KepekaanCandida albicans yangDiisolasidari Beberapa Tempat Pemotongan Unggasdan Pasar Tradisional terhadap Obat Anticendawan Ketokonazol, Itrakonazol dan Griseofulvin

(1)

PATRICIA NOREVA. Susceptibility of Candida albicans which Isolated from Poultry Abattoirs and Traditional Markets to Antifungal Agents of Ketoconazole, Itraconazole and Griseofulvin. Supervised by EKO SUGENG PRIBADI and

HERLIEN KRISNANINGSIH.

Candidiasis, caused by Candida albicans, is the important mycoses in poultry. In accordance with the development of feed technology, many factors are affecting the health of poultry.Using some antifungals for candidiasis medication are being emerging antifungal-resistant Candida albicans. The study have evaluated sensitivity of C. albicans, which isolated from crops, intestines, and water samples, to the antifungals ketoconazole, itraconazole, and griseofulvin. The result showed that isolated C. albicanswere killed by the antifungal ketoconazole, itraconazole, and griseofulvin except C. albicansthat isolated from intestine sample at TPU Jambu Raya was killed by ketoconazole, and C. albicansthat isolated by intestine and crop samples at RPH Bubulak were killed itraconazole, respectively. There were no significant differences between isolated and reference C. albicans sensitivity (p>0.05) toketoconazole and itraconazole, except to griseofulvin were more sensitive. The ketokonazole was more effective to kill C. albicans than itraconazole and griseofulvin.


(2)

PATRICIA NOREVA.KepekaanCandida albicans yangDiisolasidari Beberapa Tempat Pemotongan Unggasdan Pasar Tradisional terhadap Obat Anticendawan Ketokonazol, Itrakonazol dan Griseofulvin.Dibimbing oleh EKO SUGENG PRIBADI dan HERLIEN KRISNANINGSIH.

Kandidiasis, yang disebabkan oleh Candida albicans, merupakan salah satu penyakit mikosis terpenting dalam peternakan unggas. Seiring dengan berkembangnya teknologi pakan ternak, banyak faktor yang ikut mempengaruhi kesehatan unggas. Penggunaan anticendawan untuk pengobatan kandidiasis akan mempengaruhi resistensi anticendawan terhadap Candida albicans. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepekaan C. albicans, yang diisolasi dari tembolok, usus dan air, terhadap anticendawan ketokonazol, itrakonazol, dan griseofulvin. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa C. albicansmasih peka terhadap pemberian anticendawan ketokonazol, itrakonazol, dan griseofulvin kecuali isolat C. albicans yang berasal dari potongan usus TPU Jambu Raya terhadap ketokonazol serta isolat C. albicans yang berasal dari potongan usus dan tembolok RPH Bubulak terhadap itrakonazol. Tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) dalam kepekaan anticendawan antara C. albicans yang diisolasi dari contoh dengan referensi, kecuali griseofulvin yang lebih peka. Ketokonazol lebih efektif membunuh isolat C. albicans dibandingkan itrakonazol dan griseofulvin.


(3)

KEPEKAAN Candida albicans YANG DIISOLASI DARI

BEBERAPA TEMPAT PEMOTONGAN UNGGAS DAN

PASAR TRADISIONAL TERHADAP OBAT

ANTICENDAWAN KETOKONAZOL,

ITRAKONAZOL DAN

GRISEOFULVIN

PATRICIA NOREVA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul KepekaanCandida albicans yangDiisolasidari Beberapa Tempat Pemotongan Unggasdan Pasar Tradisional terhadap Obat Anticendawan Ketokonazol, Itrakonazol dan Griseofulvinadalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2012

Patricia Noreva NIM B04070171


(5)

PATRICIA NOREVA. Susceptibility of Candida albicans which Isolated from Poultry Abattoirs and Traditional Markets to Antifungal Agents of Ketoconazole, Itraconazole and Griseofulvin. Supervised by EKO SUGENG PRIBADI and

HERLIEN KRISNANINGSIH.

Candidiasis, caused by Candida albicans, is the important mycoses in poultry. In accordance with the development of feed technology, many factors are affecting the health of poultry.Using some antifungals for candidiasis medication are being emerging antifungal-resistant Candida albicans. The study have evaluated sensitivity of C. albicans, which isolated from crops, intestines, and water samples, to the antifungals ketoconazole, itraconazole, and griseofulvin. The result showed that isolated C. albicanswere killed by the antifungal ketoconazole, itraconazole, and griseofulvin except C. albicansthat isolated from intestine sample at TPU Jambu Raya was killed by ketoconazole, and C. albicansthat isolated by intestine and crop samples at RPH Bubulak were killed itraconazole, respectively. There were no significant differences between isolated and reference C. albicans sensitivity (p>0.05) toketoconazole and itraconazole, except to griseofulvin were more sensitive. The ketokonazole was more effective to kill C. albicans than itraconazole and griseofulvin.


(6)

PATRICIA NOREVA.KepekaanCandida albicans yangDiisolasidari Beberapa Tempat Pemotongan Unggasdan Pasar Tradisional terhadap Obat Anticendawan Ketokonazol, Itrakonazol dan Griseofulvin.Dibimbing oleh EKO SUGENG PRIBADI dan HERLIEN KRISNANINGSIH.

Kandidiasis, yang disebabkan oleh Candida albicans, merupakan salah satu penyakit mikosis terpenting dalam peternakan unggas. Seiring dengan berkembangnya teknologi pakan ternak, banyak faktor yang ikut mempengaruhi kesehatan unggas. Penggunaan anticendawan untuk pengobatan kandidiasis akan mempengaruhi resistensi anticendawan terhadap Candida albicans. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepekaan C. albicans, yang diisolasi dari tembolok, usus dan air, terhadap anticendawan ketokonazol, itrakonazol, dan griseofulvin. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa C. albicansmasih peka terhadap pemberian anticendawan ketokonazol, itrakonazol, dan griseofulvin kecuali isolat C. albicans yang berasal dari potongan usus TPU Jambu Raya terhadap ketokonazol serta isolat C. albicans yang berasal dari potongan usus dan tembolok RPH Bubulak terhadap itrakonazol. Tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) dalam kepekaan anticendawan antara C. albicans yang diisolasi dari contoh dengan referensi, kecuali griseofulvin yang lebih peka. Ketokonazol lebih efektif membunuh isolat C. albicans dibandingkan itrakonazol dan griseofulvin.


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

KEPEKAAN Candida albicans YANG DIISOLASI DARI

BEBERAPA TEMPAT PEMOTONGAN UNGGAS DAN

PASAR TRADISIONAL TERHADAP OBAT

ANTICENDAWAN KETOKONAZOL,

ITRAKONAZOL DAN

GRISEOFULVIN

PATRICIA NOREVA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(9)

Nama : Patricia Noreva

NIM : B04070171

Disetujui,

Dr. drh. Eko Sugeng Pribadi, MS. Pembimbing I

drh.Herlien Krisnaningsih, MM. Pembimbing II

Diketahui,

drh. H, Agus Setiyono, MS., PhD, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor


(10)

dan hidayah-Nya penelitian serta penulisan skripsi dengan judul

KepekaanCandida albicans yangDiisolasidari Beberapa Tempat Pemotongan Unggasdan Pasar Tradisional terhadap Obat Anticendawan Ketokonazol, Itrakonazol dan Griseofulvindapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Proses penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pikah. Maka dari itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua dosen pembimbing Dr. drh. Eko Sugeng Pribadi, MS. dan drh. Herlien Krisnaningsih, MM. yang senantiasa memberikan arahan, bimbingan, motivasi, kesabaran, pemikiran, dan waktu selama proses penelitian serta penulisan skripsi. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Dr. drh. Eko Sugeng Pribadi, MS. selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan motivasi serta arahan untuk menjadi pribadi yang lebih baik, Prof. Dr. drh. Agik Suprayogi, MSc. yang selalu memberikan dukungan serta semangatnya, kepada seluruh pihak dari Dinas Peternakan Kota Bogor (Ibu Osliana, drh. Arif, drh. Mustika) serta seluruh staf bagian Mikrobiologi FKH IPB (pak Agus, mbak Selin, pak Said, pak Ismet, bu Esih, pak Jumli) atas bantuan serta kerjasamanya dalam menyelesaikan penelitian ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Papa dan Mama tercinta, Nur Syamsu, SE. dan Evelyne Engelica, SE. atas segala kasih sayang, motivasi, semangat, serta doa yang selalu menyertai. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman satu penelitian (Danah, Desi, Alvi), teman-teman satu bimbingan akademik (Arpha, Dara, Isma, Lina, Yasmin, dan Ardha), orang-orang terdekat (Wisnu, Gita, Astri, Fuji, Kenyo, Cholill, Nova, Ridwan, Dani, Arie, Dora, Rifqi, Sovie, Kak Winda, Wayan, Sri, Medina, Vidy) atas kebersamaan, dukungan, bantuan, serta semangatnya, serta keluarga besar GIANUZZI dan HKSA atas segala pertemanan dan pengalaman yang sangat berharga, serta semua pihak yang baik sengaja maupun tidak sengaja membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena itu penulis sangat berterima kasih dan terbuka untuk kritik dan saran yang membangun. Semoga karya ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Bogor, April2012

Patricia Noreva NIM B04070171


(11)

pasangan Nur Syamsu, SE. dan Evelyne Engelica, SE. Penulis merupakan anak tunggal.

Penulis memulai pendidikan di TK Ratna Kusuma pada tahun 1993-1995, kemudian penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1995 di SD Kartika XI-2, Jakarta dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 49 Jakarta dan lulus pada tahun 2004, kemudian melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 14 Jakarta dan lulus pada tahun 2007. Tahun 2007 penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif pada berbagai organisasi dan kegiatan. Penulis pernah menjadi Sekretaris II di Komunitas Seni Steril pada tahun 2008-2009, Pengurus divisi kuda di Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (Himpro HKSA) pada tahun 2008-2009, serta sebagai Sekretaris I di Himpro HKSA pada tahun 2009-2010.


(12)

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Hipotesis ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Ayam Pedaging ... 4

Saluran Pencernaan Ayam ... 5

C. albicans ... 7

Kasus Kandidiasis (Candidiasis) pada Ayam ... 8

Antibiotika dan Anticendawan dalam budidaya Ayam ... 10

Amfoterisin B ... 12

Flukonazol ... 13

Itrakonazol ... 14

Ketokonazol ... 14

Mikonazol ... 15

Nistatin ... 15

Parkonazol ... 16

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 17

Waktu dan Tempat Penelitian ... 17

Bahan dan Alat ... 17

Metode ... 17

Pengambilan Contoh ... 17

Pengolahan Contoh ... 18

Pengamatan Terhadap Koloni C. albicans ... 18

Identifikasi Isolat C. albicans ... 18

Uji Kepekaan Anticendawan ... 19

Uji Penentuan Kadar Minimum Penghambatan (Minimum Inhibitory Concentration –MIC) ... 20

Analisis Data ... 21

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

Lokasi Pemotongan Ayam ... 22

Identifikasi C. albicans ... 25


(13)

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN ... 36

Simpulan ... 36

Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37


(14)

Halaman

1 Obat anticendawan yang digunakan pada unggas dan burung ... 12 2 Lokasi dan jumlah pengambilan contoh ... 25 3 Hasil uji kecambah dan asimilasi gula-gula terhadap koloni yang diduga C.

albicans ... 27 4 Koloni khamir yang berhasil ditumbuhkan dari contoh yang diperiksa ... 28 5 Nilai MIC terhadap beberapa isolat C. albicans yang diperoleh dari contoh

yang diperiksa ... 31 6 Nilai MIC terhadap beberapa isolat C. albicans dari contoh yang diperiksa

... 32 7 Perbandingan MIC antar anticendawan ... 35


(15)

Halaman

1 Anatomi saluran pencernaan ayam ... 6

2 Fase C. albicans ... 8

3 Struktur kimia pembentuk amfoterisin B ... 13

4 Struktur kimia pembentuk flukonazol ... 13

5 TPU Jambu Raya ... 23

6 (a) Salah satu tembolok yang dijadikan contoh ... 24

(b) Salah satu potongan usus yang dijadikan contoh ... 24

7 Hasil pemeriksaan natif yang diwarnai dengan LPCB memperlihatkan C. albicans dalam bentuk sel khamir (blastospora) yang membentuk tunas (budding yeast) ... 26

8 Tabung kecambah yang dibentuk oleh koloni yang diduga sebagai C. albicans ... 27

9 Zona hambat yang dibentuk oleh anticendawan dengan menggunakan metode sumur ... 30


(16)

Halaman

1 Hasil analisis statistika MIC ketokonazol terhadap C. albicans berdasarkan lokasi menggunakan perangkat lunak SAS ... 42 2 Hasil analisis statistika MIC itrakonazol terhadap C. albicans berdasarkan

lokasi menggunakan perangkat lunak SAS ... 44 3 Hasil analisis statistika MIC griseofulvin terhadap C. albicans berdasarkan

lokasi menggunakan perangkat lunak SAS ... 46 4 Hasil analisis statistika MIC ketokonazol terhadap C. albicans berdasarkan

contoh yang diperiksa menggunakan perangkat lunak SAS... 48 5 Hasil analisis statistika MIC itrakonazol terhadap C. albicans berdasarkan

contoh yang diperiksa menggunakan perangkat lunak SAS... 50 6 Hasil analisis statistika MIC griseofulvin terhadap C. albicans berdasarkan

contoh yang diperiksa menggunakan perangkat lunak SAS ... 52 7 Hasil analisis statistika perbandingan nilai MIC antar anticendawan


(17)

Latar Belakang

Daging ayam merupakan salah satu bahan makanan utama mayoritas masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh karena harga daging ayam dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Daging ayam mengandung protein yang tinggi serta berlemak rendah. Murtidjo (2003) memaparkan bahwa daging ayam juga memiliki tekstur yang lebih halus dan lebih lunak jika dibandingkan dengan dagingsapi dan ternak lain sehingga lebih mudah dicerna. Namun, sebelum mendapatkan mutu daging ayam yang baik dan layak untuk dimakan oleh masyarakat, perlu diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi mutu daging ayam tersebut. Beberapa faktor yang berpengaruh dalam budidaya ayam pedaging komersil diantaranyapengelolaan pemeliharaan, pemberian pakan, pencegahan dan penanggulangan terhadap penyakit, pengangkutan, pemotongan, dan faktor-faktor lain.

Pakan merupakan faktor yang berperan sangat besar dalam keberhasilan suatu usaha budidaya ayam. Menurut Ahmad (2009), pakan merupakan sumber nutrisi utama bagi ternak. Komponen utama penyusun pakan adalah biji-bijian seperti jagung. Biji-bijian umumnya mengandung air, karbohidrat, protein termasuk enzim, lemak, mineral, dan vitamin sehingga bahan pakan tersebut mudah tercemari cendawan. Bahan pakan lainnya yang biasa digunakan sebagai penyusun ransum adalah bungkil kedelai, tepung tulang, dedak, polar putih, bungkil kelapa, garam, vitamin, mineral, antelmintik, pemacu pertumbuhan, dan tepung ikan. Pakan yang baik mempunyai kandungan nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan ternak, palabilitas tinggi, imbuhan pakan tepat, dan bebas dari cemaran mikroba patogen.

Pakan juga dapat berperan sebagai salah satu media terjadinya penyebaran penyakit mikal pada ayam. Suska (2007) menjelaskan bahwa kandidiasis merupakan salah satu penyakit yang umum ditemukan dalam peternakan ayam. Kandidiasis biasanya menular ke ayam sehat karena memakan pakan atau


(18)

menyerang saluran pencernaan terutama tembolok, dan kadang-kadang rongga mulut, esofagus, dan proventrikulus.

Candida merupakan salah satu khamir yang secara normal berada di sistem pencernaan manusia dan hewan yang sehat. Namun, jika khamir ini terdapat dalam tubuh dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan penyakit yang disebut kandidiasis (Candidiasis). Penyakit ini mungkin saja menyerang ternak ayam yang diakibatkan oleh sanitasi peternakan yang sangat buruk atau akibat ayam sering diberi antibiotika terus-menerus (Fadilah dan Polana 2004). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hastiono (1987), pemberian

antibiotika ke dalam pakan sebagai imbuhan pakan (feed additive)dapat

merangsang pertumbuhan dan meningkatkan jumlah khamir secara sangat nyata dalam tembolok ayam pedaging. Hal ini disebabkan oleh adanya kemampuan khamir menggunakan antibiotika untuk merangsang pertumbuhannya.

Selain antibiotika, anticendawan juga merupakan salah satu bahan tambahan yang dicampurkan ke dalam pakan ayam. Salah satu contoh anticendawan yang biasa ditambahkan dalam pakan adalah nistatin. Menurut Tabbu (2000), pemberian nistatin dalam pakan ayam dapat menurunkan jumlah

Candida dalam saluran pencernaan ayam sehingga dapat mencegah terjadinya kandidiasis. Selain itu, Fadilah dan Polana (2004) juga memaparkan bahwa pemberian nistatin pada pakan juga dapat mencegah serta menekan terjadinya kasus aspergillosis. Maka dari itu, pemberian anticendawan secara berkala dipercaya dapat menurunkan jumlah kasus mikosis.

Namun, dibalik upaya mengambil manfaat dari penggunaan antibiotika dan anticendawan, perlu dipertimbangkan juga dampak yang akan muncul dari penggunaan antibiotika dan anticendawan. Salah satunya adalah munculnya spesies-spesies yang tahan terhadap obat-obat anticendawan. Oleh karena itu pemberian anticendawan diperlukan sebagai salah satu upaya untuk mencegah maupun menekan terjadinya mikosis, perlu dilakukan kajian terhadap anticendawan pada organ pencernaan ayam untuk melihat kemungkinan

diperolehnya Candida yang telah tahan terhadap anticendawan,terutama


(19)

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai spesies C. albicans yang berada di pasar tradisional dan tempat pemotongan ayam yang tahan terhadap obat-obatanticendawan.

Hipotesis

H0 : Ada beberapa spesies C. albicans dari pasar tradisional dan tempat

pemotongan ayam yang tahan terhadap obat-obatanticendawan

H1 : Tidak ditemukan spesies C. albicans dari pasar tradisional dan

tempat pemotongan ayam yang tahan terhadap obat-obatanticendawan


(20)

Ayam Pedaging

Ayam umumnya dapat menghasilkan daging maupun telur. Istilah

“pedaging” yang diperoleh ayam pedaging dapat diberikan kepada seluruh jenis ayam yang dapat memproduksi daging. Namun Rasyaf (2008) mendefinisikan ayam pedaging sebagai ayam jantan dan ayam betina yang berumur di bawah delapan minggu dan ketika dijual memiliki bobot tubuh tertentu, mempunyai pertumbuhan yang cepat, serta mempunyai dada yang lebar, serta mempunyai timbunan daging yang baik dan banyak. Pengertian ini menyebabkan ayam ras pedaging lebih identik sebagai ayam pedaging jika dibandingkan dengan ayam buras. Namun di Indonesia, salah satu ayam buras, yaitu ayam buras, juga banyak digunakan sebagai ayam yang dijadikan bahan makanan,terutama di daerah pedesaan yang umumnya memelihara ayam.

Ayam ras pedaging adalah ayam hasil rekayasa genetik yang memiliki karakteristik ekonomis. Ayam ini memiliki pertumbuhan yang sangat cepat, angka konversi pakan yang rendah, siap dipotong saat berumur relatif muda, dan menghasilkan daging berserat lunak. Biasanya ayam ini dipasarkan saat berumur 6–8 minggu. Umumnya ayam jantan menunjukkan pertumbuhan lebih cepat 10– 15% dengan efisiensi penggunaan pakan yang lebih baik dan persentase karkasnya lebih besar (Murhananto dan Purbani 2008)

Ayam ras pedaging memiliki beberapa sifat, antara lain mempunyai sifat dan mutu daging yang baik (meatness), laju pertumbuhan dan bobot badan (rate of gain) tinggi, warna kulit kuning, konversi pakan rendah, bebas dari kanibalisme, sehat dan kuat, kaki tidak mudah bengkok, tidak temperamental dan cenderung malas dengan gerakan lamban, daya hidup tinggi (95%) tetapi tingkat kematian rendah, serta kemampuan membentuk karkas tinggi (Yuwanta 2004). Namun Murhananto dan Purbani (2008) menyatakan bahwa ayam ras pedaging tergolong hewan yang mudah stres sehingga pemeliharaannya harus dilakukan di tempat yang tenang dan agak jauh dari pusat-pusat keramaian. Ayam ini juga tidak tahan terhadap cekaman transportasi yang terlalu lama.


(21)

Ayam buras (bukan ras) merupakan jenis ayam yang banyak dipelihara oleh masyarakat di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Ayam buras yang biasa digunakan untuk bahan makanan dikenal sebagai ayam buras. Ayam ini merupakan ayam jinak yang telah terbiasa hidup di tengah masyarakat, memiliki daya adaptasi ayam ini sangat tinggi, karena mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, lingkungan, dan iklim yang ada (Sarwono 2003).

Menurut Nuroso (2010), pemeliharaan ayam buras sangat mudah karena tahan terhadap kondisi lingkungan dan pengelolaan yang buruk, tidak memerlukan lahan yang luas dan dapat dipelihara di lahan sekitar rumah, harga jualnya stabil dan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ayam pedaging lain, serta tidak mudah stres terhadap perlakuan yang kasar dan daya tahan tubuhnya lebih kuat dibandingkan dengan ayam pedaging lainnya. Namun, Cahyono (1996) mengungkapkan bahwa ayam ini memiliki kelemahan jika dibandingkan dengan memelihara ayam ras pedaging, yaitu umumnya bertubuh kecil, memiliki pertumbuhan yang lambat, produksi telur yang rendah dan berukuran kecil, serta memiliki daya alih (konversi) pakan menjadi produk protein (daging) yang rendah dibanding dengan ayam ras.

Saluran Pencernaan Ayam

Sistem pencernaan unggas berbeda dengan sistem pencernaan pada hewan lainnya. Unggas tidak memiliki gigi sehingga tidak terjadi proses pengunyahan pakan. Pakan akan melewati esofagus dan langsung menuju tembolok. Pakan di dalam tembolok akan mendapatkan sekreta mukus yang berfungsi untuk menghaluskan pakan. Setelah melewati tembolok, pakan menuju lambung kelenjar (proventrikulus) yang merupakan organ berdinding tebal dan berada di depan lambung otot (gizzard). Pakan disimpan secara sementara di proventrikulus dan dicampur dengan enzim pepsin dan amilase yang dihasilkan oleh organ tersebut. Setelah itu, pakan masuk ke lambung otot, yang merupakan organ tersusun dari otot yang kuat, yang berisi bebatuan atau pasir, dan di dalamnya pakan akan dihancurkan. Pakan kemudian berpindah menuju usus halus, sekum dan usus besar, dan berakhir di kloaka. Sistem pencernaan pada unggas tergolong


(22)

cepat karena membutuhkan waktu cerna hanya 2½ jam pada ayam petelur dan 8-12 jam pada ayam lain (Scanes et al. 2004).

Gambar 1 Anatomi saluran pencernaan ayam (Bell 2002)

Tembolok adalah modifikasi dari esofagus. Fungsi utama dari organ ini adalah untuk menyimpan pakan sementara, terutama pada saat ayam makan dalam jumlah banyak. Bolus berada di tembolok selama dua jam.

Kapasitas tembolok mampu menampung pakan 250 g. Pada tembolok terdapat saraf yang berhubungan dengan pusat kenyang-lapar di hipotalamus sehingga banyak sedikitnya pakan yang terdapat dalam tembolok akan memberikan respon pada saraf untuk makan atau menghentikan makan (Yuwanta 2004).

Tembolok mensekresikan mukus yang berfungsi sebagai cairan lubrikasi yang dapat menghaluskan pakan. Jika ayam lapar, pakan akan melewati tembolok dan menuju langsung ke proventrikulus dan lambung otot. Selama proses memakan, tembolok mulai terisi dan bertindak sebagai organ penyimpanan (Scanes et al. 2004).

Usus besar, atau kolon, pada unggas tergolong pendek dan mempunyai struktur yang mirip dengan usus halus. Usus besar dianggap tidak memiliki peranan yang nyata dalam proses pencernaan dan penyerapan.

Sekum merupakan organ berbentuk tabung yang buntu pada perbatasan antara usus besar dan usus halus. Pada unggas pemakan biji-bijian terdapat dua


(23)

sekum yang besar, sedangkan pada tipe unggas lainnya hanya terdapat satu kantung rudimenter bahkan terdapat beberapa unggas yang tidak memiliki sekum sama sekali (Scanes et al. 2004).

C. albicans

C. albicans adalah khamir komensal (normal) di mukosa mulut, saluran pencernaan dan vagina. Namun, khamir ini bisa menjadi masalah bila fase pertumbuhannya berubah dari fase khamir ke fase kapang ketika berada di membran mukosa inang. Kejadian ini biasa disebut kandidiasis (Berman dan Sudbery 2002).

Blastospora (sel khamir) berbentuk bulat sampai oval dan selnya terpisah satu sama lain. Selain blastospora, C. albicans juga dapat membentuk hifa sejati dan pseudohifa. Hifa sejati adalah sel yang panjang dan berkutub dengan sisi yang pararel tanpa ada batas yang jelas. Pseudohifa adalah sel khamir berbentuk elipsoida yang tetap menempel satu sama lain dan dibatasi oleh septa. Perbedaan antara hifa sejati dan pseudohifa adalah hifa sejati terbentuk dari blastospora dan cabang dari hifa sejati lain, sedangkan pseudohifa terbentuk dari blastospora atau pertunasan dari hifa dan sel baru tersebut tetap menempel pada sel induknya dan tetap menjulur (Calderone 2002). Fase-fase yang dapat dibentuk oleh C. albicans ditunjukkan pada Gambar 2 di bawah ini.

Perubahan bentuk C. albicans dari khamir ke kapang bisa terjadi karena pengaruh berbagai macam faktor lingkungan, antara lain perubahan dari komposisi media, penambahan serum, tumbuh pada kondisi kadar CO2 yang

tinggi atau semi anaerobik, pH dan suhu. Suhu dan pH yang optimal bagi blastospora C. albicans berubah menjadi hifa adalah lebih dari 35oC dan 6,5-7,0 atau mendekati suasana basa. C. albicans juga dapat membentuk khlamidospora. Khlamidiospora merupakan berntuk pertahanan yang dibentuk pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan (Calderone 2002; Heitman 2006)


(24)

Gambar 2 Fase pada C. albicans (Anonim 2010)

Menurut Sen dan Baksi (2009), klasifikasi C. albicans adalah sebagai berikut:

Kingdom : Fungi Filum : Ascomycota Subfilum : Ascomycotina Kelas : Ascomycetes Ordo : Saccharomycetales Famili : Saccharomycetaceae Genus : Candida

Spesies : C. albicans

Kasus Kandidiasis (Candidiasis) pada Ayam

Candidadapat menyebabkan kandidiasis pada ayam. Kondisi yang dapat memacu terjadinya kandidiasis antara lain adalah umur ayam. Ayam yang lebih muda umumnya lebih rentan terhadap penyakit ini. Sanitasi kandang ataupun peralatan, kondisi kandang dengan populasi yang padat, serta timbulnya cekaman merupakan faktor-faktor lain yang dapat memicu terjadinya kandidiasis. Di Indonesia, penyakit ini dapat dijumpai pada berbagai peternakan ayam komersial yang tersebar di berbagai daerah. Penyakit tersebut kerapkali ditemukan juga pada ayam bukan ras (buras), terutama yang dipelihara pada lingkungan yang


(25)

mempunyai tingkat sanitasi yang kurang memadai. Penyakit ini dapat ditemukan pada berbagai jenis unggas pada semua tingkatan umur, terutama ayam, kalkun, burung merpati, burung merak, burung puyuh, dan angsa. Manusia dan hewan peliharaan juga peka terhadap kandidiasis. Faktor pendukung kejadian kandidiasis adalah tingkat higienis dan sanitasi yang tidak memadai, penggunaan antibiotika yang berlebihan, penurunan kondisi tubuh/kelemahan umum, dan berbagai cekaman, misalnya kepadatan kandang yang tinggi dan defisiensi nutrisi (Tabbu 2000;Janmaat dan Morton 2010).

C. albicans merupakan spesies utama penyebab kandidiasis, meskipun spesies Candida non-albicans juga telah diisolasi dari unggas sehat maupun sakit. Dalam survei terhadap tembolok yang berasal dari ayam ras pedaging, 95% dari isolat terdiri atas C. albicans, dan sisanya diidentifikasikan sebagai C. ravautii, C. salmonicola, C. guilliermondii, C. parapsilosis, C. catenulata, atau C. brumptii. Berdasarkan hasil penelitian, hanya C. albicans dan C. parapsilosis yang berhubungan dengan kasus mikosis pada tembolok. Berdasarkan hasil isolasi dari kalkun yang terjangkit candidiasis, terdeteksi C. albicans, C. rugosa, C. famata, C. tropicalis, dan C. guilliermondii dengan hanya C. rugosa yang terisolasi dari beberapa tembolok yang terinfeksi (Kunkle 2003).

Menurut Butcher dan Miles (2009), gejala klinis dari ayam yang menderita kandidiasis berupa hilangnya berat badan, terjadi muntah secara berkala, dan terlihat lesu. Gejala lain adalah menurunnya laju pertumbuhan pada ayam muda, diare, dan terhambatnya pengosongan dan perbesaran tembolok. Selain gejala klinis di atas, gejala lain yang biasanya muncul adalah terjadinya lesio di mulut berupa peradangan kaseosa pada mulut. Lesio ini serupa dengan lesio pada defisiensi vitamin A dan lesio proliferasi pada avian pox bentuk basah. Pada tahap yang lebih parah, lesio pada mulut menjadi obstruktif dan dapat mengganggu respirasi dan pencernaan, sehingga menyebabkan kelesuan dan terhambatnya pertumbuhan serta penambahan bobot badan.

Tingginya kasus kandidiasis pada tembolok dikarenakan fungsi tembolok sebagai tempat untuk menampung pakan sementara. Sisa-sisa pakan, terutama spora jamur yang mencemari pakan, akan bertahan lama di dalam tembolok, sehingga akan tebentuk koloni khamir pada tembolok.


(26)

Kandidiasis tidak menular dari ayam satu ke ayam lainnya. Penyakit ini dapat menular melalui oral karena memakan pakan atau meminum air minum atau karena kontak dengan bahan/lingkungan yang tercemar oleh khamir tersebut. Penyakit ini dapat menular dengan mudah melalui air minum yang kotor yang tercemar oleh C. albicans (Tabbu 2000).

Antibiotika dan Anticendawan dalam Budidaya Ayam

Imbuhan pakan (feed additive) sering digunakan dalam pakan untuk merangsang pertumbuhan dan kinerja ayam, seperti menghasilkan telur, memperbaiki efisiensi pakan, dan berguna untuk memberikan pengendalian terhadap kesehatan atau metabolisme ternak. Salah satu bahan yang sering digunakan sebagai pakan tambahan adalah antibiotika (Scanes et al. 2004).Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Bahri et al. (2005), hampir semua pabrik pakan menambahkan obat hewan berupa antibiotika ke dalam pakan komersial, sehingga sebagian besar pakan komersial yang beredar di Indonesia mengandung antibiotika.

Menurut Windisch et al. (2008), antibiotika digolongkan sebagai feed additive, karena tidak termasuk dalam kategori pakan meskipun dalam peternakan ayam memiliki peranan penting dalam merangsang pertumbuhan dan memperbaiki efisiensi penggunaan pakan. Antibiotika ini sanggup menekan pertumbuhan mikroorganisme yang menyebabkan penyakitterutama bakteri patogen sehingga absorpsi nutrisi dalam sistem pencernaan. Selain itu, pemberian antibiotika ke dalam pakan juga memiliki dampak negatifkarena dapat menimbulkan resistensi terhadap antibiotika.

Menurut Murtidjo (1987),penggunaan aureomisin (khlortetrasiklin), teramisin (oksitetrasiklin) dan penisilin yang dicampurkan dalam pakan ternak unggas berpengaruh merangsang pertumbuhan yang baik dibandingkan dengan ternak unggas yang memakan pakan tanpa dicampur antibiotika. Sedangkan antibiotika seperti basitrasin, streptomisin, dan lainnya tidak dapat dipergunakan karena berpengaruh buruk.

Pemberian CO2, kedap udara, fumigan (fosfin/PH3)dan metil bromida pada


(27)

Sedangkan untuk mencegah terjadinya timbulnya penyakit yang disebabkan oleh kapang ataupun khamir dapat dilakukan dengan pemberian nistatin melalui pakan (Ahmad 2009; Tabbu 2000)

Penggunaan antibiotika sebagai feed additive di Eropa dalam upaya untuk meningkatkan produksi hewan telah dilarang. Namun, antibiotika ionofor masih dipergunakan sebagai feed additive untuk mengontrol koksidiosis, meskipun dalam aplikasinya juga dipergunakan sebagai pemacu pertumbuhan (Elwinger et al. 1998). Menurut Hastiono (1987), antibiotika juga dapat menyebabkan jumlah khamir, terutama khamir yang bersifat patogen, meningkat secara sangat nyata dalam tembolok ayam pedaging. Keberadaan khamir yang terlacak di dalam penelitian tersebut diantaranya C. albicans, C. guillermondii, C. krusei, C. parapsilopsis, C. pseudotropicalis, C. tropicalis, Geotrichum sp., Rhodotula sp., Saccharomyces sp., Torulopsis sp., dan Trichosporon sp.Peningkatan jumlah khamir oleh pemberian antibiotika ini terjadi karena khamir mempunyai kemampuan menggunakan antibiotika, dalam hal ini penisilin dan tetrasiklin, sebagai sumber nitrogen bagi pertumbuhannya.Selain itu, antibiotika juga membunuh bakteri yang berfungsi untuk menyaingi khamir dalam memperoleh zat-zat hara serta mengurangi ataupun menghilangkan jasad yang menghasilkan bahan-bahan anticendawan.

Menurut Rochette et al. (2003), sejumlah anticendawan yang digunakan untuk mengobati kandidiasis pada unggas adalah amfoterisin B (amphotericin B), flukonazol (fluconazole), itrakonazol (itraconazole), ketokonazol (ketoconazole), mikonazol (miconazole), nystatin (nystatin), dan parkonazol (parconazole) seperti yang tercantum pada Tabel 1.

Dun (1999) mengungkapkan bahwa sejak diperkenalkannya anticendawan golongan azol, sediaan ini lebih dipilih penggunaannya untuk mengobati infeksi akibat Candida. Hal ini disebabkan karena terapi dan pengobatan dengan menggunakan sediaan anticendawan dari golongan azol menghasilkan efek samping yang lebih sedikit dan mengeliminasi cendawan sama baiknya dengan terapi dan pengobatan dengan amfoterisin.


(28)

Tabel 1 Obat anticendawan yang digunakan pada unggas dan burung (Rochette et al. 2003)

Anticendawan Rute penggunaan Untuk infeksi oleh

Amfoterisin B Injectable lotions 3%, i.v., intratrakeal, nebulisasi

Aspergillus, Candida

Klotrimazol Nebulisasi Aspergillus

Flukonazol Oral (sediaan tablet, cair) Candida sistemik

Flusitosin Oral Aspergillus

Enilkonazol Spray Aspergillus pada mesin penetas

Itrakonazol Oral, sediaan di dalam

kapsul

Aspergillus, Candida

Ketokonazol Oral (tablet) Candida (Aspergillus)

Mikonazol Nebulisasi Aspergillus

Nistatin Oral dengan mencampurkan

ke dalam pakan, tablet, suspensi, injeksi

Candida pada saluran

pencernaan, kulit

Parkonazol Bubuk di dalam pakan Candida (trush) pada ayam

mutiara

Tiabendazol Smoke tablet Aspergillus

Amfoterisin B

Amfoterisin A dan B merupakan hasil fermentasi oleh Streptomyces nodosus. Amfoterisin B menyerang sel yang sedang tumbuh dan sel dewasa. Antibiotika ini bersifat fungistatik atau fungisidal tergantung dari dosis dan kepekaan cendawan yang dipengaruhi. Aktivitas anticendawan ini sangat terlihat nyata pada pH 6,0-7,5 dan berkurang pada pH yang lebih rendah.

Mekanisme kerja amfoterisin B adalah dengan cara berikatan kuat dengan sterol yang terdapat pada membran sel cendawan. Ikatan ini akan menyebabkan membran sel bocor sehingga terjadi kehilangan beberpa bahan intrasel dan mengakibatkan kerusakan yang permanen pada sel (Bahry dan Setiabudy 1995).

Amfoterisin B telah digunakan untuk mengobati infeksi cendawan baik secara sistemik maupun topikal pada unggas. Formulasi intravena telah diberikan dengan rute injeksi secara intravena, melalui trakea menggunakan kateter, atau diinjeksikan ke kantung hawa yang terinfeksi. Formulasi intravena juga digunakan melalui nebulisasi pada burung berparuh bengkok(psittacines) dan burung pemangsa (raptors ) (Orosz dan Frazier 1995).


(29)

Gambar 3 Struktur kimia pembentuk amfoterisin B (Ghannoum dan Rice 1999)

Flukonazol

Flukonazol adalah turunan dari triazol dan bersifat fungistatik. Gugus derivat triazol, seperti imidazol (kloritomazol, ketokonazol, dll.), mempunyai mekanisme kerja mengubah membran sel cendawan yang mempunyai kepekaan terhadap anticendawan tersebut, sehingga meningkatkan permeabilitas dan membiarkan komponen di dalam sel bocor dan mengganggu ikatan prekusor purin dan pirimidin (Plumb 1999)

Flukonazol merupakan obat yang dapat diserap sempurna melalui saluran cerna tanpa dipengaruhi adanya pakan ataupun keasaman lambung. Oleh karena itu, flukonazol dikatakan ditoleransi dengan baik. Efek samping yang sering ditemukan akibat penggunaan flukonazol adalah gangguan saluran pencernaan (Bahry dan Setiabudy 1995).

Gambar 4 Struktur kimia pembentuk flukonazol (Ghannoum dan Rice 1999)

Berdasarkan penelitian Dun (1999) yang membandingkan efikasi flukonazol dengan amfoterisin B dalam morbiditas dan mortalitas pada pasien yang mengalami kandidiasis, menunjukkan bahwa flukonazol sama efektifnya dengan amfoterisin dalam mengobati infeksi Candida sistemik. Selain itu, secara nyata flukonazol juga memberikan efek samping yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan amfoterisin B.


(30)

Itrakonazol

Itrakonazol merupakan anticendawan sistemik turunan triazol yang erat hubungannya dengan ketokonazol dan dapat diberikan secara peroral. Aktivitas anticendawannya diduga lebih luas sedangkan efek samping yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan dengan ketokonazol. Itrakonazol dapat diserap lebih sempurna bila diberikan bersama pakan (BahrydanSetiabudy 1995).

Penyerapan itrakonazol sangat bergantung pada pH lambung dan kehadiran pakan. Bioavabilitas itrakonazol hanya mencapai 50% atau kurang ketika diberikan saat lambung kosong. Bioavabilitas akan mencapai 100%jika di dalam lambung terdapat pakan. Itrakonazol mampu mengikat protein dan disalurkan ke seluruh tubuh, terutama ke dalam jaringan yang memiliki kandungan lemak yang tinggi karena obat ini bersifat lipofilik (Plumb 1999).

Ketokonazol

Ketokonazol digunakan untuk infeksi khamir sistemik maupun lokal. Pengobatan dengan menggunakan ketokonazol secara peroral mencegah dan mengobati kandidiasis pada tembolok di kalkun. Anticendawan ini juga efektif untuk melawan kandidiasis di ayam (Roschette et al. 2003).

Ketokonazol merupakan anticendawan sistemik peroral yang diserap baik melalui saluran pencernaan dan menghasilkan kadar plasma yang cukup untuk menekan aktivitas berbagai jenis cendawan. Sebanyak 84% ketokonazol di dalam plasma darah berikatan dengan protein plasma, terutama albumin. Lima belas persen berikatan dengan sel darah dan 1% dalam bentuk bebas. Sebagian besar dari obat ini mengalami metabolisme lintas pertama (Bahry dan Setiabudy 1995).

Menurut Plumb (1999), ketokonazol berifat fungistatik terhadap cendawan yang peka. Pada kadar yang lebih tinggi untuk periode yang lama atau pada organisme yang sangat peka, ketokonazol dapat bersifat fungisidal. Ketokonazol dipercaya dapat meningkatkan permeabilitas membran sel dan menyebabkan efek metabolis sekunder dan menghambat pertumbuhan cendawan. Mekanisme kerja secara pasti dari ketokonazol tidak diketahui. Kemungkinan karena ketokonazol bekerja melalui sintesis ergosterol. Aktifitas fungisidal dari ketokonazol mungkin dikarenakan efek langsung pada membran sel.


(31)

Pemberian ketokonazol pada pakan unggas diberikan pada pakan atau air minum. Pada air minum,dosis yang diberikan adalah 200mg/L untuk 7-14 hari pada pH normal. Sedangkan pada pakan, dosis yang diberikan adalah 10-20 mg/kg untuk 7-14 hari dengan cara dimasukkan langsung ke dalam pakan atau dihancurkan (Plumb 1999).

Mikonazol

Mikonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang relatif stabil, mempunyai spektrum anticendawan yang luas baik terhadap jamur sistemik maupun cendawan dermatofita. Mekanisme kerja obat ini belum diketahui sepenuhnya. Mikonazol menghambat sintesis ergosterol yang menyebabkan permeabilitas membran sel jamur meningkat. Mungkin pula terjadi gangguan sintesis asam nukleat atau penimbunan peroksida dalam sel cendawan yang akan menimbulkan kerusakan (Bahry dan Setiabudy 1995).

Nistatin

Nistatin merupakan suatu antibiotika polien yang dihasilkan oleh Streptomyces noursel. Nistatin bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan berbagai cendawan dan ragi, tetapi tidak aktif terhadap bakteri, protozoa dan virus. Anticendawan ini hanya efektif pada berbagai macam jenis cendawan, namun secara klinis digunakan untuk mengobati infeksi Candida topikal, osofaringeal, dan gastrointestinal. Nistatin mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan amfoterisin B. Nistatin hanya akan diikat oleh khamir atau kapang yang sensitif. Aktivitas anticendawan tergantung dari adanya ikatan dengan sterol pada membran sel kapang atau khamir, terutama ergosterol. Akibat terbentuknya ikatan antara sterol dengan anticendawan ini adalah terjadinya perubahan permeabilitas membran sel sehingga sel akan kehilangan berbagai molekul kecil. C. albicans hampir tidak memperlihatkan resistensi terhadap nistatin (Bahry dan Setiabudy 1995; Plumb 1999).


(32)

Parkonazol

Parkonazol digunakan untuk mengobati kandidiasis di ayam mutiara. Parkonazol mempunyai toksisitas yang renndah dan residu daily intake di bawah ADI (acceptable daily intake), meskipun telah diberikan setelah 24 jam (Roschette et al. 2003).


(33)

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan sejak bulan Mei 2011 sampai dengan bulan Desember 2011. Kegiatan ini dilakukan di laboratorium Bagian Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas objek, kaca penutup, mikroskop, cawan petri, tabung reaksi, rak tabung reaksi, öse, bunsen, inkubator, ice box, pinset, vortex, cotton swab, mikropipet, tabung Durhamdan pipet.

Bahan yang digunakan antara lain tembolok ayam, contoh air yang digunakan sebagai sumber air bersih dan limbah hasil pencucian, potongan usus besar, Lactophenol Cotton Blue (LPCB), Potatoes Dextrose Agar (PDA), putih telur bebek, larutan NaCl, air suling sucihama, antibiotika (kloramfenikol), larutan Potatoes Dextrose Broth (PDB)dan anticendawan (itrakonazol, ketokonazol, dan griseofulvin)

Metode Pengambilan Contoh

Contoh pemeriksaan yang digunakan dalam penelitian adalah tembolok dan potongan usus besar ayam pedaging ras dan ayam bukan ras (ayam buras), air bersih yang digunakan untuk pencucian karkas, sertalimbah air hasil pencucian di pasar tradisional Pasar Gunung Batu, Pasar Anyar, dan Pasar Warung Jambu dan tempat pemotongan unggas (TPU) Jambu Raya, TPU Pondok Rumput, dan RPH Bubulak di wilayah Kota Bogor.


(34)

Pengolahan Contoh

Pengolahan contoh dilakukan berdasarkan metode yang dilakukan oleh Hastiono (1987) yang mengacu pada Thompson (1969). Contoh diproses di ruang inokulasi. Pengolahan tiap-tiap tembolok dilakukan secara “dilution plating” (pengolahan bahan pemeriksaan ke dalam cawan-cawan petri yang mengandung medium perbiakan dengan pengenceran secara bertingkat). Tahapan-tahapan yang dilakukan adalah

(a) tembolok, potongan usus, air bersih untuk pencucian karkas, dan air limbah hasil pencucian dimasukkan ke dalam kantung plastik kosong sucihama berkode lengkap. Sebanyak 1 g potongan usus dan tembolok, serta 1 mL air bersih untuk pencucian karkas dan air limbah hasil pencucian kemudian dibubuhi larutan NaCl fisiologis yang sucihama sebanyak sembilan kali bobot potongan tembolok sehingga diperoleh pengenceran 1/10;

(b) masing-masing contoh yang telah dimasukkan ke dalam larutan NaCl dihomogenisasikan dengan menggunakan vortexdan cairan suspensi yang dihasilkan dimasukkan ke dalam cawan petri masing-masing sebanyak 1,0 mL dan 0,1mL agar didapatkan pengenceran 1:10 dan 1:100;

(c) cawan-cawan yang telah terisi suspensi kemudian di tuangi media PDA yang telah dicairkan dan telah ditambahkan antibiotika kloromfenikol 0,05 mg/mL medium, dihomogenkan sampai bercampur dan dibiarkan membeku. Media yang sudah diolah ini lalu diinkubasi di dalam inkubator pada suhu 37 oC selama 48 jam.

Pengamatan Terhadap Koloni C. albicans

Koloni yang tumbuh pada pembiakan PDA diamati warna, bentuk, dan baunya. Kemudian secara mikroskopik diperhatikan ukuran dan bentuk selnya, ada tidaknya miselium, kapsul dan ciri-ciri morfologik yang lain (Hastiono 1987)

Identifikasi isolat C. albicans

Identifikasi isolat C. albicans dilakukan menurut cara Al-Doory (1980). Pengidentifikasian isolat pertama kali dilakukan dengan cara pemeriksaan natif. Pemeriksaan natif dilakukan dengan menggunakan mengambil koloni dari isolat


(35)

tembolok, usus besar, air limbah maupun air bersih yang digunakan untuk membersihkan daging ayam dan diteteskan dengan pewarna LPCB diatas gelas objek,ditutup dengan kaca penutup dan diperiksa dengan mikroskop.

Tahap selanjutnya adalah dilakukan inokulasi pada suhu 37ºC. Hal ini dilakukan untuk memastikan apakah isolat tersebut patogen atau tidak. Isolat murni diinokulasikan kembali ke dalam media PDA baru, lalu dinkubasikan pada suhu 37 oC.

Uji tabung-kecambah (germ tube test) dilakukan untuk mengidentifikasi spesies dari Candida yang telah diisolasi. Jika terbentuk tabung kecambah, maka biakan tersebut kemungkinan adalah C. albicans atau C. stellaoidea. Uji ini dilakukan dengan cara biakan murni berumur 24 jam dibiakkan ke dalam 0,5 mL putih telur bebek dan kemudian diinkubasikan pada suhu 37oC selama 2-4 jam. Setelah dua jam, biakan diperiksa dengan mikroskop untuk mengetahui ada tidaknya tabung kecambah.

Uji asimilasi gula-gula dilakukan untuk memastikan spesies isolat C. albicans. Uji ini menggunakan tabung reaksi yang berisi media cair Sugar assimilation medium yang terdiri dari glukosa, galaktosa, sukrosa, maltosa, laktosa, dan manitol. Sedikit koloni khamir dipindahkan menggunakan öse atau jarum ke dalam tabung reaksi yang di dalamnya terdapat 2mL air suling sucihama, kemudian dilakukan pengadukan dengan menggunakan vortex hingga merata. Suspensi khamir yang dihasilkan disamakan kepekatannya dengan larutan McFarland #1. Sebanyak 0,2mL suspensi khamir dimasukkan ke tabung-tabung gula-gula yang telah disiapkan. Tabung-tabung tersebut diinkubasi pada suhu 30ºC selama tujuh hari. Hasil positif ditandai dengan adanya pertumbuhan dan terjadinya kekeruhan pada tabung jika dibandingkan dengan tabung kontrol (tabung yang tidak diimbuhi dengan gula).

Uji Kepekaan Anticendawan

Uji pembentukan zona hambat dilakukan untuk melihat kepekaan isolat C. albicans terhadap anticendawan yang digunakan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan metode yang digunakan oleh Kusumaningtyas et al. (2008).


(36)

Media disiapkan terlebih dahulu dengan cara menuangkan 20 mL PDA ke dalam cawan Petri dan dibiarkan memadat. Masing-masing suspensi C. albicans,yang setara dengan kandungan khamir sejumlah 106cfu/mL, kemudian dioleskan secara merata pada permukaan media dengan menggunakan spatula atau cotton swab. Setelah permukaan mengering, kurang lebih 20 menit, dibuatlah lubang dengan diameter lima milimeter dan kedalaman 0,5 cm dengan menggunakan tabung Durhamsucihama. Setiap lubang diisi dengan 25µL anticendawan yang telah diencerkan dengan menggunakan mikropipet. Kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37◦C dan dilihat pembentukan zona hambatnya. Anticendawan yang digunakan adalah ketokonazol dengan kadar mulai dari 0,125 µg/mL, itrakonazol dengan kadar mulai dari 0,125 µg/mL, dan griseofulvin dengan kadar mulai dari 0,25 µg/mL dan kadar masing-masing obat terus dinaikkan sampai membentuk zona hambat pada masing-masing isolat.

Uji Penentuan Kadar Minimum Penghambatan (Minimum Inhibitory Concentration- MIC)

Tahap akhir dari tata kerja penelitian ini adalah dilakukan penentuan kadar hambat minimum (minimum inhibition concentration,MIC). Uji ini digunakan untuk mengetahui kadar terendah anticendawan yang dapat menghambat pertumbuhan koloni khamir hingga 80% dari pertumbuhan koloni khamir. Uji ini mengikuti teknik yang telah dilakukan oleh Espinel-Ingroff dan Cantón (2007).

Uji ini digunakan untuk mengetahui kadar terendah anticendawan yang dapat menghambat pertumbuhan koloni C. albicansyang ada dalam tembolok dan usus ayam maupun air bersih yang akan digunakan untuk mencuci karkas ayam serta air limbah pencucian ayam.

Uji ini diawali dengan menempatkan koloni C. albicans umur 24 jam ke tabung reaksi yang di dalamnya terdapat sembilan mililiter air suling sucihama.Dilakukan pengadukan hingga menyatu. Suspensi C. albicans yang dihasilkan disamakan kepekatannya dengan larutan McFarland #1 yang setara dengan kandungan khamirsejumlah 108 CFU/mL. Kemudian,suspensi C.albicans diencerkan dengan cara memindahkan sebanyak 1 mL larutan suspensi C. albicans ke dalam 9 mL larutan PDB untuk menghasilkan larutan suspensi yang mengandung khamir sejumlah 107 CFU/mL, kemudian diencerkan kembali


(37)

dengan memindahkan suspensi yang telah dihasilkan tersebut sebanyak 1mL ke dalam 9 mL larutan PDB untuk menghasilkan larutan suspensi yang mengandung khamir sejumlah 106 CFU/mL. Setelah itu sebanyak 11,25 µL anticendawan yang akan diujiditambahkan ke dalam suspensi khamir terakhir. Anticendawan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ketokonazol dengan kadar 8 µg/mL, 2 µg/mL, 0,5 µg/mL, dan 0,125 µg/mL; itrakonazol dengan kadar 16 µg/mL, 4 µg/mL, 0,5 µg/mL, dan 0,125 µg/mL; serta griseofulvin dengan kadar 128µg/mL, 16µg/mL, 2 µg/mL, dan 0,25 µg/mL. Suspensi C. albicans yang telah ditambahi dengan anticendawandiencerkan sampai ke tingkat pengenceran 10-7. Sebanyak satu mililiterdari masing-masing tabung pengenceran 10-3 sampai 10-7 dituangkan ke dalam satu cawan petri. Setelah itu, ke dalam semua cawan dituangi media PDA yang mengandung sebelumnya telah diimbuhi antibiotika kloramfenikol dengan dosis 0,05 mg/mL medium. Pencampuran harus merata sehingga cawan yang telah ditambahkan media dihomogenkan dengan cara membentuk angka 8 beberapa saat untuk seterusnya didiamkan hingga media agar memadat. Seluruh cawan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Koloni yang tumbuh setelah masa inkubasi dicapai dihitung koloni dengan aturan hanya cawan yang diperkirakan koloni yang tumbuh pada kisaran 25-250 CFU saja yang akan dihitung.

Analisis Data

Data kepekaan anticendawan terhadap C. albicans yang dihasilkan pada penelitian kali ini diolah dengan menggunakan analisis One Way ANOVA dilanjutkan dengan uji Duncan.


(38)

Lokasi Pemotongan Ayam

Pemotongan unggas dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pemotongan ini biasanya dilakukan di rumah potong unggas (RPU), tempat pemotongan unggas (TPU), dan pasar tradisional. RPU merupakan kompleks bangunan dengan rancangan dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene yang digunakan sebagai tempat memotong unggas untuk kebutuhan masyarakat umum (SNI 1999). Pemotongan unggas juga dilakukan TPU dan pasar tradisional untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap daging ayam karena ini tidak dapat diimbangi oleh RPU. Namun, pola pemotongan yang dilakukan oleh TPU, terutama TPU pada skala rumah tangga, dan pasar tradisional,seringkali tidak memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi. Oleh karena itu, sering muncul kekhawatiran terhadap status aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) dari karkas ayam yang dihasilkan (Ditjennak 2010; Sutrisno 2010)

Penelitian ini dilakukan dengan cara mengambil contoh dari tiga TPU dan tiga pasar tradisional. TPU tempat dilakukannya pengambilan contoh adalah TPU Jambu Raya, TPU Pondok Rumput, dan RPH Bubulak. Sedangkan untuk pasar tradisional dilakukan di Pasar Gunung Batu, Pasar Anyar, dan Pasar Warung Jambu. Penentuan tempat pengambilan contoh ini didasari oleh beberapa faktor, antara lain sumber air yang digunakan untuk pencucian, jenis ayam yang dipotong, dan kondisi tempat pemotongan.

Sumber air yang digunakan untuk pencucian karkas ayam pada tempat dilakukannya pengambilan contoh umumnya berasal dari PDAM. Lokasi yang menggunakan sumber air PDAM, yaitu Pasar Gunung Batu, Pasar Anyar, TPU Jambu Raya, TPU Pondok Rumput, dan RPH Bubulak. Sedangkan Pasar Warung Jambu menggunakan air sungai untuk pencucian karkas ayam. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Noverita (2009), sumber air minum maupun air sungai telah tercemar oleh kapang dan khamir, sehingga membahayakan untuk kesehatan masyarakat. Teknik pencucian yang dilakukan juga berbeda-beda dari setiap


(39)

lokasi. PadaPasar Gunung Batu,air yang digunakan untuk mencuci umumnya ditampung terlebih dahulu oleh pedagang, setelah itudigunakan untuk mencuci dan air hasil cucian pun tetap ditampung pada suatu tempat penampungan. Sedangkan di tempat pemotongan lain,yaitu Pasar Anyar; Pasar Warung Jambu; TPU Jambu Raya; TPU Pondok Rumput; dan RPH Bubulak, air bersih yang digunakan untuk mencuci merupakan air yang mengalir dan air hasil pencuciannya mengalir ke dalam suatu saluran berupa parit setelah ditampung dahulu di suatu wadah tertentu. Teknik ini mempengaruhi sanitasi dari lokasi tempat pemotongan ayam sehingga tingkat kehigienisan berbeda-beda.

Jenis ayam yang dipotong pada tempat pemotongan ayam biasanya adalah ayam ras pedaging. Tetapi, berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, masih dilakukan pemotongan ayam buras di Pasar Anyar. Hal ini dimungkinkan oleh masih tingginya permintaan ayam buras dari konsumen. Menurut Rasyaf (2008), ayam buras memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan ayam ras pedaging, yaitu memiliki daging yang liat sehingga untuk masakan yang harus mengalami proses perebusan dengan waktu yang lama, daging ayam buraslebih cocok karena tidak akan hancur. Selain itu, sebagian masyarakat juga berpendapat rasa daging ayam buras lebih gurih sehingga lebih memilih daging ayam buras sebagai bahan makanan.

Perhatian terhadap sanitasi di tempat pemotongan sangat mempengaruhi mutu cemarandan mutu daging yang dihasilkan. Seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 5 di bawah ini.


(40)

TPU Jambu Raya, yang ditampilkan dalam Gambar 5, menunjukkan salah satu tempat pemotongan unggas yang menurut penilaian Ditjennak termasuk TPU yang memadai (Ditjennak 2010). Area pemotongan dinilai cukup higienisdan pekerjanya diharuskan memakai perlengkapan yang telah dibakukan. Upaya penciptaan kondisi seperti ini akan mempengaruhi jumlah mikroorganisme yang mencemari daging, karkas, maupun organ dalam yang akan digunakan sebagai bahan makanan, terutama cemaran mikroorganisme pada saat penanganannya.

Setelah dilakukan penentuan tempat, contoh diambil untuk mendapatkan ada tidaknya C. albicansdi contoh-contoh tersebut. Jenis contoh yang diambil dibagi menjadi empat jenis contoh, yaitu tembolok, potongan usus, air bersih untuk pencucian karkas, serta air limbah bekas pencucian. Gambar 6 menunjukkan contoh organ yang diambil (tembolok dan usus) yang diambil untuk diidentifikasi ada tidaknya C. albicans di dalam organ tersebut.

(a) (b)

Gambar6Salah satutembolok (a) dan potongan usus (b) yang dijadikan contoh

Menurut Tabbu (2000), kandidiasis umumnya menginfeksi saluran pencernaan terutama tembolok, sehingga menjadi pertimbangan utama mengapa dilakukan isolasi C. albicans dari organ tersebut. Selain itu, air bersih untuk pencucian maupun air limbah bekas pencucian juga dijadikan contoh. Noverita (2009) menyatakan bahwa di perairan, seperti sungai, kolam, danau, maupun laut, dapat ditemukan berbagai macam khamir yang dapat menimbulkan penyakit, salah satunya adalah Candida spp. Selain itu, Cook dan Schlitzer (1981) juga mengisolasi adanya C. albicans dari aliran sungai serta parit. Namun jumlah C. albicans pada sungai sangat kecil, yaitu <1 cfu/ml.


(41)

Tabel 2 menunjukkan data jumlah contoh yang diambil pada setiap lokasi dengan tujuan untuk mengetahui keberadaan C. albicans yang terdapat pada contoh yang diambil tersebut.

Tabel 2 Lokasi dan jumlah pengambilan contoh Lokasi pengambilan

contoh

Jumlah contoh yang diambil berdasarkan jenis

Jumlah Tembolok Air-1 Air-2 Potongan

usus

Pasar Gunung Batu 9 1 3 2 15

Pasar Warung Jambu 9 1 2 5 17

Pasar Anyar 12 2 2 10 26

TPU Jambu Raya 10 1 1 5 17

TPU Pondok Rumput 10 1 1 10 22

RPH Bubulak 10 1 1 10 22

Jumlah 60 7 10 42 119

Catatan: Air-1: air bersih yang digunakan untuk mencuci karkas. Air-2: air limbah

Penelitian ini menggunakan 119 contoh yang terdiri dari 60 contoh berasal dari tembolok, 42 contoh berasal dari potongan usus, 7 contoh berasal dari sumber air bersih yang digunakan untuk mencuci karkas, dan 10 contoh lainnya berasal dari air limbah yang telah digunakan untuk mencuci karkas ayam. Tembolok yang dijadikan contoh terdiri dari dua jenis, yakni 13 contoh tembolok berasal dari ayam buras, yaitu 12 contoh diambil di Pasar Anyar dan 1 contoh diambil di Pasar Gunung Batu, sedangkan 47 contoh lainnya merupakan tembolok dari ayam ras pedaging. Potongan usus yang digunakan menjadi contoh juga dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 10 contoh potongan usus yang berasal dari ayam buras dan 32 contoh lainnya berasal dari ayam ras pedaging. Potongan usus dari ayam buras hanya diperoleh di Pasar Anyar.

Identifikasi C. albicans

Isolasi dilakukan untuk mengidentifikasi adanya C. albicans dari contoh yang diambil. Isolasi awal dilakukan dengan mengidentifikasi koloni yang diduga sebagai C. albicans dari contoh yang telah diolah secara dilution plating. Kemudian koloni tersebut diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam dan setelah masa inkubasinya tercapai, koloni yang tumbuh diamati dengan pemeriksaan mikroskopik terhadap sediaan natif menggunakan pewarnaan LPCB.


(42)

Secara makroskopik, dapat dilihat bahwa koloni yang diduga C. albicans telihat koloni berbentuk bulat, berwarna putih, mempunyai permukaan yang halus dan licin, serta memiliki bau seperti ragi. Hasil pemeriksaan mikroskopik menunjukkan C. albicans dalam fase sel khamir (blastospora). Fase ini merupakan fase normal, dimana C. albicans berkembang biak dengan cara membentuk tunas atau yang biasa disebut budding cell (Gambar 7). Sedangkan beberapa C. albicans terlihat dalam fase sel hifa sejati. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi fase ini, seperti perubahan komposisi media, penambahan serum, tumbuh pada kondisi kadar CO2 yang tinggi atau semi anaerobik, pH dan suhu

(Calderone 2002)

Gambar 7 Hasil pemeriksaan natif yang diwarnai dengan LPCB memperlihatkan C. albicans dalam bentuk sel khamir (blastospora) yang membentuk tunas (budding cell)

Tabel 3 menunjukkan hasil pemeriksaan biokimiawi terhadap koloni-koloni yang diduga sebagai koloni-koloni Candida. Uji yang dilakukan terdiri dari uji asimilasi gula-gula untuk menentukan spesies Candida yang diisolasi dari contoh dan uji tabung kecambah. Uji ini merupakan salah satu uji biokimiawi didasari oleh kemampuan khamir untuk melakukan metabolisme oleh enzim yang dimilikinya (Lay 1994)


(43)

Tabel 3 Hasil uji kecambah dan asimilasi gula-gula terhadap beberapa koloni yang diduga sebagai C. albicans

Kode

koloni Asal koloni

Hasil uji kecambah

Hasil uji asimilasi gula-gula

Kesimpulan Glu Gal Suk Mal Lak Man

T 3 A Pasar Gunung Batu + + + + + - + C. albicans

T 9 B Pasar Warung Jambu + + + + - + - C.

parapsilosis

T 5 B Pasar Warung Jambu + + + - - - + C. rugosa

AB 1 B Pasar Warung Jambu + + - - - C. krusei

Catatan: T3A, T9B, dan T5B berasal dari tembolok. AB1B berasal dari air bersih yang digunakan untuk mencuci karkas. Glu= Glukosa, Gal= Galaktosa, Suk= Sukrosa, Mal= Maltosa, Lak= Laktosa, Man= Manitol

Tanda positif pada uji asimilasi menunjukkan bahwa media berubah menjadi keruh. Kekeruhan tersebut menandai adanya pertumbuhan dari khamir karena khamir mampu memanfaatkan nutrisi berupa karbohidrat yang terdapat pada media yang diberikan.

Tanda positif pada uji tabung kecambah menunjukkan bahwa terbentuknya tabung kecambah (Gambar 8) pada isolat khamir tersebut. Uji tabung kecambah dilakukan dengan membiakkan isolat C. albicans dalam putih telur bebek dan diinkubasi pada suhu 37◦C dalam waktu 2-4 jam. Uji ini dilakukan untuk melihat kemampuan membentuk tabung kecambah yang dilakukan koloni khamir untuk menghindari bentuk blastospora dan membentuk hifa berfilamen. Namun, tabung kecambah ini hanya dapat dibentuk oleh C. albicans dan C. stellatoidea. Hasil positif tabung kecambah dari C. parapsilosis, C. rugosa, dan C. krusei berdasarkan Tabel 3 kemungkinan merupakan hasil positif palsu yang dikarenakan pembiakan yang terlalu lama (Al-Doory 1980; Abu-Elteen dan Hamad 2007)

Gambar8Tabung kecambah yang dibentuk oleh isolat yang diduga sebagai C. albicans


(44)

C. albicans yang diperoleh dari contoh-contoh yang diperiksa dari beberapa lokasi dipaparkan pada Tabel 4di bawah ini.

Tabel4 Koloni khamir yang berhasil ditumbuhkan dari contoh yang diperiksa Lokasi pengambilan

contoh

Dugaan koloni yang diisolasi dari contoh

Tembolok Air-1 Air-2 Potongan usus

Pasar Gunung Batu C. abicans - C. albicans C. krusei

Pasar Warung Jambu

C. albicans C. rugosa C. parapsilosis

- C. krusei C. albicans

Pasar Anyar

C. albicans C. albicans C. albicans C.albicans

C. rugosa

TPU Jambu Raya C. albicans - - C. albicans

TPU Pondok Rumput C. albicans. - - C.albicans.

RPH Bubulak C. albicans - - C. albicans

Catatan: Air-1: air bersih yang digunakan untuk mencuci karkas. Air-2: air limbah

Berdasarkan Tabel 4diatas, terdapat beberapa spesies Candida dari contoh-contoh yang diambil. Secara normal, spesies Candida dapat ditemukan sebagai mikroflora normal di dalam saluran pencernaan yang sehat, begitu pula dengan khamir lain yang dapat ditemukan di saluran pencernaaan seperti Rhodotorula sp., Saccharomyces sp., Torulopsis sp., dan Trichosporon sp. (Hastiono 1987; Kunkle 2003).

Berdasarkan hasil yang terdapat di dalam Tabel 4, C. albicansmerupakan khamir yangmendominasi di dalam baik usus maupun tembolok ayam jika dibandingkan dengan jenis khamir lainnya. Hal ini dikarenakan C. albicans umumnya terdapat pada saluran pencernaan ayam, baik ayam sehat maupun ayam sakit. Penelitian Kunkle (2003) memberikan data bahwa sebanyak 95% C. albicansdiisolasi dari tembolokayam ras pedaging.Selain pada saluran pencernaan, C. albicans secara normal juga dapat ditemukan di sistem reproduksi dan urinari (Vieira dan Coutinho2009). Selain C. albicans terdapat pula C. rugosa dan C. parapsilosis di dalam tembolok serta C. krusei dan C. rugosa di dalam potongan usus. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hastiono (1987) yang menyatakan adanya isolasi dari C. albicans,C. guillermondii, C. krusei, C. parapsilosis, C. pseudotropicalis, C. tropicalis, C. rugosa, C. parakrusei, C. stellatoidea, C. ravautii, C. salmonicola, C. catenulata, dan C. brumptii.


(45)

Berdasarkan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan, hanya C. albicans dan C. parapsilosis yang berkaitan dengan mikosis pada tembolok (Kunkle 2003)

Contoh air bersih untuk mencuci karkas maupun air limbah hasil cucian umumnya tidak tercemar oleh khamir yang dicari. Namun, beberapa tempat masih menunjukkan adanya cemaran dari Candida sp. Berdasarkan hasil penelitian Noverita (2009), terbukti bahwa 70% dari contoh air terdapat cemaran khamir. Candida sp. merupakan salah satu jenis khamir yang ditemukan dan spesiesnya yang dapat membahayakan kesehatan, yaitu C. albicans ditemukan di dalam perairan.

Kadar Hambat Minimum (MIC)

MIC ditentukan berdasarkan kadar terendah anticendawan yang dapat menghambat pertumbuhan koloni cendawan sebanyak 80% (Espinel-Ingroff dan Cantón 2007).Umumnya, penentuan MIC dilakukan dengan metode baik makrodilusi maupun mikrodilusi. Metode makrodilusihanya menggunakan satu isolat cendawan dan satu zat anticendawan yang terlarut dengan kadar tertentuyang kemudian dilakukan perbandingan dengan kontrol menggunakan spektofotometri. Namun, metode ini dianggap kurang efektif untuk pemeriksaan dalam jumlah besar. Metode mikrodilusi merupakan metode umum yang digunakan oleh laboratorium klinis untuk meneliti kepekaan isolat dalam jumlah besar terhadap agen anticendawan dengan menggunakan mikrotiter dan kemudian dilihat kejernihannya(Espinel-Ingroff dan Cantón 2007; Moran et al. 2007).

Penelitian ini menggunakan metode dilusi agar untuk menentukan kepekaan anticendawan. Metode ini dapat menggambarkan hasil MIC secara kuantitatif jika dibandingkan dengan metode zona hambat yang hanya dapat menggambarkan secara kualitatif (Hanlon et al. 2007).

Sebagai uji pendahuluan, dilakukan uji zona hambat untuk menentukan kisaran anticendawan yang mungkin efektif untuk isolat C. albicans dari masing-masing lokasi pengambilan contoh. Keefektifan dari anticendawan diketahui dengan terbentuk atau tidaknya zona hambat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9. Namun keefektifan anticendawan yang digunakan tidak dapat ditentukan melalui metode zona hambat karena ukuran dari zona hambat yang


(46)

dihasilkan oleh masing-masing obat berbeda ukuran diameternya sehingga metode ini tidak dapat digunakan untuk menentukan MIC (Wanger 2007).

Kadar anticendawan pada tahap awal yang digunakan dalam uji zona hambat ini adalah jumlah kadar anticendawan tergolong peka, yaitu ≤ 0,125µg/mL untuk itrakonazol,≤ 0,125 µg/mLuntuk ketokonazol, dan ≤0,25 µg/mL(Hobanet al. 1999; Perea dan Patterson 2002; Hammer et al. 2003). Kemudian kadar dari masing-masing anticendawan dinaikkan sampai terbentuk zona hambat dari masing-masing isolat, kecuali griseofulvin. Hal ini dikarenakan tidak terbentuknya zona hambat pada seluruh isolat walaupun kadar anticendawantelah dinaikkan sebesar 512 kali dari MIC.

Gambar 9 Zona hambat yang dibentuk oleh

anticendawan dengan

menggunakan metode sumur

Uji selanjutnya adalah uji untuk menentukan MIC dengan menggunakan metode dilusi agar. Setiap anticendawan yang diuji terdiri dari empat kadar anticendawan, yaitu 8,0 µg/mL; 2,0 µg/mL; 0,5 µg/mL dan 0,125 µg/mL untuk ketokonazol, 16,0 µg/mL, 4,0 µg/mL, 0,5 µg/mL dan 0,125 µg/mLuntuk itrakonazol serta kadar untuk griseofulvin adalah 128,0 µg/mL, 16,0 µg/mL, 2,0 µg/mL dan 0,25 µg/mL. MIC diperoleh jika kadar anticendawan yang digunakan dapat menghambat pertumbuhan dari koloni di dalam cawan petri sehingga yang tumbuh hanya 20% atau kurang dibandingkan dengan kontrol yang tidak dipaparkan anticendawan (Therese et al. 2006; Espinel-Ingroff dan Cantón 2007).


(47)

Nilai MIC sesuai dengan pengambilan contoh sesuai lokasi tertera pada Tabel 5.

Tabel 5 Nilai MIC terhadap beberapa isolat C. albicans yang diperoleh dari lokasi contoh yang diperiksa

Lokasi Anticendawan(µg/mL)

KTK ITK GRIS

Ps. Gunung Batu 1,063ab 0,125b 65,000b

Ps. Warung Jambu 1,25ab 8,25ab 64,125b

Ps. Anyar 0,688ab 2,156ab 37b

TPU Jambu Raya 5a 2,25ab 65b

TPU Pondok Rumput 0,5b 8,25ab 72b

RPH Bubulak 2ab 16a 64,125b

C. albicans (Referensi) 0,125b(1) 0,125b(2) 800a(3)

Catatan: (1)Hoban et al. 1999; (2)Perea dan Patterson 2002; (3)Sehgal et al. 2005

KTK= ketokonazol; ITK=itrakonazol; GRIS=griseofulvin; Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan yang nyata (p<0,05) antar kelompok perlakuan.

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 5, perbandingan nilai MIC ketokonazol dari masing-masing lokasi tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan nilai MIC ketokonazol C. albicans dari referensi, kecuali pada TPU Jambu Raya. Hal ini serupa dengan perbandingan nilai MIC itrakonazol yang tidak mengalami perbedaan yang nyata jika dibandingkan MIC itrakonazol dari referensi, kecuali MIC pada RPH Bubulak. Namun pada griseofulvin, terdapat nilai MIC yang berbeda nyata dari tiap-tiap lokasi dibandingkan nilai MIC griseofulvin terhadap C. albicans dari referensi. Dengan demikian, C. albicans yang diperoleh dari lapangan masih peka terhadap griseofulvin.

Melalui data yang diperoleh, lokasi bukan merupakan faktor yang mempengaruhi MIC. Pada Tabel 5 tertera bahwa nilai MIC ketokonazol pada TPU Jambu Raya memiliki nilai MIC yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan referensi namun jika dilihat dari segi sanitasi dan penanganan karkas pada TPU Jambu Raya tergolong baik. Menurut Murtidjo (2003), proses pemotongan, peralatan, dan lingkungan dapat mempengaruhi cemaran dari daging ayam karena kondisi ini dapat meningkatkan jumlah C. albicans yang mencemari daging ayam. Namun, meningkatnya jumlah koloni C. albicans tidak mempengaruhi kekebalan masing-masing sel khamir terhadap anticendawan. Terjadinya resistensi dari


(48)

masing-masing sel khamir dapat terjadi jika terjadi perubahan gen atau strain dari sel khamir tersebut (Bhanderi et al. 2009).

Tabel 6 Nilai MIC terhadap beberapa isolat C. albicans dari contoh yang diperiksa

Contoh Anticendawan (µg/mL)

KTK ITK GRIS

Tembolok 1,5a 3,542a 69,375b

Potongan Usus 2,225a 9,8a 77,25b

Air-1 2a 4a 2b

Air-2 0,125a 2,063a 2b

C. albicans (referensi) 0,125a(1) 0,125a(2) 800a(3)

Catatan: (1) Hoban et al. 1999; (2)Perea dan Patterson 2002; (3)Sehgal et al. 2005

KTK= ketokonazol; ITK=itrakonazol; GRIS=griseofulvin; Air-1= air bersih yang digunakan untuk mencuci karkas; Air-2=air limbah; Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan yang nyata (p<0,05) antar kelompok perlakuan.

Tabel 6 menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan yang nyata antara MIC ketokonazol dan itrakonazol dari masing-masing contoh dengan MIC yang berasal dari referensi. Hal ini menunjukkan bahwa C. albicans pada masing-masing isolat masih peka terhadap anticendawan yang diuji, kecuali isolat C. albicans yang berasal dari potongan usus yang berasal dari TPU Jambu Raya terhadap ketokonazol serta potongan usus dan tembolok yang berasal dari RPH Bubulak terhadap itrakonazol. Hal ini dapat dilihat dari data yang menunjukkan bahwa nilai MIC isolat C. albicans yang diperoleh dari contoh-contoh tersebut tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai MIC yang diperoleh dari isolat C. albicans yang berasal dari contoh lainnya.Namun nilai MIC griseofulvin pada masing-masing contoh menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan dengan nilai MIC yang berdasarkan referensi. Maka, C. albicans pada masing-masing contoh masih tergolong peka terhadap griseofulvin.

Ketokonazol dan itrakonazol merupakan anticendawan yang berasal dari golongan azol. Golongan anticendawan ini mempunyai aktivitas menghambat biosisntesis ergosterol dengan menghasilkan kadar plasma yang akan mengikat enzim sitokrom P-450, komponen yang akan mengubah lanosterol menjadi ergosterol. Ergosterol merupakan merupakan komponen sterol utama pada membran plasma fungi yang berperan penting untuk pertumbuhan dan pembelahan sel. Secara umum, ketokonazol dan itrakonazol memiliki struktur kimia dan profil farmakologisyang sama. Namun yang menjadi perbedaan adalah


(49)

afinitas itrakonazol terhadap enzim sitokrom P-450 di cendawan lebih besar sehingga efek samping yang diperoleh lebih kecil. (Bhanderi et al. 2009;Ghannoum dan Rice 1999)

Mekanisme terjadinya ketahanan pada golongan azol terdiri dari beberapa cara, yaitu mengurangi masuknya obat, perubahan mekanisme saat metabolisme obat di intraseluler, perubahan pada enzim sasaran, perubahan pada enzim lain yang termasuk dalam jalur biosintesis ergosterol, dan perubahan pada pompa ion. Reduksi obat merupakan mekanisme pertama bagaimana obat tersebut dapat menyebabkan cendawan menjadi tahan terhadap obat anticendawan karena sel dapat mengubah susunan membran untuk mencegah masuknya obat ke dalam sel. C. albicans dapat melakukan perubahan sterol dan komponen fosfolipid dari membran sitoplasma sehingga dapat mengurangi masuknya obat. C. albicans juga dapat memetabolisme anticendawan golongan azol, sehingga hal ini dapat mengganggu mekanisme kerja obat secara interseluler. Karena mekanisme utama dari golongan azol adalah menghambat biosintesis ergosterol, maka mekanisme ketahanan golongan azol yang paling penting dan sering terjadi adalah perubahan enzim yang merupakan sasaran obat maupun enzim yang berada pada jalur biosintesis sel. Perubahan ini terjadi akibat adanya mutasi gen sehingga khamir dapat bersifat tahan terhadap obat golongan azol. Mekanisme lainnya adalah perubahan pompa ion dengan menjalankan peran gen Candida Drug Resistance (CDR) yang menjadi dasar timbulnya ketahanan obat golongan azol (Bhanderi et al. 2009).

Resistensi ketokonazol diduga melalui beberapa cara. Pada saat resistensi ketokonazol ditemukan pertama kali dari pasien mukokutaneus kandidiasis kronis, keadaan ini diduga karena adanya impermeabilitas terhadap turunan azol sehingga resistensi terjadi karena adanya perubahan komponen pada membran sel. Perubahan yang terjadi adalah meningkatnya jumlah sterol non-ester pada membran sitoplasma C. albicans yang akan menurunkan rasio fosfolipid/sterol yang termasuk dalam komponen yang peka terhadap golongan azol menjadi setengahnya. Resistensi terhadap ketokonazol juga dapat terjadi karena adanya modifikasi sitokrom P-450 yang menyebabkan penurunan afinitas terhadap ketokonazol (Bossche 1997).


(50)

Mekanisme resistensi itrakonazol umumnya sama dengan mekanisme resistensi terhadap ketokonazol. Terjadinyaresistensi terhadap itrakonazol dikarenakan adanya mutasi sitokrom P-450 yang didalamnya terdapat mikrosom P-450 yang dapat menurunkan afinitas obat. Hal ini juga menyebabkan obat tidak berpengaruh terhadap mekanisme pompa ion yang terdapat dalam khamir sehingga pompa ion tetap bekerja meskipun terdapat komponen-komponen obat (Bossche 1997; Maesaki et al. 1998).

Griseofulvin merupakan agen anticendawan yang bekerja dengan cara menghambat mitosis cendawan yang menyebabkan pemutusan berkas mitotik akibat dari interaksi obat dengan mikrotubulus yang terpolimerisasi. Namun spektrum yang dimiliki oleh griseofulvin hanya terbatas pada cendawan-cendawan dermatofita. Cendawan kelompok ini mampu melakukannya karena proses ini membutuhkan energi yang besar untuk melakukan sistem metabolisme terhadap anticendawan griseofulvin. Sedangkan C. albicans memiliki sistem metabolisme yang singkat dan tidak membutuhkan energi sehingga cendawan ini digolongkan tidak peka terhadap griseofulvin (Bahry dan Setiabudy 1995; Bossche 1997). Berdasarkan hasil yang telah diperoleh di dalam penelitian ini, isolat C. albicans masih tergolong peka terhadap griseofulvin. Hal ini dimungkinkan oleh griseofulvin dapat bersifat fungisidal pada sel khamir muda sehingga dapat mengurangi pertumbuhan C. albicans (Bahry dan Setiabudy 2005).

Selain faktor dari obat dan khamir yang banyak berperan dalam sistem metabolisme, terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi resistensi terhadap anticendawan. Faktor tersebut diantaranya adalah jumlah koloni, kemapanan genom pada galur, status kebal dari inang, penggunaan obat-obatan yang tidak sesuai oleh inang (Bhanderi et al. 2009). Menurut Hastiono (1987), pemberian antibiotika ke dalam pakan dapat mempengaruhi jumlah khamir, yakni terjadi peningkatan karena khamir dapat menggunakan antibiotika sebagai nitrogen untuk memenuhi kebutuhan hidup.


(51)

Tabel 7 Perbandingan MIC antar anticendawan

Anticendawan MIC (µg/mL)

Ketokonazol 1,598a

Itrakonazol 5,598a

Griseofulvin 57,75b

Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan yang nyata (p<0,05) antar kelompok perlakuan.

Melalui Tabel 7, dapat dilihat bahwa griseofulvin memiliki MIC yang berbeda nyata dengan yang lain. Jika dilihat nilai MIC nya sangatlah besar jika dibandingkan dengan kedua obat lainnya, yakni ketokonazoldan itrakonazol. Sedangkan itrakonazol dan ketokonazol memiliki kemampuan yang hampir sama karena keduanya tidak berbeda nyata. Namun jika dilihat lebih lanjut, nilai MIC terendah didapat pada ketokonazol sehingga ketokonazol merupakan obat yang paling ampuh diikuti itrakonazol kemudian griseofulvin.


(52)

Simpulan

Isolat C. albicans yang diperoleh dari beberapa contoh memperlihatkan masih peka terhadap ketokonazol, itrakonazol dan griseofulvin, kecuali isolat C. albicans yang diperoleh dari potongan usus yang berasal dari TPU Jambu Raya terhadap ketokonazol dan tembolok serta potongan usus yang berasal dari RPH Bubulak terhadap itrakonazol. Anticendawan yang paling efektif untuk menghambat pertumbuhan C. albicans adalah ketokonazol.

Saran

Dari hasil penelitian yang diperoleh, ada beberapa saran yang dapat dikemukakan dalam upaya untuk melengkapi hasil yang sudah diperoleh ini, diantaranya

1. diperlukan anticendawan jenis lain untuk mengetahui apakah terdapat anticendawan yang lebih ampuh untuk membunuh C. albicans yang diperoleh dari contoh tersebut.

2. diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mencari informasi tentang apakah C. albicans yang sudah resisten terhadap anticendawan di dalam penelitian ini telah menyebar ke lingkungan dan tetap memiliki sifat resisten.

3. diperlukan penelitian tentang mutu mikrobiologik atas sumber air yang digunakan untuk menilai peluang pencemaran oleh C. albicans.

4. diperlukan penelitian tentang analisis resiko mengenai atas keberadaan RPU dan TPU terhadap dampak kesehatan lingkungan dan masyarakat.


(1)

50

Lampiran 5 Hasil analisis statistika MIC itrakonazol terhadap C. albicans berdasarkan contoh yang diperiksa menggunakan perangkat lunak SAS

The SAS System The GLM Procedure Class Level Information

Class Levels Values

Perlakuan 5 1 2 3 4 5

Number of Observations Read 15 Number of Observations Used 15

Dependent Variable: respon

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 169.1671875 42.2917969 0.86 0.5211 Error 10 493.0786458 49.3078646

Corrected Total 14 662.2458333

R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean 0.255445 134.1775 7.021956 5.233333

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F Perlakuan 4 169.1671875 42.2917969 0.86 0.5211

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F Perlakuan 4 169.1671875 42.2917969 0.86 0.5211


(2)

The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for respon

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 10 Error Mean Square 49.30786 Harmonic Mean of Cell Sizes 1.744186

NOTE: Cell sizes are not equal.

Number of Means 2 3 4 5

Critical Range 16.75 17.51 17.51 18.24 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Perlakuan

A 9.800 5 2 A

A 4.000 1 3 A

A 3.542 6 1 A

A 2.063 2 4

A


(3)

52

Lampiran 6 Hasil analisis statistika MIC griseofulvin terhadap C. albicans berdasarkan contoh yang diperiksa menggunakan perangkat lunak SAS

The SAS System The GLM Procedure Class Level Information

Class Levels Values

Perlakuan 5 1 2 3 4 5

Number of Observations Read 15 Number of Observations Used 15

Dependent Variable: respon

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 526242.3396 131560.5849 32.80 <.0001

Error 10 40104.9688 4010.4969

Corrected Total 14 566347.3083

R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean 0.929187 59.05671 63.32848 107.2333

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F perlakuan 4 526242.3396 131560.5849 32.80 <.0001

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F perlakuan 4 526242.3396 131560.5849 32.80 <.0001


(4)

The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for respon

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 10 Error Mean Square 4010.497 Harmonic Mean of Cell Sizes 1.744186

NOTE: Cell sizes are not equal.

Number of Means 2 3 4 5

Critical Range 151.1 157.9 161.9 164.5 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Perlakuan

A 800.00 1 5

B 77.25 5 2

B

B 69.38 6 1

B

B 2.00 2 4

B


(5)

54

Lampiran 7 Hasil analisis statistika perbandingan nilai MIC antar anticendawan menggunakan perangkat lunak SAS

The SAS System The GLM Procedure Class Level Information

Class Levels Values

Perlakuan 3 1 2 3

Number of Observations Read 42 Number of Observations Used 42

Dependent Variable: respon

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 27481.21503 13740.60751 10.14 0.0003 Error 39 52828.82366 1354.58522

Corrected Total 41 80310.03869

R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean 0.342189 170.0079 36.80469 21.64881

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F perlakuan 2 27481.21503 13740.60751 10.14 0.0003 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F perlakuan 2 27481.21503 13740.60751 10.14 0.0003


(6)

The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for respon

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 39 Error Mean Square 1354.585

.

Number of Means 2 3 Critical Range 28.14 29.58

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Perlakuan

A 57.75 14 3

B 5.60 14 2

B