Gambaran Penyesuaian Diri Pada Istri Yang Dipoligami

(1)

GAMBARAN PENYESUAIAN DIRI

PADA ISTRI YANG DIPOLIGAMI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

TENGKU ADINDA ADISTA

051301016

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Gambaran Penyesuaian Diri pada Istri yang dipoligami Tengku Adinda Adista dan Juliana I. Saragih

ABSTRAK

Meningkatnya kasus poligami yang terjadi di Indonesia semakin mencuat ketika salah seorang pemuka agama terkemuka melakukan poligami. Meski melakukannya berdasarkan pada faktor agama, poligami tetap menjadi pro dan kontra. Berbagai dampak negatif terjadi pada istri yang dipoligami, baik karena adanya kecemburuan, perlakuan tidak adil, pengabaian, stres psikologis, dan rasa tidak bahagia yang menjelma menjadi penyakit secara fisik dan mental. Dampak-dampak tersebut menimbulkan tekanan yang membuat para istri membutuhkan penyesuaian diri dalam kehidupan poligaminya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran penyesuaian diri istri yang dipoligami. Untuk menjawab masalah ini, digunakan teori penyesuaian diri dari Daradjat (1983) yang terdiri dari penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial (penyesuaian terhadap keluarga, istri muda, lingkungan tempat tinggal dan lingkungan pekerjaan).

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif karena dengan metode ini dapat dipahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan. Responden dalam penelitian ini berjumlah tiga orang dengan karakteristik merupakan istri pertama dan beragama Islam. Prosedur pengambilan data dilakukan berdasarkan konstruk operasional (operational construct sampling). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dan observasi yang dilakukan selama wawancara berlangsung.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari ketiga responden, responden III lebih sulit melakukan penyesuaian diri daripada responden I dan II. Setelah suami menikah lagi, responden I dan responden III mengalami kesulitan untuk melakukan penyesuaian pribadi karena sejak menikah lagi waktu suami terbagi untuk istri muda. Bahkan pada responden III, suami semakin jarang pulang sejak menikah lagi. Penyesuaian sosial pada responden I dan II tidak sesulit responden III, sejak suami menikah lagi dirinya langsung menutup diri dari lingkungan karena merasa rendah diri. Selain itu, keluarga pihak suami menyalahkan dirinya atas pernikahan suaminya. Responden I mendapat dukungan dari keluarga dan rekan kerjanya. Responden II mendapatkan dukungan baik dari pihak keluarga sendiri maupun dari keluarga pihak suaminya.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian bidang psikologi klinis yang berjudul “Penyesuaian Diri pada Istri yang Dipoligami” ini dengan baik.

Penelitian ini dapat penulis selesaikan karena bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, antara lain:

1. Juliana I. Saragih, M.Si, psikolog selaku dosen pembimbing. Terima kasih penulis ucapkan atas bantuan, bimbingan dan masukan yang begitu berarti yang telah diberikan dalam penyelesaian proposal penelitian ini.

2. Elvi Indirani Yusuf, M.Si selaku dosen PA dan penguji II, terima kasih atas waktu, bimbingan dan masukan yang diberikan.

3. Aprillia Fajar P, M.Si, psikolog selaku dosen penguji III, terima kasih atas saran dan masukannya.

4. Kepada Papa, Mama, kakak-kakak, abang-abang dan keluarga penulis, yang selama ini telah memberikan dukungan dan doanya demi kelancaran dan kesuksesan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga hasil yang penulis kerjakan ini nantinya dapat memberikan kebanggaan pada keluarga dan kedua orangtua penulis.


(4)

5. Teman-teman dan sahabat yang selalu mendukung, memotivasi dan membantu penulis dalam penyelesaian penelitian ini (Alfandi, Ira, Tika, Lily, Stevie, Yenni, Edra, Imay, serta semua teman-teman seperjuangan di Fakultas Psikologi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu). Semoga Allah membalas semua kebaikan yang telah diberikan.

6. Rekan-rekan seperjuangan penulis dalam menyelesaikan penelitian. Semoga kerja keras penelitian kita ini nantinya membuahkan hasil yang memuaskan dan dapat bermanfaat bagi orang banyak.

7. Terima kasih buat semua orang yang pernah membantu perkembangan penelitian penulis. Walaupun tidak disebutkan, tapi bantuan kalian sangat berguna bagi penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karenanya penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun dari semua pihak, guna penelitian ini selanjutnya. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin.

Medan, September 2009


(5)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

1. Manfaat teoritis ... 9

2. Manfaat praktis ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II LANDASAN TEORI ... 11

A. Penyesuaian Diri ... 11

1. Definisi penyesuaian diri ... 11

2. Aspek-aspek penyesuaian diri ... 13

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri ... 15

B. Poligami ... 19

1. Definisi poligami ... 19

2. Sebab-sebab poligami ... 19

3. Dampak poligami ... 22

C. Paradigma Penelitian ... 29


(6)

A. Pendekatan Kualitatif ... 24

B. Responden dan Lokasi Penelitian ... 25

1. Karakteristik responden ... 25

2. Jumlah responden ... 25

3. Teknik pengambilan responden ... 26

4. Lokasi penelitian ... 26

C. Metode Pengambilan Data ... 26

D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 28

E. Kredibilitas Penelitian ... 29

F. Prosedur Penelitian ... 30

1. Tahap persiapan penelitian ... 30

2. Tahap pelaksanaan penelitian ... 31

3. Tahap pencatatan data ... 33

G. Teknik dan Prosedur Pengolahan Data ... 34

BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI ... 45

A. Analisa Data ……...45

1. Responden I ... 45

a. Hasil observasi ... 45

b. Rangkuman hasil wawancara ... 49

c. Penyesuaian diri... 52

2. Responden II ... 71

a. Hasil observasi ... 71


(7)

3. Responden III ... 88

a. Hasil observasi ... 88

b. Rangkuman hasil wawancara ... 90

c. Penyesuaian diri... 93

B. Interpretasi ... 110

1. Responden I ... 110

2. Responden II ... 114

3. Responden III ... 118

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN ... 124

A. Kesimpulan ... 124

1. Responden I ... 124

2. Responden II ... 125

3. Responden III ... 126

B. Diskusi ... 126

C. Saran ... 129

1. Saran praktis ... 129

2. Saran penelitian lanjutan ... 129 DAFTAR PUSTAKA


(8)

Gambaran Penyesuaian Diri pada Istri yang dipoligami Tengku Adinda Adista dan Juliana I. Saragih

ABSTRAK

Meningkatnya kasus poligami yang terjadi di Indonesia semakin mencuat ketika salah seorang pemuka agama terkemuka melakukan poligami. Meski melakukannya berdasarkan pada faktor agama, poligami tetap menjadi pro dan kontra. Berbagai dampak negatif terjadi pada istri yang dipoligami, baik karena adanya kecemburuan, perlakuan tidak adil, pengabaian, stres psikologis, dan rasa tidak bahagia yang menjelma menjadi penyakit secara fisik dan mental. Dampak-dampak tersebut menimbulkan tekanan yang membuat para istri membutuhkan penyesuaian diri dalam kehidupan poligaminya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran penyesuaian diri istri yang dipoligami. Untuk menjawab masalah ini, digunakan teori penyesuaian diri dari Daradjat (1983) yang terdiri dari penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial (penyesuaian terhadap keluarga, istri muda, lingkungan tempat tinggal dan lingkungan pekerjaan).

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif karena dengan metode ini dapat dipahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan. Responden dalam penelitian ini berjumlah tiga orang dengan karakteristik merupakan istri pertama dan beragama Islam. Prosedur pengambilan data dilakukan berdasarkan konstruk operasional (operational construct sampling). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dan observasi yang dilakukan selama wawancara berlangsung.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari ketiga responden, responden III lebih sulit melakukan penyesuaian diri daripada responden I dan II. Setelah suami menikah lagi, responden I dan responden III mengalami kesulitan untuk melakukan penyesuaian pribadi karena sejak menikah lagi waktu suami terbagi untuk istri muda. Bahkan pada responden III, suami semakin jarang pulang sejak menikah lagi. Penyesuaian sosial pada responden I dan II tidak sesulit responden III, sejak suami menikah lagi dirinya langsung menutup diri dari lingkungan karena merasa rendah diri. Selain itu, keluarga pihak suami menyalahkan dirinya atas pernikahan suaminya. Responden I mendapat dukungan dari keluarga dan rekan kerjanya. Responden II mendapatkan dukungan baik dari pihak keluarga sendiri maupun dari keluarga pihak suaminya.


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tahun 2005, LBH Apik mencatat adanya kecenderungan peningkatan kasus poligami yang mencapai angka 106 kasus dari 58 kasus yang ditangani pada tahun 2001-2003 (ICRP, 2007). Data dari LBH Apik Jakarta tahun 2001-2003 menyebutkan bahwa 58 orang perempuan mengadukan suami mereka karena menikah untuk kedua kalinya tanpa izin. Dari pengaduan tersebut, dapat diidentifikasi pola atau modus poligami. Sebanyak 21 kasus menyebutkan bahwa suami menikah lagi dibawah tangan tanpa izin istri, Sembilan belas kasus menikah lagi dengan cara memalsukan identitas, empat kasus menyebutkan bahwa suami menikah lagi dengan mendapatkan izin secara paksa, dan selebihnya modus tidak diketahui (Farida, 2008).

Setiati (2007) mengatakan pembicaraan tentang poligami kembali mencuat di penghujung tahun 2006 karena poligami yang dilakukan oleh dai kondang KH. Abdullah Gymnastiar. Pada bulan Desember 2006, pemilik pesantren Darut Tauhid Bandung ini mengakui bahwa pernikahan keduanya telah berlangsung selama tiga bulan. Banyak diantara para muslimah Indonesia yang dulunya mengagumi Kyai ini merasa marah terhadap Aa Gym dan mengasihani istri pertamanya. Hal yang membuat ibu-ibu semakin kecewa adalah Aa Gym pernah mengatakan bahwa dirinya tidak akan berpoligami karena sudah cukup bahagia dengan keluarganya (Setiati, 2007).


(10)

Farida (2008) dalam bukunya yang berjudul Menimbang Dalil Poligami menuliskan bahwa sejak dahulu tema poligami telah banyak dibahas dan diperdebatkan oleh ulama agama Islam. Selanjutnya Farida (2008) juga mengatakan bahwa Islam sebagai salah satu agama di dunia memang memperbolehkan seorang laki-laki menikahi lebih dari seorang perempuan.

Cook (2007) menyatakan bahwa poligami terjadi ketika seseorang menikahi lebih dari satu pasangan dalam waktu yang bersamaan. Selanjutnya DeGenova (2008) menyatakan bahwa terdapat dua tipe poligami, yaitu poliandri dan poligini. Poliandri yakni ketika seorang perempuan menikahi lebih dari satu laki-laki. Konsep poligini yakni ketika seorang laki-laki memiliki lebih dari satu istri. Akan tetapi, bentuk poligami yang paling umum adalah poligini (Cook, 2007). Masyarakat juga cenderung mengartikan poligami sama dengan poligini (suami memiliki banyak istri) sehingga istilah poligami yang kemudian lebih banyak dipakai (Farida, 2008). Maka untuk selanjutnya istilah yang dipakai dalam penelitian ini adalah poligami yang berarti seorang laki-laki memiliki lebih dari satu istri.

Husein (2007) mengartikan poligami sebagai sistem perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap beberapa perempuan baik dalam waktu bersamaan maupun tidak. Hal ini sejalan dengan pengertian poligami yang dikatakan oleh Widyastuti dan Prawitasari (2003) yang mengartikan poligami sebagai suatu bentuk perkawinan dimana seorang laki-laki dapat memiliki lebih dari seorang istri secara bersama-sama.


(11)

Farida (2008) menuturkan bahwa fenomena poligami terutama yang dilakukan oleh Aa Gym semakin mempertajam pro dan kontra perkawinan poligami. Praktek poligami di Indonesia sendiri tidak hanya dilakukan oleh masyarakat biasa, namun tokoh masyarakat dan tokoh agama juga melakukan poligami dengan alasan sebagai perwujudan komitmen terhadap agama dalam kehidupan.

Tabloid Paras terbitan bulan Februari 2007 menuliskan bahwa poligami sampai saat ini masih menjadi fenomena yang menakutkan bagi kaum perempuan. Bayang-bayang kekuatiran ‘berbagi suami’, persaingan sesama istri serta berkurangnya perhatian terhadap anak membuat pernikahan ini sulit diterima oleh perempuan. Kendati demikian, perempuan tidak bisa menolaknya. Sebab legalitas pernikahan poligami dijamin agama Islam dengan prasyarat tertentu. Persoalan cinta yang diduakan, realitas poligami di masyarakat dan adanya ragam interpretasi ayat poligami, membuat pembahasan poligami tidak kunjung selesai.

Baker dan Ghany (dalam Al-Krenawi & Nevo, 2006) mengatakan bahwa penjelasan mengenai poligami terdapat dalam Islam sebagai salah satu agama yang membolehkan laki-laki memiliki empat istri (Quran, surat 4 ayat 3). Akan tetapi, Baker dan Ghany (dalam Al-Krenawi & Nevo, 2006) lebih lanjut menjelaskan bahwa Islam memberikan izin poligami dengan ketentuan : laki-laki tersebut tidak boleh memiliki lebih dari empat istri dalam waktu yang bersamaan; harus memiliki sumber daya ekonomi yang sesuai demi memberikan keseimbangan kepada lebih dari satu perempuan; dan laki-laki tersebut harus memberikan perhatian serta peduli kepada semua istrinya secara adil.


(12)

Poligami adalah kegiatan amal ibadah yang pelaksanaannya dilatarbelakangi faktor keimanan ke hadirat Allah SWT, keimanan kepada kitab suci Al-Quran sebagai sumber kebenaran, dan pedoman kehidupan bagi manusia yang ingin bertaqwa (Setiyaji, 2006). Berikut pernyataan seorang istri yang menerima poligami demi menjalankan syariat agamanya.

“Dalam pandangan saya, berbagi dengan wanita lain dalam keluarga itu sangat mempunyai makna yang dalam. Artinya, hidup dan mati mereka itu untuk Islam. Poligami itu cara mudah untuk mendekatkan diri pada Allah dengan cara berbagi dengan orang lain. Poligami juga membuatku tak selalu tergantung dengan suami. Saya bisa mandiri, dan segala hidupku hanya untuk Allah”.

G. Puspita ( dalam Paras, Februari 2007)

Husein (2007) mengemukakan bahwa sebagian kalangan menganggap poligami adalah hal yang negatif, hal ini dikarenakan kenyataan yang terjadi di lapangan lebih banyak menunjukkan dampak negatif, seperti sikap suami yang berubah, kasih sayang suami yang berkurang, dan suami bersikap tidak adil, sehingga istri merasa kecewa dan sakit hati, bahkan mengalami stres terutama pada istri pertama. Seperti yang dikatakan oleh seorang Ibu berinisial D berikut ini.

“Saya nampaknya garang dan tabah di luaran. Tapi hati saya sebenarnya sudah lama hancur luluh lantak, dan tak ada lagi kepercayaan saya pada suami. Ada beberapa kali suami mengatakan ingin menceraikan si menor, tapi ia juga mempertanyakan apabila bercerai kelak, saya bisa menerimanya seperti dulu lagi? Sementara, katanya, dari si menor ia bisa mendapatkan kehangatan seorang perempuan. Menuliskan kalimat ini saja saya sudah merasa marah sekali”

(dalam Kompas, 11 April 2006)

Menghadapi suami yang berniat poligami adalah situasi yang sangat berat. Mental harus dipersiapkan untuk menghadapi kemungkinan suami tidak


(13)

lagi memberikan perhatian dan kasih sayang yang penuh. Belum lagi menghadapi berondongan pertanyaan dari berbagai pihak, baik itu dari keluarga, masyarakat sekitar, teman dan pihak lainnya (Apik, 2006). Hal ini diperkuat oleh pernyataan seorang istri yang dipoligami berikut.

“Yah, inilah perjuangan sebagai seorang istri. Yang namanya poligami memang berat bagi seorang wanita, Teteh juga wanita. Kalau mendengar kata-kata poligami, langsung panas dingin, demam”.

N. Mutmainah (dalam Setiyaji, 2006)

Dickson (2007) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa beberapa perempuan memutuskan tetap berada dalam perkawinan dan mengizinkan suaminya berpoligami. Berbagai alasan dikemukakan seperti demi mencegah perselingkuhan atau karena tidak dapat melayani suami dengan baik, karena terpaksa dari segi ekonomi, atau karena keyakinan terhadap agama.

Widyastuti dan Prawitasari (2003) dalam hasil penelitiannya mengemukakan bahwa proses kehidupan keluarga dalam pernikahan poligami dapat berdampak dalam kehidupan. Hal ini dikarenakan terjadinya perubahan dalam komposisi keluarga. Keluarga dengan status perkawinan monogami memiliki komposisi keluarga yang terdiri dari seorang ayah, seorang ibu dan seorang anak atau beberapa anak, sedangkan keluarga dengan status perkawinan poligami memiliki komposisi keluarga yang terdiri dari seorang ayah, seorang ibu kandung, seorang atau lebih ibu tiri, anak kandung dan anak tiri, juga saudara kandung dan saudara tiri.

Berada dalam pernikahan poligami menurut Mohannadi (dalam Al-Qatari, 2009) membuat istri merasa tidak diinginkan, hal ini menyebabkan


(14)

sejumlah stres pada seluruh anggota keluarga. Selanjutnya dikatakan hal ini biasanya terlihat dari cara istri memperlakukan anak-anaknya yang dapat menimbulkan ketidakstabilan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Phillips (dalam Cook, 2007) di Timur Tengah menunjukkan bahwa istri pertama pada keluarga poligami tidak bahagia dalam pernikahannya dan ketidakbahagiaan tersebut dimanifestasikan dengan hadirnya penyakit fisik dan mental. Selain itu, penelitian yang dilakukan Achate et.al (dalam Elbedour, Bart, & Hektner, 2003) menunjukkan adanya rasa kecemburuan, konflik, stres emosional, ketegangan, kegelisahan dan kecemasan yang besar pada istri dalam keluarga poligami.

“Setiap ia akan mendekati saya, bulu-bulu badan saya meremang seperti ayam yang baru dipotong dan dicabut bulunya. Sekuat hati saya coba menikmati hubungan kami, tapi menurut suami badan saya seperti kayu, kaku dan dingin”.

D ( dalam Kompas, 11 april 2006)

Lebih lanjut lagi, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ozkan et.al, (2006) ditemukan bahwa pernikahan dalam bentuk poligami berdampak negatif terhadap para istri dalam pernikahan tersebut. Penelitian tersebut mengatakan bahwa istri yang berasal dari keluarga poligami cenderung mengalami distres psikologis (gangguan somatisasi) terutama pada istri pertama. Semua dampak ini tentu saja bervariasi pengaruhnya pada individu yang satu dengan yang lainnya, tergantung seberapa baik proses penyesuaian yang individu lakukan (Wallerstein & Kelly dalam Huges, 1985).

Penyesuaian diri merupakan proses yang akan terjadi ketika individu mengalami perubahan dalam kehidupannya. Perubahan dalam kehidupan menurut


(15)

Holmes dan Holmes (dalam Calhoun & Acocella, 1990) akan memunculkan berbagai masalah yang kalau tidak diselesaikan akan memunculkan keputusasaan dan krisis psikologis lainnya. Holmes dan Richard (dalam Calhoun & Acocella, 1990) menemukan bahwa peristiwa perkawinan, pertambahan anggota keluarga baru, dan perubahan kondisi kehidupan merupakan peristiwa hidup yang membutuhkan penyesuaian diri.

Menurut Calhoun dan Acocella (1990) penyesuaian diri merupakan interaksi yang kontinu antara diri individu itu sendiri dengan orang lain dan dunianya. Schneiders (1955) menyimpulkan penyesuaian diri sebagai kemampuan dalam keterbatasan pribadi untuk bereaksi terhadap dirinya dan lingkungannya dengan cara yang efisien, sehat, dan memuaskan, sehingga memungkinkan untuk memecahkan konflik, frustasi dan kesulitan. Penyesuaian diri (Daradjat, 1983) memiliki dua aspek yaitu penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial. Penyesuaian pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Individu menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak obyektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat luas secara umum.

Penelitian Al-Krenawi dan Nevo (2006) mengenai keberhasilan dan kegagalan pada keluaga poligami memuat beberapa pokok-pokok penting seperti


(16)

faktor-faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya proses penyesuaian diri istri yang dipoligami yaitu faktor agama, keyakinan bahwa poligami sebagai aturan dari Tuhan atau takdir, sikap adil suami dalam berbagi, faktor tempat tinggal, dan sikap saling menghargai antar istri.

Penyesuaian diri ini juga merupakan masalah tersendiri yang harus dihadapi dengan bijak. Permasalahan akan muncul jika proses penyesuaian ini mulai bertentangan dengan diri individu, yakni apabila individu terpengaruh oleh dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan untuk melakukan hal-hal yang tidak pernah individu harapkan untuk dilakukan (Calhoun & Acocella, 1990). Artinya penyesuaian diri memuat aspek-aspek penyesuaian pribadi dan sosial, dimana kedua aspek ini akan saling terkait satu sama lainnya (Daradjat, 1983).

Sundari (2005) mengatakan manusia terkadang mengalami kegagalan. Individu yang gagal dalam menyesuaikan diri akan menjadi tidak tenang bila menghadapi suatu masalah, tidak mampu mengendalikan emosi, mengalami frustasi, konflik atau kecemasan. Individu yang mampu menyesuaikan diri akan mampu menyeimbangkan antara kebutuhan internal dan eksternal, mampu memecahkan masalah dengan rasio dan emosi yang terkendali serta bersikap realistis dan objektif (Sundari, 2005).

Fenomena yang telah dipaparkan di atas cenderung terjadi pada istri yang dipoligami. Hal inilah yang menjadikan penyesuaian diri pada istri yang dipoligami menjadi topik yang menarik untuk diteliti lebih lanjut sehingga dapat terlihat lebih jelas bagaimana gambaran penyesuaian diri istri yang dipoligami.


(17)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka diajukan rumusan masalah yaitu bagaimana gambaran penyesuaian diri pada istri yang dipoligami ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran penyesuaian diri pada istri yang dipoligami.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memperoleh manfaat baik secara teoritis maupun manfaat secara praktis.

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam bidang Psikologi terutama Psikologi Klinis dan bermanfaat menjadi salah satu sumber informasi bagi penelitian selanjutnya khususnya tentang penyesuaian diri pada istri yang dipoligami.

2. Manfaat praktis

a. Bagi istri yang dipoligami dapat mengetahui cara-cara yang dilakukan sebagai bentuk usaha penyesuaian diri ketika menjadi istri yang dipoligami. b. Bagi pasangan suami-istri monogami dapat dijadikan sebagai bahan


(18)

c. Bagi masyarakat diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan sehingga tidak memberikan penilaian-penilaian yang semakin memperburuk kondisi keluarga yang berpoligami.

E. Sistematika Penulisan

Pembahasan dalam penelitian ini nantinya dibagi atas lima bab, dimana pada setiap bab dapat dibagi menjadi sub-sub jika dianggap perlu. Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan berisikan uraian singkat mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta diakhiri dengan sistematika penulisan dari penelitian ini.

Bab II : Landasan teori berisi tentang landasan teoritis yang bersumber dari literatur dan pendapat para ahli/pakar yang dapat digunakan sebagai landasan berpikir dalam pembahasan penelitian ini.

Bab III : Metode penelitian menjelaskan mengenai metode penelitian kualitatif, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, responden penelitian, prosedur penelitian, dan prosedur analisis data.

Bab IV : Analisa data dan interpretasi data berisikan deskripsi data responden, analisa dan interpretasi data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan.

Bab V Kesimpulan, diskusi dan saran menguraikan mengenai kesimpulan, diskusi dan saran mengenai penyesuaian diri pada istri yang dipoligami.


(19)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penyesuaian Diri

1. Definisi penyesuaian diri

Calhoun dan Acocella (1990) mengartikan penyesuaian diri sebagai interaksi yang kontinu antara diri individu itu sendiri dengan orang lain dan dunianya. Diri sendiri yang dimaksud dari kalimat di atas adalah jumlah keseluruhan dari apa yang telah ada pada diri individu, sesuatu yang dihadapi setiap detiknya. Menurut Atwater (1983) penyesuaian diri terdiri atas perubahan pada diri sendiri dan lingkungan sekitar kita yang dibutuhkan untuk mencapai hubungan yang memuaskan dengan orang lain dan lingkungan sekitar kita. Daradjat (1983) mengatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamika yang digunakan individu untuk mengatasi tekanan-tekanan yang terjadi pada dirinya. Apabila usaha mengatasi tekanan tersebut berjalan dengan baik, maka akan tercipta kepribadian yang sehat. Akan tetapi apabila usaha mengatasi tekanan tersebut kurang memadai, maka akan tampak pada kepribadian individu berbagai tingkat patologis. Lebih lanjut Daradjat (1983) mengatakan bahwa orang yang dalam tahap-tahap pertumbuhannya menghadapi tekanan keras dan kejam lebih daripada kebisaan orang lain akan sulit baginya untuk melakukan penyesuaian diri dan tekanan tersebut sering terjadi dalam kehidupan individu. Kegagalan dalam penyesuaian diri adalah akibat tekanan-tekanan tersebut yang telah menghimpit kehidupannya


(20)

Gunarsa dan Gunarsa (1992) menjelaskan teori penyesuaian diri sebagai suatu bentuk penyesuaian diri terhadap lingkungan atau situasi yang baru dengan cara melakukan penyesuaian diri secara psikologis. Penyesuaian diri yang dimaksud disini adalah penyesuaian yang terjadi secara terus menerus dan berkesinambungan dalam berbagai hal.

Selanjutnya, menurut Weiten dan Lloyd (2006) penyesuaian diri merupakan proses psikologis yang dilakukan oleh individu dalam mengatur atau mengatasi kebutuhan dan tantangan dalam kehidupannya sehari-hari. Penyesuian diri berhubungan dengan bagaimana individu mengatur atau mengatasi berbagai kebutuhan dan tekanan.

Penyesuaian diri merupakan proses yang terjadi sepanjang rentang kehidupan (lifelong process). Manusia harus berusaha menemukan dan mengatasi rintangan, tekanan dan tantangan untuk mencapai pribadi yang seimbang. Respon penyesuaian baik atau buruk adalah hal yang wajar terjadi untuk menjaga keseimbangan (Sundari, 2005).

Tujuan dari proses penyesuaian adalah untuk mendapatkan keseimbangan (Patty & Johnson, 1953). Kesehatan mental dalam arti yang luas mencakup kemampuan untuk menyesuaikan dengan diri sendiri, dan penyesuaian diri dengan orang lain dalam keluarga, pekerjaan, dan masyarakat luas (Daradjat, 1983).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses dinamika yang dilakukan individu untuk mengatasi tekanan-tekanan yang terjadi dan dialami seseorang secara kontinu atau sebagai suatu keadaan yang tengah atau


(21)

terus berlangsung sehingga tercapai suatu hubungan yang memuaskan dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya.

2. Aspek-aspek penyesuaian diri

Penyesuaian diri memiliki dua aspek yaitu penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial (Daradjat, 1983). Untuk lebih jelasnya kedua aspek tersebut akan diuraikan sebagai berikut :

a. Penyesuaian pribadi

Penyesuaian pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Individu menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak obyektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut. Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan atau tanggung jawab, dongkol, kecewa, atau tidak percaya pada kondisi dirinya. Kehidupan kejiwaannya ditandai dengan tidak adanya kegoncangan atau kecemasan yang menyertai rasa bersalah, rasa cemas, rasa tidak puas, rasa kurang dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya.

Sebaliknya kegagalan penyesuaian pribadi ditandai dengan keguncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya, sebagai akibat adanya gap antara individu dengan tuntutan yang diharapkan oleh lingkungan. Gap inilah yang menjadi sumber terjadinya konflik yang kemudian terwujud dalam rasa takut dan kecemasan, sehingga untuk meredakannya individu harus melakukan penyesuaian diri.


(22)

b. Penyesuaian Sosial

Setiap individu hidup di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat tersebut terdapat proses saling mempengaruhi satu sama lain silih berganti. Dari proses tersebut timbul suatu pola kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang individu patuhi, demi untuk mencapai penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup sehari-hari. Dalam bidang ilmu psikologi sosial, proses ini dikenal dengan proses penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat luas secara umum.

Apa yang diserap atau dipelajari individu dalam proses interaksi dengan masyarakat masih belum cukup untuk menyempurnakan penyesuaian sosial yang memungkinkan individu untuk mencapai penyesuaian pribadi dan sosial dengan cukup baik. Proses berikutnya yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi norma-norma dan peraturan sosial kemasyarakatan. Setiap masyarakat biasanya memiliki aturan yang tersusun dengan sejumlah ketentuan dan norma atau nilai-nilai tertentu yang mengatur hubungan individu dengan kelompok. Dalam proses penyesuaian sosial individu mulai berkenalan dengan kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan tersebut lalu mematuhinya sehingga menjadi bagian dari pembentukan jiwa sosial pada dirinya dan menjadi pola tingkah laku kelompok.


(23)

Kedua hal tersebut merupakan proses pertumbuhan kemampuan individu dalam rangka penyesuaian sosial untuk menahan dan mengendalikan diri. Pertumbuhan kemampuan ketika mengalami proses penyesuaian sosial, berfungsi seperti pengawas yang mengatur kehidupan sosial dan kejiwaan. Boleh jadi hal inilah yang dikatakan Freud sebagai hati nurani (super ego), yang berusaha mengendalikan kehidupan individu dari segi penerimaan dan kerelaannya terhadap beberapa pola perilaku yang disukai dan diterima oleh masyarakat, serta menolak dan menjauhi hal-hal yang tidak diterima oleh masyarakat.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri

Lazarus dan Folkman (dalam Morgan, 1986) mengatakan bahwa penyesuaian diri seorang individu dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu:

a. Stres

Stres adalah tekanan yang disebabkan oleh tuntutan fisik terhadap tubuh (seperti kondisi sakit, latihan, temperatur ekstrim, dan lain-lain) atau disebabkan oleh situasi sosial atau lingkungan yang dianggap membahayakan, tidak dapat terkontrol atau melewati batas kemampuan seseorang untuk menghadapinya. Penyesuaian diri menjadi penting ketika tuntutan untuk menyesuaikan diri sudah mendekati atau melewati ambang batas kemampuan individu untuk melakukannya.

b. Tuntutan fisik

Tuntutan fisik adalah tuntutan yang berasal dari diri individu dalam menghadapi kondisi fisik dan lingkungan. Dalam hal ini sangat dituntut


(24)

penyesuaian diri dan juga responnya agar dapat bertahan hidup dalam lingkungan. Dalam kehidupan, individu perlu mempersiapkan diri melakukan tindakan pencegahan untuk mengendalikan kesehatan fisik, mempelajari lingkungan tempat individu hidup, mempelajari apa yang terjadi dan bagaimana mengantisipasinya untuk dapat menyesuaikan diri dan tetap dapat bertahan hidup.

c. Tututan sosial

Tuntutan sosial adalah tuntutan yang berasal dari individu disekitar kita. Seorang individu selalu dituntut untuk membawa peran sesuai usia dan bertingkah laku sesuai dengan masyarakat tempat tinggalnya.

Lazarus dan Folkman (dalam Morgan, 1986) menambahkan selain hal-hal tersebut penyesuaian diri individu terhadap suatu lingkungan juga cenderung berbeda antar individu, hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti : a. Etnis atau latar belakang suku mempengaruhi hampir keseluruhan proses

pemikiran, perilaku dan penyesuaian diri seseorang. Latar belakang suku merupakan determinan utama dari keinginan manusia dan mempunyai pengaruh besar terhadap pola persepsi, perilaku dan penyesuaian diri individu. Orang yang berasal dari kultur yang berbeda mempunyai pandangan pemikiran dan perasaan yang berbeda pula.

b. Usia merupakan determinan yang kuat dalam penyesuaian diri karena mempengaruhi minat, emosi, dan kemampuan seseorang dalam penyesuaian diri semakin bertambah usia seseorang maka akan semakin baik kemampuannya untuk melakukan penyesuaian diri terhadap suatu hal.


(25)

c. Kelas sosial didefinisikan sebagai bagian yang berjenjang dari suatu masyarakat menjadi kelompok yang terpisah dan sejenis. Pendidikan dan status ekonomi sosial dapat mempengaruhi nilai dan cara pandang seseorang terhadap suatu masalah dan tekanan sosial. Semakin tinggi pendidikan dan tingkat ekonomi seseorang maka akan semakin baik penyesuaian dirinya terhadap suatu lingkungan atau hal baru.

4. Karakteristik penyesuaian diri yang efektif

Selama rentang kehidupan, manusia akan selalu mengalami perubahan. Penyesuaian diri yang efektif terukur dari seberapa baik seseorang mengatasi perubahan dalam hidupnya. Menurut Habber dan Runyon (1984), penyesuaian diri yang efektif adalah menerima keterbatasan-keterbatasan yang tidak bisa berubah dan secara aktif memodifikasi keterbatasan yang masih bisa diubah. Berikut akan dijelaskan karakteristik penyesuaian diri yang efektif menurut Habber dan Runyon (1984):

a. Persepsi akurat terhadap realita

Persepsi terkait dengan keinginan dan motivasi pribadi, sehingga terkadang persepsi tersebut tidak murni sama dengan realita dan lebih merupakan keinginan individu. Penyesuaian diri individu dianggap baik apabila ia mampu untuk mempersepsikan dirinya sesuai dengan realita. Selain itu, ia juga mempunyai tujuan yang realistis, mampu memodifikasi tujuan tersebut apabila situasi dan kondisi lingkungan menuntutnya untuk itu, serta


(26)

menyadari konsekuensi tindakan yang diambil dan mengarahkan tingkah laku sesuai dengan konsekuensi tersebut.

b. Kemampuan mengatasi stres dan kecemasan

Halangan yang dialami individu disetiap proses pemenuhan kebutuhan atau pencapaian tujuan, dapat menimbulkan kegelisahan dan stres. Penyesuaian diri dikatakan baik apabila mampu mengatasi halangan, masalah, dan konflik yang timbul dengan baik.

c. Citra diri yang positif

Individu harus mempunyai citra diri yang positif dengan tetap menyadari sisi negatif dari dirinya, dimana individu menyeimbangkan persepsinya dengan persepsi orang lain.

d. Kemampuan mengekpresikan perasaan

Individu yang sehat secara emosional mampu untuk merasakan dan mengekspresikan seluruh emosinya. Pengekspresian emosi dilakukan secara realistis, terkendali dan konstruktif, serta tetap menjaga keseimbangan antara kontrol ekspresi yang berlebihan dengan kontrol ekspresi yang kurang.

e. Mempunyai hubungan interpersonal yang baik

Individu yang penyesuaian dirinya baik, mampu untuk saling berbagi perasaan dan emosi. Mereka mempunyai kompetensi menjalin hubungan dengan orang lain, mampu untuk mencapai kadar keintiman yang layak dalam hubungan sosial, dan menyadari bahwa suatu hubungan tidaklah selalu mulus.


(27)

B. Poligami

1. Definisi poligami

Poligami berasal dari dari bahasa Yunani, poly atau polus berarti banyak dan gamein atau gamis yang berarti kawin/perkawinan. Poligami sering kali dimaknai dengan pernikahan antara seorang laki-laki dengan beberapa perempuan (Farida, 2008). Menurut DeGenova (2008) suatu keluarga poligami adalah sebuah keluarga yang didasarkan pada pernikahan satu orang dengan dua atau lebih pasangan. Jika pihak laki-laki yang memiliki lebih dari satu istri, hal ini disebut poligini, sedangkan jika pihak perempuan yang memiliki lebih dari satu suami, disebut poliandri. Selanjutnya kita menyebut poligini sebagai poligami.

Husein (2007) dalam bukunya Hitam Putih Poligami mengartikan poligami sebagai sistem perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap beberapa perempuan baik dalam waktu bersamaan maupun tidak.

2. Sebab-sebab poligami

Husein (2007) menyatakan banyak sebab yang menimbulkan keinginan seseorang untuk berpoligami, diantaranya adalah :

a. Istri mandul

Salah satu tujuan menikah adalah mendapatkan keturunan. Biasanya, rumah tangga yang belum dikaruniai anak rentan adanya cekcok atau perselisihan antar suami istri apalagi sudah mengarungi bahtera rumah tangga bertahun-tahun. Jika benar-benar menginginkan keturunan dan telah berusaha untuk


(28)

mendapatkannya namun tidak juga berhasil, maka salah satu caranya adalah dengan menikah kembali yang berarti melakukan poligami. Namun harus dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan istri.

b. Istri memiliki penyakit yang menyebabkannya tidak bisa melayani suami Seorang istri yang terkena penyakit berkepanjangan dan tidak dapat

melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai istri, seperti hubungan suami istri terkadang membuat istri merasa tidak berguna bagi suami. Hal ini bisa menjadi penyebab suami berpoligami bahkan bisa saja suami berpoligami atas perintah istri walau sebenarnya berat bagi sang istri.

c. Pekerjaan suami yang menyebabkan jauh dari istri dan keluarga

Suami yang memiliki pekerjaan yang menyebabkan jarak jauh dari keluarga akan jarang pulang menemui istri dan anak-anak bahkan bisa satu kali dalam satu tahun atau bahkan lebih. Secara batin, suami dan istri akan merasa tersiksa. Hal ini bukan dikarenakan masalah materi melainkan masalah ‘kebutuhan biologis’ yang layak dilakukan oleh pasangan suami istri. Adanya poligami merupakan solusi untuk mengatasi serta mencegah adanya perbuatan yang melanggar agama, seperti perzinaan dan perselingkuhan. d. Suami masih kelihatan muda, sedangkan istri sudah terlihat tua

Suami yang terlihat masih muda dan masih menginginkan ‘kebutuhan biologis’ sedangkan istri sudah terlihat tua dan tidak ‘berhasrat’ lagi dalam melakukan hubungan suami istri bisa menjadi penyebab terjadinya poligami. Karena salah satu tujuan pernikahan adalah tersalurnya ‘kebutuhan biologis’ dengan benar dan halal, tapi jika sang istri sudah tidak lagi mau melayani


(29)

suami karena sudah tidak berhasrat lagi, maka dianjurkan berpoligami bagi suami sebagai salah satu solusi untuk dapat menyalurkan hasrat suami tanpa harus menceraikan istri.

e. Ingin memiliki banyak keturunan

Setiap perempuan memiliki batas maksimal dan minimal dalam melahirkan anak. Dalam kehidupan, terkadang ada suami yang ingin memiliki banyak keturunan. Salah satu caranya adalah dengan berpoligami. Akan tetapi, keinginan untuk berpoligami haruslah didiskusikan dengan istri sebelum dilakukan poligami.

f. Istri tidak taat dan patuh pada suami

Kewajiban istri kepada suami adalah taat dan patuh kepada suami dalam kebaikan, jika suami memerintah dalam masalah kebaikan, istri harus melaksanakannya. Sering kali suami tidak betah di rumah karena istri tidak taat pada suami, jarang melayani, pergi tanpa izin, dan sering marah-marah tanpa penyebab yang jelas. Hal ini dapat menyebabkan suami berkeinginan untuk berpoligami. Akan tetapi, haruslah melalui musyawarah terlebih dahulu kepada istri. Apakah istri bersedia dipoligami atau memilih untuk bercerai.

Hasil penelitian Cook (2007) menyatakan bahwa poligami disalahkan atas masalah yang berhubungan dengan laju pertumbuhan populasi, yaitu masalah kekurangan bahan pangan dan malnutrisi yang terjadi di Ethiopia. Pada penduduk Afrika tradisional, poligami memungkinkan setiap wanita di desa untuk memiliki seorang suami agar memiliki penghasilan. Poligami juga memungkinkan suami


(30)

untuk memiliki istri ke dua jika istri pertamanya mandul atau tidak mampu memberikan suaminya seorang anak laki-laki. Poligami juga dijadikan simbol kekayaan. Poligami merupakan praktek yang adaptif di Afrika tradisional, memungkinkan semua wanita untuk menikah dan memiliki anak, dan berkontribusi terhadap kelangsungan komunitas karena tingginya angka kesuburan.

3. Dampak poligami

Setiap sesuatu pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, ada negatif dan positifnya. Begitu juga dengan poligami, disatu sisi dianggap baik oleh sebagian kalangan karena dapat mengurangi perselingkuhan, perzinaan dan lain sebagainya. Di sisi lain adanya poligami diangga negatif oleh sebagiannya karena terkesan menyakiti perasaan wanita dan lainnya. Husein (2008) mengatakan beberapa akibat dari poligami, yaitu :

a. Istri merasa kecewa dan sakit hati

Adanya poligami bagi para wanita adalah seperti ’hantu’ yang menakutkan. Sudah sewajarnya, jika istri sakit hati dan kecewa kepada suami yang berpoligami walau sang istri mengizinkannya. Sebenarnya sangat berat hati seorang istri untuk menerima poligami walau ada sebab-sebab yang mengharuskan poligami.

b. Rumah tangga berantakan

Dalam kehidupan pasti selalu ada masalah yang terjadi apalagi dalam rumah tangga. Tidak selamanya suasana dalam rumah tangga tentram dan damai


(31)

seperti tidak ada masalah. Salah satu masalah yang terjadi dan sering membuat rumah tangga berantakan adalah poligami. Adanya poligami rentan menimbulkan konflik berkepanjangan dalam rumah tangga, seperti terjadinya pertengkaran antar suami istri atau percekcokan antara ayah dengan anak.

c. Adanya diskriminasi

Dengan adanya ketidakadilan dalam cinta dan kasih sayang pasti akan berakibat adanya ketidakadilan dalam materi, seperti rumah, gilir, pakaian, mobil, dan sebagainya. Dengan demikian, akan terjadi diskriminasi pada salah satu dari istri-istrinya.

d. Dibenci oleh saudara-saudara istri bahkan mertua

Biasanya, keputusan orang yang mau berpoligami sudah benar-benar matang dan segala apa yang akan terjadi sudah dipertimbangkan. Salah satu akibat dari poligami adalah sang suami akan dibenci oleh sanak saudara dari istri, seperti orang tua istri (mertua), kakak dan adik istri, serta lainnya.

e. Dapat mencegah perselingkuhan dan perzinaan

Saat ini, banyak terjadi perzinaan dan perselingkuhan. Masalah ekonomi, jumlah perempuan yang lebih banyak daripada laki-laki adalah salah satu penyebab timbulnya perzinaan dan perselingkuhan. Oleh karena itu, adanya poligami dapat menjadi solusi sosial untuk mengurangi jumlah perzinaan atau perselingkuhan.


(32)

f. Dapat menolong

Salah satu hikmah poligami adalah dapat menolong seseorang. Poligami dapat menolong para istri yang ditinggal mati oleh suaminya yang tidak memiliki ekonomi berkecukupan dan kehidupannya serba kekurangan. Dampak poligami juga dikemukakan oleh Cook (2007) yang menyatakan bahwa poligami memberikan dampak pada istri pertama dan anak-anaknya. Studi menunjukkan bahwa istri-istri pertama orang muslim di Timur Tengah tidak bahagia dengan pernikahan poligaminya dan ketidakbahagiaan tersebut menjelma dalam bentuk sakit secara fisik dan mental. Adanya poligami juga membuat para lelaki tidak menganggap serius sumpah yang diucapkan dalam pernikahannya.

Pernikahan tradisional di Afrika bagian Sahara (Afrika selatan, 1996) biasanya berbentuk poligami dan tidak diakui oleh pemerintah. Ketika seorang suami meninggal, istrinya tidak mendapatkan warisan, tidak mendapatkan hasil asuransi ataupun hak asuh anaknya. Selain itu poligami juga bisa berbahaya bagi anak-anak. Pollitt (dalam Cook, 2007) menyatakan, poligami pada orang-orang Mormon di Amerika Serikat dikaitkan dengan incest dan kekerasan terhadap anak. Pelaku poligami di Afrika dikaitkan dengan feminisasi terhadap kemiskinan dan laju penyebaran AIDS.

C. Gambaran Penyesuaian Diri terhadap Istri yang Dipoligami

Menikah adalah suatu hal yang dijadikan salah satu pilihan hidup dari sekian banyak pilihan dalam kehidupan (Lefrancois, 1993). Menurut Duvall dan Miller


(33)

(1985) pernikahan adalah suatu bentuk hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang meliputi hubungan seksual, legitimasi untuk memiliki keturunan (memiliki anak) dan penetapan kewajiban yang dimiliki oleh masing-masing pasangan. Menurut Thalib (2008) terdapat dua model pernikahan. Model pertama adalah monogami yang merupakan perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan saja sebagai isterinya; dan seorang perempuan dengan seorang lelaki saja sebagai suaminya, tanpa ada perempuan lain yang menjadi madunya. Model kedua adalah poligami.

Poligami berasal dari dari bahasa Yunani, poly atau polus berarti banyak dan gamein atau gamis yang berarti kawin/perkawinan. Poligami sering kali dimaknai dengan pernikahan antara seorang laki-laki dengan beberapa perempuan (Farida, 2008). DeGenova (2008) menyatakan bahwa terdapat dua tipe poligami, yaitu poliandri dan poligini. Poliandri yakni ketika seorang perempuan menikahi lebih dari satu laki-laki. Konsep poligini yakni ketika seorang laki-laki memiliki lebih dari satu istri. Akan tetapi, bentuk poligami yang paling umum adalah poligini (Cook, 2007). Masyarakat juga cenderung mengartikan poligami sama dengan poligini (suami memiliki banyak istri) sehingga istilah poligami yang kemudian lebih banyak dipakai (Farida, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Phillips (dalam Cook, 2007) di Timur Tengah menunjukkan bahwa istri pertama pada keluarga poligami tidak bahagia dalam pernikahannya dan ketidakbahagiaan tersebut dimanifestasikan dengan hadirnya penyakit fisik dan mental. Selain itu, penelitian yang dilakukan Achate et.al (dalam Elbedour, Bart, & Hektner, 2003) menunjukkan adanya rasa


(34)

kecemburuan, konflik, stres emosional, ketegangan, kegelisahan dan kecemasan yang besar pada istri dalam keluarga poligami. Yuliantini, dkk (2008) menyatakan konflik dalam pernikahan poligami merupakan sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Adanya perempuan lain dalam rumah tangga bisa menjadi salah satu sumber yang menyulut terjadinya konflik dalam pernikahan karena memicu munculnya rasa cemburu.

Berada dalam pernikahan poligami menurut Mohannadi (dalam Al-Qatari, 2009) membuat istri merasa tidak diinginkan, hal ini menyebabkan sejumlah stres pada seluruh anggota keluarga. Selanjutnya dikatakan hal ini biasanya terlihat dari cara istri memperlakukan anak-anaknya yang dapat menimbulkan ketidakstabilan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ozkan et.al, (2006) menemukan bahwa pernikahan dalam bentuk poligami berdampak negatif terhadap para istri dalam pernikahan tersebut. Penelitian tersebut mengatakan bahwa istri yang berasal dari keluarga poligami cenderung mengalami distres psikologis (gangguan somatisasi) terutama pada istri pertama. Semua dampak ini tentu saja bervariasi pengaruhnya pada individu yang satu dengan yang lainnya, tergantung seberapa baik proses penyesuaian yang individu lakukan (Wallerstein & Kelly dalam Huges, 1985).

Penyesuaian diri merupakan proses yang akan terjadi ketika individu mengalami perubahan dalam kehidupannya. Perubahan dalam kehidupan menurut Holmes dan Holmes (dalam Calhoun & Acocella, 1990) akan memunculkan berbagai masalah yang kalau tidak diselesaikan akan memunculkan keputusasaan dan krisis psikologis lainnya. Holmes dan Richard (dalam Calhoun & Acocella,


(35)

1990) menemukan bahwa peristiwa perkawinan, pertambahan anggota keluarga baru, dan perubahan kondisi kehidupan merupakan peristiwa hidup yang membutuhkan penyesuaian diri.

Daradjat (1983) mengatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamika yang digunakan individu untuk mengatasi tekanan-tekanan yang terjadi pada dirinya. Penyesuaian diri (Daradjat, 1983) memiliki dua aspek yaitu penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial. Penyesuaian pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Penyesuaian sosial adalah bagaimana individu mampu mengikuti ketentuan dan kaidah-kaidah kelompoknya, atau kemampuannya dalam membuat hubungan sosial yang menyenangkan dengan orang yang berhubungan dengannya.

Menurut Weiten dan Lloyd (2006) penyesuaian diri merupakan proses psikologis yang dilakukan oleh individu dalam mengatur atau mengatasi kebutuhan dan tantangan dalam kehidupannya sehari-hari. Penyesuian diri berhubungan dengan bagaimana individu mengatur atau mengatasi berbagai kebutuhan dan tekanan. Daradjat (1983) mengatakan individu yang dalam tahap pertumbuhannya menghadapi tekanan lebih daripada kebiasaan orang lain akan membuatnya kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri. Selanjutnya dikatakan bahwa kegagalan dalam penyesuaian diri adalah akibat tekanan-tekanan yang telah menghimpit individu.

Sundari (2005) mengatakan individu yang gagal dalam menyesuaikan diri akan menjadi tidak tenang bila menghadapi suatu masalah, tidak mampu


(36)

mengendalikan emosi, mengalami frustasi, konflik atau kecemasan. Individu yang mampu menyesuaikan diri akan mampu menyeimbangkan antara kebutuhan internal dan eksternal, mampu memecahkan masalah dengan rasio dan emosi yang terkendali serta bersikap realistis dan objektif (Sundari, 2005).

Tujuan dari proses penyesuaian adalah untuk mendapatkan keseimbangan (Patty & Johnson, 1953). Kesehatan mental dalam arti yang luas mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri, dan penyesuaian diri dengan orang lain dalam keluarga, pekerjaan, dan masyarakat luas (Daradjat, 1983).

Penelitian Al-Krenawi dan Nevo (2006) mengenai keberhasilan dan kegagalan pada keluaga poligami memuat beberapa pokok-pokok penting seperti faktor-faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya proses penyesuaian diri istri yang dipoligami yaitu faktor agama, keyakinan bahwa poligami sebagai aturan dari Tuhan atau takdir, sikap adil suami dalam berbagi, faktor tempat tinggal, dan sikap saling menghargai antar istri.

Lazarus dan Folkman (dalam Morgan, 1986) mengatakan bahwa penyesuaian diri seorang individu dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti: stres, tuntutan fisik, dan tuntutan sosial. Selanjutnya Lazarus dan Folkman (dalam Morgan, 1986) menambahkan selain hal-hal tersebut penyesuaian diri individu terhadap suatu lingkungan juga cenderung berbeda antar individu, hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti : Etnis atau latar belakang suku, usia, dan kelas sosial.


(37)

C. Paradigma Penelitian

Keterangan :

: terdiri dari : menghasilkan

: memiliki atau di dalamnya terdapat

DAMPAK PSIKOLOGIS

Perubahan Komposisi Keluarga

POLIGAMI

PENYESUAIAN DIRI

PRO KONTRA

TERIMA TIDAK

Perubahan terhadap pribadi

Istri kedua

Anak

tiri Stres

psikologis

Cemburu, konflik,

cemas Tidak bahagia,

sakit fisik dan mental


(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Kualitatif

Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dengan tujuan untuk menggali dan mendapatkan gambaran yang luas serta mendalam berkaitan dengan gambaran penyesuaian diri pada istri yang dipoligami. Menurut Creswell (1994) penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian yang memungkinkan peneliti memahami permasalahan sosial atau individu secara lebih mendalam dan kompleks, memberikan gambaran secara holistik, yang disusun dengan kata-kata, mendapatkan kerincian informasi yang diperoleh dari informan dan berada dalam setting alamiah.

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mendefinisikan “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik. Peneliti berharap dengan menggunakan pendekatan kualmaitatif, peneliti dapat memperoleh gambaran mengenai penyesuaian diri pada istri yang dipoligami pada diri responden. Selain itu, dapat pula diketahui bagaimana upaya yang dilakukan responden dalam menyikapi keadaan sebelum, saat pertama mengetahui telah dipoligami, dan keadaan setelahnya dalam pernikahan poligami tersebut.

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mengatakan salah satu kekuatan dari pendekatan kualitatif adalah dapat memahami gejala sebagaimana responden


(39)

mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri responden dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan.

Berdasarkan hal di atas, maka peneliti menggunakan pendekatan kualitatif sebagai metode dalam meneliti gambaran penyesuaian diri pada istri yang dipoligami, sehingga hasil yang didapat dari penelitian ini dapat memberikan gambaran yang luas tentang penyesuaian diri yang dilakukan masing-masing responden.

B. Responden dan Lokasi Penelitian 1. Karakteristik responden

Pemilihan responden dalam penelitian ini didasarkan pada beberapa karakteristik tertentu, antara lain:

a. Istri pertama : Cook (2007) menyatakan bahwa poligami memberikan dampak pada istri pertama. Istri-istri pertama tidak bahagia dengan pernikahan poligaminya dan ketidakbahagiaan tersebut menjelma dalam bentuk sakit secara fisik dan mental.

b. Beragama Islam. Dalam agama Islam terdapat dalil yang membolehkan praktek poligami. Menggunakan landasan QS. Annisa : 3.


(40)

2. Jumlah responden

Menurut Strauss (dalam Irmawati, 2002), tidak ada ketentuan baku mengenai jumlah responden minimal yang harus dipenuhi pada pendekatan kualitatif. Poerwandari (2007) menyatakan desain kualitatif memiliki sifat yang luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah responden yang harus diambil untuk penelitian kualitatif. Jumlah responden sangat tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia (Sarantakos, dalam Poerwandari 2007).

Miles dan Huberman (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa penelitian kualitatif sedikit banyak dapat dianalogikan dengan proses penyelidikan (investigasi), tidak banyak berbeda dengan kerja detektif yang harus mendapat gambaran tentang fenomena yang dimilikinya.

Prosedur penentuan responden dan atau sumber data dalam penelitian kualitatif umumnya menampilkan karakteristik yang diarahkan tidak pada jumlah partisipan yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian. Responden penelitian juga tidak ditentukan dari awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik partisipannya, sesuai pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian, dan tidak diarahkan pada keterwakilan dalam arti jumlah atau peristiwa acak, melainkan pada kecocokan konteks (Sarantakos dalam Poerwandari, 2007). Pada penelitian ini jumlah responden sebanyak tiga orang.


(41)

3. Teknik pengambilan responden

Prosedur pengambilan responden dalam penelitian ini berdasarkan konstruk operasional (operational construct sampling), yaitu sampel dipilih dengan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai studi-studi sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian (Patton, dalam Poerwandari, 2007). Hal ini dilakukan agar sampel benar-benar bersifat representatif, yaitu dapat mewakili fenomena yang diteliti.

4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Medan dan Tanjung Pura. Pengambilan daerah penelitian tersebut adalah dengan alasan kemudahan mendapatkan dan menemui responden penelitian.

C. Metode Pengambilan Data

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui wawancara. Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Poerwandari, 2007). Menurut Banister dkk. (dalam Poerwandari, 2007) wawancara kualitatif dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna respondentif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud mengadakan eksplorasi terhadap isu tersebut. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur, yaitu wawancara dengan pertanyaan yang telah ditentukan dan berbentuk open-ended question (Gay & Airasian, 2003). Dalam penelitian ini, peneliti dilengkapi dengan


(42)

pedoman wawancara yang bertujuan menjaga agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2007). Wawancara menurut Moleong (2005) adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna respondentif yang dipahami individu, berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain.

Hasil wawancara adalah berupa pernyataan-pernyataan yang menyeluruh dan mendalam mengenai kondisi rumah tangga responden selama poligami, dan bagaimana penyesuaian diri yang dilakukan responden, serta upaya dan solusi yang dilakukan responden dalam menghadapi konflik atau permasalahan dalam penyesuaian diri responden. Selama wawancara berlangsung akan dilakukan observasi terhadap situasi dan kondisi serta perilaku yang muncul pada responden. Adapun hal-hal yang akan diobservasi adalah lingkungan fisik tempat dilakukannya wawancara, kondisi fisik dan emosional responden saat menjawab setiap pertanyaan dalam wawancara, serta hal-hal yang mengganggu jalannya wawancara.


(43)

Pencatatan data selama penelitian penting sekali karena data dasar yang akan dianalisis berdasarkan atas “kutipan” hasil wawancara. Oleh karena itu, pencatatan data harus dilakukan sebaik dan setepat mungkin. Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif sangatlah penting dan cukup rumit, untuk itu diperlukan suatu instrumen atau alat penelitian agar dapat membantu peneliti dalam pengumpulan data (Moleong, 2005). Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Alat perekam (tape recorder)

Alat perekam digunakan untuk memudahkan peneliti untuk mengulang kembali hasil wawancara yang telah dilakukan. Dengan adanya hasil rekaman wawancara tersebut akan memudahkan peneliti apabila ada kemungkinan data yang kurang jelas sehingga peneliti dapat bertanya kembali kepada responden. Penggunaan alat perekam ini dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari responden. Selain itu penggunaan alat perekam memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang akan dikatakan responden, alat perekam dapat merekam nuansa suara dan bunyi aspek-aspek wawancara seperti tertawa, desahan, dan sarkasme secara tajam (Padget, 1998).

b. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara, memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian. Pertanyaan akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung tanpa melupakan aspek-aspek yang harus ditanyakan. Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai


(44)

aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek tersebut telah dibahas atau dinyatakan (Poerwandari, 2007). Pedoman wawancara digunakan tidak secara kaku sehingga memungkinkan peneliti untuk menanyakan hal-hal di luar pedoman wawancara demi mendapatkan data yang lebih lengkap dan akurat.

E. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas. Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2007).

Kredibilitas penelitian ini nantinya terletak pada keberhasilan penelitian dalam mengungkapkan permasalahan-permasalahan mengenai penyesuaian diri pada istri yang dipoligami. Peningkatan kredibilitas dilakukan dengan cara:

a. Mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan pengamatan objektif terhadap setting, partisipan ataupun hal lain yang terkait.

b. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses pengumpulan data maupun strategi analisanya.

c. Memanfaatkan langkah-langkah dan proses yang diambil peneliti-peneliti sebelumnya dengan mempelajari dan membandingkan langkah-langkah penelitian baik penelitian di Fakultas Psikologi USU maupun


(45)

penelitian-penelitian lain di luar Psikologi USU serta melihat efektifitas dari langkah-langkah tersebut tanpa mengesampingkan saran-saran yang dianjurkan secara teoritis. Langkah ini diharapkan dapat menjamin pengumpulan data yang berkualitas

d. Menyertakan partner atau orang-orang yang dapat berperan sebagai pengkritik yang memberikan saran-saran dan pembelaan (‘devil’s advocate’) yang akan memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap analisis yang dilakukan peneliti. Partner yang terlibat antara lain dosen pembimbing sebagai professional judgment terhadap alat pengumpulan data dan strategi analisa serta interpretasi data. Selain itu peneliti menyertakan beberapa orang mahasiswa psikologi USU untuk menilai efektifitas pedoman wawancara dan rangkaian cerita pada analisa data. e. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali (checking and

rechecking) data, dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda.

F. Prosedur Penelitian

1. Tahap persiapan penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melakukan penelitian.

a. Mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan berbagai fenomena yang berkenaan dengan poligami yang terjadi di masyarakat. Pengumpulan informasi tersebut


(46)

didapat baik dari teman-teman, saudara, buku, jurnal, artikel yang terdapat di internet maupun dari komunikasi personal yang dilakukan responden pada tahap awal untuk mengumpulkan fenomena-fenomena di lapangan pada istri yang dipoligami. Kemudian mengumpulkan teori-teori yang berhubungan dengan penyesuaian diri dan teori yang berkaitan dengan poligami.

b. Menyusun pedoman wawancara

Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian, peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teori penyesuaian diri untuk menjadi pedoman dalam wawancara. Peneliti juga menggunakan professional judgement yaitu dosen pembimbing serta mencoba pertanyaan ke beberapa orang mahasiswa psikologi untuk menilai efektifitas pedoman wawancara.

c. Persiapan untuk mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan informasi tentang beberapa calon responden penelitian. Setelah mendapatkannya, lalu peneliti menghubungi dan menemui calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian.

d. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, peneliti membuat janji bertemu dengan responden dan berusaha membangun rapport yang baik dengan responden. Beberapa kali peneliti menghubungi responden baik


(47)

sebelum wawancara dilakukan maupun setelah wawancara awal. Hal tersebut dilakukan demi meningkatkan rapport antara responden dengan peneliti.

Pada responden pertama, peneliti membangun rapport dengan mengunjungi rumah orang tua responden I bersama dengan kerabat dekat responden yang telah mempertemukan peneliti dengan responden I. Pada awalnya, responden I tidak memberikan jawaban pasti untuk menjadi responden dalam penelitian, namun saat peneliti kembali mendatangi responden I dan menjelaskan kembali tujuan dari penelitian, serta meyakinkan kepada responden I bahwa data yang diperoleh selama penelitian berlangsung akan dijaga kerahasiannya, akhirnya responden I menyetujui dan kemudian menyepakati tempat dan hari yang tepat untuk melakukan wawancara. Setelah itu, peneliti dan responden penelitian menentukan dan menyepakati waktu untuk pertemuan selanjutnya untuk melakukan wawancara penelitian.

Pada responden II, peneliti mengunjunginya bersama kerabat responden yang merupakan kenalan peneliti. Saat awal pertemuan peneliti langsung menjelaskan maksud dan tujuan wawancara tersebut sama seperti yang peneliti sampaikan pada responden I. Saat itu responden II langsung menyatakan kesediaannya untuk diwawancarai. Setelah itu, responden dan peneliti saling menukar nomor kontak agar bisa berkomunikasi sebelum pertemuan selanjutnya untuk melakukan wawancara penelitian.

Selanjutnya peneliti menemui responden III yang juga peneliti kenal melalui kerabatnya. Kerabat responden IIImemberikan nomor kontaknya agar peneliti bisa


(48)

menghubunginya dan membuat janji bertemu. Setelah peneliti bertemu dan menjelaskan maksud dan tujuan peneliti, responden III langsung menyatakan kesediaannya untuk diwawancarai dan meminta agar ia diwawancarai pada hari tersebut.

2. Tahap pelaksanaan penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki beberapa tahap pelaksanaan penelitian, antara lain:

a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dan beberapa jam sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara.

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden untuk menandatangani “Lembar Persetujuan Wawancara” yang menyatakan bahwa responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan dan memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Setelah itu, peneliti mulai melakukan proses wawancara berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat sebelumnya. Peneliti melakukan beberapa kali wawancara untuk


(49)

mendapatkan hasil dan data yang maksimal. Selain itu peneliti juga melakukan observasi terhadap responden.

Tabel 1. Jadwal pelaksanaan wawancara

No Tanggal Wawancara Waktu Wawancara Tempat Wawancara Responden I

1 30 September 2009 20.15 WIB-21.10 WIB Ruang shalat orang tua responden 2 17 November 2009 11.45 WIB-12.35 WIB Ruang guru 3 1 Februari 2010 13.10WIB-13.30 WIB Ruang tamu rumah

responden Responden II

1 15 Oktober 2009 19.30 WIB-20.45 WIB Ruang tamu rumah responden 2 2 November 2009 16.00 WIB-17.30 WIB Ruang tamu rumah

responden Responden III

1 28 Oktober 2009 10.30 WIB-11.40 WIB Dalam mobil responden 2 16 November 2009 09.00 WIB-10.17 WIB Dalam mobil

responden

c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim Hasil wawancara akan dipindahkan ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding dengan membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk mengorganisasi dan


(50)

mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memberikan gambaran tentang topik yang diteliti (Poerwandari, 2007)

d. Melakukan analisa data

Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai dibuat kemudian dibuatkan salinannya. Peneliti kemudian menyusun dan menganalisa data dari hasil transkrip wawancara yang telah di koding menjadi sebuah narasi yang baik dan menyusunnya berdasarkan alur pedoman wawancara yang digunakan saat wawancara.

e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran

Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab rumusan permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi terhadap kesimpulan dan data hasil penelitian. Setelah itu, peneliti memberikan saran-saran sesuai dengan kesimpulan, diskusi dan data hasil penelitian.

3. Tahap pencatatan data

Semua data yang diperoleh pada saat wawancara direkam dengan alat perekam dengan persetujuan responden penelitian sebelumnya. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisa. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam pita suara yang dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di atas kertas.


(51)

Data yang diperoleh dari pendekatan kualitatif adalah berupa kata-kata. Untuk itu perlu melakukan analisis data. Analisis data adalah proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan ide seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan ide tersebut (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2005). Menurut Poerwandari (2007) proses analisa data meliputi:

a. Organisasi data secara rapi, sistematis, dan selengkap mungkin untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisa yang dilakukan, serta menyimpan data dan analisa yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian.

b. Koding dan analisa, dilakukan dengan menyusun transkrip verbatim atau catatan lapangan sehingga ada kolom kosong yang cukup besar di sebelah kanan dan kiri transkrip untuk tempat kode-kode atau catatan tertentu, kemudian secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkrip, lalu memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu.

c. Pengujian terhadap dugaan, berkaitan erat dengan upaya mencari penjelasan yang berbeda mengenai data yang sama. Peneliti harus mengikutsertakan berbagai perspektif untuk memungkinkan keluasan analitis serta memeriksa bias-bias yang mungkin tidak disadari.

d. Strategi analisa. Proses analisa dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata responden maupun konsep yang dipilih atau dikembangkan peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisa.


(52)

e. Interpretasi, yaitu upaya untuk memahami data secara lebih ekstensif dan mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut. Peneliti beranjak melampaui apa yang secara langsung dikatakan partisipan untuk mengembangkan struktur-struktur dan hubungan-hubungan bermakna yang tidak segera tertampilkan dalam teks (data mentah atau transkrip wawancara).


(53)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Pada bagian ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami penyesuaian diri pada istri yang dipoligami maka data akan dijabarkan, dianalisa, dan diinterpretasi per-responden. Interpretasi akan dijabarkan dengan menggunakan aspek-aspek yang terdapat dalam landasan teori.

Kutipan dalam setiap bagian analisa akan diberi kode-kode tertentu karena satu kutipan dapat saja diinterpretasikan beberapa kali. Contoh kode yang digunakan adalah: R1.W2.b.85-89.h.10, maksud kode ini adalah kutipan pada responden satu, wawancara kedua, baris 85 sampai 89, verbatim halaman 10.

Gambaran Umum Responden Penelitian

Keterangan Responden I Responden II Responden III

Nama Tia Tike Indah

Usia 42 tahun 53 tahun 36 tahun

Usia saat menikah 22 tahun 22 tahun 24 tahun Usia pernikahan

saat dipoligami

17 tahun 23 tahun 6 tahun Lama dipoligami 3 tahun 8 tahun 5 tahun Jumlah anak 2 orang 6 orang 2 orang Pendidikan SMA Tidak tamat SD Sarjana Pekerjaan Guru SD

(sekolah Dasar)

Penjaga loket dan toilet umum

PNS (Pegawai Negeri Sipil)


(54)

A. Analisa Data 1. Responden I a. Hasil observasi

I. Wawancara I

Wawancara pertama dilakukan di rumah orang tua responden, tepatnya di ruang shalat. Pada saat wawancara, responden mengenakan baju katun putih dengan bawahan celana berbahan jeans berwarna hitam yang dipadankan dengan jilbab berwarna kuning. Responden berkulit putih dan bertubuh kurus dengan tinggi sekitar 150 cm serta berat sekitar 44 kg.

Saat diwawancara raut wajah responden terlihat datar, tidak terlihat senyuman di bibirnya. Sambil bercerita responden terus menerus menatap ke arah peneliti. Beberapa kali responden membenarkan posisi duduknya. Awalnya, posisi duduk responden tidak mengarah ke peneliti, di pertengahan wawancara responden mulai mengarahkan seluruh bagian tubuhnya ke arah peneliti. Tepatnya pada saat peneliti menanyakan mengenai perasaan responden saat mengetahui suaminya telah menikah lagi. Perubahan intonasi suara juga terjadi ketika responden menceritakan mengenai perkelahiannya dengan suami dan menyangkut istri muda suaminya. Intonasi suara terdengar lebih keras dan responden terlihat bersemangat yang diikuti dengan gerakan tangan saat menceritakannya. Beberapa kali wawancara terhenti dikarenakan kerabat responden menanyakan sesuatu. Saat anak responden menghampiri dirinya responden mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan keperluan anaknya dan meminta untuk diambilkan segelas air putih. Beberapa kali responden meminta anaknya untuk pergi bermain sebelum


(55)

melanjutkan wawancara, meski begitu anak responden tetap berada disekitar responden dan wawancarapun dilanjutkan dengan adanya anak responden didekatnya namun suara responden menjadi sedikit pelan. Wawancara disudahi saat peneliti melihat jarum jam yang telah menunjukkan pukul 21.10 WIB.

II. Wawancara II

Wawancara ke dua dilakukan di sekolah tempat responden mengabdikan dirinya. Saat itu karena responden sedang dalam waktu bekerja, ia mengenakan seragam kerjanya yang berwarna biru dengan motif batik dan dipadukan dengan rok berwarna putih dan mengenakan jilbab dengan warna yang sama dengan roknya.Wawancara dimulai dengan menanyakan hal-hal mengenai kehidupan rumah tangga responden setelah dipoligami. Siang itu terdapat beberapa orang guru yang sedang beristirahat di ruangan tempat peneliti dan responden melakukan wawancara.

Baik sebelum ataupun selama wawancara berlangsung, responden tampak tenang, hal ini terlihat dari raut wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi senang ataupun sedih dan sesekali menatap tajam ke arah peneliti. Secara keseluruhan responden menunjukkan ekspresi datar tanpa terlihat gerakan bibir yang membentuk senyum. Saat berbicara, awalnya intonasi suara responden terdengar pelan, setelah para guru di ruangan tersebut keluar, suara responden terdengar lebih jelas namun tetap dengan intonasi yang datar. Hanya saja, dibeberapa bagian, terutama ketika responden menceritakan tentang suaminya,


(56)

intonasi suara responden berubah menjadi lebih keras dan sering mengulang kata-kata bahwa responden ingin meminta diceraikan suaminya.

Selama wawancara berlangsung, beberapa kali wawancara terhenti karena salah seorang teman responden menghampiri dan mengajak berbincang-bincang. Saat ada seorang rekan seprofesi responden yang masuk ke ruangan responden memelankan suaranya dan kembali seperti semula setelah rekannya keluar ruangan. Selain itu, anak responden yang juga bersekolah ditempatnya mengajar juga mendatanginya membuat wawancara terhenti sejenak. Setelah anak responden keluar barulah wawancara dilanjutkan kembali sampai selesai.

III. Wawancara III

Wawancara ketiga dilakukan di rumah responden sepulangnya ia dari mengajar. Peneliti dan responden duduk di sofa berwarna merah marun yang diletakkan merapat ke dinding ruang tamu responden. Responden duduk sedikit menyamping ke sebelah kanan menghadap ke peneliti. Saat wawancara, sikap responden tidak banyak berubah, reaksi yang ditunjukkan saat bertemu dengan peneliti sama seperti pada wawancara-wawancara sebelumnya. Saat pertanyaan diajukan responden menjawab dengan lancar, ekspresi wajah tenang dengan tatapan mata tepat ke responden. Ketika ditanyakan mengenai perkenalannya dengan suami ia hanya menjawab singkat dengan intonasi pelan. Perubahan sedikit terlihat pada fisik responden yang terlihat lebih berisi. Tubuh responden terlihat lebih gemuk dari sebelumnya.


(57)

b. Rangkuman Hasil Wawancara

Responden pertama bernama Tia, seorang wanita berusia 42 tahun yang berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar (SD) di salah satu sekolah negeri di kota T. Tia menikah dengan pasangannya yang bekerja sebagai pegawai Perusahaan Umum (PU) di daerah S. Mereka dikaruniai dua orang anak dari hasil pernikahan tersebut, seorang laki-laki yang saat ini telah berusia 20 tahun dan seorang perempuan yang masih duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar.

Perjumpaan Tia dengan suaminya terjadi saat ia mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi. Kemudian mereka menjalin hubungan kasih selama tiga tahun hingga akhirnya mereka menikah. Awal pernikahan dengan suaminya berjalan sebagaimana layaknya rumah tangga baru lain. Suami Tia sangat memperhatikannya, bahkan kemanapun Tia pergi, suaminya pasti ikut bersama dengannya. Hal tersebut berlangsung terus sampai suaminya membuat usaha keyboard tiga tahun yang lalu yang membuat waktunya berada di luar rumah lebih banyak dari biasanya, terutama di akhir pekan yang merupakan waktu suami bisa menjalankan usaha keyboardnya. Sejak menjalankan usaha tersebut, suami Tia menjadi semakin sering berada di luar rumah karena sibuk mengembangkan usaha barunya tersebut selain kesibukannya sebagai pegawai PU.

Perkenalan suami dengan istri mudanya pun berawal dari bisnis keyboardnya. Perkembangan usaha yang membutuhkan penambahan penyanyi ternyata membawa suaminya berkenalan dengan wanita tersebut. Baru sebulan ia bergabung dengan tim keyboard suaminya, Tia mulai merasakan hal yang aneh terjadi pada suaminya. Jarak rumah yang masih dalam satu kawasan membuat


(58)

suaminya sering mengantarkan wanita tersebut pulang ke rumahnya, namun bukan hal itu yang menjadi pikiran Tia, akan tetapi seringnya suami berlama-lama berada di rumah wanita tersebut hanya untuk bercerita atau makan siang di sana padahal tujuan sebenarnya hanyalah untuk mengantarkan pulang saja. Keanehan semakin dirasakan oleh Tia saat ia mendapati suaminya bermalam di rumah wanita tersebut setelah ia mendatangi rumahnya. Begitu juga saat Tia mendapati mereka tengah berpacaran saat ia mencari suaminya di rumah perempuan tersebut. Menyadari adanya perubahan pada suami, Tia pun menduga bahwa suaminya telah terkena ilmu hitam sehingga terpikat dengan wanita tersebut. Sebulan setelah ia mendatangi wanita tersebut saat sedang bersama suaminya, Tia pun akhirnya mengetahui bahwa suaminya ternyata telah menikahi wanitanya.

Hidup bahagia selama tujuh belas tahun berumah tangga tentu saja membuat Tia merasa sangat terkejut dan tidak terima dengan pernikahan kedua suaminya. Kehidupan rumah tangganya pun mulai berubah setelah ia mengetahui kabar pernikahan ke dua suaminya. Selama beberapa bulan Tia menutup diri pada semua orang, hanya kepada orang-orang tertentu Tia mau berjumpa dan berbicara. Selama setahun, sang suami tidak tidur di rumah, sesekali suaminya datang untuk mengambil keperluannya dan setiap kali suaminya ke rumah, Tia selalu mengusirnya. Setelah setahun tinggal bersama istri mudanya, akhirnya suami Tia kembali ke rumah. Walaupun demikian kepulangan suaminya ke rumah tidak menjadikan rumah tangganya kembali seperti semula. Suaminya tetap pergi ke rumah istri mudanya. Kondisi seperti ini berlangsung terus menerus selama tiga tahun terakhir. Selama itu pula hidup Tia menjadi tidak tenteram. Ia marah setiap


(59)

kali suaminya pulang karena Tia menganggap suaminya pulang sehabis dari rumah istri mudanya. Perasaannya melunak setelah suaminya menetap di rumah untuk beberapa hari. Namun ketika sang suami pergi lagi ke tempat istri muda, Tia pun kembali marah. Kata ceraipun berulang kali dimintanya pada suami, namun sampai sekarang suaminya tidak pernah mengucapkan kata cerai tersebut.

Selama kondisi tersebut berlangsung, Tia memiliki seorang teman yang menjadi tempatnya mencurahkan isi hatinya. Padanyalah ia bercerita demi membuat hatinya lega dan lebih tenang. Bahkan tak jarang, ketika Tia tidak lagi mampu menahan isi hatinya, ia pun meluapkan emosinya langsung pada suaminya dengan melakukan hal tersebut ia merasa lebih lega dan bisa bersikap baik pada suaminya seakan tidak ada yang telah terjadi.

Tiga tahun sudah Tia menjalani kondisi rumah tangganya yang terus menerus membuatnya merasa tidak tentram, dan selama tiga tahun itu pula ia berharap suaminya akan membuat keputusan yang bijak dengan menceraikan istri mudanya. Namun hal itu tak kunjung dilakukan oleh suaminya. Kesabaran Tia menunggu dan berharap suaminya akan menceraikan istri mudanya pun semakin pupus. Saat ini, Tia tengah menunggu ketegasan dari suaminya untuk mengambil sikap setelah ia memberikan ultimatum terakhir pada suaminya dan selama itu pula Tia berharap suaminya akan memilihnya dan meninggalkan istri mudanya. Jauh dalam lubuk hatinya Tia masih sangat menyayangi suaminya.

Kini suami Tia tidak lagi tinggal bersamanya, hanya saja sesekali suami berkunjung ke rumah tanpa menginap. Kondisi seperti ini ternyata membuat Tia


(60)

merasa lebih tenang. Hal itu tidak lagi menjadi fokus pikirannya, bahkan kini berat badannya telah bertambah beberapa kilo.

c. Penyesuaian diri

• Kehidupan pernikahan sebelum poligami

Pernikahan Tia dengan pasangannya telah berjalan selama kurang lebih 20 tahun. Awal kehidupan pernikahannya dengan suami berjalan lancar dan sangat harmonis. Perhatian suami Tia terhadapnya sangat besar, segala kebutuhan dan keinginan Tia dipenuhi oleh suaminya, bahkan kemanapun Tia pergi ia selalu didampingi oleh suaminya. Kondisi rumah tangga tersebut tetap dirasakan oleh Tia selama lebih dari lima belas tahun masa pernikahan mereka.

“…bapak perhatian, penyayang, apa-apa dia penuhi. Gak pernah tu, kalo ditanya tetangga tu, itu semua dia. Pigi belanja, apa-apa mesti dia, semua dia, semua dipenuhi, keluar aja sama dia. Kesini aja pun sama dia, kemana aja bedua”. (R1.W1.b.20-27.h.1)

“Orang dia kan orangnya perhatian kali kalo di rumah.”(R1.W1.b.337-339.h.7)

“Oohh…sifatnya…baek, penyayang gitu, perhatian,...”(R1.W3.b.1849-1850.h.37)

“…Pokoknya, kalo sikap gitu, seratus persen berubah total. Dulu orangnya gak gitu. Perhatian, penyayang,…” (R1.W2.b.957-960.h.20)

Memasuki usia pernikahan ke enam belas, suami Tia mulai disibukkan dengan kegiatannya di luar rumah yang bahkan menyita waktu liburnya diakhir pekan. Suami Tia menjalankan usaha keyboard yang biasanya dilakukan pada hari sabtu atau minggu sehingga suaminya semakin sering berada di luar dari pada berada di rumah.


(1)

Indri. (2007). Perempuan di simpang poligami. Paras: Bacaan utama wanita Islam No. 41, 33-34.

Irmawati. (2002). Motivasi berprestasi dan pola pengasuhan pada suku bangsa batak toba dan suku bangsa melayu. Tesis. Program Pasca Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Lefrancois, G.R. (1993). The Lifespan (4th ed). California : Wadsworth Publishing Company.

Moleong, L.J. (2005). Metodologi penelitian kualitatif. Cetakan ke duapuluh satu. Bandung: PT Remaja Rodakarya Offset.

Morgan, C.T. (1986). Introduction to Psychology (7th). New York : Mc Graw Hill.

Ozkan, M., Altindag, A., Oto, R., Sentunali, E. (2006). Mental health aspects of turkish women from polygamous versus monogamous families. The

international journal of social psychiatry. Vol 52 (3). [on-line],. Available

FTP :s : 28 Juni 2009.

Padget, D.K. (1998). Qualitatif methode in social work research: Challenges and rewards. Stage Publication, Inc.

Patty, W.L., & Johnson, L.S. (1953). Personality and adjustment. USA : McGraw-Hill Book Company, Inc.

Poerwandari, K. (2007). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Univeritas Indonesia.

Setiyaji, A. (2006). Aa Gym : Mengapa berpoligami?. Cetakan Pertama. Jakarta: QultumMedia.


(2)

Setiati, E. (2007). Hitam putih poligami: Menelaah perkawinan poligami sebagai

sebuah fenomena. Jakarta : Cisera Publishing.

Schneiders, A. A. (1955). Personal adjustment and mental health. New York : Holt, Rinehart & Winston.

Sundari, S. (2005). Kesehatan mental remaja. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.

Thalib, M. (2008). Orang barat bicara poligami. Yogyakarta : Wihdah Press.

Widyastuti, & Prawitasari, J.E. (2003). Peran Status perkawinan poligami dan monogami orang tua terhadap harga diri, koping dan depresi. Jurnal Intelektual, 1(1), 15-22.

Weiten, W., & Lloyd, M.A. (2006). Psychology Applied to Modern Life:

Adjustment in the 21st Century (8 ed). New York: Thomson Wadsworth.


(3)

(4)

PEDOMAN WAWANCARA

Nama : Usia saat menikah : Usia pernikahan :

Usia pernikahan saat dipoligami : Pendidikan :

Pekerjaan : Suku : Jlh anak :

A. Kehidupan pernikahan sebelum poligami

1. Bagaimana gambaran kehidupan responden di awal pernikahan? 2. Bagaimana penilaian responden terhadap pasangan di awal pernikahan 3. Bagaimana penilaian responden terhadap pasangan setelah beberapa tahun

menikah ? apakah ada perbedaan ?

4. Bagaimana interaksi pasangan terhadap responden setelah beberapa tahun menikah ?

5. Bagaimana tanggapan responden terhadap poligami ?

B. Situasi sesaat setelah mengetahui suami telah menikah lagi 1. Kapan suami responden menikah lagi ?

2. Apakah responden menyetujui suaminya menikah lagi ? 3. Apa alasan suami responden menikah lagi ?

4. Bagaimana reaksi responden saat pertama kali mengetahui suami telah menikah lagi ?

5. Bagaimana perasaan responden pertama kali saat mengetahui bahwa suami telah menikah lagi ?


(5)

1. Bagaimana perasaan responden saat mengetahui dirinya dipoligami ? 2. Bagaimana cara responden mengatasi perasaan yang muncul saat dirinya

dipoligami ?

3. Mengapa responden merasakan hal tersebut ? 4. Bagaimana kondisi keluarga setelah poligami ?

5. Hal atau masalah apa yang terjadi dalam keluarga responden ? 6. Bagaimana tindakan responden terhadap masalah tersebut ?

 Penyesuaian terhadap istri ke-dua

1. Bagaimana perasaan responden terhadap istri muda suami ? 2. Bagaimana penilaian responden terhadap istri muda suami ? 3. Bagaimana interaksi responden dengan istri muda suami ?

 Penyesuaian terhadap pihak keluarga responden

1. Bagaimana tanggapan keluarga responden terhadap pernikahan kedua suami responden ?

2. Bagaimana cara responden menanggapi komentar keluarganya terhadap pernikahan ke-dua suaminya?

3. Bagaimana interaksi responden dengan keluarganya ?

4. Bagaimana sikap responden terhadap tanggapan keluarganya ?

 Penyesuaian terhadap lingkungan sekitar

1. Bagaimana tanggapan lingkungan sekitar (misal : tetangga) responden mengenai pernikahan kedua suaminya ?

2. Bagaimana perasaan responden mendengar tanggapan lingkungan sekitarnya mengenai hal tersebut ?

3. Bagaimana interaksi responden terhadap lingkungan sekitarnya setelah suaminya menikah lagi ?

4. Bagaimana responden menanggapi komentar tetangga (lingkungan sekitar) terhadap kehidupan keluarganya yang sekarang ?


(6)

LEMBAR PERSETUJUAN WAWANCARA

Judul Penelitian : Penyesuaian Diri pada Istri yang Dipoligami Peneliti : Tengku Adinda Adista

NIM : 051301016

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagai responden dalam penelitian mengenai Penyesuaian Diri pada Istri yang Dipoligami.

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaatnya. Dengan demikian Saya menyatakan tidak berkeberatan memberikan informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Saya.

Saya mengetahui bahwa identitas diri dan juga informasi yang Saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian.

Medan, September 2009

Responden Peneliti