Relokasi Pasar (Studi Kasus : Pusat Pasar Tradisional Panyabungan – Madina)

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

RELOKASI PASAR

(Studi Kasus : Pusat Pasar Tradisional Panyabungan – Madina)

Diajukan Oleh

Fadilah Rizki

030901039

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

Medan

2008


(2)

ABSTRAK

Suatu pasar selalu mengalami perubahan, baik pemekaran bangunan serta luas arealnya maupun jumlah pedagangnya. Ada pedagang baru masuk dan ada pula pedagang yang keluar atau pindah ke tempat lain. Apabila pedagang yang masuk lebih banyak daripada yang keluar, maka akan menyebabkan semakin bertambahnya kebutuhan tempat berjualan. Sejalan dengan dijadikannya Panyabungan sebagai ibu kota Kabupaten maka pembangunan sarana dan prasarana pendukung mulai dilaksanakan. Demikian halnya dengan pembangunan dan relokasi pusat pasar tradisional Panyabungan. Pasar yang direlokasikan dari pusat pasar lama yang di kenal dengan ”Pasar Baru”. Dengan adanya berbagai kepentingan dalam suatu pembangunan, akan selalu terjadi dilema dan friksi yang kemudian menjadi polemik dalam proses pembangunan tersebut, termasuk dalam proyek relokasi pasar. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka muncul pertanyaan: bagaimana metode dan pendekatan pemerintah daerah / Dinas Pasar terhadap masyarakat dan pedagang dalam proses relokasi pasar tersebut dan apa faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam proses relokasi pasar tersebut?

Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut, maka dilakukan penelitian secara kualitatif dengan analisa deskripsi, dengan unit analisis adalah masyarakat setempat, para pedagang di pasar dan instansi yang terkait dalam relokasi pasar Panyabungan. Instansi yang terkait ini yaitu Dinas pasar di daerah lokasi penelitian ini yang tempatnya berada di pusat pasar baru Kabupaten Mandailing Natal.

Berdasarkan hasil penelitian pendekatan pemerintah daerah/Dinas Pasar terhadap masyarakat dan pedagang dalam proses relokasi pasar tersebut adalah dengan melakukan sosialisasi, baik tertulis maupun lisan dengan upaya membangkitkan kesadaran masyarakat umum maupun para pedagang akan pentingnya proyek relokasi tersebut untuk dilakukan. Jadi tidak ditemukan faktor penghambat, sedangkan faktor pendukung karena adanyapeningkatan dari segi sarana-prasarana yang ditawarkan oleh pengelola pasar, sehingga bagi sebagian pedagang akan bertambah pula jumlah langganannya Namun, dari sisi pedagang dan masyarakat, timbul pemikiran bahwa lokasi Pasar Baru tidak terdapat tepat ditengah kota, sehingga kurang strategis, karena susah dijangkau oleh konsumen dan juga adanya persaingan yang semakin ketat akibat jumlah pedagang yang semakin meningkat. Dimana secara umum hal tersebut diatas bisa mengakibatkan terjadinya pengurangan jumlah konsumen. Dan juga timbulnya anggapan bahwa pengelola pasar dianggap tidak becus untuk mengelola Pasar Baru ini karena hanya memikirkan diri sendiri atau jabatannya belaka, sedangkan kemajuan pasar dibiarkan begitu saja tanpa pembinaan yang berarti.


(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil Alamin. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan, kemudahan dan pengetahuan, rahmat beserta karunia-Nya kepada penulis. Serta Shalawat dan Salam kepada Nabi besar junjungan kita, Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana sosial-politik Universitas Sumatera Utara dan dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Relokasi Pasar (Studi Kasus : Pusat Pasar Tradisional Panyabungan – Madina)”.

Dalam menyusun skripsi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan karena penulis juga merasa belum memiliki pengetahuan dan pengalaman lebih dan memadai dalam penyusunan skripsi. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritikan, saran dan masukan dari para pembaca untuk kesempurnaan skripsi ini.

Pertama sekali penulis ingin mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Ayahanda Ansor Nasution, SP.Pd., M.M., yang selama ini telah banyak memberikan nasehat dan dorongan, baik moril dan materil serta bekerja keras selama ini demi kelangsungan pendidikan penulis dan adik penulis. Atas berkat dan doanyalah sehingga penulis bisa menjadi seperti sekarang ini.

”Anakmu ini salut dan bangga kepada Ayah yang selama ini selalu sabar, tabah dan ikhlas dalam menghadapi masalah dan cobaan yang ada dalam kehidupan yang seperti roda ini. Sabar, tabah dan ikhlas adalah sifat yang akan selalu Eva tiru dariAyah..!!”

Ibunda Ummi Kalsum Lubis tersayang yang selama ini telah banyak berperan dalam kehidupan penulis. Ibunda yang selalu setia dan sabar dalam mendengarkan keluh kesah penulis selama ini. Atas doa, nasehat, perhatian dan kasih sayangnya kepada penulis, dari masih belum mengenal baca-tulis hingga penulis bisa mengecap dunia pendidikan sampai ke Perguruan Tinggi ini.

Juga buat adikku Melly. Terimakasih atas bantuan, dukungan dan semangatnya kepada penulis, sehingga bisa menyelesaikan skripsi ini.


(4)

”Belajar yang rajin ya, agar suatu saat nanti kita bisa membahagiakan dan membuat bangga kedua orang tua kita”

Selanjutnya, penulis menghaturkan terimakasih tak terhingga kepada:

1. Bapak Prof. DR. M. Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik.

2. Bapak DR. Badaruddin, M.Si, selaku ketua Departemen Sosiologi FISIP USU.

3. Ibu Dra. Rosmiani, M.Si., selaku Sekretaris Departemen Sosiologi FISIP

USU.

4. Bapak Drs. Muba Simanihuruk, M.Si, selaku Dosen Wali yang selama ini

telah berperan dalam studi penulis.

5. Bapak Drs. Sismudjito, M.Si., sebagai Dosen Pembimbing penulis dalam

penyusunan skripsi ini, yang telah banyak memberikan masukan, ide-ide dan pemikirannya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

6. Kepada seluruuh Dosen Sosiologi dan staff pengajar FISIP USU.

7. Buat para sepupu penulis; Ana, Putri dan Nina yang telah ikut membantu

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Buat sahabat-sahabat terbaikku; Sari, Eva, Rima, Dewi, Kiki, Ina dan Mini, yang telah banyak membantu dan berperan dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas dukungan dan bantuan kalian. “Persahabatan kita Forever.”

9. Buat sahabat masa kecilku sampai saat ini; Seri Wahyuni dan Asridah, yang

selama ini telah menjadi tempat curhat penulis. Terimakasih atas dorongan dan semangatnya.

10.Buat seseorang yang berinisial “Y”; terimakasih atas kebersamaanya semenjak penulis memasuki dunia perkuliahan sampai menyelesaikan skripsi sebagai tugas akhir perkuliahan. “Terimakasih atas semuanya. Apa yang terjadi selama ini akan kujadikan pelajaran dan pengalaman dalam hidup.”

11.Buat anak-anak SOS. 03; Wildan, Ayu, Kiki, Yuna, Asri, Krisma, Riza, Lena, Ilham, Mansur, Madhan, Bastian, Hendra, Sidik, Hasrad, Ferdinan, Chandra dan buat teman-teman penulis lainnya yang mungkin tak adapat disebutkan satu persatu.

12.Buat anak-anak di kos-kosan Sofyan 62; Shila, Susi, Kak Uzi, Kak Wiwid,


(5)

13.Tak terlepas ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada Kepala Dinas Pasar Panyabungan, Bapak M. Syafei Lubis dan seluruh staffnya, yang telah membantu memberikan informasi yang dibutuhkan oleh penulis.

14.Kepada seluruh informan dalam penelitian ini. Terimakasih atas waktu dan

kerjasamanya serta informasi yang telah diberikan.

Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini. Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya buat penulis sendiri dan buat orang-orang yang membacanya. Amin!

Medan, April 2008 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

I.5. Defenisi Konsep ... 6

BAB II : KAJIAN PUSTAKA ... 8

BAB III : METODE PENELITIAN ... 16

3.1. Jenis Penelitian ... 16

3.2. Lokasi Penelitian ... 16

3.3. Unit Analisis Dan Informan ... 17

3.3.1. Unit Analisis ... 17

3.3.2. Informan ... 17

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 18

3.5. Interprestasi Data ... 19

3.6. Jadwal Kegiatan ... 20

3.7. Keterbatasan Penelitian ... 20

BAB IV : DESKRIPSI DAN INTERPRESTASI DATA PENELITIAN ... 22

4.1. Deskripsi Kabupaten Mandailing Natal ... 22

4.1.1 Sejarah Kabupaten Mandailing Natal ... 22

4.1.2. Kependukan ... 24

4.1.3. Gambaran Umum ... 25

4.1.4. Perekonomian ... 28


(7)

4.1.6. Arti Lambang Daerah ... 33

4.2. Deskripsi Pusat Pasar Panyabungan – Madina ... 36

4.2.1. Sejarah Singkat ... 36

4.2.2. Misi... 35

4.3. Profil Informan ... 37

4.3.1. Informan Kunci – Kepala Dinas Pasar Penyabungan ... 37

4.3.2. Informan Pedagang ... 41

4.3.2.1. Hari Ashari ... 41

4.3.2.2. Nasria ... 43

4.3.2.3. Mida Mediyanti Nasution ... 45

4.3.2.4. H. Bahrum Lubis ... 46

4.3.2.5. F. Rahmad Lubis ... 49

4.3.3. Informan Masyarakat ... 51

4.3.3.1. Mardiana ... 51

4.3.3.2. Farel ... 53

4.3.3.3. Elfina ... 55

4.3.3.4. Yondri Elfino ... 57

4.3.3.5. Sakdiah Lubis ... 59

4.4. Interprestasi Data Penelitian ... 61

4.4.1.Metode Pendekatan Pemerintah Daerah / Dinas Pasar Terhadap Masyarakat Dan Para Pedagang Dalam Proses Relokasi Pasar ... 61

4.4.2. Faktor Pendukung Dan Penghambat Dalam Proses Relokasi Pasar ... 71

BAB V : PENUTUP ... 81

5.1. Kesimpulan ... 81

5.2. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1.1. Sarana dan Prasarana Pasar Baru Panyabungan ... 4 Tabel 3.6.1. Jadwal Kegiatan Dan Laporan Penelitian ... 20


(9)

ABSTRAK

Suatu pasar selalu mengalami perubahan, baik pemekaran bangunan serta luas arealnya maupun jumlah pedagangnya. Ada pedagang baru masuk dan ada pula pedagang yang keluar atau pindah ke tempat lain. Apabila pedagang yang masuk lebih banyak daripada yang keluar, maka akan menyebabkan semakin bertambahnya kebutuhan tempat berjualan. Sejalan dengan dijadikannya Panyabungan sebagai ibu kota Kabupaten maka pembangunan sarana dan prasarana pendukung mulai dilaksanakan. Demikian halnya dengan pembangunan dan relokasi pusat pasar tradisional Panyabungan. Pasar yang direlokasikan dari pusat pasar lama yang di kenal dengan ”Pasar Baru”. Dengan adanya berbagai kepentingan dalam suatu pembangunan, akan selalu terjadi dilema dan friksi yang kemudian menjadi polemik dalam proses pembangunan tersebut, termasuk dalam proyek relokasi pasar. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka muncul pertanyaan: bagaimana metode dan pendekatan pemerintah daerah / Dinas Pasar terhadap masyarakat dan pedagang dalam proses relokasi pasar tersebut dan apa faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam proses relokasi pasar tersebut?

Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut, maka dilakukan penelitian secara kualitatif dengan analisa deskripsi, dengan unit analisis adalah masyarakat setempat, para pedagang di pasar dan instansi yang terkait dalam relokasi pasar Panyabungan. Instansi yang terkait ini yaitu Dinas pasar di daerah lokasi penelitian ini yang tempatnya berada di pusat pasar baru Kabupaten Mandailing Natal.

Berdasarkan hasil penelitian pendekatan pemerintah daerah/Dinas Pasar terhadap masyarakat dan pedagang dalam proses relokasi pasar tersebut adalah dengan melakukan sosialisasi, baik tertulis maupun lisan dengan upaya membangkitkan kesadaran masyarakat umum maupun para pedagang akan pentingnya proyek relokasi tersebut untuk dilakukan. Jadi tidak ditemukan faktor penghambat, sedangkan faktor pendukung karena adanyapeningkatan dari segi sarana-prasarana yang ditawarkan oleh pengelola pasar, sehingga bagi sebagian pedagang akan bertambah pula jumlah langganannya Namun, dari sisi pedagang dan masyarakat, timbul pemikiran bahwa lokasi Pasar Baru tidak terdapat tepat ditengah kota, sehingga kurang strategis, karena susah dijangkau oleh konsumen dan juga adanya persaingan yang semakin ketat akibat jumlah pedagang yang semakin meningkat. Dimana secara umum hal tersebut diatas bisa mengakibatkan terjadinya pengurangan jumlah konsumen. Dan juga timbulnya anggapan bahwa pengelola pasar dianggap tidak becus untuk mengelola Pasar Baru ini karena hanya memikirkan diri sendiri atau jabatannya belaka, sedangkan kemajuan pasar dibiarkan begitu saja tanpa pembinaan yang berarti.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Demikian pula dengan pembangunan pasar dalam arti fisik maupun pasar dalam arti sosial adalah bagian dari proses sistem pembangunan ekonomi.

Perkembangan suatu pasar dapat dijadikan sebagai indikator terjadinya perubahan dalam masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari masyarakat tanpa pasar hingga masyarakat berorientasi pasar (dari Pasar tradisional ke pasar modern). Menurut Polanyi dalam Linda Elida (2005) bahwa pasar adalah suatu institusi ekonomi terpenting dan merupakan suatu jalan hidup komunitas untuk transformasi sosial, budaya dan politik. Polanyi menyebutkan dengan istilah ”Transformasi Besar” (Great Transformation).

Dalam perkembangan suatu pasar selalu mengalami perubahan, baik pemekaran bangunan serta luas arealnya maupun jumlah pedagangnya. Ada pedagang baru masuk dan ada pula pedagang yang keluar atau pindah ke tempat lain. Apabila pedagang yang masuk lebih banyak daripada yang keluar, maka akan menyebabkan semakin bertambahnya kebutuhan tempat berjualan.

Sejalan dengan pembangunan ekonomi, khususnya dalam lingkup pasar, tidak terlepas dari pembangunan Daerah atau Wilayah. Pembangunan ekonomi yang bersifat regional khususnya dalam Otonomi Daerah fokus perhatian


(11)

pembangunan diarah pada pemerataan kesejahteraan, sehingga konsekuensinya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Aspek pembangunan ini sangatlah luas antara lain aspek sosial, budaya, ekonomi, politik dan ilmu pengetahuan. Diantara aspek-aspek tersebut pembangunan sosial ekonomi merupakan aspek yang sangat esensial dalam menunjang pembangunan daerah. Pembangunan sosial ekonomi selalu ditujukan untuk mempertinggi kesejahteraan dalam arti yang seluas-luasnya. Kegiatan pembangunan sosial ekonomi selalu dipandang sebagai sebahagian dari keseluruhan usaha pembangunan yang dijalankan oleh masyarakat. Pembangunan sosial ekonomi meliputi suatu usaha masyarakat untuk mengembangkan kegiatan sosial ekonomi dan mempertinggi tingkat pendapatan masyarakatnya, sedangkan keseluruhan usaha pembangunan meliputi juga usaha-usaha pembangunan politik dan kebudayaan. Dengan demikian, pembangunan sosial ekonomi sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sukirno, 1985). Dalam pembangunan tersebut terkait masalah pengolahan dan pemanfaatan sumber daya manusia dan sumberdaya alam yang berfungsi memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kualitas hidup manusia itu sendiri.

Akan tetapi dalam setiap pembangunan Daerah tidak selalu berjalan dengan baik. Akan ada friksi antara masyarakat dengan pemerintah Daerah, yang akan terjadi jika dalam pembangunan tersebut masyarakat merasa dirugikan dengan rencana pembangunan daerah tersebut. Realitasnya dalam proses pembangunan pasar, sering terjadi konflik. Munculnya konflik dilatari oleh karena masyarakat dan para pedagang tidak setuju antara lain masalah lokasinya, ganti


(12)

rugi dan mahalnya harga sewa kios di tempat baru. Padahal, pembangunan pasar dalam daerah yang sedang berkembang merupakan modernisasi pasar yang bukan sebatas mengubah infra struktur, nmun justru pengelolaan pasar secara modern sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Kenyataannya, kondisi yang tidak tersentralisasi serta ketidaknyamanan pasar tradisional disebabkan tidak baiknya pengelolaan sistem dan manajemen pasar dalam penanggungjawaban keberadaan dan keberlangsungan pasar tradisional.

Dalam sebuah pembangunan, seperti pembangunan ataupun relokasi pasar, maka pada umumnya akan ada terjadi suatu proses penolakan, baik itu pada saat sebelum dan sesudah pembangunan pasar tersebut. Akan muncul tekanan dari pedagang dari pasar yang lama yang merasa jika kondisi perdagangannya pada lokasi di pasar baru tidak akan lebih baik dibandingkan pada saat masih berdagang di pasar lama.

Dalam hal ini, pemerintah daerah sebagai administrator dan pengambil kebijaksanaan ini tidak hanya di pandang dari satu sisi yang menguntungkan saja, namun harus menyeluruh berdasarkan pertimbangan dan bahwa kebijaksanaan dan keputusan yang di ambil adalah untuk tujuan pembangunan sektor ekonomi dan meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat, terutama dalam hubungannya dengan pengadanaan sarana-sarana perekonomian (pasar).

Dapat dikatakan bahwa pengambilan kebijaksanaan atau keputusan melalui perencanaan fisik tersebut adalah jalan yang terbaik, yang mana hal ini dilakukan untuk menjamin bahwa rencana fisik tersebut akan ada gunanya dan dapat pula di terima masyarakat dan para pedagang.


(13)

Hal yang sama berlaku pula dengan Panyabungan sebagai kota yang demikian pula berkembang setelah ditingkatkan statusnya dari ibu kota Kecamatan menjadi Ibu kota Kabupaten sebagai hasil pemekaran Kabupaten Tapanuli Selatan menjadi Kabupaten Mandailing Natal (Madina) dengan ibukotanya Panyabungan pada Maret 1999.

Sejalan dengan dijadikannya Panyabungan sebagai ibu kota Kabupaten maka pembangunan sarana dan prasarana pendukung mulai dilaksanakan. Demikian halnya dengan pembangunan dan relokasi pusat pasar tradisional Panyabungan. Pasar yang direlokasikan dari pusat pasar lama yang di kenal dengan ”Pasar baru” merupakan kebijakan dari pemerintah dan Dinas pasar setempat.

Tabel 1.1.1

SARANA DAN PRASARANA PASAR BARU PANYABUNGAN Kios dan Los Prasarana Lingkungan

Pasar

Prasarana Pasar

Kios 3 x 4 = 750 unit Gang dalam pasar Ruko 5 x 10 = 16 unit

Los 2 x 3 = 300 unit Drainase air bersih Kantor pasar

Instalansi listrik PLN Musholla

Landscaping Panggung terbuka

Pos jaga & kemananan Parkir, halte & loket Pagar keliling Sumber data : Kantor Dinas pasar Panyabungan tahun 2004

Pembangunan dan relokasi pusat pasar di pindahkan ke tempat yang lebih strategis dengan bangunan permanen dan lebih baik. Kenyamanan pasar baru didukung dengan fasilitas pendukung seperti parkir mobil, motor, sepeda dan


(14)

becak, pos keamanan, toilet, mushalla dan lain-lain. Sangat jauh berbeda dengan keadaan pasar lama dengan bangunannya yang non permanen sehingga bentuk fisik kurang baik dan kurang menarik. Infra struktur dan sanitasinya yang tidak memadai dan juga dan tidak adanya parkir karena letak pasar lama tersebut berada di pinggir jalan sehingga membuat lalu lintas macet apalagi di hari pekan dan juga keadaan pasar lama tersebut semrautan dan tidak teratur.

Keberhasilan relokasi pasar panyabungan tidak terlepas dari dukungan semua lapisan masyarakat dan juga para pedagang. Berbeda dengan pembanguann dan relokasi pasar di daerah lain yang menjadikan prokontra antara masyarakat, pedagang dengan pemerintah dan Dinas pasar setempat. Banyak faktor pendukung atas keberhasilan pembangunan dan relokasi pusat pasar panyabungan. Walaupun demikian faktor penghambat juga ada. Akan tetapi karna adanya kerja sama yang baik antara masyarakat, para pedagang dan pemerintah daerah sehingga proses Relokasi Pasar ini berjalan dengan baik.

1.2.Perumusan masalah

Dengan adanya berbagai kepentingan dalam suatu pembangunan, akan selalu terjadi dilema dan friksi yang kemudian menjadi polemik dalam proses pembangunan tersebut, termasuk dalam proyek relokasi pasar. Oleh karena itu, berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka ditarik perumusan masalah penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana metode dan pendekatan pemerintah daerah / Dinas Pasar


(15)

2. Apa faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam proses relokasi pasar tersebut?

1.3.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana metode pendekatan pemerintah daerah /

Dinas Pasar terhadap masyarakat dan para pedagang dalam proses relokasi pasar tersebut.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam proses

relokasi pasar tersebut.

1.4.Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi kajian ilmiah bagi mahasiswa khususnya mahasiswa sosiologi sebagai bahan kajian dalam ilmu Sosiologi Ekonomi

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan komparatif yang masih relevan dalam penelitian sejenis di kemudian hari.

1.5.Defnisi Konsep

1. Relokasi : Perpindahan tempat, daerah, wilayah dari yang lam ke

tempat yang baru. Dalam penelitian ini perpindahan pasar dari tempat lama ke tempat yang baru.


(16)

2. Lokasi pasar : Lokasi geografi tempat pertukaran terjadi. Tempat hasil pemasokan dan permintaan berlangsung dan tempat syarat-syarat terdaftar.

3. Pasar : Merupakan suatu mata rantai yang menghubungkan antara

produsen dan konsumen, pertemuan antara penjual dan pembeli, antara dunia usaha dengan masyarakat konsumen. 4. Pasar Tradisional: Pasar yang dibangun dan dikelola oleh pemerintah, swasta,

koperasi atau swadaya masyarakat dengan tempat usaha berupa toko, kios dan los dan tenda yang dikelola dan dimiliki oleh pedagang kecil dan menengah dan koperasi dengan usaha skala kecil dan modal kecil dan melalui proses tawar menawar.


(17)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Fenomena ekonomi dapat dikatakan sama tuanya dengan sejarah manusia itu sendiri. Pembangunan fenomena ekonomi berjalan seiring dengan perkembangan dari pertumbuhan manusia itu sendiri dan pengetahuan teknologis yang dimilikinya. Dengan kata lain sejarah perkembangan fenomena ekonomi mengikuti linier perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi manusia itu sendiri.

Damsar (1997 : 3) menyebutkan :

Sejarah persoalan ekonomi memperlihatkan bahwa dari awal, sejarah

persoalan ekonomi tidak hanya menyangkut ekonomi an sich tetapi ia

terkait dan melekat pada instansi-instansi lain dari masyarakat seperti agama, politik dan pemerintahan, budaya dan sebagainya.

Apa yang dikemukakan oleh Damsar tersebut menunjukkan bahwa pembahasan persoalan ekonomi (termasuk pasar tradisional pedesaan sebagai salah satu dari unsur ekonomi) harus mempertimbangkan institusi-institusi sosial lainnya yang dapat memperlancar atau menghambat aktivitas-aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh aktor-aktor ekonomi.

Menurut Rismayani dalam Khairunnisa (2005) bahwa pengertian pasar secara sederhana adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli, selain itu, pasar dapat pula diartikan sebagai himpunan pembeli aktual dan potensial dari suatu produk. Dalam hal demikian pasar terdiri dari semua pelanggan potensial yang memiliki kebutuhan dan keinginan tertentu yang sama, yang mungkin bersedia


(18)

dan mampu melaksanakan pertukaran untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan itu.

Pasar secara fisik adalah tempat pemusatan beberapa pedagang tetap dan tidak tetap yang terdapat pada suatu ruangan terbuka atau ruangan tertutup atau sebagian badan jalan. Selanjutnya pengelompokkan para pedagang eceran tersebut menempati bangunan-bangunan temporer, semi permanen ataupun permanen. (Khairunnisa 2005 : 11).

Pasar merupakan salah satu lembaga yang paling penting dalam institusi ekonomi. Bahkan kebanyakan fenomena ekonomi berhubungan dengan pasar. Pasar merupakan salah satu penggerak utama dinamika kehidupan ekonomi. Berfungsinya lembaga pasar sebagai institusi ekonomi tidak terlepas dari aktivitas yang dilakukan oleh pembeli dan pedagang. Selain itu aspek yang tidak kalah pentingnya adalah aspek ruang dan waktu dari pasar serta aspek tawar-menawar yang terjadi di pasar.

Pasar sebagai suatu lembaga ekonomi merupakan suatu wadah yang dapat menampung produksi surplus untuk memenuhi kebutuhan barang-barang komoditi yang diperdagangkan. Selain itu, pasar juga merupakan arena kegiatan yang mempertemukan antara produsen dan konsumen.

Dalam perkembangannya, pembangunan ekonomi (dalam lingkup pasar) tidak hanya sekedar berdampak pada aspek ekonominya saja, akan tetapi memberikan dampak terhadap lingkungan sosial budaya. Lingkungan sosial budaya itu sendiri pada akhirnya juga akan memberikan dampak terhadap pembangunan itu sendiri. Pembangunan adalah hasil prilaku merubah lingkungan. Perubahan lingkungan akan memberikan reaksi dari semua makhluk hidup.


(19)

Reaksi itu dapat berupa menerima, menolak dan atau terjadi adaptasi. Dengan demikian pembangunan dalam arti luas adalah suatu sumber terjadinya perubahan dalam kehidupan masyarakat pendukungnya (Bintoro Tjokroamidjojo, 1983).

Dalam kegiatan pembangunan, keikutsertaan pemerintah terutama pemerintah daerah diperlukan untuk menghilangkan peberdaan tingkat pembangunan diberbagai wilayah yang dapat menimbulkan berbagai akibat yang kurang menguntungkan. Sebab apabila pemerintah tidak secara aktif campur tangan dalam kegiatan ekonomi yang berarti bahwa perekonomian tersebut dikendalikan oleh mekanisme pasar. Maka dalam perekonomian akan timbul keadaan-keadaan yang menghambat perkembangan ekonomi di wilyah yang lebih terbelakang dan dengan demikian ditinjau dari sudut, wilayah perkembangan ekonomi tidak akan berjalan secara baik (Sadono Sukirno, 1985).

Daerah yang dijadikan lokasi pasar tradisional biasanya juga sekaligus sebagai pusat pemerintahan daerah (lokal). Berbagai kebijakan pembangunan daerah termasuk keberadaan pasar tradisional tidak terlepas dari pengaruh politik berbagai kelompok masyarakat. Antara lain : kelompok pedagang, kelompok kepentingan (Group Interest) tertentu dan juga dari pemerintah itu sendiri (Effendi, 1999).

Lokasi pasar juga tidak terlepas dari dimensi politik tata ruang. Letak lokasi pasar sering menjadi sumber konflik terutama jika terjadi keinginan dari pemerintah setempat untuk memindahkan pasar dari tempat yang lama ke daerah lokasi yang baru.

Tarik menarik antara berbagai kelompok kepentingan merupakan penyebab munculnya masalah dalam penentuan lokasi pasar yang baru. Ada pihak


(20)

yang merasa di rugikan sementara di pihak lain ada yang merasa diuntungkan. Pasar sebagai pusat keramaian juga sering digunakan sebagai wahana untuk memperkenalkan atribut-atribut politik terhadap masyarakat luas.

Konseptualisasi pembangunan menurut Michael P. Todaro adalah sebagai suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi. Adapun pembangunan wilayah pada dasarnya adalah pelaksanaan pembangunan nasional di wilayah yang disesuaikan dengan kemampuan fisik dan sosial wilayah tersebut serta menghormati peraturan perundang-undangan yang berlaku (Tambun, 1992).

Untuk dapat memahami pembangunan wilayah sebagai salah satu cabang disiplin ilmu, maka pengertian yang dikemukakan Tambun (1992), cukup memadai yakni :

1. Pembangunan wilayah adalah penggunaan dana yang dialokasikan pada suatu

wilayah oleh pemerintah maupun swasta untuk kegiatan-kegiatan yang langsung tidak langsung meningkatkan kesejahteraan rakyat ataupun memperluas lapangan kerja.

2. Pengembangan wilayah adalah pembangunan wilayah itu sendiri dengan

tujuan adanya perubahan yang bersifat positif pada wilayah tersebut yaitu adanya pertumbuhan berkelanjutan dan pemerataan.

3. Perencanaan wilayah adalah penyusunan suatu skenario masa depan yang

diharapkan terjadi, apabila pembangunan wilayah dapat distimulasi sesuai dengan tahapan-tahapan pembangunan yang telah disusun.


(21)

Pengembangan wilayah merupakan usaha untuk mengembangkan dan meningkatkan hubungan saling ketergantungan dan interaksi antar sistem

ekonomi (economic system), manusia atau masyarakat (sosial system) dan

lingkungan hidup dan sumberdaya alam (ecosystem). Kondisi ini dapat

diterjemahkan dalam bentuk pembangunan ekonomi, sosial, politik, budaya maupun pertahanan keamanan yang seharusnya berada dalam konteks keseimbangan, keselarasan dan kesesuaian (Khairunnisa 2005 : 30).

Menurut Hadjisaroso (1993 : 27) pengembangan wilayah itu merupakan suatu tindakan mengembangkan wilayah atau membangun daerah / kawasan dalam rangka usaha memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup masyarakat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Soegijoko dkk (1997 : 84) bahwa pengembangan wilayah ini merupakan upaya pemerataan pembangunan dengan mengembangkan wilayah-wilayah tertentu melalui berbagai kegiatan sektoral secara terpadu sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah secara efektif dan efisien serta dapat menigkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Pusat-pusat perkumpulan (organisasi) yang bersifat politik juga biasanya ditemui di pasar (Evers, 1997). Hal ini menjadi strategis karena institusi pasar biasanya didukung oleh prasarana transportasi yang lebih baik sehingga mudah terjangkau oleh masyarakat dari berbagai penjuru desa.

Pasar tradisional pedesaan sebagai salah satu bentuk pasar yang ada merupakan salah satu institusi ekonomi. Sebagai salah satu institusi ekonomi dengan demikian pasar tradisional pedesaan juga menjadi relevan dilihat dari perspektif sosiologis karena pasar tradisional pedesaan sebagai institusi ekonomi juga terkait dengan institusi-institusi lainnya. Dalam teori sistem sosial dari


(22)

Talcott Parson dimana institusi ekonomi merupakan salah satu sub-sistem dari sistem sosial secara keseluruhan.

Menurut Parson dalam Ritzert & J Goodman (2003 : 121) pada dasarnya ada seperangkat Prasyarat fungsional atau kebutuhan-kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi oleh setiap sistem, dimana Parson menyebutnya dengan konsep AGIL, Yaitu :

1. A- Adaptation, menunjuk pada keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk menghadapi lingkungannya. Ada dua dimensi yaitu, pertama : harus ada suatu penyesuaian dari sistem itu terhadap tuntutan kenyataan yang keras yang tidak dapat diubah yang datang dari lingkungan. Kedua: Ada proses transformasi aktif dari situasi itu. Ini meliputi penggunaan segi-segi situasi itu yang dapat dimanipulasi sebagai alat untuk mencapai tujuan.

2. G – Goal Attainment, Merupakan Prasyarat fungsional yang muncul dari pandangan Parson bahwa tindakan itu diarahkan pada tujuan-tujuannya. Namun perhatian yang diutamakan disini bukanlah tujuan pribadi individu, melainkan tujuan bersama para anggota masyarakat dalam suatu sistem sosial. Pencapaian tujuan merupakan jenis kulminasi tindakan yang secara intrinsik memuaskan, dengan mengikuti kegiatan-kegiatan penyesuaian persiapan. Menurut skema alat-tujuan, (means-end scheme) pencapaian maksud ini adalah tujuannya. Sedangkan kegiatan penyesuaian yang sudah terjadi sebelumnya merupakan alat untuk merelisasi tujuan ini. Jadi, persyaratan fungsional untuk mencapai tujuah harus meliputi pengambilan keputusan yang berhubungan dengan prioritas dari sekian banyak tujuan.


(23)

3. I- Integration, Merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interalansi antara para anggota dalam sistem itu.

Agar sistem sosial itu berfungsi secara efektif sebagai satu satuan harus ada suatu tingakta solidaritas diantara individu yang termasuk didalamnya. Masalah Integrasi menunjuk pada kebutuhan untuk menjamin bahwa ikatan emosional yang cukup yang menghasilkan solidaritas dan kerelaan untuk bekerja sama dikembangkan dan dipertahankan.

Ikatan-ikatan emosional ini tidak boleh tergantung pada keuntungan yang diterima atau sumbangan yang diberikan untuk tercapainya tujuan individu atau kolektif. Jika tidak solidaritas sosial dan kesediaan untuk kerjasama akan jauh lebih goyah sifatnya karena hanya didasarkan pada kepentingan diri pribadi semata-mata.

L- Latency, konsep latensi (Latency) menunjukkan pada berhentinya interaksi. Para anggota dalam sistem sosial bisa saja letih dan jenuh tunduk pada sistem sosial lainnya dimana mungkin mereka terlibat. Karena itu, semua sistem sosial harus berjaga-jaga bilamana sistem itu tidak lagi bertindak dan berinteraksi sebagai bagian dari sistem.

Dalam konteks sistem kemasyarakatan lokal (local societal system), sistem pasar (pasar tradisional pedesaan) dapat dilihat sebagai salah satu sub-sistem, disamping sub-sistem-sub-sistem lainnya, yaitu sistem pemerintahan daerah sistem komunitas lokal (local community system) dan sistem administrasi lokal

(lokal administration system).

Dengan demikian, pasar tradisional sebagai salah satu sub-sistem dari sistem sosial harus di analisis dari hubungannya dengan sub-sistem – sub-sistem


(24)

lainnya. Karena, dinamika pasar tradisional pedesaan sangat terkait dengan sub-sistem yang lainnya.

Parson juga menjelaskan sejumlah persyaratan fungsional dari sistem sosial dalam masyarakat, yaitu :

Pertama : Sistem sosial harus terstruktur (ditata) sedemikian rupa sehingga bisa beroperasi dalam hubungan yang harmonis dengan sistem lainnya.

Kedua : untuk menjaga kelangsungannya, sistem sosial harus mampu mendapat dukungan yang diperlukan dari sistem yang lain.

Ketiga : sistem sosial harus mampu memenuhi kebutuhan para aktornya dalam proporsi yang signifikan.

Keempat : Sistem harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para anggotanya.

Kelima : Sistem sosial harus mampu mengendalikan prilaku yang berpotensi mengganggu.

Keenam : Bila konflik akan menimbulkan kekacauan, itu harus dikendalikan.

Ketujuh : untuk kelangsungan hidupnya, sistem sosial memerlukan bahasa.

• (Ritzer & J. Goodman 1996 : 11).

Berdasarkan observasi awal yang telah dilakukan, dalam hal relokasi pasar di Panyabungan pemerintah daerah, masyarakat dan para pedagang terjalin adanya kerja sama yang baik ini di buktikan dengan berhasilnya relokasi pasar ke lokasi yang lebih baik dari lokasi pasar lama.


(25)

BAB III

METODE PENELITIAN

3. 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kulaitatif dapat diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, tingkah laku yang di dapat dari apa yang diamati (Nawawi, 1994 : 2003).

Pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik (utuh). Misalnya tentang prilaku, motivasi, tindakan dan sebagainya.

Studi kasus adalah tipe penelitian yang penelaahannya terhadap suatu kasus dilakukan secara mendalam, mendetail dan komprehansif (Faisal, 1995 : 22).

Berkenaan dengan penelitian ini sebagai studi kasus maka penelitian ini akan menjelaskan dan menggambarkan bagaimana proses relokasi pasar dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan relokasi pasar tersebut.

3.2. Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian ini tempatnya berada di pusat pasar baru Kabupaten Mandailing Natal. Adapun yang menjadi alasan pemilihan lokasi ini adalah :

1. Karena pusat pasar baru ini adalah merupakan hasil relokasi dari pasar lama sehingga memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian.


(26)

2. Tersedianya akses bagi peneliti sehingga memudahkan peneliti dalam mengambil data sehingga dapat memperoleh informasi yang sesuai dengan masalah penelitian.

3. Karena peneliti merupakan warga setempat dan bertempat tinggal di daerah

tersebut.

3.3.Unit Analisis dan Informan 3.3.1. Unit Analisis

Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah masyarakat setempat, para pedagang di pasar dan instansi yang terkait dalam relokasi pasar Panyabungan. Instansi yang terkait ini yaitu Dinas pasar di daerah tersebut.

3.3.2. Informan

Informan dibedakan atas 2 (dua) jenis, yakni informan kunci dan informan biasa.

• Informan Kunci

 Informan kunci merupakan sumber informasi yang aktual dalam

menjelaskan tentang proses relokasi pasar tersebut. Informasi kuncinya adalah Instansi yang terkait yaitu Dinas pasar di daerah tersebut. Kriterianya adalah : Orang yang bekerja di Dinas Pasar Panyabungan.


(27)

• Informan biasa

Merupakan sumber informasi sebagai data pendukung dalam menjelaskan keadaan dan keberadaan pasar sebelum dan sesudah dilakukan relokasi

Kriteria adalah sebagai berikut :

 Pedagang yang sudah berjualan di pusat pasar sebelum dan sesudah

direlokasikannya pasar.

 Masyarakat yang tinggal di daerah tersebut.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada 2 (dua) jenis yaitu Data Primer dan data sekunder. Dalam peneliti memakai tekhnik pengumpulan data melalui :

1. Data Primer, diperoleh melalui :

 Observasi langsung

Observasi langsung adalah : Peneliti turun langsung ke lapangan meneliti dan mengamati keadaan dan keberadaan pasar baru yang direkolasikan dari pasar lama.

 Wawancara mendalam (Depth Interview)

Yaitu dengan menggunakan daftar pertanyaan (Interview Guide) kepada informan yang telah ditentukan. Wawancara dilakukan dengan proses tanya jawab secara langsung dengan informan. Hal ini dilakukan bertujuan untuk mengumpulkan keterangan-keterangan dari proses tanya jawab langsung tersebut. Dan juga bertujuan untuk mengetahui bagaiamana keadaan dan proses relokasi pasar Panyabungan.


(28)

2. Data Sekunder, diperoleh melalui :

Yaitu diperoleh melalui studi kepustakaan. Dalam hal ini kajian kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data yang bersifat teoritis, asas-asas, konsepsi, pandangan, tema melalui buku, dokumen, artikel, jurnal, tulisan dan catatan lainnya yang berhubungan dengan topik penelitian ini.

3.5. Interprestasi Data

Data yang diperoleh terlebih dahulu dievaluasi untuk memastikan objektivitas (kesesuaian dengan kebenaran) dan relevansi dengan masalah yang diteliti. Analisis data adalah proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam pola kategori dan satuan uraian sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dianalisis untuk selanjutnya (Moleong, 1993 : 103). Analisis data ditandai dengan pengolahan dan penafsiran data yang diperoleh dari setiap informasi baik secara pengamatan, wawancara ataupun catatan lapangan. Kemudian dipelajari dan ditelaah secara seksama agar diperoleh hasil atau kesimpulan yang benar.


(29)

3.6. Jadwal Kegiatan

Tabel 3.6.1.

JADWAL KEGIATAN DAN LAPORAN PENELITIAN

Kegiatan BLN I BLN II BLN III BLN IV BLN V BLN VI

Pengajuan Judul XXX

Penyusunan Proposal XX

Seminar Proposal X

Revisi Proposal XXX

Pengurusan Izin Admin. Pen. X

Membuat Interview Guide XX

Observasi & Wawancara X XXX

Interprestasi Data X XXXX

Penyusunan Lap. Pen. XXXX

Revisi Laporan Penelitian XX

3.7. Keterbatasan Penelitian

Penelitian dan observasi lapangan dilakukan pada tanggal 24 Desember 2007 hingga 28 Februari 2008. Bisa dikatakan, mulai dari tahap observasi lapangan hingga proses penelitian, tidak diketemukan halangan yang berarti. Baik itu dalam hal mengatur waktu untuk wawancara dengan Kepala Dinas Pasar, pedagang maupun masyarakatnya.

Peneliti dengan mudah dapat bersosialisasi dengan mereka dan dapat melakukan wawancara yang diperlukan pada saat atau waktu kapan saja peneliti perlu melakukan proses wawancara.


(30)

Para informan juga merespon dengan baik setiap interaksi yang peneliti lakukan dan mengakomodir kebutuhan penelitian ini dengan baik pula. Hal ini menimbulkan rasa nyaman, baik di diri peneliti maupun informan, sehingga proses penelitian berjalan lancar tanpa kendala yang berarti.

Apalagi, sebagai nilai tambah, peneliti berasal dari daerah ini, sehingga komunikasi bisa berjalan dengan baik. Selain itu, peneliti juga sangat mengenal seluk-beluk lokasi penelitian yang kemudian sangat memudahkan proses penelitian di lapangan.


(31)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRESTASI DATA PENELITIAN

4.1. Deskripsi Kabupaten Mandailing Natal 4.1.1 Sejarah Kabupaten Mandailing Natal

Nama Mandailing termaktub dalam Kitab Nagarakertagama, yang mencatat perluasan wilayah Majapahit sekitar 1365 M. Hal ini berarti sejak penggalan akhir abad abad ke-14 sudah diakui adanya suku bangsa dan wilayah bernama Mandailing. Sayangnya, selama lebih 5 abad Mandailing seakan-akan raib ditelan sejarah. Baru pada abad ke-19 saat Belanda menguasai tanah berpotensi daya alam ini, Mandailing pun mencatat sejarah baru. Kemudian disusul ke masa pendudukan Jepang (dalam Kompas, Rabu 30 Juli 2003).

Penyair besar Mandailing, Willem Iskander menulis sajak monumental "Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk", mengukir tanah kelahirannya yang indah dihiasi perbukitan dan gunung. Terbukti tanah Mandailing mampu eksis dengan potensi sumber daya alam, seperti tambang emas, kopi, beras, kelapa dan karet.

Kekayaan alam dan kemajuan dalam berbagai sektor, mulai dari tradisi persawahan, perairan, hingga semakin besarnya pertumbuhan ekonomi di wilayah pantai barat ini maka disebut Mandailing Godang.

Kabupaten Mandailing Natal juga sering disebut dengan Madina adalah

sebuah kabupaten di Sumatra Utara, Indonesia. Kabupaten ini adalah kampung halaman bagi etnis Batak Mandailing dan di pesisir tinggal masyarakat yang berbudaya khas pesisir. Dari daerah ini banyak tampil tokoh-tokoh yang menghiasi sejarah Indonesia modern seperti Jenderal Besar A. H. Nasution.


(32)

Kabupaten Mandailing Natal terletak berbatasan dengan Sumatera Barat, bagian paling selatan dari Propinsi Sumatera Utara. Penduduk asli Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari dua etnis :

• Masyarakat etnis Mandailing

• Masyarakat etnis Pesisir

Secara umum etnis Pesisir tinggal di wilayah Pantai Barat Mandailing Natal. Kelompok etnis Mandailing merupakan kelompok Patrilinealistik. Sedangkan etnis Pesisir merupakan kelompok Matrilinealistik.

Seperti halnya kebanyakan daerah-daerah lain, pada zaman dahulu penduduk Mandailing hidup dalam satu kelompok-kelompok, yang dipimpin oleh raja yang bertempat tinggal di Bagas Godang.

Dalam mengatur sistem kehidupan, masyarakat Mandailing Natal menggunakan sistem Dalian Na Tolu (tiga tumpuan). Artinya, mereka terdiri dari

kelompok kekerabatan Mora (kelompok kerabat pemberi anak dara), Kahanggi

(kelompok kerabat yang satu marga) dan Anak Boru (kelompok kerabat penerima anak dara). Yang menjadi pimpinan kelompok tersebut biasanya adalah anggota keluarga dekat dari Raja yang menjadi kepala pemerintahan di Negeri atau Huta


(33)

4.1.2. Kependudukan

Jumlah penduduk Kabupaten Mandailing Natal tahun 2006 yakni 413. 750

jiwa. Laki-laki 202.904 orang dan perempuan 210.846 orang, dengan sex ratio

yaitu 96,23 dan banyak rumah tangga 93.922 KK dengan rata-rata anggota rumah tangga yakni 4. Laju pertumbuhan penduduk Mandailing Natal tahun 2006 sebsear 1.42 %.

Dalam susunan penduduk Mandailing Natal menunjukkan bahwa usia produktif (15-64 tahun) sangat menonjol sebesar 55.54 % dan usia ketergantungan terdiri usia (0-14 tahun) sebesar: 41,43 % dan Lansia (65 +) sebesar 3.03 %.

Kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Lembah Sorik Merapi yaitu 499 jiwa/km2 dan terkecil di kecamatan Muara Batang Gadis (10 jiwa/km2).

Sesuai dengan nama daerahnya, penduduk Mayoritas adalah Mandailing namun juga dihuni oleh suku-suku lainnya, seperti Batak, Jawa, Melayu, Minang dan sebagainya.

Pemerintah daerah merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, diharapkan dapat memecahkan masalah kependudukan di daerah, dengan cara pemindahan penduduk dari pulau Jawa melalui program Transmigrasi yang tedapat di Kecamatan Natal dan Batang Natal berjalan dengan kebijaksanaan Pemerintah serta program KB yang dimulai pada awal tahun 1970-an dapat menekan laju penduduk di wilayah Kabupaten Mandailing Natal.


(34)

4.1.3. Gambaran Umum

Saat ini Kabupaten Madina di pimpin oleh H.Amru Daulay, SH sebagai Bupati dan Drs.H.Hasim Nasution sebagai Wakil Bupati. Kecamatan Natal dan bahagian Mandailing dari Kabupaten Tapanuli Selatan kemudian dirangkumkan menjadi Kabupaten Mandailing-Natal, atau kependekannya Madina, dengan moto “Madina Yang Madani”.

Madina adalah kependekan dari kata: Makmur, Aman, Damai, Indah,

Nyaman dan Asri. Madani melambangkan masyarakat civil (beradab dan

berwawasan) yang hidup rukun tenteram dengan jiwa membangun yang tinggi dan terbuka menerima perubahan.

Sebutan Madina untuk Kabupaten Mandailing Natal terdengar sejak wilayah itu memisahkan diri dari kabupaten induknya, Tapanuli Selatan, tahun 1999. Setelah melalui proses yang sangat panjang – hampir enam tahun – Kabupaten Mandailing-Natal terbentuk berikutan pemekaran wilayah Propinsi Sumatera Utara pada tahun 1999 tersebut.

Sebelum Mandailing Natal menjadi sebuah kabupaten, wilayah ini masih termasuk Kabupaten Tapanuli Selatan. Setelah terjadi pemekaran, dibentuklah Kabupaten Mandailing Natal berdasarkan undang-undang Nomor 12 tahun 1998, secara formal diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 9 Maret 1999 (dalam Madina selayang Pandang, http://www.madina.go.id).


(35)

Gambar 4.1

PETA LOKASI KABUPATEN MANDAILING NATAL

Kabupaten Mandailing Natal terletak pada 0°10' - 1°50' Lintang Utara dan 98°50' - 100°10' Bujur Timur ketinggian 0 - 2.145 m di atas permukaan laut. Luas wilayah Kabupaten Mandailing Natal ± 6.620,70 km2 atau 662.070 Ha dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

• Sebelah Utara : Kabupaten Tapanuli Selatan

• Sebelah Timur : Propinsi Sumatera Barat

• Sebelah Selatan : Propinsi Sumatera Barat

• Sebelah Barat : Samudera Indonesia

Iklim Kabupaten Mandailing Natal adalah beriklim hujan tropis dengan kelembaban udara ± 83% rata curah hujan ± 2.728,5 mm/tahun dan suhu rata-rata 28,8°C


(36)

Status kepemilikan tanah di Kabupaten Mandailing Natal adalah :

• Hak Milik 1.885,00 Ha

• Hak Guna Bangunan 2,00 Ha

• Hak Pakai 9,00 Ha

• Hak Guna Usaha 2.392,00 Ha

Saat ini kabupaten Madina mempunyai 12 kecamatan meliputi 355 desa, 33 kelurahan dan 10 unit pemukiman transmigrasi (UPT).

Nama-nama kecamatannya ialah:

1. Batahan

2. Batang Natal

3. Lingga Bayu

4. Kotanopan

5. Ulu Pungkut Hutanagodang

6. Tambangan

7. Lembah Sorik Merapi

8. Muarasipongi

9. Panyabungan

10.Panyabungan Selatan Tano Bato

11.Panyabungan Barat Longat

12.Panyabungan Utara Mompang

13.Panyabungan Timur Gunung Baringin

14.Natal

15.Muara Batang Gadis Singkuang


(37)

17.Bukit Malintang 18.Ranto Baek 19.Huta Bargot

20.Puncak Sorik Marapi 21.Pakantan

22.Sinunukan

4.1.4. Perekonomian

Kabupaten Madina beribukota di Penyabungan dan mempunyai penduduk sejumlah 393.170 jiwa dan tingkat pertumbuhan 1,61% per tahun (2005). Dari jumlah tersebut, 68,842 diperhitungkan miskin.

Struktur perekonomian Kabupaten Mandailing Natal didominasi oleh sektor pertanian, perkebunan, industri pengolahan, serta perdagangan. Masing-masing sektor telah memberikan kontribusi terhadap pembentukan PDRB Kabupaten Mandailing Natal.

• PDRD : Rp.2.244.470.330.000

• Pertumbuhan Ekonomi : 5,81 %

• Pendapatan Per Kapita (Harga Berlaku) : Rp.5.662.274

• Tingkat Inflasi : 8,70%

Dari segi sarana dan prasarana dapat digambarkan sebagai berikut:

• Tersedianya tenaga listrik dengan kapasitas terpasang sebesar 211919157


(38)

• Tersedianya sarana telekomunikasi dengan kapasitas terpasang 4872 sst, serta berbagai operator selular seperti Telkomsel, Pro XL, Mentari dan lain-lain.

• Telah tersedianya sarana transportasi antara lain : a. Darat

Prasarana jalan menurut statusnya sepanjang ± 1.162,56 Km. b. Laut

Pelabuhan Natal sebagai pelabuhan umum dapat melayani bongkar muat dan angkutan penumpang dengan panjang pantai 170 Km.

Dalam segi perekonomian di Kabupaten Mandailing Natal terdapat 8 (delapan) buah Bank, yang terdiri dari 4 kantor Bank Pemerintah dan 4 kantor Bank Swasta Nasional. Sedang jumlah pasar di Kabupaten Mandailing Natal sebanyak 28 pasar, antara lain Pasar Induk 1 unit dan Pasar Kecamatan sebanyak 27 unit.

Tanaman pangan dengan komoditas utama padi di bagian timur menjadi andalan kabupaten. Setiap tahun produksinya rata-rata surplus 53.000 ton beras. Untuk perkebunan, tanaman karet dan kulit manis menjadi komoditas paling banyak digeluti penduduk yang 80 persen etnis Mandailing. Produksi karet Madina yang tersebar di wilayah selatan menempati urutan ketiga setelah Labuhan Batu dan Tapanuli Selatan dengan produksi sekitar 26.000 ton pada tahun 2001. Produksi kulit manis yang ditanam di hampir semua kecamatan belum mampu berbicara banyak di tingkat provinsi.

Dua komoditas perkebunan yaitu karet dan kulit manis masih berpotensi besar dikembangkan. Kecamatan Kota Nopan, Batang Natal, Kecamatan


(39)

Panyabungan, Panyabungan Barat, Selatan, Timur, dan Utara masih memiliki lahan 30.948 hektar. Sementara, untuk kulit manis masih tersedia 574,35 hektar.

Keberadaan Madina yang berbatasan dengan Samudera Hindia memberikan keberuntungan tersendiri. Pantai sepanjang 170 kilometer menyimpan potensi besar yang belum digarap serius. Peluang usaha perikanan laut masih terbuka. Di pantai barat untuk menyebut Kecamatan Batahan, Natal, dan Muara Batang Gadis juga terdapat usaha sarang burung walet. Keberadaannya memberi kontribusi cukup besar. Tahun 2002 kontribusi sarang walet Rp 1,750 miliar atau sekitar 27 persen dari PAD (Pendapatan Hasil Daerah).

Produksi pertanian seperti karet, kulit manis, padi, dan kopi menjadi komoditas utama perdagangan. Petani menjual hasil pertanian kepada pedagang yang mayoritas terpusat di ibu kota kabupaten. Pedagang lokal mengumpulkan komoditas dan menjual ke pedagang besar di Medan yang membutuhkan waktu tempuh 10-12 jam. Melalui pedagang besar luar daerah itulah komoditas pertanian diekspor ke negara tetangga seperti Malaysia.

Aktivitas perdagangan dengan komoditas hasil pertanian memberikan kontribusi terbesar kedua setelah pertanian. Tahun 2002, sektor perdagangan, hotel, dan restoran membukukan nilai Rp 335 miliar. Pemkab mengakui, keberhasilan perdagangan menggairahkan perputaran ekonomi daerah, tidak lepas dari peran pengusaha luar daerah yang mengekspor komoditas pertanian.

Perdagangan yang menyerap 11.594 tenaga kerja ini tidak langsung terpengaruh iklim masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat yang bernaluri tinggi untuk berdagang. Yang menjadi keprihatinan pemkab, tingginya aktivitas


(40)

perdagangan yang terbatas pada komoditas pertanian ini berdampak pada lambatnya perkembangan industri pengolahan.

Usaha industri di Madina masih didominasi industri kecil dan menengah, seperti industri makanan dan kerajinan. Perkembangan industri yang dimaksudkan memberi nilai tambah pada komoditas pertanian yang belum mampu berbicara banyak. Apalagi dalam APBD 2003, sektor industri hanya dialokasikan dana 0,3 persen dari nilai belanja pembangunan yang Rp 112, 9 miliar. Lain halnya sektor perdagangan yang tahun 2003 dialokasikan dana pembangunan Rp 10,6 miliar.

Pemkab menyadari, untuk mengembangkan Madina dibutuhkan peran serta investor. Untuk menggaet penanam modal diperlukan kesiapan sarana dan prasarana memadai, misalnya perhubungan. Beberapa ruas jalan, khususnya di ibu kota kabupaten tampak lebar dan halus. Namun pemkab mencatat, tidak kurang 64 persen dari panjang jalan kabupaten rusak dan rusak berat. Mau tidak mau pemkab harus mengeluarkan dana untuk membenahi jalan. Sektor transportasi dialokasikan dana terbesar kedua setelah sektor aparatur negara dan pengawasan yaitu Rp 14,4 miliar atau 13 persen dari anggaran pembangunan 2003.

Kabupaten yang menyebut Tapanuli Selatan sebagai parameter kemajuan pembangunan dalam mengembangkan daerah masih harus berhadapan dengan kendala mendasar. Letak Panyabungan kurang menguntungkan, jauh dari pusat perdagangan. Dalam hal telekomunikasi, Madina hanya diberi alokasi 2.692 SST (Stasiun Satelit Telekomunikasi) dan terpakai 52 persen. Itu pun terpusat di Panyabungan dan Kota Nopan. Investor yang ingin menggarap potensi daerah menunggu kesiapan sarana dan prasarana.


(41)

4.1.5. Visi Dan Misi

VISI Kab.Mandailing Natal adalah "Terwujudnya Masyarakat Yang

Maju, Mandiri, Sejahtera, Dan Berwawasan Lingkungan Sehingga Lima Tahun Kedepan Dapat Sejajar Dengan Kabupaten Lainnya Di Sumatera Utara, Sepuluh Tahun Menjadi Terbaik Dan Lima Belas Tahun Diharapkan Mengungguli Kabupaten Besar Di Sumatera Utara"

MISI Kab.Mandailing Natal adalah:

1. Peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana perkotaan untuk

mendukung dan menyerap pertumbuhan ekonomi yang berwawasan lingkungan.

2. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia baik sebagai pelaku

pembangunan maupun dalam berbagai fungsi dan substansinya termasuk mental dan spiritual melalui kursus, training dan pemberian beasiswa.

3. Memfungsikan semua aspek Pembangunan dan Pemberdayaan Ekonomi

kerakyatan.

4. Memanfaatkan semua Sumber Daya Alam dan kekayaan lainnya yang ada

untuk sebesar-besar kepentingan masyarakat.

5. Meningkatkan peranan Aparatur Pemerintahan dalam penyelesaian tugas

sesuai dengan fungsinya dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

6. Meningkatkan fungsi dan keberadaan semua sektor perekonomian dan


(42)

4.1.6. Arti Lambang Daerah

Lambang Daerah terdiri dari empat bagian : 1. Perisai Lambang Daerah

2. Nama Daerah

3. Pengapit Lambang Daerah 4. Payung Kebesaran Adat

Perisai lambang daerah, payung kebesaran adat, pengapit lambang daerah dan motto daerah yang dimaksud disusun sedemikian rupa sehingga nama daerah berada dalam perisai lambang daerah.

Penempatan warna pada Lambang Daerah adalah sebagai berikut :

• Perisai berbentuk jantung, warna hijau,

• Payung warna kuning,

• Bagas godang (rumah adat) berwarna hitam dan merah,

• Tungku pohon karet berwarna coklat,

• Pohon sawit berwarna hijau,

• Gordang sembilan berwarna coklat hitam,

• Perairan berwarna biru,

• Hamparan sawah dan gunung,


(43)

Pengertian warna :

• Warna hijau melambangkan keagamaan (Islam),

• Warna hijau melambangkan kemakmuran,

• Warna hijau melambangkan keberanian,

• Warna hijau melambangkan kepahlawanan,

• Warna hijau melambangkan kesetiaan,

• Warna hijau melambangkan kesucian,

• Warna hijau melambangkan kerukunan,

Pengertian Lambang daru perisai :

• Payung melambangkan sebagai pelindung pada bulan Agustus 1945.

• Bagas godang/Rumah adat melambangkan bahwa menyelesaikan

permasalahan melalui musyawarah sesuai dengan kebudayaan setempat.

• Tungku pohon karet melambangkan keuletan masyarakat untuk mengolah

potensi wilayah.

• Pohon sawit melambangkan kekayaan alam yang melimpah.

• Gordang sembilan melambangkan alat kesenian yang bisa mempersatukan

berbagai etnis.

• Perairan melambangkan masyarakat yang agamis.

• Hamparan sawah dan gunung Bukit Barisan melambangkan kemakmuran

dan kebahagiaan.

• Ikan melambangkan bisuk dohot poda (kecerdikan dan nasehat) sebagai


(44)

Tujuh belas kuntum kapas, delapan lambang dalam lingkaran dan empat puluh lima butir padi menggambanrkan gambarkan tanggal, bulan dan tahun kemerdekaan dimana ketiganya melambangkan kebhineka kebudayaan yang mencerminkan kebesaran bangsa, patriotisme dan membela keadilan serta kebenaran.

Burung walet melambangkan hemat dan bersehaja.

Motto daerah adalah : " Madina yang Madani ", dimana pengertian motto daerah madina yang madani adalah :

• Madina yaitu singkatan atau akronim dari Mandailing Natal yang

merupakan wilayah/adat kabupaten daerah tingkat II Mandailing Natal.

• Madani yaitu masyarakat yang hidup rukun, tentram, cukup sosial dan

mempunyai jiwa membangun yang cukup tinggi serta terbuka menerima perubahan.

• Madina adalah kependekan dari kata makmur, aman, damai, indah,


(45)

4.2. Deskripsi Pusat Pasar Penyabungan – Madina 4.2.1. Sejarah Singkat

Pusat Pasar Penyabungan, Madina, adalah salah satu sentra ekonomi yang terdapat di kabupaten Mandailing Natal. Pada awalnya merupakan suatu sentra pasar tradisonal yang kemudian direlokasi untuk menempati wilayah yang baru.

Saat ini, pasar merupakan hasil relokasi dari Pusat Pasar Lama, yang jaraknya cukup jauh dari Pusat Pasar Baru. Pasar relokasi ini diresmikan pada tanggal 21 Mei 2004. Dasar pembentukannya berdasarkan UU No. 9 tahun 2003, yaitu untuk melaksanakan kewenangan daerah di bidang pasar tradisional yang didukung oleh sarana dan prasarana yang berwawasan lingkungan. Namun, tentu saja yang paling utama adalah untuk peningkatan PHD (Pendapatan Hasil Daerah).

Pusat Pasar Lama sendiri mempunyai luas lahan seluas kurang lebih 9.460 meter persegi, dan saat ini tengah dikerjakan sebagai Madina Square, yaitu suatu pusat jajanan malam di kawasan kota Panyabungan.

Pembangunan Madina Square merupakan kerjasama antara Pemkab Madina dengan PT Deli Surya Jaya. Di komplek tersebut akan dibangun 36 unit pertokoan, 1 unit perkantoran dan direncanakan juga sebagai lokasi pusat jajanan malam di Madina

Sementara itu, Pasar Baru sebagai pusat pasar tradisional ini dibangun dengan luas sekitar 10. 350 Km2 dengan jumlah kios sebanyak 700 kios/los. Pasar ini dibangun dengan bangunan permanen dan bertingkat, juga dilengkapi dengan fasilitas atau sarana dan prasarana pendukung.


(46)

Pasar ini juga terletak di pinggir jalan lalu lintas Sumatera, sehingga mudah untuk dicapai.

4.2.2. Misi

Adapun misi dari pembentukan pusat pasar Mandailing Natal:

1. memberikan pelayanan yang memadai kepada pelaku pasar

2. meningkatkan saranan dan prasarana pasar

3. peningkatan sumber daya aparatur pasar dan masyarakat 4. meningkatkan kebersihan, ketertiban dan pelayanan pasar

5. melakukan intensifikasi terhadap sumber-sumber pendapatan pasar. Pasar Baru Panyabungan juga akan terus di benahi guna untuk mendukung terjadinya wilayah Kota Panyabungan sebagai sentera ekonomi maka bangunan Eks Pasar Baru segera akan dibangun sebagai sarana perekonomian dan secara tidak langsung nantinya Kota Panyabungan menjadi Kota Perekonomian karena dari berbagai jalur telah dibuka jalan menuju Kota Panyabungan.

4.3. Profil Informan

4.3.1. Informan Kunci – Kepala Dinas Pasar Penyabungan

Bapak M. Syafei Lubis adalah yang menjabat sebagai Kepala Dinas Pasar Panyabungan saat ini. Pria ramah yang berusia 49 tahun ini telah selama kurang lebih empat tahun ini menjabat sebagai Kepala Dinas Pasar tersebut dengan status golongan kepegawaian sebagai Pembina Utama Muda.

Setelah menjabat sebagai Kepala Dinas Pasar Panyabungan, ia mendapat kehormatan untuk melanjutkan mengurusi proyek pembangunan atau relokasi


(47)

Pasar Baru Panyabungan untuk menggantikan eks pasar lama yang diangap sudah tidak kondusif lagi bagi struktur perekonomian kota pada umumnya.

4.3.1.1. Keberadaan Pasar Baru

Secara umum, Bapak Syafei menggambarkan luas lokasi pasar baru adalah 4125 m2 ditambah lagi dengan 6225 m2. Proses relokasi pasar direncanakan mulai tahun 2002 yang lalu dan proyek relokasi mulai dilakukan semenjak April 2004.

Adapun menurut Bapak Syafei, alasan pemerintah mengapa memilih daerah yang baru ini adalah karena dari segi lokasi terlihat sangat strategis dan dilihat dari arus lalu lintas adalah sebagai jalur lintas Sumatera. Dan juga karena lokasi tersebut adalah sebagian aset daerah yang dulunya merupakan pesanggrahan atau tempat dijadikannya pelaksanaan acara-acara kedaerahan.

Proses relokasi pasar tersebut dilakukan karena adanya tuntutan pembangunan daerah dan juga karena pasar lama tidak memungkinkan lagi untuk dijadikan sebagai pasar tradisional Panyabungan, karena dianggap sudah tidak layak lagi secara fisik, sehingga memerlukan suatu relokasi yang dapat mengakomodir kebutuhan perekonomian masa kini.

Untuk mensosialisasikan rencana relokasi pasar oleh Dinas Pasar maka Pak Syafei menyebutkan jika proses tersebut dilakukan dengan sosialisasi langsung ke masyarakat, penyebaran info melalui radio dan tentu saja pemberitahuan secara tertulis.

Mengenai kendala yang dihadapi selama masa relokasi, maka menurut Bapak Syafei secara signifikan sama sekali tidak ada. Bahkan ia menyebutkan


(48)

bahwa masyarakat mau merelakan dan mendukung penuh sehingga mereka (para pedagang) melakukan perpindahan secara pribadi dari pasar lama ke pasar baru.

Oleh karena itu, bisa dikatakan tidak ada pro-kontra sepanjang proses relokasi Pasar Lama menuju Pasar Baru, meskipun tidak ada proses ganti rugi terhadap para pedagang.

Namun, begitu para pedagang Pasar Lama tentu saja diberi kemudahan agar dapat menempati lot baru di area Pasar Baru. Untuk itu, harga sewa yang diterapkan adalah Rp. 22.500.000 per-tahunnya untuk kios yang luasnya 3 x 4 dan dibayar sebagai sistem cicilan. Jumlah kios yang terdapat di Pasar Baru adalah 700 unit dengan penagihan cicilan 1 X 6 bulan.

Bapak Syafei menyebutkan bahwa pengelola dari Pasar Baru adalah Pemerintah Daerah, karena dianggap dapat mengakomodir kebutuhan dan keinginan para pedagang serta para pembeli dengan lebih kondusif serta aspiratif dan diharapkan tidak terdapat praktek monopoli yang manupulatif didalamnya.

4.3.1.2. Pendekatan Pemerintah Daerah atau Dinas Pasar Terhadap Para Pedagang

Bapak Syafei menyebutkan beberapa prasarana dan sarana pada Pasar Baru yang diberikan kepada para pedagang di lokasi baru ini, yaitu:

• Kios, Toko, Los

• Akses Jalan Umum

• Dua buah Musholla

• WC umum


(49)

• Dan lain sebagainya

Tentu saja Bapak Syafei menyebutkan jika sarana dan prasarana yang terdapat di Pasar Baru lebih baik dari Pasar Lama, karena fasilitas yang terdapat di Pasar Lama menurut beliau sangat tidak bagus, karena menyebabkan kemacetan arus lalu lintas, terutamanya di hari pekan, yang memang umum dilakukan di Panyabungan.

Untuk penetapan harga kios terhadap para pedagang dilakukan melalui SK (Surat Keputusan) dari Pemerintah, sehingga memang tidak melalui proses kesepakatan atau musyawarah terlebih dahulu dengan para pedagang yang dilakukan oleh Dinas Pasar. Namun, menurut Bapak Syafei, hal tersebut sama sekali tidak menimbulkan konflik, karena tingginya tingkat kesadaran para pedagang untuk kepentingan pembangunan daerah ini.

Untuk sistem pembayaran atau cicilan, maka dilakukan dalam dua cara, yaitu dibayar secara langsung atau disetor melalui rekening yang terdapat di Bank Mandiri.

Delapan puluh persen dari pedagang yang ada di Pasar Baru adalah eks pedagang Pasar Lama, sehingga seharusnya menurut Bapak Syafei tidak ada pedagang eks Pasar Lama yang keberatan dengan biaya sewa kios. Hanya saja ia tidak bisa menggambarkan secara pasti alasan 20 % sisa eks pedagang Pasar Lama yang tidak mengambil tempat di pasar baru dikarenakan masalah ekonomi atau tidak sanggup untuk membayar sewa. Menurutnya bisa saja itu terjadi karena para pedagang yang tidak ikut relokasi tidak berminat pada pasar yang baru atau dengan alasan-alasan lainnya yang tidak bisa dijelaskan.


(50)

Oleh karena sistem yang sudah dianggap transparan, dimana para pedagang eks Pasar Lama akan menempati kios Pasar Baru, maka tidak ada kebijakan ganti rugi yang diterapkan oleh Dinas Pasar. Meskipun memang Bapak Syafei mengakui tidak ada penawaran atau harga khusus untuk para pedagang eks Pasar Lama untuk menempati lagu kios di Pasar Baru. Walau begitu, menurut Bapak Syafei para pedagang eks Pasar Lama akan mendapatkan prioritas utama untuk memasuki kios/los yang bagus di pasar baru.

Adapaun maksud kios yang bagus adalah menempati kios-kos/los yang terdapat di bahagian depan pasar atau posisi strategis lainnya, sehingga diharapkan para konsumen lama mereka dapat mengenali kedai mereka yang baru sehingga kemudian tidak akan kehilangan pangsa pasar atau pelanggan.

4.3.2. Informan Pedagang 4.3.2.1. Hari Ashari

Hari Ashari, 27 tahun, adalah pedagang eks Pasar Lama yang kini menempati kios di Pasar Baru. Lulusan SMA ini telah berdagang selama 5 tahun dan menempati kios ini semenjak tahun 2005 yang lalu. Hari berjualan barang-barang kebutuhan rumah tangga seperti sabun, shampoo dan rokok secara eceran. Dan ia menempati kios di barisan belakang di lantai II.

Sebenarnya Hari tidak menyetujui adanya relokasi pasar karena menurutnya hal tersebut lebih banyak ruginya dari pada untungnya. Hal Ini disebabkan karena secara lokasi saat ini kurang strategis karena tidak berada di pusat kota, sehingga akses pembeli sedikit susah dibandingkan dengan lokasi di Pasar Lama.


(51)

Walau begitu, ia mengakui akan adanya peningkatan dari segi sarana-prasarana yang ditawarkan oleh pengelola pasar. Hari menyebutkan jika pasar ingin terus berkembang, maka pembangunan sarana dan prasarana tersebut harus selalu ditingkatkan.

Ternyata, menurut Hari tidak ada perlakuan khusus yang diterimanya sebagai pedagang eks Pasar Lama. Lebih lanjut ia menyebutkan jika bahwa siapa saja yang mempunyai uang yang lebih banyaklah yang bisa membeli kios-kios yang letaknya strategis. Ia sendiri menyewa kios yang ditempatinya sekarang sebesar Rp. 6.000.000 per-tahunnya.

Setelah berjualan di Pasar Baru ia mengeluhkan jika kondisi penjualan atau omsetnya agak berkurang, dibandingkan dengan saat ia masih berjualan di Pasar Lama. Hal ini terjadi karena pelanggan belum terbiasa dengan situasi di Pasar Baru. Apalagi jumlah pedagang pun semakin banyak, dibandingkan dengan Pasar Lama, sehingga persaingan pun semakin ketat, yang menyebabkan iklim perdagangan yang cukup sulit bagi Hari.

Bahkan jumlah pelanggan yang biasa berbelanja di kedainya pun jauh berkurang, karena persaingan yang semakin ketat tadi. Walau begitu ia memang mengakui jika sebagian pelanggan yang didapapatnya selama berjualan di Pasar Lama masih berbelanja dengan dirinya di Pasar Baru, akan tetapi sejumlah besar justru tidak berlangganan lagi dengan dirinya.

Masalah persaingan antara pedagang memang semakin meningkat, apalagi jika harga yang ditawarkan bisa sangat murah dengan didukung dengan pelayanan yang memuaskan.


(52)

Harapan Hari adalah agar PEMDA, khususnya pengelola Pasar lebih meningkatkan sarana dan prasarana yang ada sehingga Pasar Baru akan semakin dapat berkembang, sehingga akan cukup kondusif untuk pembangunan sentra ekonomi masyarakat di kabupaten Mandailing Natal.

4.3.2. 2. Nasria

Nasria, 29 tahun, adalah salah seorang pedagang yang terdapat di Pasar Baru Panyabungan. Perempuan berpostur sedang ini adalah lulusan SMEA dan berdagang barang-barang kebutuhan rumah tangga. Ia menempati kios yang berada di jajaran depan lantai I Pasar Baru. Ia telah berdagang selama 10 tahun dan menempati kios di Pasar Baru semenjak 2004.

Nasria sebenarnya kurang menyetujui dengan adanya proyek pemindahan lokasi pasar karena menurutnya lokasi pasar yang baru tidak strategis dibandingkan dengan Pasar Lama. Apalagi dalam pandangannya, sarana dan prasarana yang ditawarkan oleh pihak pengelola Pasar Baru kurang memadai atau dengan kata lain hanya seadanya dan perlu untuk dipoles kembali untuk perbaikan yang lebih baik.

Berbeda dengan Hari, maka Nasria menyebutkan jika ia mendapatkan ganti rugi saat direlokasi. Hanya saja konsep ganti ruginya disini adalah penempatan dirinya pada lokasi yang cukup strategis di Pasar Baru.

Ia sendiri membayar sebesar Rp. 25.000.000 untuk jangka 10 hingga 20 tahun kedepan dan menurutnya ini cukup terjangkau. Apalagi dengan sistem cicilan yang dianggapnya meringankan.


(53)

Walaupun tadinya ia kurang menyetujui proses relokasi, namun ia bersyukur karena saat ini keadaan penjualannya lebih memadai dibandingkan saat ia masih berjualan di pasar lama.

Perbedaan yang cukup menonjol adalah disaat ia masih berada di Pasar Lama dibandingkan dengan Pasar Baru adalah jumlah pedagang, dimana jumlah pedagang di Pasar Baru terlihat lebih banyak, sehingga persaingan diantara pedagang pun semakin tinggi.

Walau begitu, ternyata hal tersebut bukanlah kendala bagi Nazria, karena justru jumlah langganannya semakin bertambah semenjak ia berjualan di Pasar Baru. Hal ini bisa saja karena ia menempati posisi yang cukup strategis di Pasar Baru.

Apalagi pelanggan-pelangganya di Pasar Lama tetap setia untuk berbelanja di kedainya, karena menurutnya ia menawarkan barang-barang dengan kualitas baik dengan ditunjang oleh harga yang terjangkau serta pelayanan yang memuaskan, sehingga para pelangganya enggan untuk berbelanja di kedai lain.

Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat maka Nasria berprinsip kalau pembeli itu adalah raja, sehingga ia berusaha untuk melayani pembeli dengan sebaik-baiknya.

Harapan Nasria kedepannya adalah agar Pasar Baru akan semakin maju dan ramai, sehingga walaupun nantinya proyek Madina Square terlaksana, akan tetapi tetap tidak meninggalkan proses pembangunan Pasar Baru ke arah yang lebih baik.


(54)

4.3.2.3. Mida Mediyanti Nasution

Mida, 26 tahun, demikian ia biasa dipanggil, baru setahun ini berdagang di Pasar Baru. Sebenarnya ia di Pasar Lama tidak memiliki kios sendiri, melainkan hanya karyawan penjaga toko. Saat ini ia mendapatkan kesempatan untuk berdagang kecil-kecilan, yaitu pakaian, baik untuk laki-laki maupun perempuan.

Mida menyetujui proses pemindahan atau relokasi pasar yang dilakukan, karena menurutnya dengan diadakan relokasi maka ia akan lebih mudah untuk berhubungan dengan pedagang dan pembeli yang lainnya.

Walau begitu ia kurang menyetujui dengan lokasi pasar yang sekarang, karena menurutnya lokasi Pasar Baru tidak terdapat tepat ditengah kota, sehingga kurang strategis.

Sepengetahuannya tidak ada proses ganti rugi yang diberikan kepada para pedagang di Pasar Lama untuk direlokasi atau menempati pasar baru ini. Ia sendiri, karena bukanlah pedagang dari Pasar Lama tidak mendapatkan keringanan biaya atau perlakukan khusus, akan tetapi dengan harga cicilan sewa kios sebesar Rp. 6.500.000 per enambulannya sudah dirasa cukup meringankan.

Walau begitu, menilik pengalamannya selama berdagang di Pasar Lama dan Pasar Baru, maka menurutnya sejauh ini penjualannya tidak mampu mencapai omset yang didapat selama menjadi karyawan di Pasar Lama. Hal ini menurut hematnya adalah karena konsumen lebih memilih untuk membeli di tempat yang relatif lebih dekat dengan rumah mereka.

Apalagi menurutnya, berjualan di Pasar Baru ini kurang strategis akibat terdapat di pinggir kota tadi, berbeda dengan Pasar Lama yang lebih mudah


(55)

diakses oleh pembeli. Ia menyebutkan jika masalah lokasi ini menyebakan pengurangan jumlah konsumen, karena masalah jarak tadi.

Dia mengakui jika sebagian besar langganannya tetap memilih untuk tetap berbelanja di kedainya, akan tetapi memang secara umum terjadi pengurangan jumlah konsumen.

Masalah persaingan yang semakin ketat akibat jumlah pedagang yang semakin meningkat disikapi dengan biasa saja oleh Mida, karena bagi Mida yang paling penting itu kualitas barang, harga dan pelayanan, sehingga ia tidak begitu memusingkan masalah persaingan. Menurutnya, masing-masing pedagang sudah ada pelanggan masing-masing, sehingga tidak perlu memikirkan secara berlebihan masalah persaingan. Hanya saja tentunya ia harus tetap mencermati pedagang lainnya, agar ia tidak ditinggalkan pelanggan.

Adapun harapan Mida adalah agar Pasar Baru ini dapat lebih maju dari Pasar Lama sehingga kesejahteraan para pedagang dapat terjamin pula, yang mana tentu saja kesejahteraan pedagang ini akan membuat Pasar Baru akan tetap eksis.

4.3.2.4. H. Bahrum Lubis

Bapak Bahrum Lubis, 50 tahun, bisa dikatakan sebagai veteran di bidang perdagangan ini, karena ia telah berjualan selama kurang lebih 30 tahun. Ia berjualan eceran untuk barang-barang jualan di kedai, seperti rokok, permen, mie instant dan sebagainya. Tamatan SLTA ini telah banyak memakan asam garam di bidang perdagangan, sehingga ia lebih betah untuk melakukan pekerjaan ini dibandingkan untuk bekerja di sektor lainnya.


(56)

Sebenarnya Pak Bahrum kurang menyetujui adanya proses relokasi pedagang yang dilakukan oleh Pemerintah, karena dengan adanya relokasi pasar maka dalam asumsinya, akan lebih banyak pula pedagangnya, sementara jumlah pembeli mungkin tidak mengalami peningkatan.

Bukannya ia tidak menilai secara positif akan keberadaan Pasar Baru, akan tetapi menurutnya justru jumlah pembeli semakin merosot saja. Hal bisa saja terjadi karena dalam pandangan Pak Bahrum lokasi Pasar Baru yang kurang strategis karena berada di pinggir kota, beda dengan Pasar Lama yang berada di tengah kota.

Dulunya, di Pasar Lama ia mempunyai dua kios, akan tetapi, karena proses relokasi, ia hanya mendapatkan jatah satu kios. Hal ini memang sempat dikecewakannya, akan tetapi kemudian ia berfikir kalau ini hanyalah masalah yang tidak harus dibesar-besarkannya dan harus fokus dengan usaha yang ditekuninya sekarang.

Apalagi tidak terdapat proses ganti rugi yang dilakukan selama proses relokasi, sehingga menghambat proses pengembangan kedainya. Ia sendiri menyebutkan jika dulunya Pemerintah pernah mendengung-dengungkan masalah ganti rugi ini, namun dalam kenyataannya hal tersebut tidak terjadi.

Sebagai pedagang lama ia tidak menerima perlakukan khusus dalam harga kios, karena ternyata kios yang letaknya strategis justru didapatkan oleh mereka yang terlebih dahulu membayar.

Pak Bahrum sendiri membayar bulanan dengan jumlah Rp. 1.500.000, yang dalam pandanganya harga ini tidak murah namun juga tidak mahal, sehingga dapat dikategorikan sebagai harga yang relatif standar saja.


(57)

Dengan adanya relokasi diakui oleh Pak Bahrum justru keadaan penjualan menjadi jauh menurun dibandingkan dengan kondisi berdagang saat masih di pasar lama. Apalagi, menurut beliau secara kenyamanan lebih memadai dibandingkan saat berdagang di pasar baru. Tentu saja hal ini disebabkan karena beliau telah terbiasa dengan kondisi dan situasi berdagang di Pasar Lama yang telah lama dijalankannya selama bertahun-tahun.

Apalagi, menurut beliau, selama ia berdagang di Pasar Baru, jumlah pelanggan yang biasa berbelanja di kedainya jauh berkurang setiap harinya jika dibandingkan disaat ia masih berdagang di Pasar Lama. Sebagian dari pelanggan lamanya memang masih berbelanja di kedainya, namun sebagian besar justru sudah tidak pernah ditemuinya lagi.

Meski beliau menyebutkan jika jumlah pedagang di Pasar Baru jauh lebih meningkat, namun dari segi persaingan ia sama sekali tidak merasakan sesuatu yang signifikan terhadap omset penjualannya. Baginya persaingan antara pedagang disikapi dengan sewajarnya saja sebagai bagian dari usaha. Harapannya adalah Pasar Baru dapat berbenah agar pelanggan yang justru bertambah.


(58)

4.3.2.5. F. Rahmad Lubis

Pak Lubis, demikian ia lebih dikenal oleh orang-orang disekitarnya. Laki-laki tamatan D-IV yang berusia 31 tahun ini telah lama berdagang barang-barang kebutuhan pokok atau Sembako, bahkan semenjak masih berjualan di Pasar Lama.

Pak Lubis menyetujui dengan adanya proyek relokasi pedagang dari Pasar Lama menuju Pasar Baru karena dianggapnya bisa memajukan para pedagang. Hanya saja ia menginginkan Pasar Baru sebagai sebuah pusat pasar bisa dimajukan dengan baik, agar perekonomian masyarakat, terutama pedagang bisa maju sepesat mungkin.

Dalam pandangannya, keberadaan Pasar Baru adalah sangat bagus, karena merupakan peremajaan konsep pasar tradisional menuju keadaan yang lebih baik. Hanya saja pemerintah daerah dan pengelola Pasar Baru dianggap tidak becus untuk mengelola Pasar Baru ini karena dianggapnya hanya memikirkan diri sendiri atau jabatannya belaka, sedangkan kemajuan pasar dibiarkan begitu saja tanpa pembinaan yang berarti.

Menurut pak Lubis, sebenarnya ada biaya ganti rugi yang diberikan oleh pemerintah sebagai bagian dari upaya relokasi pedagang, akan tetapi dalam kenyataanya tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku, sehingga dalam prakteknya, proses ganti rugi tersebut tidak terealisasikan. Bahkan ia harus membayar Rp. 6. 500.000 guna memperoleh kios di pasar baru ini.

Keadaan penjualannya selama berdagang di Pasar Baru ternyata tidak sebagus saat ia masih berdagang di pasar lama. Alasannya karena jumlah pedagang yang semakin banyak, tidak sesuai dengan jumlah pembeli yang tidak


(59)

mengalami peningkatan. Dalam pandangannya, lebih banyak pedagang dari pada pembeli selama ia berada di area Pasar Baru.

Ia mengakui, secara fisik Pasar Baru memang lebih memadai dibandingkan dengan Pasar Lama, karena telah mempunyai bangunan fisik yang permanen, akan tetapi karena lokasinya yang terdapat di pinggir kota menyebabkan penurunan jumlah pembeli, karena sedikit susah untuk diakses oleh kalangan masyarakat yang ingin berbelanja.

Selama ia berdagang di Pasar Baru, ia tidak bisa mengatakan jika pelangganya bertambah atau berkurang, karena baginya hal tersebut tergantung akan rezeki tempat yang dihuninya, sehingga ia hanya bisa bersyukur karena masih bisa berjualan. Apalagi dalam pengamatannya, masih banyak pelanggan lamanya dari saat masih berdagang di Pasar Lama yang membeli dagangan yang dijualnya di Pasar Baru.

Baginya tidak ada peningkatan persaingan selama ia berdagang di Pasar Baru, karena justru masalah yang paling krusial baginya adalah karena Pemerintah Daerah lebih memilih untuk memperkaya dirinya masing-masing dibandingkan untuk memperhatikan nasib para pedagang atau kemajuan Pasar Baru. Oleh karena itu, ia menginginkan agar adanya persatuan diantara sesama pedagang agar dapat memajukan Pasar Baru menuju yang lebih baik tentunya.

Demikianlah harapan Pak Lubis terhadap keberadaan Pasar Baru. Hanya saja ia mahfum kalau hal ini sebenarnya tergantung kepada para pemimpin Kabupaten Mandailing Natal, dan jangan hanya menjadi pemimpin tidur melainkan memperhatikan nasib dan kemajuan perekonomian rakyatnya.


(60)

4.3.3. Informan Masyarakat 4.3.3.1. Mardiana

Mardiana, 21 tahun, adalah seorang mahasiswi di salah satu Perguruan Tinggi Swasta yang terdapat di kota Panyabungan. Saat ini, gadis berkerudung ini walau masih menetap bersama orang tuanya, namun kegiatan berbelanja ke pasar sudah menjadi kesehariannya, karena ia mendapatkan tugas dari orang tuanya untuk membeli keperluan sehari-harinya ke Pasar Baru Panyabungan. Bahkan kegiatan berbelanja ini telah biasa dilakukan semenjak ia masih duduk dibangku sekolah menengah.

Mardiana menyetujui akan adanya proyek relokasi pasar lama, karena memang pasar yang lama secara fisik kondisinya sudah tidak kondusif lagi untuk dipakai sebagai sarana berbelanja atau perekonomian warga, sehingga Mardiana menjadikan Pasar Baru sekarang ini sebagai sarana berbelanjanya. Namun Mardiana beranggapan jika lokasi Pasar Baru sekarang ini kuranglah strategis dibandingkan dengan lokasi Pasar Lama.

Secara fisik, justru memang sarana dan prasarana Pasar Baru jauh lebih memadai daripada Pasar Lama.Beberapa sarana dan prasarana yang ada di Pasar Baru dahulunya tidak terdapat di Pasar Lama, seperti tempat parker, WC umum, musholla dan juga menurutnya bangunannya (Pasar Lama) tidak sebagus bangunan Pasar Baru. Menurut Mardiana, bangunan fisik Pasar Baru bersifat lebih permanen dan lebih luas serta tertata lebih rapih.

Oleh karena itu Mardiana lebih suka berbelanja di Pasar Baru dibandingkan dengan Pasar Lama karena Pasar Baru bisa dijadikan ajang bagi Mardiana dan kawan-kawannya untuk sekedar berjalan-jalan meski tidak


(1)

dengan sosialisasi langsung ke masyarakat, penyebaran info melalui radio dan tentu saja pemberitahuan secara tertulis.

3. Kendala yang dihadapi selama masa relokasi, menurut Bapak Syafei sebagai pimpinan Dinas Pasar, secara signifikan sama sekali tidak ada. Bahkan ia menyebutkan bahwa masyarakat mau merelakan dan mendukung penuh sehingga mereka (para pedagang) melakukan perpindahan secara pribadi dari pasar lama ke pasar baru. Oleh karena itu, bisa dikatakan tidak ada pro-kontra sepanjang proses relokasi Pasar Lama menuju Pasar Baru, meskipun tidak ada proses ganti rugi terhadap para pedagang.

4. Jika faktor penghambat sama sekali tidak ditemui, maka faktor pendukung terjadinya proses relokasi adalah:

a. pemberian kemudahan bagi pedagang eks Pasar Lama untuk dapat menempati lot baru di area Pasar Baru.

b. adanya peningkatan dari segi sarana-prasarana yang ditawarkan oleh pengelola pasar.

c. bagi sebagian pedagang akan bertambah pula jumlah langganannya 5. Meski begitu ada beberapa kelemahan yang dirasakan oleh para pedagang

saat mereka menempati kios baru di Pasar Baru, yaitu:

a. tidak ada proses ganti rugi yang diberikan kepada para pedagang di Pasar Lama untuk direlokasi atau menempati pasar baru ini sedikit memberatkan para pedagang untuk menempati kios di Pasar Baru. b. lokasi Pasar Baru tidak terdapat tepat ditengah kota, sehingga


(2)

c. sebagai pedagang lama ternyata mereka tidak menerima perlakukan khusus dalam harga kios, karena ternyata kios yang letaknya strategis justru didapatkan oleh mereka yang terlebih dahulu membayar.

d. persaingan yang semakin ketat akibat jumlah pedagang yang semakin meningkat.

e. secara umum hal tersebut diatas bisa mengakibatkan terjadinya pengurangan jumlah konsumen.

f. timbulnya anggapan bahwa pengelola pasar dianggap tidak becus untuk mengelola Pasar Baru ini karena hanya memikirkan diri sendiri atau jabatannya belaka, sedangkan kemajuan pasar dibiarkan begitu saja tanpa pembinaan yang berarti.

6. Sementara menurut para pembeli, ada beberapa kelemahan yang dirasakan dari keberadaan Pasar Baru ini, yaitu:

a. dari segi lokasi, Pasar Baru tetaplah dianggap kurang strategis, karena dianggap jauh dari tempat tinggal pembeli, sehingga membutuhkan ongkos yang lebih mahal, dibandingkan saat Pasar Lama masih ada.

b. adanya anggapan bahwa bahwa barang-barang yang ada di Pasar Baru relatif lebih mahal dibandingkan harga-harga barang yang terdapat di Pasar Lama yang dikarenakan pedagang-pedagang di Pasar Baru semakin bertambah dan oleh karena itu tidak terjadi keseragaman harga dimana ada penjual yang menetapkan harga tinggi, sebaliknya ada juga yang menetapkan harga relatif murah.


(3)

5.2. Saran

Akhirnya, pemihakan pemerintah kepada pedagang pasar tradisional dapat diwujudkan dengan memberikan kesempatan kepada pedagang pasar tradisional untuk turut memetik keuntungan dari peluang pertumbuhan permintaan masarakat serta membantu mengantisipasi perubahan lingkungan yang akan mengancam eksistensi mereka. Karena sifat pedagang pasar tradisional yang umumnya lemah dalam banyak hal,maka peran pemerintahlah untuk secara aktif memberdayakan pedagang tradisional.

Pemberdayaan pedagang kecil ini dapat dilakukan antara lain:

1. Dengan membantu memperbaiki akses mereka kepada informasi, permodalan, dan hubungan dengan produsen atau supplier (pemasok).

2. Pedagang pasar tradisional perlu mendapatkan informasi tentang masa depan, ancaman dan peluang usahanya, serta perlunya perubahan sikap dan pengelolaan usahanya sesuai dengan perubahan tuntutan konsumen.

3. Dalam kaitannya dengan produsen pemasok, pedagang pasar tradisioanal perlu dibantu dalam mengefisienkan rantai pemasaran untuk mendapatkan barang dagangannya.

4. Pemerintah dapat berperan sebagai mediator untuk menghubungkan pedagang pasar tradisioanal secara kolektif kepada industri untuk mendapatkan akses barang dagangan yang lebih murah.

Di negara-negara maju, seperti Jepang. Pasar tradisional memiliki eksotisme yang luar biasa sehingga dilindungi oleh pemerintah. Pasar tradisional erat hubungannya dengan eksitensi kultural. Dimana wajah relasi sosial dan budaya tercermin didalamnya. Komunikasi sosial-budaya dalam perekonomian


(4)

pasar tradisional, seperti tawar menawar dan hutang piutang merupakan praktek yang tidak mungkin didapati pada pasar modern (dalam Pikiran rakyat, Minggu 02 Maret 2008).

Demikian pula, dengan keragamanan komoditi dan produk yang di tawarkan di dalamnya, biasanya memiliki eksotisme kultural yang kuat dan bersumber dari para perajin dan petani kecil yang memproduksi barang-barang dagangan berdasarkan tradisi lokal, tempat dimana pasar tradisional berada. Sehingga pemerintah bertanggung jawab untuk melestarikan dan melindungi pasar tradisional, karena berkaitan dengan eksitensi kultural suatu peradaban.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Rajawali Pers. Jakarta.

Damsar. 1997. Sosiologi Ekonomi. Rajawali Pers. Jakarta.

Effendi, Nursyirwan, 1999. Minangkabau Rural Markets : Trade and Traders in West Sumatera, Indonesia. Thesis Ph.D Hamburg: University of Bielefed.

Elida, Linda. 2005. Pasar Tradisional Panyabungan di Kabupaten Madina Sumatera Utara. Proyek Peningkatan Pendidikan Tinggi. Medan.

Evers, Hans Dieter. 1997. Globalisasi dan Kebudayaan Ekonomi Pasar Dalam Prisma. No. 5. Jakarta : LP3i

Faisal, Sanafiah. 1995. Format-Format Penelitian Sosial (Dasar dan Aplikasi). Rajawali Pers. Jakarta.

Gartika, Dewi dan H. M. Sumpena Hikall, Jum'at, 29 Februari 2008 Pasar Tumpah, Sebuah Ancaman, dalam Harian Pikiran Rakyat

Hadjisaroso, Poernomosidi. 1993. Konsepsi Dasar Pengembangan Wilayah Di Indonesia. Pusdiklat PU, Jakarta.

Ikram, M. DKk. 1990. Peranan Pasar Pada Masyarakat Pedesaan Daerah Bengkulu. DEPDIKBUD Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai budaya. Jakarta.

Kerap, Sonny. 1995. Pasar Bebas Keadilan dan Peran Pemerintah, telaah atas Etika Politik Ekonomi Adam Smith. Penerbit Kanisius. Jakarta.

K. Yin, Robert. 2002. Studi Kasus (Desain dan Metode). PT. Raja Grafindo. Jakarta.

Khairunnisa. Analisis Pengembangan Pasar Tradisional dan Dampaknya Terhadap Pengembangan Wilayah (Studi Kasus Pasar Tradisional Kelas II di Kota Medan). Tesis USU Medan (Tidak Diterbitkan).

Napitupulu, Albert. 2007, Masa Depan Pasar Tradisional dalam http://www.jakarta.go.id/pasar/pasar3.htm


(6)

Nawawi, Hadari. 1994. Metode Penelitian Bidang Sosial. UGM Press. Yogyakarta.

Moleong, Lexy J. 2005. ”Metode Penelitian Kualitatif”, Remaja Rosdakarja. Bandung.

Ritzer, George. Douglas, J.Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern. Pramedia. Jakarta.

Simandjuntak, Dahnil Anzar, 2007, Pasar Tradisional Riwayatmu Kini, dalam http://dahnilanzarsimanjuntak.blogspot.com/2007/08/pasar-tradisional-riwayatmu-kini.html

Soegijoko, S dkk. 1997. Bungai Rampai Perencanaan Indonesia. Grasindo. Jakarta.

Sukirno, Sadono. 1985. Ekonomi Pembangunan. Universitas Indonesia. Jakarta.

Suwarsono, Alfin Y So. 1990. Perubahan Sosial Pembangunan. LP3S. Jakarta.

Tjokroamidjojo, Bintoro. 1983. Teori Strategi Pembangunan Nasional. Penerbit Gunung Agung. Jakarta.

Tambun, MU Firman, 1992. Perencanaan Transportasi Dengan Pendekatan Pengembangan Wilayah. Seminar tahun 11 Alumni Jurusan Tekhnik Sipil FT USU Medan.

Sumber Lainnya:

• Pikiran Rakyat, Minggu, 02 Maret 2008, Pasar Tradisional Perlu Dipertahankan

• Kompas, Rabu, 30 Juli 2003, Kabupaten Mandailing Natal • Madina Selayang Pandang, dalam http://www.madina.go.id/