Lampiran 5 Produksi Hijauan Pakan Ternak dan KPPTR di Kawasan Sapi Potong
VBC Aceh Besar Uraian
Peubah Diamati Lokasi Penelitian
Blang Ubo-ubo Cot Seuribe
Saree Aceh Sukamulia Data Gaseu
Bareuh Jumlah Sampel n
2 2
2 2
1. Rataan Berat Segar grm
2
a. Rumput alam campuran
b.Rumput introduksi B.humidicola
c.Alang-alang d.Rumput potonganR.Gajah
P.purpureum 330
430 605
6990 320
375 515
6200 275
530 470
375 625
2. Rataan Bahan Kering grm
2
a.Rumput alam campuran b.Rumput introduksi
B.humidicola c.Alang-alang
d.Rumput potongan R.Gajah P.purpureum
79.42 98.86
179.69 1564.48
74.24 72.98
152.96 1319.22
56.63 136.98
139.59 83.12
186.34
3. Kapasitas Tampung STHa a. Padang rumput alam
b.Padang rumput buatan B.humidicola
c. Padang Alang-alang d.Kebun rumput P.purpureum
0.60 0.77
1.09 12.59
0.58 0.68
0.93 11.17
0.50 0.95
0.85 0.68
1.13
4. Luas Lahan Ha a.Padang rumput alam
b.Padang rumput buatan
B.humidicola c.Padang Alang-alang
d.Kebun rumput P.purpureum
310 20
107 1
300 20
74 1
96 20
16 31
12
5. PMSL ST
330.62 267.59
80.6 34.64
6. Jumlah Rumah Tangga Petani Ternak KK
394 42
96 90
7. PMKK ST 3940
420 960
900
8. Populasi Sapi Bali ST
80.5 98.3
35.3 31.8
9. KPPTRSL ST 250.12
169.29 45.3
2.84
10. KPPTRKK ST
3859.5 321.7
924.7 868.2
11. KPPTR Efektif ST 250.12
169.29 45.3
2.84
12. Kapasitas Tampung Relatif
32.18 58.07
77.92 1119.72
Sumber: Hasil Survey dan Analisis 2011
Lampiran 6 Penilaian Tingkat Perkembangan Kawasan untuk Kriteria Pembibitan pada Kawasan Sapi Potong
VBC Aceh Besar Kriteria
Bobot Lokasi Penelitian
Blang Ubo-ubo Cot Seuribe
Saree Aceh Sukamulia Data Gaseu
Bareuh Nilai Skor Nilai Skor Nilai Skor Nilai Skor
Lahan
a. Penguasaan lahan 2.5
10 25
10 25
10 25
10 25
b. Alokasi untuk HMT 2.5
10 25
10 25
9 22.5
9 22.5
Ketersedian HMT
a. KPPTR efektif 15
6 90
6 90
2 30
1 15
Ternak
a. Tingkat kelahiran 2.5
1 2.5
1 2.5
2 5
1 2.5
b. Tingkat kematian 2.5
5 12.5
6 15
4 10
3 7.5
c. Skala usahaPeternak 8
3 24
4 32
2 16
2 16
d. Populasi 3.5
2 7
2 7
1 3.5
1 3.5
e. Populasi 3.5
8 28
5 17.5
3 10.5
1 3.5
Teknologi Budidaya
a. Jenis sapi 4
5 20
5 20
5 20
5 20
b. Metode Pembiakan 7
4 28
4 28
4 28
4 28
c. Pakan Ternak 5
5 25
5 25
5 25
2 10
d. Penangganan Keswan 4
4 16
4 16
3 12
1 4
Peternak
a. Tingkat pengetahuan 5
4 20
4 20
4 20
3 15
b. Ketrampilan kelola usaha
5 4
20 4
20 4
20 3
15
Tenaga Pendamping
a. Dokter hewan 1
3 3
3 3
3 3
3 3
b. Mantri hewan 1
5 5
5 5
6 6
6 6
c. Inseminator 1
5 5
5 5
6 6
6 6
d. Petugas pemeriksa kebuntingan
1 5
5 5
5 6
6 6
6 e. Vaksinator
0.5 5
2.5 5
2.5 6
3 6
3 f. Penyuluh
0.5 4
2 4
2 4
2 4
2
Fasilitas
a. Holding ground 4
9 36
8 32
8 32
8 32
b. Lab. diagnostik 1
3 3
3 3
4 4
4 4
c. Unit pelatihan 2
4 8
4 8
4 8
4 8
d. Poskeswan 4
5 20
5 20
6 24
6 24
e. Penyalur sapronak 2
3 6
3 6
4 8
4 8
f. Pos IB 3
4 12
4 12
4 12
4 12
g. Pasar heawan 4
3 12
3 12
4 16
4 16
Kelembagaan
a. Petani ternak 2.5
3 7.5
4 10
3 7.5
2 5
b. Permodalan 2.5
1 2.5
1 2.5
1 2.5
1 2.5
Total Skor 100
472.5 471
387.5 325
Sumber: Hasil Survey dan Analisis 2011
Lampiran 7 Matriks SWOT Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong VBC
Aceh Besar
IFAS
EFAS
STRENGTHS
1. Agrofisik dan lahan cukup
potensial untuk pengembangan sapi potong
2. Tingkat produktivitas
ternak cukup baik 3.
Tersedianya fasilitas layanan peternakan yang
memadai 4.
Potensi Rumah Tangga Petani Ternak
memungkinkan peningkatan skala usaha
5. Kontribusi usaha sapi
potong terhadap pendapatan petani ternak
meningkat
WEAKNESSES
1.
Rendahnya partisipasi dan motivasi petani ternak
2.
Kemampuan manajerial kelembagaan di tingkat
petani ternak masih rendah
3.
Penguasaan dan adopsi teknologi belum
berkembang
4.
Terbatasnya akses terhadap lembaga permodalan dan
kemitraan usaha
5.
Sistim tataniaga belum menjamin peningkatan
insentif usaha sapi potong
OPPORTUNITIES
1. Prospek pasar dan harga
produksi ternak relatif meningkat
2. Dukungan kebijakan
program pemerintah pusat dan daerah
3. Berkembangnya teknologi
dan informasi yang semakin pesat
4. Fungsi strategis sebagai
wilayah pengembangan sentra produksi sapi
potong
SO STRATEGIES
Optimalisasi sumberdaya
lahan, petani ternak, dan fasilitas layanan peternakan
melalui adopsi teknologi dan perluasan
akses informasi
yang melibatkan
instansi pemerintah secara aktif guna
meningkatkan produktifitas
ternak, skala
usaha, dan
pendapatan petani mengelola S1, S2, S4, dan memanfaatkan
O1, O2 dan O3
WO STRATEGIES
Meningkatkan kemampuan manajerial
kelompok tani
ternak kearah kelembagaan usaha berbadan hukum secara
partisipatif dengan
konsep agribisnis dan mengadopsi
teknologi inovatif
guna meningkatkan
daya saing
komoditas dan
percepatan perkembangan wilayah sentra
produksi sapi
potong memanfaatkan O2 dan O3,
dan mengatasi W1, W2, W3, W4 dan W5
THREATS
1. Adanya penyakit menular
dan gangguan reproduksi 2.
Pemotongan induk betina produktif
3. Kekuatan hukum
peruntukkan dan pengguasaan lahan belum
jelas 4.
Kondisi politik, keamanan dan konflik internal
ST STRATEGIES
Peningkatan kompetensi
pelaku stakeholders
pengelola kawasan
sapi potong
dalam mengoptimalkan potensi lahan
dan ternak, efektifitas layanan peternakan
dan kebijakan
strategis guna menciptakan iklim usaha yang kondusif
mengelola S2, S3, S4 untuk mengantisipasi T1, T2, T3,
dan T4
WT STRATEGIES
Mengoptimalkan kemampuan kelola usaha untuk perbaikan
teknis budidaya dan adopsi teknologi melalui peningkatan
partisipasi dan kelembagaan petani
ternak serta
berkoordinasi dengan
pemerintah dalam
mengakomodasi akses
permodalan dan
jaminan pemasaran mengatasi W1,
W2 dan mengantisipasi T2, T3, T4 dan T5
Lampiran 8 Hasil Penilaian Prioritas Strategi Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong VBC di Kabupaten Aceh Besar
A. Penilaian Attractiveness Score untuk Strategi I SO. Optimalisasi sumberdaya lahan, petani ternak dan ternak serta fasilitas layanan
peternakan melalui adopsi teknologi dan perluasan akses informasi yang melibatkan instansi pemerintah secara aktif guna meningkatkan skala usaha dan pendapatan petani
Faktor - Faktor Strategis Responden
Jumlah Rata-
Rata
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
AS AS
AS AS
AS AS
AS AS
AS AS
AS AS
KEKUATAN
Agrofisik dan lahan cukup potensial untuk pengembangan sapi potong 4
4 3
4 3
4 4
4 2
3 4
4 43
4 Produktivitas ternak dapat lebih ditingkatkan
3 4
4 4
4 3
3 3
4 4
3 3
42 4
Tersedianya fasilitas layanan peternakan yang memadai 4
4 3
3 3
4 3
4 3
3 4
4 42
4 Potensi Rumah Tangga Petani Ternak memungkinkan peningkatan skala usaha
3 3
4 3
3 3
3 3
2 3
3 3
36 3
Kontribusi usaha sapi potong dalam pendapatan petani ternak meningkat 3
3 3
3 3
3 3
3 2
3 3
2 34
3
KELEMAHAN
Rendahnya partisipasi dan motivasi petani ternak 3
3 4
3 4
3 3
4 3
3 4
3 40
3 Kemampuan manajerial kelembagaan di tingkat petani ternak masih rendah
4 3
3 4
3 3
4 3
3 3
3 3
39 3
Penguasaan dan adopsi teknologi belum berkembang 3
3 2
3 2
3 3
2 2
2 2
3 30
3 Terbatasnya akses terhadap lembaga permodalan dan kemitraan usaha
3 3
3 2
2 4
3 2
2 3
3 3
33 3
Sistim tataniaga belum menjamin peningkatan insentif usaha sapi potong 3
3 3
2 3
3 3
2 3
2 3
3 33
3
PELUANG
Prospek pasar dan harga produksi ternak relatif meningkat 3
3 3
2 3
2 3
4 3
4 3
4 37
3 Dukungan kebijakan program pemerintah pusat dan daerah
4 4
4 4
4 3
4 3
3 4
3 4
44 4
Berkembangnya teknologi dan informasi yang semakin pesat 3
3 4
3 3
3 3
4 3
3 4
3 39
3 Fungsi strategis sebagai wilayah sentra produksi sapi potong
2 3
2 3
2 3
2 3
3 2
3 3
31 3
ANCAMAN
Adanya penyakit menular dan gangguan reproduksi 3
3 3
3 3
3 4
3 3
3 3
3 37
3 Pemotongan induk betina produktif
4 4
3 4
3 4
3 3
4 3
3 3
41 3
Kekuatan hukum peruntukkan dan pengguasaan lahan belum jelas 2
2 2
2 2
3 2
3 2
2 3
3 28
2 Kondisi politik, keamanan dan konflik internal
3 3
3 2
3 4
3 3
3 3
3 3
36 3
B. Penilaian Attractiveness Score untuk Strategi II WO. Meningkatkan kemampuan manajerial kelompok tani ternak kearah kelembagaan usaha berbadan hukum secara partisipatif dengan konsep agribisnis dan mengadopsi teknologi inovatif guna
meningkatkan daya saing komoditas dan percepatan perkembangan wilayah sentra produksi sapi
Faktor - Faktor Strategis Responden
Jumlah Rata-
rata
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
AS AS
AS AS
AS AS
AS AS
AS AS
AS AS
KEKUATAN
Agrofisik dan lahan cukup potensial untuk pengembangan sapi potong 3
3 2
3 3
3 3
2 3
4 3
3 35
3 Tingkat produktivitas ternak cukup baik
3 3
2 2
2 3
3 2
3 2
2 2
29 2
Tersedianya fasilitas layanan peternakan yang memadai 3
3 3
3 3
3 2
3 4
4 3
3 37
3 Potensi Rumah Tangga Petani Ternak memungkinkan peningkatan skala usaha
3 2
3 3
2 2
4 3
3 3
2 2
32 3
Kontribusi usaha sapi potong terhadap pendapatan petani ternak meningkat 4
4 3
4 3
3 3
2 3
3 3
2 37
3
KELEMAHAN
Rendahnya partisipasi dan motivasi petani ternak 4
3 4
4 3
4 4
3 4
3 4
3 43
4 Kemampuan manajerial kelembagaan di tingkat petani ternak masih rendah
4 4
4 4
3 4
3 3
4 4
4 3
44 4
Penguasaan dan adopsi teknologi belum berkembang 3
3 3
3 4
3 4
4 4
3 3
3 40
3 Terbatasnya akses terhadap lembaga permodalan dan kemitraan usaha
4 4
4 4
4 4
3 4
4 3
4 4
46 4
Sistim tataniaga belum menjamin peningkatan insentif usaha sapi potong 4
4 4
4 3
3 4
3 4
4 3
3 43
4
PELUANG
Prospek pasar dan harga produksi ternak relatif meningkat 3
3 3
4 4
3 3
3 3
4 3
3 39
3 Dukungan kebijakan program pemerintah pusat dan daerah
3 4
3 4
4 4
3 3
4 3
4 3
42 4
Berkembangnya teknologi dan informasi yang semakin pesat 4
4 4
4 4
3 3
4 3
4 3
4 44
4 Fungsi strategis sebagai wilayah pengembangan sentra produksi sapi potong
4 3
4 3
4 3
3 4
2 3
3 4
40 3
ANCAMAN
Adanya penyakit menular dan gangguan reproduksi 3
3 3
3 4
3 4
3 4
3 3
3 39
3 Pemotongan induk betina produktif
3 3
3 3
3 3
4 3
3 3
3 3
37 3
Kekuatan hukum peruntukkan dan pengguasaan lahan belum jelas 2
2 3
2 2
3 3
3 3
2 3
3 31
3 Kondisi politik, keamanan dan konflik internal
3 3
3 3
3 3
3 3
3 3
4 3
37 3
C. Penilaian Attractiveness Score untuk Strategi III ST. Peningkatan kompetensi pelaku stakeholders pengelola kawasan sapi potong dalam meningkatkan produktifitas lahan dan ternak, efektifitas layanan peternakan, dan kebijakan strategis guna menciptakan iklim
usaha yang kondusif
Faktor - Faktor Strategis Responden
Jumlah Rata-
Rata
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
AS AS
AS AS
AS AS
AS AS
AS AS
AS AS
KEKUATAN
Agrofisik dan lahan cukup potensial untuk pengembangan sapi potong 3
3 3
3 3
3 3
3 3
4 3
3 37
3 Tingkat produktivitas ternak cukup baik
3 3
4 3
4 4
3 2
3 3
4 4
40 3
Tersedianya fasilitas layanan peternakan yang memadai 4
4 3
4 3
4 4
3 4
3 4
4 44
4 Potensi Rumah Tangga Petani Ternak memungkinkan peningkatan skala usaha
4 3
4 4
3 3
4 4
3 4
3 3
42 4
Kontribusi usaha sapi potong terhadap pendapatan petani ternak meningkat 3
3 4
3 4
3 2
3 3
3 2
3 36
3
KELEMAHAN
Rendahnya partisipasi dan motivasi petani ternak 4
3 3
4 3
3 4
4 3
3 3
3 40
3 Kemampuan manajerial kelembagaan di tingkat petani ternak masih rendah
3 2
3 2
3 3
2 3
3 3
2 2
31 3
Penguasaan dan adopsi teknologi belum berkembang 3
3 2
2 2
1 2
2 1
2 2
3 25
2 Terbatasnya akses terhadap lembaga permodalan dan kemitraan usaha
2 3
2 2
3 2
2 3
2 3
2 3
29 2
Sistim tataniaga belum menjamin peningkatan insentif usaha sapi potong 3
2 3
2 3
3 2
2 2
2 3
3 30
3
PELUANG
Prospek pasar dan harga produksi ternak relatif meningkat 3
3 3
2 3
2 2
2 2
3 2
2 29
2 Dukungan kebijakan program pemerintah pusat dan daerah
3 3
4 3
4 3
4 3
4 3
3 4
41 3
Berkembangnya teknologi dan informasi yang semakin pesat 3
3 3
3 2
4 3
3 3
2 4
3 36
3 Fungsi strategis sebagai wilayah pengembangan sentra produksi sapi potong
3 2
3 2
2 3
2 3
2 2
2 3
29 2
ANCAMAN
Adanya penyakit menular dan gangguan reproduksi 3
3 3
3 4
3 4
4 4
3 3
3 40
3 Pemotongan induk betina produktif
4 4
4 3
4 3
4 4
3 4
3 3
43 4
Kekuatan hukum peruntukkan dan pengguasaan lahan belum jelas 2
2 3
2 2
3 3
3 3
2 3
3 31
3 Kondisi politik, keamanan dan konflik internal
3 4
3 3
4 4
3 3
4 4
4 3
42 4
D. Penilaian Attractiveness Score untuk Strategi VI WT. Mengoptimalkan kemampuan kelola usaha untuk perbaikan teknis budidaya dan adopsi teknologi melalui peningkatan partisipasi dan kelembagaan petani ternak serta berkoordinasi dengan pemerintah dalam
mengakomodasi akses permodalan dan jaminan pemasaran
Faktor - Faktor Strategis Responden
Jumlah Rata-
Rata
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
AS AS
AS AS
AS AS
AS AS
AS AS
AS AS
KEKUATAN
Agrofisik dan lahan cukup potensial untuk pengembangan sapi potong 2
3 3
3 3
2 3
3 2
3 3
3 33
3 Tingkat produktivitas ternak cukup baik
3 3
3 2
2 2
3 1
1 2
2 3
27 2
Tersedianya fasilitas layanan peternakan yang memadai 3
3 3
3 3
3 3
3 3
2 3
2 34
3 Potensi Rumah Tangga Petani Ternak memungkinkan peningkatan skala usaha
3 2
3 2
3 3
2 3
2 3
2 3
31 3
Kontribusi usaha sapi potong terhadap pendapatan petani ternak meningkat 2
2 2
2 2
3 1
2 2
2 3
2 25
2
KELEMAHAN
Rendahnya partisipasi dan motivasi petani ternak 4
3 3
4 4
3 4
4 3
3 4
3 42
4 Kemampuan manajerial kelembagaan di tingkat petani ternak masih rendah
4 3
4 4
4 3
4 3
3 4
3 3
42 4
Penguasaan dan adopsi teknologi belum berkembang 3
3 3
3 3
4 3
3 3
3 3
3 37
3 Terbatasnya akses terhadap lembaga permodalan dan kemitraan usaha
3 3
3 3
2 3
3 3
3 2
3 3
34 3
Sistim tataniaga belum menjamin peningkatan insentif usaha sapi potong 3
3 4
3 3
4 2
3 3
3 4
4 39
3
PELUANG
Prospek pasar dan harga produksi ternak relatif meningkat 3
3 2
2 2
3 2
3 2
2 3
2 29
2 Dukungan kebijakan program pemerintah pusat dan daerah
3 3
4 4
4 3
4 3
3 4
3 4
42 4
Berkembangnya teknologi dan informasi yang semakin pesat 3
3 3
3 3
2 2
2 3
3 4
3 34
3 Fungsi strategis sebagai wilayah pengembangan sentra produksi sapi potong
2 2
2 3
2 2
2 3
3 2
2 3
28 2
ANCAMAN
Adanya penyakit menular dan gangguan reproduksi 3
3 3
3 4
3 4
4 4
3 3
3 40
3 Pemotongan induk betina produktif
3 3
3 3
3 3
4 3
3 3
3 3
37 3
Kekuatan hukum peruntukkan dan pengguasaan lahan belum jelas 2
2 3
2 2
3 3
3 3
2 3
3 31
3 Kondisi politik, keamanan dan konflik internal
3 3
3 3
3 3
3 3
3 3
4 3
37 3
E. Hasil Penetapan Prioritas Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong VBC di Kabupaten Aceh Besar
Kekuatan Strengths
Alternatif Strategi Bobot
Strategi I SO Strategi II WO Strategi III ST
Strategi IV WT AS
TAS AS
TAS AS
TAS AS
TAS
Agrofisik dan lahan cukup potensial untuk pengembangan sapi potong 0.127
4 0.506
3 0.380
3 0.380
3 0.380
Tingkat produktivitas ternak cukup baik 0.110
4 0.440
2 0.220
3 0.330
2 0.220
Tersedianya fasilitas layanan peternakan yang memadai 0.123
4 0.492
3 0.369
4 0.492
3 0.369
Potensi Rumah Tangga Petani Ternak memungkinkan peningkatan skala usaha 0.119 3
0.357 3
0.357 4
0.476 3
0.357 Kontribusi usaha sapi potong terhadap pendapatan petani ternak meningkat
0.107 3
0.321 3
0.321 3
0.321 2
0.214
Total
2.116 1.647
1.999 1.540
Kelemahan Weakness
Bobot AS
TAS AS
TAS AS
TAS AS
TAS
Rendahnya partisipasi dan motivasi petani ternak 0.122
3 0.366
4 0.488
3 0.366
4 0.488
Kemampuan manajerial kelembagaan di tingkat petani ternak masih rendah 0.112
3 0.336
4 0.448
3 0.336
4 0.448
Penguasaan dan adopsi teknologi belum berkembang 0.060
3 0.180
3 0.18
2 0.120
3 0.180
Terbatasnya akses terhadap lembaga permodalan dan kemitraan usaha 0.055
3 0.165
4 0.22
2 0.110
3 0.165
Sistim tataniaga belum menjamin peningkatan insentif usaha sapi potong 0.065
3 0.195
4 0.26
3 0.195
3 0.195
Total 1.242
1.596 1.127
1.476
Peluang Opportunities
Bobot AS
TAS AS
TAS AS
TAS AS
TAS
Prospek pasar dan harga produksi ternak relatif meningkat 0.180
3 0.540
3 0.54
2 0.360
2 0.360
Dukungan kebijakan program pemerintah pusat dan daerah 0.151
4 0.604
4 0.604
3 0.453
4 0.604
Berkembangnya teknologi dan informasi yang semakin pesat 0.095
3 0.285
4 0.38
3 0.285
3 0.285
Fungsi strategis sebagai wilayah pengembangan sentra produksi sapi potong 0.070
3 0.210
3 0.21
2 0.140
2 0.140
Total 1.639
1.734 1.238
1.389
Ancaman Treaths
Bobot AS
TAS AS
TAS AS
TAS AS
TAS
Adanya penyakit menular dan gangguan reproduksi 0.117
3 0.351
3 0.351
3 0.351
3 0.351
Pemotongan induk betina produktif 0.172
3 0.516
3 0.516
4 0.688
3 0.516
Kekuatan hukum peruntukkan dan pengguasaan lahan belum jelas 0.101
2 0.202
3 0.303
3 0.303
3 0.303
Kondisi politik, keamanan dan konflik internal 0.114
3 0.342
3 0.342
4 0.456
3 0.342
Total 1.411
1.512 1.798
1.512
Nilai Total 6.4082
6.4886 6.1616
5.9166 Prioritas Alternatif
II I
III IV
ABSTRACT
DARWIS EFFENDI. Pattern of Development Area of Beef Cattle at Aceh Besar District in Nanggroe Aceh Darussalam Province. Under direction of ASNATH
MARIA FUAH, RUDY PRIYANTO and EDDIE GURNADI.
Aceh Besar district have not been able to provide a source of livestock breeds and going to meet the needs of beef cattle fattening business people, so
that the dependence of the provision of livestock breeds and going from outside the area is very high. One of the potential of livestock sub-sector, especially beef
cattle farms suitable for development in Aceh Besar district is breeding beef cattle. This study aims to identify the potential and pattern of development of the
area of beef cattle in the district of Aceh Besar Aceh. The research was carried out on beef cattle breeding areas in Aceh Besar district, which was held in May
to July 2011 through the collection data by the survey method of 280 Bali cattle and 72 farmers. The data in the form of farmer characteristics, technical and
management areas of livestock farming systems were analyzed descriptively. Participation, knowledge and motivation of farmers using the Mann-Whitney
test.
Bali cattle body weight was measured through estimation by the method of regression analysis. The pattern of development area of beef cattle in the Aceh
Besar district formulated using SWOT analysis. Based on the analysis of increasing population could reach 285.9, 225.3,
54.3, and 2 Animal Unit AU for each village at Saree Aceh, Sukamulia, Data Gaseu, and Bareuh. The interviews show that in general maintenance of the
system using semi-intensive systems and the need for livestock feed entirely dependent on the forage consumed by livestock itself. Data characteristics of
farmers on the location of the study showed that most 85 of respondents breeder age ranged from 15-55 years, while over 55 years less than 15. Farmer
education levels varied, with dominated by primary 57-76. Principal jobs as farmers and ranchers are the cultivation of cattle as a sideline business.
Experience the majority of farmers still less than 5 years. Score value of knowledge, motivation and participation of cattle ranchers in Aceh Besar district
showed that the breeder has a score value which is still low 25.0 on the program area of beef cattle for breeding. The increase in population is still minus
the percentage of births is still quite low and the percentage of mortality is still high enough. Bali cattle body weight for nearly every age category and gender is
still low, mainly due to the management of livestock farming so productivity Bali cattle is not optimal. Development programe of the area of beef cattle in the
future need to consider the quality of human resources and socio-economic conditions of farmers in developing goals. Development of the area of beef cattle
in Aceh Besar district for planning and program implementation can be done by UPTD Ruminant Livestock Husbandry Department of the Aceh Besar district
includes the active role of livestock farmers in a participatory manner with the priority scale.
Keywords: Beef cattle, pattern of development area, Kabupaten Aceh Besar
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kabupaten Aceh Besar merupakan daerah otonomi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional RTRWN sebagai hinterland daerah penyangga bagi wilayah andalan ibukota provinsi yaitu Kota Banda Aceh. Sebagai pintu masuk
utama menuju Kota Banda Aceh meningkatkan fungsinya menjadi daerah penyangga di sektor pangan, pemukiman, dan transportasi. Peran yang cukup
menonjol sektor pertanian dalam struktur ekonomi daerah ditunjukkan dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Regional Brutto PDRB sebesar
30.7 dan menyerap tenaga kerja sebesar 41.7 79 325 orang dari total angkatan kerja 186 911 orang pada tahun 2009 Bappeda Aceh Besar 2010.
Peternakan merupakan sub sektor pertanian yang menjadi salah satu prioritas pembangunan ekonomi di Kabupaten Aceh Besar, terkait dengan
perannya terhadap pemantapan ketahanan pangan hewani dan pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan serta memacu pengembangan wilayah. Selama
sepuluh tahun terakhir 2000-2009 sektor peternakan mengalami pertumbuhan sebesar 4.97, terutama dipengaruhi laju peningkatan produksi daging sebesar
6,97 per tahun. Pada tahun 2009 produksi daging di Kabupaten Aceh Besar telah mencapai 2 131.1 ton, dimana sebesar 63 1 342.6 ton berupa daging
sapi. Sapi potong sebagai komoditas unggulan daerah sekaligus sentra produksi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan sebaran sebesar 16.1 dari total
populasi sebesar 688 118 ekor Dinkeswannak NAD 2010. Potensi usaha sapi potong masih cukup besar di Kabupaten Aceh Besar
terkait dengan akselerasi permintaan dan tingginya harga produk, di tingkat peternak berimplikasi terjadinya perubahan yang berorientasi ekonomi.
Perubahan pola budidaya pada usaha penggemukan ke arah intensif dengan sistem kereman meningkatkan permintaan input produksi berupa bakalan baik
kuantitas maupun kualitasnya. Usaha pembibitan sapi potong masih berjalan secara parsial yang diusahakan oleh peternakan rakyat dengan pola ekstensif
sehingga kemampuan penyedian sapi bibit dan bakalan rendah. Saputra 2008 menyatakan dalam usaha pembibitan sapi potong di Provinsi Aceh, kemampuan
peternak lokal menyediakan bibit dan bakalan hanya dapat memenuhi 15 – 20
saja dari keseluruhan kebutuhan. Kekurangan sapi bibit dan bakalan sebesar 80 masih dipasok dari luar daerah, tetapi tidak terjamin kesinambungan karena di
daerah tersebut juga terbatas sehingga harga bibit menjadi mahal. Titik kritis dalam pengembangan sapi potong adalah faktor pembibitan
dan dalam usaha pembibitan sapi potong rakyat kendala yang ditemui berkaitan dengan rendahnya produktivitas ternak dan petani ternak serta keterbatasan
modal usaha. Upaya yang dilakukan pemerintah Kabupaten Aceh Besar berupa penguatan modal kelompok melalui program Bantuan Langsung Masyarakat
BLM dan Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat BPLM. Program yang telah berjalan tersebut masih belum cukup efektif, pola budidaya sapi potong
yang tidak terkosentrasi pada suatu lokasi menyebabkan kurang optimalnya fungsi pengawasan dan pelayanan peternakan yang ditunjukkan dengan
rendahnya tingkat adopsi teknologi dan redistribusi perguliran ternak gaduhan serta kurang berkembangnya kelembagaan petani ternak.
Pengembangan peternakan berjalan lambat dan kontribusinya akan kecil terhadap perekonomian suatu daerah apabila masih menggunakan sistim
produksi tradisional. Program aplikasi pemerintah ke masyarakat petani ternak belum memberikan dampak yang meyakinkan pada penyelamatan sapi potong
khususnya di wilayah produksi. Perlu adanya perubahan strategi peningkatan populasi ternak. Sebaiknya program pembudidayaan dikonsentrasikan pada suatu
wilayah yang memiliki keunggulan komparatif dalam produksi ternak dengan pengawasan secara insentif di dalamnya Daryanto 2007.
Perubahan pola usaha pembibitan sapi potong rakyat di Aceh Besar mulai diterapkan pada beberapa kelompok peternak gaduhan pemerintah sejak tahun
2004 melalui
penerapan lokalisasi
kandang kelompok,
bertujuan mengoptimalkan fungsi pelayanan dan produktivitas kelompok. Pengembangan
program terus dilakukan dalam mendukung pengembangan wilayah potensial peternakan dan intensifikasi usaha pembibitan sapi potong rakyat. Langkah
strategis yang ditempuh pemerintah Aceh Besar pada tahun 2008 yaitu peluncuran program rintisan pembangunan kawasan sapi potong. Konsep
kawasan dengan pola Village Breeding Centre VBC dipusatkan pada dua lokasi
pengembangan yaitu Blang Ubo-Ubo kecamatan Lembah Seulawah dan Cot Seuribe kecamatan Kota Jantho. Arahan pengembangan adalah sistem
pemeliharaan induk dan anak cow-calf operation melalui pola penyedian hijauan pakan ternak campuran padang pengembalaan dan pemberian hijauan
potongan cut and carry. Total alokasi sapi bali untuk kedua kawasan tersebut berjumlah 980 ekor yang didistribusikan kepada 13 kelompok ternak dengan
total anggota 260 orang yang disertai penyedian sarana penunjang. Areal kawasan pembibitan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar diplotkan seluas 3
560 ha Tabel 1. Luasan lahan potensial pengembangan kawasan sebesar 8.25 293.72 ha di Blang Ubo-Ubo dan 39.37 1 401.57 ha di Cot Seuribe berupa
padang rumput, alang-alang dan semak belukar Disnak Aceh Besar 2009. Tabel 1. Luas penggunaan lahan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar
Penggunaan Luas Kawasan
Blang Ubo-Ubo Cot Seuribe
ha ha
Pemukiman Kebun campuran
Sawah Tegalan
Alang-alang dan padang rumput Semak belukar
12.5 80.9
- 1.9
340.2 124.5
2.2 14.4
0.3 60.8
22.2 70.3
433.7 38.8
573.9 1 216.4
667 2.3
14.5 1.3
19.1 40.5
22.2
Total 560
100 3 000
100 Sumber: Dinas Peternakan Aceh Besar 2009
Kawasan peternakan dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan dan berperan membina unit usaha yang ada menjadi kawasan peternakan
berwawasan agribisnis. Optimalisasi peranan kelembagaan dan kemampuan usaha agribisnis petani ternak dilakukan melalui peningkatan populasi dan
kapasitas produksi ternak di setiap kawasan sehingga berdampak perbaikan pendapatan dan kesejahteraan petani. Pengembangan kawasan dilakukan dengan
memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan, ternak, dan faktor produksi lainnya berupa tenaga kerja dan modal kerja Ditjen Peternakan 2001.
Pengembangan produksi sapi potong harus dipertimbangkan berbagai aspek penting yang berkaitan dengan sumber daya lokal seperti kondisi
agroekologi, daya dukung wilayah, nilai ekonomi, serta faktor kendala melalui
pendekatan wilayah dan proses partisipasi yang disinergikan dengan arahan pembangunan daerah Deptan RI 2001. Oleh karenanya, dalam mengevaluasi
kawasan agribisnis sapi potong diperlukan adanya suatu pedoman evaluasi yang dikembangkan berdasarkan komponen kawasan yang meliputi; lahan, pakan,
ternak, teknologi, peternak, tenaga pendamping, fasilitas dan kelembagaan. Indikator komponen kawasan kemudian disusun dan ditetapkan sebagai faktor
penentu tingkat perkembangan kawasan Deptan RI 2002a. Sebagai program rintisan, perkembangan kawasan sapi potong di
Kabupaten Aceh Besar perlu dikaji untuk mengetahui faktor kendala teknis maupun non teknis sehingga dapat dirumuskan solusi perbaikan dimasa yang
akan datang. Untuk itu diperlukan penelitian yang komprehensif untuk menganalisa berbagai komponen yang terlibat dalam kawasan sapi potong rakyat
di Kabupaten Aceh Besar beserta pengaruh faktor eksternal terhadap produktivitas kawasan. Penentuan faktor kendala dan prioritas tingkat
pengaruhnya terhadap perkembangan kawasan menjadi pertimbangan yang menentukan pola pengembangan kawasan sapi potong berbasis sumberdaya
lokal yang tersedia.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan : 1.
Mengidentifikasi dan menganalisa potensi, pola manajemen, dan karakteristik produksi kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar.
2. Menentukan strategi peningkatan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas
kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar . 3.
Menentukan pola pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pemerintah daerah dan pihak terkait untuk menentukan strategi
dan kebijakan pola pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar.
KERANGKA PEMIKIRAN
Pembangunan kawasan peternakan merupakan strategi umum untuk meningkatkan kesejahteraan peternak dan daya saing produk pertanian serta
berperan dalam pelestarian sumberdaya pertanian Saragih 2000. Kawasan produksi ternak merupakan areal terbatas dengan batas fisik dan administratif
yang jelas untuk kegiatan budidaya ternak pembibitan, pembesaran dan penggemukan, ditunjang oleh sarana produksi memadai seperti pakan, kandang,
gudang, dan tempat penjaga kandang yang seluruhnya dikelola oleh manajemen yang tergabung dalam kelompok atau koperasi peternakan Abdullah 2009.
Posisi ternak sesuai fungsi pemanfaatan dan pengembangannya dalam budidaya ada tiga, yaitu ternak sebagai sumberdaya, ternak sebagai komoditas
dan ternak sebagai penghasil produk. Ternak sebagai sumberdaya harus dijaga keberadaannya karena dari kelompok ini akan dihasilkan ternak sebagai
komoditas yang selanjutnya dari ternak komoditas akan menghasilkan ternak bakalan unggul atau ternak sebagai penghasil produk Yusdja dan Ilham 2006.
Ketiga fungsi ternak tersebut akan lebih efisien dan efektif bila dilaksanakan melalui keterpaduan dalam suatu kawasan peternakan. Kawasan peternakan
dalam perkembangannya akan berinteraksi dengan wilayah disekitarnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu dalam melakukan
pengembangan kawasan sapi potong rakyat tidak dapat dilakukan secara parsial, juga harus dipertimbangkan interaksi dengan wilayah produksi disekitarnya.
Hal tersebut terkait dengan penyebaran penyakit, konflik penggunaan lahan, keamanan, aliran sarana produksi, distribusi dan pemasaran ternak.
Perkembangan kawasan sangat ditentukan oleh faktor-faktor penentu dan upaya pengembangan kawasan akan dapat efektif apabila variabel penentu
perkembangan kawasan tersebut dapat teridentifikasi secara baik. Sementara variabel penentu secara lebih spesifik saat ini belum terumuskan secara
sistematis dan konkrit. Setiap wilayah dapat memiliki kawasan tertentu sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah setempat sehingga kawasan agribisnis
peternakan di masing-masing wilayah mempunyai karakteristik dan pola yang sangat beragam Deptan RI 2002a.
Pengembangan kawasan sapi potong dalam penelitian ini mengandung lima dimensi utama yang terdiri dari wilayah, ternak, sumberdaya manusia,
teknis peternakan dan faktor eksternal. Setiap dimensi tersebut memiliki indikator dan kriteria yang mencerminkan keberlanjutan dari dimensi
bersangkutan. Indikator wilayah dicerminkan oleh kesesuaian lahan bagi pengembangan produksi sapi potong berupa daya dukung hijauan pakan dan
agrofisik wilayah. Indikator ternak dicerminkan oleh tingkat produktivitas ternak dan kontribusi usaha sapi potong. Indikator sumberdaya manusia
dicerminkan oleh ketersedian keluarga petani ternak, motivasi dan partisipasi peternak terhadap usaha sapi potong. Indikator teknis
peternakan dicerminkan oleh manajemen produksi, ketersedian f asilitas layanan peternakan dan kelembagaan. Indikator faktor eksternal
dicerminkan oleh dukungan kebijakan pemerintah daerah, kelengkapan sarana prasarana penunjang, peluang pasar, kondisi sosial ekonomi dan
interaksi dengan wilayah disekitarnya. Penyusunan pola pengembangan kawasan sapi potong rakyat Gambar 1
dimulai dengan mengidentifikasi lingkungan strategis berupa faktor internal komponen kawasan dan faktor eksternal dari kondisi kawasan sapi potong
rakyat Blang Ubo-ubo dan Cot Seuribe di Kabupaten Aceh Besar. Analisis lingkungan strategis dilakukan melalui matriks IFE Internal Factor Evaluation
dan EFE External Factor Evaluation, sehingga diketahui kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman terhadap perkembangan kawasan
tersebut. Selanjutnya disusun suatu formulasi strategi menggunakan matriks SWOT Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats. Penentuan alternatif pola
pengembangan kawasan sapi potong meliputi pada empat tipe strategi yaitu strategi SO, strategi WO, strategi ST dan strategi WT. Penentuan prioritas dari
alternatif yang dihasilkan ditentukan melalui Matriks Perencanaan Strategi Kuantitatif QSPM. Pola pengembambangan kawasan sapi potong rakyat yang
menjadi prioritas utama merupakan acuan konseptual untuk penetapan pola pengembangan kawasan sapi potong rakyat berdasarkan pertimbangan setiap
faktor internal dan eksternal.
Keterangan : AHP = Analytical Hierarchy Process Saaty 1993 SWOT = Analisis SWOT David 2001
QSPM = Quantitative Strategic Planning Matrix David 2001
Gambar 1 Kerangka pemikiran penentuan pola pengembangan kawasan sapi
potong rakyat di Kabupaten Aceh Besar
Komponen Kawasan
KPPTR Potensi Pengembangan
Ternak Efektif PPE Agrofisik dan
Potensi lahan Rumah
Tangga Petani KK,
motivasi dan partisipasi
peternak Kesesuaian
wilayah Teknis
Peternakan
Manajemen produksi,
fasilitas layanan
peternakan dan
kelembagaa
SWOT
Alternatif Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong Rakyat
Prioritas Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong Rakyat
-
Kebijakan pemerintah
-
Sarana prasarana
-
Pasar -
Sosial budaya
AHP Sumberdaya
manusia Potensi
Ternak
Produktivitas ternak
Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong Rakyat di Kabupaten Aceh Besar
Tingkat Perkembangan Kawasan
QSPM Faktor Eksternal
Kondisi Kawasan Sapi Potong Blang Ubo-ubo dan Cot Seuribee Di Kabupaten Aceh Besar
TINJAUAN PUSTAKA
Produksi Sapi Potong di Provinsi Nanggroe AcehDarussalam
Pembangunan peternakan sapi potong saat ini dilakukan secara bersama oleh pemerintah, peternak rakyat dan swasta. Pemerintah menetapkan kebijakan,
memfasilitasi dan mengawasi aliran dan ketersediaan produk baik jumlah maupun mutunya, agar terpenuhi halal, aman, bergizi dan sehat. Swasta dan petani ternak
berperan seluas-luasnya dalam mewujudkan kecukupan produk peternakan melalui produksi, importasi, pengolahan, pemasaran dan distribusi produk sapi
potong Bamualim et al. 2008. Sebagai negara agraris perkembangan sektor peternakan di Indonesia tidak terlepas dari berbagai sektor lainnya terutama pada
usaha peternakan sapi potong yang sangat dipengaruhi oleh kegiatan pertanian sawah dan ladang serta penyebaran penduduk.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sampai saat ini memiliki tingkat kemampuan pasokan produksi daging sapi relatif rendah dibandingkan
pertumbuhan permintaan yang terus meningkat. Kapasitas produksi daging sapi pada tahun 2007 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebesar 5 277.9 ton
sedangkan kebutuhannya sebesar 6 877.8 ton, sehingga 1 599.9 ton 23.26 daging sapi belum terpenuhi. Kondisi tersebut menyebabkan wilayah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam menjadi salah satu pasar daging sapi yang sangat terbuka bagi wilayah lain dan menjadi suatu tantangan sekaligus peluang bagi
pembangunan sektor peternakan daerah khususnya untuk komoditas sapi potong. Potensi wilayah dan daya dukung lahan di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam sangat mendukung untuk pengembangan peternakan sapi potong. Pada tahun 2007 potensinya diperkirakan masih dapat menampung ternak sapi
sebanyak 2.45 juta ST Satuan Ternak dan baru dimanfaatkan sebesar 6.14 ribu ST. Selain itu jumlah penduduk sebesar 4.22 juta jiwa merupakan konsumen yang
besar dan masih tetap tumbuh sekitar 1.1 per tahun, kondisi geografis dan sumber daya alam yang mendukung usaha dan industri peternakan serta
meningkatnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya gizi. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan ternak sapi potong di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah; a masih kurangnya akses
peternak terhadap pemasaran, b menurunnya kualitas genetik sapi potong, c peternak masih memposisikan diri sebagai pemelihara dengan tenaga kerja yang
berasal dari keluarga, d kecilnya skala kepemilikan ternak 2 – 4 ekor per
keluarga dengan lokasi yang terpencar, e belum intensifnya pola pengembangbiakan sapi potong sehingga penggunaan teknologi inseminasi
buatan IB serta teknologi transfer embrio masih kurang optimal, dan f masih terjadinya pemotongan sapi betina produktif dalam mencukupi kebutuhan daging
sapi. Kondisi tersebut mengakibatkan rendahnya tingkat keberhasilan kebuntingan dan kualitas bibit yang dihasilkan sehingga secara keseluruhan akan
menurunkan tingkat produktifitas sapi potong di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Saputra 2008.
Kondisi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara keseluruhan tidak terlepas dari melemahnya potensi produksi daerah sentra produksi sapi potong,
dimana salah satunya adalah Kabupaten Aceh Besar. Sebagai komoditas unggulan di Kabupaten Aceh Besar pertumbuhan populasi sapi potong
berfluktuatif selama kurun waktu 2000 – 2009, yakni dari 4.2 sebelum tahun
2004 menjadi 2.5 setelah tahun 2004. Melemahnya potensi produksi sapi potong terjadi pada kurun waktu tahun 2004
– 2005, dimana terjadi penurunan populasi sebesar 22 dari sebelumnya sebesar 125 219 ekor 2004 menjadi 97
224 ekor 2005. Kondisi tersebut disebabkan hilangnya ternak sapi masyarakat yang cukup besar dampak bencana tsunami yang terjadi di Kabupaten Aceh
Besar pada akhir tahun 2004 Dinkeswannak NAD 2010.
Faktor Produksi Pengembangan Usaha Sapi Potong
Kendala dan peluang pemeliharaan sapi potong di suatu wilayah harus memperhatikan tiga faktor, yaitu faktor teknis, sosial dan ekonomis.
Pertimbangan teknis mengarah pada kesesuaian sistem reproduksi yang berkesinambungan, ditunjang oleh kemampuan manusia, dan kondisi
agroekologis. Pertimbangan sosial dimaksudkan eksistensi teknis ternak di suatu daerah dapat diterima oleh sistem sosial masyarakat. Pertimbangan
ekonomis mengandung arti bahwa ternak harus menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian daerah serta bagi pemeliharanya sendiri. Faktor lainnya secara
eksternal di antaranya; infrastruktur, keterpaduan dan terkoordinasi lintas sektoral, perkembangan penduduk serta kebijakan perkembangan wilayah atau
kebijakan pusat dan daerah Santosa 2001. Untuk memperhitungkan potensi wilayah untuk produksi ternak herbivora
pemakan hijauan maka perhitungan kepadatan teknis ternak yang diperlukan adalah jumlah satuan ternak ST ternak herbivora saja. Semakin rendah
angka kepadatan teknisnya, maka berarti kemungkinan wilayah tersebut mempunyai potensi yang tinggi untuk pengembangan ternak. Dari angka kepadatan
teknis maka akan didapatkan gambaran kasar tentang potensi suatu wilayah untuk pengembangan ternak. Potensi yang sesungguhnya akan ditentukan oleh tingkat
produksi hijauan makanan ternak di wilayah bersangkutan. Kemampuan produksi hijauan makanan ternak akan bergantung kepada: 1 derajat kesuburan
tanah, 2 iklim, 3 tataguna tanah, dan 4 topografi. Lebih lanjut dikatakan bahwa untuk memperhitungkan potensi yang sesungguhnya, maka hanya
tanah-tanah yang potensial untuk menghasilkan hijauan makanan ternak saja yang
diperhitungkan, misalnya
tanah pertanian,
perkebunan, padang penggembalaan dan sebahagian dari kehutanan Natasasmita dan Mudikdjo
1980. Selanjutnya disebutkan bahwa, ketersediaan air juga harus diperhitungkan dalam usaha peternakan sapi potong. Sapi yang kekurangan air menyebabkan
aktivitas sel-sel tubuhnya akan terganggu sehingga tubuh sakit dan pertumbuhannya akan terganggu. Kebutuhan air bagi tiap ekor sapi dewasa
diperhitungkan berkisar 40 liter sehari dan di padang penggembalaan diusahakan jarak mencapai sumber air tidak lebih dari 1.6 km agar sapi tidak terlalu letih.
Subagio dan Kusmartono 1988 menyatakan aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam penentuan kapasitas tampung ternak terutama berkaitan
dengan ketersediaan hijauan pakan di padang penggembalaan yaitu: 1.
Penaksiran kuantitas produksi hijauan, dilakukan dengan metode cuplikan dengan memakai frame berukuran bujur sangkar. Pengambilan sampel di
lapangan dilakukan secara acak, ditentukan dengan melihat homogenitas lahan yaitu komposisi botani, penyebaran produksi, serta topografi lahan. Hijauan
yang terdapat dalam areal frame dipotong lebih kurang 5 - 10 cm diatas permukaan tanah dan ditimbang beratnya.
2. Penentuan Proper Use Factor. Konsep Proper Use Factor PUF besarnya
tergantung pada jenis ternak yang digembalakan, spesies hijauan di padangan, tipe iklim setempat serta kondisi tanah. Untuk penggunaan padangan ringan,
sedang, dan berat nilai PUF masing-masing adalah 25 – 30 , 40 – 45 , dan
60 –70 . Konsep ini digunakan dalam menaksir produksi hijauan karena: a
Erodibilitas lahan. Jika lahan mudah mengalami erosi dengan hamparan vegetasi rendah, sebaiknya tidak terlalu banyak hijauan dipanen, b Pola
pertumbuhan kembali
hijauan. Bila
hijauannya mempunyai
pola pertumbuhan setelah panen lamban, maka sebaiknya tidak semua hijauan
yang ada diperhitungkan untuk menentukan jumlah ternak yang akan dipelihara, dan c Jenis dan perkiraan jumlah ternak yang akan dipelihara.
Semakin banyak jenis temak yang dipelihara maka injakan ternak terhadap rerumputan mengakibatkan tidak 100 hijauan yang ada dapat dikonsumsi
ternak. 3.
Menaksir kebutuhan luas tanah per bulan, didasarkan pada kemampuan ternak
mengkonsumsi hijauan. 4.
Menaksir kebutuhan luas tanah per tahun. Suatu padangan memerlukan masa
agar hijauan yang telah dikonsumsi ternak tumbuh kembali dan siap untuk digembalai lagi. Masa ini disebut sebagai periode istirahat. Padang rumput
tropika membutuhkan waktu 70 hari untuk istirahat setelah digembalai selama 30 hari.
Salah satu upaya untuk meningkatkan populasi, produksi dan produktivitas sapi potong adalah dengan menggunakan bibit sapi potong yang
berkualitas, karena hal ini merupakan salah satu faktor produksi yang menentukan dan mempunyai nilai strategis dalam upaya pengembangan
peternakan sapi potong secara berkelanjutan Deptan 2006. Bibit sapi potong yang baik menurut Wiyono dan Aryogi 2007 harus memenuhi kriteria umum
sebagai berikut : a.
Kesesuaian warna tubuh dengan bangsanya, sapi PO berwarna putih, sapi Madura berwarna coklat, dan sapi Bali betina berwarna merah bata serta
jantan dewasa berwarna hitam.
b. Keserasian bentuk dan ukuran antara kepala, leher dan tubuh ternak dengan
tingkat pertambahan berat badan ternak yang tinggi pada umur tertentu. c.
Ukuran tinggi punuk minimal pada calon bibit sapi potong indukan dan pejantan mengacu pada standar bibit populasi lokal, regional atau nasional.
d. Tidak tampak adanya cacat tubuh yang dapat diwariskan, baik yang dominan
terjadi pada sapi yang bersangkutan maupun yang resesif tidak terjadi pada sapi yang bersangkutan, tetapi pada sapi tetua atau pada sapi keturunannya.
e. Untuk pejantan, testis sapi umur diatas 18 bulan harus simetris bentuk dan
ukuran yang sama antara skrotum kanan dan kiri, menggantung dan mempunyai ukuran lingkaran terpanjangnya melebihi 32 cm 32
– 37 cm. f.
Kondisi sapi sehat yang diperlihatka dengan mata yang bersinar, gerakannya lincah tetapi tidak liar dan tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan pada
organ reproduksi luar, serta bebas dari penyakit menular terutama yang dapat ditularkan melalui aktivitas reproduksi.
Usahatani sebagai suatu sistem dalam pendekatannya ada dua hal yang perlu mendapatkan perhatian. Pertama, adalah struktur dari sistem tersebut dan
kedua, fungsi dari komponen-komponen pembentuk sistem itu sendiri. Dalam fungsinya sebagai sistem usahatani, ternak akan berintegrasi dengan lahan,
komoditi lain yang diusahakan dan dengan petani sebagai pengelola usaha tani. Interaksi ternak dengan petani, mencakup empat aspek penting yaitu: a
keserasian ternak dengan tujuan petani, b kesenangan petani dan ketrampilannya memelihara ternak, c kemampuan petani dari segi waktu
dan tenaga kerja pemelihara, dan d keadaan sosial budaya lingkungan setempat Siregar 1997.
Partisipasi merupakan kesediaan membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa mengorbankan
kepentingan diri sendiri. Partisipasi dalam pembangunan adalah peran serta seseorang atau sekelompok masyarakat dalam proses pembangunan baik berupa
pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberikan masukkan berupa pikiran, tenaga, waktu, keahlian, materi serta ikut memanfaatkan dan
menikmati hasil-hasil pembangunan Rakhmat 2000.
Persoalan biaya memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan dari suatu usaha. Secara umum biaya produksi dimaksudkan
sebagai jumlah kompensasi yang diterima pemilik faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi suatu usaha. Penerimaan usahatani atau
disebut juga sebagai pendapatan kotor usahatani gross farm income
didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu. Jangka waktu perhitungan yang biasa digunakan adalah setahun Ukuran ini juga
merupakan indikator hasil perolehan seluruh sumberdaya yang digunakan dalam usaha tani Soekartawi et al. 1986.
Pendapatan bersih usaha tani net farm income dibedakan menjadi dua katagori. Katagori pertama adalah pendapatan tunai usaha tani yang
merupakan selisih antara penerimaan total total cash income dengan biaya tunai total total cash expense, pendapatan tunai ini masih disesuaikan dengan
beberapa pengeluaran non tunai seperti penyusutan dan per ubahan investasi. Sebagai katagori kedua adalah pendapatan bersih usahatani net
farm income yang merupakan hasil penyesuaian pengurangan antara pendapatan tunai dengan biaya non tunai Kay 1981.
Potensi Pengembangan Sapi Bali
Sapi potong di Indonesia diklasifikasikan menjadi beberapa rumpun berdasarkan habitat wilayahnya antara lain adalah sapi Bali, Peranakan Ongol
PO, Sumba Ongol SO, Madura, Aceh, Pesisir dan Brahman. Hardjosubroto 1994 dan Soesanto 1997 menyatakan bahwa sapi Bali termasuk sapi unggul
dengan reproduksi tinggi, bobot karkas tinggi, mudah digemukkan dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga dikenal sebagai sapi perintis.
Sebagai sapi asli yang potensi reproduksinya lebih baik dibanding sapi lainnya maka upaya pengembangan sapi Bali sangatlah memungkinkan karena
didukung oleh kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang sangat tinggi. Martojo 1992 menyatakan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga
kerja dan produksi daging dalam negeri, penggunaan sapi Bali di berbagai wilayah Indonesia mempunyai prospek yang sama baiknya.
Peranginangin 1990 yang melakukan penelitian di Bali memperoleh kematian pedet sebesar 11.18 umumnya akibat terserang penyakit Jembrana,
sedang Tanari 1999 pada lokasi yang sama memperoleh angka kematian pedet yang lebih rendah sebesar 7.26 terhadap kelahiran atau sebesar 1,84 dari
populasi. Kemampuan lain yang dapat diandalkan untuk pengembangan populasi sapi Bali adalah jarak beranak calving interval yang cukup baik
yakni bisa menghasilkan satu anak satu tahun. Djagra dan Arka 1994 memperoleh calving interval sebesar 14
– 15 bulan, sedangkan Tanari 1999 memperoleh calving interval sebesar 12.19±0.06 bulan dikarenakan manajemen
reproduksi yang dilaksanakan di Bali cukup baik yakni umumnya perkawinan dilaksanakan dengan teknik inseminasi buatan ditunjang oleh biologi reproduksi
sapi Bali yang cukup baik dimana fertilitasnya tinggi sekitar 83. Produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor lingkungan sampai 70
dan faktor genetik hanya sekitar 30. Diantara faktor lingkungan tersebut, aspek pakan mempunyai pengaruh paling besar yaitu sekitar 60 Maryono dan
Romjali 2007. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun potensi genetik ternak tinggi, namun apabila pemberian pakan tidak memenuhi persyaratan kuantitas
dan kualitas, maka produksi yang tinggi tidak akan tercapai Andini et al. 2007. Pakan utama ternak ruminansia adalah hijauan yaitu sekitar 60-70 dan
pakan yang baik adalah murah, mudah didapat, tidak beracun, disukai ternak, mudah diberikan dan tidak berdampak negatif terhadap produksi dan kesehatan
ternak serta lingkungan Maryono dan Romjali 2007. Kemampuan reproduksi seekor ternak akan berpengaruh terhadap
penampilan produksi dari ternak tersebut, terutama pada jumlah anak yang dilahirkan. Terdapat empat hal yang menjadi kendala reproduksi ternak sapi
potong, yaitu : 1 lama bunting yang panjang, 2 panjangnya interval dari melahirkan sampai estrus pertama, 3 tingkat konsepsi yang rendah, dan 4
kematian anak sampai umur sapih yang tinggi. Aktivitas reproduksi dan jarak beranak sebagian besar 95 dipengaruhi oleh faktor non genetik dan
lingkungan, mencakup tatalaksana pakan dan kesehatan. Adanya perbedaan penampilan reproduksi bangsa ternak di suatu wilayah dipengaruhi oleh
keragaman lingkungan yang meliputi keragaman genetik, ketersediaan nutrisi, dan tatalaksana reproduksi Toelihere 1983.
Melaksanakan pengembangan populasi sapi Bali, penentuan pengeluaran ternak termasuk pengendalian pemotongan ternak betina produktif perlu
diperhatikan dan menghitung dengan tepat jumlah sapi Bali yang dapat dikeluarkan agar tidak mengganggu keseimbangan populasinya dari suatu
wilayah Putu et al. 1997. Out put sapi potong dari suatu wilayah tertentu agar keseimbangan populasi ternak potong tersebut tetap konstan dipengaruhi oleh
natural increase, tingkat kematian ternak, kebutuhan ternak pengganti, jumlah ternak tersingkir, pemasukan ternak hidup dan besarnya proyeksi kenaikan
populasi ternak di daerah tersebut Hardjosubroto 1994.
Pola Pengembangan Usaha Sapi Potong Di Indonesia
Budidaya sapi potong merupakan suatu kegiatan pemeliharaan sapi potong secara terkontrol untuk tujuan produksi yang terdiri dari usaha
pembibitan dan usaha penggemukan sapi. Pada suatu kawasan agribisnis sapi potong terdapat juga kombinasi usaha pembibitan dan penggemukan sapi.
Pembibitan sapi merupakan kegiatan pemeliharaan sapi bibit baik secara intensif melalui manajemen yang terkontrol maupun ekstensif dilepas di padang
penggembalaan dengan tujuan untuk menghasilkan sapi bibit pengganti replacement stock dan sapi bakalan. Induk sapi dan anak dalam sistem ini
dipelihara bersama hingga mencapai masa penyapihan. Output yang dihasilkan dalam kegiatan ini adalah anak sapi sapihan jantan dan betina. Sedangkan
penggemukan sapi bertujuan untuk menghasilkan sapi potongan yang sesuai dengan spesifikasi pasar Deptan RI 2002a.
Basis pembibitan sapi potong di Indonesia adalah pembibitan rakyat yang cirinya tidak terstruktur, skala usaha kecil, manajemen sederhana, pemanfaatan
teknologi seadanya, dan dikembangkan dengan pola peternakan rakyat cow-calf operation yang umumnya terintegrasi dengan kegiatan lain. Problem yang
dihadapi usaha pengembangan peternakan rakyat adalah ketepatan pengalokasian sumberdaya, termasuk pengalokasian jenis ternak kepada suatu daerah dan
peternak dengan kondisi yang sangat beragam. Selama struktur produksi di
dominasi oleh usaha skala kecil yang berorientasi pada usahatani keluarga, maka program pengembangan ternak rakyat harus didasarkan pada pendekatan
sistem pertanian secara menyeluruh dengan pendekatan keilmuan, terpadu dan spesifik lokasi, dimana petani hidup dan bekerja Sabrani et al. 1981.
Usaha untuk mencapai tujuan pengembangan ternak dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu ; 1 pendekatan teknis dengan meningkatkan
kelahiran, menurunkan kematian, mengontrol pemotongan ternak dan perbaikan genetik ternak, 2 pendekatan terpadu yang menerapkan teknologi produksi,
manajemen ekonomi, pertimbangan sosial budaya yang mencakup dalam “Sapta Usaha Peternakan”, serta pembentukan kelompok peternak yang bekerjasama
dengan instansi-instansi terkait, dan 3 pendekatan agribisnis dengan tujuan: mempercepat pengembangan peternakan melalui integrasi dari keempat aspek
yaitu input produksi lahan, pakan, plasma nutfah, dan sumberdaya manusia, proses produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran Gunardi 1998.
Pengembangan dibidang peternakan dilakukan melalui strategi pengembangan pilar peternakan utama yaitu: 1 pengembangan potensi ternak
dan bibit temak, 2 pengembangan pakan ternak, 3 pengembangan teknologi budidaya. Ketiga pilar utama peternakan terkait dengan sanitasi dan kesehatan
ternak serta peningkatan industri dan pemasaran hasil peternakan, pengembangan kelembagaan usaha dan keterampilan peternak serta kawasan
pengembangan peternakan Sudardjat 2000. Kebijakan pembangunan peternakan yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
peternak melalui pengembangan kawasan dilakukan dengan pengelolaan sumberdaya secara optimal. Oleh karena itu, sentra peternakan yang sudah ada
dan kawasan di setiap kabupaten, kotamadya, atau kecamatan yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan peternakan rakyat, sudah saatnya
diupayakan untuk ditingkatkan melalui sistem agribisnis BAPPENAS 2004. Model pembangunan peternakan yang dapat digunakan untuk
meningkatkan produksi dan pendapatan petani ternak serta asas industrialisasi peternakan sapi potong yaitu: a penyediaan bakalan; b
pengembangan plasma nuftah; c pengembangan bapak angkat; d pengembangan pola PIR Perusahaan Inti Rakyat; e Pola Mitra Usaha; f
pengembangan pola koperasi; g pengembangan pola imbal beli; h pengembangan sistem bina renteng; i pengembangan pola Sumba Kontrak; j
pengembangan dengan sistem bagi hasil; k pengembangan melalui pembinaan pasar Tawaf 1993.
Usaha penggemukan sapi potong sangat tergantung pada ketersediaan sapi bakalan, pakan dan teknologi tepat guna. Model usaha sapi potong yang
telah diperkenalkan dan masih relevan diterapkan adalah Perusahaan Inti Rakyat PIR sapi potong Ditjennak 1993 dalam Gurnadi 2004 dan Sistem
Komoditi Agribisnis Sapi Potong Gurnadi 2004, dijelaskan sebagai berikut : 1. PIR Penggemukan
Budidaya penggemukan sapi potong diselenggarakan dalam bentuk kerjasama diantara perusahaan Inti yang menyediakan sarana produksi,
penggolahan dan pemasaran, dengan peternak plasma sebagai pelaksana budidaya seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.
Gambar 2. Model Perusahaan Inti Rakyat PIR Penggemukan Sapi
KERJASAMA PERUSAHAAN
PETERNAK AGRIBISNIS
SAPRODI BUDIDAYA
PENGOLAHAN PEMASARA
N
Kerjasama
Sumber: Ditjennak 1993 dalam Gurnadi 2004
2. PIR Pakan Pola kerjasama dimana plasma menyediakan pakan ternak bagi usaha
penggemukan sapi yang dilakukan oleh perusahaan inti, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.
PERUSAHAAN INTI
PETERNAK PLASMA
- Bakalan - Pakan
-Teknologi
Penggemukan Pengolahan
RPH DOMESTIK
Substitusi Impor
EKSPOR
Gambar 3. Model Perusahaan Inti Rakyat PIR Pakan
KERJASAMA PERUSAHAAN
PETERNAK AGRIBISNIS
SAPRODI BUDIDAYA PENGOLAHAN PEMASARAN
Kerjasama
Sumber: Ditjennak 1993 dalam Gurnadi 2004
3. PIR Sapi Bakalan PIR Sapi Bakalan adalah pola kerjasama perusahaan Inti dengan peternak
sebagai plasma dimana plasma mendapat pelayanan dan bimbingan dari Inti untuk memproduksi sapi bakalan, sedangkan Inti memberikan pelayanan
melalui Inseminasi Buatan IB atau Embryo Transfer ET seperti ditunjukkan Gambar 4.
Gambar 4. Model Perusahaan Inti Rakyat PIR Sapi Bakalan melalui IB
KERJASAMA PERUSAHAAN
PETERNAK AGRIBISNIS
SAPRODI BUDIDAYA
PENGOLAHAN PEMASARAN
Kerjasama
Sumber: Ditjennak 1993 dalam Gurnadi 2004
PERUSAHAAN INTI
PETERNAK PLASMA
- Bakalan - Pakan
-Teknologi
Pakan Pengolahan
RPH DOMESTIK
Substitusi Impor
EKSPOR Feed-Lot
Fattening 4-6 bulan
PERUSAHAAN INTI
PETERNAK PLASMA
- Bakalan - Pakan
-Teknologi
Bibit Pengolahan
RPH DOMESTIK
Substitusi Impor
EKSPOR
Anak JTN Digemukkan
Anak BTN Bibit
4. Model Sistem Komoditi Agribisnis Sapi Potong Model Sistem Komoditi Agribisnis Sapi Potong ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Model Sistem Komoditi Agribisnis Sapi Potong
Keterangan : Subsistem I = Pusat R D dan penyalur Input Modern
Subsistem II = Produser PRIMER Peternak Mitra, Peternak Rakyat Subsistem III = Produsen Primer Plus
“Feed-Lotter” Subsistem IV = Produsen Sekunder RPH
Subsistem V = Produsen Sekunder Plus pabrik pengolah dan konsumen antara Subsistem VI = Subsistem Tersier konsumen akhir
Sumber : Gurnadi 2004
Model Sistem Komoditi Agribisnis Sapi Potong dibagi menjadi enam subsistem usaha, yang dapat dijelaskan sebagai berikut ;
Subsistem I Subsistem II
Subsistem III Subsistem IV
Subsistem V Subsistem
V
a. Subsistem I MB-SS I merupakan usaha pelayanan pendukung yang
menyediakan bibit sapi, bibit tanaman makanan ternak, vaksin, obat- obatan, dan sarana lainnya. Selain itu juga merupakan pusat penelitian
dan pengembangan sarana dan prasarana produksi yang dibutuhkan subsistem lainnya.
b. Subsistem II MB-SS II merupakan kelompok peternak mitra atau
peternak rakyat, sebagai produsen primer yang menghasilkan sapi potongan hasil penggemukan atau sapi bakalan yang dapat dijual ke
peternakan inti pada Subsistem III. c.
Subsistem III merupakan perusahaan inti yang mempunyai modal cukup. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan adalah menghasilkan sapi bakalan,
sapi hasil penggemukan, RPH dan pabrik pengolahan. d.
Subsistem IV dan III merupakan satu unit usaha atau unit usaha yang terpisah.
e. Subsistem V dan Subsistem VI merupakan pasar.
Kawasan Agribisnis Sapi Potong
Pengembangan model kawasan secara ekonomi merupakan upaya efisiensi kegiatan usaha dalam suatu ruang ekonomi tertentu melalui konsentrasi
kegiatan atau aglomerasi. Aglomerasi dimaksudkan untuk memperoleh manfaat antara lain; 1 memaksimumkan keuntungan usaha karena berbagai kegiatan
berada pada satu lokasi yang terjangkau; 2 memaksimumkan pelayanan fasilitas sehingga dapat menekan biaya transportasi; 3 lebih menjamin
keterkaitan agribinsis hulu-hilir; dan 4 memudahkan koordinasi dan pembinaan pelakupengelola. Manfaat aglomerasi dapat diwujudkan apabila; 1 proses
produksi dilakukan secara efisien; 2 pelayanan fasilitas dilakukan seefisien dan seefektif mungkin; 3 terjaminnya pasokan bahan baku, distribusi, dan kualitas
produk; dan 4 adanya sistem pembinaan yang kondusif Deptan RI 2002a. Kawasan peternakan merupakan suatu kawasan yang secara khusus
diperuntukkan untuk kegiatan peternakan atau terpadu sebagai komponen usahatani berbasis tanaman pangan, perkebunan, hortikultura atau perikanan
dan terpadu sebagai komponen ekosistem tertentu kawasan hutan lindung dan
suaka alam, sedangkan kawasan agribisnis peternakan adalah kawasan peternakan yang berorientasi ekonomi dan memiliki sistem agribisnis
berkelanjutan yang berakses ke industri hulu maupun hilir Deptan RI 2002b. Komponen-komponen pembentuk kawasan peternakan sapi potong yang
menjadi indikator penentuan suatu bentuk kawasan meliputi lahan, pakan, ternak sapi potong, teknologi, peternak dan petugas pendamping, kelembagaan, aspek
manajemen usaha, dan fasilitas Deptan RI 2002a. Menurut Bappenas 2004, dipandang dari segi potensi agroekosistem
dan tingkat kemandirian kelompok, kawasan peternakan bisa dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: kawasan baru, kawasan binaan, dan kawasan
mandiri. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ketiga macam kawasan itu adalah merupakan tahapan pengusahaan pengembangan kawasan peternakan
rakyat. Tahapan ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.
Kawasan Peternakan Baru Kawasan ini dikembangkan dari daerah atau wilayah kosong ternak atau
jarang ternak, tapi memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi suatu kawasan peternakan. Petani telah memiliki usaha tani lain terlebih dahulu,
atau belum memiliki usaha apapun di sektor agribisnis. Demikian pula kelompok petaninya juga belum terbentuk, kalaupun sudah ada tapi belum
memiliki kelembagaan yang kuat kelompok pemula. Lahan cukup luas dan bahan pakan cukup potensial untuk digunakan sebagai salah satu sumber
makanan ternak. Peran pemerintah diperlukan dalam bentuk pelayanan, pengaturan dan pengawasan.
2. Kawasan Peternakan Binaan
Kawasan ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari kawasan baru, setelah memenuhi berbagai persyaratan yang ditentukan untuk kawasan
binaan. Daerah atau wilayah telah berkembang sesuia dengan perkembangan dan peningkatan kemampuan kelompo tani dari kelompok
pemula menjadi kelompok madya, dan masing-masing kelompok telah memiliki populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis. Kerjasama
antar kelompok tani sudah mulai dirintis, dengan membentuk Kelompok Usaha Bersama Agribisnis KUBA. Demikian pula unit-unit pelayanan,
unit-unit pengembangan sarana dan unit-unit pemasaran sudah mulai dibangun. Peran pemerintah sama seperti pada kawasan baru, namun peran
pelayanan sudah mulai berkurang. 3.
Kawasan Peternakan Mandiri Kawasan ini merupakan pengembangan tahap lanjut dari kawasan binaan,
yang telah lebih maju dan berkembang menjadi wilayah yang lebih luas. Kelompok tani telah meningkat kemampuannya menjadi kelompok lanjut
dan telah bekerja sama dengan beberapa kelompok lain dalam wadah KUBA. Bahkan telah dikembangkan beberapa KUBA yang satu sama
lainnya saling bekerja sama. Terdapat populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis pada setiap kepala keluarga, setiap kelompok, setiap
KUBA, dengan perkembangan populasi minimal untuk satu kawasan. Unit- unit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana produksi, dan unit-unit
pemasaran telah berkembang sangat efisien, sedemikian hingga ada kemandirian para petani, kelompok petani, KUBA, dan kawasan. Pada
tahap ini, peran pemerntah tinggal hanya pengaturan dan pengawasan.
Pendekatan Strategi Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong
Strategi merupakan rencana yang disatukan, luas dan terintegrasi yang menghubungkan keunggulan strategis dengan tantangan lingkungan dan
dirancang untuk memastikan bahwa tujuan utama dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat Glueck and Jauch 1994. Manajemen strategi
didefinisikan sebagai
seni dan
pengetahuan merumuskan,
mengimplementasikan dan mengevaluasi suatu keputusan sehingga mampu mencapai tujuan obyektifnya. Proses manajemen strategi terdiri atas tiga tahap
yaitu perumusan strategi, implementasi strategi dan evaluasi strategi David 2001.
Analisis SWOT adalah alat pengidentifikasian berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi suatu usaha kegiatan. Berdasarkan
pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan Strengths dan peluang Opportunities, yang secara bersamaan meminimalkan kelemahan Weakness
dan ancaman Threats. Proses pengambilan keputusan strategis selalu
berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan suatu usaha. Dengan demikian perencanaan strategi strategic planner harus
menganalisis faktor internal dan eksternal dari suatu usaha dalam kondisi saat itu yang disebut dengan Analisis Situasi Rangkuti 2006.
Problem sistem tidak semuanya dapat dipecahkan hanya melalui komponen yang terukur. Komponen yang tidak terukur sering mempunyai
peranan yang cukup besar. Untuk mengevaluasi nilai sosial dalam masyarakat yang kompleks diperlukan suatu metode yang cocok yaitu suatu pendekatan
yang memungkinkan adanya interaksi antara judgment dengan fenomena sosial itu. Proses hirarki analitik PHA dapat digunakan untuk
memecahkan problema yang terukur maupun yang memerlukan judgement Saaty 1993. Selanjutnya disebutkan bahwa prinsip dasar PHA ke
dalam langkah penyusunan matriks pendapat meliputi analisis persoalan, penyusunan hirarki, komparasi berpasangan, sintesa prioritas dan pemeriksaan
konsistensi. Teknik perumusan strategi yang dikembangkan oleh David 2001, memiliki
tiga tahap pelaksanaan dan menggunakan matriks sebagai model analisisnya yang meliputi :
1. Tahap Input
Tahap pemasukkan informasi yang diperlukan untuk merumuskan strategi dengan menggunakan matriks evaluasi faktor eksternal dan matriks evaluasi
faktor internal. 2.
Tahap Pencocokan Tujuan tahap pencocokan adalah menghasilkan strategi alternatif yang layak,
bukan untuk menetapkan strategi mana yang terbaik. Tahap pencocokan dari kerangka kerja perumusan strategi digunakan matriks SWOT. Penggunaan
matriks SWOT sangat ditentukan oleh informasi yang diperoleh dalam tahap input untuk mencocokkan peluang dan ancaman eksternal dengan kekuatan
dan kelemahan internal. 3.
Tahap Keputusan Tahapan keputusan dilakukan dengan menggunakan Quantitative Strategies
Planning Matrix QSPM atau Matriks Perencanaan Strategis Kuantitatif.
Secara konseptual tujuan QSPM adalah untuk menetapkan daya tarik relatif relative attractiveness dari variasi strategi yang telah dipilih, untuk
menentukan strategi yang dianggap paling baik guna diimplementasikan dengan menggunakan penilaian intuitif dalam menyeleksi strategi alternatif
tersebut menggunakan informasi dari tahap input dan tahap pencocokan. Tawaf 1993 menyebutkan ada empat strategi dasar pengembangan sapi
potong, yaitu: 1.
Strategi Agresif. Pada kondisi peluang dan kekuatan yang tinggi seluruh potensi diarahkan untuk mengembangkan peternakan. Pada keadaan ini,
pengambil keputusan secara aktif dapat menetapkan keputusannya untuk mengembangkan peternakan sapi potong karena iklim usaha sangat
mendukung. 2.
Strategi Diversifikasi. Kondisi kekuatan dan ancaman yang tinggi dihadapkan pada dua hal yang kontradiktif. Perlu dilakukan beberapa alternatif
pengembangan bila altematif pertama gagal, maka alternatif berikutnya dapat menutupi kegagalan tersebut. Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan
daging perlu dikembangkan berbagai bentuk usaha ternak sapi potong. 3.
Strategi Berbalik. Pada kondisi peluang dan kelemahan yang tinggi memerlukan paling sedikit dua kebijakan yang bertolak belakang. Bila
pemenuhan kebutuhan daging dilakukan dengan pengembangan perusahaan peternakan
menghadapi kegagalan,
maka alternatifnya
adalah mengembangkan peternakan rakyat dengan skala kecil atau semula dengan
sistem feedlot oleh perusahaan, berbalik menggunakan sistem kreman yang dilakukan oleh rakyat. Pada kondisi ini diperlukan perlindungan
kebijakan pemerintah, introduksi modal dan teknologi yang memadai. 4.
Strategi Defensif. Pada kondisi kelemahan dan ancaman yang tinggi perlu dilakukan strategi defensif. Artinya campur tangan pemerintah sangat
diperlukan terutama mengenai permodalan serta teknologi baru.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Kawasan Sapi Potong Pola VBC Village Breeding Centre di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, meliputi; 1 Kawasan Blang Ubo-Ubo, yaitu desa Saree Aceh dan Suka Mulia Kecamatan Lembah Seulawah, dan 2 Kawasaan Cot Seuribe, yaitu
desa Bareuh di Kecamatan Kota Jantho dan desa Data Gaseu di Kecamatan Seulimum lampiran 1. Penelitian dilakukan selama tujuh bulan dengan
tahapan: persiapan selama dua bulan Januari – Maret 2011; pengumpulan data
selama tiga bulan April – Juni; analisis data dan penulisan Juni – Juli 2011.
Metode Pengumpulan Data dan Responden
Penelitian ini menggunakan metode survei, yakni; wawancara dengan peternak responden, dan observasi langsung di lokasi penelitian. Penentuan
responden dilakukan secara sengaja purposive sampling, yakni; peternak yang terlibat dalam program kawasan sapi potong di Aceh Besar, memiliki
pengalaman beternak, dan merupakan anggota kelompok aktif. Pengamatan dilakukan untuk melihat sistim pengelolaan kawasan dan budidaya ternak di
lokasi penelitian. Untuk pengukuran sampel yang dilakukan yaitu; ukuran- ukuran tubuh sapi potong, dan produksi hijauan pakan ternak di kebun rumput,
padang pengembalaan dan alang-alang. Wawancara menggunakan daftar pertanyaaan kuisioner terhadap responden yang terkait kegiatan kawasan sapi
potong VBC di Kabupaten Aceh Besar yaitu; anggota kelompok berjumlah 71 orang, dan unsur pelaku stakeholders yang terlibat pada program kawasan.
Data yang dikumpulkan mencakup data sekunder dan primer. Data sekunder diperoleh dari Potensi Desa PODES, Bappeda Kabupaten Aceh Besar,
Dinas Peternakan Kabupaten Aceh Besar, Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Provinsi NAD, dan hasil penelitian sebelumnya. Data sekunder tersebut meliputi;
1 karakteristik wilayah, 2 populasi ternak ruminansia, 3 kelembagaan, 4 fasilitas layanan peternakan dan sarana prasarana penunjang, dan 5 kebijakan
pemerintah daerah. Data primer meliputi: 1 produktivitas ternak sapi potong,
2 produksi hijauan pakan ternak di padang pengembalaan, kebun rumput, dan alang-alang, 3 karakteristik peternak, dan 4 manajemen kawasan dan
budidaya ternak.
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati berupa karakteristik kawasan dan faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh
Besar, yaitu: 1.
Karakteristik wilayah meliputi; iklim, jenis tanah, topografi, sistem penggunaan lahan, luas lahan pangan, nisbah lahan pangan terhadap
penduduk, kapasitas tampung ternak, dan potensi pengembangan ternak efektif..
2. Karakteristik produktivitas ternak yaitu; struktur populasi, kondisi ternak,
dan bobot badan menurut umur dan jenis kelamin. 3.
Karakteristik peternak meliputi; umur, tingkat pendidikan, pekerjaan pokok, jumlah anggota keluarga dan rumah tangga petani ternak serta pengetahuan,
motivasi dan partisipasi peternak. Pengetahuan adalah pengetahuan peternak tentang pengembangan. Motivasi adalah keinginan dan kemauan peternak
melakukan kegiatan pengembangan. Partisipasi adalah keikutsertaan responden dalam kegiatan pengembangan sapi potong baik secara individu
maupun kelompok. 4.
Teknis peternakan meliputi; pola manajemen kawasan, perkembangan kelompok, pola budidaya, penerapan teknologi reproduksi dan pakan,
penanganan penyakit dan kesehatan ternak, dan sarana prasarana peternakan. 5.
Faktor eksternal meliputi: kebijakan pemerintah daerah, akses permodalan, sarana prasarana penunjang, peluang pasar, dan sosial budaya.
Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi : 1. Analisis kapasitas tampung berdasarkan penaksiran produksi hijauan
pakan ternak pada lahan penyedia hijauan pakan ternak dalam kawasan. Pengambilan sampel hijauan melalui metode cuplikan
ubinan 1x1 m secara acak sebanyak dua ulangan, berdasarkan pertimbangan homogenitas lahan komposisi botani, penyebaran produksi,
dan topografi. Sampel dipotong lebih kurang 5 – 10 cm diatas permukaan tanah
dan ditimbang beratnya Subagio dan Kusmartono 1988. Perhitungan kapasitas tampung lahan Tabel 2 mengacu pada pedoman Reksohadiprodjo
1985 dengan standar Satuan Ternak Tabel 3 dan kebutuhan pakan satu satuan ternak 1 ST ruminansia sebesar 10 dari Bobot Badan berdasarkan
bahan segar.
Tabel 2. Perhitungan kapasitas tampung menurut Reksohadiprodjo 1985
Rumus Perhitungan Jenis Lahan
Padang Penggembalaan
Alang-alang Kebun Rumput
Rataan bobot sampel kgm
2
1 Hasil cuplikan
Produksi hijauan kgha 2
1 x 10
4
m
2
ha Proper Use Factor PUF
3 Tingkat penggunaan
Hijauan tersedia kgha 4
2 x 3 Kebutuhan hijauan perbulan kgST 5
3 BB ternak x 30 Kebutuhan lahan perbulan haST
6 5 4
Konversi luas lahan pertahun 7
Y = R S + 1 Kebutuhan lahan pertahun haST
8 Y x 6
Kapasitas tampung 9
1 8 Keterangan : Rumus Voisin; Y = R S + 1
Y = Angka konversi luas lahan yang digunakan dari per bulan menjadi per tahun S = Lama periode merumput 30 hari untuk padang penggembalaan
R = Lama periode istirahat 70 hari untuk padang penggembalaan
Tabel 3. Koefisien Satuan Ternak ST Ruminansia Jenis Ternak
Satuan Ternak ST Anak
Muda Dewasa
6 Bulan 6 Bulan Sapi
Kerbau Kambing dan Domba
0.25 0.29
- 0.60
0.69 -
1.00 1.15
- -
- 0.08
- -
0.16 Sumber : Reksohadiprodjo 1985
2. Potensi pengembangan ternak ruminansia di suatu wilayah dihitung melalui metode Potensi Pengembangan Ternak Efektif PPE, mengacu pada
pedoman Direktorat Jenderal Peternakan dan Balai Penelitian Ternak 1995 sebagai berikut:
a. PMSL = a LG + b PR + c LH
Dimana: PMSL = Potensi maksimum berdasarkan sumberdaya lahan ST.
a = Daya tampung ternak ruminansia di lahan garapan a = 0.082 STha lahan perkebunan; a = 1.52 STha lahan sawahtegalan.
LG = Luas lahan garapan ha. b = Daya tampung ternak ruminansia di padang rumput, alang-
alang dan kebun rumput b = berdasarkan hasil analisis kapasitas tampung.
PR = Luas kebun rumput, padang rumput dan alang-alang ha. c = Daya tampung ternak ruminansia pada lahan hutan dan rawa
c = 2.68 STha lahan hutanrawa. LH = Luas lahan hutan dan rawa ha.
b. PMKK = a x KK
Dimana: PMKK = Potensi maksimum berdasarkan kepala keluarga ST.
KK = Jumlah kepala keluarga petani ternak KK a = Kemampuan rumah tangga petani ternak untuk budidaya sapi
potong di padang penggembalaan tanpa tenaga kerja dari luar, a = 15 STKK.
c. Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia KPPTR dihitung berdasarkan selisih potensi maksimum dengan populasi riil, dengan
asumsi penambahan kapasitas hanya untuk ternak sapi potong, sebagai berikut:
KPPTRSL = PMSL – Pt
KPPTRKK = PMKK – Pt
Dimana: KPPTRSL = KPPTR berdasarkan sumber daya lahan
KPPTRKK = KPPTR berdasarkan kepala keluarga Pt = Populasi riil pada saat penelitian
d. Potensi Pengembangan Ternak Efektif PPE ditentukan berdasarkan
nilai minimun
diantara KPPTRSL
dan KPPTRKK:
KPPTR Efektif = KPPTRSL, Jika KPPTRSL KPPTRKK KPPTR Efektif = KPPTRKK, Jika KPPTRKK KPPTRSL
3. Produktivitas ternak yang dianalisis meliputi karakteristik produksi yaitu kondisi ternak dan bobot badan ternak. Kondisi ternak diperoleh melalui
hasil pengamatan. Bobot ternak dewasa dilakukan melalui pendugaan bobot badan dengan menggunakan persamaan Tabel 4 yang berpedoman
pada Rajab 2009.
Tabel 4. Rumus pendugaan bobot badan sapi menurut ukuran tubuh Rajab 2009
Jenis Kelamin Gigi
Persamaan Regresi Jantan
I0 - 307 + 2.86LD + 0.14PB + 3.7Lcan + 0.69LbPG
I1 - 527.5 + 2.5PB + 0.8LD + 2.57TP + 3.9Lcan
I2 - 511.3 + 2.76LD + 2.48LbPG + 1.48PB + 4.2LCan
Betina I0
- 275 + 2.17LD + 0.47PB + 300.73Lcan + 0.85LbD I1
- 332.2 + 2.23LD + 1.53PB + 3.1Lcan I2
- 385.4 + 2.51LD + 1.16TPG + 0.09PB
Keterangan : LD = Lingkar dada TP = Tinggi pundak LbPG = Lebar pinggul
TPG = Tinggi pinggul PB = Panjang badan LbD = Lebar dada Lcan = Lingkar pergelangan kaki canon
Metode pengukuran ukuran-ukuran tubuh sapi Bali Gambar 6 menurut Otsuka et al. 1981 meliputi:
1. Lingkar dada diukur pada bidang yang terbentuk mulai dari pundak sampai
dasar dada di belakang siku dan tulang belikat, menggunakan pita ukur cm 2.
Tinggi pundak diukur dari titik tertinggi pundak tegak lurus sampai tanah dengan menggunakan tongkat ukur cm.
3. Tinggi pinggul diukur dari bagian tertinggi pinggul tegak lurus sampai ke
tanah dengan menggunakan tongkat ukur cm. 4.
Panjang badan diukur dari penonjolan bahu tubersitas humeri sampai penonjolan tulang duduk tuber ischii dengan memakai tongkat ukur
cm. 5.
Lebar pinggul diukur jarak dari penonjolan pinggul tuber coxae pada bagian kiri dengan bagian kanan tubuh menggunakan kaliper cm.
6. Lebar dada diukur jarak dari penonjolan bahu tubersitas humeri pada
bagian kiri dengan bagian kanan tubuh menggunakan kaliper cm. 7.
Lingkar pergelangan kaki canon diukur pada bagian yang ramping dari tulang metacarpus metatarsus menggunakan pita ukur cm.
Keterangan :
1. Lingkar dada cm 2.Tinggi pundak cm
3. Tinggi pinggul cm 4. Panjang badan cm
5. Lebar pinggul cm 6. Lebar dada cm
7. Lingkar pergelangan kaki cm
Gambar 6. Metode pengukuran ukuran-ukuran tubuh sapi Otsuka et al. 1981
4. Analisis motivasi peternak bertujuan membandingkan tingkat pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak terhadap kegiatan kawasan sapi potong
aspek teknis peternakan, yang ditentukan dari jawaban responden terhadap 10 pertanyaan dengan kuisioner. Kisaran nilai 1 sampai 5 dan total skor
berkisar dari 10 sampai 50 dengan kategori : 1 rendah; untuk responden yang memiliki nilai skor kurang dari 25, 2 cukup; nilai skor 26
– 33, 3 tinggi; nilai skor 34
– 31 dan 4 sangat tinggi; nilai skor 42 – 50. Skor nilai
1 2
3 4
5
6
7
partisipasi, pengetahuan dan motivasi peternak dibandingkan melalui analisis statistik non parametrik menggunakan uji Mann-Whitney, dengan
bantuan software Minitab versi 14.0 Musa dan Nasoetion 2007.
5. Metode yang digunakan dalam perumusan pola pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar adalah analisis SWOT dengan
mengacu pada tahapan teknik perumusan strategi menurut David 2001, meliputi :
1. Tahap Input The Input Stage
Menggunakan matriks evaluasi faktor eksternal EFE dan matriks evaluasi faktor internal IFE dengan langkah sebagai berikut:
a. Identifikasi Faktor eksternal dan internal Identifkasi faktor eksternal peluang dan ancaman dan internal
kekuatan dan kelemahan berdasarkan hasil analisis sebelumnya. b.Penentuan Bobot dan Peringkat
Faktor internal dan eksternal diberikan bobot dan peringkat rating dengan bantuan kuisioner. Metode pembobotan terhadap faktor
eksternal dan internal adalah proses hirarki analitik sesuai dengan penilaian judgement menggunakan skala banding berpasangan
Saaty 1993, dan penyelesainnya dengan bantuan software Expert Choice 2000. Penentuan peringkat faktor eksternalinternal
digunakan skala nilai peringkat, yaitu: 1 = rendahsangat lemah, 2 = sedanglemah, 3 = tinggikuat, dan 4 = sangat tinggisangat
kuat. Nilai peringkat untuk peluangkekuatan sangat tinggi diberi nilai 4, sebaliknya ancamankelemahan sangat besar diberi nilai 1.
c. Nilai bobot x peringkat Nilai bobot dikalikan dengan peringkat akan diperoleh skor setiap
faktor yang selanjutnya dijumlahkan sehingga didapatkan skor total. Total skor dikategorikan; kuat 3
– 4, rata-rata 2 – 2.99, dan lemah 1
– 1.99. 2.
Tahap Pencocokan The Matching Stage Alat analisis yang digunakan adalah Matriks SWOT melalui tahapan:
a. Memasukkan hasil matriks EFE dan matriks EFE kedalam matriks SWOT
b Pencocokan antara faktor eksternal dan internal untuk menghasilkan beberapa alternatif pola pengembangan kawasan sapi potong
yaitu: pencocokan kekuatan internal dengan peluang eksternal strategi
SO pencocokan kelemahan internal dengan peluang eksternal
strategi WO pencocokan kekuatan internal dengan ancaman eksternal strategi
ST pencocokan kelemahan internal dengan ancaman eksternal
strategi WT 3. Tahap Keputusan The Deci sion Sta ge
Analisis Q S P M yang digunakan, dengan langkah sebagai berikut: a. Memasukkan hasil dari matriks EFE dan IFE ke dalam QSPM dan
memberikan bobot untuk setiap factor. b. Mengidentifikasi dan memasukkan hasil matriks SWOT kedalam
QSPM. c. Menetapkan nilai daya tarik relatif AS dengan memeriksa setiap
faktor eksternal dan internal dalam mempengaruhi alternatif strategi pilihan, penentuannya dengan bantuan kuisioner. Nilai
daya tarik yaitu; 1 = tidak menarik, 2 = agak menarik, 3 = cukup menarik, dan 4 = sangat menarik.
d. Menghitung Total Nilai Daya Tarik TAS melalui hasil perkalian bobot dengan nilai daya tarik dalam setiap baris.
e. Menjumlahkan total nilai daya tarik TAS dalam setiap kolom QSPM. Nilai TAS dari alternatif yang tertinggi menunjukkan
alternatif itu semakin menarik dan menjadi prioritas utama yang ditetapkan sebagai pola pengembangan kawasan sapi potong di
Kabupaten Aceh Besar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Umum Wilayah Penelitian
Kondisi Geografis dan Agrofisik Wilayah
Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu wilayah administrasi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam berada pada posisi geografis 5.2
o
– 5.8
o
Lintang Utara dan 95
o
- 95.8
o
Bujur Timur dengan batas aministrasi ; a sebelah Utara dengan Selat Malaka dan Kota Banda Aceh, b sebelah Selatan dengan
kabupaten Aceh Jaya, c sebelah Timur dengan kabupaten Pidie, dan d sebelah Barat dengan Samudera Indonesia. Luas wilayah Kabupaten Aceh Besar adalah
2 974.12 km
2
5.18 dari luas Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan ibukotanya Kota Jantho meliputi 23 kecamatan, 68 kemukiman dan 601 desa.
Letak kabupaten Aceh Besar yang berbatasan langsung dengan ibukota propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu kota Banda Aceh menjadikannya
sebagai pintu gerbang utama dan berpeluang tumbuh serta berinteraksi dengan wilayah kabupaten lain. Ketersedian prasarana transportasi darat, udara dan laut
yang cukup memadai seperti Jalan Nasional Arteri Primer Banda Aceh – Medan
dan Banda Aceh – Meulaboh, Bandara Udara Internasional Iskandar Muda dan
Pelabuhan Nasional Malahayati di Kabupaten Aceh Besar menjadikan mobilitas barang dan jasa termasuk hasil produksi pertanian cukup tinggi.
Secara umum topografi Kabupaten Aceh Besar bervariasi, meliputi daerah pesisir, dataran rendah, perbukitan sampai pegunungan dengan ketinggian
antara 100 – 500 m dpl meter diatas permukaan laut lebih mendominasi luas
wilayah 42,64. Berbagai jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Aceh Besar yaitu ; Latosol, Podsolid merah kuning, Hidromorf kelabu, Regosol, Aluvial, dan
Komplek podsolid merah kuning. Sebagian besar 31,55 jenis tanah adalah podzolit merah kuning, dengan kedalaman 53,46 berkisar 30-60 cm. Tingkat
erosi tanah termasuk rendah 3,59 dengan luas lahan kritis sebesar 32.888 Ha. Kondisi iklim di Kabupaten Aceh Besar sebagaimana umumnya wilayah
Indonesia memiliki dua musim, yakni musim kemarau yang berlangsung dari bulan April sampai dengan Agustus dan musim hujan dari bulan September
sampai dengan Februari. Curah hujan berkisar antara 89.8 – 185.4 mmbulan
dengan jumlah rata-rata hari hujan 5 – 24 hari.
Wilayah kabupaten Aceh Besar yang didominasi oleh topografi berbukit dan pegunungan umumnya terdapat di kecamatam Lembah Seulawah, Seulimun,
Kota Jantho, Kota Cot Glie, Indrapuri, dan Krueng Raya. Kondisi tanah yang kurang subur, curah hujan rendah dan tidak merata, dengan bentang lahan
didominasi padang rumput di wilayah tersebut menjadikan kegiatan usaha tani yang dilakukan masyarakat setempat dititikberatkan pada usaha pertanian lahan
kering dan budidaya ternak ruminansia dengan sistim penggembalaan.
Gambar 7 Hamparan kawasan pertanian lahan kering dan penggembalaan ternak
Kabupaten Aceh Besar seperti halnya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sampai saat ini masih relatif rendah tingkat kemampuan pasokan
produksi sapi potong, terutama ternak bibit dan bakalan, dan dibandingkan permintaan hasil ternak yang terus meningkat. Kondisi tersebut menyebabkan
daerah Aceh Besar menjadi salah satu pasar hasil ternak yang sangat terbuka bagi wilayah lain. Sehingga menjadikannya tantangan sekaligus peluang yang
cukup besar bagi pengembangan sub sektor peternakan khususnya komoditas sapi potong dalam memenuhi konsumsi daging penduduknya. Kabupaten Aceh
Besar dalam kebijakan pembangunan regional wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan kebijakan nasional pembangunan pertanian sub sektor
peternakan ditetapkan sebagai salah satu sentra pengembangan produksi sapi potong dengan sistim Kawin Alam KA dan Kawin Buatan KB. Kebijakan
tersebut lebih menguatkan posisi sapi potong sebagai komoditas unggulan daerah dan pengembangan sentra sapi potong sebagai salah satu prioritas sasaran
dalam kebijakan pembangunan perekonomian di Kabupaten Aceh Besar. Berkaitan dengan potensi lahan menunjukkan sebagian besar dari luasan
lahan yang tersedia di Kabupten Aceh Besar, belum semua termanfaatkan secara optimal. Luas lahan budidaya tegalan dan ladang yang belum digunakan
seluas 464 Ha sedangkan lahan budidaya lainnya mencapai 120.685 Ha. Luas lahan non budidaya berupa alang-alang, tanah tandus, dan rawa yang belum
digunakan mencapai 108.420 Ha .
Secara administrasi, dari luas 22 kecamatan yang ada di kabupaten Aceh Besar, kecamatan yang paling luas adalah
Seulimum, Lembah Seulawah dan Jantho. Ketiga kecamatan ini memiliki luas sekitar 36 dari luasan kabupaten Aceh Besar yang menunjukkan bahwa
wilayah ini sangat potensial untuk pengembangan usaha peternakan pola kawasan. Luas kecamatan Seulimum, Lembah Seulawah dan Kota Jantho
disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Luas Kecamatan Seulimum, Lembah Seulawah dan Jantho No
Kecamatan Luas
Urutan Terluas dari Seluruh Kecamatan
km
2
1 Seulimum 487,26
16,38 1
2 Lembah Seulawah 307,85
10,35 2
3 Jantho 274,04
9,21 3
Total 3 Kecamatan 1069,15
35,94 Total Kabupaten
2.974,12 -
-
Sumber : Bappeda Aceh Besar 2010
Ruang lingkup penelitian merupakan wilayah pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar yang meliputi tiga kecamatan, yaitu: Kota
Jantho, Lembah Seulawah, dan Seulimum. Ketiga wilayah kecamatan tersebut saling berbatasan langsung, memiliki aksesibilitas yang cukup baik dan jarak
yang bervariasi antara 5 – 35 km dengan ibukota Kabupaten Aceh Besar, Kota
Jantho. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten RTRWK Aceh
Besar, kecamatan Kota Jantho, Seulimum dan Lembah Seulawah ditetapkan sebagai wilayah pertanian tanaman pangan, palawija, perkebunan dan
pengembangan ternak ruminansia dengan pola penggembalaan sehingga menjadikan wilayah tersebut sebagai sentra produksi sapi potong di Kabupaten
Aceh Besar Bappeda Aceh Besar 2006. Upaya pengembangan sapi potong yang dilakukan pemerintah Kabupaten
Aceh Besar melalui pembentukan kawasan sapi potong rakyat yang berlokasi di enam desa. Pengembangan kawasan sapi potong rakyat yang dilaksanakan mulai
tahun 2008 dibangun pada dua area kawasan, yaitu : Blang Ubo-ubo desa Saree Aceh dan Sukamulia kecamatan Lembah Seulawah dan Cot Seuribe desa
Rabo dan Data Gaseu kecamatan Seulimum serta desa Cucum dan Bareuh kecamatan Kota Jantho. Pemilihan bangsa sapi Bali pada kawasan sapi potong
merupakan langkah yang dilakukan pemerintah Aceh Besar dalam pengembangan ternak lokal. Menurut Handiwirawan dan Subandriyo 2006,
sapi Bali merupakan sapi lokal asli Indonesia yang mempunyai kemampuan beradaptasi dalam lingkungan iklim tropis dan dengan kondisi ketersediaan
pakan berkualitas rendah. Sampai dengan bulan Mei tahun 2011 kawasan sapi potong yang masih
aktif melaksanakan budidaya pemeliharaan sapi potong meliputi empat desa yaitu desa Saree Aceh, Sukamulia, Data Gaseu, dan Bareuh. Pada kawasan Cot Seuribe
sebagian besar tanah terdiri dari pasir sedangkan di Blang Ubo-ubo adalah tanah liat. Tekstur tanah di Cot Seribe umumnya lempung liat berdebu dan lempung
berpasir dan di Blang Ubo-ubo umumnya liat. Sifat tanah yang penting dalam hubungannya dengan pencegahan erosi adalah daya serap terhadap infiltrasi air
hujan sehingga drainase harus diselenggarakan dengan baik. Kondisi tersebut
tergantung pada tekstur tanah, struktur tanah, porositas tanah, dan kandungan
tanah akan bahan-bahan organik. Tanah berpasir dengan tekstur halus akan mudah
terkena erosi karena agregatnya terbatas dan tidak stabil sehingga berdampak pada cepatnya pencucian unsur hara tanah oleh air. Tekstur tanah mempengaruhi tingkat
erosi tanah. Sebagaiman yang ditunjukkan pada Tabel 6 yang menggambarkan kondisi agrofisik lokasi penelitian.
Tabel 6 Kondisi agrofisik lokasi penelitian No
Uraian Peubah Diamati
Lokasi Penelitian Blang Ubo-ubo
Cot Seuribe Saree Aceh Sukamulia Data Gaseu Bareuh
1 Iklim
1
: a.
Curah Hujan mmthn b.Hari Hujan Hari
c. Temperatur
C d.Kelembaban
e. Tekanan udara mbs
f. Penyinaran matahari
1 077 – 2 225
5 – 24
25.7 – 35
75 – 94
1 008.7 – 1 012.3
69 – 70
2 3
Topografi
2
Ketinggian tempat mdpl
2
Berbukit 400
– 600 Datar, sedikit
berbukit 100
– 200 4
Kondisi Tanah
2
: a.
Jenis tanah b.
Tekstur tanah c.
Kedalaman efektif cm d.
Kesuburan PMK, Ultisol
Liat 30
– 60 Baik
PMK Lempung liat
berdebuberpasir 30
– 60 Rendah
Sumber :
1
: Bappeda Aceh Besar 2010
2
: Hasil Survey Potensi Desa 2011
Pada umumnya di Kabupaten Aceh Besar ternak sapi potong di digembalakan pada lahan dengan kondisi tanah yang kurang baik untuk pertanian
tanaman pangan dan palawija. Sehingga mutu hijauan pakan ternak pada padang penggembalaan relatif rendah tergantung pada jenis, kesuburan, dan kandungan
unsur hara tanah. Tanah yang kaya unsur hara akan berdampak pada semakin tinggi produksi dan mutu hijauana pakan ternak. Tingkat kesuburan tanah di Cot
Seuribe sangat rendah sebaliknya di Blang Ubo-ubo dengan kondisi relatif baik.
Potensi Wilayah
Pola dasar pembangunan wilayah menunjukkan lokasi penelitian berbasis pertanian dengan komoditas utama yang diusahakan berupa padi sawah dan
palawija kecuali desa Sukamulia karena tidak memiliki lahan persawahan. Pola pertanian menjamin tersedianya pakan hijauan dan konsentrat berupa dedak,
bungkil kacang tanah, kedelai, jagung, limbah singkong dan ubi jalar. Kondisi seperti ini memungkinkan pengembangan sapi potong dengan pola integrasi
dengan tanaman pangan, palawija, perkebunan, dan hutan produksi. Kondisi
wilayah yang relatif luas dengan tingkat kepadatan penduduk relatif rendah sampai sedang 15.3
– 56.7 jiwakm2 berpotensi bagi pengembangan kawasan sapi potong. Potensi Desa di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Potensi desa di lokasi penelitian No
Uraian Peubah Diamati
Lokasi Penelitian Blang Ubo-ubo
Cot Seuribe Saree Aceh Sukamulia Data Gaseu
Bareuh 1
2 3
4
5 6
7
8
9 Luas Wilayah Ha
Jumlah Penduduk Jiwa
Jumlah Penduduk KK Kepadatan Penduduk
JiwaKm2 Jumlah Rumah Tangga
Petani Ternak KK Luas Lahan Pangan Ha
Nisbah Lahan Pangan JiwaHa
Luas Tataguna Lahan Ha :
a. Sawah
b.Kebun c.
Padang penggembalaan d.
Semak belukar Populasi Ternak
Ruminansia Ekor : a.
Sapi Potong b.
Kerbau c.
Kambing d.
Domba 3 612
1 852 453
51.3 394
445
4.16 50
1 395 600
436 80
35 11
5 000 764
191
15.3 42
410 1.86
1 600 1 000
200
601 113
41 21
1 120 635
112
56.7 96
168 3.78
125 65
450 96
450 600
23 8
1 070 417
104
39 90
237 1.76
25 427
230 150
212 235
76 13
10
11
12
Pola Dasar Pembangunan Pola Pertanian
Sistem Pemeliharaan Ternak Sapi
Pertanian, perkebunan, kawasan
lindung Palawija, perkebunan,
peternakan Semi-intensif
Pertanian, perkebunan, padang
penggembalaan Padipalawija,
penggembalaan ternak Ekstensif, semi-
intensif
Sumber : Hasil survey potensi desa 2011
Jumlah rumah tangga petani ternak keempat desa di lokasi penelitian menunjukkan sebagian besar rumah tangga penduduk bergerak di sektor
pertanian yang menunjang pengembangan sapi potong pola ekstensif maupun intensif. Ketersedian rumah tangga petani ternak di wilayah penelitian dan
populasi sapi potong yang lebih tinggi jumlahnya dibandingkan ternak
ruminansia lain di desa Saree Aceh dan Sukamulia menggambarkan komoditas sapi lebih disukai untuk budidaya, sedangkan desa Data Gaseu dan Bareuh
komoditas sapi dan kerbau merupakan jenis ruminansia yang umum di budidaya. Pemeliharaan ternak ruminansia terutama sapi dilokasi penelitian
sebagaimana umumnya petani ternak di kabupaten Aceh Besar adalah ditujukan sebagai ternak penghasil daging ternak potong sehingga tipe ternak yang
dikembangkan adalah berupa ternak potong. Bangsa ternak sapi yang dibudidayakan adalah sapi lokal bangsa sapi Aceh, keturunan hasil inseminasi
buatan IB antara sapi lokal dengan bibit sapi unggul PO, Brahman dan Simental, dan sapi Bali yang merupakan tipe sapi potong. Sistem budidaya
ternak sapi di lokasi penelitian yang berkembang umumnya berupa sistem pemeliharaan induk-anak cow calf operation yang lebih diarahkan untuk
menghasilkan input untuk produksi sapi potong berupa sapi bibit dan bakalan. Pola pemeliharaan ternak sapi di lokasi penelitian sebagaimana umumnya
di Kabupaten Aceh Besar dapat dikelompokan berdasarkan alokasi penggunaan lahan. Pada daerah-daerah dimana terdapat padang penggembalaan yang luas,
ternak sapi dipelihara secara ekstensif. Sistem pemeliharaan ekstensif dapat dijumpai di hampir semua wilayah,ternak dipelihara di padang pengembalaan
umum maupun perorangan, pinggiran hutan semak belukar, ladang, dan lahan persawahan bera tidak ditanami. Lokasi padang penggembalaan ternak yang
berisi ternak ruminansia milik sejumlah peternak disebut lahan penggembalaan umum dengan status kepemilikan lahan umum maupun perorangan, dimana
lahan tersebut tidak digunakan untuk budidaya tanaman ataupun lahan terlantar. Jumlah sapi dalam lahan penggembalaan umum bervariasi 20 - 100 ekor sapi
dengan luas lahan sebesar 10 – 50 ha dan dikelola oleh 10 – 30 peternak. Lahan
penggembalaan dapat juga dimiliki oleh perorangan dan umumnya memiliki luas lahan kurang dari 10 ha dengan kepemilikan ternak berkisar 10
– 30 ekor. Pengelolaan ternak pada sistem ekstensif sangat sederhana, yaitu ternak
dilepas di padang penggembalaan sepanjang tahun continuous grazing, dengan tatalaksana pemeliharaan berupa identifikasi ternak sebagai tanda kepemilikan,
pemberian air garam pada waktu tertentu dan penyeleksian ternak sapi yang siap dipanen untuk dijual sebagai sapi bibit maupun sapi bakalan. Pengelompokkan
dan pemisahaan pemeliharaan ternak berdasarkan fase produksinya pada sub padang penggembalaan padok belum dilakukan. Ternak berkembang biak
secara alami dengan mengandalkan sapi jantan yang jumlahnya tidak seimbang dengan jumlah betinanya. Anak sapi, sapi bibit atau sapi bakalan baru
dikeluarkan dari lokasi penggembalaan pada saat akan dijual. Sumber pakan hanya mengandalkan hijauan yang berasal dari padang rumput alam untuk
memenuhi semua kebutuhan pakan ternak. Hal ini dapat menyebabkan persaingan dalam mendapatkan pakan hijauan, terutama pada musim kemarau,
sehingga ternak yang dominan memiliki kondisi badan yang lebih baik, sementara ternak yang submisif atau kerangka tubuhnya relatif besar akan
mempunyai kondisi tubuh kurang baik kurus.
Gambar 8 Lahan penggembalaan perorangan yang dipagari di desa Cucum kecamatan Kota Jantho
Kondisi lahan penggembalaan sangat bervariasi, dimana pada suatu lokasi padang penggembalaan ditemukan kondisi undergrazing tekanan
penggembalaan ringan sehingga menyebabkan terjadinya invasi gulma, sangat berpengaruh terhadap kualitas rumput yang tumbuh. Dengan demikian
ketersediaan dan kualitas rumput sebagai pakan utama sapi menjadi menurun. Sebaliknya di beberapa tempat kondisi overgrazing tekanan penggembalaan
berat sehingga menyebabkan padang pengembalaan menjadi rusak.
Gambar 9 Kondisi overgrazing padang penggembalaan di desa Bareuh kecamatan Kota Jantho
Gambar 10 Kondisi undergrazing padang penggembalaan di desa Sukamulia kecamatan Lembah Seulawah
Pada padang penggembalaan umum sama sekali tidak memiliki fasilitas yang khusus disediakan sebagai sarana pendukung kegiatan peternakan. Pada
padang penggembalaan perorangan ataupun kelompok peternak yang memiliki fasilitas terbatas, yang dicirikan adanya bangunan balai penjaga ternak dan
adanya juga padang rumput alam yang diberi pagar keliling sebagai batas kepemilikan kandang bersama. Di dalam areal kandang juga terdapat sumber air
berupa embung dan sungai kecil untuk kebutuhan air minum ternak sapi. Fasilitas penanganan ternak di dalam kandang umum tidak tersedia dan kandang
pangonan tidak dibagi kedalam sub-kandang padok yang berguna untuk pengelompokan ternak sapi sesuai fase produksinya dan mempermudah
tatalaksana pemeliharaan.
Gambar 11 Pemberian hijauan pakan pada sistim pemeliharaan semi-intensif
Pemeliharaan ternak dengan sistem semi-intensif umunya dijumpai di wilayah kecamatan Lembah Seulawah dimana terdapat lokasi transmigrasi,
perkebunan atau wilayah dengan luasan padang rumput terbatas. Pemeliharaan sapi dilakukan dengan melepas di ladang-ladang yang tidak ditanami atau di
sawah-sawah yang telah dipanen, kemudian dikandangkan atau diikat didekat rumah pada malam hari. Hal itu dilakukan untuk mencegah ternak masuk ke
areal pertanian tanaman pangan dan palawija. Ternak sapi ada juga yang digembalakan sekitar areal perkebunan kakao, kelapa, dan hortikltura, hal ini
sangat memungkinkan karena cukup banyak rumput dan legum yang merupakan cover crop yang dapat dijadikan sumber pakan ternak. Pada sistem semi-intensif
ternak hanya mengandalkan pada pakan hijauan atau rumput, peternak umumnya
tidak memberi pakan tambahan. Tingkat kepemilikan ternak masih relatif rendah, rata-rata 2
– 5 ekor.
Gambar 12 Kandang tertutup yang digunakan untuk penggemukan sapi jantan
Budidaya sapi dengan sistem pemeliharaan intensif umumnya dijumpai di lokasi penelitian yang memiliki lahan persawahan tanaman pangan dan
palawija. Pada sistem ini berkembang dua pola pemeliharaan dengan tujuan produksi yang berbeda. Pola pertama ternak sapi ditambatkan sekitar rumah atau
di kebun pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari, pemberian pakan hijauan rumput, jerami dilakukan setiap hari dengan tujuan produksi
menghasilkan ternak bibit atau bakalan. Pola kedua yaitu ternak sapi dikandangkan terus menerus sepanjang hari dengan tujuan produksi sapi potong
penggemukan. Pada pola penggemukan peternak juga melakukan budidaya rumput potongan Rumput GajahP.purpureum di kebun rumput sebagai sumber
hijauan pakan selain yang diperoleh pada lahan tanaman pangan, palawija, pinggiran hutan. Sistim budidaya yang dilakukan yaitu sapi bakalan jantan lepas
sapih ± umur 18 bulan digemukan secara intensif dengan pakan hijauan maupun dengan tambahan konsentrat berupa dedak jumlahnya bervariasi antara
1 – 2 kgekorhari. Lama penggemukan selama 6 – 12 bulan dan ada juga yang
sampai 24 bulan hingga mencapai bobot potong sekitar 300 – 350 kg. Tingkat
kepemilikan ternak pada sistem pemeliharaan intensif berkisar 2 – 3 ekor.
Karakteristik Kawasan Sapi Potong
Karakteristik Produktivitas Sapi Bali
Dinamika populasi sapi Bali di kawasan sapi potong Aceh Besar yang diindentifikasi selama tiga tahun 2008
– 2011 pelaksanaan program berfluktuasi dengan tingkat pertumbuhan populasi masih minus ≤ -5.55
sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 8. Tingginya angka kematian ternak ≥
10.26 terutama pada tahun pertama dan kedua pelaksanaan program diakibatkan buruknya penangganan selama proses pengangkutan ternak yang
didatangkan dari luar daerah, seperti dari propinsi Nusa Tenggara Barat, Lampung, maupun dari kabupaten lain di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Tabel 8 Kondisi populasi sapi Bali di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar
No Lokasi
Desa Tahun
2008
1
2009
1
2010
1
2011
2
1 2
3 4
Saree Aceh ekor Sukamulia ekor
Data Gaseu ekor Barueh ekor
135 135
60 120
107 125
49 84
73 98
40 40
87 113
50 34
Sumber :
1
Dinas Peternakan Kabupaten Aceh Besar
2
Hasil survey 2011
Proses pendistribusian bibit sapi Bali dilakukan melalui transportasi darat dan pada saat ternak sampai ke lokasi kawasan di Aceh Besar tidak dilakukannya
proses karantina melainkan langsung didistribusikan ke calon peternak dari kelompok petani ternak yang terlibat program di kawasan sapi potong. Kondisi
tersebut berakibat ternak sapi Bali yang baru didatangkan mendapatkan penangganan pasca transportasi yang kurang memadai karena kurangnya
keahlian dan pengalaman petani ternak. Penyebab kematian yang diidentifikasi yaitu stres, dehidrasi berat, infeksi luka dan serangan penyakit selama masa
adaptasi. Untuk masa yang akan datang itu disarankan mengarantina setiap ternak yang akan dimasukkan kedalam kawasan sapi potong.
Gambar 13 Kematian Ternak sapi Bali di Kawasan Sapi Potong VBC Aceh Besar
Angka kelahiran anak yang merupakan salah satu gambaran performans reproduksi sapi Bali sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 9.
Tabel 9 Performans reproduksi sapi Bali di kawasan sapi potong Aceh Besar No
Uraian Peubah Diamati
Lokasi Penelitian Blang Ubo-ubo
Cot Seuribe Saree Aceh Sukamulia Data Gaseu
Bareuh 1
2 3
4 5
6 Populasi Ekor
a. Anak
b.Muda c.
Dewasa Populasi ST
Pertumbuhan Populasi tahun
Kelahiran dari Jumlah Betina tahun
Kelahiran dalam Populasi tahun
Kematian tahun 10
– 77
80.5 - 11.85
4.76 3.83
14.32 17
4 88
98.3 - 6.42
7.95 6.19
10.62 15
7 28
35.3 - 5.55
27.16 14.66
17.77 3
– 31
31.8 - 23.89
3.33 2.94
24.72
Sumber : Hasil survey 2011
Berdasarkan hasil identifikasi melalui survey dan catatan buku administrasi kelompok petani ternak di kawasan menunujukkan performans
reproduksi sapi Bali di kawasan sapi potong Aceh Besar memiliki tingkat kelahiran yang
masih rendah ≤7.95 kecuali di desa Data Gaseu 27.16. Angka kelahiran yang rendah dikarenakan bibit dasar yang dimasukkan
merupakan bibit muda dengan rataan umur 1.5 tahun dan buruknya kondisi ternak sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bereproduksi.
Faktor kurangnya penangganan peternak dalam program perkawinan dan rendahnya pengetahuan peternak tentang aspek reproduksi ternak juga
mempengaruhi performans reproduksi ternak. Sifat kuantitatif adalah sifat pada ternak ada hubungannya dengan sifat
ekonomis pada ternak seperti bobot badan. Pendugaan bobot badan ternak berdasarkan umur gigi dan jenis kelamin yang dilakukan melalui pengukuran
ukuran-ukuran tubuh ternak. Berdasarkan hasil pendugaan menunjukkan bahwa pada sapi Bali umur ≤ 1 tahun gigi I0 baik jantan maupun betina tidak terdapat
perbedaan antara sapi Bali pada ketiga lokasi penelitian untuk bobot badan yang diamati. Hal ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan pertumbuhan sapi Bali
pada periode prasapih. Menurut Pratiwi et.al. 2008, bahwa pertumbuhan anak sapi pada masa prasapih umumnya dipengaruhi oleh kemampuan pedet
memperoleh nutrisi yang berasal dari air susu induknya. Penampilan produksi berupa bobot badan dan skor kondisi tubuh sapi
Bali jantan maupun betina untuk umur 1 sampai ≤ 2 tahun hanya diamati di
desa Sukamulia sedangkan di desa lain belum ada yang mencapai umur tersebut. Hasil pendugaan yang diperoleh menunjukkan bobot badan dan skor kondisi
tubuh sapi Bali di kedua lokasi tersebut tidak berbeda nyata, ini berkaitan dengan sistem pemeliharaan yang dilaksanakan relatif sama. Menurut Pamungkas 2007,
bahwa terjadi perbedaan variasi bobot badan sapi di beberapa lokasi pemeliharaan adalah sebagai akibat dari pengaruh lingkungan terutama ntrisi dan
system pemeliharaan. Bobot tubuh dan skor kondisi tubuh
sapi Bali pada umur ≥ 2 tahun gigi I2 baik jantan maupun betina menunjukkan di desa Data Gaseu memiliki rataan
bobot badan yang lebih tinggi dibandingkan ketiga desa lain. Walaupun sistim
pemeliharaan yang dilakukan relatif sama namun kemungkinan bibit awal yang diterima petani ternak di desa Saree Aceh memiliki rataan bobot badan yang
lebih tinggi dibandingkan desa lain. Rataan bobot badan dan kondisi tubuh Sapi Bali di kawasan sapi potong Aceh Besar ditunjukkan pada Tabel 10.
Tabel 10 Rataan dan hasil uji –t skor kondisi tubuh dan bobot badan sapi Bali
menurut umur I0, I1 dan I2 di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar Kriteria
Peubah Diamati Lokasi Penelitian
Blang Ubo-ubo Cot Seuribe
Saree Aceh Sukamulia
Data Gaseu Bareuh
1. Umur ≤ 1 Tahun
a. Jumlah Sampel n Jantan
Betina b.Skor Kondisi Tubuh
Jantan Betina
c. Bobot Badan kg Jantan
Betina
2. Umur 1 –2 Tahun
a. Jumlah Sampel n Jantan
Betina b.Skor Kondisi Tubuh
Jantan Betina
c. Bobot Badan kg Jantan
Betina
3. Umur ≥ 2 Tahun a. Jumlah Sampel n
Jantan Betina
b.Skor Kondisi Tubuh Jantan
Betina c. Bobot Badan kg
Jantan Betina
4 6
3.25
a
±0.50 3.50
a
±0.55 90.05
a
±7.32 86.18
a
±3.71
7 70
3.57
a
±0.53 3.41
a
±0.63 273.27
a
±17.70 217.36
a
±21.88 7
10 3.57
a
±0.53 3.30
a
±0.48 90.79
a
±6.62 83.99
a
±3.41
2 2
3.50
a
±0.71 4.00
a
133.25
a
±1.32 117.59
a
±3.52
4 88
3.75
a
±0.50 3.51
a
±0.73 279.07
a
±15.10 218.62
a
±20.48 7
8
3.43
a
± 0.53 3.25
a
± 0.46 89.08
a
±7.63 84.81
a
±3.58
4 3
3.50
a
± 0.58 3.67
a
± 0.58 131.23
a
±4.46 117.56
a
±2.25
1 27
4.00
a
3.44
a
± 0.97 271.68
a
217
a
±21.11 1
2
4.00
a
4.00
a
85.55
a
83.82
a
±5.40
1 19
3.00
a
3.11
a
±0.79 267.80
a
211.8
a
±20.2
Sumber : Hasil pengamatan dan analisis pendugaan bobot badan sapi Bali 2011 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda dalam baris yang sama
menunjukkan berbeda nyata p 0,05.
Penampilan produksi berupa bobot badan dan skor kondisi tubuh pada semua umur gigi I0, I1, dan I2 di lokasi kawasan sapi potong VBC kabupaten
Aceh Besar masih termasuk sedang dan belum memenuhi standar dari tiga kategori kualitas bibit yang ditetapkan Direktorat Jenderal Peternakan
Departemen Pertanian Deptan 2006. Hal ini menunjukkan terjadinya penurunan produktifitas dan mutu genetik induk sapi Bali yang dimasukkan ke
kawasan sapi potong VBC Kabupaten Aceh Besar yang berasal dari daerah lain sehingga berdampak pada kualitas bibit yang dihasilkan.
Gambar 14 Proses pengukuran ukuran-ukuran tubuh sapi Bali di lokasi penelitian
Daya Dukung Lahan dan Potensi Pengembangan
Pada usaha sapi potong, lahan merupakan salah satu faktor produksi yang berfungsi sebagai tempat terselenggaranya kegiatan produksi dan penyedia
hijauan pakan ternak. Pada peternakan rakyat dengan pola penggembalaan, lahan padang rumput merupakan sumber utama penyedia hijauan pakan ternak
sehingga potensinya sangat menentukan bagi pengembangan sapi potong. Komposisi botani merupakan indikator dinamika populasi tumbuhan pada
padang penggembalaan yang berdampak pada produksi dan kualitas hijauan pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Jenis species dominan merupakan species yang
paling mampu bertahan di lokasi dan menunjukkan pola pertambahan ketika dominasi lebih dari 50 menutupi lahan. Tanaman natif lokal lebih adaptasi
terhadap kondisi lingkungan lokal. Kebanyakan rumput lokal adalah tanaman