Kekuatan Pembuktian Rekaman CCTV dalam Tindak Pidana Korupsi

B. Kekuatan Pembuktian Rekaman CCTV dalam Tindak Pidana Korupsi

Yang menjadi permasalahan dalam suatu pembuktian tindak pidana adalah mengenai bagaimana kekuatan alat bukti atau kekuatan pembuktian dari suatu alat bukti. Kekuatan pembuktian maksudnya adalah nilai dari suatu informasi atau data yang ada dalam alat bukti yang dapat menunjukkan sesuatu yang dapat menerangkan suatu kejadian dan persesuaian dengan alat bukti lainnya. Singkatnya, kekuatan pembuktian adalah sejauh apa alat bukti dapat membuktikan terdakwa bersalah atau tidak. Sistem pembuktian yang digunakan di Indonesia adalah pembuktian yang berdasarkan undang-undang secara negatif. Hal tersebut dapat dilihat dari pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana apabila memiliki sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah dan memiliki keyakinan bahwa benar-benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah. Keyakinan yang dimiliki oleh hakim haruslah berdasarkan ketentuan yang ada di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya dalam memutus perkara, hakim terbatas pada alat bukti yang diatur secara sah di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Sistem pembuktian ini yang nantinya akan mengarahkan proses pembuktian di dalam pengadilan, sehingga para praktisi hukum khususnya hakim dapat memutus perkara secara objektif. 116 116 Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004, hal. 430. Berarti dalam hal ini, alat bukti memiliki peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi keyakinan atau penilaian hakim terhadap suatu kejadian. Alat-alat bukti yang memiliki kekuatan Universitas Sumatera Utara pembuktian yang kuat, akan menghasilkan keyakinan yang kuat dan berdasar kepada hakim tentang kejadian sebenarnya. Hal tersebut menjadi penting, karena dalam prakteknya, keyakinan hakim dapat dikesampingkan apabila keyakinan hakim tersebut tidak dilandasi suatu pembuktian yang cukup, sehingga tidak mempunyai nilai. 117 Dalam hukum acara pidana, macam-macam alat bukti serta cara penggunaan dan batas-batasnya telah ditentukan di dalam KUHAP. Penegakan hukum pidana materiil korupsi melalui hukum pidana formal secara umum termasuk ketentuan mengenai pembuktian tetap tunduk dan diatur dalam KUHAP. Namun, sebagai hukum pidana khusus terdapat pula ketentuan mengenai hukum acara yang sifatnya khusus atau dikenal dengan isilah lex specialis derogate lex generalis yang artinya ketentuan yang khusus mengenyampingkan ketentuan yang umum. 118 Salah satu kekhususan sistem pembuktian dalam hukum acara pidana korupsi adalah tentang perluasan bahan yang dapat digunakan untuk membentuk alat bukti petunjuk yang terdapat dalam pasal 26A UU Tipikor. Pasal 26A menyatakan : 119 117 Ibid, hal. 431. 118 Adami Chazawi, Op.Cit., hal. 359. 119 Pasal 26A UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari : Universitas Sumatera Utara a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Dari isi pasal 26A diatas dapat dilihat bahwa hukum pidana formil korupsi atau hukum acara pidana korupsi mengatur alat bukti elektronik sebagai “alat bukti lain”. Artinya, alat bukti elektronik dapat dijadikan alat bukti dalam tindak pidana korupsi, yakni sebagai alat bukti lain. Dalam Pasal 26A tersebut, alat bukti lain merupakan alat bukti yang berdiri sendiri, seperti halnya alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP. Namun, bila diteliti lagi, alat bukti lain digunakan dalam rangka mencari alat bukti petunjuk atau sebagai sumber alat bukti petunjuk. Pasal 188 ayat 1 KUHAP mendefinisikan alat bukti petunjuk sebagai “perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.” Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sifat bukti petunjuk ini berbeda dengan alat bukti lain yang berdiri sendiri. Petunjuk yang merupakane persesuaian antara perbuatan, keadaan, dan atau kejadian tidak berdiri sendiri, tetapi suatu konstruksi hakim yang didasarkan pada alat-alat bukti lain yang telah digunakan dalam memeriksa perkara itu. Oleh karena itu, alat bukti petunjuk ini tidak mungkin diperoleh dan Universitas Sumatera Utara digunakan sebelum digunakannya alat bukti lain. Alat bukti petunjuk tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi bergantung pada alat alat bukti lain yang telah dipergunakan atau diajukan oleh jaksa penuntut umum, dan juga oleh penasihat hukum. 120 Bila melihat kembali pada isi pasal 26A UU Tipikor, maka khusus dalam tindak pidana korupsi, alat bukti petunjuk tidak hanya dibangun berdasarkan keterangan saksi, surat-surat, dan keterangan terdakwa, tetapi juga dapat dibangun dari alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan dokumen, yaitu setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, atau disimpan secara elektronik, berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Singkatnya, alat Menurut pasal 188 ayat 2 KUHAP, alat-alat bukti yang dapat membangun alat bukti petunjuk adalah keterangan saksi, surat-surat, dan keterangan terdakwa. Dapat dilihat bahwa keterangan ahli tidak termasuk kedalam alat bukti yang dapat membangun alat bukti petunjuk. Mengapa demikian ? Menurut Adami Chazawi, alasannya adalah karena alat bukti yang dianggap sebagai petunjuk hanya bisa diperoleh dari alat-alat bukti yang membuktikan tentang kejadian sebernarnya, seperti saksi mengenai apa yang dilihat, apa yang didengar, dan apa yang dialaminya. Sementara keterangan ahli menerangkan segala sesuatu mengenai pendapat berdasarkan keahliannya saja, bukan menerangkan peristiwanya. 120 Adami Chazawi, Ibid, hal. 361. Universitas Sumatera Utara bukti petunjuk dalam tindak pidana korupsi, tidak hanya dapat dibangun berdasarkan alat bukti yang ada dalam KUHAP, tetapi juga dapat diperoleh dari alat bukt i lain yaitu alat bukti elektronik. Demikian halnya dengan rekaman CCTV. Rekaman CCTV sebagai salah satu bentuk dari alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana korupsi merupakan alat bukti lain yang dapat membentuk alat bukti petunjuk. Informasi atau video yang ditunjukkan atau ditampilkan pada rekaman CCTV tersebut akan membangun persesuaian antara perbuatan atau kejadian atau keadaan dengan keadaan yang lainnya, atau mungkin dapat langsung menunjukkan terjadinya perbuatan tindak pidana korupsi. Kejadian kejadian yang tersimpan dalam rekaman CCTV, bila dihubungkan dengan alat bukti yang lain, seperti keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, maka akan membangun sebuah alur atau kerangka kejadian atau konstruksi tentang kejadian yang sebenarnya. Alur atau kerangka kejadian itulah yang kemudian dijadikan sebagai alat bukti petunjuk. Dalam bidang peradilan, hak seseorang untuk memperoleh keadilan yang layak umumnya belum seberuntung haknya untuk jalan-jalan pada malam hari. 121 121 Charles Himawan, Hukum sebagai Panglima, Jakarta: Buku Kompas, 2003, hal. 164. Dengan adanya alat bukti lain yang dapat menjadi sumber alat bukti petunjuk, maka alat bukti lain tersebut juga dapat dimanfaatkan oleh pihak terdakwa. Mengingat bahwa korupsi adalah tindak pidana di kalangan pejabat danatau pimpinan perusahaan, sangat mungkin terdapat suatu rekayasa kejadian kejadian tertentu yang bertujuan untuk menjebak seseorang agar tersangkut kasus korupsi. Dengan adanya alat bukti lain ini mempermudah terdakwa untuk mendapatkan Universitas Sumatera Utara keadilan dengan membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atau tidak melakukan tindak pidana korupsi. Misalnya, seorang pejabat dituduh menyalahgunakan kekuasaannya karena melakukan percakapan melalui telepon seluler dengan seorang pengusaha kaya raya. Namun, pejabat tersebut dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi dengan menunjukkan rekaman pembicaraannya dengan pengusaha tersebut, yang ternyata isi percakapan mereka adalah saling mengucapkan selamat hari raya. Pada dasarnya, kekuatan pembuktian rekaman CCTV sebagai alat bukti dalam tindak pidana korupsi, sama dengan kekuatan pembuktian alat bukti yang lain yang terdapat dalam KUHAP. Namun, Rekaman CCTV dalam tindak pidana korupsi tidak dapat berdiri sendiri. Rekaman CCTV berperan dalam membangun alat bukti petunjuk. Rekaman CCTV harus memiliki keterkaitan dengan alat bukti seperti keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, sehingga menunjukkan persesuaian kejadian satu dengan lainnya. Oleh karena kuat lemahnya pembuktian, tergantung keterkaitan antara perbuatan yang dianggap sebagai suatu petunjuk dengan perbuatan yang dituduhkan, 122 122 Edmon Makarim, Op.Cit., hal. 441. Agar memiliki nilai pembuktian yang kuat, rekaman CCTV tersebut harus menunjukkan keterkaitan dengan tindak pidana korupsi yang ingin dibuktikan. Contohnya, kamera CCTV merekam seorang pejabat menerima tamu di kantornya. Tamu tersebut memberikan sebuah amplop kepada pejabat tersebut. Bukti rekaman CCTV yang memberikan amplop ini tidak dapat dijadikan dasar bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi. Namun, apabila dikaitkan dengan alat bukti lain, seperti pengakuan saksi A yang Universitas Sumatera Utara menyatakan bahwa pada hari itu juga, tamu tersebut mengambil uang di Bank X dan memasukkan ke amplop yang sama persis dengan amplop yang ada dalam rekaman CCTV, maka akan timbul persesuaian. Dengan demikian, maka alat bukti rekaman CCTV tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang kuat. Untuk menilai kekuatan suatu alat bukti, termasuk alat bukti elektronik maka yang menjadi kekuatan utamanya adalah informasi yang terkandung di dalam alat bukti tersebut. Semakin baik kualitas informasinya, maka semakin kuat kejadian-kejadian yang dapat dibuktikan. Informasi pada dasarnya mempunyai tingkat kualitas yang dapat ditentukan atau diukur oleh beberapa faktor. Faktor- faktor tersebut antara lain: 123 a. Informasi harus bersifat tepat dan akurat, artinya informasi tersebut harus bersifat bebas dari kesalahan-kesalahan, sesuai dengan fakta, tidak menyesatkan dan harus memiliki makna yang jelas, tegas, dan tidak multitafsir; b. Informasi harus tepat pada waktunya; c. Informasi harus relevan, yaitu bahwa informasi harus mempunyai manfaat atau nilai bagi penerima atau pemakainya atau pihak yang akan menggunakannya; d. Informasi harus bersifat lengkap dan utuh, maksudnya adalah informasi yang disampaikan harus berisi semua informasi yang dibutuhkan, informasi tidak bersifat setengah-setengah, rinci, utuh, dan menyeluruh. e. Informasi harus jelas. Oleh karena itu, informasi yang terdapat dalam alat bukti elektronik harus dapat dijamin keasliannya karena akan berdampak pada kualitas informasi yang didapatkan dari alat bukti elektronik tersebut. Bila alat bukti elektronik berisikan informasi yang tidak jelas atau setengah-setengah atau bahkan telah dimanipulasi, 123 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit., hal. 176-177. Universitas Sumatera Utara maka akan berakibat fatal pada proses pembuktiannya karena tidak lagi berdasar pada fakta-fakta yang sebenarnya. Hal tersebut berkaitan dengan bentuk dari rekaman CCTV yang ditampilkan di dalam persidangan. Bentuk asli dari alat bukti rekaman CCTV akan terjamin keaslian informasi yang terkandung di dalamnya, dan menunjukkan informasi yang lebih akurat dibandingkan dengan hasil cetaknya. Rekaman CCTV dalam bentuk aslinya atau bentuk originalnya yaitu bentuk video akan lebih memberikan pembuktian yang kuat daripada hasil cetaknya yang hanya berupa potongan-potongan gambar dari video rekaman CCTV tersebut. Kekuatan pembuktian suatu rekaman CCTV juga dipengaruhi oleh sah tidaknya proses pengambilan atau cara memperoleh alat bukti rekaman CCTV tersebut. Rekaman CCTV yang diambil secara tidak sah akan menghilangkan kekuatan pembuktian dari alat bukti rekaman CCTV tersebut, karena pembuktian tidak dapat didasarkan dari alat bukti yang tidak sah. Dalam UU ITE keabsahan suatu alat bukti elektronik diatur dalam Pasal 5 ayat 3 UU ITE yang menyatakan bahwa Informasi danatau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Pada ayat ini muncul suatu istilah Sistem Elektronik. Pengertian Sistem Elektronik itu sendiri adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, Universitas Sumatera Utara mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan atau menyebarkan Informasi Elektronik. 124 a. Dapat menampilkan kembali informasi elektronik danatau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Mengenai persyaratan minimum sistem elektronik yang digunakan oleh penyelenggara sistem elektronik diatur dalam pasal 16 ayat 1 UU ITE, yaitu : b. Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keontentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut. c. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut. d. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut. e. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk. Penyelenggara atau pelaku sistem elektronik tidak hanya Negara atau badan hukum tertentu saja melainkan setiap pihak-pihak yang melakukan penyelenggaraan sistem elektronik termasuk didalamnya orang, badan usaha, dan masyarakat. 125 Sah tidaknya suatu alat bukti elektronik, tidak terlepas dari istilah intersepsi atau penyadapan. Pada hakikatnya, tindakan penyadapan merupakan Jadi setiap subjek hukum yang melakukan persiapan, pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan danatau menyebarkan informasi elektronik dengan suatu sistem elektronik harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU ITE tersebut, termasuk persyaratan pasal 16 yang telah disebutkan diatas. 124 Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008. 125 Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008. Universitas Sumatera Utara suatu perbuatan yang berpotensi melanggar atau bahkan meniadakan hak pribadi atau hak privasi seseorang atau sekelompok orang yang disadap. Alasannya adalah karena suatu informasi yang disadap bukanlah informasi yang bersifat umum melainkan suatu informasi yang bersifat privasi atau rahasia. 126 Pengertian privasi sendiri merupakan konsep yang abstrak sehingga cukup sulit untuk didefinisikan dan sangat dipengaruhi oleh faktor budaya yang berkembang di masyarakat. 127 Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain. Jadi penyadapan dibenarkan untuk dilakukan dengan mengesampingkan hak privasi seseorang apabila dilakukan untuk melindungi hak dan kehormatan orang lain, atau dalam keadaan-keadaan tertentu yang bersifat khusus. Misalnya untuk membuat terang Mahkamah Konstitusi dalam putusannya nomor 5PUU-VII2010, tanggal 24 Februari dalam paragraf [3.21] menyatakan bahwa penyadapan merupakan bentuk pelanggaran terhadap rights of privacy yang bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945. Namun, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Rights of privacy atau hak privasi adalah merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dapat dibatasi derogable rights yang dapat dilakukan dengan Undang-Undang, sebagaimana ketentuan pasal 28 J UUD 1945. 126 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit., hal. 51. 127 Sinta Dewi Rosadi, Aspek Data Privasi Menurut Hukum Internasional, Regional, dan Nasional, Bandung: Refika Aditama, 2015, hal. 2. Universitas Sumatera Utara suatu perkara yang sulit pembuktiannya, untuk menemukan pelaku tindak pidana yang terorganisasi, untuk membuat terang tindak pidana yang dilakukan lintas batas Negara, untuk membongkar kejahatan atau tindak pidana yang terorganisir, untuk membongkar sindikat pelaku tindak pidana kerah putih, untuk menggagalkan rencana melakukan tindak pidana, untuk membuat terang tindak pidana yang menggunakan teknologi modern atau teknologi canggih, dan lain sebagainya. 128 1. Informasi yang terkandung dalam rekaman CCTV harus memiliki keterkaitan atau kesesuaian dengan alat-alat bukti yang sah lainnya. Pada dasarnya penyadapan adalah bentuk dari upaya perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang lain atau masyarakat umum. Alat bukti elektronik yang didapatkan dan yang digunakan sebagai hasil dari penyadapan didasarkan pada benar atau tidaknya pelaksanaan penyadapan tersebut. Alat bukti elektronik dikatakan sah sebagai alat bukti apabila penyadapan dilakukan sesuai dengan prosedur dan ketentuan tentang penyadapan yang telah ada dan berlaku. Untuk menentukan kekuatan pembuktian dari alat bukti rekaman CCTV dalam tindak pidana korupsi, maka berdasarkan uraian diatas penulis menyimpulkan hal-hal sebagai berikut: 2. Bentuk rekaman CCTV yang paling baik untuk ditampilkan adalah bentuk video aslinya, sehingga informasi di dalamnya terjamin keotentikannya. 3. Rekaman CCTV harus merupakan alat bukti yang sah. Sah tidaknya rekaman CCTV ditentukan oleh: 128 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit., hal. 52. Universitas Sumatera Utara a. Dalam memperoleh rekaman CCTV harus memenuhi persyaratan minimum sistem elektronik yang ditentukan dalam Pasal 16 ayat 1, dan b. Bukan merupakan hasil tindakan intersepsi atau penyadapan. Kecuali intersepsi tersebut dilakukan dengan tata cara yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

C. Beberapa Kasus Tindak Pidana Korupsi yang Menggunakan Rekaman CCTV sebagai Alat Bukti