Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional menyatakan bahwa standar nasional pendidikan
adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar Pendidikan Nasional terdiri dari
beberapa standar, salah satunya yaitu standar proses. Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran
pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Melalui standar proses, setiap satuan pendidikan diatur sebagaimana seharusnya proses
pendidikan ini berlangsung. Standar proses dapat dijadikan pedoman bagi guru dalam melaksanakan tugas mengajarnya. Masalah utama dalam pembelajaran
pada pendidikan formal sekolah dewasa ini adalah masih rendahnya daya serap peserta didik. Hal ini nampak dari rata-rata hasil belajar peserta didik yang
senantiasa masih sangat memprihatinkan, dengan jumlah kelulusan tahun 2015 hanya mengalami kenaikan 0,3 dari tahun sebelumnya dengan rata-rata nilai
SMASMKMA negeri sebesar 62,64, sedangkan nilai rata-rata SMASMKMA swasta sebesar 58,91 Kemdikbud.
Masalah utama dalam pembelajaran pada pendidikan formal sekolah yaitu masih rendahnya daya serap peserta didik. Hal ini tampak dari rata
– rata hasil belajar peserta didik yang senantiasa masih sangat memprihatinkan. Prestasi
ini tentunya merupakan hasil kondisi pembelajaran yang masih bersifat konvesional dan tidak menyentuh ranah dimensi peserta didik itu sendiri, yaitu
bagaimana sebenarnya belajar itu belajar untuk belajar. Dalam arti yang lebih substansial, bahwa proses pembelajaran hingga kini masih memberikan dominasi
guru dan tidak memberikan akses bagi anak didik untuk berkembang secara mandiri melalui penemuan dalam proses berfikirnya. Berdasarkan hasil analisis
penelitian terhadap rendahnya hasil belajar peserta didik yang disebabkan dominannya proses pembelajaran konvensional. Pada pembelajaran ini suasana
kelas cenderung Teacher Centered sehingga siswa menjadi pasif. Meskipun demikian, guru lebih suka menerapkan model tersebut, sebab tidak memerlukan
alat dan bahan praktik, cukup menjelaskan konsep – konsep yang ada pada buku
ajar atau referensi lain Trianto, 2009.
Kenyataan ini sesuai dengan hasil observasi yang dilakukan peneliti di SMA Negeri 1 Batang Kuis dengan memberikan pertanyaan kepada 40 orang
siswa yang telah disebari angket oleh peneliti, terdapat sebanyak 20 8 orang siswa berpendapat fisika adalah pelajaran yang sulit dan kurang menarik, 42,5
17 orang siswa berpendapat fisika biasa saja, dan hanya 22,5 9 orang siswa yang berpendapat fisika mudah dan menyenangkan. Data angket juga
menunjukkan bahwa sebanyak 45 18 orang siswa hanya memiliki 1 buku panduan fisika dan 70 28 orang siswa menyatakan bahwa kegiatan belajar
mengajar fisika yang sering berlangsung dikelas yaitu berupa mencatat dan mengerjakan soal-soal sehingga terjadi kebosanan diantara siswa. Serta sebanyak
50 20 orang siswa yang jarang mengemukakan pendapatnya pada saat pelajaran fisika berlangsung, sehingga akibatnya proses belajar mengajar hanya
terpaku pada guru saja. Hal ini menyebabkan hasil belajar siswa pada saat Ujian Nasional menjadi rendah, yaitu rata-rata nilai 70 setiap tahun.
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti selama melakukan Program Pengalaman Lapangan Terpadu PPLT di SMA Negeri 1 Batang Kuis guru fisika
di sekolah tersebut menggunakan model pembelajaran yang tidak bervariasi selama proses pembelajaran. Guru hanya menggunakan model pembelajaran
konvensional pembelajaran langsung dalam menyampaikan materi dan penugasan yang mana membuat guru aktif dan siswa menjadi pasif, guru selalu
memakai pola pengajaran yang sama yaitu guru sebagai pusat segalanya teacher centered learning sehingga timbul rasa malas dan jenuh pada diri siswa.
Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi lemahnya proses pembelajaran adalah dengan menerapkan model pembelajaran di dalam
kelas yang melibatkan siswa student center yaitu dengan menggunakan model pembelajaran Inquiry Training. Model pembelajaran Inquiry Training
menekankan pada proses berpikir untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Model pembelajaran ini juga
menempatkan siswa sebagai subjek belajar. Seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang
dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri.
Selain itu, pemilihan model pembelajaran ini dasarkan pada pertimbangan dari sudut peserta didik atau siswa.
Penelitian mengenai Model Pembelajaran Inquiry Training sudah pernah diteliti oleh A. Pandey 2011 kepada 50 orang siswa dikelas XI IPA yang ada di
India. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh peningkatan hasil belajar siswa di kelas eksperimen dengan menggunakan Model Pembelajaran Inquiry Training
lebih besar dan lebih efektif daripada kelas kontrol dengan menggunakan Pembelajaran Konvensional.
Penelitian mengenai Model Pembelajaran Inquiry Training ini juga sudah pernah diteliti oleh Sriwidati 2015 pada materi pokok Kalor dan Perpindahannya
di SMA Negeri 1 Kutowinangun Yogyakarta. Berdasarkan hasil uji hipotesis penelitian ini diperoleh hasil belajar siswa dikelas eksperimen dengan
menggunakan Model Pembelajaran Inquiry Training lebih meningkat daripada hasil belajar di kelas kontrol dengan menggunakan Pembelajaran Konvensional.
Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik mengadakan penelitian dengan judul
“Pengaruh Model Pembelajaran Inquiry Training Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Materi Pokok Persamaan Keadaan Gas Kelas XI
Semester II di SMA Negeri 1 Batang Kuis T.P 20152016”.