yang dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.133

132

Lihat pada Bagian kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon, Angka 10 Huruf e dan f, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September 2016.

133

Lihat pada Bagian kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon, Angka 10 Huruf i, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September 2016.


(29)

Setya Novanto juga berpendapat bahwa pemanggilan Kejaksaan Agung RI terhadap dirinya dilakukan karena norma dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Nomor 20 Tahun 2001 tidak mengatur secara tegas kriteria informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang dapat dijadikan alat bukti yang sah menurut hukum acara yang berlaku di Indonesia, sehingga menimbulkan tafsir yang seolah-olah seluruh informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti walaupun diperoleh secara tidak sah. Dan bila dibiarkan atau tidak diluruskan oleh Mahkamah Konstitusi dengan memberikan satu-satunya tafsir, maka dalam jangka panjang akan sangat berpotensi melahirkan ketakutan dalam masyarakat untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu karena adanya kekhawatiran akan direkam dan/atau disadap oleh pihak yang tidak berwenang sehinggap pada akhirnya Negara dapat dianggap gagal melindungi hak konstitusional warga negaranya sebagaimana diatur dalam pasal 28G ayat (1) UUD 1945134

2. Petitum yang Dimohonkan oleh Pihak Pemohon dalam Perkara konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016.

yang menyatakan : “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa nyaman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat dan tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

Berdasarkan hal-hal yang telah diungkapkan oleh pemohon pada perkara konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016, maka pihak Pemohon mengajukan petitum dan

134

Lihat pada Bagian kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon, Angka 10 Huruf j dan k, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September 2016.


(30)

Adapun Petitum yang dimohonkan oleh Pemohon berbunyi sebagai berikut:135 1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah bertentangan dengan UUD Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang frasa “informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya” dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Tidak Dimaknai sebagai “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya.”; 3. Menyatakan Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang frasa “informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya” dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Tidak Dimaknai sebagai “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya.”; 4. Menyatakan Pasal 5 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik adalah bertentangan dengan UUD Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang frasa “informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya” dalam Pasal 5 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Tidak Dimaknai sebagai “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya.”; 5. Menyatakan Pasal 5 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang frasa “informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya” dalam Pasal 5 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Tidak Dimaknai sebagai “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil

135

Lihat pada Bagian Petitum, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September 2016.


(31)

cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya.”; 6. Menyatakan Pasal 44 huruf b UU No. 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik adalah bertentangan dengan UUD Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang frasa “informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya” dalam Pasal 44 huruf b UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Tidak Dimaknai sebagai “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya.”; 7. Menyatakan Pasal 44 huruf b UU No. 11 Tahun 2008 tentang

ITE tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang frasa “informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya” dalam Pasal 44 huruf b UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, Tidak Dimaknai sebagai “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya.”; 8. Menyatakan Pasal 26A UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan

Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah bertentangan dengan UUD Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang frasa “informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya” dalam Pasal 26A UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Tidak Dimaknai sebagai “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya.”;

9. Menyatakan Pasal 26A UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang frasa “informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya” dalam Pasal 26A UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Tidak Dimaknai sebagai “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik


(32)

dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya.”; 10. Memerintahkan pemuatan putusan dalam perkara ini dalam Berita

Negara Republik Indonesia sebagai mana mestinya Atau

Apabila Mahkamah berpendapat lain mohon Putusan seadil-adilnya.

3. Keterangan Pemerintah atas Materi Pokok Permohonan Perkara Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016

Dalam perkara ini, mahkamah Konstitusi meminta keterangan dari Pemerintah.

Terhadap dalil pemohon yang menganggap hak konstitusionalitasnya dilanggar dengan keberlakukan pasal-pasal tersebut, maka pemerintah berpendapat bahwa hal tersebut tidak benar. Alasannya adalah karena pasal tersebut dimaksudkan untuk mengakomodir perbuatan hukum baru yang memanfaatkan teknologi informasi dalam unsur perbuatannya, oleh karena itu pasal-pasal tersebut bertujuan memberikan pengesahan terhadap alat bukti elektronik sekaligus memperluas alat bukti yang ada dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP.136

Terhadap dalil pemohon yang pada intinya menganggap bahwa perekaman yang dilakukan secara tidak sah (illegal) atau tanpa persetujuan orang yang berbicara dalam rekaman, padahal pembicaraan tersebut dilakukan dalam ruangan

136

Lihat pada Bagian keterangan Pemerintah Atas Materi Pokok yang Dimohonkan untuk Diuji, Angka 1 Huruf b, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September 2016.


(33)

tertutup, maka pemerintah berpendapat, bahwa perekaman yang didalilkan pemohon pada hakikatnya merupakan kegiatan pendokumentasian dengan objek suatu proses, fakta, keadaan, dan/atau kegiatan, yang hasilnya menjadi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Pemerintah menyatakan bahwa hal perekaman tersebut bukan merupakan tindakan merekam yang merupakan salah satu kegiatan dalam intersepsi atau penyadapan. Alasannya adalah karena objek yang direkam dalam intersepsi atau penyadapan adalah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.137

Terhadap dalil pemohon yang meminta agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penafsiran bersyarat pada ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan (2) dan Pasal 44 huruf b UU ITE, pemerintah memberikan pendapat, bahwa apabila penafsiran bersyarat tersebut diberlakukan pada undang-undang yang memuat norma tentang informasi dan dokumen elektronik dan hasil cetaknya sebagai alat bukti yang sah, maka justru akan mempersempit keberlakuan norma tersebut serta dapat melemahkan penegakan hukum dalam melindungi kepentingan hukum. Pemerintah memberikan contoh, bahwa apabila penafsiran bersyarat itu dilakukan maka informasi dan dokumen Berdasarkan tanggapan pemerintah tersebut, maka dapat diketahui bahwa pemerintah menyatakan bahwa perekaman yang dilakukan Ma’roef Syamsudin bukan merupakan perekaman yang dimaksud dalam tindakan intersepsi atau penyadapan, karena objek yang direkam berbeda.

137

Lihat pada Bagian keterangan Pemerintah Atas Materi Pokok yang Dimohonkan untuk Diuji, Angka 2 Huruf c dan d, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September 2016.


(34)

elektronik yang diperoleh dari perekaman seperti rekaman CCTV yang ada di pusat perbelanjaan, hotel, bandara dan bukti transaksi keuangan melalui ATM tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti karena tidak diperoleh berdasarkan permintaan aparat penegak hukum (APH). Selain itu, pemerintah juga berpendapat bahwa permohonan konstitusi bersyarat yang dimohonkan pemohon, tidak sejalan dengan maksud pengaturan Pasal 5 ayat (1) dan (2) dan Pasal 44 huruf b UU ITE. Pasal-pasal tersebut, dibuat dalam rangka untuk menjangkau tren perbuatan hukum baru yang menggunakan sistem elektronik baik dalam posisi on-line atau off-on-line yang selama ini belum dapat terjangkau secara maksimal dengan menggunakan bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP. 138

4. Keterangan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Pokok Perkara dalam Perkara Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi juga meminta keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam perkara konstitusi ini. Pada intinya, keterangan keterangan yang diberikan DPR adalah sebagai berikut.

Terhadap kedudukan hukum atau legal standing Setya Novanto sebagai Pemohon, DPR menyerahkan pertimbangan kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menilai apakah Setya Novanto memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian tersebut.139

138

Lihat pada Bagian keterangan Pemerintah Atas Materi Pokok yang Dimohonkan untuk Diuji, Angka 3 Huruf b, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September 2016.

139

Lihat pada Paragraf [2.4], Angka 1 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September 2016.

Terhadap dalil-dalil yang lain yang diungkapkan dalam pokok perkara, DPR tidak menyatakan sikap sepakat maupun sikap bertentangan apakah dalil. Namun, terhadap permohonan pemohon


(35)

agar Mahkamah memberikan tafsir conditionally unconstitutional, DPR RI berpandangan bahwa hal tersebut merupakan pembentukan norma yang merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang. 140

B. Pertimbangan Hakim Mengenai Pokok Permohonan dan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016

1. Pertimbangan Hakim Mengenai Pokok Permohonan Pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016

Setelah melakukan pemeriksaan, termasuk mendengar keterangan yang diajukan Presiden, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat, bahwa pada dasarnya tindakan penyadapan (interception) termasuk di dalamnya perekaman adalah perbuatan melawan hukum karena penyadapan merupakan sebuah tindakan yang melanggar privasi orang lain sehingga melanggar hak asasi manusia. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 5/PUU-VII/2010, tanggal 24 Februari dalam paragraf [3.21] menyatakan bahwa penyadapan memang merupakan bentuk pelanggaran terhadap rights of privacy yang bertentangan dengan UUD 1945. Rights of privacy merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dapat dibatasi, namun pembatasan atas rights of privacy ini hanya dapat dilakukan dengan Undang-Undang, sebagaimana ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.141 Privasi sendiri merupakan cara penting untuk melindungi diri dan masyarakat dari penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang,142

140

Lihat pada Paragraf [2.4] Huruf B Angka 8, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September 2016.

141

Lihat pada Paragraf [3.8], Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September 2016.

142

Sinta Dewi Rosadi, Op.Cit., hal. 3

sehingga wajar kiranya jika pembatasan terhadap privasi tersebut harus dilakukan dengan Undang-Undang.


(36)

Kegiatan dan kewenangan penyadapan merupakan hal yang sangat sensitif karena di satu sisi merupakan pembatasan HAM namun di sisi lain memiliki aspek kepentingan hukum. Oleh karena itu, pengaturan mengenai legalitas penyadapan harus dibentuk dan diformulasikan secara tepat sesuai dengan UUD 1945.

UU ITE mengatur bahwa setiap orang dilarang melakukan intersepsi atau penyadapan seperti yang tercantum dalam pasal 31 ayat (1) bahwa merupakan perbuatan yang dilarang bagi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi dan/atau dokumen elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain. Kemudian pada penjelasan pasal tersebut dijelaskan perbuatan apa saja yang termasuk dalam intersepsi atau penyadapan, yakni kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.143

Penyadapan sebagai perampasan kemerdekaan adalah bagian dari upaya paksa yang hanya boleh dilakukan berdasarkan Undang-Undang dan harus diatur hukum acaranya melalui Undang-Undang yang khusus mengatur hukum formil terhadap penegakan hukum materiil. Oleh karena penyadapan di Indonesia sudah

143

Lihat pada Paragraf [3.9], Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September 2016.


(37)

diatur dalam Undang-Undang meskipun tersebar di beberapa Undang-Undang, Majelis Hakim beranggapan perlu untuk memberi tafsir terhadap frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” yang termuat dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta pasal 44 huruf b ITE dan Pasal 26A UU Tipikor.

Pada Pasal 26A UU Tipikor tidak didapati frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” di dalam pasal 26A tersebut. Namun jika norma pasal 26A dapat diartikan sebagi frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” seperti yang di dalilkan pemohon, maka majelis hakim menyatakan hal tersebut dapat berlaku secara mutatis mutandis pada Pasal 26A UU Tipikor.144

Majelis Hakim berpendapat bahwa perlu menegaskan kembali pertimbangan Putusan MK Nomor 006/PUU-I/2003 bertanggal 30 Maret 2004 yang kemudian ditegaskan kembali dalam Putusan Nomor 5/PUU-VII/2010, bertanggal 24 Februari 2011 tentang penyadapan yang pada intinya menyatakan bahwa, karena penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan terhadap hak-hak asasi manusia yang hanya dapat dibatasi melalui undang-undang, maka undang-undang tersebut harus merumuskan hal yang sangat penting, antara lain, siapa yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan dan perekaman ketika telah didapat bukti permulaan yang cukup. Artinya, penyadapan dan perekaman dilakukan untuk menyempurnakan alat bukti atau dilakukan dalam rangka mencari bukti permulaan yang cukup. Hal tersebut harus

144


(38)

diatur, untuk menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak asasi.145

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menimbang, bahwa sampai saat ini belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur tentang intersepsi atau penyadapan seperti yang diamanatkan diatas. Oleh karena itu, untuk mengisi kekuranglengkapan hukum tentang intersepsi atau penyadapan tersebut, maka penafsiran bersyarat yang dimohonkan oleh Setya Novanto terhadap frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor, memiliki alasan hukum sepanjang frasa tersebut dimaknai sebagai alat bukti yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE. Untuk menegaskan bahwa intersepsi harus ditegaskan secara sah dalam rangka penegakan hukum, maka dalam amar putusan ditambahkan kata atau frasa “khususnya” terhadap frasa yang dimohonkan pengujian agar tidak terjadi penafsiran bahwa putusan MK ini akan mempersempit makna atau arti yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE.146

Pada paragraf [3.11], Mahkamah Konstitusi menegaskan kembali bahwa ketika aparat penegak hukum menggunakan alat bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah atau unlawful legal evidence maka bukti yang dimaksud

145

Lihat pada Paragraf [3.10], Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September 2016.

146


(39)

dikesampingkan oleh hakim atau dianggap tidak mempunyai nilai pembuktian oleh pengadilan. Pertimbangan hakim mengenai pokok permohonan pemohon selengkapnya dapat dilihat pada paragraf [3.8] sampai dengan paragraf [3.11] Putusan MK nomor 20/PUU-XIV/2016.

2. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah dilakukan Mahkamah Konstitusi, maka terhadap permohonan Setya Novanto, Mahkamah dalam amar putusan pada intinya menyatakan, “mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, yaitu menyatakan bahwa frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE.”147

Berdasarkan amar putusan tersebut dapat dipahami bahwa apabila informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik diperoleh melalui prosedur

147

Lihat pada Bagian Amar Putusan, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September 2016.


(40)

intersepsi atau penyadapan yang tidak sah, maka alat bukti informasi dan dokumen elektronik tersebut melanggar konstitusi Republik Indonesia serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan kata lain, alat bukti elektronik tersebut tidak dapat dijadikan alat bukti dan tidak memiliki kekuatan pembuktian.

Perlu diketahui, bahwa dalam terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 ini terdapat 2 Hakim Konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinions), yang dicantumkan dalam putusan tersebut. Hakim Konstitusi tersebut ialah:148

1) Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna

Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna berpendapat, bahwa Mahkamah seharusnya memutus dan menyatakan permohonan yang dimohonkan tidak dapat diterima. Alasan yang dikemukakan beliau adalah terkait jabatan Setya Novanto sebagai anggota DPR. Hakim Konstitusi I Gede Palguna mengemukakan, bahwa dalam Putusan MK nomor 20/PUU-V/2007, Mahkamah menyatakan bahwa pengertian “perorangan warga Indonesia” tidak sama dengan “perorangan warga Negara Indonesia dalam kedudukannya sebagai Anggota DPR”. Pertimbangan lain dalam putusan tersebut adalah bahwa yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang adalah DPR sebagai institusi/lembaga, sehingga sungguh janggal jika undang-undang yang dibuat oleh DPR dan menjadi kekuasaan DPR untuk membentuknya, ternyata dipertanyakan konstitusionalitasnya oleh DPR sendiri.

148

Lihat pada Bagian Pendapat Berbeda (Dissenting Opinions), Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016, bertanggal 07 September 2016.


(41)

Alasan yang kedua adalah bahwa mahkamah hanya menerima kedudukan hukum anggota DPR dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 dalam hal-hal yang sangat khusus yaitu bila norma UU yang dimohonkan adalah menyangkut hak DPR untuk menyatakan pendapat149, berkenaan dengan hak seseorang untuk menjadi wakil rakyat150, berkenaan dengan berakhirnya masa jabatan anggota DPR151, dan berkenaan dengan mekanisme pemilihan pimpinan DPRD kabupaten/kota152

2) Hakim Konstitusi Suhartoyo

. Sementara itu materi norma UU yang dimohonkan pengujian oleh Setya Novanto tidak termasuk dalam salah satu materi diatas.

Hakim Konstitusi Suhartoyo menyatakan seharusnya Mahkamah menyatakan permohonan Setya Novanto ditolak. Alasan beliau adalah karena apa yang dipermasalahkan oleh Setya Novanto sudah dipenuhi oleh UU ITE, khususnya pasal 31 ayat (3) UU ITE tersebut sehingga tidak ada pertentangan norma antara Pasal 5 ayat (1) dan (2), Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor dengan UUD 1945. Dengan kata lain, pasal-pasal yang dimohonkan pengujian tersebut telah bersifat konstitusional sehingga tidak perlu dilakukan pengujian terhadap UUD 1945.

Pendapat Penulis Mengenai Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016

Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi ini tanggal 07 September 2016, menimbulkan berbagai pendapat dan tanggapan. Penulis menemukan beberapa

149

Dapat dilihat pada Putusan MK No. 23-26/PUU-VIII/2010, bertanggal 12 Januari 2011.

150

Dapat dilihat pada Putusan MK No. 38/PUU-VIII/2010, bertanggal 11 Maret 2011.

151

Dapat dilihat pada Putusan MK No. 39/PUU-XI/2013, bertanggal 31 Juli 2013.

152


(42)

pendapat di media massa, seperti yang telah penulis kemukakan pada bagian tinjauan pustaka. Mereka beranggapan bahwa keluarnya putusan ini memiliki dampak yang cukup besar tehadap legalitas atau keabsahan informasi atau dokumen elektronik yang sah sebagai alat bukti. Mereka berpendapat bahwa, alat bukti elektronik dinyatakan sebagai alat bukti yang sah, jika dilakukan dalam rangka penegakan hukum atau atas permintaan aparat penegak hukum yang berwenang. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, maka anggapan atau pendapat ini adalah pendapat yang keliru. Mahkamah Konstitusi memberikan tafsiran ini adalah dalam konteks intersepsi atau penyadapan. Intersepsi atau penyadapan inilah yang memerlukan izin dari penegak hukum yang berwenang. Jadi, dalam konteks tersebut, maka alat bukti elektronik sah digunakan sebagai alat bukti bila bukan merupakan hasil intersepsi penyadapan, kecuali intersepsi atau penyadapan dilakukan seizin penegak hukum yang berwenang.

Berdasarkan pertimbangan hakim dalam putusan tersebut, penulis sepakat bahwa pemberian batasan penafsiran terhadap Pasal 5 ayat (1) dan (2), Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor harus dilakukan. Alasannya adalah karena penafsiran tersebut diperlukan mengingat bahwa Negara Republik Indonesia belum undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai tata cara atau prosedur intersepsi atau penyadapan. Adapun beberapa undang-undang yang memuat pengaturan tentang intersepsi atau penyadapan hanya mengatur sebagian kecil saja, dan berlaku untuk hal yang secara khusus diatur dalam masing-masing undang-undang tersebut. Banyaknya pengaturan tentang intersepsi atau penyadapan menimbulkan keberagaman aturan mengenai intersepsi atau


(43)

penyadapan. Hal tersebut dapat menyebabkan tidak adanya suatu kepastian hukum mengenai pelaksanaan intersepsi atau penyadapan.

C. Kedudukan Rekaman CCTV Sebagai Alat Bukti dalam Tindak Pidana Korupsi Setelah Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016

Pada sub bab ini akan dibahas mengenai pengaruh putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 terhadap alat bukti elektronik dalam tindak pidana korupsi yang berbentuk rekaman CCTV.

Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi ini banyak menimbulkan berbagai pendapat. Ada yang menyatakan rekaman CCTV tidak dapat dijadikan alat bukti bila tanpa izin penegak hukum. Pada dasarnya amar putusan yang dinyatakan oleh Hakim Konstitusi pada putusan tersebut tidak mengubah atau mempersempit makna sebenarnya dari frasa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik seperti dinyatakan dalam paragraf [3.10] putusan tersebut. Putusan tersebut menambahkan tafsiran bahwa sebuah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah bila bukan merupakan hasil intersepsi atau penyadapan kecuali intersepsi atau penyadapan tersebut dilakukan oleh penegak hukum yang berwenang, yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum.

Demikian halnya pada pasal 26A UU Tipikor, tafsiran tersebut juga berlaku pada pasal ini meskipun tidak ditemukan frasa atau kata informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Segala bentuk alat bukti elektronik yang digunakan sebagai alat bukti petunjuk dalam tindak pidana korupsi harus


(44)

memenuhi ketentuan seperti diatas. Oleh karena itu, tidak semua informasi atau dokumen elektronik otomatis dapat dijadikan alat bukti dalam tindak pidana korupsi. Maka berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas dapat diketahui bahwa, putusan ini tidak mengubah kedudukan rekaman CCTV sebagai alat bukti lain dalam tindak pidana korupsi, namun memberikan suatu batasan atau ketentuan mengenai keabsahannya. Rekaman CCTV dinilai sah sebagai alat bukti bila bukan merupakan hasil intersepsi atau penyadapan, kecuali intersepsi atau penyadapan dengan CCTV dilakukan dengan cara yang sah.

Penggunaan Rekaman CCTV sebagai alat bukti lain dalam pembuktian tindak pidana sangat diperlukan. Dalam tindak pidana yang tergolong kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) seperti korupsi, untuk mengungkap dan membuktikannya sangt sulit dilakukan mengingat semakin beragam modus operandinya. Rekaman CCTV telah banyak digunakan sebagai alat bukti dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang terjadi, diantaranya yaitu kasus-kasus korupsi yang telah penulis kemukakan sebelumnya.

Seperti yang telah kita ketahui, kamera CCTV berfungsi sebagai pengintai pada tempat-tempat tertentu seperti tempat perbelanjaan, tempat pengambilan uang di ATM, gedung-gedung perkantoran dan tempat-tempat umum lainnya. Seiring dengan semakin berkembangnya pemikiran masyarakat akan keperluan pengamanan, penggunaan kamera CCTV yang tersembunyi (hidden cam) semakin banyak dipergunakan. Bahkan dengan kecanggihan teknologi di era globalisasi ini, CCTV dapat juga merekam suara. Tujuannya agar dapat mengawasi atau mengetahui orang yang melakukan tindak pidana atau perbuatan tertentu, tanpa


(45)

diketahui orang yang direkam tersebut. Alasan tersebut memang masuk akal, karena orang yang ingin berniat jahat tentu tidak ingin diketahui orang lain. Demikian halnya pada tindak pidana korupsi. Para pelaku koruptor tentu akan menghindari tempat-tempat yang diawasi oleh kamera CCTV untuk melaksanakan perbuatannya.

Yang menjadi inti permasalahannya adalah pengawasan dengan CCTV secara diam-diam dapat berpotensi mengganggu hak privasi orang lain dan dapat dianggap sebagai tindakan intersepsi atau penyadapan. Lantas, apakah rekaman CCTV yang seperti itu dapat dijadikan alat bukti ?

Kegiatan merekam, pada dasarnya adalah hak asasi setiap orang seperti dinyatakan dalam UUD 1945 Pasal 28F bahwa, setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Namun, hak ini bukanlah hak yang dapat dijalankan dengan sesuka hati dan tanpa batas. UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain, termasuk hak privasi. Ini berarti ada keseimbangan antara hak untuk memperoleh informasi dengan hak atas privasi.153

Penulis tidak menemukan pengaturan khusus mengenai pemasangan kamera CCTV yang berlaku di seluruh Indonesia. Penulis hanya menemukan

153


(46)

peraturan yang hanya berlaku di daerah tertentu, misalnya Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 238 Tahun 2015 tentang kewajiban penyediaan dan pemasangan Closed Circuit Television pada bangunan gedung yang mewajibkan pemilik/ pengelola bangunan gedung untuk menyediakan dan memasang Closed Circuit Television dalam rangka penyediaan akses pemantauan lokasi dan perlindungan masyarakat di ruang publik di sekitar bangunan gedung.154

154

Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa dasar hukum pemasangan kamera CCTV adalah Pasal 28F UUD 1945. Pemasangan kamera pengawas atau kamera CCTV tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memberikan akses perlindungan bagi masyarakat dari tindak kriminal di tempat-tempat yang bersifat publik.

Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016, berdasarkan pertimbangan hakim adalah bertujuan untuk melengkapi pengaturan tentang intersepsi atau penyadapan yang berlaku di Indonesia. Alasannya adalah karena belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur tentang intersepsi atau penyadapan. Bila dikaitkan dengan pengawasan atau perekaman dengan menggunakan kamera CCTV, maka dapat diketahui bahwa, putusan ini bertujuan untuk melindungi hak privasi dari setiap orang, sehingga tidak dapat dilakukan perekaman dengan CCTV secara sembarangan. Dengan kata lain, putusan ini bertujuan untuk melindungi privasi setiap orang agar tidak diintersepsi atau disadap dengan menggunakan kamera CCTV.


(47)

Rekaman CCTV yang diambil dengan perangkat kamera CCTV secara diam-diam, memungkinkan adanya hak privasi yang dilanggar. Dan apabila dalam rekaman CCTV tersebut terdapat informasi yang sifatnya pribadi atau rahasia, maka perekaman dengan CCTV tersebut dapat dianggap sebagai Intersepsi atau penyadapan. Sesuai aturan hukum yang berlaku, maka rekaman CCTV yang demikian tidak dapat dijadikan alat bukti.

Pada dasarnya, pengawasan dengan kamera CCTV hanya dapat dilakukan di tempat-tempat yang sifatnya publik. Namun, penulis berpendapat bahwa informasi yang direkam dari tempat publik belum tentu memiliki sifat publik juga. Demikan juga sebaliknya, perbuatan yang dilakukan di tempat yang bersifat privat, belum tentu bersifat privat. Di tempat yang bersifat publik, seseorang juga berhak untuk melakukan hak privasinya tanpa harus diawasi atau dimata-matai. Misalnya, hak privasi yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 26 ayat (1) UU ITE, yakni:155

a. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.

Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai berikut:

b. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain tanpa tindakan memata-matai.

c. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang.

Berkomunikasi dengan orang lain, adalah hak pribadi yang dapat dilakukan di tempat umum atau tempat publik. Oleh karena itu, pengawasan dengan CCTV dapat dianggap sebagai tindakan memata-matai.

155

Penjelasan Pasal 26 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.


(48)

Contoh informasi publik yang diperoleh dari tempat yang bersifat privat adalah sebagai berikut. Seorang laki-laki melakukan pemerkosaan terhadap seorang perempuan di rumah laki-laki tersebut. Rumah merupakan tempat yang bersifat privat bagi pemiliknya. Perbuatan yang dilakukan oleh laki-laki tersebut bukan merupakan perbuatan yang bersifat privat, meskipun perbuatan tersebut dilakukan di rumahnya sendiri. Informasi tentang perbuatan tersebut menjadi bersifat publik dan tidak boleh dirahasiakan, karena tindakannya adalah merupakan kejahatan dan penegak hukum harus memprosesnya secara hukum. Berdasarkan contoh tersebut, maka dapat dipahami bahwa sifat publik atau privat dari suatu informasi, tidak tergantung pada sifat tempat informasi tersebut diperoleh, tetapi tergantung dari substasi informasi tersebut.

Permasalahan selanjutnya adalah, bagaimana cara agar pengawasan dengan CCTV tetap dapat dilakukan tanpa berpotensi mengancam hak privasi orang lain dan bukan merupakan tindakan intersepsi atau penyadapan ? Pasal 26 ayat (1) UU ITE menyatakan, kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan. Persetujuan yang dimaksud pada pasal ini memang merujuk pada apabila informasi tersebut akan digunakan. Namun, apabila melakukan pengawasan dengan kamera CCTV, sudah tentu dengan tujuan untuk menggunakan informasi yang terekam sebagai alat bukti jika terjadi suatu tindak pidana, atau yang berkaitan dengan tindak pidana.


(49)

Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU ITE tersebut, maka perekaman dengan CCTV harus mendapat persetujuan orang yang bersangkutan. Hal tersebut harus dilakukan supaya rekaman CCTV tersebut tetap sah dan dapat digunakan sebagai alat bukti meskipun ada informasi yang bersifat pribadi di dalamnya. Oleh karena itu, kegiatan perekaman atau pengawasan dengan kamera CCTV seperti ini bukan merupakan pelanggaran hak privasi. Namun sebaliknya, bila tanpa persetujuan sebelumnya, maka berpotensi dianggap sebagai tindakan intersepsi atau penyadapan, yang dalam UU ITE telah diatur sebagai suatu tindak pidana baru.156

Persetujuan yang dimaksud tidak harus dalam bentuk tertulis yang ditandatangani seperti pada persetujuan pada umumnya. Pihak yang melengkapi gedung atau ruangan dengan kamera CCTV, hanya perlu memberikan pemberitahuan dengan kertas atau papan pemberitahuan yang ditempel di pintu atau sekitar pintu masuk, yang dengan tegas menyatakan ruangan atau tempat-tempat privat itu telah dilengkapi atau dipasang kamera pengintai atau kamera CCTV. Setuju atau tidaknya seseorang untuk diawasi dengan CCTV, dapat dilihat dari tindakan orang tersebut. Apabila orang tersebut tetap memilih untuk memasuki ruangan atau tempat yang telah dilengkapi kamera CCTV, maka orang tersebut dianggap setuju bahwa dirinya dan segala kegiatan yang dilakukan di tempat atau ruangan tersebut akan direkam oleh kamera CCTV, temasuk perbuatan yang sifatnya pribadi atau privasi. Dengan demikian, tidak ada hak privasi yang dilanggar.

156

Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime), (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), hal. 137.


(1)

9. Bapak Dr. Edi Yunara, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan, dan mengajarkan Penulis tentang bagaimana teknik penulisan yang baik dan benar yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini; 10. Bapak Muhammad Siddik, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing

Akademik yang telah membimbing Penulis selama masa perkuliahan;

11. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajarkan dan mencurahkan ilmu yang lebih mendalam mengenai Hukum Pidana;

12. Seluruh Dosen dan Staff Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing Penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

13. Seluruh Pegawai dan Petugas Kebersihan yang ada di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kenyamanan dalam menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Sumatera Utara;

14. Keluarga Besar Tua F. Lahagu/R. Ketaren yang senantiasa mendoakan, memberikan dukungan moral serta memberikan nasihat kepada Penulis dalam menjalani perkuliahan di perantauan;

15. Sahabat sekaligus teman seperjuangan Penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Addy, Bobtian, Bren, Defin, Kak Desi, Evan, Fitty, Immanuel, Iqbal, Jimmy, Mipa, Rere, Yonas, dan teman Penulis yang sudah lebih dahulu meninggalkan FH USU, Frederik;


(2)

16. Seluruh teman-teman Penulis di Grup B stambuk 2013, yang selama hampir 4 tahun bersama-sama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

17. Seluruh teman-teman Penulis yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Departemen Hukum Pidana (Imadana);

18. Teman-teman dan adik-adik yang tergabung dalam kepanitiaan Perayaan Natal Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tahun 2016;

19. Teman-teman Stambuk 2013 yang belum Penulis sebutkan, yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini; dan

20. Seseorang yang sering mengaku sebagai Barbie, yang selalu memberikan semangat dan doa kepada Penulis selama menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Akhir kata, semoga skripsi ini membawa manfaat yang sangat besar bagi pembaca dan perkembangan hukum di Indonesia. Terima kasih.

Medan, 24 Februari 2017 Penulis,


(3)

ABSTRAK Roni Alexandro Lahagu*

Alvi Syahrin** Edi Yunara***

*

Mahasiwa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Pidana. **

Dosen Pembimbing I / Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

***

Dosen Pembimbing II / Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Tindak pidana korupsi merupakan extraordinary crime yang semakin beragam modus operandinya. Penggunaan alat bukti elektronik sangat diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut. Termasuk salah satunya yaitu rekaman CCTV. Keluarnya Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 tanggal 07 September 2016 yang memberi tafsir terhadap alat bukti elektronik, menjadi dasar dibentuknya UU No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. Putusan tersebut bertujuan untuk menambah pengaturan tentang intersepsi atau penyadapan yang belum secara khusus diatur dalam sebuah Undang-Undang.

Adapun masalah hukum yang timbul adalah bagaimana pengaturan mengenai alat bukti dan alat bukti elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia, bagaimana kekuatan pembuktian rekaman CCTV dalam penyelesaian tindak pidana korupsi, dan bagaimana kedudukan atau keadaan sebenarnya dari alat bukti rekaman CCTV sebagai alat bukti dalam tindak pidana korupsi setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan mengumpulkan bahan hukum (primer, sekunder, dan tersier) melalui studi kepustakaan (library research). Bahan hukum utama yang dikaji adalah Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September 2016 dan peraturan yang terkait dengan permasalahan dalam skripsi ini yaitu UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor dan peraturan lainnya. Untuk mendukung bahan hukum tersebut, juga dipergunakan bahan hukum sekunder dan tersier berupa buku, jurnal, internet, kamus, dan sebagainya.

Hasil dari penelitian ini berupa kesimpulan bahwa, pertama, Di Indonesia, pengaturan tentang alat bukti dalam hukum acara pidana tidak hanya terdapat di dalam KUHAP, melainkan juga diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yakni pengaturan alat bukti elektronik. Kedua, kekuatan alat bukti rekaman CCTV dalam penyelesaian tindak pidana korupsi dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan yang ketiga adalah bahwa kedudukan atau keadaan sebenarnya rekaman CCTV sebagai alat bukti dalam tindak pidana korupsi setelah keluarnya Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 harus memenuhi beberapa ketentuan sehingga bukan merupakan intersepsi atau penyadapan.


(4)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR………. i

ABSTRAKSI………... v

DAFTAR ISI……… vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang……… 1

B. Perumusan Masalah……… 9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………... 9

D. Keaslian Penulisan……….. 11

E. Tinjauan Kepustakaan……… 11

1. Pengertian Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik………. 11

2. Pengertian Rekaman CCTV………. 14

3. Pengertian Kedudukan Rekaman CCTV…....…..…….. 21

4. Pengertian Pembuktian dan Alat Bukti……….. 21

5. Pengertian Tindak Pidana Korupsi……….… 26

6. Pengertian Intersepsi atau Penyadapan……….. 29

7. Tanggapan Terhadap Putusan MK No. 20/PUU-XIV/ 2016……….... 38

F. Metode Penelitian………... 39


(5)

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA

A. Pengaturan tentang Alat Bukti di Indonesia……….. 44 1. Pengaturan Alat Bukti menurut KUHAP………... 44 2. Pengaturan Alat Bukti menurut Peraturan Perundang-

Undangan Di Luar KUHAP………..………. 53 B. Pengaturan Alat Bukti Elektronik Dalam Hukum Acara

Pidana Di Indonesia………..……….… 54 C. Sistem Pembuktian Di Indonesia……….. 63

BAB III KEKUATAN PEMBUKTIAN REKAMAN CCTV DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Rekaman CCTV sebagai Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik……….. 71 B. Kekuatan Pembuktian Rekaman CCTV Dalam Tindak Pidana

Korupsi……… 74 C. Kasus-Kasus Tindak Pidana Korupsi yang Menggunakan

Rekaman CCTV sebagai Alat Bukti……… 85

BAB IV KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI SETELAH KELUARNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 20/PUU-XIV/2016

A. Analisis Perkara Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016... 93 1. Kasus Posisi Perkara Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016.. 93 2. Petitum yang Dimohonkan oleh Pihak Pemohon dalam

Perkara Konsititusi No. 20/PUU-XIV/2016……… 95 3. Keterangan Pemerintah atas Materi Pokok Permohonan


(6)

Perkara Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016………. 98 4. Keterangan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Pokok

Dalam Perkara Konstitusi No. 20/PUU/XIV-PUU/2016.. 100 B. Pertimbangan Hakim Mengenai Pokok Permohonan dan

Amar Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016……… 101 C. Kedudukan Rekaman CCTV Sebagai Alat Bukti dalam

Tindak Pidana Korupsi Setelah Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016………... 109

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………. 118 B. Saran………... 120