9
BAB III ANALISA KASUS DAN DISKUSI
3.1 Analisa Kasus
Di dalam budaya Bali, terdapat sistem penggolongan masyarakat yang disebut sebagai sistem kasta atau sistem warna. Sistem kasta yang digunakan oleh masyarakat
Bali merupakan sistem lapisan yang tertutup Ibid dalam Soekanto Sulistyowati, 2014. Sistem ini membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang
lain, baik bergerak ke atas ataupun ke bawah. Di dalam sistem tersebut, jalan untuk menjadi anggota suatu lapisan dalam masyarakat adalah melalui kelahiran atau keturunan
Soekanto Sulistyowati, 2014. Menurut kitab suci masyarakat Bali, terdapat empat lapisan di dalam masyarakat, yaitu Brahmana, Ksatria, Wesya dan Sudra Ibid dalam
Soekanto Sulistyowati, 2014. Menurut Soekanto Sulistyowati 2014 kelompok Brahmana, Ksatria dan Wesya disebut sebagai kelompok Triwangsa, sedangkan kelompok
Sudra atau yang disebut dengan istilah jaba merupakan kelompok paling bawah dari kelompok Triwangsa. Masyarakat mengetahui tingkatan kasta seseorang melalui gelar
yang ia dapatkan. Gelar-gelar tersebut diwariskan menurut garis keturunan laki-laki yang sepihak patrilineal.
Penggolongan sistem kasta atau warna terlihat pada hubungan pernikahan di Bali. Atmaja 2008 menyatakan bahwa sistem kasta merupakan masalah yang dianggap sensitif
dalam tata cara pernikahan di Bali, namun sistem kasta tersebut diperhalus dengan menggunakan istilah warna. Seorang gadis suatu kasta tertentu umumnya dilarang
bersuamikan seseorang dari kasta yang lebih rendah Soekanto Sulistyowati, 2014. Hal tersebut sesuai dengan kondisi responden di dalam penelitian studi kasus ini. Responden
adalah seorang wanita berusia 24 tahun, berstatus lajang dan tergolong dalam kasta Wesya di golongan atau kelompok Triwangsa. Responden merupakan anak ketiga dari tiga
bersaudara yang semuanya adalah perempuan. Saat ini, kedua kakak responden telah menikah dengan pria yang sekasta dan masih memiliki hubungan keluarga dengan mereka.
Usia responden saat ini termasuk dalam kategori dewasa awal menurut pendapat Papalia, Old, Feldman 2009. Menurut Hurlock 1980, individu yang telah memasuki masa
dewasa awal memiliki tugas perkembangan seperti memilih pasangan hidup, belajar hidup bersama sebagai suami istri dalam sebuah bahtera rumah tangga, dan bertanggung jawab
atas kehidupan rumah tangga. Permasalahan yang sedang dihadapi oleh responden adalah kebimbangannya dalam memenuhi permintaaan orangtua yang menginginkannya
memilih pasangan hidup yang sekasta dan bersedia melakukan perkawinan Nyentana.
10 Sebelumnya responden pernah memiliki pacar yang tidak sekasta dengannya.
Responden mengetahui bahwa orangtuanya tidak akan menyetujui hubungannya dengan sang pacar, sehingga ia menutupi hubungan tersebut. Responden mulai memutuskan
hubungannya tersebut, ketika ia diminta oleh orangtuanya melakukan perkawinan Nyentana, terutama saat kedua kakaknya telah resmi menikah. Menurut Windia dkk 2012
bentuk perkawinan Nyentana adalah jalan alternatif bagi pasangan suami istri yang tidak memiliki saudara laki-laki. Perkawinan tersebut dilangsungkan antara seorang laki-laki
dengan perempuan, dimana pihak laki-laki meninggalkan rumahnya untuk melangsungkan upacara perkawinan di tempat kediaman sang istri, kemudian bertanggung jawab penuh
meneruskan kewajiban swadharma orangtua serta leluhur istrinya secara sekala alam nyata maupun niskala alam gaib. Di dalam perkawinan yang umum dilakukan sebagian
besar masyarakat Bali, pihak wanita yang meninggalkan keluarganya, sedangkan di dalam perkawinan Nyentana, pihak laki-laki yang meninggalkan keluarganya dan masuk menjadi
anggota keluarga sang istri. Orangtua responden menginginkan dirinya untuk melakukan perkawinan Nyentana agar responden tetap bisa tinggal bersama mereka dan menjadi
penerus keturunan di keluarganya. Setelah responden memutuskan hubungan dengan pasangannya, ia sering
menangis di malam hari. Responden juga pernah berkonflik dengan kakak pertamanya. Hal tersebut dikarenakan responden masih belum bisa menerima kondisi yang menuntutnya
mencari pasangan yang sekasta dan melakukan perkawinan Nyentana. Menurut responden, suami dari kakak pertamanya bersedia untuk melakukan perkawinan Nyentana,
namun ayah responden belum bersedia untuk membicarakan masalah tersebut dengan menantunya. Sampai saat ini pun, ayah responden masih menunggu responden untuk
membawa pasangan yang bersedia melakukan perkawinan Nyentana. Sejak saat itu, responden perlu melakukan penyesuaian diri untuk memahami dan menerima permintaan
orangtuanya. Menurut Schneiders 1964, penyesuaian diri perlu dilakukan oleh individu agar bisa
mengatasi kebutuhan dalam diri, ketegangan, frustasi, dan konflik. Usaha tersebut dilakukan untuk mencapai keselaran dan keharmonisan antara tuntutan dalam diri dan
tuntutan lingkungan dimana individu tinggal. Schneiders juga mengatakan bahwa adanya konflik personal, frustasi, kecemasan, dan akar dari perilaku yang aneh, secara langsung
ataupun tidak langsung dipengaruhi oleh faktor kebudayaan. Budaya masyarakat Bali yang masih menerapkan sistem kasta, terutama keluarga responden, menimbulkan konflik
tersendiri di dalam diri responden. Sampai saat ini responden masih menyayangi mantan pacarnya, namun orangtua menuntutnya untuk mencari pasangan yang sekasta dan
bersedia melakukan perkawinan Nyentana. Hal tersebut dilakukan agar responden tetapi bisa menjadi penerus keturunan keluarganya. Pernyataan responden sesuai dengan
11 pendapat Atmaja 2008 bahwa dalam rangka mempertahankan sistem kasta, terdapat
tekanan psikologis yang disalurkan ke dalam perilaku sosial dengan tujuan menjaga tatanan sosial yang telah dibangun.
Menurut Freud, kepribadian terdiri atas tiga bagian, yaitu id terdiri atas naluri dasar amoral dan bekerja sesuai prinsip kesenangan, ego sebagai pusat pikiran yang membuat
keputusan secara sadar sesuai dengan prinsip kenyataan, dan superego hati pikiran yang berisi nilai-nilai ajaran orangtua dan bekerja sesuai dengan prinsip moral Gladding, 2012.
Di dalam kasus ini, terlihat bahwa adanya pertentangan antara id, ego dan superego dalam diri responden. Id ditunjukkan dari sikap responden yang masih menyayangi mantan
pacarnya dan berkeinginan kembali menjalin hubungan dengan mantan pacarnya apabila kakak pertama responden bersedia melakukan perkawinan Nyentana. Di satu sisi,
superego dalam diri responden mengingatkan agar responden tidak melupakan jasa-jasa orangtua yang telah membesarkan dirinya, sehingga responden perlu menyeimbangkan
antara id dan superegonya. Saat ini responden berusaha menuruti keinginan dari orangtuanya namun ia tetap mempertimbangkan aspek-aspek diluar latar belakang sosial
budaya dalam memilih pasangan seperti, aspek kepribadian dan tingkah laku.
3.2 Diskusi Berdasarkan Perspektif Teori