menunjukkan peningkatan pelaporan kasus oleh wanita akibat lebih besarnya konsekuensi sosial yang diterima Alzolibani dkk., 2011.
2.1.1. Etiologi dan Patogenesis
Vitiligo merupakan penyakit yang multifaktorial. Vitiligo memiliki patogenesis kompleks yang belum diketahui sepenuhnya. Berbagai teori dihubungkan dengan
patogenesis vitiligo dimana faktor genetik dan non-genetik berinteraksi sehingga mempengaruhi fungsi dan survival melanosit dan selanjutnya menyebabkan
kerusakan autoimun terhadap melanosit. Berbagai teori tersebut antara lain gangguan pada adhesi melanosit, kerusakan neurogenik, kerusakan biokimia, dan
autotoksisitas Bagherani dkk., 2011 ; Birlea dkk., 2012 . Vitiligo sebagian besar terjadi secara sporadik, namun terdapat 15-20
pasien yang memiliki satu atau lebih anggota keluarga tingkat pertama yang juga mengalami vitiligo. Secara umum, pola penurunan pada vitiligo tidak mengikuti
pola penurunan Mendelian yang menunjukkan penurunan yang bersifat poligenik dan multifaktorial. Beberapa gen yang dihubungkan dengan fungsi imunitas
diduga berperan dalam kejadian vitiligo, seperti lokus MHC, CTLA4, PTPN22, IL10, MBL2, dan NALP1 Birlea dkk., 2012. Lokus AIS1, kromosom 1p3,
diketahui berkaitan sangat signifikan dengan vitiligo generalisata pada orang kaukasia yang tinggal di Amerika Utara dan Inggris. Penurunan aktivitas dari gen
VIT1, kromosom 2p16, telah dikaitkan dengan peningkatan kerentanan terhadap vitiligo, mungkin sebagai akibat dari disfungsi perbaikan nukleotida melanosit
Alzolibani dkk., 2011.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa vitiligo adalah penyakit yang terjadi di seluruh epidermis, kemungkinan melibatkan baik melanosit dan keratinosit.
Abnormalitas ultrastruktural dari keratinosit pada bagian perilesional kemungkinan berhubungan dengan gangguan aktivitas mitokondria yang diduga
mempengaruhi produksi dari faktor pertumbuhan dan sitokin spesifik dari melanosit yang mengatur survival melanosit. Temuan adanya peningkatan
hidrogen peroksida pada lesi yang kemungkinan disebabkan oleh menurunnya aktivitas antioksidan dari keratinosit dan melanosit. Gangguan sistem antioksidan
menyebabkan melanosit lebih rentan baik terhadap sitotoksisitas imunologis maupun toksisitas yang diinduksi oleh reactive oxygen species ROS Dytoc dan
Malhotra, 2011 ; Koshoffer dan Boissy, 2014. Pewarisan sifat biologis mungkin bisa membuat melanosit dari beberapa
orang menjadi rentan terhadap pencetus lingkungan atau stres lainnya, mengakibatkan melanosit mati oleh nekrosis, apoptosis atau pyroptosis, sebagai
akibat hilangnya toleransi imun dan akhirnya autoimunitas melanosit. Di sisi lain, akumulasi senyawa toksik, perubahan lingkungan selular, gangguan
migrasi dan proliferasi melanosit, infeksi seperti virus, saraf, autoimun dan faktor autositotoksik semuanya dapat berkontribusi untuk vitiligo Bagherani
dkk., 2011 ; Yaghoobi dkk., 2011. Berbagai bukti biologis menunjukkan adanya peranan autoimun pada
vitiligo. Awalnya sistem imunitas humoral dikaitkan dengan patogenesis vitiligo dengan ditemukannya antibodi antimelanosit yang menargetkan berbagai antigen
melanosit sehingga menyebabkan kerusakan melanosit secara in vitro dan in
vivo. Saat ini, diduga bahwa antibodi ini adalah suatu respon humoral sekunder. Infiltrat inflamasi pada tepi lesi yang terutama terdiri atas limfosit T sitotoksik
diduga memainkan peranan yang lebih besar. Sel T ini menghasilkan profil sitokin tipe 1 dan terdapat secara bersamaan dengan melanosit epidermal,
sehingga dihipotesiskan bahwa sel ini bersifat sitolitik aktif terhadap melanosit yang ada melalui granzymeperforin pathway Yaghoobi dkk., 2011 ; Birlea dkk.,
2012 Selain itu melanin merupakan pigmen koloid. Pigmen koloid diketahui
memiliki afinitas tinggi untuk ion logam. Ion logam tertentu seperti tembaga, seng dan besi ditemukan dengan kadar tinggi dalam jaringan berpigmen yang
terlibat dalam sintesis melanin Bagherani dkk., 2011 ; Yaghoobi dkk., 2011.
2.1.2. Manifestasi Klinis