71
Dengan demikian, berdasarkan hasil penelitian, observasi dan wawancara di lapangan, peneliti menemukan bahwa keadaan keluarga, kondisi hubungan orang tua dan lingkunganlah
yang sangat berperan secara dominan dalam mempengaruhi seseorang memutuskan dirinya sebagai lesbian. Kurangnya perhatian dari keluarga serta bebasnya seorang anak bergaul di
lingkungan yang buruk maka besar kemungkinan seorang anak dapat mengikuti keadaan lingkungannya. Peneliti menyikapi, keluarga seharusnya berusaha untuk mempersiapkan
bekal selengkap-lengkapnya kepada anak dengan memperkenalkan tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat serta mempelajari peranan
yang diharapkan akan dijalankan mereka.
4.2.2 Sudut pandang studi jender terhadap realita lesbian di Jemaat
Bangsa Indonesia pada umumnya, dan jemaat GMIM “Betani” pada khusunya menganut budaya ke-Timur-an yang masih sangat kental dan dijunjung tinggi, serta sangat
kental dengan sopan santunnya, prilaku yang baik dan masih menganut paham patriarkhi dimana kaum laki - laki yang memegang kendali. Namun dengan adanya komunitas lesbian,
seolah-olah ingin menunjukkan bahwa perempuan pun mampu untuk memimpin dan ingin diakui keberadaannya. Kesetaraan jender merupakan modal awal dari kaum perempuan untuk
mendobrak budaya patriarkhi yang selama ini masih kental dalam berjemaat. Kehidupan kita sebagai individu, sejak kita memasuki keluarga pada saat lahir, melalui pendidikan, kultur
pemuda, dan ke dalam dunia kerja dan kesenangan, perkawinan dan kita mulai membentuk keluarga sendiri, memberi pesan yang jelas kepada kita bagaimana orang “normal”
berperilaku sesuai dengan jendernya.
83
83
Julia Cleves Mosse. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Center dan Pustaka Pelajar, 1996
72
Mengalisa tanggapan jemaat GMIM “Betani” mengenai tanggapan terhadap lesbian dalam jemaat, peneliti kaitkan menurut teori nature dan nurture, karena konstruksi sosial
budaya jender, seorang perempuan yang karena dia lahir dengan jenis kelamin perempuan maka dia pun kemudian dibentuk untuk menjadi seorang perempuan sesuai dengan kriteria
yang berlaku dalam suatu masyarakat dan budaya dimana dia lahir dan dibesarkan, misalnya bahwa karena dia dilahirkan sebagai seorang perempuan maka sudah menjadi “kodrat” pula
bagi dia untuk menjadi sosok yang cantik, anggun, irrasional, emosional dan sebagainya. Penanaman citra bahwa seorang perempuan itu lebih cocok berperan sebagai seorang ibu
dengan segala macam tugas domestiknya yang selalu dikatakan sebagai “urusan perempuan”, seperti membersihkan rumah, mengurus suami dan anak, memasak, berdandan dan
sebagainya. Dalam hal pembedaan laki-laki dan perempuan berlandaskan jender mungkin tidak
akan mendatangkan masalah jika tidak ada pembedaan dalam jender atau ketidak-adilan jender gender inequalities baik bagi kaum laki-laki maupun bagi kaum perempuan.
Meskipun pada akhirnya ketidakadilan itu lebih banyak dirasakan oleh kaum perempuan. Ketidakadilan jender tersebut antara lain termanifestasi pada penempatan perempuan dalam
stratifikasi sosial masyarakat, yang pada kelanjutannya telah menyebabkan kaum perempuan mengalami ketidak-adilan jender.
Dari penelitian, observasi dan wawancara, peneliti menyikapi bahwa dari realita lesbian yang terjadi di jemaat perlu di analisa menurut pemahaman studi jender yang ada,
dimana studi jender berperan dalam melihat adanya manifestasi ketidakadilan terhadap perempuan yang ditimbulkan oleh adanya asumsi jender sebagai berikut:
1. Menurut Fakih dalam buku analisis jender, adanya marginalisasi kemiskinan
ekonomi terhadap kaum perempuan. Meskipun tidak setiap marginalisasi perempuan
73
yang disebabkan oleh ketidakadilan jender, yang dipersoalkan dalam analisis jender adalah marginalisasi yang disebabkan oleh perbedaan jender.
84
Seperti dalam kasus yang di alami Sinta bukan nama sebenarnya seorang anak perempuan yang dalam
keluarganya selalu mendapat perlakuan tidak adil dari orang tua, karena orang tua lebih memihak kepada anak laki-laki.
2. Pendapat Fakih dalam hal terjadinya subordinasi pada salah satu jenis sex yang
umumnya pada kaum perempuan yan dalam hal ini rumah tangga, masyarakat, maupun negara, bahkan gereja banyak kebijakan dibuat tanpa “menganggap penting”
kaum perempuan. Dari observasi lapangan peneliti menemukan beberapa kesimpulan dari pendapat jemaat tentang perempuan yang mengatakan bahwa wanita pada
akhirnya akan ke dapur, sehingga untuk apa wanita itu sekolah tinggi-tinggi dan juga menganggap bahwa wanita itu lemah, dan tidak bisa melakukan pekerjaan laki-laki.
3. Mutali’in menanggapi mengenai pelabelan negative stereotype terhadap jenis
kelamin tertentu, terutama kaum perempuan dan akibat dari stereotype itu terjadi diskriminasi serta berbagai ketidakadilan lainnya.
85
Dalam berjemaat di GMIM “Betani” banyak sekali stereotype yang dilabelkan pada kaum perempuan yang
akibatnya membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan. Misalnya dalam hal bergereja di GMIM, jarang ditemukan seorang ketua wilayah
perempuan. 4.
Kekerasan violence terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, karena perbedaan jender. Menurut Fakih, kekerasan di sini mulai dari kekerasan fisik seperti
pemerkosaan dan pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk yang lebih halus seperti pelecehan seksual harassment dan penciptaan ketergantungan. Peneliti
menyikapi bahwa manifestasi ketidak-adilan terhadap perempuan yang dalam hal
84
Mansour Fakih. Analisi Gender Transformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996, 12-23
85
Achmad Mutali’in. Bias Jender Dalam Pendidikan. Surakarta: Muhamadiah University Press.2001, 32-40
74
mengalami kekerasan yang pada akhirnya kekerasan atau pelecehan seksual ini yang sering menjadi alasan utama seorang wanita menjadi penyuka sesama jenis atau
lesbian. 5.
Karena peran jender, pekerjaan perempuan adalah mengelola rumah tangga, banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama. Dengan
kata lain “peran jender” perempuan yang menjaga dan memelihara kerapian tersebut telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyarakat bahwa mereka
harus bertanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik. Sosialisasi peran jender tersebut menjadikan rasa bersalah bagi perempuan yang tidak
melakukannya, sementara bagi kaum laki-laki, tidak saja merasa bukan tanggung jawabnya, bahkan dibanyak tradisi dilarang untuk berpartisipasi. Meskipun demikian
secara ekonomi dan secara sosial starusnya di dalam masyarakat dianggap kurang berharga dan rendah.
86
Manifestasi ketidakadilan itu tersosialisasi baik kaum laki-laki maupun perempuan secara mantap, yang lambat laun baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan
akhirnya percaya bahwa peran jender itu seolah-olah menjadi kodrat. Lambat laun terciptalah suatu struktur dan sistem ketidak-adilan jender yang diterima dan sudah tidak lagi dapat
dirasakan adanya sesuatu yang salah. Peneliti menyikapi bahwa Mutali’in dan Fakih melalui model manifestasi ketidak-
adilan mau menyimpulkan bahwa mayoritas yang menjadi korban ketidakadilan jender adalah kaum perempuan, analisis jender seharusnya hanya menjadi alat perjuangan kaum
perempuan, namun analisis jender justru menjadi alat gerakan feminisme untuk menjelaskan sistem ketidakadilan. Lebih lanjut, analisis jender ini memungkinkan gerakan feminisme
memfokuskan pada relasi struktur jender serta keluar dari pemikiran yang memfokuskan
86
Mutali’in. Bias Jender, 39
75
pada ”perempuan”, dengan demikian yang menjadi agenda utama setiap usaha perubahan sosial tidak sekedar menjawab kebutuhan praktis atau merubah kondisi kaum perempuan,
melainkan juga menjawab kebutuhan strategis kaum perempuan, yakni memperjuangkan posisi kaum perempuan.
Komunitas lesbian di Manado sudah tidak dapat dipungkiri lagi keberadaannya, meskipun keberadaan mereka kerap kali ditolak oleh masyarakat sekitar mereka. Keberadaan
komunitas lesbian yang dianggap suatu penyimpangan, melanggar norma agama serta menentang kodrat yang menyebabkan belum bisanya komunitas tersebut diterima
sepenuhnya oleh masyarakat dan negara. Keberadaan komunitas lesbian yang terpinggirkan tersebut masih dianggap seperti suatu “penyakit menular” yang harus dihindari. Dengan gaya
berpakaian seorang butch yang dipandang aneh oleh masyarakat, serta pencitraan mereka komunitas lesbian yang kurang baik di mata masyarakat, menyebabkan adanya penolakan
pengakuan dari masyarakat pada umumnya. Menurut hasil penelitian yang ada, peneliti menemukan bahwa pada umumnya, kaum
homoseksual yang ada di Indonesia saat ini khususnya di Manado mempunyai sex role yang cenderung berubah-ubah. Karena itu, tampak pada lesbian, sifat gaya kelaki-lakiannya.
Walaupun ini disembunyikan, namun akan tetap tampak karakter laki-lakinya. Itu hanya disebabkan lesbian cenderung lebih tertutup karena adanya tuntutan budaya yang
mengarahkan pada tataran hidup normatif. Menurut penelitian, ada juga kemungkinan bahwa para lesbian ini awalnya hanya ingin merasakan nikmatnya berhubungan seksual, namun
mereka takut mengalami kehamilan. Sebab itulah, mereka akhirnya jatuh ke dalamnya. Menurut pengamatan peneliti, ketidak-adilan yang dialami kaum perempuan dalam
hal ini kaum lesbian di Manado menuntut adanya kesetaraan jender. Dimana mereka bebas untuk menentukan identitas diri mereka sesungguhnya dengan tidak ada lagi manifestasi
76
ketidak-adilan jender terhadap perempuan. Kaum lesbian ini menganggap bahwa penyimpangan jender yang mereka alami itu adalah sebuah akibat dari manifestasi ketidak-
adilan jender itu sendiri. Mereka menganggap diri mereka “orang yang dipinggirkan” karena orientasi seksual mereka yang berbeda. Begitu juga di Manado pada umumnya dan di jemaat
GMIM “Betani” secara khusus, sampai saat ini belum mendapatkan pengakuan dan penerimaan sepenuhnya dari masyarakat. Mereka kaum lesbian kerap mendapatkan
beragam bentuk ketidakadilan, seperti kekerasan psikis, seksual, maupun ekonomi, yang terjadi baik itu di dalam rumah, sekolah, tempat bekerja, tempat ibadah dan masyarakat
sekitar. Mereka juga mendapatkan beragam stigmalabel, seperti sebutan ”abnormal”, ”sakit”, ”dosa”, ”kotor”, dan lain-lain sebutan. Kondisi ini menjadikan sebagian lesbian akhirnya
lebih memilih menutup diri dan hidup dengan identitas yang bukan sesungguhnya dan hanya membuka jati diri di kalangan mereka sendiri.
Berdasarkan teori Queer yang dipaparkan oleh Butler; “ gender is a kind of imitation for witch there is no original; in fact, it is a kind of imitation that produce the very notion of
the original as an effect and consequence of imitation it self”. Butler menegaskan bahwa tidak ada identitas jender dibalik ekspresi jender.
87
Butler juga menolak koherensi yang tetap antara identitas jender dan identitas seksual. Jender adalah sebuah peniruan sehingga tidak
ada yang asli. Ketika seorang telah diidentifikasi sebagai perempuan, maka ia akan meniru- niru performansi perempuan. Dalam hal ini Peneliti menyikapi bahwa Teori Queer berkenaan
dengan relasi-relasi yang aneh atau yang tidak biasa seperti para kaum lesbian. Teori queer berakar dari materi bahwa identitas tidak bersifat tetap dan stabil. Identitas bersifat historis
dan dikonstruksi secara sosial. Dalam konteks teori, teori ini dapat digolongkan sebagai sesuatu yang anti identitas. Ia bisa dimaknai sebagai sesuatu yang tidak normal atau aneh.
Dalam teori ini terdapat tiga makna intelektual dan politik, meskipun sulit membuat batasan-
87
Judith Butler. Gender Trouble: Feminism and the subversion of identity. New York:Routledge.1990, 145
77
batasannya. Melalui hal ini Queer mengisyaratkan bahwa sesungguhnya kaum lesbian di jemaat mengalami perlakuan tidak adil dibanding kaum heteroseksual pada umumnya.
Karakter kehidupan seorang lesbian sebenarnya sama seperti aktor dalam memerankan sebuah film, dimana dalam keseharian seorang aktor sesungguhnya berbeda
dengan apa yang diperankannya. Namun, tidak sering akibat peranan yang dilakoninya aktor tersebut mendapat pendiskriminasian dari masyarakat luas. Jemaat atau masyarakat dalam hal
ini seharusnya melihat mereka lebih jelas dari dekat dan kemudian berhenti mendiskriminasi mereka. Stigma atau pandangan jemaat terhadap mereka inilah yang perlu di ubah. Perubahan
tersebut melibatkan studi jender untuk membuka pemikiran yang baru. Jender adalah istilah yang merujuk pada seperangkat karakteristik yang dipandang manusia sebagai hal yang
membedakan antara lelaki dan wanita, dari hal biologis seperti jenis kelamin sampai dengan peran sosial dan identitas gender. Jemaat seharusnya mampu mengaplikasikan pemahaman
studi jender terhadap kaum lesbian.
4.3 Refleksi Teologis