Potential of Beef Cattle Development in Sijunjung District of West Sumatra Province

(1)

PONI HENDRA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Potensi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Sijunjung Propinsi Sumatera Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2010

Poni Hendra


(3)

PONI HENDRA. Potential of Beef Cattle Development in Sijunjung District of West Sumatra Province. Under direction of ATANG SUTANDI, DWI PUTRO TEJO BASKORO and BAMBANG HENDRO TRISASONGKO.

Agricultural land in Sijunjung District that has not been optimally utilized could be used for the development of beef cattle farm. The development should conform land suitability as a reference to determine beef cattle development to achieve the government's target of meat self-sufficiency in 2010. This study aims to foresee the potential of land in Sijunjung District for development of beef cattle using a combined 2006 Landsat images, LREP maps and other supporting data through, financial analysis, and the desired rearing cattle the local community. The results indicate that the potential lands for the development were about 120,063 ha or 38.35% of the existing land area, which consists of mixed garden (100,359 ha), 3,247 ha of abandoned land, 11,027 ha of paddy fields and 5,428 ha of bush. Actualy, land carrying capacity is 55,518 Animal Unit, and the potential carrying capacity is 134,722 Animal Unit. The results of the NPV analysis for all farming schemes were positive, with B/C Ratio> 1, and the IRR> outweighed the applicable interest rate. Assessment using AHP showed that the caging system was preferable (0.650) than shepherd-based farming (0.350) with a value of inconsistency about 0.05.


(4)

Propinsi Sumatera Barat. Dibimbing oleh ATANG SUTANDI, DWI PUTRO TEJO BASKORO dan BAMBANG HENDRO TRISASONGKO.

Upaya mewujudkan Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010 terhadap akselerasi peningkatan produksi pangan khususnya daging sapi untuk pencapaian swasembada tahun 2010 adalah dengan pemanfaatan lahan-lahan pertanian. Pemanfaatan lahan-lahan-lahan-lahan pertanian di luar Pulau Jawa merupakan salah satu tindakan yang penting. Salah satu langkah strategis untuk mencapai sasaran di atas adalah mengidentifikasi potensi lahan yang sesuai untuk pengembangan komoditas sapi potong.

Potensi untuk pengembangan usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Sijunjung cukup menjanjikan, hal ini didukung oleh beberapa kelebihan antara lain lahan usahatani yang luas, banyak lahan kosong yang belum termanfaatkan, adanya pasar ternak regional dan lebih dari 70 % masyarakat mempunyai usaha pokok di bidang pertanian yang menyumbang PDRB sebesar 26,73 % (Bappeda Kabupaten Sijunjung, 2007). Usaha perkebunan kelapa sawit dan karet serta memanfaatkan limbah pertanian tanaman pangan dapat diintegrasikan dengan usaha ternak sapi potong yaitu sebagai penyedia pakan ternak. Potensi luas lahan yang tersedia untuk pakan hijauan ternak (sekitar 69.464 Ha) dapat mencukupi untuk 139.292 ekor/ST (Satuan Ternak). Populasi ternak sapi di Kabupaten Sijunjung baru mencapai 16.205 ekor dan kerbau 18.460 ekor, dengan jumlah Rumah Tangga Peternak (RTP) sapi potong berjumlah 3.957 KK dan RTP kerbau berjumlah 2.797 KK, (DISNAKKAN 2008), sehingga diharapkan masih bisa menampung tambahan sekitar 104.627 ekor lagi

Penelitian ini bertujuan : (1) mengidentifikasi areal lahan yang sesuai untuk untuk pengembangan ternak sapi potong. (2) menghitung daya dukung dan indeks daya dukung lahan yang sesuai bagi usaha peternakan sapi potong (3) menganalisis skala usaha dan kelayakan finansial usaha ternak sapi potong. (4) menentukan arahan dan prioritas arahan kawasan penyebaran dan pengembangan sapi potong berdasarkan potensi sumber daya lahan dan sosial ekonomi.

Hasil klasifikasi dan interpretasi citra Landsat-TM7 tahun 2006, diperoleh delapan jenis penutupan/penggunaan lahan yaitu hutan, kebun campuran, sawah, pemukiman, semak, lahan terbuka serta pertambangan. Dari delapan jenis penggunaan lahan tersebut, lahan-lahan yang merupakan prioritas untuk pengembangan sapi potong adalah lahan-lahan yang berpotensi menghasilkan sumber hijauan makanan ternak dan banyak digunakan untuk lahan pertanian adalah kebun campuran (104.855 ha), sawah (11.108 ha), semak (5.980 ha) dan lahan terbuka (3.391 ha). Sedangkan penggunaan lahan berupa pemukiman, pertambangan dan sungai tidak di prioritaskan karena mempunyai sumber hijauan makanan ternak yang sedikit dan mayoritas hutan adalah hutan lindung yang sulit dikonversi menjadi lahan pertanian, maka penggunaan lahan-lahan tersebut tidak dinilai.

Hasil penilaian kesesuaian lingkungan ekologis menunjukkan tidak ada perbedaan kesesuaian lahan antara sapi yang dikandangkan dengan sapi yang digembalakan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan data temperatur di lokasi


(5)

100.359 ha, pada lahan terbuka 3.247 ha, pada sawah 11.027 ha dan pada semak belukar seluas 5.428 ha. Sedangkan lahan yang tidak dinilai adalah seluas 187.746 ha atau 59,97 %.

Berdasarkan pengamatan lapangan dan data sekunder jenis tanaman hijauan makanan ternak yang dominan dan berpotensi untuk dikembangkan di Kabupaten Sijunjung, yaitu : rumput unggul seperti rumput gajah (Pennisetum purpereum), rumput alam, leguminosa dan padi sawah (jerami padi sawah), sehingga tanaman ini dijadikan pewakil untuk penilaian kesesuaian tanaman hijauan makanan ternak. Hasil analisis menunjukkan kesesuaian lahan aktual tanaman padi sawah adalah S3, S2 dan S1. Namun kesesuaian eksisting untuk padi pada lahan sawah hanya 950 ha pada kelas S1, 2109 ha kelas S2 dan 6.709 ha pada kelas S3. Kesesuaian lahan aktual rumput lapangan pada kelas S2 dengan luas 23.380 ha (7,47 %), dan S3 seluas 28,38 ha (28,38 %). Hasil perhitungan pada keadaan potensial, kelas S1seluas 18.103 ha (5,78 %), kelas S2 seluas 55.895 ha (17,85 %), kelas S3 terdapat 38.224 ha (12,21 %). Kesesuaian lahan aktual tanaman rumput gajah terdapat pada kelas S3 dengan luas 113.315 ha (36,19 %). Kesesuaian lahan potensial, pada kelas S2 76.218 ha (24,34 %) dan kelas S3 37.098 ha atau 11,85 %. Hasil analisis kesesuaian aktual tanaman leguminosa hanya terdapat pada kelas S3 dengan luas 99.276 ha (31,71%). Perhitungan pada kesesuaian lahan potensial kelas S2 dengan luas 63.759 ha (20,37 %) dan lahan kelas S3 dengan luas 49.802 ha (15,91 %.

Analisis NPV yang dilakukan pada sistem pemeliharaan dengan digembalakan, penggemukan skala kecil dan penggemukan skala sedang dengan tingkat suku bunga pinjaman 6 % secara berurutan adalah Rp. 29.288.600, Rp. 32.458.700 dan Rp. 70.226.500 nilai tersebut merupakan pendapatan bersih nilai saat kini yang diterima peternak selama delapan tahun, nilai B/C ratio adalah sebesar 1,67, 1,12 dan 1,12, artinya perbandingan penerimaan yang diterima peternak selama delapan tahun lebih besar dari biaya yang dikeluarkan untuk memperolehnya. Nilai IRR sebesar 27,94 %, 54,96 % dan 53,44 % artinya investasi yang ditanamkan pada usahaternak sapi potong pada sistem pemeliharaan digembalakan adalah layak dan menguntungkan karena tingkat pengembalian internalnya lebih besar dibandingkan tingkat dari tingkat suku bunga yang berlaku.

Hasil analisis pada tingkat suku bunga pinjaman 17 % memiliki nilai NPV sebesar Rp. 10.209.300 untuk pemeliharaan dikandangkan, Rp. 18.048.100 untuk penggemukan skala kecil, dan untuk penggemukan skala sedang Rp. 38.911.900, dengan nilai B/C ratio sebesar 1,28, 1,10 dan 1,10, sedangkan nilai IRR didapatkan sebesar 28,04 %, 53,66 % dan 51,82. Hasil ini menunjukkan bahwa investasi yang ditanamkan pada usahaternak sapi potong pada sistem pemeliharaan digembalakan, penggemukan skala kecil dan menengah adalah layak dan menguntungkan karena NPV nya bernilai positif, B/C Rationya lebih dari satu dan tingkat pengembalian internalnya lebih besar dibandingkan tingkat dari tingkat suku bunga yang berlaku.

Arahan pengembangan sapi potong dapat diarahkan melalui: 1). Pola Diversifikasi pada kebun campuran seluas 93.884 ha, dengan total produksi BKC


(6)

seluas 4.516 ha dengan produksi BKC 46.980 ton/tahun yang dapat menampung ternak sejumlah 41.210 ST dan pada lahan terbuka dengan luas 2.978 ha dengan produksi BKC 32.463 ton/tahun sehingga dapat menampung ternak sejumlah 28.476 ST.

Secara keseluruhan hasil analisis ini menghasilkan pemeliharaan sistem kandang mendapatkan prioritas yang lebih penting yaitu sebesar 0,650 dan sistem pemeliharaan digembalakan mendapatkan bobot 0,350 dengan nilai inkonsistensi sebesar 0,05. Hal ini menunjukkan arahan kebijakan pengembangan sapi potong untuk Kabupaten Sijunjung lebih diarahkan pada sistem dikandangkan, walaupun dihitung secara analisis finansial sistem gembala lebih menguntungkan daripada sistem kandang. Hasil analisis AHP dari seluruh stakeholders menunjukkan bahwa kelayakan finansial hanya mendapatkan bobot 0,242 (24 % dari penilaian), karena mereka lebih mengutamakan aspek karakteristik sosial budaya dengan bobot 0,401 (40 % dari penilaian), dengan sub kriteria pengembangan pemanfaatan teknologi tepat guna 0,717 dan kelembagaan masyarakat adat 0,283. Kata kunci : sapi potong, kesesuaian lahan, kapasitas tampung


(7)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tesis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.


(8)

PONI HENDRA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010


(9)

NIM : A156080174

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Atang Sutandi, MSi Ketua

Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc Ir. Bambang Hendro Trisasongko, MSi, MSc

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(10)

(11)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian dilaksanakan sejak bulan Juli 2009 sampai dengan Desember 2009 ini adalah Potensi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Sijunjung Propinsi

Sumatera Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Atang Sutandi, MS, Bapak Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Barkoro, MSc dan Bapak Ir. Bambang Hendro Trisasongko, MSi, MSc selaku pembimbing serta Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah yang telah memberikan pengarahan, bimbingan dan masukan kepada penulis. Bappenas atas bantuan pembiayaan selama masa perkuliahan. Tidak lupa dihaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Ir. Yulizar, MP selaku Kepala Dinas atas izin yang diberikan, serta rekan-rekan di Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Sijunjung atas bantuan datanya. Staf di lingkungan program studi perencanaan wilayah serta rekan-rekan PWL dan Departemen ITSL angkatan 2008 atas dukungan moril yang tidak ternilai selama ini. Bapak, ibu serta seluruh keluarga atas segala bantuan dan doanya. Semoga Allah SWT membalasnya dengan yang lebih baik.

Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan semua civitas akademik dan pemerintah, sehingga mampu memperkaya khasanah keilmuan bidang perencanaan wilayah di masa mendatang.

Bogor, April 2010


(12)

Penulis dilahirkan di Kumanis Kabupaten Sijunjung pada tanggal 19 September 1981 dari pasangan Bapak By. Syahruddin Dt. Rangkayo Bungsu dan Ibu Nursima, A.Ma Pd. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara.

Tahun 1999 penulis menyelesaikan Pendidikan pada SMA Negeri 1 Sijunjung dan tahun yang sama lulus seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) Universitas Andalas. Penulis memilih Jurusan Produksi Ternak pada Fakultas Peternakan UNAND di Padang dan lulus tahun 2004. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2008 dan diterima pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah melalui beasiswa pendidikan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan (Pusbindiklatren) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

Penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil Daerah pada Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Sijunjung Propinsi Sumatera Barat pada tahun 2005 dan ditempatkan sebagai staf Bidang Pengembangan dan Perlindungan Peternakan sampai sekarang.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL.. ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... ... 1

1.2. Kerangka Pemikiran / Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 3

1.4. Batasan Penelitian ... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Kawasan Penyebaran dan Pengembangan Ternak ... 6

2.2. Ternak Sapi Potong ... 7

2.3. Hijauan Makanan Ternak Sapi Potong ... 8

2.4. Daya Dukung Lahan ... 8

2.5. Konsep Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis ... 10

2.6. Hasil-hasil Penelitian Terdahulu ... 11

3. METODE PENELITIAN ... 14

3.1. Lokasi Penelitian ... 14

3.2. Data………... ... .. ... 14

3.3. Metode Analisis dan Pengolahan Data ... 16

3.3.1. Identifikasi Penggunaan Lahan ... 16

3.3.2. Analisis Kesesuaian Lahan ... 17

3.3.3. Identifikasi Tingkat Ketersedian Hijauan Makanan Ternak .. 18

3.3.4. Analisis Finansial ... 21

3.3.5. Arahan Pengembangan Sapi Potong ... 23

3.3.6. Analitic Hierarchy Process ... 24

4. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 28

4.1. Fisik Wilayah ... ... 28

4.1.1. Topografi dan Morfologi ... 28

4.1.2. Drainase.... ... 29

4.1.3. Daerah Aliran Sungai (DAS) ... 29

4.2. Potensi Sumberdaya Alam ... 30

4.2.1. Penggunaan Lahan ... 30

4.2.2. Litilogi, Geologi dan Jenis Tanah ... 31

4.2.3. Klimatologi ... 32

4.2.4. Penduduk .. ... 33

4.2.5. Kondisi Umum Peternakan ... 35


(14)

5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

5.1. Penutupan dan Penggunaan Lahan ... 38

5.2. Kesesuaian Lingkungan Ekologis Sapi Potong... 41

5.3. Kesesuaian Lahan Tanaman Hijauan Makanan Ternak ... 42

5.3.1. Kesesuaian Lahan Tanaman Rumput Gajah ... 44

5.3.2. Kesesuaian Lahan Rumput Lapangan ... 45

5.3.3. Kesesuaian Lahan Padang Pengembalaan ... 48

5.3.4. Kesuaian Lahan Tanaman Leguminosa ... 54

5.3.5. Kesuaian Lahan Tanaman Padi Sawah (Oryza sativa) ... 57

5.4. Ketersedian Hijauan Makanan Ternak ... 61

5.5. Analisis Finansial Usaha Sapi Potong ... 63

5.5.1. Ketersedian Modal ... 64

5.5.2. Proyeksi Aliran Kas ... 65

5.5.3. Arus Penerimaan Sapi Potong ... 66

5.5.4. Arus Biaya Usaha Ternak Sapi Potong ... 66

5.5.5. Arus Pendapatan ... 66

5.5.6. Penilaian Kriteria Kelayakan Finansial ... 67

5.6. Arahan Pengembangan Sapi Potong ... 69

5.6.1. Arahan Lahan Pengembangan Sapi Potong ... 69

5.6.2. Arahan Sistem Pemeliharaan Ternak ... 72

6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 76

6.1. Kesimpulan... 76

6.2. Saran... ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77

LAMPIRAN ... 81


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jenis data sekunder yang dipakai... 14

2 Jenis peta yang digunakan... 16

3 Kriteria penilaian lingkungan ekologis ternak sapi dikandangkan... 17

4 Kriteria penilaian lingkungan ekologis ternak sapi gembala... 18

5 Kriteria status daya dukung hijauan makanan ternak berdasarkan indeks daya dukung... 19

6 Karakterisasi pakan dari hijauan makanan ternak... 20

7 Karakterisasi potensi pakan hijauan dari setiap penggunaan lahan... 20

8 Nilai satuan ternak (ST) ruminansia utama di Kabupaten Sijunjung tahun 2008... 21

9 Matriks tujuan, analisis, peubah, data dan keluaran penelitian... 27

10 Kemiringan lereng Kabupaten Sijunjung... 28

11 Luas lahan Kabupaten Sijunjung menurut penggunaannya tahun 2008... 30

12 Curah hujan di Kabupaten Sijunjung... 33

13 Luas wilayah kecamatan, jumlah nagari, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di Kabupaten Sijunjung... 34

14 Penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan usaha dan jenis kelamin tahun 2008... 34

15 Populasi ternak ruminansia menurut kecamatan di Kabupaten Sijunjung... 36

16 Jenis penggunaan lahan di Kabupaten Sijunjung tahun 2006 berdasarkan interpretasi citra Landsat ... 38

17 Kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong... 42

18 Kesesuaian lahan tanaman rumput gajah ...…... 44

19 Kesesuaian lahan rumput lapangan... 48

20 Kesesuaian lahan padang pengembalaan... 51

21 Kesesuaian lahan tanaman leguminosa... 54

22 Kesesuaian lahan tanaman padi sawah (Oriza sativa)... 57

23 Produksi hijauan makan ternak per penggunaan lahan yang dinilai... 61

24 Status daya dukung hijauan makanan ternak pada kesesuaian lahan aktual pada tahun 2008... 62

25 Status daya dukung hijauan makanan ternak pada kesesuaian lahan potensial pada tahun 2008... 63


(16)

27 Hasil analisis finansial pada tingkat suku bunga 6 %... 67 28 Hasil analisis finansial pada tingkat suku bunga 12%...…... 68 29 Arahan lahan pengembangan sapi potong berdasarkan indeks daya

dukung... 72 30 Matrik nilai AHP masing-masing stakeholders...…... 74


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram alir kerangka pemikiran... 5

2 Peta lokasi penelitan Kabupaten Sijunjung... 15

3 Diagram alir penelitian... 26

4 Sebagian bentangan lahan di Kabupaten Sijunjung yang menyebabkan keterbatasan pemanfaatan peternakan secara optimal... 29

5 Suasana pasar ternak Palangki di Kecamatan IV Nagari... 37

6 Peta penggunaan lahan Kabupaten Sijunjung tahun 2006... 39

7 Luasan lahan yang berpotensi untuk pengembangan ternak per kecamatan di Kabupaten Sijunjung... 40

8 Peta kesesuaian lingkungan ekologis sapi kandang dan gembala di Kabupaten Sijunjung... 43

9 Peta kesesuaian lahan aktual rumput gajah... 46

10 Peta kesesuaian lahan potensial rumput gajah... 47

11 Peta kesesuaian lahan aktual rumput lapangan... 49

12 Peta kesesuaian lahan potensial rumput lapangan... 50

13 Peta kesesuaian lahan aktual padang pengembalaan... 52

14 Peta kesesuaian lahan potensial padang pengembalaan... 53

15 Peta kesesuaian lahan aktual leguminosa... 55

16 Peta kesesuaian lahan potensial leguminosa... 56

17 Peta kesesuaian lahan aktual tanaman padi sawah... 59

18 Peta kesesuaian lahan potensial tanaman padi sawah... 60

19 Peta arahan lahan pengembangan sapi potong... 71

20 Hasil penilaian hirarki dari AHP... 73


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta lereng Kabupaten Sijunjung... ... 81

2 Peta curah hujan Kabupaten Sijunjung... 82

3 Peta bulan kering Kabupaten Sijunjung... 83

4 Foto pemeliharaan ternak sapi di Kabupaten Sijunjung... 84

5 Kriteria kesesuaian lahan untuk Rumput Gajah (Pennisetum purpureum).... 85

6 Kriteria kesesuaian lahan untuk kelompok leguminosa... 86

7 Kriteria kesesuaian lahan untuk Rumput Lapangan... 87

8 Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman Padi Sawah (Oryza sativa)... 88

9 Kriteria kesesuaian lahan untuk Padang Pengembalaan... 89

10 Analisis usaha ternak gembala pada bunga 6 %... 90

11 Analisis usaha ternak gembala pada bunga 12 %... 91

12 Analisis usaha ternak dikandangkan skala kecil pada bunga 6 %... 92

13 Analisis usaha ternak dikandangkan skala kecil pada bunga 12 %... 93

14 Analisis usaha ternak dikandangkan skala sedang pada bunga 6 %... 94

15 Analisis usaha ternak dikandangkan skala sedang pada bunga 12 %... 95


(19)

1.1. Latar Belakang

Upaya mewujudkan Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010 terhadap akselerasi peningkatan produksi pangan khususnya daging sapi untuk pencapaian swasembada tahun 2010 adalah dengan pemanfaatan lahan-lahan pertanian. Pemanfaatan lahan-lahan-lahan-lahan pertanian di luar Pulau Jawa merupakan salah satu tindakan yang penting. Salah satu langkah strategis untuk mencapai sasaran di atas adalah mengidentIfikasi potensi lahan yang sesuai untuk pengembangan komoditas sapi potong.

Gambaran neraca kebutuhan daging sapi di Indonesia pada tahun 2008 defisit sekitar 30 % dari kebutuhan nasional (sekitar 112,9 ribu ton atau setara dengan 912 ribu ekor sapi hidup), merupakan salah satu indikator yang menunjukkan bahwa prospek industri ternak sapi di Indonesia cukup menjanjikan. Pernyataan tersebut cukup beralasan mengingat angka konsumsi per kapita yang digunakan masih relatif rendah (di bawah 2 kg/kapita/tahun). Jika dalam 10 tahun mendatang rata-rata konsumsi daging sapi dapat ditingkatkan mencapai 3 kg/kapita/tahun, maka kebutuhan ternak sapi potong akan akan lebih tinggi.

Potensi usaha peternakan sapi potong di Indonesia sangat besar bila dilihat dari ketersedian pakan. Saat ini masih tersedia kawasan perkebunan yang relatif kosong, dengan luas lebih dari 15 juta hektar. Lahan sawah dan tegalan yang belum optimal dimanfaatkan untuk pengembangan ternak tercatat lebih dari 10 juta hektar (luas panen per tahun), serta lahan lain yang belum dimanfaatkan secara optimal lebih dari puluhan juta hektar yang tersebar di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Setiap hektar kawasan perkebunan atau pertanian, sedikitnya mampu menyediakan bahan pakan untuk 1-2 ekor sapi, sepanjang tahun. Peternakan sapi rakyat diperkirakan menyumbang kurang lebih 70 % produk daging sapi nasional yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Produk tersebut dihasilkan dari sekitar 10,7 juta ekor sapi potong, 2,2 juta ekor kerbau (yang juga dikenal masyarakat umum juga sebagai daging sapi) dan 0,3 juta sapi perah (DITJENNAK 2008).


(20)

Sistem integrasi tanaman ternak telah menjadi salah satu alternatif dalam penyediaan pakan bagi ternak dengan menciptakan suatu simbiosis mutualisme dan sistem ini dianggap sesuai dengan kondisi pertanian Indonesia (Davendra et

al, 2001). Kabupaten Sijunjung di Propinsi Sumatera Barat memiliki potensi lahan

pertanian dan perkebunan yang luas, dirasa cocok untuk mengembangkan usaha sapi potong. Usaha tersebut sangat diperlukan dalam rangka mengantisipasi dampak krisis global yang terjadi pada saat ini, dimana masyarakat pedesaan yang selama ini bergerak di sektor perkebunan sudah merasakan krisis tersebut. Sektor industri dan komoditas perkebunan untuk ekspor seperti karet dan kelapa sawit yang selama ini menjadi basis perekonomian masyarakat di Kabupaten Sijunjung mengalami kemunduran akibat jatuhnya harga komoditas tersebut karena permintaan dari negara-negara importir mulai berkurang, sedangkan usaha sapi potong/harga daging cenderung stabil dan malah mengalami peningkatan. Oleh karena itu dimasa otonomi daerah ini, pemerintah daerah dituntut untuk aktif dan bergerak cepat dalam menjaga stabilitas perekonomian masyarakat daerahnya.

Peranan ternak sapi potong dalam pembangunan peternakan adalah cukup besar, yang dapat berfungsi sebagai : (a) sumber pangan hewani asal ternak berupa daging dan susu; (b) sumber pendapatan petani peternak; (c) penghasil devisa yang sangat diperlukan untuk membiayai pembangunan nasional; (d) menciptakan angkatan kerja; (e) sasaran konservasi lingkungan terutama lahan melalui daur ulang pupuk kandang; dan (i) pemenuhan sosial budaya masyarakat dalam upacara adat/kebudayaan. Usaha peternakan sapi potong dapat dijadikan sebagai usaha yang cocok untuk membantu dalam menjaga stabilitas perekonomian masyarakat pedesaan karena dapat memberikan nilai tambah bagi peternak. Usaha peternakan sapi potong jika dikembangkan secara baik akan meningkatkan perekonomian masyarakat, apalagi didukung oleh ketersedian lahan yang cukup dan kesesuaian lahan yang menunjang. Untuk mengembangkan usaha ternak sapi potong tersebut, kajian kesesuaian lahan baik secara fisik maupun sosial ekonomi sangat diperlukan.


(21)

1.2. Kerangka Pemikiran / Perumusan Masalah

Dilihat dari potensi wilayahnya, Kabupaten Sijunjung dengan bentuk wilayah yang berbukit dan bergelombang, tanah yang kurang subur sehingga kurang cocok untuk usaha pertanian intensif. Lahan-lahan marginal tersebut dapat dijadikan untuk usaha sektor perkebunan dan peternakan terutama ternak sapi sehingga dapat menjadi salah satu sektor unggulan bagi daerah.

Rumput alam, maupun tamanan bawah lainnya yang berada di perkebunan kelapa sawit dan karet serta pemanfaatan limbah pertanian tanaman pangan dapat digunakan sebagai sumber hijauan dalam pengembangan sapi potong. Potensi luas lahan yang tersedia untuk pakan hijauan ternak (sekitar 69.464 Ha) dapat mencukupi untuk 139.292 ekor/ST (satuan ternak). Populasi ternak sapi di Kabupaten Sijunjung baru mencapai 16.205 ekor dan kerbau 18.460 ekor, diharapkan masih bisa menampung tambahan sekitar 104.627 ekor lagi. Rumah Tangga Peternak (RTP) sapi potong berjumlah 3.957 KK (kepala keluarga) dan RTP kerbau berjumlah 2.797 KK (Dinas Peternakan dan Perikanan 2008).

Dilihat dari uraian di atas terdapat tantangan dan peluang untuk pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten Sijunjung yang perlu dikaji analisis kesesuaian lahan baik secara biofisik, ekonomi dan sosial budaya serta arahan pengembangannya. Inventarisasi potensi sumberdaya lahan dapat dijadikan sebagai salah satu dasar utama dalam menyusun perencanaan wilayah.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan kepentingan yang dijelaskan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi areal lahan yang sesuai untuk untuk pengembangan ternak sapi potong.

2. Menghitung daya dukung dan indeks daya dukung lahan yang sesuai bagi usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Sijunjung

3. Menganalisis skala usaha dan kelayakan finansial usaha ternak sapi potong.

4. Menentukan arahan kawasan penyebaran dan pengembangan sapi potong berdasarkan potensi sumberdaya lahan dan sosial ekonomi.


(22)

Hasil penelitian ini nantinya dapat bermanfaat antara lain :

1. Memberikan masukan kepada pemerintah daerah Kabupaten Sijunjung khususnya Dinas Peternakan dan Perikanan sebagai bahan pertimbangan untuk pengembangan usaha sapi potong.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat pelaku usaha serta investor yang bergerak di sektor usaha ternak sapi potong/usahatani/perkebunan dalam berinvestasi sehingga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani peternak.

3. Memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tentang lahan-lahan potensial sebagai dasar penataan kawasan pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Sijunjung.

1.4. Batasan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat beberapa batasan yang menyebabkan hasil dari penelitian ini kurang optimal, antara lain karena :

1. Peta satuan tanah yang digunakan terbatas pada informasi dari peta satuan lahan dan tanah skala tingkat tinjau yang dikeluarkan Puslitanak (1990). 2. Tampilan citra terbaru terdapat banyak awan sehingga dalam penelitian ini

dipakai citra Landsat tahun 2006.

3. Evaluasi lahan yang dilaksanakan lebih bersifat kualitatif sehingga hanya memadai untuk arahan pengembangan pada tingkat awal. Perhitungan produksi bahan kering hijauan makanan ternak untuk setiap kelas kesesuaian lahan didasarkan pada asumsi hasil penelitian di tempat lain (data sekunder).

4. Perhitungan analisis finansial dilakukan hanya terhadap input dan output tetap.


(23)

Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran.

Ketersedian HMT : - Daya Dukung - Indeks Daya Dukung Evaluasi Lahan

Potensi Lahan untuk Peningkatan Usaha Sapi Potong Peningkatan Usaha Sapi Potong

Kesesuaian Lingkungan Ekologis untuk Sapi Potong

Kesesuain Lahan Untuk Hijauan Makanan Ternak

(HMT)

Analisis Spasial (SIG)

Lahan-lahan Potensi untuk Pengembangan Sapi Potong

Arahan Pengembangan Usaha Sapi Potong

Karakteristik Sosial Budaya Masyarakat Kelayakan Finansial Pengelolaan dan Pemanfaatan Potensi Daerah Dalam

Meningkatkan Perekonomian Daerah

Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010


(24)

2.1. Kawasan Penyebaran dan Pengembangan Ternak

Penataan ruang untuk suatu penggunaan tertentu tidak hanya diperlukan bagi pemanfaatan oleh manusia saja, tetapi usaha-usaha yang berkaitan dengan manusia yang menggunakan potensi ruang juga perlu ditata, agar terjadi keseimbangan dan keharmonisan. Apalagi kegiatan-kegiatan tersebut juga melibatkan makluk hidup yang jelas sangat tergantung dengan keberadaan ruang sebagai lingkungan hidupnya, seperti halnya dengan kegiatan peternakan yang perlu penyebaran dan pengembangannya.

Menurut Tarigan (2005), kawasan budidaya adalah kawasan dimana manusia dapat melakukan kegiatan dan dapat memanfaatkan lahan, baik sebagai tempat tinggal atau beraktifitas untuk memperoleh pendapatan/kemakmuran. Kawasan peternakan merupakan salah satu bentuk dari penggunaan kawasan budidaya dalam struktur ruang suatu wilayah, yang dapat berupa kawasan budidaya yang diatur atau kawasan budidaya yang diarahkan. Kawasan budidaya yang diatur adalah tempat manusia beraktifitas dengan batasan-batasan tertentu. Batasan itu dapat berupa jenis kegiatan, volume, ukuran, tempat, atau metode pengelolaannya. Berbeda dengan kawasan yang diatur, cara pemanfaatan lahan yang diarahkan tidak dinyatakan dengan tegas, bahkan pengarahannya sering dilakukan secara sektoral.

Menurut Setyono (1995), konsep tata ruang dalam suatu usaha peternakan adalah konsep pengelompokan aktivitas usaha ternak dalam ruang, sehingga setiap wilayah memiliki pusat-pusat usaha ternak yang didukung oleh daerah-daerah sekitarnya. Pengelompokan aktivitas usaha peternakan ini diharapkan dapat menimbulkan keuntungan-keuntungan sebagai berikut :

1. Memaksimalkan keuntungan usaha karena kegiatan pra produksi dan proses produksi berada dalam satu lokasi kawasan.

2. Memaksimumkan pelayanan, dimana fasilitas pelayanan yang dibangun akan lebih berdayaguna dan berhasil guna terutama dalam menekan biaya transportasi.

3. Menjamin keterkaitan antara aktivitas pra produksi, proses produksi dan pasca produksi.


(25)

4. Memudahkan pemasaran hasil-hasil secara lebih terorganisir, sehingga posisi tawar menawar (bargaining power) lebih kuat.

Pengelompokan aktivitas peternakan dalam suatu wilayah yang didukung oleh wilayah sekitarnya dan partisipasi masyarakat dinamakan Kawasan Peternakan. Secara umum Kawasan Peternakan memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut : lokasinya sesuai dengan agro ekosistem dan alokasi tata ruang wilayah, dibangun dan dikembangkan oleh masyarakat dalam atau sekitar kawasan tersebut, berbasis komoditas ternak unggulan dan atau komoditas ternak strategis, adanya pengembangan kelompok tani menjadi kelompok pengusaha, sebagian besar pendapatan masyarakat berasal dari usaha agribisnis peternakan, memiliki prospek pasar yang jelas, didukung oleh ketersediaan teknologi yang memadai, memiliki peluang pengembangan atau diversifikasi produk yang tinggi, didukung oleh kelembagaan yang berakses ke hulu dan ke hilir (Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal 2004).

2.2. Ternak Sapi Potong

Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan sumber protein hewani yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan penting artinya dalam kehidupan masyarakat. Seekor atau sekelompok ternak sapi dapat menghasilkan berbagai macam kebutuhan terutama sebagai bahan makanan berupa daging, disamping hasil ikutan lainnya seperti pupuk kandang, kulit tulang dan lainnya (Sugeng 1998).

Riady (2004) menambahkan bahwa pada tahun 2003, populasi sapi potong di Indonesia sekitar 11.395.688 ekor, dengan tingkat pertumbuhan populasi sekitar 1,08 %, idealnya pertumbuhan minimal populasi sapi potong 15,27 % untuk memenuhi kebutuhan domestik. Dari populasi sapi tersebut 45-50 % adalah sapi asli Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan, sapi Bali termasuk jenis sapi terbanyak, diikuti sapi Madura, dan sisanya terdiri sapi Ongole, Peranakan Ongole (PO), Brahman Cross, dan persilangan sapi lokal dengan sapi impor (Simental, Limosusin, Hereford, dan lain-lain).

Pemeliharaan sapi potong di Indonesia dilakukan secara ekstensif, semi intensif dan intensif. Pada umumnya sapi-sapi yang dipelihara secara intensif


(26)

hampir sepanjang hari berada dalam kandang dan diberikan pakan sebanyak dan sebaik mungkin sehingga cepat gemuk, sedangkan secara ekstensif sapi-sapi tersebut dilepaskan di padang pengembalaan dan digembalakan sepanjang hari mulai dari pagi hari sampai sore hari.

Mengingat kondisi Indonesia yang merupakan negara agraris maka sektor pertanian tidak terlepas dari berbagai sektor yang lainnya yaitu sub sektor peternakan. Faktor pertanian dan penyebaran penduduk di Indonesia ini menentukan penyebaran usaha ternak sapi. Masyarakat peternak bermata pencaharian bertani tidak bisa lepas dari usaha ternak sapi, baik untuk tenaga, pupuk dan sebagainya sehingga kalau pertanian maju berarti menunjang produksi pakan ternak berupa hijauan, hasil ikutan pertanian berupa biji-bijian atau pakan penguat (Sugeng 1998).

2.3. Hijauan Makanan Ternak Sapi Potong

Hijauan Makanan ternak (HMT) merupakan semua bahan yang berasal dari tanaman dalam bentuk daun-daunan. Kelompok hijauan makanan ternak meliputi rumput (graminae), leguminosa, dan hijauan dari tumbuh-tumbuhan lain seperti daun nangka, daun waru dan lain-lain. Hijauan sebagai bahan makanan ternak dapat diberikan dalam dua macam bentuk, yaitu hijauan segar dan hijauan kering. Hijauan segar berasal dari tanaman yang masih segar seperti rumput segar, leguminosa segar dan silase, sedangkan hijauan kering berasal dari hijauan yang sengaja dikeringkan (hay) ataupun jerami kering. Sebagai bahan makanan ternak, hijauan memegang peranan penting karena hijauan mengandung hampir semua zat yang diperlukan hewan. Khususnya Indonesia, bahan hijauan memegang peranan istimewa karena diberikan dalam jumlah besar. Ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing dan domba yang diberi hijauan sebagai bahan tunggal, masih dapat mempertahankan hidupnya dan mampu tumbuh baik dan berkembang biak (AAK 1983).

2.4. Daya Dukung Lahan

Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya (FAO 1976). Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001)


(27)

mendefinisikan lahan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat bersifat siklik yang berbeda di atas dan di bawah wilayah tersebut termasuk atmosfir serta segala akibat yang ditimbulkan oleh manusia di masa lalu dan sekarang yang semuanya berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa yang akan datang. Kemampuan lahan (land capability) dan kesesuaian lahan (land suitability), merupakan dua istilah yang berbeda. Kesesuaian lahan merupakan kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini atau setelah diadakan perbaikan (improvement). Kesesuaian lahan ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya, terdiri dari iklim, tanah, topografi, hidrologi dan atau drainase sesuai untuk status usaha tani atau komoditas tertentu yang produktif (Djaenudin et al. 2003). Kemampuan lahan diartikan sebagai kapasitas suatu lahan untuk berproduksi. Jadi semakin banyak jenis tanaman yang dapat dikembangkan atau diusahakan di suatu wilayah maka kemampuan lahan tersebut semakin tinggi, sedangkan kesesuaian lahan adalah kecocokan dari sebidang lahan untuk tipe penggunaan tertentu (land

utilization type) sehingga dalam penggunaan lahan, aspek manajemen juga harus

dipertimbangkan.

Wilayah Kabupaten Sijunjung yang beragam merupakan salah satu potensi yang harus dimanfaatkan dalam usaha pengembangan pertanian yang berwawasan agribisnis dan pengembangan pembangunan wilayah dengan berbasis pada sektor pertanian yang berkelanjutan (BAPPEDA 2006) menjadikan unsur efisiensi sumberdaya pertanian merupakan komponen utama yang harus diperhatikan. Pendekatan komoditas (commodity approach) adalah salah satu langkah yang dapat dilakukan dalam efisiensi sumberdaya. Pendekatan komoditas menggunakan konsep pewilayahan komoditas unggulan sehingga akan didapatkan produk pertanian yang memiliki potensial produktivitas dan mutu tinggi. Pengembangan komoditas unggulan harus didasarkan atas kesesuaian komoditas terhadap lingkungan yang ada, sehingga dalam pengembangan komoditas unggulan (komparatif) faktor kesesuaian lahan harus menjadi pertimbangan penting.


(28)

Menurut Soemarwoto (1983), daya dukung menunjukkan besarnya kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan hewan, yang dinyatakan dalam jumlah ekor per satuan jumlah lahan. Jumlah hewan yang dapat di dukung kehidupannya itu tergantung pada biomas (bahan organik tumbuhan) yang tersedia untuk hewan. Daya dukung ditentukan oleh banyaknya bahan organik tumbuhan yang terbentuk dalam proses fotosintesis per satuan luas dan waktu, yang disebut produktivitas primer.

Salah satu faktor yang diperlukan untuk menganalisis kapasitas tampung ternak ruminansia di suatu wilayah adalah dengan menghitung potensi hijauan pakan. Hijauan pakan untuk ternak ruminansia terdiri dari rerumputan, dedaunan dan limbah pertanian. Estimasi potensi hijauan pakan pada masing-masing wilayah dipengaruhi oleh keragaman agroklimat, jenis dan topografi tanah dan tradisi budidaya pertanian (Ma’sum 1999).

2.5. Konsep Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG)

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand and Kiefer 1990). Alat yang digunakan adalah alat pengindera atau sensor yang berupa pesawat terbang, satelit, pesawat ulang-alik atau wahana lain. Kegiatan penginderaan jauh terbagi menjadi dua kegiatan utama, yaitu pengumpulan data dan analisis data. Dengan demikian pembicaraan penginderaan jauh tidak dapat lepas dari perangkat pengumpulan data dan metodologi analisis data agar menghasilkan informasi yang bermanfaat. Pengumpulan data dari jarak jauh dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, termasuk variasi agihan daya, agihan gelombang bunyi atau agihan energi elektromagnetik. Citra Landsat adalah salah satu contoh bentuk data hasil perekaman penginderaan jauh dalam bentuk agihan energi elektromagnetik. Citra Landsat telah banyak digunakan untuk mengetahui kondisi sumberdaya alam di muka bumi, khususnya untuk melihat tutupan lahan dan jenis penggunaan lahan.

Kunci keberhasilan terapan suatu sistem penginderaan jauh terletak pada manusia (kelompok manusia) yang menggunakan data penginderaan jauh. Data yang dihasilkan dengan sistem penginderaan jauh hanya akan menjadi informasi


(29)

yang bermanfaat bila seseorang memahami asal-usulnya, mengerti bagaimana menginterpretasinya dan memahami bagaimana cara menggunakannya secara tepat (Lillesand and Kiefer 1990). Karakteristik utama dari metode penginderaan jauh yang digunakan untuk pemetaan penggunaan lahan adalah tingkat otomatisasi dan objektivitas yang tinggi, serta dimungkinkan untuk dilakukan perbaikan-perbaikan. Informasi dari citra Landsat dan data vektor dipadukan dan dianalisis dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) (Tapiador dan Casanova 2003).

Pemanfaatan SIG bertujuan untuk memecahkan berbagai persoalan yang dibutuhkan dalam pengelolaan data yang berbasis geografi. SIG mampu mengintegrasikan rangkaian data yang bervariasi mulai dari data atribut seperti data lapangan, data spasial maupun data penginderaan jauh, sebagai salah satu sumber data yang sangat bermanfaat dalam SIG. Hubungan antara SIG dengan penginderaan jauh (inderaja) dapat dikatakan sangat erat. Meskipun demikian, baik inderaja maupun SIG keduanya dapat bekerja secara terpisah, dimana masing-masing menghasilkan informasi yang penting dan relevan untuk kepentingan sumberdaya alam. Apabila kedua teknologi ini dipadukan, informasi yang diperoleh akan lebih baik daripada dioperasikan secara terpisah.

Menurut Ma’sum (1999), melalui pemanfaatan interpretasi data satelit dengan menggunakan perangkat keras dan lunak serta didukung dengan peta topografi, peta tematis serta data statistik pertanian, dapat dianalisis potensi hijauan pakan ternak di suatu wilayah lebih cepat dan cukup akurat. Berdasarkan data ketersedian hijauan pakan ternak di suatu wilayah, dibagi dengan kebutuhan per ekor ternak akan didapatkan kapasitas tampung.

2.6. Hasil-hasil Penelitian Terdahulu.

Daya dukung suatu wilayah dengan penekanan pada kemampuan menyokong dan menampung, didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan keluaran yang diinginkan dari sumberdaya dasar untuk mencapai kualitas hidup yang lebih tinggi dan lebih wajar (Khana et al 1999)

Populasi ternak yang melebihi kapasitas daya dukung sumberdaya lahan serta berlangsung secara terus menerus tanpa pencegahan, akan berakibat degradasi lahan dan berkurangnya ketersediaan hijauan makanan ternak Hasil


(30)

penelitian Wirdahayati dan Bamualim (2007) menunjukan bahwa penampilan sapi lokal di Kabupaten Pesisir Selatan Propinsi Sumatera Barat yang dipelihara bebas di tempat pengembalaan umum relatif kecil-kecil sebagai akibat rendahnya pertumbuhan ternak, sehubungan dengan rendahnya kapasitas dan dukungan pakan yang disediakan dari padang pengembalaan umum. Efisiensi penggunaan lahan, penanaman tanaman kacang-kacangan (sejenis legum), pengembangan agroforestri dan penghijauan adalah beberapa tindakan yang dapat meningkatkan daya dukung lahan, terutama terhadap lahan-lahan milik perorangan yang telah dibajak kemudian ditelantarkan, dan penggunaan yang tidak efektif lainnya (Thapa dan Paudel 2000).

Melalui pendekatan perpaduan kondisi agroklimat dan penggunaan lahan serta produktivitas tanaman pangan dan hijauan yang ada, maka kesesuaian lahan dan arah pengembangan lahan bagi ternak ruminansia dapat ditentukan. Informasi daya dukung pakan hijauan yang disajikan dengan nilai Indeks Daya Dukung (IDD) adalah memperlihatkan status masing-masing daerah terhadap kemampuan penambahan populasi untuk ruminansia saat ini. Arahan kesesuaian ekologis lahan dapat direkomendasikan pada dua pola. Pertama adalah pola diversifikasi spasial, yaitu pengembangan pada lahan-lahan yang telah mempunyai peruntukan, antara lain untuk tanaman pangan dan perkebunan dalam bentuk pola keterpaduan. Kedua, pola ekstensifikasi spasial, adalah pengembangan pada lahan kehutanan dan alang-alang. Dari hasil penelitian, rekomendasi arahan pengembangan lahan untuk ternak ruminansia di Propinsi Nusa Tenggara Timur adalah ; a) Pola diversifikasi untuk kelompok ternak sapi potong banyak terdapat di lahan tegalan, sawah dan perkebunan, b) Pola ekstensifikasi banyak terdapat di lahan hutan dan alang-alang. Dilihat dari potensi daya dukung hijauan pakan di wilayah NTT pada umumnya masih melimpah dan masih mampu menambah ternak ruminansia sebanyak 2.395.384 ST dari populasi saat ini sebanyak 471.971 ST (Sumanto dan Juarini 2004)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Herlinda (2007) di Kabupaten Lima Puluh Kota Propinsi Sumatera Barat didapatkan lahan-lahan yang sesuai untuk pengembangan ternak sapi potong adalah kebun campuran dengan luas 47.045 ha, tegalan/ladang 22.322 ha, perkebunan 16.425 ha, sawah 7.415 ha dengan


(31)

sistem diversifikasi, sedangkan semak/rerumputan 16.740 ha dan hutan produksi 1.786 ha dengan sistem ekstensifikasi dengan total luas 111.728 ha dengan total ketersediaan pakan 124.057 ton dengan daya dukung 130.749 ST . Untuk daya dukung hijauan makanan ternak didapatkan status aman dengan luas 94.981 ha (34,65 %), status rawan adalah 10.957 ha (4.00%) status kritis 1.296 ha (0,47%) dan status sangat kritis adalah 4.494 ha (1,64%).


(32)

3.1. Lokasi dam Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sijunjung Propinsi Sumatera Barat yang terdiri dari 8 Kecamatan. Secara geografis Kabupaten Sijunjung berada pada posisi antara 0o18’43’’ - 1o 41’ 46” LS dan 101o30’52’’ – 100o 37’ 40” BT, (tersaji pada Gambar 2) dengan batas-batas sebagai berikut :

- Sebelah Utara : Kabupaten Tanah Datar dan Kotamadya Sawahlunto. - Sebelah Timur : Propinsi Riau

- Sebelah Selatan : Kabupaten Dhamasraya - Sebelah Barat : Kabupaten Solok

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Desember 2009, meliputi tahap : persiapan, pengumpulan data, pengecekan lapangan dan analisis.

3.2. Data

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data hasil peninjauan lapangan berupa data hasil wawancara tentang input dan output usaha ternak, data hasil wawancara dengan

stakeholders tentang bagaimana persepsi yang menggambarkan keinginan

masyarakat dalam pengembangan peternakan. Sedangkan data sekunder terdiri dari :

Tabel 1 Jenis data sekunder

No Jenis data Tahun Bentuk

Data Sumber Data

1.

Kebijakan Pembangunan Renstra Sektor Peternakan 2006-2010

2005 Tabular Dinas Peternakan Kabupaten Sijunjung

2. Statistik Peternakan 2008 Tabular Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Sijunjung

3. Data karakteristik dan kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong dan HMT

1998 Tabular Puslitbangtanak Bogor

4. Sijunjung Dalam Angka

Data PDRB 2008

Tabular Bappeda Kabupaten Sijunjung


(33)

(34)

Tabel 2 Jenis peta yang di digunakan

No Jenis peta Skala Tahun Bentuk Sumber

1. Peta RBI Kabupaten Sijunjung 1 : 50.000 2008 Digital Bappeda Sijunjung

2. Citra Landsat 2006

Digital Biotrop Training dan Information Center (BTIC), Bogor

3. Peta Kontur Interval

25 meter - Digital Bapedda Sijunjung

4. Peta LREP I lembar Solok(0815) 1: 250.000 1990 Digital Puslitbangtanak Bogor

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain seperangkat komputer dengan piranti lunak utama Arc GIS Versi 9.2. Erdas Imagine 9.0; dan program pendukung lain yaitu : Expert Choice 2000, Microsoft Excel dan Microsoft Word serta GPS (Global Positioning System). Piranti lunak Microsoft Excel dan

Microsoft Word dipakai untuk penulisan dan pengolahan data sekunder yang

berupa angka dan gambar, Arc GIS 9.2 digunakan untuk analisis spasial menggunakan analisis SIG dengan melakukan tumpang tindih berbagai peta, sedangkan piranti lunak Erdas Imagine 9.0 digunakan untuk melakukan interpretasi citra Landsat.

3.3. Analisis data

3.3.1. Identifikasi penggunaan lahan

Analisis diawali dengan melakukan penggabungan tiga data citra (pembuatan mosaik) dan koreksi geometri dari citra Landsat dengan path/row 126/060, 127/060 dan 127/061 menggunakan pendekatan tetangga terdekat (nearest neighbour) serta penajaman citra guna memudahkan proses klasifikasi. Proses klasifikasi diharapkan memiliki tingkat akurasi >85%, bila kurang dari angka tersebut harus dilakukan pengulangan dalam pengambilan contoh.

Selanjutnya dilakukan klasifikasi dengan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification). Pendekatan yang digunakan adalah Maximum

Likelihood Classification (MLC) sehingga dihasilkan peta penutupan/penggunaan

lahan tahun 2006 yang digunakan sebagai bahan dalam analisis ketersediaan lahan khususnya untuk pengembangan sapi potong.


(35)

3.3.2. Analisis Kesesuaian Lahan

Analisis kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong dan kesesuaian lahan Hijauan Makanan Ternak (HMT) menggunakan kriteria FAO dalam Framework

of Land Evaluation (FAO 1976). Kelas kesesuaian lahan dibagi menjadi empat

kelas, yaitu : S1 (sangat sesuai), S2 (cukup sesuai), S3 (sesuai marginal) dan N (tidak sesuai), sedangkan untuk kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong dibagi dalam dua kelas yaitu S (sesuai) dan N (tidak sesuai).

Analisis diawali dengan melakukan tumpang tindih dan kompilasi/pemaduan peta LREP I (0815) Sumatera lembar Solok, peta lereng (diturunkan dari peta kontur) dan peta administrasi menggunakan program Arc

GIS. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk membuat satuan lahan homogen.

Kemudian pemaduan data/informasi penunjang geofisik lahan, yang akan diperoleh informasi kualitas lahan. Selanjutnya dilakukan analisis kesesuaian ekologis sapi potong dan lahan HMT, yaitu dengan mencocokan (matching) antara kualitas lahan dengan kriteria kebutuhan ekologis sapi potong dan kesesuaian lahan HMT sapi potong, sehingga dihasilkan peta kesesuaian lahan untuk lingkungan ekologis sapi potong dan kesesuaian HMT di Kabupaten Sijunjung.

Tabel 3 Kriteria penilaian lingkungan ekologis ternak sapi dikandangkan

Karakteristik Kesesuaian Lingkungan Sapi Dikandangkan Sesuai (S) Tidak Sesuai (N)

Temperature Humidity Indeks

THI (n) 70-80 < 70, > 80

Ketersediaan Air

Bulan kering (<100 mm) ≤ 8 > 8

Curah Hujan/Tahun (mm) < 4000 > 4000

Keberadaan Sumber Air* Ada Tidak Ada

Kualitas Air (q)

pH Air 6,5-9,0 <6,5, >9,0

Terrain (s)

Lereng (%) ≤ 40 > 40

Elevasi (%) ≤ 1.250 >1.250

Batuan (%) ≤ 50 > 50

* Sumber air bersifat alternatif THI = T-0,55(1-RH/100)(T-58)

T = (Suhu Udara (°F) = 9/5 (°C)+32 RH = Kelembaban Udara


(36)

Tabel 4 Kriteria penilaian lingkungan ekologis ternak sapi gembala

Karakteristik Kesesuaian Lingkungan Sapi Gembala Sesuai (S) Tidak Sesuai (N)

Rejim Temperatur (t)

Suhu rata-rata (°C) 18-37 <18,>37

Kelembaban (%) 60-90 <60,>90

Ketersediaan Air

Bulan kering (<100 mm) ≤ 8 > 8

Curah Hujan/Tahun (mm) 750-4000 <750,>4000

Keberadaan Sumber Air* Ada Tidak Ada

Kualitas Air (q)

pH Air 6,5-9,0 <6,5, >9,0

Terrain (s)

Lereng (%) ≤ 40 > 40

Elevasi (%) ≤ 1.250 >1.250

Batuan (%) ≤ 50 > 50

* Modifikasi dari kriteria tidak sesuai

3.3.3. Identifikasi Tingkat Ketersediaan Hijauan Makanan Ternak

Identifikasi tingkat ketersediaan Hijauan Makanan Ternak (HMT) dapat ditentukan dengan menghitung Daya Dukung (DD) dan Indeks Daya Dukung dari lahan yang ada. Perhitungan dilakukan untuk keadaan kesesuaian lahan aktual dan potensial. Daya dukung hijauan makanan ternak adalah kemampuan suatu wilayah untuk menghasilkan pakan terutama berupa hijauan yang dapat menampung bagi kebutuhan sejumlah populasi sapi potong dalam bentuk segar maupun kering, tanpa melalui pengolahan dan diasumsikan penggunaan hanya untuk sapi potong. Daya dukung hijauan dihitung berdasarkan produksi bahan kering cerna (BCK) terhadap kebutuhan satu satuan ternak (1 ST) dalam satu satuan tahun, dimana total kebutuhan pakan = populasi ternak (ST) x 1,14 ton Berat kering cerna (BCK)/tahun. Umumnya ST dewasa (250 kg), dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Sumanto dan Juarini 2006) :

Daya dukung (ST) =

Produksi bahan kering cerna (Kg)

Kebutuhan bahan kering cerna sapi dewasa (Kg/ST)

Indeks Daya Dukung (IDD) adalah angka yang menunjukan status nilai daya dukung pada suatu wilayah, indeks daya dukung hijauan makanan ternak dihitung


(37)

dari total produksi hijauan makanan ternak yang tersedia terhadap kebutuhan hijauan bagi setiap populasi ternak ruminansia di suatu wilayah. Indeks daya dukung dihitung berdasarkan BKC dengan persamaan sebagai berikut ( Sumanto dan Juarini 2006) :

Indeks daya dukung hijauan =

Total produksi bahan kering cerna (K) .

∑ populasi ruminansia (ST) x kebutuhan BKC sapi dewasa (Kg/ST)

Berdasarkan indeks daya dukung hijauan makanan ternak maka diperoleh kriteria status daya dukung hijauan, yang dapat di lihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Kriteria status daya dukung hijauan makanan ternak berdasarkan indeks daya dukung

No Indeks Daya

Dukung Kriteria Keterangan

1.

2.

3.

4.

≤ 1

> 1 – 1,5

> 1,5 – 2

> 2

Sangat kritis

Kritis

Rawan

Aman

- Ternak tidak mempunyai pilihan dalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia. - Terjadi pengurasan dalam agro-ekosistemnya. - Tidak ada hijauan alami maupun limbah yang

kembali melakukan siklus haranya.

- Ternak telah mempunyai pilihan untuk memanfaatkan sumber daya tetapi belum terpenuhi aspek konservasi;

- Pengembalian bahan organik ke alam pas-pasan;

- Ketersediaan sumberdaya pakan secara fungsional mencukupi kebutuhan lingkungan secara efisien.

Sumber : Sumanto dan Juarini (2006)

Produksi hijauan merupakan produksi relatif untuk masing-masing kelas kesesuaian, dimana untuk kelas : S1 = 80 – 100 %, S2 = 60 – 80 % dan S3 = 40 – 60 % dari produksi rata-rata masing-masing hijauan atau daya dukung lahan, sedangkan kelas N tidak diperhitungkan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2001). Perhitungan ini menggunakan asumsi nilai produksi rata-rata dari setiap kesesuaian lahan. Karakterisasi pakan limbah tanaman pangan dan potensi pakan hijauan pada setiap penggunaan lahan seperti ditunjukkan Tabel 6.


(38)

Tabel 6 Karakterisasi pakan dari hijauan makanan ternak

No Jenis Hijauan Luas Produksi BKC

(Ton/ha/th)

Daya Cerna

Total Produksi BKC Ton

(a) (b) (c) (d) (e) (f)

1. 2. 3. 4. Rumput Lapangan Rumput Gajah Leguminosa Jerami Padi - - - - 2 40* 12,16* 9 0,5 0,5 0,5 0,140

(c) x (d) x (e) (c) x (d) x (e) (c) x (d) x (e) (c) x (d) x (e)

Sumber : Sumanto dan Juarini (2006) dan *) data diolah dari AAK (1983)

Untuk mengetahui daya tampung suatu kawasan perkebunan kelapa sawit dan karet dalam setahun maka perhitungannya adalah : total produksi (dalam kg BK) : konsumsi 1ST (kg) : hari (dalam 1 tahun). Asumsi 1 ST setara dengan 250 kg; konsumsi setara dengan 2,5 % Bobot Hidup (BH), 1 tahun setara dengan 365 hari.

Tabel 7 Karakterisasi potensi pakan hijauan pada setiap penggunaan lahan

No Penggunaan Lahan Luas

(Ha)

Produktivitas pakan hijauan (Ton/Ha/th)

Produksi (BKC/Ha/th)

(a) (b) (c) (d) (e)

1. 2. 3. 4. 5. Lahan Sawah - galengan (agroklimat kering)

- bera (masa tanam

2X setahun) Perkebunan - Karet - Sawit Tegalan/kebun Hutan Rakyat semak Lain-lain - - - - - - 1, 250 0,500 2,000 2,000 2,875 0,300 1,000 0,750

(c) x (d) x 0,5**

(c) x (d) x 0,5**

(c) x (d) x 0,5** (c) x (d) x 0,5** (c) x (d) x 0,5** (c) x (d) x 0,5** (c) x (d) x 0,5** (c) x (d) x 0,5**

*) Sumber : Sumanto dan Juarini (2006); **) Tingkat kecernaan diperhitungkan 50% BCK

Perhitungan jumlah populasi ternak ruminansia dalam satuan ternak (ST) didasarkan pada data nilai ST ternak ruminansia utama Kabupaten Sijunjung seperti ditunjukkan pada Tabel 8.


(39)

Tabel 8 Nilai Satuan Ternak (ST) ruminansia utama di Kabupaten Sijunjung tahun 2008

No Jenis Ternak Jumlah (ekor) Faktor konversi* Jumlah (ST)**

1 2 3 4 Sapi Potong Kerbau Kambing Domba 16.205 18.460 11.177 1.851 0,7 0,8 0,055 0,055 11.344 14,768 615 102

Total 47.693 26.828

Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Sijunjung (2008), data diolah; *Sumanto dan Juwarni (2006). ** (data diolah)

3.3.4. Analisis Finansial

Untuk menentukan kelayakan finansial dari usaha sapi potong tersebut dilakukan analisis kuantitatif dengan menghitung NPV, Net BCR, dan IRR (Soekartawi 1995).

a. Net Present Value (NPV)

Net Present Value (NPV) atau nilai tambah adalah nilai sekarang dari arus

pendapatan yang ditimbulkan oleh penanaman investasi. Metode ini menghitung selisih antara manfaat/penerimaan dengan biaya/pengeluaran. Perhitungan diukur dengan nilai uang sekarang (at present value) dengan rumus :

NPV=

= + − n t t i l t Ct Bt

1 ( )

) (

Dimana:

Bt = Manfaat yang diperoleh sehubungan dengan usaha atau proyek pada

times series (tahun, bulan, dan sebagainya) ke-t (Rp);

Ct = Biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan proyek pada times series ke –t tidak dilihat apakah biaya tersebut dianggap bersifat modal

(pembelian peralatan, tanah, kontruksi dan sebagainya) (Rp);

t = Merupakan tingkat suku bunga yang relevan;

i = Periode (1, 2, 3, ...., n).

Kriteria yang digunakan adalah apabila:

a) nilai NPV > 0, maka pengembangan usaha sapi potong layak untuk dikembangkan.

b) nilai NPV < 0, maka pengembangan usaha sapi potong tidak layak untuk dikembangkan.


(40)

break even point (impas).

b. Benefit Cost Ratio (B/C Ratio)

Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) adalah nilai perbandingan antara nilai manfaat

bersih dengan biaya bersih yang diperhitungkan nilainya saat ini. Net B/C dengan menggunakan rumus:

Net BCR =

t n l t i l Ct Bt

= + − )/( ) ( atau B/C =

= = + + n l t t n l t i l Ct t i l Bt ) /( ) /(

Kriteria yang digunakan adalah apabila :

a) nilai B/C>1, maka pengembangan sapi potong layak untuk dikembangkan. b) nilai B/C<1, maka pengembangan sapi potong tidak layak untuk

dikembangkan.

c) nilai B/C = 1, maka pengembangan sapi potong baru mencapai break even

point (impas).

c. Internal Rate of Return (IRR)

Internal rate of Return (IRR) adalah suatu tingkat bunga yang menunjukkan nilai

sekarang netto (NPV) sama dengan jumlah seluruh investasi proyek atau dengan kata lain, pada tingkat suku bunga berapa NPV sama dengan nol (NPV = 0). Tingkat suku bunga tersebut adalah tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh suatu kegiatan usaha untuk faktor produksi yang digunakan. Perhitungan IRR dapat dirumuskan sebagai berikut :

IRR = i''+(i"−i') ' ''

NPV -NPV '' NPV dimana: i’ i” NPV’ NPV”

= nilai percobaan pertama untuk discount rate;

= nilai percobaan kedua untuk discount rate;

= nilai percobaan pertama untuk NPV; = nilai percobaan kedua untuk NPV.


(41)

Kriteria yang digunakan adalah apabila:

a) Nilai IRR > 1; maka pengembangan usaha sapi potong layak untuk dikembangkan.

b) Nilai IRR < 1; maka pengembangan usaha sapi potong tidak layak untuk dikembangkan.

c) Nilai IRR = 0; maka pengembangan usaha sapi potong mencapai titik break

even point.

3.3.5. Arahan Pengembangan Sapi Potong

Kapasitas peningkatan sapi potong menunjukkan jumlah populasi sapi potong maksimal yang masih mampu di tampung oleh satuan wilayah dalam suatu wilayah. Nilai kapasitas peningkatan sapi potong dihitung sebagai selisih antara total daya dukung hijauan makanan ternak dengan jumlah populasi ternak ruminansia utama yang ada di wilayah tersebut (sapi, kerbau, kambing dan domba), yang di hitung dengan satuan ternak (ST) (Lembaga penelitian IPB 2001). Pada perhitungan penelitian ini di asumsikan penambahan kapasitas hanya untuk ternak sapi potong dewasa.

Prioritas arahan lahan pengembangan sapi potong adalah lahan-lahan yang sesuai untuk lingkungan ekologis sapi potong (S) dan indeks daya dukung hijauan makanan ternak berada pada status aman. Prioritas daya dukung arahan lahan pengembangan sapi potong ditentukan berdasarkan potensi daya dukung hijauan makanan ternak. Urutan prioritas didasarkan pada urutan besarnya potensi daya dukung hijauan makanan ternak dari masing-masing sistem arahan diversifikasi (perkebunan, sawah dan kebun campuran) dan ekstensifikasi (semak belukar dan bekas tambang). Potensi daya dukung hijauan makanan ternak terdiri dari daya dukung dan luas lahan. Lahan bukan prioritas merupakan lahan-lahan yang tidak sesuai (N) untuk lingkungan ekologis sapi potong dan nilai indeks daya dukung berada pada status rawan, kritis dan sangat kritis serta lahan yang tidak dinilai (TD).

Arahan lahan pengembangan ternak sapi potong menurut kesesuaian lahan ekologis didasarkan pada peta kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong, peta kesesuaian lahan dan peta penggunaan lahan saat ini, sehingga arahan lahan pengembangan sapi potong meliputi (Sumanto dan Juarini 2006) :


(42)

1. Diversifikasi, yaitu wilayah yang secara ekologis sesuai untuk ternak dan

telah digunakan atau diperuntukkan bagi kegiatan sektor dan sub sektor serta komoditas lain, seperti lahan perkebunan, lahan hutan produksi dan lahan tanaman pangan.

Simbol yang digunakan untuk wilayah diversivikasi, misalnya meliputi :

- Dp – Diversifikasi perkebunan (kelapa sawit, karet dan perkebunan rakyat) - Ds – Diversifikasi sawah

- Dk – Diversifikasi kebun campuran

2. Ekstensifikasi, yaitu wilayah yang secara ekologis sesuai untuk ternak dan

belum diperuntukan bagi kegiatan komoditas tertentu. Wilayah ini umumnya merupakan wilayah yang tidak produktif berupa kawasan alang-alang, semak belukar, lahan-lahan terlantar, dan hutan konversi.

Simbol yang digunakan untuk wilayah ekstensifikasi, misalnya meliputi : - Es – Ekstensifikasi semak belukar

- Eb – Ekstensifikasi lahan terbuka

Kombinasi antara kesesuaian lingkungan ekologis, status daya dukung hijauan makanan ternak, sistem arahan lahan dan potensi daya dukung menghasilkan matriks prioritas arahan pengembangan sapi potong. Analisis spasial untuk mengetahui sebaran tingkat ketersediaan hijauan makanan ternak dan arahan lahan pengembangan dengan menggunakan pendekatan SIG. Proses-proses yang dilakukan yaitu operasi tumpang tindih peta satuan lahan dengan peta wilayah kecamatan, gabungan basis data dengan data atribut satuan lahan, query (pemanggilan data) untuk pembuatan peta tematik, perhitungan luas lahan dan daya dukung.

3.3.6. Analitic Hierarchy Process (AHP)

Untuk mengetahui isu sentral sebagai prioritas kebijakan pembangunan, maka dilakukan analisis dengan menggunakan metode Analytic Hierarchy

Process (AHP). Untuk mendapatkan skor yang diperlukan, maka dilakukan

penyebaran kuesioner yang telah disusun sebelumnya dan wawancara dengan berbagai unsur yakni Pemda, Pedagang ternak, DPRD dan Peternak. Tujuan utama yang ingin diperoleh dari metode AHP ini adalah ingin menjaring persepsi awal tentang prioritas usaha peternakan yang perlu dilakukan dalam kebijakan


(43)

pembangunan di Kabupaten Sijunjung. Metode pengambilan dengan menggunakan purposive sampling, dengan kriteria responden adalah pihak-pihak yang terlibat langsung atau minimal pernah terlibat dalam perumusan kebijakan pembangunan di Kabupaten Sijunjung. Kriteria responden tersebut dimaksudkan agar jawaban yang diperoleh dapat mencerminkan kondisi yang lebih realistis dalam perumusan kebijakan pembangunan. Analisis AHP dilakukan dengan perangkat lunak Expert Choice 2000.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam metode AHP adalah (Saaty 1993) : 1. Mengidentifikasi/menetapkan masalah-masalah yang muncul;

2. Menetapkan tujuan, kriteria dan hasil yang ingin dicapai;

3. Mengidentifikasi kriteria-kriteria yang mempunyai pengaruh terhadap masalah yang ditetapkan;

4. Menetapkan struktur hirarki;

Menurut Saaty (1993) hirarki adalah suatu sistem yang tersusun dari beberapa level/tingkatan, dimana masing-masing tingkat mengandung beberapa unsur atau faktor. Hal yang dilakukan dalam suatu penetapan hirarki adalah mengukur pengaruh berbagai kriteria yang terdapat pada hirarki. Pada umumnya masalah dasar yang muncul dalam penyusunan hirarkhi adalah menentukan level tertinggi dari berbagai interaksi yang terdapat pada berbagai level;

5. Menentukan hubungan antara masalah dengan tujuan, hasil yang diharapkan, pelaku / objek yang berkaitan dengan masalah, nilai masing-masing faktor; 6. Membandingkan alternatif-alternatif (comparative judgement);

7. Menentukan faktor-faktor yang menjadi prioritas (Synthesis of priority); 8. Menentukan urutan alternatif-alternatif dengan memperhatikan logical

consistency.

Data yang dianalisis diperoleh dari hasil kuesioner terhadap para responden terpilih yang terdiri dari unsur-unsur Pemerintah Daerah, DPRD, pedagang ternak dan peternak. Penyebaran kuesioner dilakukan pada saat penelitian. Skor yang diberikan oleh setiap responden bersifat subyektif, artinya sesuai dengan persepsi masing-masing responden terhadap kebijakan pembangunan di Kabupaten Sijunjung. Nilai skor dari hasil kuesioner tersebut dianalisis dengan bantuan


(44)

program aplikasi Expert Choice 2000 dengan memperhatikan tahapan-tahapan di atas.

Gambar 3 Diagram Alir Penelitian.

Ketersedian Hijauan Makanan Ternak Kesesuaian

Lingkungan Ekologis Ternak

Kesesuaian Lahan Tanaman Hijauan

Makanan Ternak

Sesuai (S1, S2, S3) Sesuai

(S)

Data Kualitas/Karakteristik Satuan Lahan

Cek Lapangan

Analisis/ Interpretasi

Peta Penggunaan Lahan Eksisting Citra Landsat

Tumpang Tindih Data Populasi

Ternak Sapi Potong

Data Karakteristik Sosial Budaya

Arahan dan Prioritas Arahan Pengembangan Ternak Sapi

Potong

Kelayakan Finansial Peta

Administrasi Analisis Spasial

Daya Dukung (DD) - Daya dukung hijauan - Indeks daya dukung


(45)

Tabel 9 Matriks tujuan, analisis, peubah, data dan keluaran penelitian

No Tujuan Analisis/ metode

Peubah Data Keluaran

1 2 3 4 5 Identifikasi penggunaan lahan Penilaian kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong dan Hijauan Makanan Ternak Menghitung Daya dukung lahan dan indeks daya dukung lahan Menentukan kelayakan investasi Menentukan arahan dan prioritas arahan kawasan penyebaran dan pengembangan sapi potong Pengolahan citra Maching antara karakteristik lahan dengan persyaratan lingkungan ekologis sapi potong dan data kesesuaian HMT Daya dukung (DD) Indeks Daya Dukung (IDD) - NPV - IRR - B/C Ratio

Analisis AHP - Ketersediaan sumber pakan Hijauan Makanan Ternak - Batas-batas hutan

- Curah hujan - Jenis tanah - Elevasi - Lereng - Kesuburan tanah - Produksi hijauan - Populasi ternak - Ketersedian modal - Arus penerimaan - Arus biaya - Arus pendapatan - Kesesuaian lahan dan lingkungan - Kelayakan Finansial - Karakteristik sosial budaya

- Citra Landsat 2006

- Peta RBI

- Peta iklim - PH air - Turunan citra

SRTM - Peta LREP - Turunan Citra

SRTM

- Data kesesuaian ling.ekologis sapi potong

- Data kesesuaian lahan HMT

- Peta kesesuaian lahan

- Data populasi ternak

- Data kuesioner - Data wawancara

- Data kuesioner - Data wawancara - Peta administrasi

Jenis penggunaan lahan potensial untuk

pengembangan sapi potong

Lahan yang sesuai untuk ekologis sapi potong dan lahan yang sesuai untuk tanaman HMT Kemampuan lahan dalam menampung ternak (ST) Bahan pertimbangan untuk pengembangan usaha ternak Bahan rekomendasi pengembangan usaha sapi potong


(46)

4.1. Fisik Wilayah

Kabupaten Sijunjung adalah salah satu dari kabupaten 19 kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Barat dengan luas wilayah 3.130,80 Km2 atau 7,41 % dari luas wilayah Propinsi Sumatera Barat (BPS Kabupaten Sijunjung 2008). Secara geologis Kabupaten Sijunjung terdiri dari dataran hingga berbukit di antara deretan Bukit Barisan dengan bahan induk batuan kapur (karst) yang memanjang dari arah barat laut sampai dengan arah tenggara wilayah Kabupaten Sijunjung.

4.1.1. Topografi dan Morfologi

Wilayah Kabupaten Sijunjung memiliki tingkat kemiringan lereng bervariasi antara 2-60 %. Kondisi topografi Kabupaten Sijunjung bervariasi antara bukit, bergelombang dan dataran. Kemiringan tanah atau kelerengan tanah menggambarkan bentuk kedudukan tanah terhadap bidang datar yang dinyatakan dalam persen (%). Pembagian topografi (bentuk wilayah) di Kabupaten Sijunjung berdasarkan kemiringan tanah yang diturunkan dari peta kontur dibagi ke dalam 6 (enam) kelas sebagaimana tersaji pada Tabel 10.

Tabel 10 Kemiringan lereng Kabupaten Sijunjung

No Kelas lereng (%) Bentuk wilayah* Luas (ha)** Persentase (%)

1 0 - 3 Datar 35.741 11,42

2 3 - 8 Landai 32.783 10,47

3 8 -16 Miring 52.576 16,79

4 16 - 30 Agak terjal 113.687 36,31

5 30 - 40 Terjal 39.764 12,70

6 >40 Curam 38.529 12,31

Jumlah 313.080 100,00

Sumber : *) Bakosurtanal 2003.

**)turunan dari peta kontur Kabupaten Sijunjung (data diolah)

Kabupaten Sijunjung didominasi oleh pegunungan dengan kemiringan lereng >16%, yaitu seluas 191.980 ha atau 61,32% wilayah Kabupaten Sijunjung dan tersebar di seluruh wilayah kabupaten. Jajaran perbukitan seluas 54.050,5 ha atau 16,79 % dari total luas wilayah. Sedangkan wilayah yang memiliki fisiografi datar sampai berombak dengan kemiringan 0-8% hanya menempati area seluas 68.524 ha atau 21,89 % dari luas wilayah. Kemiringan 8-16% berada di sebagian


(1)

Lampiran 10 Analisis usaha ternak sapi potong dengan sistem gembala pada suku bunga 6 %

(x1000)

Uraian Tahun

0 1 2 3 4 5 6 7 8

I. INVESTASI

1. Lahan 0

2. Kandang 1500

3. Peralatan 500

4. Instalasi Listrik/air 200

5. Pembuatan kebun HMT 1000 1000

6. Pembelian induk (ternak) 19000

Total Investasi 22200

II. Biaya Operasional

1. Biaya Variabel

a. Pakan (dedak) 547,5 912,5 912,5 912,5 912,5 912,5 912,5 912,5

b. Obat-obatan 200 200 200 200 200 200 200 200

c. Feed Suplement 100 100 100 100 100 100 100 100

d. Biaya Peralatan 100 100 100 100 100 100 100 100

Total Biaya Variabel 947,5 1312,5 1312,5 2312,5 1312,5 1312,5 1312,5 1312,5

2. Biaya Tetap

a. Upah Tenaga Kerja 1825 1825 1825 1825 1825 1825 1825 1825

b. Listrik/air 120 120 120 120 120 120 120 120

c. Penyusutan Kandang 187,5 187,5 187,5 187,5 187,5 187,5 187,5 187,5 Total Biaya Tetap 2132,5 2132,5 2132,5 2132,5 2132,5 2132,5 2132,5 2132,5

Total Biaya Operasional 3080 3445 3445 4445 3445 3445 3445 3445

III. Penerimaan

1. Penjualan sapi dara 0 9000 9000 9000 9000 9000 9000 21000

2. Penjualan Kotoran 250 250 250 250 250 250 250 250

Total Penerimaan 250 9250 9250 9250 9250 9250 9250 21250

Total Pendapatan -2830 5805 5805 4805 5805 5805 5805 17805

( x 1000)

Tahun Cost Revenue

Benefit

DF 6 %

PV Cost

PV Revenue

PV Benefit investasi opersional total

0 22200 0 22200 0 -22200 1,0000 22200 0 -22200

1 3080 3080 9250 6170 0,9434 2906 8726 5821

2 3445 3445 9250 5805 0,8900 3066 8232 5166

3 3445 3445 9250 5805 0,8396 2892 7766 4874

4 3445 4445 9250 4805 0,7921 3521 7327 3806

5 3445 3445 9250 5805 0,7473 2574 6912 4338

6 3445 3445 9250 5805 0,7050 2429 6521 4092

7 3445 3445 9250 5805 0,6651 2291 6152 3861

8 3445 3445 21250 17805 0,6274 2161 13333 11171

35605 44040 64970 20929

B/C ratio 1,48

NPV 20.929,0


(2)

Lampiran 11 Analisis usaha ternak sapi potong dengan sistem gembala pada suku bunga 17 %

( x 1000)

Uraian Tahun

0 1 2 3 4 5 6 7 8

I. INVESTASI

1. Lahan 0

2. Kandang 1500

3. Peralatan 500

4. Instalasi Listrik/air 200

5. Pembuatan kebun HMT 1000 1000

6. Pembelian induk (ternak) 19000

Total Investasi 22200

II. Biaya Operasional

1. Biaya Variabel

a. Pakan (konsentrat) 547,5 912,5 912,5 912,5 912,5 912,5 912,5 912,5

b. Obat-obatan 200 200 200 200 200 200 200 200

c. Feed Suplement 100 100 100 100 100 100 100 100

d. Biaya Peralatan 200 200 200 200 200 200 200 200

Total Biaya Variabel 1047,5 1412,5 1412,5 2412,5 1412,5 1412,5 1412,5 1412,5

2. Biaya Tetap

a. Upah Tenaga Kerja 1825 1825 1825 1825 1825 1825 1825 1825

b. Listrik/air 120 120 120 120 120 120 120 120

c. Penyusutan Kandang 187,5 187,5 187,5 187,5 187,5 187,5 187,5 187,5 Total Biaya Tetap 2132,5 2132,5 2132,5 2132,5 2132,5 2132,5 2132,5 2132,5

Total Biaya Operasional 3180 3545 3545 4545 3545 3545 3545 3545

III. Penerimaan

1. Penjualan Ternak (sapi dara) 0 9000 9000 9000 9000 9000 9000 21000

2. Penjualan Kotoran 250 250 250 250 250 250 250 250

Total Penerimaan 250 9250 9250 9250 9250 9250 9250 21250

Total Pendapatan -2930 5705 5705 4705 5705 5705 5705 17705

( x 1000)

Tahun Cost Revenue

Benefit

DF 17 %

PV Cost

PV Revenue

PV Benefit investasi operasional total

0 22200 0 22200 0 -22200 1,0000 22200 0 -22200

1 3180 3180 9250 6070 0,8547 2718 7906 5188

2 3545 3545 9250 5705 0,7305 2590 6757 4168

3 3545 3545 9250 5705 0,6244 2213 5775 3562

4 3545 3545 9250 5705 0,5337 1892 4936 3044

5 3545 3545 9250 5705 0,4561 1617 4219 2602

6 3545 3545 9250 5705 0,3898 1382 3606 2224

7 3545 3545 9250 5705 0,3332 1181 3082 1901

8 3545 3545 21250 17705 0,2848 1010 6052 5042

35805 36802 42334 5531

B/C ratio 1,15

NPV 5.531,2


(3)

Lampiran 12 Penggemukan sapi potong sistem dikandangkan pada skala usaha kecil dengan tingkat suku bunga 6 % (x 1000) Uraian

Tahun

0 1 2 3 4 5 6 7 8

I. INVESTASI

1. Lahan 0

2. Kandang 1500

3. Peralatan 500

4. Instalasi Listrik/air 500

5. Pembuatan kebun HMT 1000 1000

6. Pembelian Bibit (ternak) 20000

Total Investasi 23500

II. Biaya Operasional

1. Biaya Variabel

a. Pakan (dedak) 1152 1152 1152 1152 1152 1152 1152 1152

b. Obat-obatan 200 200 200 200 200 200 200 200

c. Feed Suplement 100 100 100 100 100 100 100 100

d. Biaya Peralatan 200 200 200 200 200 200 200 200

e. Pembelian sapi bakalan 20000 40000 40000 40000 40000 40000 40000 40000 Total Biaya Variabel 21652 41652 41652 42652 41652 41652 41652 41652

2. Biaya Tetap

a. Upah Tenaga Kerja 960 960 960 960 960 960 960 960

b. Listrik/air 600 600 600 600 600 600 600 600

c. Penyusutan Kandang 187,5 187,5 187,5 187,5 187,5 187,5 187,5 187,5 Total Biaya Tetap 1747,5 1747,5 1747,5 1747,5 1747,5 1747,5 1747,5 1747,5

Total Biaya Operasional 23399,5 43399,5 43399,5 44399,5 43400 43400 43399,5 43399,5

III. Penerimaan

1. Penjualan Ternak 48000 48000 48000 48000 48000 48000 48000 48000

2. Penjualan Kotoran 1500 1500 1500 1500 1500 1500 1500 1500

Total Penerimaan 49500 49500 49500 49500 49500 49500 49500 49500

Total Pendapatan 26100,5 6100,5 6100,5 5100,5 6100,5 6100,5 6100,5 6100,5

(x 1000) Tahun Cost Revenue Benefit DF 06 % Cost PV Revenue PV Benefit PV

investasi operasional total

0 23500 0 23500 0 -23500 1,0000 23500 0 -23500

1 23399,5 23399,5 49500 26100,5 0,9434 22075 46698 24623

2 43399,5 43399,5 49500 6100,5 0,8900 38625 44055 5429

3 43399,5 43399,5 49500 6100,5 0,8396 36439 41561 5122

4 43399,5 44399,5 49500 5100,5 0,7921 35169 39209 4040

5 43399,5 43399,5 49500 6100,5 0,7473 32431 36989 4559

6 43399,5 43399,5 49500 6100,5 0,7050 30595 34896 4301

7 43399,5 43399,5 49500 6100,5 0,6651 28863 32920 4057

8 43399,5 43399,5 49500 6100,5 0,6274 27229 31057 3828

308296,5 346500 44304 -38203,5 274926 307385 32459

B/C ratio 1,12

NPV 32.458,7


(4)

Lampiran 13 Penggemukan sapi potong sistem dikandangkan pada skala usaha kecil dengan tingkat suku bunga 17 % (x 1000) Uraian

Tahun

0 1 2 3 4 5 6 7 8

I. INVESTASI

1. Lahan 0

2. Kandang 1500

3. Peralatan 500

4. Instalasi Listrik/air 500

5. Pembuatan kebun HMT 1000 1000

6. Pembelian Bibit (ternak) 20000

Total Investasi 23500

II. Biaya Operasional

1. Biaya Variabel

a. Pakan (dedak) 1440 1440 1440 1440 1440 1440 1440 1440

b. Obat-obatan 200 200 200 200 200 200 200 200

c. Feed Suplement 100 100 100 100 100 100 100 100

d. Biaya Peralatan 200 200 200 200 200 200 200 200

e. Pembelian sapi bakalan 20000 40000 40000 40000 40000 40000 40000 40000 Total Biaya Variabel 21940 41940 41940 42940 41940 41940 41940 41940

2. Biaya Tetap

a. Upah Tenaga Kerja 960 960 960 960 960 960 960 960

b. Listrik/air 600 600 600 600 600 600 600 600

c. Penyusutan Kandang 187,5 187,5 187,5 187,5 187,5 187,5 187,5 187,5 Total Biaya Tetap 1747,5 1747,5 1747,5 1747,5 1747,5 1747,5 1747,5 1747,5

Total Biaya Operasional 23687,5 43687,5 43688 44687,5 43687,5 43687,5 43687,5 43687,5

III. Penerimaan

1. Penjualan Ternak 48000 48000 48000 48000 48000 48000 48000 48000

2. Penjualan Kotoran 1500 1500 1500 1500 1500 1500 1500 1500

Total Penerimaan 49500 49500 49500 49500 49500 49500 49500 49500

Total Pendapatan 25812,5 5812,5 5812,5 4812,5 5812,5 5812,5 5812,5 5812,5

(x 1000)

Tahun Cost Revenue Benefit DF 12 % PV

Cost

PV Revenue

PV Benefit investasi operasonal total

0 23500 0 23500 0 -23500 1,0000 23500 0 -23500

1 23688 23688 49500 25812,5 0,8547 20246 42308 22062

2 43688 43688 49500 5812,5 0,7305 31914 36160 4246

3 43688 43688 49500 5812,5 0,6244 27277 30906 3629

4 43688 43688 49500 5812,5 0,5337 23314 26416 3102

5 43688 43688 49500 5812,5 0,4561 19926 22578 2651

6 43688 43688 49500 5812,5 0,3898 17031 19297 2266

7 43688 43688 49500 5812,5 0,3332 14556 16493 1937

8 43688 43688 49500 5812,5 0,2848 12441 14097 1655

309313 346500 43000 -37187,5 190206 208255 18048


(5)

Lampiran 14 Pengemukan sapi potong sistem dikandangkan pada skala usaha menengah dengan tingkat suku bunga 6 % (x 1000)

Uraian

Tahun

0 1 2 3 4 5 6 7 8

I. INVESTASI

1. Lahan 0

2. Kandang/gudang 7000

3. Peralatan 1000

4. Instalasi Listrik/air 1000

5. Pembuatan kebun HMT 2000 2000

6. Pembelian Bibit (ternak) 40000

Total Investasi 51000

II. Biaya Operasional

1. Biaya Variabel

a. Pakan (dedak) 2880 2880 2880 2880 2880 2880 2880 2880

b. Obat-obatan 500 500 500 500 500 500 500 500

c. Feed Suplement 300 300 300 300 300 300 300 300

d. Biaya Peralatan 500 500 500 500 500 500 500 500

e. Pembelian sapi bakalan 40000 80000 80000 80000 80000 80000 80000 80000 Total Biaya Variabel 44180 84180 84180 86180 84180 84180 84180 84180

2. Biaya Tetap

a. Upah Tenaga Kerja 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

b. Listrik/air 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200

c. Penyusutan Kandang 875 875 875 875 875 875 875 875

Total Biaya Tetap 5075 5075 5075 5075 5075 5075 5075 5075

Total Biaya Operasional 49255 89255 89255 91255 89255 89255 89255 89255

Penerimaan

1. Penjualan Ternak 99200 99200 99200 99200 99200 99200 99200 99200

2. Penjualan Kotoran 3500 3500 3500 3500 3500 3500 3500 3500

Total Penerimaan 102700 102700 102700 102700 102700 102700 102700 102700

Total Pendapatan 53445 13445 13445 11445 13445 13445 13445 13445

(x 1000)

Tahun Cost Revenue benefit

DF 06 %

PV Cost

PV Revenue

PV Benf investasi operasional total

0 51000 0 51000 0 -51000 1,000 51000 0 -51000

1 49255 49255 102700 53445 0,943 46467 96887 50420

2 89255 89255 102700 13445 0,890 79437 91403 11966

3 89255 89255 102700 13445 0,840 74940 86229 11289

4 89255 89255 102700 13445 0,792 70698 81348 10650

5 89255 89255 102700 13445 0,747 66697 76743 10047

6 89255 89255 102700 13445 0,705 62921 72399 9478

7 89255 89255 102700 13445 0,665 59360 68301 8942

8 89255 89255 102700 13445 0,627 56000 64435 8436

0 567519 637746 70227

B/C ratio 1,12

NPV 70.226,5


(6)

Lampiran 15 Pengemukan sapi potong sistem dikandangkan pada skala usaha menengah dengan tingkat suku bunga 17 % (x 1000)

Uraian

Tahun

0 1 2 3 4 5 6 7 8

I. INVESTASI

1. Lahan 0

2. Kandang/gudang 7000

3. Peralatan 1000

4. Instalasi Listrik/air 1000

5. Pembuatan kebun HMT 2000 2000

6. Pembelian Bibit (ternak) 40000

Total Investasi 51000

II. Biaya Operasional

1. Biaya Variabel

a. Pakan (dedak) 2880 2880 2880 2880 2880 2880 2880 2880

b. Obat-obatan 500 500 500 500 500 500 500 500

c. Feed Suplement 500 500 500 500 500 500 500 500

d. Biaya Peralatan 500 500 500 500 500 500 500 500

e. Pembelian sapi bakalan 40000 80000 80000 80000 80000 80000 80000 80000 Total Biaya Variabel 44380 84380 84380 86380 84380 84380 84380 84380

2. Biaya Tetap

a. Upah Tenaga Kerja 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

b. Listrik/air 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200

c. Penyusutan Kandang 875 875 875 875 875 875 875 875

Total Biaya Tetap 5075 5075 5075 5075 5075 5075 5075 5075

Total Biaya Operasional 49455 89455 89455 91455 89455 89455 89455 89455

Penerimaan

1. Penjualan Ternak 99200 99200 99200 99200 99200 99200 99200 99200

2. Penjualan Kotoran 3500 3500 3500 3500 3500 3500 3500 3500

Total Penerimaan 102700 102700 102700 102700 102700 102700 102700 102700

Total Pendapatan 53245 13245 13245 11245 13245 13245 13245 13245

(x 1000)

Tahun Cost Revenue

Total

manfaat DF 12 % PV Cost

PV Revenue

PV Benefit investasi operasional total

0 51000 0 51000 0 -51000 1,000 51000 0 -51000

1 49455 49455 102700 53245 0,855 42269 87778 45509

2 89455 89455 102700 13245 0,731 65348 75024 9676

3 89455 89455 102700 13245 0,624 55853 64123 8270

4 89455 89455 102700 13245 0,534 47738 54806 7068

5 89455 89455 102700 13245 0,456 40801 46843 6041

6 89455 89455 102700 13245 0,390 34873 40036 5163

7 89455 89455 102700 13245 0,333 29806 34219 4413

8 89455 89455 102700 13245 0,285 25475 29247 3772

637185 718900 -81715 393164 432076 38912

B/C ratio 1,10