11 pendapat Atmaja 2008 bahwa dalam rangka mempertahankan sistem kasta, terdapat
tekanan psikologis yang disalurkan ke dalam perilaku sosial dengan tujuan menjaga tatanan sosial yang telah dibangun.
Menurut Freud, kepribadian terdiri atas tiga bagian, yaitu id terdiri atas naluri dasar amoral dan bekerja sesuai prinsip kesenangan, ego sebagai pusat pikiran yang membuat
keputusan secara sadar sesuai dengan prinsip kenyataan, dan superego hati pikiran yang berisi nilai-nilai ajaran orangtua dan bekerja sesuai dengan prinsip moral Gladding, 2012.
Di dalam kasus ini, terlihat bahwa adanya pertentangan antara id, ego dan superego dalam diri responden. Id ditunjukkan dari sikap responden yang masih menyayangi mantan
pacarnya dan berkeinginan kembali menjalin hubungan dengan mantan pacarnya apabila kakak pertama responden bersedia melakukan perkawinan Nyentana. Di satu sisi,
superego dalam diri responden mengingatkan agar responden tidak melupakan jasa-jasa orangtua yang telah membesarkan dirinya, sehingga responden perlu menyeimbangkan
antara id dan superegonya. Saat ini responden berusaha menuruti keinginan dari orangtuanya namun ia tetap mempertimbangkan aspek-aspek diluar latar belakang sosial
budaya dalam memilih pasangan seperti, aspek kepribadian dan tingkah laku.
3.2 Diskusi Berdasarkan Perspektif Teori
Berdasarkan analisa kasus diatas, peneliti akan membahas gambaran dan faktor- faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri wanita golongan Triwangsa di Bali yang
diharapkan melakukan perkawinan Nyentana. setelah melakukan wawancara dan observasi terhadap responden, peneliti mendapatkan bagaimana penyesuaian diri wanita
golongan Triwangsa di Bali yang diharapkan melakukan perkawinan Nyentana berdasarkan teori dan faktor-faktor penyesuaian diri menurut Schneiders 1964. Berikut
adalah gambaran aspek-aspek penyesuaian diri responden yang dikaji berdasarkan teori dari Schneiders :
1. Mengurangi Emosi yang Berlebihan : Penyesuaian diri yang normal dapat diidentifikasi dengan tidak adanya emosi yang
relatif berlebihan ataupun merusak. Individu yang memiliki kontrol dan ketenangan emosi akan memungkinkan untuk menghadapi permasalahan secara cermat dan dapat
menentukan berbagai kemungkinan pemecahan masalah ketika menemui hambatan. Hal ini menunjukkan bahwa individu perlu mengontrol emosi secara positif untuk
memenuhi tuntutan pada situasi yang membebankan. Berdasarkan hasil wawancara, ketika responden merasa marah karena ia belum
mampu menerima permintaan orangtuanya untuk mencari pasangan yang sekasta dan
12 bersedia melakukan perkawinan Nyentana, maka harus pada saat itu juga ia
mengungkapkan perasaan marahnya. Salah satu contohnya saat responden berkonflik dengan sang ayah maupun kakak pertamanya, responden akan membentak,
mengomel, bahkan terkadang sampai meneteskan air mata, namun ia tetap menggunakan bahasa Bali yang halus dan sopan ketika menyampaikan perasaan
marahnya. Setelah tiga atau lima jam responden mengungkapan perasaan marahnya, maka ia akan tersadar bahwa tindakan membentak atau memarahi orangtua
merupakan hal yang salah. Terkadang responden melempar bantal-bantal yang ada saat ia merasa marah namun ia bisa mengambil bantal-bantal tersebut ketika
mendengar suara ayahnya yang datang menghampirinya. Responden terlihat cenderung belum mampu mengontrol emosinya secara positif
terutama saat ia sedang marah. Hal tersebut dikarenakan cara responden yang membentak atau memarahi orang lain serta adanya perilaku melempar bantal untuk
mengungkapkan perasaan kesalnya. Sehingga responden memiliki perilaku yang cenderung mengarah ke sikap agresivitas. Kecenderungan adanya sikap agresi dalam
diri responden serupa dengan pendapat Scheneider 1964 bahwa di dalam reaksi agresif terdapat kekuatan ego yang didasari oleh adanya keberanian dan rasa marah.
2. Mengurangi Mekanisme Pertahanan Diri Penyesuaian diri yang normal dikarakteristikkan dengan mengurangi penggunaan
mekanisme pertahanan diri atau mekanisme psikologis. Adanya pendekatan secara langsung terhadap masalah ataupun konflik yang dihadapi menunjukkan respon yang
normal pada individu dibandingkan dengan menggunakan mekanisme pertahanan diri seperti rasionalisasi, proyeksi atau kompensasi.
Ketika responden belum mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang mengharapkan ia melakukan perkawinan Nyentana, responden cenderung
menggunakan beberapa mekanisme pertahanan diri seperti, rasionalisasi dan penyangkalan denial. Menurut Gladding 2012 rasionalisasi merupakan bentuk
mekanisme pertahanan diri yang melibatkan pemberian “alasan intelektual” untuk membenarkan suatu tindakan. Alasan dan tindakan tersebut hanya berhubungan
dalam pikiran seseorang setelah tindakan selesai dilakukan. Contohnya saat responden memberitahu kakak pertamanya bahwa seharusnya sang kakak tidak
hanya sekedar langsung menikah saja, namun memiliki sikap bertanggung jawab terhadap orangtua dan rumah. Responden juga menganggap sang kakak tidak
memikirkan perasaannya apakah ia bisa mendapatkan pria yang bersedia melakukan perkawinan Nyentana atau tidak. Gladding juga menyatakan bahwa sikap
penyangkalan denial merupakan proses dimana seseorang tidak mau melihat atau menerima permasalahan apapun atau aspek-aspek kehidupan yang menyulitkan.
13 Penyangkalan bekerja pada tingkat prasadar atau sadar. Responden cenderung
terlihat menunjukkan sikap penyangkalan saat ia bercerita kepada kakaknya yang kedua, bahwa apabila kakak pertamanya bersedia untuk tinggal dirumah orangtuanya
maka ia akan meninggalkan kedua orangtuanya dan kembali dengan mantan pacarnya. Adanya penyangkalan tersebut menunjukkan bahwa responden masih
belum menerima kondisi yang sedang ia hadapi. Terkadang responden memiliki kecenderungan mengurangi penggunaan
mekanisme pertahanan diri seperti reaction formation dengan berusaha menunjukkan sikap asertif. Salah satu contohnya saat ia tidak menyukai perilaku kakak sepupunya
yang suka meminum minuman keras dan dianggap belum mampu berbicara sesuai dengan situasi dan kondisi. Responden akan menyatakan ketidaksukaannya tentang
perilaku kakak sepupunya kepada orangtua ataupun langsung menegur kakak sepupunya tersebut. Sehingga ia tidak menunjukkan sikap baik yang berlebihan
kepada orang lain untuk menutupi perasaan tidak suka. 3. Mengurangi
Rasa Frustasi
Penyesuaian diri yang normal ditandai dengan diri individu yang terbebas dari frustasi, Menurut Atwater 1983 frustasi terjadi karena terhalangnya perilaku individu
yang memiliki tujuan atau motivasi individu terhadap suatu hal. Meskipun terkadang setiap inividu tidak mungkin untuk bereaksi secara normal ketika menghadapi situasi
ataupun masalah Schneiders, 1964. Berdasarkan hasil wawancara, responden memiliki beberapa cara agar bisa lebih
tenang ketika menghadapi sebuah masalah sehingga mengurangi terjadinya frustasi, seperti menceritakan tentang permasalahan yang ia hadapi dengan teman ataupun
kakak keduanya, pergi berolahraga ke Pantai dan merias-rias wajah bersama salah satu anggota keluarganya, melakukan kegiatan persembahyangan bersama teman-
teman SMA. 4. Berpikir Rasional dan Kemampuan Mengarahkan Diri
Karakteristik penyesuaian diri yang paling menonjol adalah berpikir rasional dan mampu mengarahkan diri. Kemampuan ini merupakan hal dasar dan penting bagi
individu ketika menghadapi masalah, konflik dan frustasi karena mengatur cara berpikir dan perilaku individu dalam menyelesaikan kesulitan apapun yang muncul sebagai
bentuk dari penyesuaian diri yang normal. Apabila individu kurang mampu berpikir secara rasional dan mengarahkan dirinya maka ia akan mengalami kesulitan dalam
melakakukan penyesuaian diri. Berdasarkan hasil wawancara, responden terlihat mampu berfikir secara rasional
dan memiliki kemampuan mengarahkan diri dalam menghadapi sebuah masalah. Contohnya seperti responden yang mulai berfikir tentang masa depan dan siapa yang
14 akan merawat orangtuanya apabila ia tidak melakukan perkawinan Nyentana.
Sehingga responden berani untuk mengakhiri hubungan dengan pacarnya terdahulu. Apabila hubungan tersebut terus dilanjutkan maka ia akan semakin sayang dengan
pacarnya dan semakin sulit untuk mengakhiri hubungan tersebut. Responden berusaha untuk mencari sendiri pasangan yang ia inginkan. Ketika mencari pasangan,
responden akan melihat tingkah laku dari calon pasangannya. Apabila tingkah lakunya baik, maka ia akan menerima dan jika tingkah lakunya kurang baik, maka ia berani
untuk menolak calon pasangannya. 5. Kemampuan untuk Belajar
Penyesuaian diri yang normal ditandai dengan proses belajar yang terus menerus sehingga individu bisa mengembangkan kualitas pribadi yang diperlukan untuk
memenuhi tuntutan hidup sehari-hari. Berdasarkan hasil wawancara, saat ini responden merasa telah belajar bersikap
dewasa. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya pemikiran responden yang tidak hanya mementingkan diri sendiri, namun memikirkan juga kebahagiaan orangtua dan
nama baik keluarganya. Demi mendapatkan pasangan, responden berusaha lebih membuka diri, tidak sombong, dan tidak terlalu menjaga image dihadapan lawan jenis.
6. Memanfaatkan Pengalaman Masa Lalu Penyesuaian diri bisa diidentifikasi dari penggunaan atau pemanfaatan masa lalu
karena dengan adanya pembelajaran dari masa lalu, inividu memiliki acuan yang baik dalam mengatasi permasalahan.
Berdasarkan hasil wawancara, responden banyak belajar dari pengalaman masa lalu dirinya sendiri dan juga orang lain agar mampu menyesuaikan diri dalam
memenuhi keinginan orangtuanya. Responden belajar dari pengalamannya agar saat ini ia lebih berhati-hari dalam memilih pasangan. Ketika responden menjalin hubungan
dengan pria yang tidak sekasta dengannya, maka ia akan mengurangi intensitas komunikasi yang sudah terbangun karena ia memfokuskan dirinya untuk mencari pria
yang sekasta dengannya. Pengalaman responden dalam melihat kondisi salah satu anggota keluarganya
yang melakukan perkawinan Nyentana, yang kemudian ditinggal pergi oleh suaminya setelah memiliki anak, membuat responden memikirkan pentingnya kebahagiaan yang
harus ada di dalam sebuah keluarga. Responden berusaha mencari pasangan yang sekasta agar ia tidak mengalami nyerod atau turun kasta, karena responden melihat
banyak orang yang menikah nyerod hidupnya tidak bagus, seperti ditinggal oleh suaminya, dan memiliki penyesalan karena telah meninggalkan orangtuanya.
Sehingga bagi perempuan yang telah menikah Nyerod tidak diperbolehkan kembali ke rumah orangtuanya. Pernyataan responden serupa dengan pendapat Atmaja 2008
15 bahwa biasanya perempuan yang sudah mengalami penurunan kasta, tidak
diperbolehkan untuk pulang kembali ke rumah orangtuanya. 7. Sikap yang Realistik dan Objektif
Aspek penting yang terakhir dalam penyesuaian diri adalah sikap realistik dan objektif. Sikap realistik dan objektif merupakan orientasi individu terhadap realita.
Sikap ini bisa dicapai berdasarkan pada proses belajar, pengalaman masa lalu, pemikiran yang rasional, dapat menghargai situasi dan masalah.
Berdasarkan hasil wawancara, sikap realistik dan objektif responden terlihat dari pendapat yang ia berikan ke ayahnya untuk memperbaiki rumah terlebih dahulu agar
calon pasangannya nanti bersedia melakukan perkawinan Nyentana. Menurut responden, calon pasangannya pun akan memepertimbangkan secara matang untuk
melakukan perkawinan Nyentana apabila kondisi rumahnya tidak segera diperbaiki. Ketika responden menjalin hubungan dengan seorang pria, ia harus mencari tahu
terlebih dahulu latar belakang keluarga dari pria tersebut. Responden akan mempertimbangkan jumlah saudara yang dimiliki calon pasangannya nanti, karena
responden tidak akan tega mengajak calon pasangannya melakukan perkawinan Nyentana apabila pria tersebut tidak memiliki saudara laki-laki di dalam keluarganya.
Responden juga ingin mendapatkan pasangan yang memiliki perasaan yang sama dengannya agar bisa mencapai kebahagiaan dalam hubungannya.
Menurut Schneiders 1964 terdapat lima faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri pada individu. Berdasarkan hasil wawancara, lima faktor ini yang cenderung terlihat
membantu responden untuk melakukan penyesuaian diri dengan baik, yaitu : 1. Keadaan fisik :
Efek dari kondisi fisik individu memiliki pengaruh secara langsung terhadap proses penyesuaian diri, seperti kondisi kesehatan individu, penyakit kronis dan kondisi cacat
fisik. Selama peneliti melakukan wawancara, responden terlihat tidak memiliki penyakit kronis ataupun kondisi cacat fisik yang mempengaruhi penyesuaian dirinya.
2. Perkembangan dan kematangan : Perbedaan bentuk penyesuaian diri antar individu dipengaruhi oleh perbedaan
tahap perkembangan yang dilalui oleh masing-masing indvidu. Sejalan dengan perkembangannya, individu akan semakin matang dalam merespon lingkungan.
Kematangan individu dalam segi intelektual, sosial, moral dan emosi akan mempengaruhi bagaimana individu melakukan penyesuaian diri.
Schneiders menyatakan bahwa hubungan antara kecerdasan intelligence dengan penyesuaian diri sementara tidak mutlak, namun jelas menunjukkan bahwa cara
16 seseorang dalam menghadapi masalah dan kesulitan sebagian besar ditentukan oleh
kecerdasan. Respon yang muncul seperti baik atau buruk, normal atau neurotik, menunjukkan kondisi pribadi yang berkembang dalam diri individu. Perbedaan antara
penyesuaian diri yang baik ataupun yang buruk ditentukan dari bagaimana cara individu menyelesaikan situasi yang sulit, konflik dan frustasi melalui cara berpikir yang
cerdas. Berdasarkan pendapat Scheneiders, responden cenderung memiliki kematangan dari segi intelektual. Hal tersebut terlihat dari bagaimana upaya
responden untuk bangkit dari pengalaman masa lalunya dan berusaha membina hubungan baru dengan orang-orang yang sekasta dengannya. Responden berusaha
untuk menggabungkan kriteria pasangan yang ia dan orangtuanya inginkan. Ketika responden tidak menyukai tingkah laku calon pasangan yang dipilihkan oleh
orangtuanya, maka responden akan mengatakan secara langsung ketidaksukannya tersebut. Hal lain yang mendukung bahwa responden memiliki kematangan dari segi
intelektual adalah ketika responden mampu menjawab pertanyaan yang diajukan peneliti dan adanya konsistensi pernyataan yang diberikan responden selama tiga kali
wawancara. Menurut Vaughan dalam Schneiders, 1964, kematangan emosional merupakan
salah satu bagian terpenting dalam keseluruhan kriteria penyesuaian diri. Responden cenderung belum memiliki kematangan dari segi emosional. Hal tersebut terlihat ketika
responden sedang mengalami sebuah masalah, secara emosional ia tertutup dengan orangtuanya dan cara mengungkapkan emosi marah cenderung mengarah ke sikap
agresif, seperti membentak, mengomel, atau melempar bantal. Di satu sisi responden tetap menceritakan apapun masalahnya kepada kakak keduanya ataupun ke teman
terdekatnya. Responden memiliki kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Kemampuan tersebut menjadi bagian yang positif berkaitan dengan
perkembangan emosional responden. Responden termotivasi untuk tidak meninggalkan orangtua karena pengalamannya yang pernah melihat seorang ibu yang
datang berbelanja ke warungnya kemudian menangis dihadapan ibunya sambil menceritakan kesedihannya yang ditinggal menikah oleh anaknya, sehingga
responden merasa iba dan membayangkan ibunya akan bereaksi seperti itu juga apabila ia pergi menikah keluar dari rumahnya.
Kematangan secara sosial terlihat dari hubungan interpersonal yang dibangun oleh individu. Di dalam menjalin hubungan dengan orang lain, responden tidak pernah
melihat tampang, kasta, atau merasa dirinya yang paling agung, sehingga responden memiliki banyak teman dan mudah bergaul dengan orang lain. Responden
menganggap hal ini sebagai suatu kelebihan yang ada di dalam dirinya. Ketika responden membina hubungan baru dengan orang lain, ia tidak akan langsung
17 menyatakan keinginannya untuk mencari pasangan yang bersedia melakukan
perkawinan Nyentana. Hal tersebut dikarenakan responden tidak ingin hubungan yang dibangun terkesan dimanfaatkan demi mendapatkan sentana.
Menurut Schneiders, moralitas diinterpretasikan sebagai bentuk dari penyesuaian diri. Kemampuan individu untuk memenuhi tuntutan moral secara efektif dan sehat,
memberikan kontribusi yang besar dalam mencapai kesejahteraan dalam hidup. Perkembangan moral pada diri responden lebih banyak dipengaruhi oleh faktor aturan
yang berlaku di masyarakat dan aturan dari orangtua. Salah satu contohnya seperti responden yang tidak ingin meninggalkan orangtua hanya demi seorang pacar saja.
Hal tersebut dikarenakan responden ingin menunjukkan rasa bakti kepada orangtua yang telah membesarkan dan mengurusnya sampai saat ini.
3. Keadaan psikologis : Di dalam penyesuaian diri terdapat beberapa faktor keadaan psikologis yang
mempengaruhi, seperti pengalaman, learning and conditioning, self determination, psychological needs, frustasi dan konflik.
Sebelum responden mampu untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan dari keluarganya, responden pernah berkonflik dengan kakak pertamanya. Konflik tersebut
ditandai dengan adanya pertangkaran yang terjadi antara responden dengan kakak pertamanya karena responden masih belum mampu menerima tuntutan untuk
melakukan perkawinan Nyentana. Adanya konflik dan tuntutan tersebut tidak sampai membuat responden menjadi frustasi.
Dilihat dari segi pengalaman dan proses pembelajaran, responden belajar dari pengalaman salah satu anggota keluarganya yang melakukan perkawinan nyentana,
namun setelah memiliki anak, sang suami meninggalkannya. Sehingga hal itu menjadi pembelajaran bagi responden untuk memperhatikan kebahagiaan dan keharmonisan
keluarga yang akan nanti ia bangun. Selain itu, pengalaman responden yang sebelumnya pernah menjalin hubungan dengan pria yang tidak merokok, tidak memiliki
kebiasaan meminum minuman keras dan bersikap baik kepadanya, membuat responden ingin mendapatkan pasangan yang memiliki kemiripan karakteristik dengan
mantan pacarnya. Begitu juga dengan pernikahan kedua orangtuanya yang dijodohkan secara paksa namun dari kejadian tersebut membuat responden belajar untuk
membahagiakan kedua orangtua dan keluarganya serta memiliki sikap tidak mementingkan diri sendiri.
Self determination merupakan sikap individu yang mampu mengatur perilaku diri sendiri dan melepaskan sifat-sifat di dalam diri yang tidak diinginkan agar bisa
mencapai penyesuaian diri yang baik. Hal tersebut terlihat dari usaha responden yang mulai menjalin hubungan baru dengan orang-orang disekitarnya namun tetap selektif
18 ketika sudah merasa dekat dengan seseorang. Apabila pria yang dekat dengannya
tidak sekasta, maka ia akan mengurangi intensitas komunikasi dengan pria tersebut. Responden mampu mengatur perilakunya sendiri dalam mencari pasangan karena
responden memiliki target menikah di usia 25 atau 26 tahun. Di dalam psychological needs terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan
penyesuaian diri, seperti afeksi, kepemilikan, rasa aman, dan status. Kebutuhan secara psikologis pada diri responden ditunjukkan dari adanya keinginan responden untuk
mencari pasangan yang mampu menyayangi keluarga dan dirinya sendiri, bisa menjaga dirinya dan mampu membuatnya merasa nyaman dalam hubungan yang
akan dibangun. 4. Keadaan lingkungan :
Keadaan lingkungan yang tentram, damai, aman, penuh penerimaan dan pengertian serta mampu memberikan perlindungan bagi anggotanya merupakan
lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian diri. Keadaan lingkungan yang mampu dalam memperlancar penyesuaian diri adalah rumah, keluarga dan
sekolah. Menurut responden, kedua orangtuanya masih memberikannya pilihan agar bisa
mendapatkan pria yang sederajat dan bersedia untuk melakukan perkawinan nyentana, apabila responden mampu mendapatkan pria yang sesuai dengan
keinginannya maka ia diharapkan untuk memperkenalkan calon pasangannya kepada orangtua. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa orangtua responden akan menerima
calon pasangan yang dipilih oleh responden selama memiliki kriteria sesuai dengan yang diinginkan oleh pihak keluarga. Pengharapan orangtua agar responden bisa
mendapatkan pria yang bersedia untuk melakukan perkawinan nyentana, membuat orang-orang terdekat responden memberikan nasihat, doa dan semangat kepada
responden agar ia bisa mendapatkan pria yang bersedia untuk nyentana dan mengingatkan kembali tujuan responden dalam mencari sentana.
5. Tingkat religiusitas dan kebudayaan : Religiusitas merupakan faktor yang berdampak terhadap kesejahteraan psikologis
seperti mengurangi konflik, frustasi dan ketegangan psikis lainnya. Religiusitas memberi nilai dan keyakinan sehingga individu memiliki arti, tujuan dan stabilitas hidup
yang diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan suatu faktor yang
membentuk watak dan tingkah laku individu untuk menyesuaikan diri dengan baik atau justru membentuk individu yang sulit menyesuaikan diri. Adanya konflik personal,
19 frustasi, kecemasan, akar dari perilaku yang aneh, secara langsung ataupun tidak
langsung juga dipengaruhi oleh faktor kebudayaan. Berdasarkan hasil wawancara, sikap religiusitas responden terlihat dari kegiatan
bersembahyang bersama teman-teman SMAnya agar ia bisa menenangkan dirinya. Responden juga berdoa kepada leluhurnya agar ia diberikan jalan untuk bertemu
dengan jodohnya. Responden mengatakan astungkara pengharapan kepada Tuhan agar yang diinginkn bisa terjadi dengan cepat saat proses wawancara karena ia
memiliki keinginan yang kuat untuk mendapatkan sentana. Menurut responden, salah satu kebiasaan yang ada dianut oleh masyarakat Bali
adalah ketika anak bungsu telah menikah maka anak tersebut yang akan tetap tinggal bersama kedua orangtuanya, sehingga faktor ini juga yang membuat responden
diharapkan untuk mencari sentana dan bisa menyesuaikan diri dengan adanya kebudayaan tersebut. Di dalam kebudayaan Bali, bagi wanita Bali yang termasuk di
dalam golongan Triwangsa, apabila mereka menikah dengan pria yang kastanya dibawah kasta mereka, maka para wanita tersebut akan mengalami nyerod penurunan
kasta dan menurut responden adanya kebudayaan tersebut membuat responden tidak boleh memanggil orangtuanya dengan sebutan biang dan ajik lagi, namun
menjadi gung biang dan gung aji, serta ia juga tidak boleh bersembahyang mebanten dirumahnya. Responden menganggap apabila ia tidak mendapat sentana dan
melakukan perkawinan nyerod, maka ia akan mengalami kesulitan untuk pulang kembali ke rumah orangtuanya. Faktor tersebut yang akhirnya membuat responden
terus berusaha mencari sentana agar tidak meninggalkan orangtuanya.
20
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN